Ulumul Hadits dan Sejarah Penghimpunanny

Mata Kuliah

Dosen Pengampu

Ulumul Hadis

Raihanah, S.Pd.I. M.Ag.

“ULUMUL HADIS DAN SEJARAH PENGHIMPUNANNYA MELIPUTI:
PENGERTIAN, SPESIFIKASI, PEMBAGIAN CABANG, SEJARAH DAN
KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADIS “

DISUSUN OLEH KELOMPOK II
Erni Riswati

:

1401250857

Hidayatun Nufus Annisa


:

1401251507

Khalifatul Luthfhia

:

1401250878

Zeni Nurlita Sari

:

1401250930

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI FAKULTAS TARBIYAH
DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
BANJARMASIN

2014

KATA PENGANTAR
‫الرر م‬
‫ن ِالل م‬
‫م ِالرر س‬
‫ه ِب م س‬
‫سم م‬
‫حمْ م‬
‫حيِ م‬
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih
memberikan nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah dengan judul :
“ULUMUL HADIS DAN SEJARAH PENGHIMPUNANNYA MELIPUTI:
PENGERTIAN, SPESIFIKASI, PEMBAGIAN CABANG, SEJARAH DAN
KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADIS “
Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta para Sahabatnya yang merupakan inspirator terbesar
dalam segala keteladanannya dan telah membawa kita dari zaman jahiliyah
menuju zaman terang benderang yaitu Addinul Islam.

Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Ulumul Hadis yaitu Ibu Raihanah, S.Pd.I. M.Ag. yang telah memberikan
arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini. Dan tidak lupa diucapkan
terima kasih kepada semua anggota kelompok 2 yang telah mencurahkan segala
kemampuannya demi tersusunnya makalah ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak” begitu pun
juga makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar makalah ini dapat lebih baik lagi.
Semoga makalah ini memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan memberikan banyak manfaat kepada pembaca pada umumnya.
Sesuai dengan sabda Rasulullah saw. “Sebaik-baik diantara manusia sekalian,
ialah orang yang memberi manfaat kepada orang lain”.
Banjarmasin, 29 September 2014

Penulis
ii

DAFTAR ISI


KATAِ PENGANTAR
DAFTARِ ISIِ
BABِ Iِ PENDAHULUAN
A. Latarِ Belakang
B. Indentifikasiِ Masalah
BABِ IIِ PEMBAHASAN
A. Pengertianِ Ulumulِ Hadist
B. Spesifikasiِ
C. Pembagianِ Cabangِ
D. Sejarahِ Ulumulِ Hadist
E. Kitab-KitabUlumulِ Hadits
BABِ IIIِ PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran-saran
DAFTARِ PUSTAKA

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Hadis
Ilmu hadis (‘Ulum Al-Hadits), secara kebahasaan berarti ilmu-ilmu tentang

hadis. Kata ‘ulum adalah bentuk jamak dari kata ‘ilm (ilmu).1 Sedangkan al-Hadits
di kalangan Ulama Hadits berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat.
Secara etimologis, seperti yang diungkapkan oleh as-Suyuthi, ilmu hadis
adalah, “Ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadis
sampai kepada Rasul SAW. dari segi hal ikhwal para rawinya, yang menyangkut
ke-dhabit-an dan ke-‘adil-annya dan dari bersambung dan terputusnya sanad, dan
sebagainya”.2
Adapun pengertian hadist secara terminologis menurut Ahli Hadist:
‫عل وي حهه وووسل ل ووم ووا ووفوعاله ووأ وححووال ههه‬
‫ا وحقووال ههه وص ل ولي اللهه و‬
“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW”
(Mahmud Thahan, 1978 : 155)
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli hadist banyak yang
memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:
‫ي‬
‫ال حوقوواهعد الهموعهروفهة هب و‬
‫حاهل ال لوراهوي ووال حومحرهو ي‬
“Kaidah-kaidah yang mengetahui


keadaan

perawi

dan

yang

diriwayatkan”
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang
membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Yang dimaksud ilmu hadits, menurut ulama mutaqoddimin adalah :

1 Nuruddin ‘Itr. Manhaj An-Naqd fi ‘Ulum Al-Hadits. Terj. Mujio. Bandung: Remaja Rosda Karya.
1994. Hlm. 13
2 As-Suyuthi. Tadrib Ar-Rawi fi Syarh Taqrib An-Nawawi. Beirut: Dar Al-Fikr. 1409 H/1988.
Hlm. 5-6.

‫عحن ك وي حهفي لوهة اه هتلوصاهل ا حل ووحاهدي ح ه‬

‫ث ومحعهروفهة ا وححوواهل‬
‫ح ه‬
‫عل وي حهه وووسل ل ووم ومحن وحي ح و‬
‫ث هبال لورهسحوهل وص ل ولىاللهه و‬
‫ث هفي حهه و‬
‫هعل حمي ي هبح و‬
.‫عا‬
‫عودال وةة ووهمحن وحي ح ه‬
‫ث ك وي حهفي وهة ال لوسن وهد اه هتلوصال ع ووهنهقوطا ع‬
‫ور ل وواهتوها وووظبحةط وو و‬
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan
hadits sampai kepada Rasul saw dari segi hal ikhwal para perawinya, yang
menyangkut kedhabitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan
terputusnya sanad, dan sebagainya”.
Dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadis, ada ulama yang
menggunakan bentuk ‘ulum al-hadits, seperti Ibnu Salah (w. 642 H/1246 M)
dalam kitabnya ‘Ulum Al-Hadits, dan ada juga yang menggunakan bentuk ‘ilm alhadis, seperti Jalaludin As-Suyuthi dalam mukadimah kitab hadisnya, Tadrib ArRawi. Penggunaan bentuk jamak disebabkan ilmu tersebut bersangkkut-paut
dengan hadis Nabi SAW. Yang banyak macam dan cabangnya. Hakim AnNaisaburi (321 H/933 M-405 H/1014 M) misalnya, dalam kitabnya Ma’rifah
‘Ulum Al-Hadits mengemukakan 52 macam ilmu hadis. Muhammad Bin Nasir
Al-Hazimi, ahli hadits klasik, mengatakan bahwa jumlah ilmu hadis mencapai

lebih dari 100 macam yang masing-masing mempunyai objek kajian khusus
sehingga bisa dianggap sebagai suatu ilmu tersendiri.3
Secara garis besar, ulama hadis mengelompokkan ilmu hadis tersebut ke
dalam dua bidang pokok, yakni ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.
1. Hadits Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar rawa, yarwi, riwayatan. Kata riwayah
artinya periwayatan atau cerita. Ilmu hadis riwayah, secara bahasa, berarti ilmu
hadis yang berupa periwayatan.
Yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah, ialah :
‫عل وي حهه وووسل ل ووم همحن وقحوةل أ وحوهفحعةل ا وحوتوحقهري حةر‬
‫عولى ن وحقهل وما أ ههضي حوف هإولىالن لوهبهلي وص ل ولىاللهه و‬
‫ا ول حهعل حهم ال ل وهذى ي وهقحوهم و‬
.‫ح لورعرا‬
‫أ وحوهصوفةة وخل حهقي لوةة أ وحوهخل ههقي لوةة ن ووقل ع ووهقي حعقا هم و‬

3 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 106

“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadits-hadits yang disandarkan
kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at
maupun tingkah laku”

Ibn al-Akfani, sebagaimana dikutip oleh as-Suyuti mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan ilmu hadits riwayah ialah:
.‫حهري حور ا ول حوفاهظوها‬
‫عل وي حهه وووسل ل ووم ووأ وحفوعالههه ووهروواي وهتوها وووضبحهطوها ووتو ح‬
‫عولىأ وحقوواهل الن لوهبىوص ل ولىاللهه و‬
‫هعل حمي ي وحشتوهمهل و‬
“Ilmu pengetahuan yang mencakup perkataan dan perbuatan Nabi saw,
baik

periwayatannya,

pemeliharaannya,

maupun

penulisan

atau

pembukuan lafaz-lafaznya”.

