Akuisisi N, P, K dan produksi Kelapa Sawit Menghasilkan melalui Peningkatan Keanekaragaman Tanaman Sela

  Kelapa sawit berakar serabut yang terdisi atas akar primer, skunder, tertier dan kuartier.Akar-akar primer pada umumnya tumbuh ke bawah, sedangkan akar sekunder, tertier dan kuartier arah tumbuhnya mendatar dan ke bawah.Akar kuartier berfungsi menyerap unsur hara dan air dari dalam tanah. Akar-akar kelapa sawit banyak berkembang di lapisan tanah atas sampai kedalaman ± 1 meter dan semakin ke bawah semakin sedikit (Risza, 2008).

  Tanaman kelapa sawit umumnya memiliki batang yang tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah fase muda (seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia (ruas). Titik tumbuh batang kelapa sawit terletak di pucuk batang, terbenam di dalam tajuk daun. Di batang terdapat pangkal pelepah-pelepah daun yang melekat kukuh (Sunarko, 2008).`

  Daun dibentuk di dekat titik tumbuh. Setiap bulan, biasanya akan tumbuh dua lembar daun. Pertumbuhan awal daun berikutnya akan membentuk sudut 135 . Daun pupus yang tumbuh keluar masih melekat dengan daun lainnya. Arah pertumbuhan daun pupus tegak lurus ke atas dan berwarna kuning. Anak daun (leaf let) pada daun normal berjumlah 80-120 lembar (Sastrosayono, 2008).

  Kelapa sawit berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan berbentuk lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman kelapa sawit mengadakan penyerbukan bersilang (cross pollination). Artinya bunga betina dari pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang lainnya dengan perantaan angin dan atau serangga penyerbuk (Sunarko, 2008).

  Tandan buah tumbuh di ketiak daun.Semakin tua umur kelapa sawit, pertumbuhan daunnya semakin sedikit, sehingga buah terbentuk semakin menurun. Hal ini disebabkan semakin tua umur tanaman, ukuran buah kelapa sawit akan semakin besar. Kadar minyak yang dihasilkannya pun akan semakin tinggi. Berat tandan buah kelapa sawit bervariasi, dari beberapa ons hingga 30 kg (Sastrosayono, 2005).

  Buah terdiri dari tiga lapisan. Eksokarp yaitu bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin, Mesokarp, serabut/daging buah, Endokarp yaitu cangkang pelindung inti. Endokarp yaitu inti/kernel kelapa sawit.Inti sawit (kernel, yang sebetulnya adalah biji) merupakan endosperma dan embrio dengan kandungan minyak inti berkualitas tinggi (Soehardiyono, 1998).

  Syarat Tumbuh Iklim

  Di daerah-daerah yang musim kemaraunya tegas dan panjang, pertumbuhan vegetatif kelapa sawit dapat terhambat, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada produksi buah. Suhu berpengaruh pada produksi melalui pengaruhnya terhadap laju reaksi biokimia dan metabolisme dalam tubuh tanaman. Sampai batas tertentu, suhu yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya produksi buah.Suhu 20 C disebut sebagai batas minimum bagi pertumbuhan vegetatif dan suhu rata-rata tahunan sebesar 22-23 C diperlukan untuk berlangsungnya produksi buah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).

  Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah antara 12 Lintang Utara 12 Lintang Selatan.Curah hujan optimal yang dikehendaki antara 2.000-2.500 mm per tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5- 7 jam per hari dan suhu optimum berkisar 24 -38 C. Ketinggian di atas permukaan laut yang optimum berkisar 0-500 meter (Risza, 2008).

  Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan pembentukan hasil tanaman. Pada tanaman kelapa sawit temperatur optimal berkisar antara 24°- 28°C dengan lama penyinaran matahari 5-7 jam per hari.Suhu rata-rata tahunan daerah pertanaman kelapa sawit yang menghasilkan banyak tandan adalah pada rata-rata suhu 25°C dan 27°C (Sianturi, 1993).

