BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Perjanjian - Chapter II (497.7Kb)

  BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN LEASING A. Pengertian Perjanjian Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata dalam Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

  mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) yang dimaksud dalam Pasal 1313 KUHPerdata hanya terjadi atas izin atau kehendak (toestemming) dari semua mereka yang terkait dengan persetujuan itu, yaitu mereka yang mengadakan

  8 persetujuan atau perjanjian yang bersangkutan.

  Para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula

  9

  terlalu luas. Tidak lengkap karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur di dalam KUH Perdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara materil, dengan kata lain dinilai dengan uang.

  Mengenai pengertian yang dirumuskan di atas yang diatur dalam KUHPerdata

                                                               8 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik Dan Penjelasannya, Cetakan 2, (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia Daerah Jawa Barat, 1990), hlm. 430. 9 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan tersebut lebih sempit apabila diperhatikan pengertian perjanjian yang dirumuskan oleh para sarjana seperti.

  Subekti mengatakan suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Perkataan kontrak

  10 lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.

  R. Wirjono Projodikoro mengatakan perjanjian adalah sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut

  11 pelaksanaan janji itu.

  R. Wirjono Projodikoro juga menyebutkan didalam buku yang lain bahwa suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan

  12 pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

  Subekti juga mengatakan suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian itu

                                                               10 11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung : PT.Intermasa, 2008, hlm. 1. 12 Wirjono Projodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Bandung : PT.Bale, 2000, hlm. 4.

  R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertulis, Bandung: berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucap atau ditulis.

13 Handri Rahardjo mengatakan secara garis besar perjanjian dapat

14 Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan

  dibedakan menjadi 2, yaitu:

  akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata. Misalnya, perjanjian bernama (perjanjian khusus yang diatur oleh undang- undang).

  Handri Raharjo juga mengatakan perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lain berkewajiban berprestasi. Yang dimaksud dengan lapangan harta kekayaan adalah hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum (harta kekayaan) dan dapat dinilai dengan uang.

  15 Berdasarkan berbagai ukuran-ukuran, maka di dalam Ilmu Pengetahuan

  Hukum Perdata perikatan itu dibedakan dalam berbagai-bagai jenis :

  16 1.

  Dilihat dari prestasinya, maka dapat dibedakan : a.

  Perikatan untuk memberikan sesuatu.

  b.

  Perikatan untuk berbuat sesuatu.

  c.

  Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

                                                               13 R. Subekti, Op. Cit, hlm. 13. 14 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 42. 15 Ibid, hlm. 75. 16 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : PT.Citra Aditya

  Perikatan untuk memberikan sesuatu (geven) dan untuk berbuat sesuatu (doen) dinamakan perikatan positif dan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (niet doen) dinamakan perikatan negatif.

  d.

  Perikatan mana suka (alternatif).

  e.

  Perikatan fakultatif.

  f.

  Perikatan generik dan spesifik.

  g.

  Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (deelbaar dan ondeelbaar ).

  h.

  Perikatan yang sepintas lalu dan terus-menerus (voorbijgaande dan ondeelbaar ).

  2. Dilihat dari subjeknya, maka dapat dibedakan : a.

  Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk atau solidair).

  b.

  Perikatan pokok dan tambahan (principale dan accessoir).

  3. Dilihat dari daya kerjanya, maka dapat dibedakan : a.

  Perikatan dengan ketetapan waktu.

  b.

  Perikatan bersyarat.

  17 Perikatan sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu: 1.

  bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum; 2. hubungan hukum tersebut melibatkan dua atau lebih orang (pihak); 3. hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan;

                                                               17 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta:

  4. hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam perikatan.

  Dari pengertian singkat di atas dijumpai di dalamnya beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintennis adalah hubungan hukum/ rechtbe-trekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara perseorangan/person adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

  Perjanjian atau kontrak yang sah adalah persetujuan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu: 1.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

  Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif karena syarat tersebut mengenai subyek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari perjanjian. Perjanjian yang sah diakui dan diberi akibat hukum sedangkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak diakui oleh hukum. Tetapi bila pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tetapi perjanjian itu tetap berlaku diantara mereka, namun bila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakui sehingga timbul sengketa maka hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.