Jadi, yang dimaksud dengan ilmu hadis riwayah, ialah;
“Ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,tabi’at, maupun
tingkah lakunya”.
Objek kajian ilmu hadis riwayah adalah segala sesuatu yang dinisbatkan
kepada Nabi SAW., sahabat., dan tabi’in, yang meliputi:
a. Cara periwayatannya, yakni cara penerimaan dan penyampaian hadis dari
seorang periwayat(rawi) kepada periwayat lain.
b. Cara pemeliharaan, yakni penghapalan, penulisan, dan pembukuan hadis.
Ilmu ini tidak membicarakan hadis dari sudut kualitasnya, seperti tentang
‘adalah (ke-‘adil-an) sanad, syadz,(kejanggalan), dan ‘illat (kecacatan)
matan. 4
Ilmu hadis riwayah bertujuan memelihara hadis Nabi SAW. Dari kesalahan
dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Lebih lanjut,
ilmu ini juga bertujuan agar umat islam menjadikan Nabi SAW. Sebagai suri
teladan melalui pemahaman terhadap riwayat yang berasal darinya dan
mengamalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT. ,

4 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 107


       
      
  
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al-ahzab[33]; 21)
Ulama yang terkenal dan dipandang sebagai pelopor ilmu hadis riwayah
adalah Abu Bakar Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (51-124 H), seorang imam
dan ulama besar di Hedzjaz (Hijaz) dan Syam (Suriah).
2. Hadits Dirayah
Istilah ilmu hadis dirayah, menurut As-suyuthi, muncul setelah masa AlKhatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa Al-Khatib Al-Baghdadi, yaitu pada masa
Al-Akfani. Ilmu ini dikenal juga dengan sebutan ilmu ushul al-hadits, ‘ulum alhadits, musththalah al-hadits, dan qawa’id al-tahdits.5
Berikut definisi ilmu hadis dirauah menurut At-Tirmidzi :
.‫غي حهر وذلهوك‬
‫حهمهل ووا حل ووداهء ووهصوفاهت الهلروجاهل وو و‬
‫ح لهد ي وحدهري هبوهاا وححوواهل ومتحةن وووسن وةد ووك وي حهفي لوهة التو و‬
‫وقوواهني حهن ته و‬
“Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan
matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi dan lain-lain”.
Dari pengertian tersebut, kita bisa mengetahui bahwa ilmu hadits dirayah
adalah ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad,
matan, cara menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain.
Sasaran kajian ilmu hadis dirayah adalah sanad dan matan dengan segala
persoalan yang terkandung didalamnya yang turut memengaruhi kualitas hadis
tersebut.

5 As-Suyuthi. Op.cit. hlm. 5.

Kajian terhadap masalah-masalah yang bersangkutan dengan sanad disebut
naqd as-sanad(kritik sanad) atau kritik ekstern. Disebut demikian, karena yang
dibahas ilmu itu adalah akurasi(kebenaran) jalur periwayatan, mulai sahabat
kepada periwayat terakhir yang menulis dan membukukan hadis tersebut.
Pokok bahasan naqd as-sanad adalah sebagai berikut :
a. Ittishal as-sanad (persambungan sanad). Dalam hal ini tidak
dibenarkan adanya rangkaian sanad yang terputus, tersembunyi, tidak
diketahui identitasnya (wahm), atau samar.
b. Tsiqat as-sanad, yakni sifat ‘adl(adil), dhabit (cermat dan kuat), dan
tsiqah (terpercaya) yangharus dimiliki seorang periwayat.
c. Syadz, yakni kejanggalan yang terdapat atau bersumber dari sanad.
Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqah, tetapi
menyendiri dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat-periwayat tsiqah lainnya.
d. Illat, yakni cacat yang tersembunyi pada suatu hadis yang kelihatannya
baik atau sempurna. Syadz dan illat adakalanya terdapat juga pada
matan dan untuk menelitinya diperlukan penguasaan ilmu hadis yang
mendalam.
Kajian terhadap masalah yang menyangkut matan disebut naqd al-matan
(kritik matan) atau kritik intern. Disebut demikian, karena yang dibahasnya adalah
materi hadis itu sendiri, yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan Rasulullah
SAW. Pokok pembahasannya melliputi:
a. Kejanggalan-kejanggalan dari segi redaksi.\
b. Fasad al-ma’na, yaknni terdapat cacat atau kejanggalan pada makna
hadis karena bertentangan dengan al-hiss(indra) dan akal, bertentangan
dengan nash Al-Quran, dan bertentangan dengan fakta sejarah yang

terjadi pada masa Nabi Saw. Serta mencerminkan fanatisme golongan
yang berlebihan.
c. Kata-kata gharib (asing), yakni kata-kata yang tidak bisa dipahami
berdasarkan makna yang umum dikenal.
Faedah mempelajari hadits dirayah adalah untuk mengetahui kualitas
sebuah hadits, apakah ia maqbul (diterima) dan mardud (ditolak) dilihat dari sudut
matannya. Dengan ilmu hadis dirayah, kita dapat meneliti hadis mana yang dapat
dipercaya berasal dari Rasulullah Saw. , yang sahih, dhaif, dan maudhu’ (palsu).6
B. SPESIFIKASI HADIS
Seperti dijelaskan bahwa pembukuan hadis di sekitar abad kedua Hijriah
yang dilakukan para pemuka hadis dalam rangka menghhimpun dan
membukukannya semata-mata didorong oleh kemauan yang kuat agar hadis Nabi
itu tidak hilang begitu saja bersama wafatnyapara penghapalnya. Mereka
menghimpun dan membukukan semua hadis yang mereka dapatkan beserta
riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih
dahulu terhadap pembawanya (para rawi) begitu pula terhadap keadaan riwayat
dan marwinya. Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian
Muhaddisin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih
berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin AlMadani (238 H), Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmuzi dan lainlain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak(spesialis)
dalam satu kitab khusus ialah Al-Qadli Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy (2.630
H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Rawi Was Sami’.
Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H)
menyusun kitabnya yang bernama Makri fatu Ulumil Hadis. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Na’dim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah

6 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 106-111.

periwayatan hadis yang diberi nama Al Kifayah dan Al-Jami’u Liadabis Syaikhi
Was Sami’ yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadis.
Begitulah selanjutnya bermunculan ahli hadis yang menyusun kitab
Mustalahul Hadis dengan berbagai macam sistem dan bentuk yang berlainan,
seperti Imam As-Suyuti dengan kitab karyanya yang bernama Alfiyats, At-Taqrib
dan At-Tadrib, M. Mahfud At-Turmuzi dengan kitabnya yang bernama Manhaj
Azawin Nadai, Al-Hafid bin Hajar Al-Asqalani dengan kitabnya Nuhabtul Fikar.7
C. PEMBAGIAN CABANG HADIS
Pada perkembangan selanjutnya, para ulama menyusun dan merumuskan
cabang-cabang ilmu hadis. Karena hal ini dirasa perlu untuk mengetahui sejauh
mana suatu hadis dapat dikatakan maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Sehingga muncullah berbagai macam cabang ilmu hadis. Sebelum itu yang lebih
dahulu muncul adalah ilmu hadist riwayah dan ilmu hadist dirayah, dan setelah itu
barulah cabang cabang ilmu hadist seperti : Ilmu Rijal Al-Hadist, Ilmu Al-Jarh
Wa At-Ta’dil, Ilmu Fannil Mubhamat, Ilmu ‘Ilali Al-Hadist, Ilmu Gharib AlHadits, Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh, Ilmu Talfiq al-Hadits, At-Tashif Wa AtTahrif , Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits, dan Ilmu Mushthalah Al-Hadist. Secara
singkat cabang cabang ilmu hadist diatas akan diuraikan sebagai berikut :
1. Ilmu Rijal Al-Hadist
Munzier suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist adalah ilmu
untuk mengetahui para perawi haidst dalam kapasitasnya sebagai perawi hadist.
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:57) Ilmu Rijal Al-Hadist
adalah ilmu yang membahas tentang para perawi hadist, baik dari sahabat, tabi’in,
maupun dari angkatan sesudahnya.
Sedangkan muhadditsin, sebagaimana dikutip dalam buku Endang Soetari
(1994:233) mentarifkan Ilmu Rijal Al-Hadist meliputi Ilmu Thabaqah dan Ilmu
Tarikh Ar-Ruwah. Ilmu Thabaqah adalah ilmu yang membahas tentang kelompok
orang orang yang berserikat dalam satu alat pengikat yang sama. Sedangkan Ilmu

7 Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) h. 39-40.

Tarikh Ar-Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang biografi para perawi
hadist. Adapun materi dari ilmu ini adalah :
a) Konsep tentang rawi dan thabaqah
b) Rincian thabaqah rawi
c) Biografi yang telah terbagi pada tiap thabaqah
Bagian dari ‘ilmu rijal al-hadits ini adalah ‘ilmu tarikh rijal al-hadis. Ilmu
ini secara khusus membahas perihal para rawi hadis dengan penekanan pada
aspek-aspek tanggal kelahiran, nasab atau garis keturunan, guru sumber hadis,
jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-muridnya. 8
Dari berbagai definisi diatas, pada dasarnya Ilmu Rijal Al-Hadist adalah
ilmu yang membahas tentang para perawi hadist dalam memelihara dan
menyampaikannya kepada orang lain dengan menyebutkan sumber-sumber
pemberitaannya.
Kedudukan ilmu ini sangat penting dalam lapangan ilmu hadist, karena,
sebagaimana diketahui bahwa objek kajian hadist, pada dasarnya ada dua hal yaitu
matan dan sanad. Munzier Suparta (2006:30) menyatakan Ilmu Rijal Al-Hadist ini
lahir bersama sama dengan periwayatan hadist dalam islam dan mengambil posisi
khusus untuk mempelajari persolan-persoalan disekitar sanad.
Dengan ilmu ini kita dapat mengetahui keadaan para perawi yang
menerima hadist dari Rasullah SAW, dan keadaan para perawi yang menerima
hadist dari para sahabat dan seterusnya. Dan dengan ilmu ini kita juga dapat
mengetahui sejarah ringkas para perawi hadist, mazhab yang dipegang oleh para
perawi, dan keadaan para perawi dalam menerima hadist.
Kitab kitab yang disusun dalam ilmu ini beraneka ragam. Seperti halnya
dikutip dalam buku Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir (1998:58) ada yang
hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas para sahabat saja. Ada yang
menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi. Ada yang menerangkan para
perawi yang dipercaya saja. Ada yang menerangkan riwayat para perawi yang
lemah-lemah, atau para mudalis, atau para pemuat hadist maudu. Dan ada yang
menerangkan sebab sebab dianggap cacat dan sebab sebab dipandang adil dengan
menyebut kata kata yang dipahami untuk itu serta martabat perkataan. Seperti
8 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 112

pada abad ke tujuh hijrah Izzudin Ibnu Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab
yang telah disusun sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang bernama
Usdul Gabah. Pada abad kesembilan hijrah, Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqolani
menyusun kitabnya yang terkenal denagn nama Al Ishabah. Dalam kitab ini
dikumpulkan al istiah dengan usdul gabah dan ditambah dengan yang tidak
trdapat dalam kitab kitab tersebut. Kemudian kitab ini diringkas oleh As Suyuti
dalam kitab Ainul Ishobah. Al bukhori dan Imam Muslim juga telah menulis kitab
yang menerangkan nama-nama sahabat yang hanya meriwayatkan suatu hadist
saja yang bernama Wuzdan.
Di anatar kitab-kitab terkenal dalam cabang ilmu hadis ini adalah Alisti’ab fi ma’rifah Al-ashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi
Tamyiz As-Sahabah, Tahzib At-Tahzib karya Ibnu hajar Al-Asqalani, dan Tahzib
Al-Kamal karya Abul Hajjaj Yusuf bin Az-Zakki Al-Mizzi (w. 742 H).9
2. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil, pada hakikatnya merupakan satu bagian dari
Ilmu Rijal Al-Hadist, akan tetapi, karena bagian ini dipandang penting, maka ilmu
ini dijadikan sebagai ilmu yang yang berdiri sendiri. Adapun beberapa pengertian
dari Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil adalah sebagai berikut :
Munzier Suparta (2006:31) menyatakan Ilmu Al-jarh yang secara bahasa
berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadist
mendefinisikan Al-Jarh dengan kecacatan pada para perawi hadist, disebabkan
oleh suatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Sedangkan AtTa’dil yang secara bahasa berarti menyamakan dan menurut istilah berarti lawan
dari Al-Jarh yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa dia
adil atau dhabit. Sementara ulama lain mendefinisikan Al-Jarh dan At-Ta’dil
dalam satu definisi yaitu ilmu yang membahas tentang para perawi dari segi yang
dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
membersihkan mereka dengan ungkapan atau lapadz-lapadz tertentu.

