Perang Melawan Terorisme Globalisasi ket
Paper Globalisasi#M.Rolip Saptamaji#Pascasarjana Ilmu
Politik Unpad#
Perang Melawan Terrorisme : Globalisasi Ketakutan
“Veritas Patefacit se Ipsam Et Falsum”
Giorgio Agamben1
I.
Latar Belakang
Kebenaran hanya akan muncul jika ada kesalahan, addendum ini menyudutkan
kebenaran sebagai keadaan yang tidak berdiri sendiri namun berdiri di atas
kontradiksi dua identitas yang berinteraksi. Penilaian akan identifikasi “benar” hanya
dimungkinkan jika sebelumnya ada idetifikasi tentang “salah” maka artinya sebuah
kebenaran lahir dari kesalahan. Addendum ini juga berlaku bagi doktrin baru dunia
yang menjadi isu laten di seluruh Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Perang
melawan terorisme yang memiliki berbagai peristilahan seperti war on terror, global
war on terror, war of generation, war on Islamofacism, dll. Semenjak kejadian 11
September di Amerika Serikat, perang melawan terorisme menjadi sebuah kebenaran
yang diafirmasi hampir tanpa bantahan.
Perang melawan terorisme atau global war on terrorism atau war on terror
adalah kampanye militer Amerika sebagai respon terhadap kejadian sabotase pesawat
publik oleh jaringan militan Al-Qaeda yang kemudian menabrakkan pesawat
berpenumpang tersebut ke menara kembar World Trade Center dan markas Pentagon.
Kampanye militer ini kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian operasi
“perdamaian” meliputi deklarasi perang terhadap pemerintah Taliban di Afghanistan
dan deklarasi perang terhadap Iraq yang dianggap mendukung jaringan Al-Qaeda.
Kampanye militer ini tidak hanya berhenti pada penyerangan kedua Negara tersebut
namun juga berlanjut ke pemberantasan organisasi-organisasi perlawanan yang
dianggap sebagai organisasi teroris atau jaringan Al-Qaeda di seluruh dunia.
Sementara itu, jaringan teroris juga terus berkembang bahkan mampu
melakukan sabotase dan pengeboman di berbagai Negara seperti Inggris, Spanyol,
hingga Indonesia. Ketakutan akan terorisme pun meluas, departemen pertahanan
dalam negeri Amerika Serikat mendukung ketakutan yang meluas ini dengan
1
Truth cannot be shown except by showing the false, which is not, however, cut off and cast aside
somewhere else. (Agamben, 1993, p. 13)
1
2
pernyataan bahwa terorisme dapat mucul kapanpun, dimanapun dan dengan cara
apapun2. Kampanye war on terror pun diafirmasi sebagai global war on terror
karena tidak ada satu pun Negara yang luput dari ancaman terorisme yang sudah
mendunia.
Ketakutan akan ancaman terorisme segera mendunia dan menjadi komoditas
ekonomi politik baru di dunia. Geliat ekonomi baru muncul dari perjanjian-perjanjian
internasional dalam penanggulangan terorisme. Alat-alat militer berteknologi tinggi
untuk pengendalian keamanan dan pertahanan mulai menjadi kebutuhan artifisial bagi
Negara-negara yang dilanda ketakutan terhadap ancaman terorisme. Tidak hanya itu,
operasi-operasi “perdamaian” pun melahirkan korporasi-korporasi militer swasta baru
sebagai sistem pendukung dalam operasi “perdamaian”.
Berbagai rangkaian perang melawan terror telah menjadi terror tersendiri
terutama bagi Negara-negara di Timur Tengah yang mendapatkan stigma teroris. Di
Indonesia, ketakutan akan ancaman terrorisme melahirkan detasemen khusus antiterror. Detasemen ini menyebarkan terror bagi keluarga yang anggota keluarganya
diindikasikan sebagai terroris. Berbagai kesalahan penangkapan bahkan penembakan
terjadi hingga saat ini atas nama perang melawan terror.
Perang melawan terror pun mulai dipertanyakan motivasinya setelah banyak
korban yang berjatuhan. Berbagai kajian kritik mengenai perang melawan terror
mengemuka baik dalam ranah akademis maupun politis. Sebagaimana addendum dari
Giorgio Agamben di awal, kebenaran akan muncul hanya jika ada kesalahan
begitupun juga perang melawan terorisme, kebenaran motivasinya akan muncul
ketika kesalahan-kesalahannya mulai teridentifikasi.
Perang melawan terror dalam kajian globalisasi umumnya dibahas melalui
perjanjian internasional, struktur keamanan global dan ekonomi politik. Melalui
tulisan ini, saya mencoba untuk melihat kampanye perang melawan terror dalam
kajian psikologi politik. Kajian ini menganalisa kampanye perang dari simptomp atau
gejala
psikologis
yang
dihasilkannya.
Berdasarkan
posisi
tersebut
saya
mengasumsikan bahwa; pertama, kampanye tersebut digunakan sebagai politik rasa
2
Department of Homeland Security declares, "Today's terrorists can strike at any place, at any time,
and with virtually any weapon"—which conveniently means that the security services required must
protect against every imaginable risk in every conceivable place at every possible time. (Klein, 2008, p.
300)
3
takut untuk menguatkan kuasa hegemonik yang menempatkan Amerika Serikat
sebagai sentral monopoli kekerasan di dunia.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1 Perang dan Terrorisme
Perang dalam sejarah merupakan fenomena yang tidak pernah habis untuk
dibahas karena dampaknya yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan. Dalam
sejarah, masyarakat di berbagai tempat telah mengalami perang dalam berbagai skala
mobilisasi. Perang-perang besar dalam peradaban manusia ikut membentuk peradaban
itu sendiri. perang dapat melakukan rekomposisi kekuasaan melalui kejatuhan
imperium-imperium dan bangkitnya Negara atau kerajaan-kerajaan baru.
