PELAKSANAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DILIHAT PELAKSANAAN TRANSAKSI

PELAKSANAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DILIHAT DARI HUKUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Nining Latianingsih
nilaahen@yahoo.co.id
ABSTRAK
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini telah
mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-saja fasilitas telekomunikasi yang ada,
serta canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua
media informasi. Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung perkembangan
teknologi sehingga membuat perdagangan menjadi lancar dan mudah untuk diakses oleh
setiap orang ataupun perusahaan. Sampai saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia
ada 5 juta orang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan
transaksi elektronik dilihat dari hukum Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia.
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative serta dilakukan
secara deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif untuk melihat dan menganalisa
norma-norma hukum (normative analisis) dalam peraturan perundang-undangan yang ada.
Hasil yang diperoleh bahwa pelaksanaan transaksi elektronik dalam perkembangan bisnis
online di Indonesia sangat pesat, perkembangannya meliputi berbagai macam bidang usaha,
tidak hanya yang disebutkan diatas tetapi juga bidang usaha lainnya. Di Indonesia sendiri
banyak sekali situs yang sudah mulai go Internasional dan mempunyai jutaan member dan
ribuan visitor setiap harinya. berbagai situs tersebut ada yang murni Online business ada

yang semi online atau bisnis offline hanya saja menggunakan pemasaran online. Dengan
kata lain Bisnis online di Indonesia sudah dikenal dan diperhitungkan di dunia. Sedangkan
dalam Hukum Perlindungan Konsumen dalam transaksi elektronik di Indonesia saat ini
adalah masih banyak konsumen yang hanya paham bahwa transaksi elektronik sebatas
belanja di internet, tanpa berusaha memahami syarat-syarat yang dibuat pelaku usaha ,
sedangkan konsumen selalu berada pada posisi yang salah sehingga dibebankan untuk
mengganti kerugian pada transaksi elektronik .
Kata Kunci: Transaksi elektronik, Pelaku Usaha, perlindungan konsumen, Bisnis
Online

IMPLEMENTATION OF ELECTRONIC TRANSACTIONS
VIEWS FROM THE LAW OF CONSUMER PROTECTION LAW
Nining Latianingsih
nilaahen@yahoo.co.id

ABSTRACT
With the development of information technology and telecommunications today has led to the
various assorted services also only existing telecommunication facilities, as well as
sophisticated information technology products that are able to integrate all of the media
information. Computer as tool of man with the supported technology development so as to

make the trade to be smooth and easy to access by any person or company. The number of
internet users in Indonesia there's 5 million people. Problems in the study is how the
implementation of the electronic transactions law of consumer protection Law in Indonesia.
The methods used in this research is the juridical normative and descriptive analysis is done
with a qualitative approach to view and analyze the legal norms (normative analysis) in
existing legislation. The results obtained that the conduct of electronic transactions in the
development of online business in Indonesia is very rapidly, the development encompasses a
wide range of businesses, not just those mentioned above but also to other businesses. In
Indonesia itself lots of sites that have started to go international and has millions of members
and thousands of visitor each day. many of these sites there is a pure Online business there
are the semi online or offline business just using online marketing. In other words, online
business in Indonesia has been known and taken into account in the world. While in the legal
protection of Consumers in electronic transactions in Indonesia at present is still a lot of
consumers who just learned that the electronic transactions are limited to shopping on the
internet, without trying to understand the conditions that made the trade, while consumers
have always been on the wrong position so charged to indemnify on electronic transactions.
Keywords: electronic transactions, Trade, consumer protection, Online business

