Makelar dan Akad Bagi Hasil Tanaman

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sempurna, yang mengatur segala aspek
kehidupan manusia secara menyeluruh. Hubungan manusia dengan Allah
SWT diatur dalam bidang ibadah atau disebut ibadah mahdah, seperti:
sholat, zakat, puasa, dan masih banyak lagi.

Adapun hal-hal yang

berhubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam bidang
muamalah atau ibadah ghairu mahdah. Semua yang berkaitan dalam bidang
muamalah mencakup hal yang sangat luas, baik itu yang bersifat umum,
seperti pewarisan, pernikahan, hibah, hukum perdilan, kontrak, peradilah,
dan sebaginya. Manusia merupakan makhluk sosial yang akan saling
berhubungan satu sama lain maka itu, muamalah merupakan hal yang sangat
penting bagi kehidupan manusia karena untuk terciptanya segala hal yang
diinginkan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Muamalah berasal dari kata “mufa’alah” yang artinya saling berbuat.
Artinya bahwa kata muamalah menggambarkan suatu aktivitas yang

dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang yang
melakukan aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup masing-masing.
Adapun yang disebut fiqih muamalah secara terminologi didefinisikan
sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia
dalam persoalan keduniaan. Misalnya, dalam persoalan jual beli,
utangpiutang, kerja sama dan dagang, perserikatan/perkongsian, sewa
menyewa, dan kerja sama dalam penggarapan tanah (seperti musaqah,
muzara’ah, dan mukhabarah).1

1.2 Rumusan Masalah
 Apa yang dimaksud dengan Musaqah?
 Bagaimana dasar hukum Musaqah dalam islam?
1 Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah, hlm 72.

1

 Mengapa dalam konsep Musaqah perlu adanya akad?
 Bagaimana cara pembagian kebun dalam konsep Musaqah?
 Apa yang dimaksud dengan Muzara’ah dan Mukhobarah?
 Bagaimana perbedaan antara Muzara’ah dan Mukhobarah?

 Apa manfaat konsep Muzara’ah dan Mukhobarah dalam kehidupan seharihari?
1.3 Tujuan
 Untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita tentang konsep
Musaqah, konsep Muzara’ah dan Mukhobarah
 Dapat mengetahui dan memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan
Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhobarah.
 Dapat menerapkan atau mempraktikannya sesuai dengan kehidupan
sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Musaqah A.
Pengertian
Secara etimologi, al-musaqah adalah transaksi dalam pengairan,
yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-mu‟amalah. Secara
secara terminologis fiqih, al-musaqah didefinisikan oleh ulama dengan:

‫م ل‬
‫جاَرم إ ع‬

‫مععاَقد عة ل د عفيمع ال ي‬
‫علَى‬
‫هاَ ع‬
‫ي ع‬
‫ل م‬
‫ش ع‬
‫ن ي عي ع‬
‫ل‬
‫لف ي‬
‫م ي‬
َ‫ما‬
‫ب يي ع‬
‫مرَة ع ع‬
‫ا ن‬
‫ن هل ع‬
‫ن الث ع‬

“penyerahan sebidang kebun petani untuk digarap dan dirawat

dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun

itu.”
Ulama Syafi’iyah mendefinisikan dengan:

‫ف قع ي‬
‫م ل‬
‫علَى عنل أوي ع‬
‫ط‬
‫ي ره ل ع‬
‫ني ع‬
‫ب ع‬
‫جرَ م‬
‫عاَ م‬
‫ش ع‬
‫أ ن‬
‫عنِ ب‬
‫ل غع ي‬
َ‫ما‬
‫س ع‬
‫ت يربي نةم ع‬
‫علَى أ ن‬

‫ت ع عهند عه ل باَل ع‬
‫مرَةم ل لع ع‬
‫ن الث ع‬
‫قى عوال ع‬
‫لي ع‬
“memperkerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau

pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil
kurma atau pohon anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan
petani penggarap.”2
Sedang menurut Sulaiman Rasjid, Musaqah atau paroan kebun
ialah konsep dimana yang mempunyai kebun memberikan kebunnya
kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat
dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya
sewaktu akad.3
B. Dasar Hukum
Asas hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dari Ibnu Amr ra, bahwa Rasullah SAW bersabda.

1

1

2

3

Nasrun Haroen, Sulaiman Rasjid, Fiqh Muamalahop. cit, hlm 322., hlm 281.