9 M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Hadis. (Bandung: Pustaka Setia, 2008). h. 112

Dari beberapa definisi diatas dapat diketahui bahwa ilmu ini digunakan
untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu dapat diterima atau
ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi
yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak, dan sebaliknya apabila dipuji,
maka hadistnya dapat diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Munzier Suparta (2006:32) menyatakan kecacatan rawi itu bisa diketahui
melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikatagorikan kedalam
lingkup perbuatan : Bid’ah yakni melakukan perbuatan tercela atau diluar
ketentuan syariah; Mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang
lebih tsiqah; Qhalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan
hadist; Jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap;
dan Da’wat Al-Inqitha, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.
Adapun orang-orang yang melakukan Tajrih dan Ta’dil harus memenuhi
syarat sebagai berikut : Berilmu pengetahuan, Taqwa Wara, Jujur, Menjauhi sifat
fanatik golongan, dan Mengetahui ruang lingkup Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini berbeda beda, sebagian ada yang
kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa ratus orang rawi.
Sebagian yang lain menyusunnya menjadi beberapa jilid besar yang mencakup
antara sepuluh sampai dua puluh ribu Rijalus Sanad. Disamping itu sistematis
pembahasannya juga berbeda beda. Ada sebagian yang menulis rawi-rawi yang
tsiqah saja dan ada juga yang mengumpulkan keduanya. Fathur Rahman
(1987:279) menyebutkan kitab-kitab itu, antara lain :
1.

Ma’rifatur-rijal, karya Yahya Ibnu Ma’in.

2.

Ad-Dluafa, karya Imam Muhammad Bin Ismail Al Bukhari (194 – 252 H)

3.

At-tsiqat, karya Abu Hatim Bin Hibban Al-Busty (304 H)

4.

Al-jarhu wat tadil, karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy
(240 – 326 H)

5.

Mizanul itidal, karya Imam Syamsudin Muhammad Adz Dzahaby
(673 – 748 H)

6.

Lisanul mizan, karya Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani (773 – 852 H)
3. Ilmu Fannil Mubhamat

Yang dimaksud Ilmu fannil mubhamat adalah “ Ilmu untuk mengetahui
nama orang-orang yang tidak disebutkan dalam matan atau dalam sanad.”10
Di antara ulama yang menyusun kitab dalam masalah ini adalah Al-Khatib
Al-Baghdady. Kitab Al-Khatib ini diringkas dan diteliti oleh An-nawawy dalam
kitab Al-Isyarat ila Bayani Asma, Al-Mubhamat.
Rawi-rawi yang tidak disebutkan namanya dalam Shahih Bukhari
diterangkan lengkap oleh Ibnu hajar Al-‘Asqalani dalam Hidayatus Sari
Muqaddamah Fathul Bari.

4. Ilmu ‘Ilali Al-Hadist
Munzier Suparta (2006:35) menyatakan kata ‘Ilal adalah bentuk jama dari
kata Al-‘Illah, yang menurut bahasa berarti penyakit atau sakit. Menurut
Muhadditsin, istilah ‘Illah berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang
berakibat tercemarnya hadist. Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Ilal Al-Hadist
menurut

Muhadditsin

adalah

ilmu

yang

membahas

sebab-sebab

yang

tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadist, seperti mengatakan
muttashil terhadap hadist yang munqathi, menyebutkan marfu terhadap hadist
yang mauquf, memasukan hadist kedalam hadist lain, dan hal-hal yang seperti itu.
Beberapa buku lainnya juga, seperti Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir
(1998:61) dan Endang Soetari menyatakan hal yang sama mengenai definisi Ilmu
‘Ilal Al-Hadist. Jadi secara singkat, Ilmu Ilal Al-Hadist adalah ilmu yang
membahas tentang suatu illat yang dapat mencacatkan kesahihan hadist.
Endang Soetari, menyatakan illat yang terjadi pada sanad dan terjadi pula
pada matan, yaitu :
a) Lahir sanad shahih padahal terdapat rawi yang tidak mendengar
sendiri dari guru.
b)

Hadist Mursal dimusnadkan lahirnya.

c)

Hadist mahfuzh dari shahabat tertentu diriwayatkan dari sahabat lain
yang berbeda tempat tinggalnya.

10 Ibid. Hlm. 160

d)

Hadist Mahfuzh dari sahabat tertentu diriwayatkan dengan paham
tabi’in.

e)

Meriwayatkan dengan an-‘anah suatu hadist yang sanadnya gugur
seorang rawi atau beberapa orang.

f)

Berlainan sanadnya dengan sanad yang lebih kuat.

g)

Berlainan nama gurunya yang memberikan hadist dengan nama guru
rawi-rawi tsiqah, atau nama guru tidak disebutkan dengan jelas.

h)

Meriwayatkan hadist yang tidak pernah didengar dari gurunya,
walaupun gurunya itu benar-benar guru yang pernah memberikan
beberapa hadist padanya.

i)

Meriwayatkan hadist dengan sanad lain, secara waham terhadap

hadist yang sebenarnya, hanya mempunyai satu sanad.
j)

Memauqufkan hadist yang maufu.

Adapun beberapa ulama yang menulis mengenai ilmu ini adalah Ibn AlMadini (234 H), Ibn Abi Hatim (327 H) yakni kitab Ilal Al-Hadist. Imam Muslim
(261 H), Al-Daruquthni (375 H), dan Muhammad Ibn Abd Allah Al-Hakim.
5. Ilmu Gharib Al-Hadits
Menurut Endang Soetari (2005:210), Ilmu Gharib al-Hadist adalah:
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan Hadist yang
sukar diketahui maknanyadan yang kurang terpakai oleh umum’.
Yang dibahas oleh ilmu ini adalah lafadh yang musykil dan susunan
kalimat yang sukar dipahami, tujuannya untuk menghindarkan penafsiran
menduga-duga. Pada masa tabi’in dan abad pertama hijriyah, bahasa arab yang
tinggi mulai tidak dipahami oleh umum, hanya diketahui secara terbatas. Maka
orang yang ahli mengumpulkan kata-kata yang tidak dapat dipahami oleh
umumtersebut dan kata-kata yang kurang terpakai dalam pergaulan sehari-hari.
Endang Soetari juga menyebutkan beberapa upaya para ulama Muhaditsin untuk
menafsirkan keghariban matan Hadits, antara lain:
1. Mencari dan menelaah hadits yang sanadnya berlainan dengan yang
bermatan gharib
2. Memperhatikan penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan Hadits
atau shahabat lain yang tidak meriwayatkan,