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang

Perkembangan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, mengakibatkan semakin
beragamnya aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin
canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media
informasi (2008:1). Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global
communication network) dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia
semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut
kedaulatan dan tatananan masyarakatnya. Dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru
tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat Informasi, seolah
masih tampak prematur untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut(group riset
Universitas Indonesia 1999:1)
Hal ini membuat perdagangan dengan transaksi elektronik (Electronic ommerce)
menjadi pilihan bagi para pelaku bisnis untuk melancarkan transaksi perdagangannya karena
sifat jaringan publik yang mudah untuk diakses oleh setiap orang ataupun perusahaan.
Baberapa riset yang telah dilakukan untuk Transaksi elektronik Sesuai amanat pasal
1367 KUH Perdata dan UU ITE tetap terbuka peluang bagi hakim untuk menerapkan prinsip
strict liability demi kepentingan umum yang lebih besar(hukum on line). Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Edmon Makarim, Pjs Staf Ahli Bidang Hukum Menteri
Komunikasi dan Informatika, mengenai pertanggungjawaban hukum penyelenggara dalam
sistem elektronik. Pada dasarnya sistem elektronik menggunakan prinsip praduga bersalah,
atau prinsip pertanggungjawaban berdasarkan atas kelalaian (negligence). Disebut juga

presumed liability yaitu dengan menyimpulkan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menganut prinsip praduga bersalah.
Simpulan ini bisa ditarik dari rumusan pasal 15: Setiap penyelenggara sistem elektronik
harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab
terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Penyelenggara diposisikan
dalam keadaan bersalah yang dibebankan kewajiban untuk selalu bertanggung jawab, kecuali
bila dapat dibuktikan bahwa kesalahan atas sistem elektronik bukan merupakan
kesalahannya.
.Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Prinsip
Tanggung Jawab dalam UU ITE dapat diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen.
serta Terwujudnya hukum penyelesaian sengketa dalam dalam transaksi elektronik bagi
pelaku usaha.
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative (Mukti Fajar. 2010:34) yaitu
penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma; sistem
norma dimaksudkan akan menggali asas-asas hukum sekaligus mengkaji tentang harmonisasi
peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. Di samping itu,
untuk mengetahui penerapan suatu aturan dalam keadaan konkret, akan dilakukan penelaahan
terhadap permasalahan yang berkaitan dengan transaksi elektronik khususnya jual beli yang
dilakukan dengan menggunakan transaksi elektronik.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis(Rianto adi.2004:130) yaitu memaparkan data
hasil pengamatan tanpa diadakan pengujian hipotesis-hipotesis serta eksploratif (Rianto adi.
2004:3)

HASIL ANALISIS
Titik sentral pembahasan tanggung jawab pengusaha pada umumnya adalah berkaitan
dengan teori tanggung jawab (liability principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip
tanggung jawab tertentu tergantung kepada keadaan tertentu. Ada empat teori tentang
tanggung jawab yang dikenal dan dapat diterapkan pada pengusaha dalam hubungannya
dengan tanggung jawab atas terjadinya pelaksanaan perlindungan konsumen. Prinsip tersebut
adalah prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault/negligence), atas dasar
praduga (presumption of liability), tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (liability based
on breach of contract) atau tanggung jawab mutlak (strict / absolut liability) yang lebih lanjut
diuraikan dibawah ini (Raharjo 2006:51)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut teori ini berdasarkan Pasal 19 ayat
(5) yang menyatakan, bahwa : “Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab kerusakan jika
dapat dibuktikannya bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen”. Sementara itu,
dalam hukum pidana, khususnya tentang pemberantasan korupsi sesuai Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971, asas ini telah dipakai, dan kemudian berdasarkan undang-undang yang
baru, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, asas ini dipertegas. Asas demikian ini
banyak mengundang perdebatan, terutama jika dikaitkan dengan prinsip praduga tidak
bersalah (presumption of innocence).
Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab yang didasarkan semata-mata
pada adanya unsur kesalahan dan presumption of liability adalah bahwa di dalam prinsip
kedua beban pembuktian beralih dari penggugat (korban) kepada pengangkut. Jadi,
berdasarkan konsep presumption of liability yang diterapkan dalam Konvensi Warsawa
atau Ordonansi, pengangkut prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang timbul,
kecuali dapat membuktikan pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk
menghindari kerugian tersebut atau bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Jadi,
pihak penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan tanpa
harus membuktikan adanya kesalahan di pihak penggugat.
Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam
prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali
apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Oleh karenanya,
tanggung jawab ini adalah bersifat mutlak.
Teori tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau
dengan kata lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu
yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak.
Mulanya hukum mengenai tanggung jawab akibat perbuatan melawan hukum sama sekali