‫ب عر ب ع‬
‫ن‬
‫عطَى ع‬
‫أ ي‬
‫ن ع‬
‫هاَ م‬
‫ج م‬
‫ماَ عيرَ ل‬
‫خي ي ع‬
‫شطَرَم ع‬
‫م ي‬
‫م ي‬

‫ف رعوايةب عدفعع إ ع‬
‫ي هلويد م‬
‫ث عرَب أوي زربع وع م‬
‫ل ال ع‬
‫ن‬
‫ضعهاَ ع‬
‫ع‬
‫ملَوي عىاَ م‬
‫علَى ا ي‬
‫ب عر عوأر ع‬
‫خي ي ع‬
‫ن يع ع ي ع‬
‫م ي‬
ِ‫ل الملَه‬
‫م عوأ ي‬
‫ن لرَ ل‬
‫موال مع ي‬
‫أ ي‬
‫سوي م‬
‫ش ي‬

‫صم ع‬
َ‫طَرَعىا‬
“memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari
penghasilah, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada
riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu
kepada yahudi untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan
separohnya untuk Nabi.”4
Pada riwayat lain terdapat. “mereka menawarkan kepada Beliau
agar membiarkan mereka tinggal di Khaibar (tanah Beliau itu) dengan
syarat mereka akan mengerjakan tanah itu dan separoh hasil kormanys.
Lalu beliau menjawab kepada mereka. “ kami membiarkan kamu semua
itu di situ selama mau kamu”. Mereka tetap di situ, sehingga sampai
khalifah Umar bin Khatab mengusir mereka.5
C. Rukun dan Syarat
Menurut Jumhur Ulama musaqah harus memenuhi lima rukun,
yaitu diantaranya:
a) Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;
b) Tanah yang dijadikan objek al-musaqah;
c) Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;
d) Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah; dan

e) Shighat (ungkapan) ijab dan kabul.6
Rukun-rukun musaqah menurut Ulama Syafi’iyah ada lima berikut
ini.

1. Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas (sharih) dan
dengan samaran (kinayah). Disyaratkan Shighat dengan lafadz dan
tidak cukup dengan pembuatan saja.

5
6

4

Hendi Suhendi, Sudarsono, Pokokop-.pokok Hukum Islam cit, hlm 148.

, hlm 459.

Nasrun Haroen, op. cit, hlm 283.

2. Dua orang atau pihak yang berakad (al-„aqidani), diisyaratkan bagi

orang-orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola
akad, seperti Baligh, berakal, dan tidak dibawah pengampuan.
3. Kebun dan semua pohon yang berbuah, semua pohon yang berbuah
boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali
dalam setahun) maupun yang buahnya hanya satu kali kemudian mati,
seperti padi, jagung, dan yang lainnya.
4. Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang dikerjakan,
seperti satu tahun atau sekurang-kurangnya menurut kebiasaan.
Dalam waktu tersebut tanaman atau pohon yang diurus sudah
berbuah, juga yang harus ditentukan ialah pekerjaan yang harus
dilakukan oleh tukang kebun, seperti menyiram, memotongi
cabangcabang pohon yang akan menghambat kesuburan buah, atau
mengawinkannya.
5. Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing (yang punya
kebun dan bekerja di kebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat,
dan ukuran yang lainnya.2
D. Tugas Penggarap
Kewajiban penyiram (musaqi) menurut Imam Nawawi adalah
mengerjakan apa saja yang dibutuhkan pohon-pohon dalam rangka
pemeliharaannya untuk mendapatkan buah. Ditambahkan pula untuk

setiap

pohon

yang

berbuah

musiman

diharuskan

menyiram,

membersihkan saluran air, mengurus pertumbuhan pohon, memisahkan
pohon-pohon yang merambat, memelihara buah, dan perintisan
batangnya.
2 Hendi Suhendi, op cit, hlm

1
1

Maksud memelihara asalnya (pokoknya) dan tidak berulang setiap
tahun adalah pemeliharaan hal-hal tertentu yang terjadi sewaktu-waktu
(insidental), seperti membangun pematang, menggali sungai, mengganti
pohon-pohon yang rusak atau pohon yang tidak produktif

adalah

kewajiban pemilik tanah dan pohon-pohonnya (pengadaan bibit).3
E. Masalah dalam Akad
Bila salah seorang yang berakad (Aqid) meninggal dunia,
sedangkan pada pohon tersebut sudah tampak buah-buahnya (hampir bisa
dipanen) walaupun belum tampak kebagusan buah tersebut, demi
menjaga kemashlahatan, penggarap melangsungkan pekerjaan atau
dilangsungkan oleh salah seorang atau beberapa orang ahli warisnya,
sehingga buah itu masak atau pantas untuk dipanen, sekalipun hal ini
dilakukan secara paksa terhadap pemilik, jika pemilik keberatan, karena
dalam keadaan seperti ini tidak ada kerugian. Dalam masa fasakh-nya,
akad dan matangnya buah, penggarap tidak dapat memperoleh upah.4

