Negara Dan Globalisasi Pandangan Muhammadiyah Atas Peran Dan Fungsi Negara Dalam Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya Di Indonesia.

(1)

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI

NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL

DAN BUDAYA DI INDONESIA

Oleh

Dani Setiawan

9933216569

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI

NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL,

DAN BUDAYA DI INDONESIA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Dani Setiawan NIM : 9933216569

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Yusron Razak, MA Drs. Agus Nugraha, MA

NIP: 150 216 359 NIP: 150 299 478

Jurusan Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuludin dan Filsafat

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1427 H/2006 M


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Demi Allah, tuhan semesta alam. Segala puji dan syukur aku haturkan atas segenap cinta dan rezeki yang telah dianugerahkan kepadaku. Tak ada yang pasti kecuali Dia, pencipta segala makhluk di dunia. Segala keikhlasan atas kehendaknya-Nya aku merampungkan tulisan sederhana ini. Juga bagi sang juru selamat, Nabi Agung Muhammad SAW. Terlimpah shalawat dan salam kepadanya.

Demi masa depan, aku persembahkan sebuah goretan. Agar dicatat

sebagai hikmah dan pelajaran. Tak habis rasa terima kasihku atas

kerelaan dan kesungguhan orang-orang yang aku hormati. Para

dosen, guru, dekan, sahabat dan seluruh orang yang

menginspirasiku. Terimalah ini sebagai persembahan bagi kesetiaan

dan perubahan. Izinkah aku mengucapkan rasa syukur dan terima

kasih kepada Prof. Dr. Amsal Bachtiar, MA, selaku Dekan Fakultas

Ushuludin dan Filsafat dan Ketua serta Sekretaris Jurusan

Pemikiran Politik Islam, Bapak Drs. Agus Darmadji, M.fil dan Ibu

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA Atas kebikan mereka memberikan

peluang bagi kelulusanku. Juga tidak lupa dosen pembimbingku,

Bapak Drs. Yusron Razak, MA dan Bapak Agus Nugraha, MA.

Kesempatan yang berharga bagiku untuk dapat bertemu dan

dibimbing.

Segenap takjub, bagi mereka yang telah menjadi kawan diskusi di

ruang kelas Pemikiran Politik Islam (PPI) angkatan pertama.


(4)

Kawan dalam suka dan duka, tempat berbagai cerita dan

pengalaman, Ubaidillah, M. Nur Mekkah, Roy M. Pamenang,

Anshori, M. Nur Khafid, Realino, Suhardiman, Ihdi Karim Makin

Ara, Togar, Fajri, dan Deni Agusta. Terima kasih menjadikanku

sebagai sahabat.

Demi kesabaran dan kasih sayang, aku khususkan skripsi ini untuk

kedua orang tuaku, Kartiwa dan Andriyani. Setelah penantian

panjang, kuharap engkau mau memaafkan anakmu. Jika bukan

karena mereka, mungkin skripsi ini tak kunjung ada. Buat

adik-adikku, Wawan, Zainal, Khoirul, dan si manis Nurul, aku

memberikan catatan ini untuk kalian pelajari kelak. Dan seluruh

keluarga besarku, aku mencintai kalian semua.

Demi perubahan, untuk para guru, dosen dan semua orang yang

menjadi tempat belajarku. Khususnya aku tujukan untuk Bang Ray

Rangkuti, Piet H. Khaidir, Anick H. Tohari, Lisa Nur Humaidah,

Siti Muniroh, Yudhie Haryono, Kusfiardi, Ichsanuddin Noorsy,

Revrisond Baswir dan Ibu Hendri Saparini. Terima kasih atas

semua diskusi dan pengalaman. Semoga aku menjadi apa yang

kalian harapkan.

Demi kemerdekaan sejati, aku hajatkan skripsi ini untuk

teman-teman seperjuangan di Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi

Indonesia (LS-ADI), Koalisi Anti Utang (KAU), Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah (IMM) dan Komite Mahasiswa anti Imperialisme

(KM-AI). Juga kepada teman-teman di Forum Mahasiswa Ciputat

(FORMACI), Komunitas Mahasiswa UIN (KM UIN), Himpunan


(5)

Mahasiswa Islam (HMI) Cab. Ciputat, dan Pergerakan Mahasiswa

Islam Indonesia (PMII) Cab. Ciputat Atas kesetiaan pada

keyakinan-keyakinan revolusioner dan ide-ide perubahan. Kita

meyakini, bahwa perjuangan belum tentu melahirkan perubahan,

tetapi kita lebih yakin bahwa tidak akan ada perubahan tanpa

perjuangan.

Untuk Dewi Sartika, demi cinta terimalah persembahan ini

untukmu. Bagi kesabaran yang tulus dalam menantiku. Buat Mama

Mumun dan Papa Ramli, terima kasih telah mengizinkan aku

mencintai anakmu. Walau bosan, aku tahu kalian begitu

menyayangiku.

Demi Islam, tidak ada hamba yang lebih shaleh kecuali mereka yang

bekerja dan berjuang menjalankan kewajiban, membela hak dan

keyakinan mereka. Tulisan ini ditujukan bagi mereka yang masih

setia dalam perjuangan. Para aktivis pro demokrasi di seluruh

dunia, kader-kader rakyat, para pembela HAM, dan semua yang

menjadikan “jalanan” menjadi guru terbaik dalam hidup.

Wallahu’alam


(6)

NEGARA DAN GLOBALISASI

PANDANGAN MUHAMMADIYAH ATAS PERAN DAN FUNGSI NEGARA DALAM PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN………..………....…………...…

1

A. Latar Belakang

Masalah………..………...……..1

B. Pembatasan dan Perumusan

Masalah…………..………...………..12

C. Tujuan dan Kegunaan

Penulisan………..…………...…...……..13

D. Metode

Penelitian………..………...…………14 E. Sistematika

Penulisan………..………...………..14

BAB II LANDASAN

TEORI……..……….………..…………..……...…..16

A. Beberapa Pengertian Tentang

Negara…………..…………...……...…..16 A.1 Defenisi

Negara………..…………...………16 A.2 Peran dan Fungsi


(7)

B. Beberapa Pengertian Tentang

Globalisasi……….……...…24 B.1 Defenisi

Globalisasi……….…..…..24 B.2 Prinsip-prinsip

Globalisasi………....…..……28 B.3 Aktor-aktor

Globalisasi………..…….30 B.4 Globalisasi; Anak Kandung

Kapitalisme………...…....….35 C.Welfare

State………...…..……38

BAB III MENUJU PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL, DAN

BUDAYA OLEH

NEGARA

…….……….………….…………...…….44

A.Kerangka Normatif Hak-hak ekonomi, Sosial, dan

Budaya…………...44

B.Neoliberalisme; Kendala Ideologis Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial

dan Budaya di Era

Globalisasi……….52

C.Refleksi Kebijakan Pembangunan Orde Baru Dalam Pemenuhan Hak

Ekonomi, Sosial dan

Budaya………59

D.Signifikansi Peran Muhammadiyah Dalam Mempromosikan Hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya di


(8)

BAB IV NEGARA DAN PERAN PEMENUHAN HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA MENURUT

MUHAMMADIYAH.

……69

A.Globalisasi dan Peran Negara Perspektif Muhammadiyah.………..69

B.Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Perspektif

Muhammadiyah……… …76

C.Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatan Perspektif

Muhammadiyah……… …81

D.Peran Negara Dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan Perspektif

Muhammadiyah………...……… .85

BAB V PENUTUP………...………91

A.Kesimpulan………..

.91 B.

Saran-saran……… 94

DAFTAR

PUSTAKA.………...…..………97


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Ibu seorang teman di sebuah desa di Kabupaten Kendal, Jawa

Tengah, memiliki halaman di belakang rumah yang ditanami pohon

bambu. Suatu hari dia didatangi tetangganya yang tengah

membetulkan rumah dan memerlukan dua batang bambu. Setelah

menebang dua batang bambu, si tetangga menghampiri Ibu teman

saya. Si tetangga lalu bertanya berapa ia harus membayar bambu

tadi. Kontan si Ibu kaget sebab dalam kehidupan sehari-hari di desa,

mengambil bambu untuk kebutuhan tetangga sekampung

merupakan hal lumrah dan tanpa biaya. Baginya, tolong-menolong

dan bekerjasama adalah keharusan setiap penduduk desa, sebagai

wujud dari kearifan lokal yang patut dipertahankan.

Kejadian itu salah satu dari banyak cerita yang sedikit banyak menggambarkan betapa jauh fenomena "masyarakat pasar" (market society) yang sudah menerobos masuk, bahkan hingga ke wilayah desa-desa, seperti di Kendal tadi. Desa tak lagi dipenuhi nilai-nilai komunal nan guyub, adat istiadat, serta gotong royong. Desa berubah menjadi komunitas berorientasi pasar. Tak ada lagi hubungan sosial tanpa pamrih.