tidak memperhatikan masalah tanggung jawabn moral atau unsur kesalahan dari pelaku. Atas
hal tersebut, Ames mengemukakan bahwa dengan berkembangnya kesadaran moral dari
masyarakat, maka standar yang bersifat etika tentang perbuatan seseorang telah
menggantikan standar yang tidak berdasarkan etika. Kemudian formula seorang atas
risikonya sendiri (a man acts at his peril) atau seseorang selalu bertanggung jawab meskipun
tidak bersalah (liability without fault) telah diganti dengan dogma tiada tanggung jawab tanpa
kesalahan (no liability without fault).
Dalam masyarakat modern, tanggung jawab mutlak atau tanggung jawab yang tidak
didasarkan pada adanya unsur kesalahan harus dipandang dari pertimbangan nilai sosial
secara luas, bahwa seseorang yang melakukan kegiatan untuk memperoleh keuntungan bagi
dirinya sendiri harus menanggung risiko akibat dari kegiatannya tersebut. Menurut Komar
Kantaatmaja, bahwa tanggung jawab profesional adalah tanggung jawab hukum (legal
liability) dalam hubungan dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung
jawab profesional ini dapat timbul, karena para penyedia jasa profesional tidak memenuhi

perjanjian yang disepakati dengan klien atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut
mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.
Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan
sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma
serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat.

Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga
pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala
resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi
menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain
dan berdosa kepada Tuhan.
Tanggung jawab pelaku usaha baru sampai pada batas produk yang berbahaya seperti
racun, alat peledak, senjata, namun dalam perkembangannya tanggung jawab tersebut
diperluas pada produk-produk yang tidak berbahaya tetapi dapat menimbulkan kematian
apabila terdapat kesalahan dalam proses produksi yang diakuinya, misalnya pada produksi
makanan, kendaraan dan lain-lain.
Perkembangan pertanggungjawaban produk bagi konsumen Indonesia didasarkan
pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dalam hal ini menggunakan
beberapa jenis pertanggunjawaban hukum, yaitu salah satunya adalah product liability.
Adapun pihak yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada konsumen di dalam
semua jenis pertanggungjawaban hukum tersebut adalah pelaku usaha, yaitu apabila
barang/jasa yang diproduksi dan dan/atau diperdagangkan menimbulkan kerugian di pihak
konsumen. Oleh karena itu, semua jenis pertanggungjawaban hukum tersebut dinamakan
subject liability, yaitu pertanggungjawaban hukum dari subjek hukum (orang perseorangan
atau badan hukum).
Product liability adalah pertanggungjawaban perdata dari pelaku usaha barang

(dapat termasuk pihak lain dalam mata rantai distribusi) untuk mengganti kerugian kepada
pihak tertentu (dapat pembeli, pemakai, atau bahkan pihak ketiga), atas kerusakan benda,
cedera dan/atau kematian sebagai akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku
usaha tersebut. Product liability adalah lembaga hukum keperdataan yang merupakan
deviasi dari lembaga hukum perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, product liability
yang bertujuan melindungi konsumen meniadakan kewajiban konsumen untuk membuktikan
kesalahan pelaku usaha, dan sebaliknya pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa ia
tidak melakukan kesalahan. Konsekuensi logis dari konstruksi hukum bahwa pelaku usaha
harus membuktikan bahwa ia tidak bersalahan adalah bahwa pelaku usaha dianggap telah
melakukan kesalahan seketika setelah konsumen mengalami kerugian akibat menggunakan
produknya.
Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya pelaku
usaha), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat
bisa terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan/atau pelabelan. Adapun yang dimaksud
dengan kelalaian adalah bila pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan, ia cukup
berhati-hati, dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau
mendistribusikan suatu barang.
Dengan diaturnya doktrin product liability dalam tata hukum, bila perasaan hukum
dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan ketentuan di dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur tentang product liability menggunakan struktur
pertanggungjawaban perdata. Dalam rangka harmonisasi hukum yang mengatur tentang