Perang modern dipahami sebagai mobilisasi militer suatu Negara yang
melbatkan persenjataan dan tentara regular melawan tentara regular Negara lainnya.
Perang dalam pemahaman ini selalu dikonduksi oleh Negara. Pemahaman klasik
mengenai perang ini secara bertahap mengalami pergeseran dari masa ke masa.
Dimasa perang dunia pertama, perang melibatkan dua atau lebih Negara yang
tergabung dalam suatu aliansi atau Negara sendiri melawan Negara lainnya untuk
memperluas wilayahnya. Pada perang dunia kedua, perang masih terjadi dalam
definisi yang serupa namun melibatkan mobilisasi besar teknologi maupun tentara
dari daerah-daerah kolonisasi. Kemudian, pada masa pasca-perang dunia kedua
perang beralih pada definisi yang kabur. Era ini disebut dengan perang dingin. Perang
dingin adalah era perang perluasan pengaruh ekonomi dan politik. perang dingin
membentuk aliansi-aliansi Negara dalam pakta pertahanan dan blok-blok ekonomi
politik. di masa tersebut perang tidak Nampak dalam mobilisasi pasukan besar
melainkan operasi-operasi perluasan pengaruh politik.
Ketiga periode perang yang melibatkan hampir seluruh dunia ini sangat
berbeda dengan kampanye perang melawan terror yang dipelopori oleh Amerika.
Konsepsi kampanye war on terror menggabungkan konsep lama perang antar Negara
dengan perang sipil yang terjadi di dalam Negara seperti pemberontakan, separatism
dan perlawanan-perlawana anti Negara. Penggabungan kedua konsep ini melahirkan
konsep perang baru3.
3
Konsep perang baru muncul pada karya Hardt dan Negri, konsep ini menggabungkan perang
melawan terror, organisasi mafia dan peredaran narkoba dengan legitimasi mobilisasi militer. these
4
Penggabungan konsep yang tidak berimbang antara mobilisasi kekuatan
militer melawan kelompok-kelompok sub nasional baik itu organisasi gerakan
maupun organisasi criminal ini menjadikan konsep war onterror menjadi konsep yang
berkelanjutan. Konsep ini mampu melibatkan dukungan banyak Negara yang merasa
tidak aman oleh gangguan kelompok sub-nasional di negaranya dan menyematkan
label teroris pada mereka.
Terorisme sebesar apapun dampaknya tidak dapat disejajarkan dengan perang
dalam artian klasik karena terorisme dilakukan secara parsial oleh kelompokkelompok sub-nasional. Terror sebagai taktik dan strategi diadopsi oleh berbagai
institusi dalam perang Negara ataupun perang sipil untuk mempengaruhi psikis lawan.
Kelompok-kelompok anarkis dan sayap kanan radikal di eropa juga melakukan
strategi ini untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Kata terror sendiri dikenal
dalam kosakata politk sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 serta masa-masa
perang dunia kedua sebagai taktik perjuangan revolusi (Dugis, Tanpa tahun). Oleh
karena itu, terorisme atau tindakan terror tidak dapat dibatasi oleh identifikasi etnis
ataupun kelompok tertentu.
2.2 Kampanye Perang Melawan Terrorisme
Kampanye perang melawan terror memberikan perang dalam definisi yang
longgar menjauhi definisi perang klasik. Seibert dalam tulisannya menyebutkan
bahwa perang melawan terror telah menggeser paradigm perang yang ada (Seibert,
2005). Menurutnya juga4, kampanye perang melawan terror merupakan bentuk perang
baru yang terpisah dari definisi perang klasik dengan identifikasi keterlibatan yang
sangat mencolok dari korporasi-korporasi militer swasta dan geliat ekonomi yang
beriringan dengannya. Seibert menambahkan bahwa Kampanye perang melawan
terror dapat diidentifikasikan perbedaannya dengan perang klasik melalui beberapa
perbedaan seperti;
“pengingkaran terhadap perbedaan antara militer dengan sipil, penghancuran
infrastruktur ekonomi, kerjasama antara pihak pemerintah dan pihak non
pemerintah, kesenjangan yang mencolok antara berbagai pihak yang terlibat
conflicts make the fabric of global relations more fluid and, by affirming new identities and new
localities, present a more malleable material for control. In such cases repression can be articulated
through preventive action that constructs new relationships (which will eventually be consolidated in
peace but only after new wars) and new territorial and political formations that are functional (or
rather more functional, better adaptable) to the constitution ofEmpire. (Negri, 2000, p. 37)
4
ibid
5
dalam perang, kekacauan pemerintahan, serta lenyapnya batas hokum yuridis
dan politis. Acapkali, perang jugadiikuti atau dipicu oleh kebangkitan
sentiment etnisisme, rasisme atau fundamentalisme” (Seibert, 2005, p. 5)
Penjelasan Seibert tersebut diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertahanan
Amerika Serikat, Donald Rumsfeld ynag menyatakan bahwa semua fungsi yang dapat
dijalankan oleh swasta sebaiknya tidak lagi dibebankan pada institusi-institusi
pemerintah. Sejak saat itu sebagian besar misi militer AS dijalankan oleb berbagai
korporasi militer swasta (Bush, 2001). Pernyataan ini mengindikasikan keterlibatan
korporasi militer swasta bukan hanya dalam perang melawan terror namun juga dalam
semua fungsi pertahanan. Reformasi sektor pertahanan di Amerika tersebut
berdampak pada komposisi pasukan dalam perang melawan terror sekaligus
mengindikasikan geliat ekonomi baru yaitu bisnis perang.