(10)

Pandangan tersebut merupakan sebuah konsekwensi dari keyakinan bahwa fase baru dari dunia telah terjadi. Sebuah fase yang lahir dari hasil perkembangan teknologi. Bagi para pengagumnya, fase ini disebut globalisasi. Sebagai sebuah fenomena ekonomi yang sama sekali baru, realitas globalisasi muncul setelah Perang Dunia II. Khususnya pada paruh terakhir dekade 1960-an, ketika penemuan teknologi dan informasi berkembang pesat. Itu sebabnya, orang sering menyebut globalisasi dengan istilah ekonomi kasino.1

Istilah globalisasi, dalam dekade terakhir seakan menjadi mantra. Ketertarikan orang terhadapnya menjadikan kajian ilmu-ilmu sosial belakangan dipenuhi oleh berbagai perbincangan dan definisi yang beragam. Sebagian besar aspek globalisasi diperdebatkan: bagaimana istilah itu harus dipahami, apakah istilah itu baru atau tidak, dan apa konsekwensinya. Perdebatan tentang globalisasi memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Seperti yang dituliskan oleh Anthony Giddens, dalam bukunya

The Third Way, bahwa sekitar sepuluh tahun yang lalu kata itu hampir tak pernah digunakan dalam dunia akademis maupun pers. Dari awalnya tak dikenal, kata itu sekarang muncul di mana-mana. Pidato politik tak lengkap, atau manual bisnis tak dapat diterima jika tak menyebut kata itu. Kata yang menjadi akrab di telinga itu mendorong perdebatan intens, di lingkungan akademis dan dalam literatur demokrasi sosial. Sangatlah tepat untuk mengatakan bahwa dalam tahun-tahun terakhir

1

Coen Husain Pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Menuju Gerakan Massa (Jakarta, C-BOOKs, 2003), cet. I, h. 29.


(11)

globalisasi telah menjadi pusat dari sebagian besar diskusi politik dan perdebatan ekonomi.2

Dari pusaran diskursus soal globalisasi, para intelektual, politikus, dan pelaku bisnis pada dasarnya menyadari bahwa hal tersebut lahir dari penglihatan yang kasat mata tentang kondisi dunia yang berubah. Semenjak kemerdekaan hampir sebagian negara-negara di dunia ketiga pasca Perang Dunia II, konstalasi politik dan ekonomi dunia sama sekali berubah. Hal tersebut ditandai dengan munculnya aktor-aktor baru dalam bidang ekonomi yang menentukan arah kebijakan pembangunan sebuah negara-bangsa. Aktor-aktor baru dalam ekonomi ini bersifat global, dan senantiasa pada akhirnya menjadi arsitek pembangunan global yang sangat kuat dan berpengaruh.

Perkembangan tersebut pada akhirnya memunculkan setidaknya dua sayap kelompok pemikiran yang berbeda mengenai hal ini. Kelompok pertama beranggapan bahwa globalisasi adalah produk yang lahir dari sejarah panjang kolonialisme yang pada intinya adalah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang sesungguhnya telah dicanangkan sejak zaman kolonialisme.3 Proses globalisasi juga ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideologi dan tata dunia perdagangan baru di bawah

2

Anthony Giddens, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), cet. IV, h. 32.

3

Dr. Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 210.


(12)

suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global.4 kelompok pertama ini, dalam istilah Giddens disebut sebagai kelompok skeptis, yang berpendapat semua hal yang dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Apapun manfaat, cobaan, dan kesengsaraan yang ditimbulkannya, ekonomi global tidak begitu berbeda dengan yang pernah ada pada periode sebelumnya. Secara politik, kelompok ini digolongkan oleh Giddens, cenderung berada di aliran kiri politik, khususnya kiri lama.

Kelompok kedua, disebut kaum radikal yang secara politik berada di sebelah kanan. Bagi kaum radikal, globalisasi tidak hanya sangat riil di mana pasar global jauh lebih berkembang bahkan bila dibandingkan dengan tahun 1960-an dan 1970-an, serta mengabaikan batas-batas negara. Kelompok ini meyakini bahwa globalisasi membawa kemajuan dan perubahan sosial yang positif bagi masyarakat dunia saat ini. Globalisasi senantiasa meningkatkan kondisi kehidupan, hal ini ditunjukan dengan meningkatnya kelahiran anak dan harapan hidup. Sebagaimana dikemukakan Mauricio Rojas, “kemajuan yang tak tertandingi selama 30 tahun terakhir adalah bahwa ekonomi global baru memiliki potensi yang luar biasa, bahwa terdapat alternatif bagi kemiskinan dan keterbelakangan, bahwa segala sesuatu sekarang mentransformasikan semakin banyak negara pada bagian-bagian dinamis dari ekonomi yang ekspansif ini”.5

Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama tentang pembangunan nasional.

4

Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, h. 198. 5

Anthony Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. 126.


(13)

Pandangan itu, berangkat dari apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor utama: Arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagaimana masyarakat menggunakan barang dan jasa tersebut. Modal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat. Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keuntungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya memperbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat menyengsarakan pembeli/pengguna barang tersebut.

Dalam ungkapan lain, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk memanipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperkenankan adanya pendekatan Laisses Faire (kebebasan penuh) yang menjadi ciri kapitalisme yang paling menonjol. Dalam pandangan ini, benda dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pihak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi ekonomi.

Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam itu, memang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya eksploitasi itu sendiri. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melainkan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif. Di sinilah peranan negara menjadi sangat penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara yang


(14)

terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Factor kepentingan manusia harus diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya.

Lepas dari perdebatan tentang bagaimana memahami globalisasi, nyatanya saat ini telah terjadi ketimpangan distribusi dan pendapatan antara negara maju di satu sisi dan negara miskin dan berkembang. Sejumlah negara harus bekerja keras mengatasi kemiskinan yang mendera negaranya. Besarnya angka pengangguran dan tingkat kriminalitas menjadi persoalan utama bagi negara-negara tersebut saat ini. Sementara di saat bersamaan, tingkat konsumsi dan kwalitas hidup rata-rata masyarakat di negara maju justeru semakin meningkat. Apalagi, rata-rata negara-negara miskin tersebut tercatat sebagai negara yang menjadi pengikut patuh dan setia dari ajaran pasar bebas di bawah kendali kekuasaan globalisasi ekonomi.

Mengenai ketimpangan antar negara pada dekade belakangan ini, Anthony Giddens mencatat bahwa mekanisme pengendalian bagi ekonomi global yang ada saat ini terlalu diarahkan kepada negara-negara kaya, khususnya negara-negara industrial besar yang membentuk kelompok G7 dan G8. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara G7 20 kali lebih besar dari pendapatan per kapita di tujuh negara paling miskin. Tahun 1997 rasionya adalah 40 banding 1.6 Lebih rinci, Rudolf H. Strahm,7 yang mencatat tingkat konsumsi negara-negara industri pada tahun 1980 yang mencapai angka yang mengesankan. Rudolf mencatat bahwa 26% penduduk dunia (yang berada di negara-negara industri Blok Barat dan

6

Giddens, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, h. 129. 7

Rudolf H. Strahm, Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang (Jakarta: PT. Pusaka CIDESINDO, 1999), cet. I, h. 3.


(15)

Blok Timur) menguasai lebih dari 78% produksi,8 81% penggunaan energi, 70% pupuk, dan 87% persenjataan dunia. Sementara itu, 74% penduduk dunia di negara-negara berkembang (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) hanya mendapat jatah sekitar seperlima produksi dan kekayaan dunia.

Berbagai ketimpangan pendapatan dan distribusi antara negara maju dan berkembang tersebut ditenggarai merupakan akibat dari proses globalisasi yang menjalar dan membawa kepentingan negara-negara industri maju. Pengaruh pasar bebas, yang merupakan jantung dari semangat globalisasi tersebut menyebabkan negara-negara berkembang atau dunia ketiga tidak mendapatkan kesempatan untuk berkompetisi secara fair dan sehat. Hal ini diakibatkan karena formasi sosial global baru menetapkan mekanisme perdagangan lewat pasar bebas mulai ditetapkan. Kebijakan free trade yang bermula lewat ditandatanganinya sejumlah kesepakatan perdagangan internasional pada bulan April tahun 1994 di Marrakesh, Maroko, yakni suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement on Tarrif and Trade (GATT). GATT merupakan suatu kumpulan aturan internasional yang mengatur perilaku perdagangan antar pemerintah. GATT juga merupakan forum negosiasi perdagangan antar pemerintah, serta juga merupakan pengadilan untuk menyelesaikan jika terjadi perselisihan dagang antar bangsa. Kesepakatan itu dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem yang proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan bebas

8Produksi diukur dengan apa yang disebut GNP (Gross National Product). Di sini angka GNP ini mencakup produksi satu negara dalam setahun, termasuk barang dan jasa. Barang-barang dinilai dalam satuan mata uang sesuai dengan harga pasar. Apa-apa yang yang tidak memiliki nilai ekonomi tidak dicakup oleh GNP (misalnya pekerjaan ibu rumah tangga, udara dan air yang dipakai, pencemaran lingkungan, dll.) GNP kira-kira sesuai dengan pendapatan sebuah negara.


(16)

akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi.

Pada tahun 1995, juga didirikan suatu organisasi pengawasan dan kontrol perdagangan dunia yang dikenal dengan World Trade Organization (WTO) yang mengambil alih peran GATT. Sampai saat ini, WTO merupakan salah satu aktor dan forum perundingan antar perdagangan dari mekanisme globalisasi yang terpenting. Kelahiran WTO mengikuti dua organisasi sebelumnya, IMF dan Bank Dunia, yang bekerja untuk memberikan bantuan keuangan bagi pembangunan di negara-negara berkembang. Akan tetapi, ketiga organisasi ini mempunyai misi yang sama, yaitu mensponsori proses globalisasi yang dibangun lewat prinsip-prinsip liberalisasi dan mekanisme pasar bebas.