product liability di kawasan perdagangan bebas, maka cenderung mengunggulkan
penggunaan pertanggungjawaban langsung sebagai deviasai dari pertanggungjawaban
kesalahan, karena pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan dari konsumen kepada
pelaku usaha merupkan salah satu upaya melindungi konsumen.

Product liability merupakan lembaga hukum yang relatiF baru untuk Indonesia.
Namun demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah menganut product liability
yang menggunakan pertanggungjawaban mutlak sebagai deviasi dari pertangungjawaan
kesalahan disertai pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan dari konsumen kepada
pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan tujuan perlindungan konsumen, baik secara nasional
maupun secara regional, di kawasan perdagangan bebas. Diterapkannya product liability
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 terhadap pelaku usaha yang memperoduksi
barang dan kemudian ternyata barang tersebut menimbulkan kerusakan, pencemaran
dan/atau kerugian pada badan, jiwa dan barang milik konsumen, maka konsekuensi
diterapkannya product liability pelaku usaha dapat dikenakan sanksi sebagai berikut :
Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha (dalam
hal ini pelaku usaha) yang produknya merugikan konsumen, harus memberikan ganti rugiganti rugi berupa : Pengembalian uang., Penggantian barang yang sejenis atau yang setara
nilainya., Perawatan kesehatan., Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Intisari dari pertanggungjawaban produk ialah pertanggungjawaban atas dasar

perbuatan melawan hukum, maka keempat unsur di dalam pertanggungjawaban atas dasar
perbuatan melawan hukum, yaitu : Unsur perbuatan melawan hukum., Unsur kesalahan.,
Unsur kerugian., Unsur hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan ganti rugi
yang timbul.
Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab
antara pelaku usaha dan konsumen, di mana pelaku usaha yang pada awalnya menerapkan
strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi
consumer oriented. Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran
dunia akan martabat manusia yang perlu dihormati akan hak asasinya yang harus
diperjuangkan dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia.
Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industri dan
perdagangan, sehingga mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat
venditor. Suatu prinsip hubungan yang semula menekankan pada kesadaran konsumen
sendiri untuk melindungi dirinya, berubah menjadi kesadaran pelaku usaha untuk melindungi
konsumen. Dalam suasana perdagangan ini, product liability sebagai instrumen hukum
perlindungan konsumen lahir.
Sudargo Gautama dalam konvensi di Den Haag tahun 1972 juga membicarakan
tentang tanggung jawab produk, namun pada konvensi tersebut, beliau tidak memberikan
terjemahan atau istilah untuk hal tersebut. Secara bergantian dipakai istilah “product liability”
dan “tanggung jawab untuk hasil produksi” juga “tanggung jawab pelaku usaha terhadap
hasil produksinya”. Intinya istilah product liability diterjemahkan secara bebas dalam Bahasa
Indonesia secara populer disebut dengan pertanggungjawaban produk sebagai suatu konsep
hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan
jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen
timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab
pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi.
Secara umum tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para pelaku usaha untuk
produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau mengakibatkan
kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Selanjutnya, dari definisi tersebut
dapat dijabarkan lagi bahwa tanggung jawab yang dimaksud di sini meliputi tanggung jawab
kontraktuil atau berdasarkan suatu perjanjian dan tanggung jawab perundang-undangan atas
dasar perbuatan melanggar hukum.
Pengertian para pelaku usaha dari definisi tersebut adalah pelaku usaha (pembuat),
grosir (whole-saler), leveransir dan pengecer (retailer) profesional. Produk di sini