3. Memperhatikan penjelasan dari rawi selain shahabat.
Di sisi lain, dalam buku Ilmu Hadis karya Mudasir (2005:57), menurut
Ibnu Shalah, yang dimaksud dengan Gharib al-hadis ialah: “Ilmu untuk
mengetahui dan menerangkan makna yang terdapat pada lafal-lafal hadis yang
jauh dan sulit dipahami karena (lafal-lafal tersebu) jarang digunakan.” Mudasir
menyatakan bahwa bahwa ilmu ini muncul atas usaha para ulama setelah
Rasulullah SAW. Wafat ketika banyaknya bangsa-bangsa yang bukan arab
memeluk Islam serta banyaknya orang yang kurang memahami istilah atau lafallafal tertentu yang gharib atau sukar dipahami.
Imam Al-Nawawi menyebutkan dalam bukunya (2001:116) bahwa Hadis
gharib adalah Hadis yang diriwayatkan dari al-Zuhri atau rawi yang selevel
dengan al-Zuhri dimana Hadis-hadisnya itu dikumpulkan oleh seorang rawi.
Hadis gharib terbagi ke dalam dua begian, shahih dan tidak shahih. Dalam
kategori tidak shahih, hadis gharib bisa berupa Hadis hasan juga bisa dla’if.
Namun umumnya Hadis gharib tidak shahih. Hadis ini juga terbagi ke dalam dua
klasifikasi berdasarkan pada pada kualitas sanad dan matan Hadis tersebut.
Pertama , Hadis gharib baik dari segi matannya maupun sanadnya. Ini seperti pada
Hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi. Kedua, Hadis yang
kegharibannya terdapat pada sanadnya saja, seperti pada Hadis yang matannya
diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, di mana salah seorang di antara mereka
meriwayatkannya secara tunggal Hadis itu. Dalam kaitan ini, Ai-Titmidzi
biasanya menggunakan teknis gharibun min badza al-wajh (gharib berdasar
tinjauan ini. Namun sampai ssat ini tidak ditemukan Hadis gharib dalam segi
matannya saja, tapi sanadnya tidak gharib. Kecuali jika ada Hadis tunggal yang
populer di mana Hadist itu diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadis itu disebut
Hadis gharib yang masyhur dan juga gharib secara matannya saja tidak beserta
sanadnya, jika dilihat dari salah satu dari dua jalurnya, seperti Hadis Innama ala’malu bi al-niyyat.
Definisi lain diungkapkan oleh Wahyudin Darmalaksana (2004:39), bahwa
Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya di
mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi, daik karena penyendirian sifat
atau keadaan yang berbeda dengan sifat dan keadaan rawi lainnya, ataupun juga

karena penyendirian personalia itu sendiri. Berdasarkan pada bentuk penyendirian
tersebut, kemudian hadits gharib terbagi pada dua macam: pertama, Hadits Gharib
Mutlaq yakni hadits yang didalamnya terdapat penyendirian sanad dalam jumlah
personalianya. Kedua, Hadis Gharib Nisbi yakni Hadis yang terdapat
penyendirian dalam dalam satu sifat atau keadaan tertentu.
6. Ilmu Al-Nasikh Wal Al-Mansukh
Menurut Drs. H. Mudasir dalam bukunya Ilmu Hadist (2005:53), Yang
dimaksud dengan ilmu an-naskh wa almansukh disini terbatas sekitar nasikh dan
mansukh pada hadist. Beliau menyebutkan bahwa kata An-Nasakh menurut
bahasa mempunyai dua pengertian, al-izzlah (menghilangkan), seperti (matahari
menghilangkan bayangan) dan an-naql (menyalin), seperti (saya menyalin kitab)
yang berarti saya menyalin isi suatu kitab untuk dipindahkan pada kitab lain.
Pengertian An-Nasakh menurut bahasa, dapat kita jumpai Dalam Al-Qur’an,
antara lain dalam firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 106: “Ayat mana saja
yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.
(QS. Al-Baqarah : 106)
Adapun An-Nasakh menurut Istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul
adalah:“Syari’ mengangkat

(membatalkan)

suatu

hukum

syara’ dengan

menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian.”
Sedangkan menurut Endang Soetari dalam bukunya Ilmu Hadist
(2005:213) menyebutkan bahwa Ta’rif ilmu Nasikh wa al-Mansukh: adalah:“Ilmu
yang menerangkan Hadist-hadist yang sudah dimansukhkan dan yang
menasikhkannya.”
Beliau menyatakan bahwa ilmu ini bermanfaat untuk pengamalan Hadis
bila ada dua Hadis Maqbul yang tanakud yang tidak dapat dikompromikan atau
dijama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkat mukhtalif alhadis, kedua hadis maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa dijama’
(dikompromikan, maka Hadist yang tanakud tadi ditarjih atau dinasakh. Bila
diketahui mana diantara kedua Hadist yang diwurudkan duluan dan yang
diwurudkan kemudian, maka yang wurud kemudian (terakhir) itulah yang

diamalkan. Sedangkan yang duluan tidak diamalkan. Yang belakangan disebut
nasikh, yang duluan disebut mansukh. Kaidah yang berkaitan dengan nasakh,
antara lain berupa cara mengetaui nasakh, yakni penjelasan dari Rasulullah SAW
sendiri, keterangan sahabat dan tarikh datangnya matan yang dimaksud.
Kitab-kitab yang disusun tentang Nasikh dan Mansukh Hadis, diantaranya
yaitu: An-Nasikh wa Al-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah as-Sadusi (w.118
H), namun tidak sampai ke tangan kita, Nasikh Al-Hadis wa Mansukhikhi, karya
Al-Hafidz Abu Bakar ahmad bin Muhammad Al-Atsram (w 261 H), Imam
Ahmad, Al I’tibar fi An-Nasikh wa Al-Mansukh min Al-Atsar, karya Imam alHafidz an-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani (w.
584 H), An-Nasikh wa al-Mansukh, karya Abul Faraj Abdurrahman bin Ali, atau
yang lebih dikenal Ibnu Al-Jauzi.11
7. Ilmu Talfiq al-Hadits
Ilmu Talfiq al-Hadits adalah “Ilmu yang membahas cara mengumpulkan
hadis-hadis yang berlawanan lahirnya.”12
Cara mengumpulkan dalam talfiq al-hadits ini adalah dengan men-takhsiskan makna hadis yang ‘amm (umum), men-taqyid-kan hadis yang mutlaq, atau
melihat berapa banyak hadis itu terjadi. Para ulama menamai ilmu hadis ini
dengan Mukhtalif Al-Hadits.
Diantara para ulama yang telah merintis ilmu ini adalah Asy-Syafi’i (w.
204 H) dengan kitab Mukhtalif Al-Hadits-nya, dilanjutkan oleh Ibnu Qutaibah (w.
276 H), Al-Thawawi (w. 321 H), Ibn Al-Jauzi (597 H) yang menyusun kitab AtTahqiq, yang di-syarah dengan baik oleh Ahmad Muhammad Syakir.13
8. At-Tashif Wa At-Tahrif
Menurut Mudasir (2005:57), Ilmu At-tashif wa at-tahrif adalah ilmu yang
berusaha menerangkan hadis-hadis yang sudah diubah titik atau syakalnya
11 Syaikh Manna Al-Qaththan. Mabahits fi’Ulum Al-Hadits. Terj. Mifdhol Abdurrahman.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005. Hlm. 129.
12 Ash-Shiddieqy.op. cit. Hlm. 164.
13 Ibid.