Kelenturan konsep perang melawan terror terletak pada spesifikasi target yang
relative mengambang. Secara praktek, perang melawan terror tidak hanya dilancarkan
kepada organisasi-organisasi militant yang diindikasi sebagai penyebab kejadian 11/9
namun juga Negara-negara musuh Amerika di Timur tengah. Terorisme kemudian
bergeser pada pemahaman yang lebih abstrak yaitu ideology bahkan keyakinan
masyarakat terutama Islam.
Kampanye
perang
melawan
terror
menjadi
konsep
pertama
yang
menggabungkan perang sipil dan perang Negara dalam satu bentuk perang.
Penggabungan konsep ini menciptakan perang yang secara konseptual tidak mengenal
batas ruang dan waktu karena ancaman dalam bentuk tindakan dan ide tidak dapat
dibatasi oleh tindakan-tindakan fisik. Konsep ini mendorong mobilisasi perang dalam
bentuk
tindakan
preventif
Negara
menghadapi
potensi
terrorisme
dengan
mengkonsumsi alat keamanan baru seperti teknologi informasi, pelatihan-pelatihan
anti terror dan rekonstruksi pasca perang. Program-program penanggulangan
terrorisme ini menyedot biaya pertahanan yang dimiliki oleh Negara-negara yang
dilanda ketakutan. Proyek penanggulangan terrorisme sendiri seringkali melibatkan
korporasi-korporasi militer swasta yang menawarkan jasa counter-terrorism.
6
III.
Pembahasan
3.1 War On terror sebagai Politik Rasa Takut
"Today's terrorists can strike at any place, at any time, and with virtually any
weapon" —which conveniently means that the security services required must protect
against every imaginable risk in every conceivable place at every possible time.
(Departement of Homeland Security)
Pernyataan Departemen Keamanan Amerika tersebut mengawali ekspansi rasa
takut terhadap terror ke seluruh dunia. Ketakutan akan terrorisme muncul karena aksi
terror dapat terjadi di setiap tempat, setiap waktu dan dengan senjata apapun.
Kebutuhan untuk menanggulangi terrorpun meluas bahkan dalam pernyataan ini
disebut sebagai “every imaginable risk” yang berarti setiap resiko yang terbayangkan.
Resiko tersebut bisa jadi tidak ada namun kekuatan imajinasi manusia membayangkan
terror dan menjatuhkan kecurigaan pada orang-orang disekitarnya menjadikan resiko
terror selalu muncul.
Terror dan terroris selalu dikaitkan dengan tujuan politik suatu organisasi atau
actor untuk memperluas pengaruh maupun menanggulangi pengaruh lawannya. Lenin
berpendapat bahwa terorisme adalah kerja menghasilkan terror yang berdampak pada
orang-orang disekitar korban (Schmid, 2005). Dampak tersebut adalah rasa takut yang
menyebarkan keyakinan akan ancaman bahwa mereka mungkin adalah target teroris
berdasarkan identifikasi subjektifnya. Sekretaris Negara Amerika, Collin Powell,
bahkan menambahkan penyebaran rasa takut tersebut dengan ancaman penyerangan.
Dalam pernyataaanya pada Mei 2002 disebutkan bahwa:
„„In this global campaign against terrorism, no country has the luxury of
remaining on the sidelines. There are no sidelines. Terrorists respect no limits,
geographic or moral. The frontlines are everywhere and the stakes are high.
Terrorism not only kills people. It also threatens democratic institutions,
undermines economies, and destabilizes regions’’ (State, 2002)
Ketakutan ini disebar secara massal melalui media massa baik cetak maupun
elektronik. Berita mengenai aksi terror dan pemberantasan terrorisme selalu menjadi
headline media selama 11 tahun terakhir. Dampaknya, banyak Negara yang terdorong
untuk melakukan tindakan pemberantasan terrorisme dengan ikut serta dalam
kampanye perang melawan terror. Indonesia adalah salah satu Negara yang mengikuti
kampanye melawan terror. Indonesia secara aktif menciptakan regulasi-regulasi
7
pemberantasan terrorisme, melakukan pelatihan antiterror, menciptakan detasemen
khusus antiterror melakukan perjanjian kerjasama penanggulangan terrorisme dengan
Negara Negara lain hingga mendapatkan hibah yang cukup besar dari Amerika untuk
penanggulangan terrorisme.
Ketakutan adalah alat yang efektif dalam politik, penggunaan ketakutan dalam
politik telah dikenal luas sebelum munculnya Negara. Di masa feudal, ketakutan
direproduksi oleh kerjaan untuk memastikan kepatuhan rakyatnya dengan melakukan
eksekusi-eksekusi berdarah di tempat-tempat umum seperti hukuman gantung ataupun
yang cukup sadis adalah pemenggalan kepala dengan guillotine di Perancis. Hukum
modern tentu saja melarang penggunaan ketakutan sebagai alat dominasi politik
karena tuntutan kemanusian. Namun tidak berarti ketakutan tidak lagi menjadi alat
politik.
“Fear is a powerful tool in politics. Demagogues have at times conjured up
the fear of an impending threat from across the borders to rally the populace
behind them. The second use of fear in politics is more direct: despots and
demagogues decide to apply the fear directly on the populace or sections
thereof in order to terrorize them into obedience and submission ” (Schmid,
2005).