Semua mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni IMF, Bank Dunia, WTO, dan Trans National Corporation (TNC) tersebut sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Para penganut paham ekonomi neo liberalisme percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil normal dari “kompetisi bebas”. Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa pasar bebas adalah cara yang efisien dan tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia.9 lebih jauh, penganut neo liberalisme meyakini bahwa aktivitas ekonomi yang mensandarkan dirinya pada mekanisme pasar bebas

9

Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (Yogyakarta: INSIST dan Pustaka Pelajar, 2002), cet. I, h. 216.


(17)

yang kompetitif tidak hanya akan menghasilkan efisiensi ekonomi, tetapi merupakan jaminan bagi kebebasan individual dan solidaritas sosial.10

Demikian halnya dengan Indonesia. Negara yang pernah mencatat prestasi di masa keajaiban ekonomi Asia Timur ini, juga tidak luput dari pengaruh globalisasi. Sejak kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, Indonesia berturut-turut sampai hari ini terus dirundung oleh krisis yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian semakin buruk, tingkat kwalitas dan harapan hidup masyarakat menurun, dan jumlah pengangguran yang cenderung terus meningkat. Dilihat dari jumlah negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga tertimpa krisis serupa pada tahun 1997-an, Indonesia menjadi negara dengan proses pemulihan ekonomi yang relatif lambat. Betapa tidak, ketika Malaysia, Thailand, Fhilipina tengah bangkit dari keterpurukan mereka, Indonesia malah masuk dalam jerat kemiskinan dan beban utang luar negeri yang semakin tinggi.

Sejak berlangsungnya krisis, banyak yang menilai bahwa kebijakan ekonomi negara-negara Asia telah salah arah. Hal ini menjadi penyebab utama kekacauan yang tengah dialami perekonomian negara-negara tersebut. Sebagian kalangan bahkan menilai bahwa intervensi negara yang aktif dalam dalam sistem perekonomian merupakan akar dari masalah yang terjadi. Sebagian yang lain mengatakan bahwa hal ini adalah akibat dari ekspansi sentralisme ekonomi kekuasaan Orde Baru selama satu dasawarsa. Pada intinya, semua pendapat tersebut menunding ketidakberhasilan dan kegagalan pemerintah dalam urusan perekonomian. Sikap dan peran pemerintah

10

Anthony Giddens, Beyond Left and Right; Tarian “ideologi Alternatif di atas Pusaran Sosialisme dan Kapitalisme (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), cet. I, h. 60.


(18)

menjadi tumbal, tanpa ada orang sedikitpun yang menyebutkan fakta-fakta keberhasilan pemerintah selama tiga dasawarsa, di mana pemerintah memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunan ekonomi di Indonesia.

Di sinilah letak persoalannya, ketika Indonesia masuk dalam setting ekonomi global lewat tangan IMF dan Bank Dunia, sejak itu pula pemerintah dihadapkan pada konsekwensi penerapan paradigma ekonomi neo liberal. Yang artinya, kekuasaan ekonomi haruslah terletak pada mekanisme yang terjadi dalam pasar, dan sebisa mungkin menjauhkan peran negara dalam hal aktivitas-aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Pandangan tersebut menarik untuk dipelajari. Di tengah krisis ekonomi Indonesia yang panjang, dan kondisi masyarakatnya yang memprihatinkan, semakin besar tuntutan agar negara -pemerintah- dapat berperan dalam menjamin kesejahteraan masyarakat. Hal ini menandakan telah terjadi disharmoni secara ideologis dan paradigmatik mengenai bagaimana mendefinisikan ulang peran dan fungsi negara pada saat ini.

Pandangan mengenai perlunya negara bertanggung jawab atas pemenuhan kesejahteraan dan kehidupan yang layak bagi rakyat saat ini, dilandasi oleh mandat konstitusional yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Bab “Kesejahteraan Sosial” Pasal 33. Pada intinya pasal tersebut mengatur peran dan fungsi negara dalam a) penguasaan cabang-cabang produksi penting untuk kepentingan rakyat banyak. Dan b) pendistribusian kekayaan alam Indonesia untuk kepentingan kesejahteraan rakyat. Berikutnya adalah tuntutan dari perjanjian internasional mengenai kewajiban negara (State Obligation) dalam pemenuhan Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya.


(19)

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum Hak Asasi Manusia internasional. Sebagaimana yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang menyatakan bahwa tugas negara adalah melindungi martabat yang melekat pada manusia. Namun DUHAM bukan sekedar memberikan perlindungan hukum pada individu, tapi juga perlindungan pangan.11 Hak EKOSOB muncul sebagai sebuah tuntutan, berdasarkan pengalaman kegagalan kebijakan pembangunan Orde Baru yang melakukan pelanggaran dalam pemenuhan hak-hak tersebut.

Dalam perjalanannya, perjuangan untuk menjadikan hak EKOSOB sebagai bagian dari tanggung jawab negara mendapatkan tantangan yang cukup berat. Debat ideologis mewarnai silang pendapat mengenai perjanjian yang disinyalir merupakan “misi sosialisme” tersebut. Hal ini juga terjadi di Indonesia, kuatnya pengaruh paradigma ekonomi neo liberalisme yang dianut para pemikir ekonomi dan kabinet perekonomian sejak kejatuhan Soeharto, menyebabkan sampai penghujung tahun 2005 pemerintah Indonesia belum juga meratifikasi kovenan tersebut. Hal ini bisa dipahami karena intervensi negara dalam hal pemenuhan hak-hak EKOSOB dapat menimbulkan inefisiensi dan memberikan pelajaran yang buruk bagi kemandirian masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, peranan lembaga keagamaan Islam untuk mensposori pengesahan hak EKOSOB ini sangatlah strategis. Walaupun di sisi lain kita menghadapi kenyataan bahwa lembaga-lembaga keagamaan Islam belum kelihatan

11

Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global (Jakarta: Komnas HAM dan Solidamor, 2002, cet. I, h. 192.


(20)

berperan secara aktif. Muhammadiyah, salah satu Organisasi Massa (ORMAS) Islam besar di Indonesia, belum juga menunjukan keseriusan dalam merespon perkembangan dunia saat ini, khususnya hal yang berkaitan dengan persoalan peran negara di era globalisasi.

Mengapa Muhammadiyah punya peran strategis dalam hal ini? Karena dalam sejarahnya, ormas Islam ini mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukkan negara Republik Indonesia. Keterlibatan Muhammadiyah dalam sidang-sidang BPUPKI sampai majlis konstituante, menggambarkan betapa organisasi ini mempunyai concern dan kepedulian yang tinggi terhadap arah bangsa Indonesia ke depan. Dan di saat bangsa Indonesia saat ini tengah terancam kedaulatannya akibat ekspansi neoliberalisme, Muhammadiyah seharusnya berada di garis terdepan untuk ikut berkontribusi bagi penyelesaian permasalahan tersebut.

Penting juga untuk diketahui di sini, bahwa sejak lama Muhammadiyah secara aktif melaksanakan misi sosial kemasyarakatannya. Beragam agenda dan program seperti sekolah gratis, pendirian rumah sakit dan posyandu, adalah bukti dari konsistensi pergerakan kultural organisasi ini.

Tak pelak lagi, kajian soal negara tetap penting untuk di angkat kembali di permukaan. Peranan strategis negara yang termaktub dalam konstitusi negara kita, perlu mendapatkan penegasan kembali di era globalisasi saat ini. Mendapat penjelasan yang utuh tentang peran dan fungsi negara, berarti memberi kepastian bagi jutaan orang miskin, pengangguran, dan anak-anak yang tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan dan mendapatkan kesejahteraan di Indonesia saat ini. Kajian ini juga mencoba untuk merefleksikan kegagalan


(21)

pembangunan dari kebijakan negara pada masa presiden Soeharto berkuasa. Untuk kemudian dapat diambil pelajaran berharga bagi proses kebijakan pemerintah Indonesia di masa yang akan datang. Khususnya yang berakitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pokok masalah penelitian ini adalah: sejauh manakah peran negara dalam hal pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia? Dan bagaimanakah peran dan pandangan Muhammadiyah terhadap persoalan tersebut. Untuk menjawab hal ini diperlukan sebuah landasan teori yang jelas tentang negara, fungsi, dan perannya. Hal tersebut menyangkut bagaimana konsepsi para Founding Father bangsa ini tentang negara Indonesia yang mereka cita-citakan.

Dalam penulisan skripsi ini, pembahasan akan menitik beratkan pada usaha merekonsepsi atau menegaskan kembali peran dan fungsi negara, khususnya berkaitan dengan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dan hubungannya dengan upaya marginalisasi peran negara di era globalisasi ini. Untuk lebih mempermudah bahasan dalam tulisan ini, maka penulis membatasi rumusan masalah skripsi ini diformulasikan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana definisi, peran, dan fungsi negara?

2. Bagaimana definisi, aktor, dan pengaruh dari globalisasi?

3. Seperti apakah pengertian tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak


(22)

4. Bagaimana pandangan Muhammadiyah tentang peran negara dalam pemenuhan hak ekosob di Indonesia?

Tujuan dan Kegunaan Penulisan

Sehubungan dengan adanya pembahasan dan penulisan skripsi ini ada beberapa hal yang dapat dikemukakan mengenai tujuannya, yaitu:

1. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, peran, dan fungsi negara.

2. Untuk memberikan gambaran tentang definisi, prinsip, dan aktor-aktor

globalisasi.