meliputi benda bergerak maupun tidak bergerak yang telah dibawa oleh pelaku usaha ke
dalam peredaran, maksudnya yang telah ada dalam perdagangan karena tindakan pelaku
usaha. Kerugian yang dimaksud dengan definisi di atas adalah kerugian yang ditimbulkan
atau disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk, sedangkan
pengertian cacat yang melekat pada produk adalah kekurangan pada produk yang menjadi
penyebab timbulnya kerugian
Sementara itu, Mark E. Roszkowski menggarisbawahi, bahwa product liability
terbatas pada wilayah hukum yang membebankan pertanggungjawaban pada pelaku usaha
dan penyedia barang-barang lainnya atas kerugian fisik dan kerugian material yang
disebabkan produk diperjualbelikan.
Selanjutnya, N.E. Algra & H.W.R. Gokkel memberikan definisi product liability
(produktenaansprakelijkheid) sebagai berikut, “Tanggung jawab pemilik pabrik untuk
barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli,
pemakai (konsumen) atau keamanan produk”. Agnes M. Toar mengemukakan, bahwa
pengertian product liability sebenarnya mengacu pada tanggung jawab pelaku usaha yang
dapat diartikan sebagai berikut : “Tanggung jawab para pelaku usaha untuk produk yang
dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat
yang melekat pada produk tersebut”.
Berdasarkan pengertian di atas, terlihat penekanannya pada produk (product) yang secara
umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat dan dipegang (tangible
goods), baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Namun dalam hubungannya dengan
masalah tanggung jawab pelaku usaha (product liability), produk bukan hanya berupa
tangible goods tetapi juga termasuk yang bersifat intangible goods, seperti listrik, produk
alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya peta
penerbangan yang diproduksi secara missal), atau perlengkapan tetap rumah real estate
(misalnya rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak sematamata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen dan
suku cadang.
Hal senada dikemukakan juga oleh Endang Saefullah yang memperluas cakupan dari yang
disebut di atas dengan pengertiannya sebagai berikut, “Product liability adalah suatu
tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk
(producer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang memproses suatu produk
(processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan
(seller, distributor) produk tersebut”.
Menurut The 1973 Hague Convention on the Law Applicable to Products Liability,
yang juga disebut dengan The Hague Convention, product liability diberlakukan kepada
orang-orang/pihak-pihak sebagai yang bertanggung jawab, yakni :
Pengusaha dari
barang/produk akhir atau bagian komponen., Pengusaha dari barang-barang alam (natural
product)., Supplier dari sesuatu produk. Orang-orang lain, termasuk pengusaha bengkel dan
pergudangan di dalam jaringan penyediaan/persiapan atau distribusi suatu barang.
Sementara itu, Muhammad Djumhana mengemukakan, bahwa pada kenyataan dewasa
ini menunjuk bahwa produk yang dihasilkan dan dipasarkan pelaku usaha pada umumnya
tidak langsung sampai di tangan konsumen selaku pemakai akhir dari produk tersebut,
lazimnya pelaku usaha menggunakan para perantara untuk menyalurkan hasil produksinya
antara lain :
Tanggung jawab produk yakni tanggung jawab hukum yang disebabkan oleh keadaan
tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Tanggung jawab ini sifatnya mutlak
(strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau
membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat
produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab

mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen
akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without
fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan
disebabkan pelaku usaha sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya konsumen jelas sangat
diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan.
Sejak tanggal 20 April 1999 telah dimulai lembaran baru dalam upaya perlindungan
konsumen di Indonesia, karena pada tanggal tersebut disahkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Upaya perlindungan konsumen yang
sebelumnya hanya mengandalkan perangkat peraturan perundang-undangan yang tidak secara
khusus bertujuan melindungi konsumen, sejak saat tersebut telah memperoleh pengaturan
tersendiri.
Tentu tumbul pertanyaan, mengapa konsumen Indonesia yang sejak bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya tidak pernah memperoleh perhatian, apalagi
perlindungan hukum secara khusus, tetapi secara tiba-tiba pada tahun tersebut mendapatkan
prioritas perhatian dan perlindungan hukum yang luar biasa. Pertanyaan akan semakin
mengemuka manakala dikemukakan fakta bahwa 18 (delapan belas) tahun sebelumnya, yaitu
pada tanggal 22 Juni 1981, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia telah selesai menyusun
dan sekaligus mengusulkan kepada pemerintah sebuah Rancangan Undang-Undang tentang
Pokok-pokok Perlindungan Konsumen.
Hukum perlindungan konsumen Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999, mengklasifikasikan beberapa jenis pertanggungjawaban hukum secara perdata,
yaitu pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability), pertanggungjawaban produk
(product liability), pertanggungjawaban profesional (professional liability), dan
pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan pertanggungjawaban administratif
(administrative liability).
Adapun pihak yang harus bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada
konsumen di dalam semua jenis pertanggungjawaban hukum adalah pelaku usaha, yaitu
apabila barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkannya menimbulkan
kerugian di pihak konsumen. Oleh karena itu, semua jenis pertanggungjawaban hukum
tersebut dinamakan subject liability, yaitu pertanggungjawaban hukum dari subjek hukum.
Seperti telah dikemukakan di atas, dalam dunia perdagangan dewasa ini suatu produk sampai
kepada konsumen biasanya melalui berbagai jalur pranata, seperti agen, grosir, distributor,
dan pedagang eceran, sedangkan produknya sendiri, khususnya untuk produk-produk yang
jumlahnya besar diproses melalui apa yang disebut industri.
Industri adalah aktivitas memproses atau memproduksi barang-barang dalam skala besar di
mana dipergunakan pabrik-pabrik dan peralatan dalam jumlah banyak. Dari definisi industri
tersebut dapat disimpulkan, bahwa produk/ barang-barang yang dihasilkan dalam suatu
industri adalah produk secara massal dan dengan menggunakan peralatan yang beraneka
ragam dan dalam jumlah yang banyak. Terutama dengan perkembangan dunia teknologi
dewasa ini peralatan yang digunakan dalam suatu proses produksi secara besar-besaran
adalah peralatan yang berteknologi tinggi yang tidak mudah bahkan tidak mungkin dapat
dipahami oleh orang-orang awam yang tidak dididik secara khusus untuk menguasainya.
Akibat dari proses industrialisasi dalam memproses produk tersebut timbul permasalahan
hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk cacat yang merugikan pihak
konsumen, baik arti finansial, non finansial, bahkan kerugian jiwa. Permasalahannya adalah
dalam rangka menuntut pihak korban akibat produk atau barang yang cacat tersebut.
Berdasarkan ketentuan umum Hukum Acara Perdata yang berlaku, pihak konsumen yang
menderita kerugian akibat produk atau barang yang cacat dapat menuntut pihak pelaku usaha
secara langsung, atau menuntut pihak pedagang dari mana barang tersebut dibeli. Tuntutan
diajukan didasarkan telah terjadinya perbuatan melawan hukum (seperti diatur dalam Pasal