Ketakutan menjadi politik itu sendiri ketika dimanfaatkan sebagai alat control
sosial. Control sosial dilakukan untuk memengaruhi aktivitas, pemahaman, rutinitas
dan perspektif masyarakat. Penggunaan ketakutan sebagai alat politik tidak hanya
digunakan dengan cara pembunuhan dan pengasingan namun juga melalui media.
Media berfungsi sebagai alat propaganda yang meluaskan ketakutan melalui persepsi
tentang rasa takut.
“The politics of fear is relevant for social life because it influences our
activities, meanings, routines, and perspectives. It is difficult to undo the
policies and procedures that expand control and fear, partly because, as I
noted previously, it becomes taken for granted by the next generation. These
effects can be reduced through critical thinking and awareness of the social
changes and the implications of blanket adjustments in security and policy”
(Altheide, 2006).
Kontrol sosial sebagai motif dalam penyebaran rasa takut menggunakan
berbagai cara dengan mengintimidasi berbagai symbol yang berlaku dimasyarakat.
Penyebaran ketakutan ini berdampak pada kesatuan tindakan dibawah rasa takut yang
menegasikan segala pemikiran kritis terhadap fenomena. Ketika pandangan kritis ini
8
menghilang maka kekacauan sosial dan pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan
politik.
Akumulasi rasa takut ini akan berimbas pada penciptaan peluang-peluang
ekonomi dalam bentuk dana rekonstruksi, pelatihan militer hingga penjualan
persenjataan. Penyebaran rasa takut yang dipelopori oleh Amerika yang juga
merupakan produsen senjata ini menempatkan dirinya sebagai sentral monopoli
kekerasan dunia. Monopoli kekerasan ini ditunjukkan dengan publikasi-publikasi
media secara massal mengenai perang melawan terror. Tingkat kemajuan teknologi
persenjataan juga meningkatkan posisi Amerika dalam monopoli kekerasan.
9
IV.
Kesimpulan
Kampanye perang melawan terror dapat bertahan sejak 2001 hingga saat ini
bukan hanya karena didorong oleh patriotisme dan motif ekonomi. kampanye ini
dapat bertahan dan mengendap dalam pikiran setiap objek kampanyenya karena
melibatkan perencanaan dampak psikologis. Histeria terhadap terorisme dirubah
menjadai paranoia dalam politik internasional melalui gencarnya kampanye perang
melawan terror.
Indonesia yang juga dilanda ketakutan terhadap terrorisme sejak kejadian bom
bali pada tahun 2002 terlibat aktif dalam kampanye perang melawan terror. Posisi
Indonesia dalam perang melawan terror memang tidak menempati posisi utama baik
sebagai Negara yang mendapatkan keuntungan dari perang ataupun Negara yang
dirugikan. Namun dalam struktur globalisasi, Indonesia menjadi subordinat bagi
Negara pelopor kampanye melawan terrorisme. Penanggulangan terrorisme secara
terpisah juga dimanfaatkan oleh Indonesia untuk melakukan control sosial melaui
regulais anti-terror. Hal ini dapat diperhatikan melalui praktik penanggulangan
terrorisme di Indonesia yang selalu terjadi ketika kekacauan politik terjadi sebagai
pembiasan isu.
10
Daftar Pustaka
Agamben, G. (1993). The Coming Community. Minessota: University of Minessota
Press.
Altheide, D. L. (2006). Terrorism and The Politics of Fear. Lanham-New York: Alta
Mira Press.
Bush, G. (2001, October 7). georgewbush-whitehouse.archives.gov. Retrieved
January 2, 2013, from ETA Presidential address to the nation:
http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2001/10/print/20011007-8.html
Cramer, C. (2003). War, Peace and Capitalism: Is Capitalism the Harbinger of Peace
or The greatest Threat to World Peace. In A. Saad-Filho, Anti-Capitalism (pp.
152-163). London: Pluto Press.
Dugis, V. (Tanpa tahun). Mengkaji ulang upaya pencegahan dan pemberantasan
terrorisme. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Tahun 22 nomor 4 ,
200-303.
Klein, N. (2008). The Shoc Doctrine. New York: Metropolitan Books.
Marx, K. (1999). A Contribution to the critique of political economy. Retrieved
December 3, 2007, from marxist.org.
Marx, K. (1999). Capital. Retrieved January 2013, from marxist.org:
http://www.marxist.org/MIA/archive/marx/works/1867-c1/ch04.htm#6a
Marx, K. (2007). Brumaire XVIII Lois Bonaparte. -: Oey's Renaissance.
Moseley, F. (2003). Marxian Crisis Theory and the Postwar US Economy. In A. SaadFilho, Anti-Capitalism (pp. 211-223). London: Pluto Press.
Negri, M. h. (2000). Empire. London: Cambridge University Press.
P.Nikitin. (1962). The Fundamentals of Political Economy . Moscow: Foreign
Language Publishing House Moskwa.
Schmid, A. (2005). Terrorism as Psychological Warfare. Democracy and Security, I,
137-146.
Seibert, T. (2005). Perang Baru Kekejaman Tersembunyi Kapitalisme Global. In D.
A. (ed.), La Empressa Guera : Bisnis Perang dan Kapitalisme Global (pp. 121). Yogyakarta: Insist Press.
State, U. S. (2002, May). www.state.gov. Retrieved January 8, 2013, from
www.state.gov: http://www.state.gov/documents/organization/10286.pdf
Stocker, D. M. (2002). Theory and Methods in Political Science. New York: Palgrave
Macmillian.
Zarembka, P. (2003). Capital Accumulation and Crisis. In A. Saad-Filho, AntiCapitalism (pp. 201-210). London: Pluto Press.
