BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Perjanjian Pelayanan Kesehatan Pasien Kurang Mampu Antara Pihak Rumah Sakit Umum Dengan Pasien

  

BAB II

HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali

  ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan tersebut menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah : 1.

  Suatu perbuatan; 2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang); 3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang

   berjanji tersebut.

  Dari peristiwa ini,timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-

   janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.

  Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, hubungan hukum dalam 7 perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak sebagai akibat dari

  Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang lahir dari perjanjian, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 7 8 persetujuan yang dicapai oleh para pihak dan sebagai akibat perintah peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, serta dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan yang bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta kekayaan seseorang kepada ahli

   warisnya.

  Menurut M.Yahya Harahap, “perjanjian mengandung suatu pengertian tentang hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih,yang memberikan sesuatu hal pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

   menunaikan prestasi.

  Subekti mengatakan bahwa “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu

   saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal”.

  Dengan demikian perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih dalam melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa : “semua perjanjian itu yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- 9 undang bagi mereka yang membuatnya.” Akan tetapi hal tersebut harus 10 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. Cit. hlm. 17 M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm.

  20 11 terlebih dahulu memenuhi ketentuan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menegaskan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, maka diperlukan 4(empat) syarat yaitu : a.

  Sepakat mereka yang mengikatkan diri; b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; c. Suatu hal tertentu; d. Sesuatu sebab yang halal;

  Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Persyaratan sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat mengenai orang yang melakukan perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan tentang suatu hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi,maka akibat hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan sendirinya menjadi batal dengan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya perjanjian tersebut. Hal-hal inilah yang merupakan unsur-unsur

   penting dalam mengadakan perjanjian.

  2. Unsur-Unsur Perjanjian

  12 C.S.T.Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD Dan KUHPerdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1994,

  Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yangesensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.

  Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur,yaitu : a.

  Unsur Esensialia, yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsuresensialia ini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal yang diperjanjikan.

  b.

  Unsur Naturalia, yaitu unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUH Perdata bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.

  c.

  Unsur Aksidentalia, yaitu unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya.Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan.Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam kontrak tersebut.

   3.

   Asas-Asas Hukum Perjanjian

  Dari sekian banyak asas hukum yang ada,fokus perhatian harus diberikan pada tiga asas pokok. Asas-asas pokok tersebut yang dipandang sebagai tiang penyangga hukum kontrak akan mengungkap latar belakang pola pikir yang melandasi hukum kontrak. Mengingat sifat dasariah dari asas-asas pokok (utama) tersebut,sering disebut juga sebagai asas-asas dasar (grondbeginselen).

   a.

   Asas Konsensualisme

  Asas-asas pokok yang melingkupi hukum kontrak adalah : Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.

  

1.

  Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; Ketentuan yang mengatur mengenai konsesualitas ini dapat kita temui dalam rumusan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

  Perdata,yang berbunyi : “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian,diperlukan empat syarat : 2.

  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 13 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada,

  Jakarta, 2007, hlm. 31-32 14 Herlien Budiono, Asas-asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 95 15

3. Suatu pokok persoalan tertentu; 4.

  Suatu sebab yang tidak terlarang”.

  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan lebih jauh mengenai formalitas kesepakatan yang harus dipenuhi,kecuali dalam berbagai ketentuan khusus,seperti misalnya mengenai hibah yang diatur dalam Pasal 1683 Kitab Undang-Undang

16 Hukum Perdata b.

  

Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian (verbindende Kracht der

Overeenkomst)

  Bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati

   dalam perjanjian yang mereka buat.

  Di dalam ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata ditemukan pengungkapan dari asas kekuatan mengikat: “Persetujuan-persetujuan tidak (hanya) mengikat untuk apa-apa yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya,(tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan,diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang).