3. Untuk memberikan gambaran tentang tanggung jawab negara dalam pemenuhan

hak ekonomi, sosial, dan budaya.

4. Untuk memberikan gambaran tentang pandangan Muhammadiyah tentang peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di Indonesia.

5. Untuk memenuhi tugas-tugas dan melengkapi syarat akhir guna mencapai gelar Strata satu (S1) pada jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya, karya tulis ini diharapkan berguna untuk:

1. Memperoleh gambaran yang utuh tentang konsepsi negara, dan perannya di era globalisasi

2. Menambah cakrawala pemikiran kajian politik Islam, khususnya yang berkaitan dengan perkembangan isu-isu kontemporer


(23)

Metode Penelitian

Metodologi dalam penelitian pada sebuah karya ilmiah merupakan hal yang harus dipegang unutk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.

Untuk lebih terarah dalam menguraikan permasalahan dalam karya tulis ini, penulis menyusunnya berdasarkan penelitian yang bersifat kualitatif dengan tehnik pengumpulan data yang diterapkan berupa studi dokumentasi dan pustaka. Dengan analisis data yang menggunakan tehnik deskriptif analitis.

Sistematika Penulisan

Bab I : Berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Penulis memulai dengan tinjauan umum aspek-aspek teoritis tentang negara (definisi, peran, dan fungsi) dan globalisasi (definisi, prinsip, dan aktor). Bab III : Pada Bab ini, penulis mencoba menjelaskan tentang konsepsi serta prinsip

pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya, (EKOSOB). Juga dibahas tentang refleksi pembangunan Orde Baru dalam pemenuhan hak EKOSOB, juga peran sosial kemasyarakatan Muhammadiyah dalam mempromosikan hak tersebut.


(24)

Bab IV : Bab ini akan membahas pandangan Muhammadiyah tentang globalisasi serta peran dan fungsi negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya.

Bab V : Penulis mengakhiri pembahasan ini dengan kata penutup yang berisi dengan kesimpulan, saran-saran dan disertai dengan daftar pustaka.


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Beberapa Pengertian Tentang Negara

A.1. Defenisi Tentang Negara

Di Indonesia, pengertian tentang negara terkesan hanya didominasi oleh beberapa kelompok, atau bahkan hampir satu kelompok saja. Apalagi sejak berkuasanya Orde Baru, pengertian tentang negara sedemikian rupa direduksi dan disimplipikasi. Negara, dalam pengertian yang umumnya kita sering dengar adalah sebuah lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Karena itulah, istilah-istilah seperti “demi kepentingan umum,” “pembangunan untuk seluruh masyarakat,” serta ungkapan-ungkapan lain yang senada selalu dikumandangkan dalam pernyataan-pernyataan politik para petinggi negara di dunia ini. Sebagai konsekwensinya, pengertian tersebut menjadi alasan yang ampuh bagi kelompok-kelompok kepentingan yang menguasai negara berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan kepentingan lain di luar dirinya atau kelompoknya.

Pandangan tentang negara sebagai lembaga netral sebenarnya hanya merupakan salah satu teori di antara sekian banyak teori-teori yang ada tentang negara. Karena itu dalam skripsi yang saya tulis ini, saya akan menguraikan secara singkat beberapa pandangan lain atau teori lain tentang negara.


(26)

Prof. Miriam Budiarjo, dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik, mengatakan bahwa negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Menurutnya “… Negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam

masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat….”1

Sedangkan menurut Max Weber, negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.2

Dari dua pengertian di atas, dapat dimengerti betapa aspek kekuasaan dalam pembicaraan tentang negara begitu sangat menonjol. Teori tentang negara seperti ini pada perkembangannya memang seringkali dijadikan legitimasi bagi penguasanya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya atas nama negara. Kekuasaan negara dalam perspektif teori Marxis-leninis menjelma dalam konsep diktator proletariat. Alasan yang dipergunakan juga hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hegel, yakni negara yang mengemban misi kesejarahan. Hegel menyatakan bahwa negara mempunyai misi untuk membawa masyarakat manusia merealisasikan ide universal, yakni masyarakat yang merdeka. Keinginan negara menurut Hegel merupakan keinginan umum untuk kebaikan semua orang. Karena itulah, negara harus dipatuhi. Dalam konsep diktator proletariat yang dianut oleh kelompok marxisme, misi negara juga sama, yakni merealisasikan sebuah masyarakat yang

1

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 38

2Arif Budiman,

Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi


(27)

dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yakni masyarakat egalitarian, yang juga dikenal sebagai masyarakat komunis.

Mengambil inti dari ajaran Hegel, Karl Marx, yang juga sebagai murid Hegel menyatakan bahwa

“Sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di jaman feodal, terjadi pertentangan antara kelas bangsawan dan kelas petani; di jaman perbudakan, kelas pemilik budak dan budaknya; di jaman kapitalisme, kelas pemilik modal dan melawan buruhnya. Pertentangan kelas baru akan berhenti tatkala kelas buruh berkuasa dan terciptanya masyarakat komunis.”3

Dari penjelasan mengenai teori kekuasaan negara di atas, terlihat bahwa negara merupakan sebuah lembaga yang mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Negara memiliki misinya sendiri, yakni menciptakan masyarakat yang lebih baik. Atas dasar ini, negara bukan lagi merupakan lembaga yang pasif, yang kemudian menjelma menjadi alat dari kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Tetapi, secara aktif mencampuri urusan masyarakat, untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.

Dalam perspektif yang lain, dikemukakan bahwa negara bukanlah merupakan lembaga yang mandiri. Kebijakan yang dihasilkan negara ditentukan oleh faktor eksternal atau faktor di luar dirinya. Dia hanyalah sebuah arena di mana setiap kekuatan sosial bertanding untuk menguasai.4 Negara dalam pandangan ini ibarat

3

Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. 21.

4Alfred Stepan,

The State and Civil Society (Princeton: Princeton University Press, 1978) h. 33.


(28)

kertas kosong dan bersih yang siap ditulisi oleh siapapun, bukan oleh kertas itu sendiri.

Ada dua kelompok utama yang mewakili pandangan tersebut. Kelompok pertama diwakili oleh kaum pluralis. Mereka mengatakan bahwa negara hanya melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam yang ada di masyarakat. Kebijakan negara adalah hasil dari sebuah kompromi dari kekuatan-kekuatan tersebut, tidak ada yang mendominasi. Kalaupun ada, hal tersebut lahir dari sebuah persaingan yang demokratis. Dalam pemikiran kaum pluralis, negara hanya hanyalah sekedar wahana politik di mana terjadi saling kontestasi untuk memperoleh kekuasaan negara. Lain halnya dengan kelompok kedua. Dalam hal ini diwakili oleh kelompok marxian. Bagi kaum marxis, negara dikendalikan oleh kelompok atau kelas yang paling dominan dalam masyarakat. Kelompok atau kelas yang dominan ini secara terus menerus akan menduduki posisi dominan tersebut. Hal tersebut dimungkinkan karena kondisi ekonomi-politik masyarakat menghendaki demikian. Mengutip pendapat seorang pemikir marxian, Fernando Henrique Cardoso (1979),5 yang mengatakan bahwa negara adalah “aliansi dasar, ‘fakta dominasi’ utama dari klas-klas sosial yang ada atau dari fraksi-faksi klas yang dominan, serta aturan-aturan yang menjamin kekuasaan mereka terhadap kelas-kelas yang ada di bawahnya”.

Dengan demikian, bila kita mencermati pemikiran kelompok marxis ini, yang perlu diteliti adalah sistem ekonomi-politik satu masyarakat. Bilamana sistem ekonomi-politiknya dalah kapitalis, maka yang berkuasa dan menjadi kelas yang

5 Budiman,

Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, hal. 43.


(29)

dominan dalam negara adalah klas borjuis. Maka wajar jika kelompok marxis ini mengatakan bahwa negara hanya merupakan alat bagi kepentingan kelompok borjuis untuk merealisasikan dan meraih cita-cita ekonomi-politiknya sendiri. Kalaupun ada bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara terhadapa kelompok lain, hal tersebut hanyalah bersifat semu. Karena sama sekali tidak merubah watak dasar negara yang menjadi alat dari kelas borjuis.

Di atas segalanya, dari berbagai perspektif dan teori yang muncul tentang negara, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

A.2. Peran dan Fungsi Negara

Sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan kekuasaan yang sah untuk memaksakan tujuan-tujuan bersama masyarakat, negara dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai di mana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, ataupun negara itu sendiri. Dengan demikian dia dapat membimbing kelompok-kelompok sosial di dalamnya kepada tujuan bersama. Secara umum dapat disebutkan dua peran utama negara:6

6Miriam Budiarjo,

Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), cet. XXI, h. 39.


(30)

1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan

2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan

golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi –asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.

Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan

perantaraan pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya.

Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan

teratur; maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang

memperjuangkan kekuasaan, harus dapat menempatkan diri dalam

rangka ini.

Dalam lapangan ekonomi, ketika konsep negara modern muncul

pada abad ke-17, negara samasekali tidak terlibat dalam bidang

ekonomi. Negara hanya berperan menarik pajak dari warga negara.