Politik Unpad#
Perang Melawan Terrorisme : Globalisasi Ketakutan
“Veritas Patefacit se Ipsam Et Falsum”
Giorgio Agamben1
I.
Latar Belakang
Kebenaran hanya akan muncul jika ada kesalahan, addendum ini menyudutkan
kebenaran sebagai keadaan yang tidak berdiri sendiri namun berdiri di atas
kontradiksi dua identitas yang berinteraksi. Penilaian akan identifikasi “benar” hanya
dimungkinkan jika sebelumnya ada idetifikasi tentang “salah” maka artinya sebuah
kebenaran lahir dari kesalahan. Addendum ini juga berlaku bagi doktrin baru dunia
yang menjadi isu laten di seluruh Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Perang
melawan terorisme yang memiliki berbagai peristilahan seperti war on terror, global
war on terror, war of generation, war on Islamofacism, dll. Semenjak kejadian 11
September di Amerika Serikat, perang melawan terorisme menjadi sebuah kebenaran
yang diafirmasi hampir tanpa bantahan.
Perang melawan terorisme atau global war on terrorism atau war on terror
adalah kampanye militer Amerika sebagai respon terhadap kejadian sabotase pesawat
publik oleh jaringan militan Al-Qaeda yang kemudian menabrakkan pesawat
berpenumpang tersebut ke menara kembar World Trade Center dan markas Pentagon.
Kampanye militer ini kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian operasi
“perdamaian” meliputi deklarasi perang terhadap pemerintah Taliban di Afghanistan
dan deklarasi perang terhadap Iraq yang dianggap mendukung jaringan Al-Qaeda.
Kampanye militer ini tidak hanya berhenti pada penyerangan kedua Negara tersebut
namun juga berlanjut ke pemberantasan organisasi-organisasi perlawanan yang
dianggap sebagai organisasi teroris atau jaringan Al-Qaeda di seluruh dunia.
Sementara itu, jaringan teroris juga terus berkembang bahkan mampu
melakukan sabotase dan pengeboman di berbagai Negara seperti Inggris, Spanyol,
hingga Indonesia. Ketakutan akan terorisme pun meluas, departemen pertahanan
dalam negeri Amerika Serikat mendukung ketakutan yang meluas ini dengan
1
Truth cannot be shown except by showing the false, which is not, however, cut off and cast aside
somewhere else. (Agamben, 1993, p. 13)
1
2
pernyataan bahwa terorisme dapat mucul kapanpun, dimanapun dan dengan cara
apapun2. Kampanye war on terror pun diafirmasi sebagai global war on terror
karena tidak ada satu pun Negara yang luput dari ancaman terorisme yang sudah
mendunia.
Ketakutan akan ancaman terorisme segera mendunia dan menjadi komoditas
ekonomi politik baru di dunia. Geliat ekonomi baru muncul dari perjanjian-perjanjian
internasional dalam penanggulangan terorisme. Alat-alat militer berteknologi tinggi
untuk pengendalian keamanan dan pertahanan mulai menjadi kebutuhan artifisial bagi
Negara-negara yang dilanda ketakutan terhadap ancaman terorisme. Tidak hanya itu,
operasi-operasi “perdamaian” pun melahirkan korporasi-korporasi militer swasta baru
sebagai sistem pendukung dalam operasi “perdamaian”.
Berbagai rangkaian perang melawan terror telah menjadi terror tersendiri
terutama bagi Negara-negara di Timur Tengah yang mendapatkan stigma teroris. Di
Indonesia, ketakutan akan ancaman terrorisme melahirkan detasemen khusus antiterror. Detasemen ini menyebarkan terror bagi keluarga yang anggota keluarganya
diindikasikan sebagai terroris. Berbagai kesalahan penangkapan bahkan penembakan
terjadi hingga saat ini atas nama perang melawan terror.
Perang melawan terror pun mulai dipertanyakan motivasinya setelah banyak
korban yang berjatuhan. Berbagai kajian kritik mengenai perang melawan terror
mengemuka baik dalam ranah akademis maupun politis. Sebagaimana addendum dari
Giorgio Agamben di awal, kebenaran akan muncul hanya jika ada kesalahan
begitupun juga perang melawan terorisme, kebenaran motivasinya akan muncul
ketika kesalahan-kesalahannya mulai teridentifikasi.
Perang melawan terror dalam kajian globalisasi umumnya dibahas melalui
perjanjian internasional, struktur keamanan global dan ekonomi politik. Melalui
tulisan ini, saya mencoba untuk melihat kampanye perang melawan terror dalam
kajian psikologi politik. Kajian ini menganalisa kampanye perang dari simptomp atau
gejala
psikologis
yang
dihasilkannya.
Berdasarkan
posisi
tersebut
saya
mengasumsikan bahwa; pertama, kampanye tersebut digunakan sebagai politik rasa
2
Department of Homeland Security declares, "Today's terrorists can strike at any place, at any time,
and with virtually any weapon"—which conveniently means that the security services required must
protect against every imaginable risk in every conceivable place at every possible time. (Klein, 2008, p.
300)
3
takut untuk menguatkan kuasa hegemonik yang menempatkan Amerika Serikat
sebagai sentral monopoli kekerasan di dunia.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1 Perang dan Terrorisme
Perang dalam sejarah merupakan fenomena yang tidak pernah habis untuk
dibahas karena dampaknya yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan. Dalam
sejarah, masyarakat di berbagai tempat telah mengalami perang dalam berbagai skala
mobilisasi. Perang-perang besar dalam peradaban manusia ikut membentuk peradaban
itu sendiri. perang dapat melakukan rekomposisi kekuasaan melalui kejatuhan
imperium-imperium dan bangkitnya Negara atau kerajaan-kerajaan baru.