(musahhaf) dan bentuknya (muharraf). Al-Hafizh Ibnu Hajar membagi ilmu ini
menjadi dua bagian, yaitu ilmu at-tashif dan ilmu at-tahrif. Sebaliknya Ibnu
Shalah dan pengikutnya menggabungkan kedua ilmu ini menjadi satu
ilmu.Menurutnya, ilmu ini merupakan satu disiplin iilmu bernilai tinggi yang
dapat membangkitkan semangat para ahli hafalan (huffaz). Hal ini karena hafalan
para ulama terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengarannya yang diterima
dari orang lain.
Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:216) Ilmu Tashhif wa al-Tahrif
adalah: “Ilmu yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah diubah titiknya
(musahhaf) dan bentuknya (muharraf)”. Diantara kitab ilmu ini adalah kitab: alTashhif wa al-Tahrif, susunan al-Daruquthni (358 H) dan Abu Ahmad al-Askari
(283 H).
Sedangkan menurut Imam Al-Nawawi (2001:120), kesalahan tulis
(tashhif) bisa saja terjadi pada kata atau lafadh dalam sebuah Hadis atau
penglihatan rawi, baik dalam segi sanad maupun matannya. Diantara kesalahan
tulis pada sanad adalah penulisan al-Awwam bin Murajim (dengan ra’ dan jim
pada kata Murajim) ditulis secara salah oleh Ibn al-Ma’in dengan za’ dan ha’
(Muzahim). Dan diantara kesalahan tulis pada matan adalah Hadis Zaid bin Tsabit
berikut ini: Anna Rasulallah ihtajara fi al-masjid (Bahwa Rasulullah membuat
kamar di salah satu ruangan masjid dari tikar atau yang sejenisnya di mana tempat
itu dipergunakan untuk shalat). Ibnu Lahi’ah menulis secara salah kata ihtajara
dengan menggantikannya menjadi ihtajama (berbekam). Menurutnya, kadang
kesalahan tulis terjadi karena salah dengar, seperti Hadis dari Ashim al-Ahwal.
Kadang pula kesalahan terjadi pada makna Hadis, seperti ungkapan Muhammad
bin al-Mutsanna berikut ini, Nahnu qaumun lana syarafun, nahnu min ‘anazah
shalla ilaina Rasulullah (Kami adalah sekelompok orang yang memiliki
kehormatan. Kami lahir dari kabilah Anazah di mana Rasulullah pernah shalat di
kabilah kami). Kata ‘anazah di sini dipahami secara salah oleh Muhammad bin alMutsanna. Padahal yang dimaksudkan dari Hadis bahwa Rasulullah shalat di
depannya diberi tanda dengan tongkat. Bahkan ada orang Arab pedesaan yang
salah memahami ‘anazah. Ia mengira bahwa kata itu adalah ‘anzah (dengan nun),

yang berartri kambibg. Ia pun akhirnya, karena salah memahami makna Hadis
yang dimaksud, shalat dengan disertai kambing kecil.
9. Ilmu Asbab Al-Wurud Al-Hadits
Menurut ahli bahasa, asbab diartikan dengan al-habl (tali), yang menurut
lisan Al-Arab berarti saluran, yang artinya adalah segala sesuatu yang
menghubungkan satu benda dengan benda yang lainnya. Adapun arti asbab
menurut istilah adalah Segala sesuatu yang mengantar pada tujuan.Kata wurud
(sampai, muncul) berarti : “Air yang memancar atau yang mengalir.” Dalam
pengertian yang lebih luas, As-Suyuti menyebutkan pengertian asbab wurud alhadist, yaitu Sesuatu yang membatasi arti suatu hadist, baik berkaitan dengan arti
umum atau khusus, mutlak atau muqqayyad, dinasakhkan, dan seterunya, atau
suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadist saat kemunculannya.”
Dari pengertian asbab wurud al-hadist seperti di atas, dapat dibawa pada
pengertian ilmu asbab wurud al-hadist, yakni suatu ilmu yang membicarakan
sebab-sebab Nabi Muhammad SAW. Menuturkan sabdanya dan saat beliau
menuturkannya, seperti sabda RasulullahSAW tentang menyucikan air laut, yaitu,
“ Laut itu suci airnya dan halal bangkainya”. Hadist ini dituturkan oleh Rasulullah
SAW ketika seorang sahabat sedang berada di tengah laut mendapatkan kesulitan
berwudhu.
Menurut As-Suyuti, urgensi asbab wurud terhadap hadist sebagai salah
satu jalan untuk memahami kandungan hadist, sama halnya dengan urgensi asbab
nuzul Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an. Ini terlihat dari beberapa faedahnya antara
lain dapat men-taksis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak,menunjukkan
perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukkan
illat suatu hukum.Maka dengan memahami asbab wurud al-hadist ini, makna yang
dimaksud atau dikandung oleh suatu hadist dapat dipahami dengan mudah.
Namun, tidak semua hadist mempunyai asbab al-wurud, seperti halnya tidak
semua ayat Al-Qur’an memiliki asbab an-nuzul-nya.
Sedangkan menurut Endang Soetari (2005:212), Ta’rif ilmu Asbab Wurud
al-Hadist “Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi SAW menuturkan sabdanya
dan masa-masa Nabi menuturkan”. Ilmu ini titik berat pembahasannya pada latar
belakang dan sebab lahirnya Hadist. Manfaat mengetahui asbab al-wurud Hadist

antara lain untuk membantu memahami dan menafsirkan Hadits serta mengetahui
hikmah-hikmah yang berkaitan dengan wurudnya hadist tersebut, atau mengetahui
kekhususan konteks makna hadist. Perintis ilmu asbab Wurud al-Hadits adalah
Abu Hamid ibn Kaznah al-Jubairi, dan Abu Hafash ‘Umar ibn Muhammad ibn
Raja’ al-‘Ukbari (339 H). Kitab yang terkenal adalah kitab al-nayan wa al-Ta’rif,
susunan Ibrahim Ibn Muhammad al-Husaini (1120 H).
10. Ilmu Mushthalah Ahli Hadits
Ilmu Mushthalah Ahli Hadits adalah ilmu yang menerangkan pengertianpengertian (istilah-istilah) yang dipakai oleh ahlil-ahli hadits.14
Ulama yang mula-mula menyusun kitab tentang ilmu ini adalah Abu
Muhammad ar-Ramahurmuzy (w. 360 H). Kitab ini boleh dikatakan kitab yang
cukup lengkap isinya. Kemudian, dilanjutkan oleh Abu Nu’aim Al-Ashbhani, AlKhatib (w. 463 H), al-Hafidz ibn Shalah (463 H) dengan kitabnya Muqaddimah
ibn Shalah.
Kitab-kitab tentang ilmu ini ada yang ditulis secara ringkas seperti
Nukhbatul Fikar yang disusun oleh Al-“asqalani. Dan ada juga yang ditulis secara
panjang lebar, seperti Taujihun Nadzar fi Ushulil Atsar karangan Asy-Syaikh
Thahir Al-Jaza’iry dan Qawa’idul Tahdits, karya Allamah Jamaluddin AlQasimi.15
D. SEJARAH PENGHIMPUNAN HADIS
Ide penghimpunan hadis Nabi secara tertulis untuk pertama kalinya
ditemukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab (w. 23 H = 664 M). Ide itu tidak
dilaksanakan oleh Umar karena Umar merasa khawatir, umat Islam terganggu
perhatian mereka dalam mempelajari Al-quran. Kebijaksanaan Umar dapat
dimengerti karena pada zaman Umar, daerah Islam telah makin luas; jumlah orang
yang memeluk Islam makin bertambah banyak.16