  Tanah

  Tanah yang sering mengalami genangan air umumnya tidak disukai tanaman kelapa sawit karena akarnya membutuhkan banyak oksigen. Drainase yang jelek bisa menghambat kelancaran penyerapan unsur hara dan proses nitrifikasi akan terganggu, sehingga tanaman akan kekurangan unsur nitrogen (N).

  Karena itu, drainase tanah yang akan dijadikan lokasi perkebunan kelapa sawit harus baik dan lancar, sehingga ketika musim hujan tidak tergenang (Sunarko, 2008).

  Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit adalah 6,5-7,0 dengan pH tanah ideal 5,5. Tanah harus gembur dan berdrainase baik.Pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit dalam banyak hal tergantung pada karakter lingkungan fisik dan kimia dimana tanaman ditumbuhkan (Sianturi, 1993).

  Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada sejumlah besar jenis tanah di wilayah tropika. Persyaratan mengenai jenis tanah tidak terlalu spesifik seperti persyaratan faktor iklim. Hal yang perlu ditekankan adalah pentingnya jenis tanah untuk menjamin ketersediaan air dan ketersediaan bahan organik dalam jumlah besar yang berkaitan dengan jaminan ketersediaan air (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).

  Kemiringan tanah yang dianggap masih baik bagi tanaman kelapa sawita dalah antara 0-150. Sedangkan di atas kemiringan 150 harus dibuat teras kontur.

  Pada topografi datar di daerah Sumatera Timur biasanya dijumpai tanah gleyhumik atau hidromorfik. Sedangkan tanah organosol (tanah gambut) vegetasinya terdiri dari hutan lebat dan terendam air (Risza, 2008).

  Stenotaphrum secundatum

  Rumput Stenotaphrum secundatum dikenal dengan nama umum “Buffallo grass” (Australia) atau St. Agustine grass (Amerika Serikat). Termasuk dalam family “Gramineae’ dengan sub-family Panicoideae (Sirait, dkk., 2010).

  Stenotaphrum secundatum merupakan jenis rumput yang cocok tumbuh

  pada areal yang intensitas cahayanya rendah (Whiteman, 1980). Lebih jauh Smith dan Whiteman (1983) menyebutkan bahwa rumput S.secundatum merupakan tanaman yang sangat cepat berkembang, memiliki rhizoma dan stolon yang padat, perakaran yang kuat, kemampuan berkompetisi dengan gulma sangat kuat sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma serta tahan terhadap penggembalaan berat.

  Pertumbuhan rumput Stenotaphrum secundatum sebagaimana tanaman lainnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni: iklim, tanah, pengelolaan dan kondisi sosial ekonomi petani. Pertumbuhan tanaman pada akhirnya akan berdampak terhadap jumlah produksi dan kualitas hijauan (Sirait, dkk., 2010).

  Rumput Stenotaphrum secundatum dapat mempertahankan produksinya pada kondisi cahaya hanya 40% (taraf naungan 60%).Spesies yang toleran naungan sering menunjukkan penurunan produksi yang relatif kecil atau masih meningkat pada naungan sedang.Rumput Stenotaphrum secundatum dapat tumbuh pada curah hujan 1000 hingga >2000 mm di daerah tropis basah dan sub- tropis, namun lebih menyukai curah hujan yang lebih tinggi. Tumbuh dengan baik pada temperatur antara 20 hingga 30 C pada ketinggian 0 hingga 1300 m di atas permukaan laut (Sirait, dkk., 2010).

  Nilai nutrisi rumput Stenotaphrum secundatum (kandungan nitrogen, kecernaan protein kasar maupun kecernaan bahan kering) mengalami penurunan yang cepat dengan bertambahnya umur tanaman. Sehubungan dengan hal itu disarankan agar frekwensi penggembalaan maupun pemotongan dilakukan lebih teratur. Rumput ini sangat disukai ternak ruminansia besar maupun kecil saat masih muda. Terdapat kandungan oksalat sejumlah kira-kira 1% namun dilaporkan tidak menyebabkan keracunan pada ternak yang mengkonsumsinya (Prawiradiputra, 2006).

