BAB II PRINSIP KETERBUKAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ICSID ANTARA INVESTOR ASING DENGAN HOST STATE H. Prinsip Keterbukaan - Penerapan Prinsip Keterbukaan Atas Putusan Arbitrase ICSID Di Indonesia Dan Perbandingannya Dengan Beberapa Negara

  terutama dalam hukum investasi internasional. Makna kata keterbukaan atau transparansi (transparency) juga menjadi perdebatan panjang dalam arbitrase secara internasional di mana sering dikaitkan dengan konsep lainnya yaitu akses publik

  132

  (public acces) dan pengungkapan rahasia (disclosure) dan transparansi yang dimaksud sering juga disinonimkan dengan pertanggungjawaban (accountability)

  133 134

  atau keterbukaan (openness). Hal tersebut juga dikatakan oleh Zoellner bahwa:

  Transparency has become a subject of debates concerning the democratic legitimacy of the changing international legal order, particularly with respect to new obligations that arguably require the partial transfer of sovereignty and previously national competences to international regimes.

  (Terjemahan : transparansi telah menjadi subjek perdebatan berkaitan dengan legitimasi demokratis dari perubahan tatanan hukum internasional, khususnya yang berkaitan dengan kewajiban baru yang membutuhkan pemindahan kedaulatan parsial dan kompetensi nasional sebelumnya kepada rezim internasional). 132

  “Disclosure is the act or process of making known something that was previously unknown ; a revelation of facts (a lawyers‟s disclosure of a conflict of interest),” dalam Bryan A. Garner, Black‟s seventh Edition, (St. Paul, Minn : West Group, 1999), hlm. 477

  Law Dictionary, 133 Sebagai contoh definisi “transparency” dalam eksiklopedia online bahwa “as used in the humanities, implies openness, communication, and accountability .” Dalam kses tanggal 12 April 2014. 134

  Carl- Sebastian Zoellner, “Transparency : An Analysis of An Evolving Fundamental Principle In International Economic Law, Michigan Journal of International Law, 2006, 27, 2, Proquest Research Library, hlm. 580.

  57 Keterbukaan dalam arbitrase internasional berkaitan dengan akses publik, komunikasi yang terbuka dan hal yang dapat dipertanggungjawabkan. Akses publik seringkali disebut sebagai bagian dari keterbukaan di mana akses publik dibangun sebagai hak setiap orang sebagai warganegara dan transparansi adalah kondisi dari sistem yang ada. Keterbukaan menjadi penting karena merupakan akses publik dari maksud suatu komunitas politik, dengan kata lain bahwa akses publik merupakan suatu mekanisme untuk mempromosikan keterbukaan, sebagaimana diungkapkan

  135

  Catherine A. Rogers bahwa “why is transparency so important, but its apparent

  counterpart, public access, implicity expendable in the international commercial arbitration contecxt? The short answer is that public access is linked to the notion of

  (keterbukaan yang merupakan akses publik menjadi sangat

  a political community” penting karena akses publik terkait dengan gagasan tentang komunitas politik).

  Sebagaimana akses publik, tujuan utama transparansi adalah untuk memfasilitasi

  136

  kontrol terhadap pembuat keputusan, demikian juga Mark Fenster menjelaskan bahwa

  “work on transparency in executive branch contexts that transparency enables free flow of information among public agencies and private individuals, allowing input, review, and criticism of government action, and thereby increases the quality of governance

  (dalam konteks transparansi eksekutif memungkinkan arus informasi

  antar lembaga publik dan pihak swasta, memungkinkan masukan, peninjauan 135

  Catherine A. Rogers, “Transparency In International Commercial Arbitration,” hlm. 8, diunduh dari SRRN Journal, 12 Nopember 2013. 136 Mark Fenster, “The Opacity of Transparency,” hlm. 13., diakses dari SRRN Journal, ggal 5 Maret 2014. kembali, dan kritik atas tindakan pemerintah sehingga dapat meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan). Keterbukaan juga dianggap ikut memainkan peran yang penting dalam membantu masyarakat untuk menilai adilnya suatu pengadilan.