  Asas yang menyatakan bahwa suatu perjanjian mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual, serta bahwa suatu kesepakatan harus dipenuhi, dianggap sudah terberi dan kita tidak mempertanyakannya kembali. Kehidupan kemasyarakatan hanya mungkin berjalan dengan 16 baik jika seseorang dapat mempercayai perkataan orang lain. Ilmu 17 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op. Cit. hlm. 35

  pengetahuan kiranya tidak mungkin dapat memberikan penjelasan lebih,terkecuali bahwa kontrak memang mengikat karena merupakan suatu janji,serupa dengan undang-undang karena undang-undang tersebut dipandang sebagai perintah pembuat undang-undang. Jika kepastian terpenuhinya kesepakatan kontraktual ditiadakan, hal itu akan sekaligus menghancurkan seluruh sistem pertukaran (benda-jasa) yang ada dalam masyarakat. Oleh sebab itu, “kesetiaan pada janji yang diberikan merupakan bagian dari persyaratan yang dituntut akal budi

   alamiah”.

  c. Asas Kebebasan berkontrak

  Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata,yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3) menentukan isi perjanjan, pelaksanaan dan persyaratannya; (4)

   menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

  d. Bentuk Perjanjian Bebas

  Bentuk perjanjian bebas,artinya perjanjian tidak terikat pada bentuk tertentu. Jadi boleh diadakan secara tertulis, boleh dengan lisan 18 dan sebagainya. Terhadap asas bentuk perjanjian bebas ini terdapat 19 Ibid ., hlm. 101

  Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis [BW], Sinar Grafika, Jakarta, kekecualian, yakni adanya perjanjian formil, misalnya: pendirian PT,

   perjanjian jual beli tanah, dan sebagainya.

  e. Asas Personalia

  Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 KUH Perdata, yang berbunyi “Pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu,subjek hukum pribadi,hanya akan

   berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.

  f. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda berhubungan dengan akibat perjanjian.

  Hal ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

   undang-undang”.

  Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa istilah. Pertama,istilah ‘semua perjanjian’ berarti bahwa pembentuk undang- undang menunjukkan bahwa perjanjian dimaksud bukanlah semata- mata perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian yang tidak bernama. Selain itu, juga mengandung suatu asas partij autonomie. Kedua, istilah ‘secara sah’, artinya bahwa pembentuk undang-undang 20 menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi 21 Komariah, Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2010, hlm. 173 22 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, op. Cit. hlm. 15 persyaratan yang telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas kepastian hukum. Ketiga, istilah “itikad baik” hal ini berarti memberi perlindungan hukum pada debitor dan kedudukan antara kreditor dan debitor menjadi seimbang.

   4.

   Syarat Sahnya Perjanjian

  Syarat-syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam ketentuan

  Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat: a.

  Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b.

  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Adanya suatu pokok persoalan tertentu; d.

  Suatu sebab yang tidak terlarang; Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang,digolongkan ke dalam:

  1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif),dan

  2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

   Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek

  perjanjian. Syarat subjektif perjanjian meliputi, antara lain:

  a)

Adanya kesepakatan/izin (toesteming) kedua belah pihak

23 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional,

  Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 228 24

  Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan antara para pihak,yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak; tidak ada

   paksaan dan lainnya.

  Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan,bagaimana cara melaksanakannya,kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu

   suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki.

b) Kedua belah pihak harus cakap bertindak

  Cakap bertindak,yaitu kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakuan perbuatan hukum. Orang yang cakap atau wenang adalah orang dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah). Sedangkan orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum menurut pasal 1330 KUH Perdata,meliputi: (a) anak di bawah umur, (b) orang dalam pengampuan (curandus), (c) orang-orang perempuan

  

  [istri] Selanjutnya Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan objek perjanjian, yang terdiri dari :

  c) 25 Adanya suatu pokok persoalan tertentu 26 Titik Triwulan Tutik, op. Cit. hlm. 225 27 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, op. Cit. hlm. 95

  Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian,haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang,jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksud dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu harus ada atau sudah ada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat,tidak diharuskan

   oleh undang-undang.

d) Adanya sebab yang halal(geoorloofde oorzaak)

  Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai ‘sebab’

   [oorzaak, causa] . Pengertian kausa atau sebab (oorzaak) dalam

  Pasal 1320 harus dihubungkan dalam konteks Pasal 1335 dan 1337

   BW. Dalam Pasal 1335 BW ditegaskan bahwa,” suatu perjanjian

  yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.”. Adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan,ketertiban umum,dan kesusilaan. Dalam Pasal 1337 BW ditegaskan bahwa, “suatu sebab adalah terlarang,apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” 5.