Perang modern dipahami sebagai mobilisasi militer suatu Negara yang
melbatkan persenjataan dan tentara regular melawan tentara regular Negara lainnya.
Perang dalam pemahaman ini selalu dikonduksi oleh Negara. Pemahaman klasik
mengenai perang ini secara bertahap mengalami pergeseran dari masa ke masa.
Dimasa perang dunia pertama, perang melibatkan dua atau lebih Negara yang
tergabung dalam suatu aliansi atau Negara sendiri melawan Negara lainnya untuk
memperluas wilayahnya. Pada perang dunia kedua, perang masih terjadi dalam
definisi yang serupa namun melibatkan mobilisasi besar teknologi maupun tentara
dari daerah-daerah kolonisasi. Kemudian, pada masa pasca-perang dunia kedua
perang beralih pada definisi yang kabur. Era ini disebut dengan perang dingin. Perang
dingin adalah era perang perluasan pengaruh ekonomi dan politik. perang dingin
membentuk aliansi-aliansi Negara dalam pakta pertahanan dan blok-blok ekonomi
politik. di masa tersebut perang tidak Nampak dalam mobilisasi pasukan besar
melainkan operasi-operasi perluasan pengaruh politik.
Ketiga periode perang yang melibatkan hampir seluruh dunia ini sangat
berbeda dengan kampanye perang melawan terror yang dipelopori oleh Amerika.
Konsepsi kampanye war on terror menggabungkan konsep lama perang antar Negara
dengan perang sipil yang terjadi di dalam Negara seperti pemberontakan, separatism
dan perlawanan-perlawana anti Negara. Penggabungan kedua konsep ini melahirkan
konsep perang baru3.
3
Konsep perang baru muncul pada karya Hardt dan Negri, konsep ini menggabungkan perang
melawan terror, organisasi mafia dan peredaran narkoba dengan legitimasi mobilisasi militer. these
4
Penggabungan konsep yang tidak berimbang antara mobilisasi kekuatan
militer melawan kelompok-kelompok sub nasional baik itu organisasi gerakan
maupun organisasi criminal ini menjadikan konsep war onterror menjadi konsep yang
berkelanjutan. Konsep ini mampu melibatkan dukungan banyak Negara yang merasa
tidak aman oleh gangguan kelompok sub-nasional di negaranya dan menyematkan
label teroris pada mereka.
Terorisme sebesar apapun dampaknya tidak dapat disejajarkan dengan perang
dalam artian klasik karena terorisme dilakukan secara parsial oleh kelompokkelompok sub-nasional. Terror sebagai taktik dan strategi diadopsi oleh berbagai
institusi dalam perang Negara ataupun perang sipil untuk mempengaruhi psikis lawan.
Kelompok-kelompok anarkis dan sayap kanan radikal di eropa juga melakukan
strategi ini untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Kata terror sendiri dikenal
dalam kosakata politk sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 serta masa-masa
perang dunia kedua sebagai taktik perjuangan revolusi (Dugis, Tanpa tahun). Oleh
karena itu, terorisme atau tindakan terror tidak dapat dibatasi oleh identifikasi etnis
ataupun kelompok tertentu.
2.2 Kampanye Perang Melawan Terrorisme
Kampanye perang melawan terror memberikan perang dalam definisi yang
longgar menjauhi definisi perang klasik. Seibert dalam tulisannya menyebutkan
bahwa perang melawan terror telah menggeser paradigm perang yang ada (Seibert,
2005). Menurutnya juga4, kampanye perang melawan terror merupakan bentuk perang
baru yang terpisah dari definisi perang klasik dengan identifikasi keterlibatan yang
sangat mencolok dari korporasi-korporasi militer swasta dan geliat ekonomi yang
beriringan dengannya. Seibert menambahkan bahwa Kampanye perang melawan
terror dapat diidentifikasikan perbedaannya dengan perang klasik melalui beberapa
perbedaan seperti;
“pengingkaran terhadap perbedaan antara militer dengan sipil, penghancuran
infrastruktur ekonomi, kerjasama antara pihak pemerintah dan pihak non
pemerintah, kesenjangan yang mencolok antara berbagai pihak yang terlibat
conflicts make the fabric of global relations more fluid and, by affirming new identities and new
localities, present a more malleable material for control. In such cases repression can be articulated
through preventive action that constructs new relationships (which will eventually be consolidated in
peace but only after new wars) and new territorial and political formations that are functional (or
rather more functional, better adaptable) to the constitution ofEmpire. (Negri, 2000, p. 37)
4
ibid
5
dalam perang, kekacauan pemerintahan, serta lenyapnya batas hokum yuridis
dan politis. Acapkali, perang jugadiikuti atau dipicu oleh kebangkitan
sentiment etnisisme, rasisme atau fundamentalisme” (Seibert, 2005, p. 5)
Penjelasan Seibert tersebut diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertahanan
Amerika Serikat, Donald Rumsfeld ynag menyatakan bahwa semua fungsi yang dapat
dijalankan oleh swasta sebaiknya tidak lagi dibebankan pada institusi-institusi
pemerintah. Sejak saat itu sebagian besar misi militer AS dijalankan oleb berbagai
korporasi militer swasta (Bush, 2001). Pernyataan ini mengindikasikan keterlibatan
korporasi militer swasta bukan hanya dalam perang melawan terror namun juga dalam
semua fungsi pertahanan. Reformasi sektor pertahanan di Amerika tersebut
berdampak pada komposisi pasukan dalam perang melawan terror sekaligus
mengindikasikan geliat ekonomi baru yaitu bisnis perang.