14 Ash-Shidieqy. Op.cit. hlm. 165
15 Ibid. Hlm. 166.
16 Ibid., hlm. 49

Kepala negara secara resmi memerintahkan penghimpunan hadis Nabi
ialah Khalifah Umar bin Abdul Al-Azis (w. 101 H = 720 M). Perintah itu antara
lain ditujukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Muslim bin Syihab Al-Zuhri
(w. 124 H = 724 M), seorang ualam besar di Hijaz dan Syam.
Sebelum khalifah Umar bin Abdul Al-Azis mengeluarkan surat
perintahnya itu, telah cukup banyak orang yang mencatat hadis, namun mereka
melakukan hal itu bukan atas perintah resmi keppala negara. Di samping itu,
berbagai hadis nabi yang tersebar dalam masyarakat belum seluruhnya terhimpun
secara tertulis. Para periwayat hadis ketika itu masih lebih banyak yang
mengandalkan hapalan daripada tulisan. Hal itu dapat dimengerti karena pada
masa itu, hapalan merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam
pemeliharaan dan pengembangan pengetahuan; dan orang-orang arab terkenal
memiliki kemampuan hapalan yang tinggi; selain itu, para penghapal masih
bannyak yang berpendapat bahwa penulisan hadis itu tidak diperkenankan.
Pada akhir abad ke-2 H, barulah penelitian atau pengkritikan hadis
mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis.
Perkembangan Penghimpunan Hadits Dibagi Atas 5 Periode :
1. Periode Nabi Muhammad (13 H-11H)
Nabi dangan tugas yang sangat suci yang dilakukan dengan cara dakwah
menyampaikan dan mengajarkan risalah Islam pada umatnya, Nabi sebagai
sumber hadits menjadi figure sentral yang mendapat perhatian segala sahabat,
segala aktivitas beliau seperti: perkataan, parbuatan, dan segala keputusan beliau
diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak ikut menyaksikan.
Ajaj Al-Khatib menjelaskan bahwa proses terjadinya hadits ada 3 dari berbagai
sisi:
- Terjadi pada Nabi sendiri kemudian dijelaskan hukumnya kepada sahabat dan
disampaika kepada lainnya.
- Terjadi pada sahabat atau kaum muslimin karena mengalami suatu problem
kemudian bertanya kepada Rasulullah.

- Segala amal perbuatan dan tindakan Nabi dalam melaksanakan Syari’ah
islamiah baik menyangkut ibadah dan akhlak yang disaksikan para sahabat
kemudian mereka menyampaikan kepada tabi’in.
2. Periode Sahabat
Karena terjadi banyak problem diantaranya kaum murtad kekhawatiran
Umar bin Khatab dalam pembukuan hadits adalah Tassabbun/menyerupai dengan
ahli kitab yakni yahidi dan nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikan dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka
dalam kitab Tuhan mereka, Umar khawatir umat Islam meninggalkan Al-Qur’an
dan hanya membaca hadits, jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang
mengkodifikasikan untuk itu. Pada masa Ali timbul perpecahan diantara kalangan
Umat Islam akibat konflik politik antara pendukung Ali dan Mu’awiyah umat
Islam terpecah jadi 3 golongan:
- Khawarij : Golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian.
- Syiah : Pendukung setia terhadap Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi
pengkultusan terhadap Ali.
- Jumhur Muslimin : Diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan Ali ada
yang mendukung Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri
dalam kancah konflik.
Akibat perpecahan ini tidak segan-segan membuat hadits palsu (mawdhu)
untuk mengklaim bahwa dirinya yang paling benar diantara golongan dan partai
diatas, dan untuk dapat dukungan dari umat Islam, ulama tidak tinggal diam
menghadapi pemalsuan hadits diatas, mereka berusaha juga kemurnian dengan
serius,

dengan

mengadakan

perlawanan

keberbagai

umat

Islam.

• Periode Tabi’in
Pada masa abad ini disebut masa pengkodifikasian Khalifah Umar bin
Abdul Aziz (99-101 H) yakni yang hidup pada akhir abad 1 H menganggap perlu

adanya penghimpunan dan pembukuan hadits karena beliau khawatir lenyapnya
ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama, baik dikalangan sahabat maupun tabi’in,
maka beliau menstruksikan kepada Gubenur diseluruh wilayah negeri Islam agar
para ulama dan ahli ilmu penghimpun dan membukukan hadits.
Lihatlah hadits Rasulullah dan kemudian himpunlah ia demikian juga surat
khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm (W-117 H).
“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.”
Tidak diketahui secara pasti siapa diantaranya ulama yang lebih dahulu dalam
melaksanakan intruksi khalifah tsb, sebagian pendapat mengatakan Abu Bakar
Muhammad bin Amr bin Hazm, sebagaimana bunyi teks diatas, pendapat lain
mangatakan Ar-Rabibin Rahim Said bin Arubah dan Muhammad bin Muslim bin
Asy-syhab Az-zahri, dan yang paling popular adalah Muhammad bin Muslim bin
Asy-syhab Az-zahri.
• Periode Tabi’it Tabi’in
Artinya perode pengikut tabi’in yakni pada abad 14 H, yang disebut ulama
dahulu/salaf/mutaqaddimin, sedangkan ulama pada berikutnya abad ke 4H dan
setelahnya disebut ulama belakang khalaf/mutakharirin pada abad ke 3 H disebut
kejayaan sunnah (Minlushur Al-Izdihar) atau masa keemasan (min al-ushutadzdzanabiyah) maka lahirlah 6 buku induk hadits diantaranya adalah yang dijadikan
pedoman dan referensi para ulama hadits berikutnya yaitu:
- Al-Jami” Ash-Shahih li Al- Bukhari (194-256 H)
- Al-Jami” Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hallaj al-Qusyayry (204-261H)
- Sunan An-Nasai (215-303H)
- Sunan Abu Dawud (202-276H)
- Jami At-Tarmidzi(209-269H)