2.2 Muzara’ah A.
Pengertian
Secara etimologi, Al-muzara‟ah berarti kerja sama dibidang
pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Sedangkan
dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi al-muzara‟ah yang
dikemukakan dalam fiqh.
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan:

‫ال ن‬
‫ف الزرمع‬
‫شرَك يع ل‬
‫ة م‬

“perserikatan dalam pertanian.”

:Menurut ulama Hanabiah al-muzara’ah adalah

‫م ل‬
‫ضإ ع‬
‫ل‬
‫ل م‬
‫ن ي يزرععهاَ أوي ي ع ي ع‬
‫عدفعل الير ع‬
‫م ي‬
َ‫ما‬
‫ع‬
‫ي ع‬
‫ب يي ع‬
‫هاَ عوالزرع ل ع‬
‫ن هل ع‬
‫علَ ي‬
3 Hendi Suhendi, op. cit, hlm 150.
4 Ibid.

“penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap
dan hasilnya dibagi berdua.”
Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai
“paroan sawah” Penduduk Irak menyebutnya “al-mukhobarah”, tetapi
dalam al-mukhobarah, bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik
tanah.
Imam Asy-Syafi’i mendefinisikan al-mukhobarah dengan:

‫م ل‬
َ‫ها‬
‫ن ع‬
‫ج م‬
‫ماَعيرَ ل‬
‫ضب ع‬
‫ض ع‬
‫عع ع‬
‫م ي‬
‫ب عي م‬
‫ل الير م‬
‫ل‬
‫ن الععاَ م‬
‫عوالبذ يلر م‬
‫م م‬
‫م ع‬

“pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian,
sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah.”
Dalam al-mukhabarah, bibit yang akan ditanam disediakan oleh
penggarap tanah, sedang dalam al-muzara‟ah bibit yang akan ditanam
boleh dari pemilik.5
B. Dasar Hukum Muzara’ah dan Mukhobarah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan
hukum mukhabarah dan muzara‟ah adalah sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas ra.

‫ب ص م يع‬
َ‫معر‬
‫ل ي لمنرَم المزارع ع ل‬
‫ن النِ من‬
‫إ ن‬
‫نا ع‬
‫ة عولك م ي‬
‫ن‬
‫ضب ع‬
‫ولوم م‬
‫مب ع‬
‫ن ي رفقع ب ع ي ل‬
‫ا ي‬
‫ضهل ي‬
‫م ي‬
‫ق ي‬
‫ب عي ب‬
‫ع‬
‫حعهاَ ا ع‬
‫ض ع‬
‫منِ ي‬
‫خاَه ل‬
‫ي يزرععهاَ أيولي ي‬
‫كاَن ي‬
‫ت لول اير عض‬
‫ف لي ع‬
‫س ي‬
‫ك‬
‫ب ع‬
‫م م‬
‫نأ ع‬
‫فإ م ي‬
‫ف يلي ي‬
)‫ضول (رواه البخاَرى‬
‫ار ع‬

“sesunggunya Nabi SAW menyatakan, tidak mengharamkan

bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian
menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barang siapa yang

5 Nasrun Haroen, op.cit, hlm 276

1
1

memiliki tanah hendaklah ditanaminya atan diberikan faedahnya kepada
saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
Menurut pengarang kitab al-Minhaj, bahwa mukhabarah, yaitu
mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil
sebagian dari hasilnya, sedangkan benihnya dari pekerja dan tidak boleh
pula bermuzara‟ah, yaitu pengelolaan tanah yang benihnya dari
pengolahan tanah. Pendapat ini beralasan kepada beberapa hadits shahih,
antara lain hadits Tsabit Ibn Dhahak, karena mengingat akibat buruk yang
sering terjadi ketika berbuah.
Demikian dikemukakan dasar hukum muzara‟ah dan mukhabarah,
diketahui pula pendapat para ulama, ada yang mengharamkan
keduaduanya, seperti pangarang al-Minhaj, ada yang mengharamkan
muzara’ah saja, seperti al-Syafi‟i, dan ada yang menghalalkan
keduaduanya, antara lain al-Nawawi. Ibnu Munzir, dan Khatabi.6
C. Rukun dan Syarat
Jumhur ulama, yang memboleh akad mengemukakan rukun dan
syarat harus dipenuhi, sehingga akad dianggap sah. Rukun al-muzara‟ah
menurut mereka adalah: (a) pemilik tanah, (b) petani penggarap, (c) objek
al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani, dan
(d) ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) kabul
(pernyataan penerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab kabul
itu adalah; “Saya serahkan tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk
digarap, dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Kemudian petani
penggarap menjawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk di garap
dengan imbalan hasilnya dibagi berdua”. Jika hal itu telah terlaksana,
maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah
mengatakan bahwa peneriamaan (kabul) akad al-muzara’ah tidak perlu
dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani
langsung menggarap tanah.
Adapun syarat-syarat al-muzara‟ah, menurut jumhur ulama, ada
yang menyangkut orang yang berakad, benih yang akan ditanam, tanah