   Wanprestasi 28 29 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermassa, Jakarta, 2001, hlm. 136 30 Titik Triwulan Tutik, op. Cit. hlm. 226 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

  Wanprestasi atau pun yang disebut juga dengan istilah breach of

  

contract adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana

  mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

  Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

  Wanprestasi dapat berupa 4 (empat) macam, yaitu: 1.

  Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; 4.

  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

  

  dilakukannya; 6.

   Berakhirnya Perjanjian

  Dalam undang-undang telah ditentukan bahwa semua persetujuan yang sah mempunyai kekuatan sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, persetujuan dalam perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali atas kesepakatan diantara kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang cukup untuk itu, karena itu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

  31

  Menurut ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata sesuatu perikatan baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang dapat berakhir karena, beberapa hal antara lain : a.

  Pembayaran (betaling), yaitu jika kewajibannya terhadap perikatan itu telah dipenuhi (pasal 1382 KUH Perdata); b.

  Penawaran bayar tunai diikuti penyimpanan/penitipan (consignatie), yaitu pembayaran tunai yang diberikan oleh debitor, namun tidak diterima kreditor kemudian oleh debitor disimpan pada pengadilan (Pasal 1404 KUH Perdata); c. Pembaruan utang (novasi), yaitu apabila utang yang lama digantikan oleh utang yang baru (Pasal 1416 dan 1417 KUH Perdata); d.

  Kompensasi atau imbalan (vergelijking), yaitu apabila kedua belah pihak saling berutang, maka utang mereka masing-masing diperhitungkan; e.

  Percampuran utang (schuldvermenging), yaitu apabila pada suatu perikatan kedudukan kreditor dan debitor ada di satu tangan seperti pada warisan (Pasal 1436 dan 1437 KUH Perdata); f. Pembebasan utang (kwijtschelding der schuld), yaitu apabila kreditor membebaskan segala utang-utang dan kewajiban pihak debitor

  (Pasal1438-1441 KUH Perdata); g. Batal dan Pembatalan (nietigheid ot te niet doening), yaitu apabila perikatan itu batal atau dibatalkan; misalnya terdapat paksaan (Pasal 1446

  KUH Perdata); h.

  Hilangnya benda yang diperjanjikan (het vergaan der verschul digde

  zaak) , yaitu apabila benda yang diperjanjikan binasa, hilang atau menjadi

  tidak dapat diperdagangkan (Pasal 1444 – 1445 KUH Perdata); i. Timbul syarat yang membatalkan (door werking en ontbindende

  voorwaarde) , yaitu ketentuan isi perjanjian yang disetujui kedua belah

  pihak; j. Kedaluarsa (verjaring).

32 B. Perjanjian Jaminan Kesehatan Nasional

  Dasar Hukum a.

  Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (3) dan Pasal 34 i.

  Pasal 28 H ayat (3) setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. ii.

  Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945ayat (1) Fakir miskin dan anak- anak terlantar dipelihara oleh negara iii.

  Ayat (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan iv. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak b.

  Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

  32 c.

  Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial d. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran e. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan f. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit g.

  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional h. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara i. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah j. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah k.

  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara l. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

  Kewenangan Pusat dan Daerah

   A.

   Pembentukan Jaminan Kesehatan Nasional

  Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera,adil, dan makmur. Untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.