1365 KUH Perdata) oleh pihak pelaku usaha atau pihak lain yang berkaitan dengan proses
produksi atau penyebaran dari produk atau barang yang cacat tersebut.
Namun bila seorang konsumen yang menderita kerugian tersebut akan menuntut pihak pelaku
usaha (termasuk pedagang, grosir, distributor, agen) berdasarkan perbuatan melawan hukum,
maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya
untuk memperoleh kompensasi.
Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh pihak konsumen tersebut, maka dalam
hukum tentang pertanggungjawaban produk diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap orang/konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut
kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak
pelaku usaha.
Selain itu, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan pertanggungjawaban
mutlak yang didasarkan pada Social Climate Theory Manufacturer adalah pihak yang berada
dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap
kasus yang mengharuskannya menggantikan kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut
dan membagi risikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya
dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal
dengan deep pockets theory. Terdapat kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan
dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri)
bagi seorang konsumen/korban/ penggugat secara individual.
Namun diakui juga secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukan
bahwa pada waktu terjadinya kerugian produk tersebut pada prinsipnya berada dalam
keadaan seperti waktu diserahkan oleh pelaku usaha, artinya tidak diadakan modifikasimodifikasi.
Meskipun sistem tanggung jawab pada pertanggungjawaban produk berlaku prinsip
pertanggungjawaban mutlak, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung
jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan. Indonesia sedang menuju era industrialisasi.
Produk-produk yang dihasilkan dunia industri ditujukan baik untuk memenuhi keperluan
dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor. Devisa yang dihasilkan sangat diperlukan bagi
keperluan impor produk-produk yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri.
Dalam memasuki era industrialisasi tersebut berbagai hal perlu mendapat perhatian
sungguh-sungguh, mulai dari penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas,
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengantisipasi tuntutan akan barang dan jasa
yang lebih berkualitas, persaingan yang lebih ketat baik di dalam maupun di luar negeri
sebagai akibat globalisasi dan perdagangan bebas.
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian serius dalam era industrialisasi adalah bidang
hukum, khususnya tentang pertanggungjawaban produk. Masalah pertanggungjawaban
produk ini erat kaitannya dengan masalah persaingan dalam era perdagangan bebas maupun
dengan makin meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen. Inti masalahnya
terletak pada kualitas dari produk yang dihasilkan.
Saat ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang tanggung jawab pelaku usaha, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan
kepentingan konsumen dewasa ini, antara lain adalah KUHD, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1961 tentang Barang, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Oleh karena itu, bila seorang konsumen menderita kerugian akibat produk yang cacat dan
ingin menuntut pihak pelaku usaha sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999, maka jalan hukum yang dapat ditempuh hanyalah berdasarkan perbuatan

melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Seperti dikemukakan di muka betapun sulitnya
bagi korban/konsumen untuk memperoleh kompensasi melalui prosedur hukum demikian.
Para pelaku usaha akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang sebelum dilepar ke
pasaran sehingga para konsumen, baik dalam maupun luar negeri, tidak akan ragu-ragu
membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para pelaku
usaha/industriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha tidak ada,
dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/ eksistensi dunia industri
nasional maupun pada daya saing produk-produk nasional, terutama di luar negeri.
Namun demikian, dengan memberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum
tentang tanggung jawab produk tidak berarti pihak pelaku usaha tidak mendapat
perlindungan. Pihak konsumen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari
tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang. Di
samping itu, pihak pelaku usaha juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya, sehingga
secara ekonomis tidak mengalami kerugian yang berarti.
Di Indonesia diundangkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 yang esensinya mengatur
perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen dilindungi secara hukum atas produk
yang dihasilkan oleh pelaku usaha atau
dikenal dengan sebutan product liability.
SIMPULAN DAN SARAN
Tanggung jawab pelaku usaha yaitu melibatkan pelaku usaha dalam perumusan pasal 19
Undang-undang Perlindungan konsumen. Wujud dari teori tanggungjawab produk atau
product liability sebagai upaya preventif dari pelaku usaha dalam melaksanakan tanggung
jawab terahadap kesehatan pembeli, pemakan (konsumen) atau keamanan produk. Penerapan
tanggung jawab produk ataks pelanggaran produk industri yang dilakukan oleh pelaku usaha
adalah konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut pelaku usaha sesuai ketentuan pasal
28 UUPK menggunakan teori pembuktian terbalik bahwa beban pembuktian unsur kesalahan
dalam gugatan gantu kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini
memberikan konsekuensi hukum bahwa pelaku usaha yang dapat membuktikan kerugian
bukan merupakan kesalahannya terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian.
DAFTAR PUSTAKA
Arrianto Mukti, Edwon Makarim, Leny Helena dkk,. Kerangka Hukum Tanda Tangan
Digital Dalam Electronic Commerce Untuk Indonesia 2000
Clive M. Schmitthoff, Export Trade: The Law and Practice of International
Trade, London: Stevens and Sons, 1990
Djoko Agung, Direktur e-Government Depkominfo RI saat menjadi pembicara dalam kuliah
perdana Program Beasiswa S2 Chief Information Officer (CIO), Senin (2/6) tahun
2009, di Sekolah Pascasarjana UGM.
Edmon Makarim. Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara system Elektronik. Jakarta:
Lembaga Kajian Hukum Teknologi. 2010.
Endang Saefullah. Prinsip pertanggungjawaban dalam Pengangkutan Internasional.
Jogyakarta: Liberty. 1989.