  Pola pengembangan hijauan pakan bagi peternak dengan pemeliharaan secara penggembalaan (extensive) adalah dengan pembangunan pastura untuk penggembalaan. Pola ini memiliki kelemahan karena membutuhkan lahan yang lebih luas, membutuhkan pagar, investasi usaha lebih besar dan pengendalian penyakit (khususnya parasit interna/cacing) sulit dilakukan. Namun pola ini memiliki keunggulan yakni biaya tenaga kerja untuk penggembalaan relatif rendah. Pembangunan padang penggembalaan dapat dilakukan dengan penanaman rumput Stenotaphrum secundatum pada ekosistem naungan seperti di lahan perkebunan kelapa, kelapa sawit maupun karet. Penggembalaan sebaiknya dilakukan secara bergiliran dengan membagi lahan rumput yang tersedia dalam beberapa petak (dibuat pagar pembatas). Lama pengembalaan paling optimal adalah 7 (tujuh) hari untuk setiap petak, dan kembali digembalakan ke petak yang pertama setelah 45-60 hari. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi rumput S.secundatum untuk tumbuh kembali setelah digembalai ternak (Prawiradiputra, 2006).

  Stenotaphrum secundatum merupakan tumbuhan yang tumbuh baik pada

  intensitas cahaya rendah/toleran naungan, sangat cepat berkembang dan tumbuh cepat. Tumbuhan ini memiliki rhizoma dan stolon yang padat, memiliki perarakan sangat kuat, mampu berkompetisi dengan gulma, tahan pengembalaan berat, toleran pada tingkat naungan sampai 75%. Produktivitas S.Secundatum berkisar antara 17,0-41,0 ton/ha/tahun (bahan segar) atau 2,2-6,1 ton/ha/tahun. Dapat menjadi pilihan dalam pengembangan integrasi ternak dengan tanaman perkebunan (karet/kelapa sawit). Produktivitas tersebut dicapai pada penanaman dengan jarak tanam 50x50 cm antar dan di dalam baris, dibutuhkan materi tanam sebanyak 40.000 pols per ha).

  Kandungan nutrisi S.Secundatum baik untuk mendukung produksi ternak dan disukai (palatable). Protein kasar S.secundatum sekitar 8,6 %, cukup untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi mikroba untuk proses fermentasi dalam rumen. Serat dan bahan organik merupakan sumber energi bagi produksi ternak.

  Tingkat kecernaan nutrien relatif tinggi untuk mendukung produksi ternak ruminansia.

  Kualitas hijauan dapat dilihat dari komposisi kimia hijauan dan kecernaan hijauan. Secara kualitas rumput Steno yang ditanam dengan kondisi ternaung memiliki kandungan protein kasar yang nyata lebih tinggi daripada Steno tanpa naungan. Fenomena ini terjadi karena dalam kondisi ternaung pembentukan dinding sel tanaman lebih sedikit, tanaman lebih sukulen dan kandungan isi sel lebih tinggi. Di samping hal tersebut, pada kondisi ternaung kehilangan nitrogen karena penguapan lebih sedikit daripada dalam kondisi tanpa naungan (Suarna dan Sukarji, 2001).

  Pengaruh naungan danaplikasi berbagai taraf nitrogen terhadap nilai kecernaan in vitro bahan kering hijauan. Sebagaimana halnya terhadap kandungan protein kasar hijauan, naungan juga memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai kecernaan invitro hijauan. Peningkatan intensitas naungan memberikan perbaikan kualitas hijauan, tetapi menurunkan kandungan bahan kering hijauan. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Norton et al. (1991) bahwa naungan dapat menurunkan produksi hijauan, tetapi dapat meningkatkan kandungan nitrogen tanaman.