33 Mundiharno dan Hasbullah Thabrany, Peta Jalan Menuju Jaminan

  Kesehatan Nasional 2012-2019, Dewan Jaminan Sosial Nasional, Jakarta, 2012,

  Pada tanggal 19 Oktober 2004, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial (UU SJSN). Dalam Pasal 5 ayat (1) UU SJSN mengatur pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yaitu: “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang”.

  Pada tanggal 25 November 2011, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang BPJS merupakan pelaksanaan

  Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN pasca putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 007/PUU-III/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia.

  UU BPJS membentuk BPJS dan mengubah kelembagaan PT ASKES (Persero), PT JAMSOSTEK (Persero). Transformasi kelembagaan diikuti adanya pengalihan peserta,program,aset, dan liabilitas, serta hak dan kewajiban. UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia termasuk pekerja asing yang bekerja di Indonesia sekurang-kurangnya enam bulan (Pasal 6 ayat (1) UU BPJS). BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian bagi seluruh tenaga kerja di Indonesia (Pasal 6 ayat (2) UU BPJS).

  Pada tanggal 1 Januari 2014, PT ASKES (Persero) dinyatakan bubar tanpa likuidasi. Semua aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum PT ASKES (Persero) menjadi aset dan liabilitas serta hak dan kewajiban hukum BPJS Kesehatan. Semua pegawai PT ASKES (Persero) menjadi pegawai BPJS Kesehatan. Menteri Badan Usaha Milik Negara selaku Rapat Umum Pemegang Saham mengesahkan laporan posisi keuangan penutup PT ASKES (Persero) setelah dilakukan audit oleh kantor akuntan publik. Menteri Keuangan mengesahkan laporan posisi keuangan pembuka BPJS Kesehatan dan laporan posisi keuangan pembuka dana jaminan kesehatan.

  BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan UU SJSN. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) yang diselenggarakan oleh Kementrian Kesehatan, program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diselenggarakan oleh PT JAMSOSTEK, serta program pelayanan kesehatan Tentara Republik Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia dialihkan kepada BPJS Kesehatan (Pasal 60 ayat (1), ayat (2), ayat(3) UU

34 BPJS).

B. Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional

  Tujuan Jaminan Kesehatan Nasional untuk memberikan arah dan langkah-langkah yang perlu dilakukan secara sistematis, konsisten, koheren, terpadu dan terukur dari waktu ke waktu dalam rangka : 1. Mempersiapkan beroperasinya BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014

  

2. Tercapainya jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia 3.

  Terselenggaranya jaminan kesehatan sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, UU No 24 Tahun

   2011 tentang BPJS, serta peraturan pelaksananya.

  Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatakan “Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat dan pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan”.

C. Ruang Lingkup Peserta Jaminan Kesehatan Nasional

  Salah satu prinsip penyelenggaraan jaminan sosial, termasuk didalamnya jaminan kesehatan, adalah kepesertaan bersifat wajib. Pasal 4 Undang-Undang SJSN menyatakan bahwa “Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip : 1. Gotong-royong; 2.

  Nirlaba; 3. Keterbukaan; 4. Kehati-hatian; 5. Akuntabilitas; 6. Portabilitas;

  7. Kepesertaan bersifat wajib; 8. Dana amanat; dan 9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta”.

  Penjelasan Pasal 4 UU SJSN butir (g) menyatakan bahwa prinsip kepesertaan wajib dalam ketentuan ini adalah prinsip yang mengharuskan seluruh penduduk menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap. Sedangkan yang dimaksud penduduk adalah WNI yang 35 berada di dalam maupun di luar negeri dan Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia untuk masa paling sedikit 6 (enam) bulan. Untuk program jangka pendek seperti Jaminan Kesehatan, WNA yang bekerja di Indonesia wajib membayaar iuran atau menjadi peserta.

   a.

  Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran, meliputi : b.

  Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari :

  1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya a.