- Sunan ibn Majah Al-Quzwini (209-276H)
Pada akhir abad ke 7 H Turki dapat menguasai daerah Islam kecuali
bagian barat seperti Maroko dan sekitarnya, pada abad pertengahan 9 H Turki
dibawah pemerintahan otonom berhasil merebut kota konstansi nopel dan
dijadikan Ibu Kotanya, kemudian menaklukan Mesir dan melenyapkan khalifah
Abbasyyah, turki semakin kuat akan tetapi bersamaan itu pemerintahan Islam di
Andalusia dan Islam padam setelah memancarkan sinarnya selama 8 abad, belum
lagi imperalis barat yang memperbudak Islam, hal ini menyebabkan kemunduran
umat Islam dalam segala bidang termasuk dalam pengabdianya terhadap agama.
Karena kondisi diatas ulama hadits tidak bebas dalam menyampaikan dan
menerima hadits, maka dilakukan secara murasalat (korespondensi) ijazan dan
imla, metode ijazah artinya seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatkan hadits yang ditulis oleh gurunya, metode imla artinya seorang guru
hadits duduk di Mesjid (pada hari jum’at) kemudian dia menguraikan hadits itu
baik dari segi kualitas, kandunganya dan lain-lain, dan yang hadir itu baik yang
dilakukan oleh Zainuddin Al-Iraal (W. 806H) dan Ibnu Hajar Al-Asaalani (W.
852H)
• Periode Setelah Tabi’tabi’in
Pada masa ini disebut penghimpunan dan penerbitan (Al-Jami Waaltartib)
ulama yang hidup pada masa abad ke 4 H dan berikutnya disebut ulama Mutak
Haririn atau Khalaf (modern) dan yang tetap hidup sebelum abad ke 4 H disebut
Musaqaddimi atau ulama Shalaf (klasik) perbedaan mereka dalam periwayatan
dan kodifikasi hadits, ulama Mutakaddimin menghimpun hadits Nabi dengan cara
langsung, mendengar dari guru-gurunya kemudian adakan penelitian sendiri baik
sanad maupun matannya mereka tidak segan untuk perjalanan jauh, untuk
mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain, sedang ulama
Mutakharirin

periwayatanya

gereferinsi

mengutip

kitab

Mutaqaddimin.

Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama
kali berhasil menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu lengkap adalah AlQadi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abd. Ar-Rahman bin Khalad ArRamahurmuzi (265-360 H) dalam kitabnya, Al-Muhaddits Al-Fashil bain Ar-Rawi

wa Al-Wa’i. Menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani, 17 kitab ini belum membahas
masalah-masalah ilmu hadis secara lengkap. Meskipun demikian, menurutnya
lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang
kemudian dikembangkan oleh para ulama berikutnya.
Kemudian muncul Al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah AnNaisaburi (w. 405 H/1014 H) dengan sebuah kitab yang lebih sistematis, Ma’rifah
‘Ulum Al-Hadits.
Kemudian, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah Ash-Asfahani (w. 430
H/1038 H) dengan kitabnya, Al-Mustakhraj ‘Ala Ma’rifah ‘Ulum Al-Hadits.
Setelah itu muncul Abu Bakr Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi(392 H/1002 M-463
H/1071 M) yang menulis dua kitab ilmu hadits, yakni Al-Kifayah fi qawanin ArRiwayah dan al-fami’li Adab asy-Syeikh wa As-Sami’.18
Selang beberapa waktu, menyusul Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi
(w.544 H) dengan kitabnya Al-Ilma fi Dabath Ar-Riwayah wa Taqyid Al-Asma’,
dan kitab-kitab lainnya yang terus bermuncullan dan perkembangan yang lebih
baik lagi.
Di samping kitab ulumul hadits yang bersifat umum, dalam perkembangan
selanjutnya muncul pula kitab ulumul hadis yang bersifat khusus, yakni kitab
yang membahas satu cabang ilmu hadis tertentu dengan pembahasan yang lebih
luas dan mendalam.
E. KITAB-KITAB YANG MEMBAHAS ULUMUL HADITS
1. Kitabِ Al-Muwatta’
a. Latarِ belakangِ penyusun
Ada ِ beberapa ِ versi ِ yang ِ mengemukakan ِ tentang ِ latar
belakangِ penyusunِ al-Muwatta’.Menurutِ Noelِ J.ِ Coulsonِ problem

17 Ash-Shalih. Op.cit. hlm. 113-114
18 Mahmud Ath-Thahhan. Taisir Musthalah Al-hadits. Beirut: Dar Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah. t.t.
hlm. 12.

politikِ danِ socialِ keagamaanlahyangِ melatarbelakangiِ penyusun
al-Muwatta’.
Versiِ lainِ menyatakan,ِ penulisanِ al-Muwatta’ِ dikarenakan
adanya ِ permintaan ِ Khalifah ِ Ja’far ِ al-Mansur ِ ِ atas ِ usulan
Muhammad ِ ibn ِ al-Muqaffa’ ِ yang ِ sangat ِ prihatin ِ terhadap
perbedaan ِ fatwadan ِ pertentangan ِ yang ِ berkambang ِ saat ِ itu,
dan ِ mengusulkan ِ kepada ِ Khalifah ِ untuk ِ menusun ِ undangundangِ yangِ menjadiِ penengahِ danِ bisaِ dirterimaِ semuaِ pihak.
b. Penamaanِ Kitab
Tentangِ penamaanِ kitabِ al-Muwatta’adalahِ orisinilِ berasalِ
dariِ Imamِ Malikِ sendiri.ِ Hanyaِ sajaِ tentangِ mengapaِ kitabِ
tersebutِ dinamakanِ denganِ al-Muwatta’ِ adaِ beberapaِ pendapatِ
yangِ muncul:
Pertama,ِ sebelumِ kitabِ ituِ disebarluaskanِ Imamِ Malikِ
telahِ menyodorkanِ karyanyaِ iniِ diِ hadapanِ paraِ 70ِ ulamaِ Fiqhِ
Madinahِ danِ merekaِ menyepakatinya.
Kedua,ِ pendapatِ yangِ menyatakanِ penamaanِ al-Muwattaِ
karenaِ kitabِ tersebutِ ِ “memudahkan”ِ khalayakِ ummatِ Islamِ
dalamِ memilihِ danِ menjadiِ peganganِ hidupِ dalamِ beraktivitasِ
danِ beragama.
Ketiga,ِ pendapatِ yangِ menyatakanِ penamaanِ al-Muwatta’
karenaِ kitabِ al-Muwatta’ِ merupakanِ perbaikanِ terhadapِ kitabkitabِ fiqhِ sebelimnya.
c. Isiِ Kitab
Kitabِ iniِ menghimpunِ hadis-hadisِ Nabi,ِ pendapatِ sahabat,ِ
qaulِ tabi’in,ِ Ijma’ِ ahlِ al-Muwatta’ِ danِ pendapatِ imamِ Malik.
Paraِ ualaِ berbedaِ pendapatِ tentangِ jumlahِ hadisِ yangِ
terdapatِ dalamِ al-Muwatta’

1) Ibnuِ Habbabِ yangِ dikutipِ Abuِ Bakarِ al-A’rabiِ dalamِ
Syarahِ al-Tirmiziِ menyatakanِ adaِ 500ِ hadisِ yangِ disaringِ
dariِ 100.000ِ hadist.
2) Abuِ Bakarِ al-Abhariِ berpendapatِ adaِ 1726ِ hadistِ denganِ
pericianِ 600ِ musnad,ِ 222ِ mursal,ِ 613ِ mauqaf,ِ danِ 285ِ
qaulِ tabi’in.
3) Al-Harasiِ dalamِ “Ta’liqahِ fiِ al-Usul”ِ mengatakanِ kitabِ
Malikِ memuatِ 7