Mukti Fajar ND. Aspek Hukum Perjanjian Perdagangan Dalam Transaksi Elektronik (
Electronic Commerce ) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2008
Niniek suparni.Cyberspace: problematika&antisipasi pengaturannya. Sinar Grafika Jakarta.
2009
Nugroho, Adi. e-commerce”memahami
Bandung:informatika. Tahun 2006

perdagangan

modern

di

dunia

maya.

Rianto Adi . Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. 2004
Richard hill and Ian Walden The Draft UNCTRAL Model Law for Electronic
Commerce ; isues and solutions, terjem. Oleh M. fajar dipublikasikan maret 1996, hal
1 lihat >http// : www. Banet.com/_ricard hill
Rosenoer, Jonathan,. Cyber Law The law of the Internet, springer, verlag, New York, May
1996
Sarjono Agus, Model Hibrida Hukum cyberspace (studi tentang model Pengaturan aktivitas
Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia).
desertasi 2008.
slouka, Mark. ruang yang hilang, pandangan humanis tentang budaya cyberspace yang
merisaukan, Bandung : Mizan. 1999,
Satrio, J, Hukum Perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian, buku 1 PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1995
JURNAL:
Arrianto Mukti Wibowo.1998. Tanda tangan digital & sertifikat digital: Apa itu? Artikel ini
muncul pada Infokomputer edisi Internet Juni 1998
Atif

Latifulhayat.2000.Cyber law dan urgensinya bagi Indonesia, disadur dari
virtual light william Gibson 1993, dipresentasikan Seminar Sehari
Cyber Law.

Budi Sutedjo S.1999. Internet lahirkan cara dagang secara electronik, buletin
jendela informatika, vol 1, no. 2, edisi desember 1999
Budi Raharjo.2003. Makalah yang dipresentasikan dalam seminar akuntansi Utama di
fakultas ekonomi Universitas Widyatama
Hasil penelitian oleh group riset Digital dan security dan electronic yang pernah
dipresentasikan di hadapan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia pada bulan juni
1999 di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok Jawa barat, kerangaka
hukum digital signature dalam Electrionic commerce, 1999
Jabalnur.http://jurnal.unhalu.ac.id/download/jabal/PERLINDUNGAN20KONSUMEN
0DALAm TRANSAKSI ELOKTRONIK.pdf. tanggal akses 28 Maret 2012
Mochtar Riady.1998. Peranan Hukum Dalam Era Ekonomi Global, Jurnal hukum Bisnis,
Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis 1998

Onno W Purba ,E-com di Indonesia awal tahun 2000, MikroData media pengemar komputer
Volume 3 seri 15
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-undang Dasar 1945
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
INTERNET:
UNTRICAL Model Law On Electronic Commerce 1996
http://www.jus.uio.no/lm/un.electronic.commerce.model.law.1996/
Fajar,ND, Mukti.
Thesis 2001

Electronic

Commerce

dalam

persfektif

lihat>http://www.geocities.com/amwibowo/resource/.htm
Onno W. Purbo, artikel, 10 pertanyaan tentang
www.mastel.or.id/indonesia/artikel10.htm

hukum

E-com.

Indonesia,

lihat

http://

----------- pendapat mengenai UU ITE. Maret 2008
-------------- Perkembangan teknologi Informasi dan internet di Indonesia, kompas 28 juni
2000 hal.50