Baru ketika ekonomi Keynesian diintrodusir pada tahun 1930-an,

keterlibatan negara di dalam ekonomi muncul secara perlahan dan

masuk dalam banyak bidang. Beberapa pola keterlibatan negara

dalam ekonomi menurut Chrstopher pierson dalam bukunya

The

Modern State

adalah sebagai berikut:

7

a. Negara sebagai pemilik; yakni negara mempunyai hak atas kepemilikan tanah

maupun modal. Di Indonesia oleh pasal 33 UUD 2002 ditetapkan bahwa

7

Ignatius Wibowo, Francis Wahono, dkk., Neoliberalisme

(Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), cet. I, h. 271.


(31)

negara “menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”

b. Negara sebagai pemilik dan produsen; yaitu negara adalah sebagai pemilik perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi pilar utama dalam perekonomian. Perusahaan-perusahaan ini pada umumnya bergerak di bidang yang menyangkut kepentingan umum, seperti air, minyak, gas, dan lainnya. c. Negara sebagai majikan; yaitu negara memberikan peluang kerja bagi

rakyatnya. hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya jumlah perusahaan negara.

d. Negara sebagai regulator; negara diberikan kewenangan untuk melakukan intervensi secara administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar.

e. Negara sebagai redistributor; yaitu negara menjalankan tugas memeratakan kekayaan dengan cara penarikan pajak.

f. Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi; Dalam hal ini Pierson

menegaskan 4 hal: 1) negara menetapkan serangkaian target-target ekonomi 2) negara menetapkan kebijakan moneter 3) negara menetapkan kebijakan di

bidang pendapatan (income). Hal ini dilakukan untuk memeratakan

pendapatan 4) negara membuat kebijakan industrial policy, yang mempunyai pengaruh langsung kepada industri.

Mengenai tujuan sebuah negara, Prof. Miriam Budiarjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik mengatakan bahwa “… Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mengejar beberapa tujuan bersama….”


(32)

Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir setiap negara adalah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal). Artinya, secara umum, dan terlepas dari ideologi apapun yang dianut sebuah negara, negara mempunyai kewajiban untuk melakukan perlindungan dan berusaha untuk mensejahterakan rakyatnya.

Pandangan tentang tujuan negara tersebut secara eksplisit juga tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan negara Republik Indonesia. Yaitu:

“untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Mahaesa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”8

Setiap negara, menurut Prof. Miriam Budiarjo terlepas dari ideologinya, menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu yaitu:9

Melaksanakan penertiban (law and order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai “stabilisator”.

8

Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen&Proses Amandemen UUUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999 – Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), cet. I, h. 3.

9


(33)

Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Dewasa ini fungsi ini dianggap penting. Terutama bagi negara-negara baru.

Pertahanan; hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat pertahanan.

Menegakkan keadilan; hal ini dilakukan melalui badan peradilan.

Diskursus teoritik tentang peran negara berkembang sangat jauh pada dekade akhir abad 20. Khususnya terkait dengan fungsi dan perannya dalam menghadapi era baru bernama globalisasi. Praktek dominan dari peran negara digugat, intervensi yang berlebihan terhadap segala lapangan kehidupan masyarakat dianggap menjadi penyakit dunia di abad modern.

Menyangkut peran negara bangsa, Kenichi Ohmae, sebagai pendukung tesis ekstrim globalisasi mengatakan bahwa dalam pasar dunia yang semakin kompetitif sekarang ini negara-negara bangsa (nation state) tidak lagi mempunyai sumber-sumber yang tanpa batas yang dapat dimanfaatkan secara bebas untuk mendukung dalam mewujudkan ambisi mereka.1 Dalam dunia baru, yaitu “dunia tanpa batas negara” (a world without borders), demikian Ohame mengatakan, negara-negara bangsa dan penguasaan terhada militer tidak lagi memainkan peran penting.2 Bahkan peran mereka semakin memudar, dan secara meyakinkan akan segera digantikan oleh peran penting yangs emakin meningkat oleh aktor-aktor nonteritorial, seperti perusahaan-perusahaan multinasional dan orgaisasi-organisasi internasional.

1

Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas (Jakarta: Binarupa Aksara, 1991), cet I, h. 11.

2Budi Winarno,

Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I , h. 44.


(34)

Oleh karenanya, diskusi tentang peran negara dalam wacana politik internasional tetap penting dikemukakan. Kajian ini secara teoritik akan menempatkan letak persoalan yang sesungguhnya tentang globalisasi dan peran negara. Seperti yang diungkapkan secara tegas oleh Stiglitz, “…isunya bukan apakah globalisasi bisa menjadi kekuatan pendorong kebaikan yang bermanfaat bagi kaum miskin dunia; jelas itu bisa. Melainkan, perlunya globalisasi dikelola secara tepat karena seringnya dikelola secara serampangan….”3

Beberapa Pengertian Tentang Globalisasi

B.1. Definisi Globalisasi

Sebagai sebuah istilah, globalisasi lebih sering diungkapkan dan

diperbincangkan tanpa berhasil mengungkap inti dari persoalannya.

Pembicaraan ilmiah terasa kurang lengkap tanpa mengutip kata

globalisasi. Presentasi bisnis menjadikan perbincangan soal

globalisasi sebagai isu menarik dan sebuah tantangan yang harus

dihadapi. Singkatnya, kata globalisasi dalam dasawarsa terakhir

berhasil menyedot perhatian masyarakat dunia secara umum.

Istilah globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan

untuk menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Memasuki

milenium ketiga, dunia berubah dengan sangat cepat sehingga

menimbulkan implikasi yang sangat kompleks, yaitu munculnya

saling ketergantungan (

interdependence

) dalam hampir seluruh

3Joseph E. Stiglitz,

Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang, Marjin Kiri, 2006), cet I, h. 215.


(35)

dimensi kehidupan dalam hubungan antar bangsa (

nation-state

) dan

hubungan transnasional (

transnational relation

).

Perubahan-perubahan yang sangat cepat inilah yang kemudian disebut dengan

globalisasi.

Dalam sebuah proses yang dialektis, pandangan-pandangan yang

muncul tentang globalisasi setidaknya melahirkan dua kelompok

.

Pertama

, adalah kelompok yang optimis terhadap globalisasi.

Mereka menganggap globalisasi tidak hanya riil di mana

perkembangan pasar global jauh lebih pesat dari tahun 1960 –

1970-an. Karena pada prosesnya, globalisasi memberi peluang besar bagi

perkembangan manusia. Perkembangan tersebut dapat ditunjuk

dari keterkaitan antara “keterbukaan ekonomi suatu negara dengan

perbaikan kondisi hidup, khususnya secara mencolok di

negara-negara berkembang, diukur lewat

Human Development Index

”.

Selain itu, berkah globalisasi juga dapat dilihat dari terbukanya

peluang komunikasi seluas dunia, sehingga memungkinkan terjadi

komunikasi dan kerjasama seluas dunia itu pula. Konsep globalisasi

menurut kelompok ini merupakan fenomena di mana batas-batas

negara bangsa tidak lagi relevan untuk didiskusikan. Persoalan

kontemporer saat ini tidak dapat dipelajari secara memadai hanya

pada tingkatan negara bangsa dalam hubungan-hubungan

internasional.

4

Kelompok

kedua

, adalah mereka yang skeptis

terhadap globalisasi. Mereka berpendapat semua hal yang

dibicarakan mengenai globalisasi hanyalah omong kosong. Proses

4Winarno,

Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 37.


(36)

globalisasi memunculkan efek-efek negatif yang menghambat

perkembangan manusia. Ancaman-ancaman dan perusakan atas

kehidupan manusia dan kehidupan bumi menjadi masalah serius

yang kita hadapi masa kini. Misalnya saja, di tengah 826 juta

penduduk bumi menderita kekurangan gizi dan 10 juta orang mati

karena tidak mempunyai akses terhadap kesehatan,

5

terjadi

kesenjangan dan ketidakmerataan pembagian konsumsi secara

tajam, yaitu antara negara maju dan negara-negara miskin. Secara

singkat, globalisasi hanya melahirkan wajah muram dunia akibat

ancaman kerusakan, baik ekologis, sosial, ekonomi dan budaya.

Setelah kita melihat pandangan-pandangan tentang dampak dari

globalisasi, seyogyanya kita memahami secara definitif arti dari

globalisasi itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal yang sering kita

temukan dalam mendefinisikan globalisasi, yaitu kesalinghubungan,

integrasi, dan kesalingterkaitan.

Definisi tentang globalisasi dalam perspektif kesalinghubungan

adalah seperti yang

pertama,

dikemukakan oleh Lodge (1991) yang

mendefinisikan bahwa globalisasi sebagai suatu proses yang

menempatkan masyarakat dunia bisa menjangkau satu dengan yang

lain atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan

mereka, baik dalam budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun

lingkungan.

6

Dengan pengertian demikian, maka globalisasi boleh

dikatakan bahwa masayarakat dunia hidup dalam era di mana

5

Laporan World Health Organization (WHO), 2001.

6Winarno,

Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 39.


(37)

sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh

proses-proses global.

Definisi

kedua

tentang globalisasi seperti yang diungkapkan oleh

Ichlasul Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya

masayarakat global, yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik,

dengan melampaui batas-batas negara, baik ideologis, dan

lembaga-lembaga politik dunia.

7

Definisi inilebih mirip dengan keyakinan

kaum globalis yang memahami globalisasi sebagai terwujudnya

sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi. Bangsa-bangsa yang

mendukung pandangan ini dengan cara menghilangkan

hambatan-hambatan terhadap perdagangan internasional, sehingga

memudahkan arus perdagangan, investasi, dan mata uang secara

bebas melintasi batas-batas nasional. pada konteks ini,

sesungguhnya integrasi ekonomi nasional menuju sistem global yang

dikenal dengan globalisasi korporasi telah terjadi. Kesepakatan

tersebut secara teoritik berhasil memaksakan keinginan

perusahaan-perusahaan korporasi global untuk mendesakkan

terjadinya reformasi kebijakan nasional (deregulasi) di

negara-negara dunia ketiga.