6 Hendi Suhendi, op. cit, hlm 158

yang akan dikerjakan, hasil yang akan dipanen, dan yang menyangkut
jangka waktu berlakunya akad.
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya
harus orang yang telah baligh dan berakal, karena kedua syarat inilah
yang membuat seseorang dianggap telah cakap bertindak hukum.
Pendapat lain dari kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa salah
seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agama
islam), karena tindakan hukum orang yang murtad dianggap mauquf
(tidak punya efek hukum, sampai ia masuk islam).
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn Al-Hasan asySyaibani tidak menyetujui syarat tambahan ini, karena menurut mereka,
akad al-muzara‟ah boleh dilakukan antara muslim dengan non muslim;
termasuk orang murtad.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas,
sehingga -sesuai dengan kebiasaan tanah itu- benih yang ditanam itu jelas
dan akan menghasilkan. Sedangkan syarat-syarat yang menyangkut tanah
pertanian adalah:
a) Menurut adat dikalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering,
sehingga tidak memungkinkan dijadikan tanah pertanian, maka akad
al-muzara‟ah tidak sah.
b) Batas-batas tanah itu jelas.
c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap.
Adapun disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian
itu, maka akad al-muzara‟ah tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai
berikut:
1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh
ada pengkhususan;
3) Pembagian hasil panen itu ditentukan setengah, sepertiga, atau
seperempat sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan
di kemudian hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah

1
1

tertentu secara mutlak, seperti 1 kuintal untuk pekerja, atau 1 karung,
karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah jumlah itu
atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam
akad sejak semula, karena akad al-muzara‟ah mengandung akad alijarah
(sewa-menyewa atau upah-mengupah) dengan imbalan sebagian hasil
panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan
jangka waktu ini, biasanya disesuaikan dengan adat kebiasaan setempat.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan almuzara‟ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani,
sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun
pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.7
D. Hikmah Muzara’ah dan Mukhobarah
Manusia banyak mempunyai binatang ternak seperti kerbau, sapi,
kuda, dan yang lainnya. Dia sanggup untuk berdalang dan bertani untuk
mencukupi keperluan hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya,
banyak diantara manusia mempunyai sawah, tanah, ladang, dan lainnya,
yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak memiliki binatang
untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak
sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan
dan tidak dapat mengahasilkan suatu apapun.
Muzara‟ah dan mukhobarah disyariatkan untuk menghindari
adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena
tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan
tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara‟ah dan mukhobarah terdapat pembagian hasil. Untuk
halhal lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu
konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada
masingmasing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.13

7 Nasrun Haroen, op. cit, hlm 280. 13
Hendi Suhendi, op. cit, hlm 160.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Islam mengatur secara lengkap bagaimana manusia bermuamalah,
temasuk salah satunya adalah kerja sama atas lahan pertanian. Musaqah,
Muzara’ah, dan Mukhabarah merupakan konsep dalam islam yang mengatur
mengenai kerja sama dalam bidang pertanian dimana para petani penggarap
bekerja sama dengan pemilik lahan dan hasil pertanianya (seperti:jagung,
kacang, dll) nanti dibagi setengah, sepertiga, atau seperempat bagian sesuai
dengan akad yang telah disepakati.
3.2 Kritik dan Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca. tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Kami berharap para pembaca
memberikan kritik dan sarannya demi kesempunaan makalah ini dan
penulisan makalah-makalah kami selanjutnya.
Apabila

ada

terdapat

kesalahan

mohon

dapat

mema'afkan

dan

memakluminya, karena kami adalah hamba Allah yang tak luput dari salah
dan lupa.

1
1