Kelenturan konsep perang melawan terror terletak pada spesifikasi target yang
relative mengambang. Secara praktek, perang melawan terror tidak hanya dilancarkan
kepada organisasi-organisasi militant yang diindikasi sebagai penyebab kejadian 11/9
namun juga Negara-negara musuh Amerika di Timur tengah. Terorisme kemudian
bergeser pada pemahaman yang lebih abstrak yaitu ideology bahkan keyakinan
masyarakat terutama Islam.
Kampanye
perang
melawan
terror
menjadi
konsep
pertama
yang
menggabungkan perang sipil dan perang Negara dalam satu bentuk perang.
Penggabungan konsep ini menciptakan perang yang secara konseptual tidak mengenal
batas ruang dan waktu karena ancaman dalam bentuk tindakan dan ide tidak dapat
dibatasi oleh tindakan-tindakan fisik. Konsep ini mendorong mobilisasi perang dalam
bentuk
tindakan
preventif
Negara
menghadapi
potensi
terrorisme
dengan
mengkonsumsi alat keamanan baru seperti teknologi informasi, pelatihan-pelatihan
anti terror dan rekonstruksi pasca perang. Program-program penanggulangan
terrorisme ini menyedot biaya pertahanan yang dimiliki oleh Negara-negara yang
dilanda ketakutan. Proyek penanggulangan terrorisme sendiri seringkali melibatkan
korporasi-korporasi militer swasta yang menawarkan jasa counter-terrorism.
6
III.
Pembahasan
3.1 War On terror sebagai Politik Rasa Takut
"Today's terrorists can strike at any place, at any time, and with virtually any
weapon" —which conveniently means that the security services required must protect
against every imaginable risk in every conceivable place at every possible time.
(Departement of Homeland Security)
Pernyataan Departemen Keamanan Amerika tersebut mengawali ekspansi rasa
takut terhadap terror ke seluruh dunia. Ketakutan akan terrorisme muncul karena aksi
terror dapat terjadi di setiap tempat, setiap waktu dan dengan senjata apapun.
Kebutuhan untuk menanggulangi terrorpun meluas bahkan dalam pernyataan ini
disebut sebagai “every imaginable risk” yang berarti setiap resiko yang terbayangkan.
Resiko tersebut bisa jadi tidak ada namun kekuatan imajinasi manusia membayangkan
terror dan menjatuhkan kecurigaan pada orang-orang disekitarnya menjadikan resiko
terror selalu muncul.
Terror dan terroris selalu dikaitkan dengan tujuan politik suatu organisasi atau
actor untuk memperluas pengaruh maupun menanggulangi pengaruh lawannya. Lenin
berpendapat bahwa terorisme adalah kerja menghasilkan terror yang berdampak pada
orang-orang disekitar korban (Schmid, 2005). Dampak tersebut adalah rasa takut yang
menyebarkan keyakinan akan ancaman bahwa mereka mungkin adalah target teroris
berdasarkan identifikasi subjektifnya. Sekretaris Negara Amerika, Collin Powell,
bahkan menambahkan penyebaran rasa takut tersebut dengan ancaman penyerangan.
Dalam pernyataaanya pada Mei 2002 disebutkan bahwa:
„„In this global campaign against terrorism, no country has the luxury of
remaining on the sidelines. There are no sidelines. Terrorists respect no limits,
geographic or moral. The frontlines are everywhere and the stakes are high.
Terrorism not only kills people. It also threatens democratic institutions,
undermines economies, and destabilizes regions’’ (State, 2002)
Ketakutan ini disebar secara massal melalui media massa baik cetak maupun
elektronik. Berita mengenai aksi terror dan pemberantasan terrorisme selalu menjadi
headline media selama 11 tahun terakhir. Dampaknya, banyak Negara yang terdorong
untuk melakukan tindakan pemberantasan terrorisme dengan ikut serta dalam
kampanye perang melawan terror. Indonesia adalah salah satu Negara yang mengikuti
kampanye melawan terror. Indonesia secara aktif menciptakan regulasi-regulasi
7
pemberantasan terrorisme, melakukan pelatihan antiterror, menciptakan detasemen
khusus antiterror melakukan perjanjian kerjasama penanggulangan terrorisme dengan
Negara Negara lain hingga mendapatkan hibah yang cukup besar dari Amerika untuk
penanggulangan terrorisme.
Ketakutan adalah alat yang efektif dalam politik, penggunaan ketakutan dalam
politik telah dikenal luas sebelum munculnya Negara. Di masa feudal, ketakutan
direproduksi oleh kerjaan untuk memastikan kepatuhan rakyatnya dengan melakukan
eksekusi-eksekusi berdarah di tempat-tempat umum seperti hukuman gantung ataupun
yang cukup sadis adalah pemenggalan kepala dengan guillotine di Perancis. Hukum
modern tentu saja melarang penggunaan ketakutan sebagai alat dominasi politik
karena tuntutan kemanusian. Namun tidak berarti ketakutan tidak lagi menjadi alat
politik.
“Fear is a powerful tool in politics. Demagogues have at times conjured up
the fear of an impending threat from across the borders to rally the populace
behind them. The second use of fear in politics is more direct: despots and
demagogues decide to apply the fear directly on the populace or sections
thereof in order to terrorize them into obedience and submission ” (Schmid,
2005).