8

Konsep

ketiga

adalah interdependensi, definisi ini mencakup

pengertian bahwa sistem ekonomi, khususnya sistem moneter dunia

saat ini tergantung antara satu dengan yang lain. Akibatnya,

7

Ichlasul Amal, “Globalisasi, Demokrasi, dan Wawasan Nusantara: Perspektif Pembangunan Jangka Panjang,” dalam Wawasan Nusantara Indonesia Menghadapi Globalisasi, (Pusat Kajian Kebudayaan Universitas Bung Hatta, 1992), cet. I, h. I.

8Mansour Faqih,

Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), cet. I, h. 9.


(38)

kebijakan-kebijakan pada skala nasional tidak dapat begitu saja

mengabaikan peristiwa-peristiwa di tingkat global, begitupun

sebaliknya.

9

Kejatuhan mata uang di Asia beberapa waktu lalu

dengan mudah dapat dijadikan kasus untuk menjelaskan konsep ini.

Dimulai dengan kejatuhan mata uang Bath di Thailand yang diikuti

oleh kejatuhan mata uang negara-negara lain yang menjadi

tetangganya, seperti Indonesia, Malaysia, Korea Selatan, dan

Filipina. Ini terjadi karena kesalinghubungan (

interconection

) antara

sistem keuangan satu negara dengan sistem keuangan negara lain.

Di sisi yang lain, penulis seperti Petras dan Veltmeyer melihat

globalisasi sebagai suatu deskripsi dan sekaligus sebagai preskripsi.

10

Sebagai sebuah deskripsi, globalisasi mengacu pada perluasan dan

dan penguatan arus perdagangan, modal, teknologi dan informasi

internasional dalam sebuah pasar global yang menyatu. Konsep ini

digunakan untuk menggamparkan fenomena dunia kontemporer di

bidang ekonomi dan perdagangan di mana batas geografis negara

bangsa tidak lagi mempunyai makna. Sebagai sebuah perskripsi,

globalisasi meliputi liberalisasi pasar global dan pasar nasional

dengan asumsi bahwa arus perdagangan bebas, modal, dan

informasi akan menciptakan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan

dan kemakmuran manusia.

9

Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan, hal. 40.

10James Petras dan Henry Veltmeyer,

Imperialisme Abad 21


(39)

B.2. Prinsip-prinsip Globalisasi

Globalisasi, dalam kerangka pemikiran seperti yang sudah ditulis diatas, adalah memastikan terbukanya jalan bagi perluasan wilayah dan praktek kerja bagi pasar bebas. Dalam konteks ini diperlukan seperangkat aturan-aturan yang mendukung berjalannya proses tersebut. Bagi penganut globalisasi, pasar bebas adalah

konsekwensi logis dari sebuah dunia yang berubah. Globalisasi dalam bahasa Hobbes mengizinkan “pembeli untuk menentukan harga manusia pada skala besar-besaran, yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia.11 tetapi pandangan-pandangan mengenai globalisasi dan pasar bebas di atas tidak dapat menjelaskan bahwa seiring dengan globalisasi, pendapatan negara-negara Dunia Ketiga atau negara-negara yang kurang berkembang (less developed countries) jauh lebih menurun dibandingkan dengan era tahun 1960-an dan 1970-an. Sebaliknya negara-negara maju semakin menikmati kelimpahan pendapatan dan standar hidup yang jauh lebih tinggi. Di sinilah globalisasi masuk dalam skenario ekonomi-politik

neoliberalisme. Para penganut ekonomi neoliberalisme, percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan hasil normal dari “kompetisi bebas.” Kompetisi yang agresif adalah akibat dari kepercayaan bahwa “pasar bebas” adalah lebih efisien dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumber daya alam rakyat yang langka untuk

11Susan George,

Republik Pasar Bebas (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 2002), cet. I, h. 62.


(40)

memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa selanjutnya menjadi indikator apakah sumber daya alam telah habis atau masih banyak.12

Dalam prosesnya globalisasi neoliberal kemudian menganjurkan cara-cara yang kurang lebih sama dari apa yang disarankan oleh maha guru ekonomi pasar bebas, Adam Smith. Yaitu memberikan kebebasan bagi individu untuk menjalankan aktivitas ekonominya tanpa dikontrol oleh negara. Dalam proses ini, negara diupayakan menjalankan peran yang minimal. Sebab regulasi negara hanya akan membuat “pasar” menjadi tidak efisien, atau menghambat peluang bagi individu untuk mengakumulasi modal dan menjalankan prinsip invisible hand dalam setiap keputusan-keputusan bisnis.

Dalam hal ini, proses globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi

kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju untuk menguasai sumber daya di negara-negara dunia ketiga. Dan prinsip bahwa dunia menjadi semakin sejahtera bilamana memanfaatkan peluang-peluang dalam proses globalisasi yang semakin agresif hanya lah menjadi mimpi rakyat di negara-negara miskin dan berkembang.

Kecenderungan ke arah ketidaksetaraan yang lebih besar antara negara-negara maju dan berkembang ini bukanlah kebetulan dan bukan merupakan tindakan tuhan. Kecenderungan ini merupakan efek yang terbangun atas liberalisasi, privatisasi, dan

12Mansour Faqih,

Bebas Dari Neoliberalisme (Yogyakarta: INSIST Press, 2003), cet. I, h. 5.


(41)

integrasi yang dipaksakan ke pasar dunia melalui penyesuaian struktural, dan lebih mengandalkan kekuatan pasar.13

B.3. Aktor-aktor Globalisasi

Globalisasi sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional

ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh tiga

aktor utama proses tersebut. Yang pertama adalah

Trans-National

Corporation

(TNC), yakni perusahaan multinasional yang besar

yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNC

tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global

yang dikenal dengan

World Trade Organization

(WTO). Secara

historis, proyek globalisasi lewat pembentukan WTO ini terjadi

ketika ditetapkannya formasi sosial global baru yang ditandai

dengan kebijakan

free trade

atau pasar bebas. Kebijakan tersebut

lahir dari sebuah kesepakatan perjanjian internasional tentang

perdagangan di Marrakesh, Maroko pada tahun 1994. Perjanjian

tersebut dikenal dengan

General Agreement on Tariff and Trade

(GATT)

.

Kumpulan aturan internasional dalam Perjanjian GATT

menyangkut prinsip perilaku perdagangan antar pemerintah, forum

negoisasi, dan upaya untuk menyelesaikan perselisihan dagang antar

bangsa. Kesepakatan ini dibangun di atas asumsi bahwa sistem

dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sitem dagang yang

proteksionis, dan dibangun di atas keyakinan bahwa persaingan

bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan

13


(42)

prinsip efektivitas dan efisiensi. Tepat satu tahun setelah ditanda

tanganinya perjanjian GATT, yaitu pada tahun 1995 barulah

didirikan sebuah organisasi pengawasan perdagangan dan kontrol

perdagangan dunia yang dikenal dengan

World Trade Organization

(WTO). Organisasi ini dibentuk untuk mengambil alih peran GATT,

dan menciptakan sebuah rezim perdagangan baru dunia.

Aktor kedua yaitu

Trans/Multi Nasional Coorporation

(TNC). Untuk

menjelaskan makhluk seperti apa TNC/MNC ini, penuturan dari

Omer Voss, wakil presiden eksekutif Internasional Hervester

memberikan ilustrasi yang menarik. Dia mengatakan: “jika Anda

mempunyai sebuah perusahaan patungan di Turki, dengan

mesin-mesin dari Jerman, sebuah sasis dari Amerika Serikat dan sebuah

sumber komponen setempat, anda harus menyentralisasikannya.

Anda mungkin harus menamakan kami terpusat dalam hal pola,

pengembangan hasil produksi, pembelian, dan keuangan.”

14

Dari

apa yang dikatakan Voss, kita bisa mengidentifikasi

perusahaan-perusahaan multinasional sebagai perusahaan-perusahaan yang kegiatan

bisnisnya bersifat internasional dan lokasi produksinya terletak di

berbagai negara.

Pada era globalisasi, di mana pasar bebas menjadi prinsipnya

perusahaan-perusahaan transnasional memiliki kekuasaan yang tak

terbatas. Edward Luttwak dalam bukunya

Turbo Capitalism

Winner&losser In The Global Economi menuliskan bahwa

“…Pasar

bebas secara alamiah cenderung menjadi tidak bebas, karena

14

Coen Husain pontoh, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa (Jakarta: C-Book, 2003), cet. I, h. 57.


(43)

mereka menghasilkan perusahaan-perusahaan yang sangat sukses

yang bertumbuh semakin besar hingga akhirnya menjadi monopoli,

atau sejenisnya….”. Monopoli kekuasaan atas perdagangan dunia

oleh perusahaan trans nasional ini tidak hanya mencakup sektor

industri dan perbankan. Tetapi juga sektor pertanian, konstruksi,

komunikasi, transportasi, pertahanan keamanan serta perdagangan

dan jasa. Data yang diperoleh Coen Husein Pontoh dari

Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah perusahaan multinasional

lebih dari 45.000, 500 perusahaan terbesar menguasai 80 persen dari

seluruh investasi asing langsung. Perusahan-perusahaan

multinasional juga mengontrol sekitar 70 persen dari seluruh

perdagangan dunia. Lima perusahaan terbesar di dunia menguasai

77 persen perdagangan biji-bijian (padi, jagung, gandum, dsb.) di

dunia; tiga perusahaan pisang terbesar menguasai 80 persen

perdagangan pisang dunia; tiga perusahaan cokelat terbesar

menguasai 83 persen perdagangan cokelat dunia.; tiga perusahaan

teh terbesar menguasai 85 persen perdagangan teh; dan empat

perusahan tembakau terbesar mengusai 87 persen perdagangan

tembakau dunia.