  Keempat syarat di atas merupakan syarat yang esensial dari suatu perjanjian, artinya syarat-syarat tersebut harus ada dalam suatu perjanjian, tanpa suatu syarat ini, perjanjian dianggap tidak pernah ada atau perjanjian itu tidak sah. Namun dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Dengan kata sepakat suatu perjanjian sudah lahir. Sehubungan dengan syarat kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, dalam KUHPerdata dicantumkan beberapa hal yang merupakan faktor, yang dapat menimbulkan cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu: a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Adanya kata sepakat berarti terdapat suatu persesuaian kehendak diantara para pihak yang mengadakan perjanjian. Perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak, dikenal dengan asas konsensualisme yang merupakan asas pokok dalam hukum perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad persetujuan kehendak adalah kesepakatan seia-sekata. Pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah mantap, tidak lagi dalam

  18 perundingan.

  Pernyataan kehendak atau persetujuan kehendak harus merupakan perwujudan kehendak yang bebas, artinya tidak ada paksaan dan tekanan (dwang) dari pihak manapun juga, harus betul-betul atas kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian kehendak atau sepakat itu termasuk juga tidak ada kekhilafan (dwaling) dan tidak ada penipuan (bedrog). Apabila ada kesepakatan terjadi karena kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan kepada hakim (vernietigbaar). Hal ini sesuai dengan Pasal 1321 KUHPerdata yang bunyinya: “tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan kegiatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-takuti, sehingga dengan demikian orang itu tidak terpaksa menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPerdata).

  Dan dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting obyek perjanjian atau mengenai orang

                                                               18 Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia. (Bandung, Cipta Aditya Bhakti,

  dengan siapa diadakan perjanjian itu. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan penipuan menurut arti Undang-undang (Pasal 1328 KUHPerdata). Penipuan menurut arti Undang-undang ialah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberikan keterangan palsu

  19 dan tidak benar untuk membujuk pihak lawannya supaya menyetujui.

  b.

  Cakap untuk membuat suatu perikatan Pada dasarnya semua orang cakap membuat perjanjian, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Pasal 1329 KUHPerdata kecuali yang diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum termasuk pula membuat perjanjian ialah bila ia sudah dewasa yaitu berumur 21 tahun dan telah kawin. Ukuran orang dewasa 21 tahun atau sudah kawin, disimpulkan secara a

  contrario redaksi Pasal 330 KUHPerdata. Sedangkan mereka yang tidak

  cakap melakukan perbuatan hukum, sebagaimana diatur Pasal 1330 KUHPerdata ialah: 1)

  Orang-orang yang belum dewasa 2)

  Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan 3)

  Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

                                                               19 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dengan Penjelasannya, (Bandung,

  c.

  Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 angka 1 menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan d.

  Adanya suatu sebab/kausa yang halal Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, sedangkan adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Pada pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umumdan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu

  20 batal demi hukum.

  Berbicara mengenai transaksi umumnya orang akan mengatakan hal tersebut adalah perjanjian jual beli antar pihak yang bersepakat untuk itu. Dalam lingkup hukum, sebenarnya istilah transaksi adalah keberadaan suatu perikatan

                                                               20 Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan

  atau hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Jika berbicara mengenai transaksi yang sebenarnya adalah berbicara tentang aspek materil dari suatu hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak (lihat Pasal 1338 juncto Pasal 1320 KUHPerdata), sehingga sepatutnya bukan berbicara tentang perbuatan hukumnya secara formil, kecuali untuk melakukan hubungan hukum yang menyangkut benda tidak bergerak. Sepanjang mengenai benda tidak bergerak maka hukum akan mengatur mengenai perbuatan hukumnya itu sendiri yakni harus dilakukan secara terang dan tunai. Oleh karena itu, keberadaan ketentuan- ketentuan hukum mengenai perikatan sebenarnya tetap valid karena ia akan mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi itu sendiri, baik dengan menggunakan media kertas (paper based) maupun dengan media sistem elektronik (electronic based). Namun dalam prakteknya seringkali disalahpahami oleh masyarakat bahwa yang namanya transaksi dagang harus dilakukan secara hitam diatas putih atau dikatakan diatas kertas dan harus ditandatangani serta bermaterai. Padahal hal tersebut sebenarmya adalah dimaksudkan agar lebih mempunyai nilai kekuatan pembuktian, jadi fokusnya bukanlah formil kesepakatannya, melainkan materill hubungan hukumnya itu sendiri.

C. Jenis-Jenis Perjanjian

  Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan- peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk

  21

  perjanjian itu: 1.

  Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini.

  2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan- ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang- undang bagi masing-masing pihak.

  Dalam KUH Perdata pasal 1234, perikatan dapat di bagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1.

  Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang. Ketentuan ini diatur dalam KUH Perdata pasal 1235 sampai dengan pasal 1238

  2. Perikatan untuk berbuat sesuatu. Hal ini diatur dalam pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

  3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu. Hal ini diatur dalam pasal 1240 KUH Perdata.

  Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau di luar KUH Perdata dan macam perjanjian dilihat dari lainnya, disini

                                                               21 R.M.Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Bandung: Tarsito,

  R.Subekti, membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya,

  22

  yaitu: 1.

  Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

  Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau memprtanggung jawabkan (ospehoriende voorwade).

  2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya.

  3. Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternative) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan.

  4. Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ialah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

  5. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi.

  6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

  Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut

  23

  berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut: 1.

  Perjanjian timbal balik Adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.

2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban

  Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan

  24

  keuntungan bagi salah satu pihak saja. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana atas terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum

                                                               23 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III, Op. Cit., hlm 29.

  3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend) Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

  Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, bedasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d

  XVIII KUH Perdata. Perjanjian umum yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat.Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian.

  4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan)

  5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan- perikatan.

  6. Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya.

  a.

  Perjanjian liberatoir yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada. b.

  Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.

  c.

  Perjanjian untung-untungan misalnya perjanjian asuransi pasal 1774 KUH Perdata.

  d.

  Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah).

D. Pengertian Leasing

  Istilah leasing berasal dari bahsa inggris yakni dari kata lease yang berarti sewa. Pengertian leasing menurut surat Pasal 1 Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/KPB/I/1974 tanggal

  7 Februari 1974 adalah:

  ”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka

waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.

  Definisi leasing dalam surat keputusan bersama tersebut difokuskan pada pengertian leasing pada financial lease, artinya bahwa penyewa guna usaha atau pada masa akhir kontrak diberikan hak opsi, yaitu untuk membeli objek atau memperpanjangnya. Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing

  25

  yang terkandung dalam keputusan surat bersama tersebut, yaitu: 1. penyediaan barang modal, 2. jangka waktu tertentu, 3. pembayaran dilakukan secara berkala, dan 4. adanya hak opsi, yaitu memilih untuk membeli objek atau memperpanjangnya.

  Dalam kamus Black Laws Dictionary, yang diartikan dengan lease adalah

  

any agreement which gives rises to relationship of landlord and tenant (real

property) or lessor and lesse (real or personal property) . Artinya, leasing adalah

  sebuah persetujuan untuk menimbulkan hubungan antara pemilik tanah dengan petani (benda tidak bergerak) atau antara lessor dengan lesse (benda tidak

  26 bergerak atau benda bergerak).

  Definisi ini difokuskan pada persetujuan tentang objek dan subjek leasing. Subjek leasing dalam definisi ini adalah pemilik tanah dan penyewa tanah atau antara lessor dengan lesse sebagai penyewa, sedangkan objeknya berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak.

  Subekti mengartikan leasing adalah perjanjian sewa-menyewa yang telah berkembang dikalangan pengusaha, dimana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat-alat

                                                               25 Salim. HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 139.

  perusahaan (mesin-mesin) termasuk sevis, pemeliharaan, dan lain-lain pada lesse

  27 (penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.

  Dalam rumusan tersebut, subekti mengkonstruksikan leasing sebahai berikut: 1. leasing sama dengan sewa-menyewa, 2. subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah pihak lessor dan lesse,

  3. objeknya perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk pemeliharaan dan lain-lain,

  4. adanya jangka waktu sewa.

  Kelemahan dari definisi ini adalah tidak mencantumkan hak opsi dan jumlah angsuran yang harus dibayarkan oleh pihak lesse, padahal hakikat dari lembaga leasing adalah ada atau tidak adanya hak opsi. Definisi lain juga dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang mengatakan bahwa leasing adalah suatu perjanjian dimana si penyewa barang modal (lesse) menyewa

  28 barang modal untuk usaha tertentu, dan jumlah angsuran tertentu.

  Definisi yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen Sofwan tersebut memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara para pihak lesse dengan pihak lessor. Oleh karena itu, antara lesse dengan pihak lessor terdapat hubungan hukum sewa menyewa. Objek yang disewa adalah barang modal. Jangka waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.

  Oleh karena adanya kelemahan dari berbagai definisi yang dipaparkan diatas, maka menurut Salim, H.S mengatakan bahwa lesing merupakan kontrak

                                                               27 28 R.Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit.,hlm. 55 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hukum perjanjian, Yogyakarta: Yayasan Badan sewa menyewa yang dibuat antara pihak lessor dengan lesse, dimana pihak lessor menyewakan kepada lesse barang-barang produksi yang harganya mahal, untuk digunakan oleh lesse, dan pihak lesse berkewajiban untuk membayar harga sewa sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dengan disertai hak opsi,

  29 yaitu untuk membeli atau memperpanjang sewa.

  Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi terakhir ini adalah: 1. adanya subjek hukum, yaitu pihak lessor dan lesse, 2. adanya objek, yaitu barang-barang modal yang harganya mahal, 3. adanya jangka waktu tertentu, 4. adanya sejumlah angsuran yang dimana pembayaran ini merupakan harga sewa barang tersebut, dan

  5. adanya hak opsi.

  Hak opsi merupakan hak dari lesse untuk membeli atau memperpanjang

  30

  objek leasing. Sedangkan cirri-ciri perjanjian leasing adalah sebagai berikut: 1. adanya hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur ekonomis barang yang menjadi objek perjanjian.

  2. adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian.

  Hak milik secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang menyewakan) dan hak menikmati benda diserahkan kepada lesse (penyewa).

  3. adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmatan yang diperoleh.

                                                               29 Salim. HS, Op. Cit., hlm. 141

E. Dasar Hukum Perjanjian Leasing

  Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian-perjanjian dan kegiatan

  leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat

  memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan

  31

  mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain: 1.

  Umum (General) a.

  Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang- Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa.

  b.

  Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asasasas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang-Undang, kepentingan atau kebijaksanaan umum.

  c.

Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata (Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang

                                                               31 Chapter II, Aspek Hukum Mengenai Leasing, diunduh pada

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/34529/3/Chapter%20II.pdf , tanggal 16 April tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee.

2. Khusus a.

  Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP.122/MK /IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.

  b.

  Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing.

  c.

  Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing.

  d.

  Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang: 1) Tata cara perizinan. 2) Pembatasan usaha. 3) Pembukaan. 4) Tingkat suku bunga. 5) Perpajakan. 6) Pengawasan dan Pembinaan.

  e.

  Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal

  1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa.

  f.

  Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal

  31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara asing pada perusahaan leasing.

  g.

  Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing.

  h.

  Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial

  leasing .

  i.

  Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing. j.

  Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi kebiasaan di negeri ini.

F. Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing

  Setiap transaksi leasing sekurang-kurangnya melibatkan 4 (empat) pihak

  32 yang berkepentingan, yaitu : lessor, lessee, supplier, dan bank atau kreditor.

  1. Lessor adalah perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Lessor dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam operating lease, lessor bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta pemberian jasa-jasa yang berkenaan dengan pemeliharaan serta pengoperasian barang modal tersebut.

  2. Lessee adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Lessee dalam financial lease bertujuan mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir kontrak, lessee memiliki hak opsi atas barang tersebut. Maksudnya, pihak lessee memiliki hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai sisa. Dalam operating lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan

                                                               32 Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, Bab 7. Sewa Guna Usaha (Leasing), hlm 74-75, diunduh pada http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/amanita%20novi%20yushita,%20s.e./sewa%20 peralatannya di samping tenaga operator dan perawatan alat tersebut tanpa risiko bagi lessee terhadap kerusakan.

  3. Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya, dalam operating

  lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor dengan

  pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara tunai atau berkala.

  4. Bank yang dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor, terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak supplier dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan menerima kredit dari bank, untuk memperoleh barang-barang yang nantinya akan dijual sebagai objek leasing kepada lessee atau lessor.

  Dalam setiap transaksi leasing di dalamnya selalu melibatkan 3 pihak utama, yaitu:

  1. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau di dalam hal ini pihak yang memiliki hak kepemilikan atas barang

  2. Lessee adalah peruahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir perjanjian

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 34

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit antara Hutagodang Estate d

0 0 21

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 1. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Pembayaran Dalam Perjanjian Pemborongan Kerja Penyediaan Makanan(Studi Pada Panti Sosial Pamardi Putra In

0 0 37

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian penyakit Filariasis - Chapter II (823.1Kb)

0 0 49

BAB II ASPEK – ASPEK HUKUM DALAM AKTA PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit - Chapter II (568.1Kb)

0 0 36

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN BORONGAN I. Pengertian Dan Pengaturan Tentang Perjanjian Pemborongan 1. Pengertian Perjanjian - Analisa Putusan Pailit Nomor 08/Pailit/2013/PN.NIAGA.Mdn

0 0 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Analisis Hukum Pelaksanaan Perjanjian Franchise Izzi Kebab Menurut Hukum Perdata (Studi Pada Izzi Kebab Jalan Letda Sujono Medan)

0 1 22