  Arachis glabrata

  Arachis perennial adalah leguminosa dari keluarga Arachis yang hidupnya menahun. Beberapa spesies yang tergolong kelompok ini adalah A. glabrata, A.

  pintoii, A. repens dan A.hybrid. Ciri tanaman ini antara lain: perakaran yang kuat

  dan dalam, akar berkembang dengan banyak cabang, batang menjalar di permukaan tanah, daun dan bunganya mirip dengan kacang tanah dan dapat distek untuk perbanyakan vegetatif(Sirait, dkk. 2008).

  Hasil penelitian Sirait dkk (2008) tanaman pakan ternak Arachis glabrata menunjukkan adaptasi yang baik pada perlakuan naungan. Tidak terdapat perbedaan nyata produksi, konsumsi dan kecernaan pakan (kecuali kecernaan ADF) pada perlakuan naungan dengan tanpa naungan. Retensi nitrogen

  

A.glabrata pada N-75 nyata lebih tinggi dibanding N-55 dan N-0, tetapi retensi N

  pada N-55 dan N-0 tidak berbeda nyata. Kandungan protein kasar A.glabrata pada perlakuan naungan lebih tinggi disbanding tanpa naungan. Dengan hasil penelitian ini A.glabrata dapat direkomendasikan ditanam pada naungan sedang (hingga naungan 55%) dilihat dari adaptasi, produksi maupun kecernaannya serta berpotensi sebagai pakan ternak kambing.

  Arachis glabrata tanaman pakan ternak yang berbeda dengan Arachis hypogea karena kemampuan reproduksi yang dapat tumbuh kembali dari rimpang

  maupun biji. Arachis glabrata dapat tumbuh pada tanah berpengairan baik dari tanah liat sampai tanah berpasir dan lebih menyukai tanah asam, selain itu tanaman ini tahan terhadap naungan dan merupakan tanaman tahunan yang berasal dari Amerika Selatan (Sirait, dkk. 2008).

  Produksi bobot segar dan bobot kering hijauan Arachis glabrata pada perlakuan interval pemotongan 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan yang paling baik adalah pada lapisan 1 kasa (intensitas cahaya + 50%) semakin meningkatnya intensitas naungan semakin rendah bobot segar maupun bobot kering dan tanaman

  

Arachis glabrata masih dapat tumbuh baik pada lapisan 2 kasa (intensitas cahaya

  30%) (Sutedi, dkk. 2010). +

  Arachis glabrata memiliki kemampuan pada naungan bervariasi

  tergantung ekotipe. Biasanya dapat tumbuh pada naungan sedang. Arachis

  glabrata merupakan leguminosa yang memiliki kemampuan beradaptasi pada

  tanah yang berdrainase baik mulai dari tanah pasir sampai liat, lebih menyukai tanah masam namun dapat tumbuh baik pada tanah netral atau sedikit basa, selain itu beradaptasi baik pada daerah tropis maupun subtropis (Bowman dan Wilson, 1996).

  Arachis glabrata memiliki kualitas hijauan yang baik dan memiliki

  produksi bahan kering yang baik. Prine et al. (1981) melaporkan bahwa produksi bahan kering Arachis glabrata di Florida berkisar antara 0,7 – 1,3 ton/ha, sedangkan di daerah subtropis berkisar antara 0,8 – 1,0 ton/ha. Selain itu Arachis glabrata ini juga berpotensi sebagai tanaman pasture (padang penggembalaan).

  Pada umumnya Arachis (baik A.glabrata maupun A. pintoi) dikenal sebagai tanaman pakan yang bermutu tinggi. Bila ditanam sebagai penutup tanah di perkebunan, Arachis dapat meningkatkan kesuburan tanah dan menghemat pemberian pupuk nitrogen karena mampu mengikat N dari udara. Sebagai tanaman hias, Arachis dikenal sebagai pintonia. Selain karena kecantikan bunganya yang berwarna kuning (yang mekar serentak pada pagi hari), pertanaman Arachis mampu membentuk hamparan yang tebal dan padat sehingga menekan pertumbuhan gulma. Tanaman ini juga kurang begitu memerlukan pemeliharaan (penyiangan) (Balitnak, 2010).