15

Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional

menjadi ekonomi global (globalisasi) merupakan harapan dan hasil

perjuangan dari perusahaan-perusahaan trans nasional. Kerena

sesungguhnya merekalah yang mengambil keuntungan dari semua

proses tersebut. Selama dua dekade menjelang berakhirnya abad

15Pontoh,

Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa, hal. 62.


(44)

lalu perusahan TNC tersebut meningkat secara kuantitas dari

sekitar 7000 TNC pada 1970 menjadi 37.000 TNC pada 1990. Pada

saat tersebut mereka menguasai 67% perdagangan dunia antar TNC

dan menguasai 34,1% dari total perdagangan global. Kini ada 100

TNC yang mampu mengontrol sampai 75% perdagangan global.

16

Ketiga, adalah lembaga keuangan global. Yaitu

International

Monetery Fund

(IMF), dan Bank Dunia. Dua aktor keuangan

internasional ini berdiri pada tahun 1944. Ketika itu banyak

negara-negara yang baru merdeka. Lembaga-lembaga

Breeton Wood

-IMF

dan Bank Dunia- dirancang untuk memungkinkan perdagangan

internasional saat macetnya pergerakan modal internasional. Bank

Dunia dirancang untuk menutupi kekurangan investasi langsung

dan IMF untuk menutupi kekurangan kredit finansial demi menjaga

keseimbangan perdagangan. Pada akhirnya, dua lembaga ini yang

pada perjalanannya membuat proses globalisasi menjadi semakin

nyata. Lewat mekanisme utang luar negeri, IMF dan Bank Dunia

bekerja untuk memastikan agenda

Stuctural Adjustment Program

(SAP) dilaksanakan oleh negara yang menjadi “pasien” nya. Agenda

tersebut mencakup prinsip-prinsip yang ada dalam Konsensus

Washington. Yaitu liberalisasi perdagangan dan keuangan,

privatisasi, dan deregulasi. Menurut Stiglitz, gagasan

fundamentalisme pasar tercermin dalam strategi dasar

pembangunan yang dianjurkan oleh IMF, Bank Dunia, dan

Departemen Keuangan AS mulai tahun 1980-an (strategi yang

mencakup juga pengelolaan krisis serta proses transisi dari

16


(45)

komunisme ke ekonomi pasar).

17

Oleh berbagai pihak strategi ini

disebut sebagai “neoliberalisme”. Karena pemain-pemain utama

yang merencanakan semua ada di Washington, kadang disebut juga

“Konsensus Washington”.

Walaupun sesungguhnya seperti yang dicatat oleh Susan George,

seorang aktivis

Association for Taxation of Financial Transaction to

aid Citizen

(ATTAC) Prancis, bahwa ketika IMF dan Bank Dunia

diciptakan di Breeton Woods mandat mereka adalah untuk

menolong mencegah konflik di masa depan, dengan cara memberi

pinjaman untuk rekonstruksi dan pembangunan, dan dengan

melicinkan pembayaran neraca kontemporer. Mereka tidak

memiliki kontrol terhadap keputusan ekonomi pemerintah secara

individual, juga mandat mereka tidak mencakup izin untuk

mencampuri kebijakan nasional. Tetapi, pada prakteknya dua

lembaga ini justeru berfungsi sebagai “pasukan kavaleri” bagi

masuknya kebijakan globalisasi neoliberal dengan melakukan

sejumlah kontrol atas kebijakan negara.

Sederhananya, ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan

aturan-aturan di seputar investasi,

intelectual Property Rights

dan kebijakan

internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau

mempengaruhi serta memaksa negara-negara untuk melakukan

penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses

pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global.

17

Joseph E. Stiglitz, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia (Tangerang: Marjin Kiri, 2006), cet. I, h. 243.


(46)

B.4. Globalisasi; Anak Kandung Kapitalisme

Kapitalisme di Asia Timur yang selama ini dijadikan teladan keberhasilan pembangunan dan keberhasilan kapitalisme Dunia ketiga tengah mengalami kebangkrutan. Namun negara-negara kapitalis atau imperial pusat telah mampu mengantisipasi hal tersebut, dimana untuk mempercepat laju kapitalisme diperlukan sebuah proses yang disebut dengan globalisasi.

Krisis terhadap pembangunan yang terjadi pada dasarnya merupakan bagian dari krisis sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia yang lain, yang diperkirakan telah berusia lebih dari lima ratus tahun. Proses ini pada dasarnya dapat dibagi ke dalam tiga periode; fase pertama adalah periode kolonialisme yakni perkembangan kapitalisme di Eropa yang mengharuskan ekspansi secara fisik untuk memastikan perolehan bahan baku mentah. Berakhirnya

kolonialisme telah memasukkan dunia pada era neo-kolonialisme, ketika modus dominasi dan penjajahan tidak lagi fisik dan secara langsung melainkan melalui penjajahan teori dan ideologi. Fase kedua ini dikenal sebagai era pembangunan atau era developmentalisme dan ditandai dengan masa kemerdekaan negara Dunia Ketiga secara fisik, tetapi pada era developmentalisme ini, dominasi negara-negara bekas penjajah terhadap bekas koloni mereka tetap dipertahankan melalui kontrol teori dan proses perubahan sosial mereka. Dengan kata lain, pada fase kedua ini, kolonialisasi tidak terjadi secara fisik, melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang dan ideologi serta ‘diskursus’ yang dominan melalui produksi pengetahuan. Krisis terhadap pembangunan belum berakhir, tetapi suatu mode of domination telah disiapkan, dan dunia memasuki era baru yakni era globalisasi. Fase ketiga, yang terjadi menjelang abad duapuluh satu, ditandai dengan liberalisasi segala bidang yang dipaksakan melalui Structural Adjustment Program (SAP) oleh lembaga finansial global, dan disepakati oleh rezim GATT dan Perdagangan Bebas, suatu organisasi global yang dikenal dengan WTO. Sejak saat itulah dunia memasuki era yang dikenal dengan globalisasi.

Kapitalisme, yang menjadi basis sistem dan gerak operasi dari proses globalisasi saat ini tentu saja mempunyai kekhasannya tersendiri. Bagi kalangan yang sangat optimis terhadap globalisasi, seperti Thomas L Friedmean dan beberap penulis yang lain, globalisasi adalah satu-satunya jalan yang dapat digunakan umat manusia untuk mendapatkan standar hidup yang lebih baik. Runtuhnya berbagai sistem ekonomi yang menjadi “rival” kapitalisme, telah meyakinkan sebagian kelompok ini bahwa globalisasi dan liberalisasi pasar telah menawarkan alternatif bagi pencapaian standar hidup yang lebih tinggi, kehidupan yang lebih baik, dan efisiensi ekonomi. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh sosialisme ataupun komunisme.18 Rezim kapitalisme global yang berjaya sekarang memiliki sejumlah hal baru yang membuatnya berbeda dari

bentuk sebelumnya. Kecepatan komunikasi yang merupakan salah satu hal baru, penemuan telepon dan telegraf mencerminkan suatu akselerasi yang setidaknya sama besar dengan perkembangan komputer saat ini. Tetapi, secara operasional, praktek kapitalisme mutakhir tetap mewarisi tradis lama kapitalisme. Prinsip kebebasan pasar dan mendorong kebebasan individual dalam menentukan gerak aktivitas ekonomi merupakan hal yang tidak dapat dihilangkan. Lebih luas lagi, globalisasi yang dikontrol oleh rezim kapitalisme global ini mencakup wilayah yang lebih luas dari kekuasaan yang dimiliki sebelumnya. Ia mengatur seluruh peradaban, walaupun sebenarnya dia tidak memiliki struktur formal kedaulatan negara, sebagaimana kekuasaan itu lahir darinya. Yang pada akhirnya, seperti yang diungkapkan oleh George Soros, sistem kapitalisme global memperlihatkan sejumlah kecenderungan imperialistik. Alih-alih berupaya membangun ekuilibrium, ia bahkan sibuk melakukan ekspansi. Ia tidak berhenti sepanjang masih ada pasar atau sumber daya yang belum dicaplok.19 Dalam bahasa yang diungkapkan Petras, karena globalisasi merupakan sebuah proyek kelas, bukannya sebagai proses yang niscaya, maka jaringan lembaga-lembaga yang menentukan sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan atau ketergantungan, yang dikendalikan oleh kelompok/orang yang merepresentasikan dan mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru. Karena itu, Petras lebih senang menyebut globalisasi sebagai imperialisme.20

Dari penjelasan di atas, sejatinya kita saksikan bahwa globalisasi yang menjadi “obat kuat” bagi terjaminnya masa depan dunia malah menjadi momok yang menakutkan. Propaganda kapitalisme tentang globalisasi justeru mengantarkan kita pada ketidakjelasan memaknai hakikat dari perkembangan dunia saat ini. Kapitalisme, sebagai anak kandung dari globalisasi dan sekaligus poros dari liberalisasi ekonomi menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan kesejahteraan sosial. Untuk itu diperlukan pemahaman yang jelas tentang apa dan bagaimana sebuah negara-bangsa dibentuk dalam kaitannya dengan globalisasi dan pemenuhan hak-hak sosial masyarakat.