Ketakutan menjadi politik itu sendiri ketika dimanfaatkan sebagai alat control
sosial. Control sosial dilakukan untuk memengaruhi aktivitas, pemahaman, rutinitas
dan perspektif masyarakat. Penggunaan ketakutan sebagai alat politik tidak hanya
digunakan dengan cara pembunuhan dan pengasingan namun juga melalui media.
Media berfungsi sebagai alat propaganda yang meluaskan ketakutan melalui persepsi
tentang rasa takut.
“The politics of fear is relevant for social life because it influences our
activities, meanings, routines, and perspectives. It is difficult to undo the
policies and procedures that expand control and fear, partly because, as I
noted previously, it becomes taken for granted by the next generation. These
effects can be reduced through critical thinking and awareness of the social
changes and the implications of blanket adjustments in security and policy”
(Altheide, 2006).
Kontrol sosial sebagai motif dalam penyebaran rasa takut menggunakan
berbagai cara dengan mengintimidasi berbagai symbol yang berlaku dimasyarakat.
Penyebaran ketakutan ini berdampak pada kesatuan tindakan dibawah rasa takut yang
menegasikan segala pemikiran kritis terhadap fenomena. Ketika pandangan kritis ini
8
menghilang maka kekacauan sosial dan pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan
politik.
Akumulasi rasa takut ini akan berimbas pada penciptaan peluang-peluang
ekonomi dalam bentuk dana rekonstruksi, pelatihan militer hingga penjualan
persenjataan. Penyebaran rasa takut yang dipelopori oleh Amerika yang juga
merupakan produsen senjata ini menempatkan dirinya sebagai sentral monopoli
kekerasan dunia. Monopoli kekerasan ini ditunjukkan dengan publikasi-publikasi
media secara massal mengenai perang melawan terror. Tingkat kemajuan teknologi
persenjataan juga meningkatkan posisi Amerika dalam monopoli kekerasan.
9
IV.
Kesimpulan
Kampanye perang melawan terror dapat bertahan sejak 2001 hingga saat ini
bukan hanya karena didorong oleh patriotisme dan motif ekonomi. kampanye ini
dapat bertahan dan mengendap dalam pikiran setiap objek kampanyenya karena
melibatkan perencanaan dampak psikologis. Histeria terhadap terorisme dirubah
menjadai paranoia dalam politik internasional melalui gencarnya kampanye perang
melawan terror.
Indonesia yang juga dilanda ketakutan terhadap terrorisme sejak kejadian bom
bali pada tahun 2002 terlibat aktif dalam kampanye perang melawan terror. Posisi
Indonesia dalam perang melawan terror memang tidak menempati posisi utama baik
sebagai Negara yang mendapatkan keuntungan dari perang ataupun Negara yang
dirugikan. Namun dalam struktur globalisasi, Indonesia menjadi subordinat bagi
Negara pelopor kampanye melawan terrorisme. Penanggulangan terrorisme secara
terpisah juga dimanfaatkan oleh Indonesia untuk melakukan control sosial melaui
regulais anti-terror. Hal ini dapat diperhatikan melalui praktik penanggulangan
terrorisme di Indonesia yang selalu terjadi ketika kekacauan politik terjadi sebagai
pembiasan isu.
10
Daftar Pustaka
Agamben, G. (1993). The Coming Community. Minessota: University of Minessota
Press.
Altheide, D. L. (2006). Terrorism and The Politics of Fear. Lanham-New York: Alta
Mira Press.
Bush, G. (2001, October 7). georgewbush-whitehouse.archives.gov. Retrieved
January 2, 2013, from ETA Presidential address to the nation:
http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2001/10/print/20011007-8.html
Cramer, C. (2003). War, Peace and Capitalism: Is Capitalism the Harbinger of Peace
or The greatest Threat to World Peace. In A. Saad-Filho, Anti-Capitalism (pp.
152-163). London: Pluto Press.
Dugis, V. (Tanpa tahun). Mengkaji ulang upaya pencegahan dan pemberantasan
terrorisme. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Tahun 22 nomor 4 ,
200-303.
Klein, N. (2008). The Shoc Doctrine. New York: Metropolitan Books.
Marx, K. (1999). A Contribution to the critique of political economy. Retrieved
December 3, 2007, from marxist.org.
Marx, K. (1999). Capital. Retrieved January 2013, from marxist.org:
http://www.marxist.org/MIA/archive/marx/works/1867-c1/ch04.htm#6a
Marx, K. (2007). Brumaire XVIII Lois Bonaparte. -: Oey's Renaissance.
Moseley, F. (2003). Marxian Crisis Theory and the Postwar US Economy. In A. SaadFilho, Anti-Capitalism (pp. 211-223). London: Pluto Press.
Negri, M. h. (2000). Empire. London: Cambridge University Press.
P.Nikitin. (1962). The Fundamentals of Political Economy . Moscow: Foreign
Language Publishing House Moskwa.
Schmid, A. (2005). Terrorism as Psychological Warfare. Democracy and Security, I,
137-146.
Seibert, T. (2005). Perang Baru Kekejaman Tersembunyi Kapitalisme Global. In D.
A. (ed.), La Empressa Guera : Bisnis Perang dan Kapitalisme Global (pp. 121). Yogyakarta: Insist Press.
State, U. S. (2002, May). www.state.gov. Retrieved January 8, 2013, from
www.state.gov: http://www.state.gov/documents/organization/10286.pdf
Stocker, D. M. (2002). Theory and Methods in Political Science. New York: Palgrave
Macmillian.
Zarembka, P. (2003). Capital Accumulation and Crisis. In A. Saad-Filho, AntiCapitalism (pp. 201-210). London: Pluto Press.