  137

  Dalam konteks perjanjian internasional, William B.T. Mock mengatakan bahwa “transparency in its most colloquial and natural meaning is a term of analogy

  a regulation, law, or legal procedure is transparent if it can be seen through easily, just as one can see easily through a clean window.” (transparansi secara umum

  mengandung pengertian sebagai bentuk analogi suatu peraturan, hukum, atau prosedur hukum yang transparan, dan dapat di lihat secara mudah). Sedangkan

  138

  Chayes mendefinisikan transparansi sebagai :

  The availability and accessibility of knowledge and information about : first, the meaning of norms, rules, and procedures established by the treaty and practice of the regime, and second, the policies and activities of parties to the treaty and of any central organs of the regime as to matters relevant to treaty compliance and regime efficacy.

  (Terjemahan : pengetahuan dan informasi yang tersedia dan dapat diakses tentang : pertama, makna dari norma, aturan, dan prosedur yang ditetapkan oleh perjanjian dan praktek rezim, dan kedua, kebijakan dan kegiatan para pihak pada perjanjian serta setiap organ sentral untuk hal-hal yang relevan pada kepatuhan perjanjian dan rezim kemanfaatan).

  Definisi di atas menunjukkan bahwa diperlukan aksesibilitas dan kejelasan dalam tranparansi berkaitan dengan perjanjian dan tindakan yang berkaitan dengan itu. Di bidang keuangan, transparansi 137 menunjukkan mengenai “the ability of market

  Carl-Sebastian Zoellner, op.cit., hlm. 583, sebagaimana diku tip dari William B.T. Mock, “An Interdisciplinary Introduction to Legal Transparency : A Tool For Rational Development,” 18 DiCK.J.Int‟l L.293,295, (2000). 138 Ibid., hlm. 583-584.

  participants fairly to observe current and recent levels of market activity

  (kemampuan pengguna pasar yang cukup untuk mengamati level saat ini dan kegiatan

  139

  pasar tertentu). Dari kedua pengertian tersebut, diketahui bahwa keterbukaan menjamin para pihak untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dengan mudah sehingga dapat merencanakan tindakan dan rencana selanjutnya berkaitan dengan perjanjian.

  140

  Dalam konteks pemerintahan, Steven Schooner mendefinisikan keterbukaan sebagai “a system (that) employs procedures by which offerers and

  contractors (and even the public at large) ensure that government business is conducted in an impartial and open manner

  ” (suatu sistem yang menggunakan prosedur di mana pihak penawar dan kontraktor (dan bahkan masyarakat luas) memastikan bahwa kegiatan bisnis pemerintah dilakukan secara adil dan terbuka). Keterbukaan sebagai bentuk media bagi berbagai pihak terkait termasuk masyarakat untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah itu dilakukan secara berimbang dan terbuka. Keterbukaan secara langsung terkait dengan legitimasi karena merupakan norma demokrasi dan secara tradisional dikaitkan dengan

  141

  akuntabilitas. Terkait dengan legitimasi dan akuntabilitas, karena akan memungkinkan publik untuk menilai apakah pengadilan memeriksa dan mengadili

  139 140 Ibid.

  Ibid., sebagaimana dikutip dari Steven L. Shooner, “Desiderata : Objectives for A System of Government Contract Law,” 11 Pub. Precurement L.Rev.103.105. (2002). 141 Ibid. perkara secara yang adil dan tidak bias, baik dalam proses persidangan maupun pengambilan keputusan.