C. Welfare State

18

Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru Peran Negara Dalam Pembangunan (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005), cet. I, h. 72.

19

George Soros, Krisis Kapitalisme Global, alih bahasa: Didin Solahudin (Yogyakarta: Penerbit QALAM, 2002), cet. III, h. 132.

20James Petras dan Henry Veltmeyer,

Imperialisme Abad 21


(47)

Dalam kapitalisme, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Karenanya, dalam situasi yang tanpa “tangan pengatur keadilan” seperti itu, kapitalisme mudah terpeleset kedalam arogansi ekonomi, homo homini lupus, dan hedonisme yang melihat manusia hanya sebatas “binatang ekonomi” (homo economicus) yang motivasi, kebutuhan dan kesenangannya hanya mengejar pemuasan fisik-materi. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Dalam praktiknya, “manfaat” di sini kerap

merosot maknanya menjadi sekadar “konsumerisme-materialisme” dan

“pengorbanan” sering terpeleset menjadi penindasan terselubung “si kuat terhadap si lemah”, “majikan terhadap buruh”, “penguasa terhadap yang terkuasai”. Produktivitas, efisiensi, dan pertumbuhan didewakan, sementara solidaritas, effektifitas, dan kesetaraan ditiadakan.

Itulah salah satu dasarnya mengapa di negara-negara kapitalis, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial tidak dipandang sebagai dua “sektor” yang berlainan dan berlawanan. Keduanya dijalankan secara serasi dan seimbang yang dibingkai oleh formulasi historis dan sosiologis yang bernama “negara kesejahteraan” (welfare state).21 Sebagaimana dinyatakan oleh pemikir sosialis Jerman Robert Heilbroner (1976), negara kesejahteraan merupakan sebuah ideologi, sistem dan sekaligus strategi yang jitu untuk mengatasi dampak negatif kapitalisme. Karena

21

Edi Suharto, “Globalisasi, Kapitalisme dan Negara Kesejahteraan: Mengkaji Peran Negara Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Indonesia,” artikel diakses tanggal 10 Maret 2005 dari http://www.policy.hu/suharto/makIndo10.html


(1)

memberikan saran berkenaan dengan penulisan karya ilmiah selanjutnya bagi usaha memajukan dan mempromosikan hak ekosob oleh negara.

Pertama, berangkat dari keterbatasan pengkajian yang dilakukan dalam karya ilmiah ini, penulis beranggapan perlunya ke depan dikembangkan gagasan alternatif dari pemikiran tentang peran dan fungsi negara. Dominasi wacana dan persepsi tentang negara, menyebabkan terjadinya distorsi dan simplipikasi (penyederhanaan) bagi pengertian yang sesungguhnya beragam. Gagasan alternatif penting sebagai sebuah cara melakukan counter hegemony, untuk tidak mengesankan hanya memiliki semangat “anti” dan “tolak”. Dalam konteks Indonesia, gagasan tentang negara sosial demokrasi sesungguhnya mempunyai akar sejarah dan konteksnya pada masa lalu.

Kedua, diperlukan kesungguhan dari para elit dan penguasa di negeri ini untuk menjalankan amanat kontitusi dalam UUD 1945. Yaitu dengan menjadikan persoalan pemenuhan hak ekosob sebagai agenda prioritas pembangunan Indonesia. ketersediaan sumber daya alam yang cukup di Indonesia memungkinkan negeri kaya raya ini


(2)

untuk dapat memberikan pelayanan minimal bagi kebutuhan sosial masyarakat. Seperti pendidikan dasar dan menengah secara gratis, pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat tidak mampu dan melakukan reformasi kebijakan agraria di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas petani dan memenuhi kebutuhan pangan domestik yang berkelanjutan.

Ketiga, sebagai bagian dari Civil Society, ormas Islam terbilang gagap dalam menjelaskan dampak dari perkembangan globalisasi. Terutama hal yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar masyarakat oleh negara. Karena itu diperlukan kajian yang mendalam tentang bagaimana peran yang harus dimainkan oleh ormas Islam khususnya Muhammadiyah, untuk menjadi kekuatan pendorong terhadap negara agar menjalankan kewajiban konstitusionalnya. Peranan aktif tersebut juga termasuk memberikan kontribusi positif bagi pengembangan gagasan alternatif dari sistem ekonomi liberal yang eksploitatif seperti saat ini.

Keempat, diperlukan kerjasama yang erat antara negara dan civil society dalam menjalankan fungsi-fungsi pemenuhan hak ekonomi,


(3)

sosial, dan budaya di Indonesia. dalam perkembangannya, Muhammadiyah dan banyak ormas lainnya di Indonesia menempuh jalur sunyi dalam menjalankan tugas-tugas ini. Ke depan, seiring dengan semakin kuatnya pengaruh globalisasi neoliberal yang mengancam terhalangnya pemenuhan hak ekosob ini, kesatuan pikiran dan tindakan antara negara dan civil society sangat diperlukan dalam menghadapi kekuatan modal global yang eksploitatif dan menajajah. Wallahu’alam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. III ---, Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural, Jakarta: Ideo Press dan Maarif

Institute, 2003, cet. II


(4)

Ali, Fachry, Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, Jakarta: PT RajaGrafindo Utama, 2004, cet. I

Baswir, Revrisond, Pembangunan Tanpa Perasaan, Jakarta: ELSAM, 2003, cet. II ---, Terjajah di Negeri Sendiri, Jakarta, ELSAM, 2003, cet. I

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, cet. XXI

Budiman, Arif, Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, cet. I

Fakih, Mansour, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2002, cet. I

---, Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta: INSIST, 2003, cet. I George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta: INFID, 2002, cet. I

Giddens, Anthony, Beyond Left & Right; Tarian “Ideologi Alternatif” di atas Pusaran

Sosialisme dan Kapitalisme, Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, cet. I ---, Jalan Ketiga dan Kritik-kritiknya, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, cet. I

---, The Third Way; Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, Cet. IV

Grant, Ted & Woods, A, Melawan Imperialisme, Yogyakarta: Komunitas PROSES, 2001, cet. I

Hatta, Mohammad, Satu Abad Bung Hatta; Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, Jakarta: UI Press, 2002, cet. I

Haynes, Jeff, Demokrasi dan Masyarakat sipil di Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor, 2000, cet. I

Jha, Avinas, Background to Globalisation, Bombay: CED, 2000, cet. I

Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Esai-Esai Pilihan, Jakarta: ELSAM, 2001, cet. I


(5)

Kleden, Ignas, Masyarakat dan Negara; Sebuah Persoalan, Magelang: Indonesia Tera, 2004, Cet. I

Mallaranggeng, Rizal, Mendobrak Sentralisme Ekonomi; Indonesia 1986 – 1992, Jakarta: KPG, 2002, cet. I

Mc Vey, Ruth, Kaum Kapitalis Asia Tenggara, Jakarta: YOI, 1998, cet. I Nasri, Imron (ed.), Amin Rais Menjawab, Jakarta: Mizan, 1999, cet. I

Petras, James dan Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002, cet. I

Pontoh, Coen Husain, Akhir Globalisasi; Dari Perdebatan Teori Menuju Garakan Massa, Jakarta: C-Book, 2003, Cet. I

Prasetyo, Eko, Orang Miskin Dilarang Sakit, Klaten: Resist Book, 2004, cet. I

Radjab, Suryadi, Indonesia: Hilangnya Rasa Aman; HAM dan Transisi Politik Indonesia, Jakarta: PBHI dan TAF, 2002, Cet. I

Robertson QC, Geoffrey, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan; Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Jakarta: KOMNAS HAM, 2002, cet. I Saleh, M. Ridha, ECOCIDE; Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak

Asasi Manusia, Jakarta: WALHI, 2005, cet. I

Stiglitz, Joseph E, Washington Consensus; Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta: INFID, 2002, cet. I

Stiglitz, Joseph E, Dekade Keserakahan; Era 90-an dan Awal Mula Petaka ekonomi Dunia, Tangerang: Marjin Kiri, 2006, Cet. I

Strahm, Rudolf H., Kemiskinan Dunia Ketiga; Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang, Jakarta: CIDESINDO, 1999, cet. I

Sugiono, Muhadi, Kritik Antonio Gramsci Terhadap pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, cet. I

Syamsudin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, cet. I Wibowo, Ignatius, et.al, Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003, cet. I

Winarno, Budi, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru; Peran Negara Dalam Pembangunan, Yogyakarta: Tajidu Press, 2005, cet. I


(6)

Jurnal:

Diponegoro 74, Jurnal Pemikiran Sosial-Politik, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, tahun VIII/2004/No.12/Oktober – Desember 2004.

TANWIR, Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban, PSAP Muhammadiyah, edisi ke-3, Vol. I, No. ke-3, September 2003.

WACANA, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, INSIST, edisi 8, tahun II, 2001. Jurnal HAM, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.3 tahun 2005. INOVASI, Jurnal Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, No.2 th. X/2000. Website:

http://www.kompas-online.co.id

http://www.kau.or.id

http://www.depdiknas.go.id

http://www.depkes.go.id

http://www.deptan.go.id