  Pegawai Negeri Sipil; b. Anggota TNI; c. Anggota Polri; d. Pejabat Negara; e. Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri; f. Pegawai Swasta; dan g.

  Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan f yang menerima upah.

  Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat (enam) bulan.

  2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya a.

  Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan 36 b.

  Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima upah. Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

3. Bukan pekerja dan anggota keluarganya a.

  Investor; b. Pemberi Kerja; c. Penerima Pensiun, terdiri dari :

  1.1 Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;

  1.2 Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

  1.3 Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;

  1.4 Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak pensiun;

  1.5 Penerima pensiun lain; dan

  1.6 Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain yang mendapat hak pensiun.

  d.

  Veteran; e. Perintis Kemerdekaan; f. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis

  Kemerdekaan; dan g. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan e

   yang mampu membayar iuran. 37 Cakupan Kepesertaan Untuk Penduduk Miskin dan Tidak Mampu Hadi Setia Tunggal, Peraturan Perundang-undangan Badan Penyelenggara

  Sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk penduduk miskin dan tidak mampu melalui program yang kini dikenal dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dengan adanya Program Jamkesmas dan Keputusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 007/PUU-III/2005, berbagai Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) menyelenggarakan program serupa yang dikenal dengan nama Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah). Pengelolaan program Jamkesda juga menggunakan skema bantuan sosial, dimana dana penyelenggaraan Jamkesda sepenuhnya berasal dari APBD. Namun perlu dicatat bahwa Ketetapan Mahkamah Konstitusi diatas mengatur BPJS di Daerah, bukan program Jamkesda, yang tidak selalu dikelola oleh BPJS di Daerah.

  Sebagian besar program Jamkesda menjamin penduduk tidak mampu yang tidak tercakup dalam kuota program Jamkesmas. Jumlah penduduk yang tercakup dalam skema Jamkesda/PJKMU (nama Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Umum-PJKMU-digunakan oleh PT Askes yang dikontrak Pemda untuk menjalankan program Jamkesda) diperkirakan mencapai 31,6 juta jiwa. Saat ini diperkirakan setidaknya 350 Kabupaten/Kota menyelenggarakan program jaminan kesehatan daerah (dengan berbagai variasi nama, layanan yang dijamin,

   besar dana APBD per kapita,dan pola pengelolaannya).

38 Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI, Hasil

D. Program Jaminan Kesehatan Nasional

  Di Indonesia sebenarnya telah ada beberapa program jaminan sosial yang diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, namun kepesertaan program tersebut baru mencakup sebagian dari masyarakat yang bekerja di sektor formal. Sebagian besar lainnya, terutama yang bekerja di sektor informal, belum memperoleh perlindungan sosial. Selain itu, program-program tersebut belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan yang adil pada peserta dan manfaat yang diberikan kepada peserta masih belum memadai untuk menjamin kesejahteraan mereka.

  Berdasarkan kesadaran akan keterbatasan tersebut dan adanya mandat Ketetapan MPR RI nomor X/MPR/2001 kepada Presiden RI untuk mengembangkan SJSN dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. Presiden mengambil inisiatif menyusun SJSN. SJSN disusun berlandaskan prinsip-prinsip yang mampu memenuhi keadilan, keberpihakan pada masyarakat banyak (equity egaliter), transparansi, akuntabilitas, kehati-hatian (prudentiality) dan layak. Berdasarkan identifikasi kebutuhan dasar rakyat, SJSN akan mengembangkan dan memperluas jaminan melalui 6 (enam) program, sebagai berikut: 1.

  Jaminan Kesehatan (JK) Program Jaminan Kesehatan adalah program yang memberikan manfaat berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif, sesuai dengan kebutuhan medik yang diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan meningkatkan kesehatan peserta dan anggota keluarganya.

  2. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) Program Jaminan Kecelakaan Kerja merupakan manfaat pelayanan pemulihan kesehatan yang terjadi akibat dari suatu kecelakaan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Selain itu, program ini juga memberikan manfaat dalam bentuk santunan uang baikpembayaran yang dilakukan sekaligus ( lump-sum) ataupun secara berkala bagi peserta yang mengalami cacat atau meninggal dunia yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja.

  3. Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (JPHK) Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja merupakan dana tunai yang dibayarkan oleh badan penyelenggara kepada tenaga kerja yang minimal bekerja telah 6 bulan, sesuai dengan perhitungan masa kerjanya. Pembayaran dilakukan sekaligus atau dibagi selama maksimal 6 bulan untuk menjamin kebutuhan hidup minimal sehari- hari setelah putus hubungan kerja. Dana ini berasal dari iuran peserta dan pemberi kerja yang dipungut selama peserta masih bekerja. Namun program JPHK ini tidak dimasukkan kedalam RUU SJSN ini karena telah diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

  4. Jaminan Hari Tua (JHT) Program Jaminan Hari Tua merupakan program yang membayarkan uang tunai secara sekaligus sebelum seorang peserta memasuki masa pensiun. Pemberian uang tunai lump-sum ini dimaksudkan untuk membekali peserta dengan uang tunai dalam memasuki usia pensiun yang dapat digunakan untuk membeli rumah atau modal untuk berusaha. Apabila peserta meninggal dunia sebelum memasuki masa pensiun, maka manfaat program dibayarkan kepada janda/duda, anak atau ahli waris peserta yang sah.

  5. Jaminan Pensiun (JP) Program Pensiun merupakan program yang membayaran uang secara berkala untuk jangka waktu tertentu atau sampai peserta meninggal dunia sebagai substitusi dari penurunan/hilangnya penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun atau menderita cacat total tetap yang menyebabkan ia tidak mampu lagi bekerja. Apabila peserta meninggal dunia sebelum ia memasuki usia pensiun, maka manfaat dibayarkan kepada ahli warisnya.

  6. Jaminan Kematian (JKm) Program Jaminan Kematian membayarkan sejumlah uang tunai kepada ahli waris yang sah setelah peserta meninggal dunia secara alamiah atau kecelakaan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Manfaat jaminan kematian ini diharapkan dapat meringankan beban ahli waris peserta yang ditinggalkan yang dapat digunakan untuk membiayai penguburan atau keperluan lain yang terkait dengan

   kematian peserta.

   pada

Dokumen yang terkait

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 Kecamatan Gunung Maligas - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN 1.1. - Penanganan Kebersihan di Daerah Tujuan Wisata (Studi Deskriptif Mengenai Pengelolaan Sampah di Daerah Tujuan Wisata Pemandian Karang Anyar Kecamatan Gunung Maligas Kabupaten Simalungun.

0 0 38

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cahaya - Perancangan Dan Pembuatan Alat Pendeteksi Keberadaan Alfatokoferol Pada Paprika Hijau Dengan Menggunakan Sensor Warna TCS3200

0 0 29

BAB II PROFIL INSTANSI - Strategi Optimalisasi Pendapatan Dinas Pasar Dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah

0 0 10

BAB II PROFIL PERUSAHAAN - Analisis Perbandingan Anggaran Dan Realisasi Dana Dekonsentrasi Pada Dinas Pertambangan Dan Energi Provinsi Sumatera Utara

0 0 24

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu Rumah Tangga dengan Produktivitas Kerja dalam Pembibitan Mangrove Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

0 0 13

Hubungan Karakteristik Sosial Ekonomi Ibu Rumah Tangga dengan Produktivitas Kerja dalam Pembibitan Mangrove Desa Pantai Gading, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Aparat Kepolisian Yang Menyebabkan Kematian(Studi Putusan Nomor : 370/Pid.B/2013/Pn.Sim)

0 0 29

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN PENJUALAN OBAT - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsu

0 0 29

1 BAB I PENDAHULUAN - Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Apotek Terhadap Obat Yang Mengandung Cacat Tersembunyi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Pada Apotek Yakin Sehat)

0 0 17