  Keterbukaan di pengadilan berarti persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang seperti perkara

  142

  kesusilaan, perceraian dan perkara anak. Jika perkara yang harus diperiksa secara terbuka disimpangi ataupun sebaliknya perkara yang harus diperiksa secara tertutup tetapi dilakukan secara terbuka, maka akan mengakibatkan putusan yang dijatuhkan akan batal demi hukum. Hal tersebut diatur untuk memastikan bahwa pengadilan bertindak dengan cara yang dapat diterima sehingga negara membuat sejumlah mekanisme untuk memantau terwujudnya keadilan dan perlakuan yang sama berupa transparansi lembaga peradilan yang dapat berupa kewajiban pemeriksaan perkara di pengadilan yang terbuka untuk umum, putusan yang dibacakan secara terbuka untuk umum dan dapat diakses oleh khalayak umum. Tanpa adanya akses atas informasi di pengadilan maka masyarakat tidak akan dapat menilai apakah keputusan yang di ambil sudah adil atau belum, hal ini juga berlaku bagi pengadilan secara internasional.

  142

  Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi : (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Pasal 3 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal menyebutkan bahwa salah satu asas yang menjadi dasar penyelenggaraan penanaman modal adalah asas keterbukaan, yang mana dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan mengenai makna asas keterbukaan sebagai “asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.”

  Kemudian dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan juga mengenai hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan menggunakan media yang ada sesuai Pasal 28 huruf f Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan

  

143

  berbangsa dan bernegara yang demokratis. Hal ini merupakan salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka dan menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk di awasi publik maka penyelenggaraan negara tersebut makin dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi atau keterlibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi

  144 publik.

  143 Lihat dalam uraian penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 144 Ibid.

  Setiap badan publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan badan publik tersebut untuk masyarakat luas.

  Lingkup badan publik dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik ini meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi non pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan, maka akan tercipta pemerintahan yang baik dan peran serta masyarakat yang transparan serta akuntabilitas yang tinggi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan demokrasi yang hakiki. Terbukanya akses publik terhadap informasi diharapkan badan publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka dan merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan terciptanya

  145

  pemerintahan yang baik (good governance). Jika dikaitkan dengan perusahaan, dalam penjelasan Pasal 14 huruf h, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan transparansi adalah 145 “keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan Ibid. dan keterbukaan dalam mengemukakan Informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.” Kemungkinan untuk publisitas proses persidangan dan putusan sebenarnya telah diberikan sejak dahulu, misalnya dalam Pasal 46 Pengadilan Internasional

  (Statute of The International Court of Justice) tahun 1945 yang berbunyi “The

  hearing in Court shall be public, unless the Court shall decide otherwise, or unless the parties demand that the public be not admitted,” yang memungkinkan publikasi 146

  proses pengadilan, sedangkan dalam disertasi ini, prinsip keterbukaan yang dimaksud adalah mengenai keterbukaan putusan arbitrase ICSID sesuai dengan konteks arbitrase internasional.

  Arbitrase merupakan sistem alternatif penyelesaian sengketa yang memiliki sifat paling formal. Dalam proses arbitrase, para pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaian sengketanya kepada pihak ketiga yang netral dan

  147 148

  berwenang untuk memberikan putusan yang mengikat para pihak. Smith berpendapat bahwa ”in arbitration the parties select a neutral person or persons

  (arbiters) who mader a binding decision (dalam arbitrase para pihak memilih orang

  netral atau orang (arbiter) yang membuat keputusan yang mengikat). 146

  J.L. Simpson dan Hazel Fox, International Arbitration Law and Practice, (New York : Frederic A Praeger Publisher, 1959), hlm. 293-294. 147 Sujud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 110. 148 Len Young Smith, Richard A mann, Barry S. Roberts, Business Law and The Regulation of second edition, (St. Paul New York : West Publishing Company, 1987), hlm. 43.

  Business,

  149

  Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, menurut Hans Van Houtte adalah : “dispute in international trade are not always resolved by court, contracting parties

  often agree that possible disputes concerning the contract will be settled through arbitration

  ” (sengketa dalam perdagangan internasional yang tidak selalu diselesaikan melalui pengadilan, para pihak dalam perjanjian sering menyepakati bahwa perselisihan yang mungkin terjadi berkaitan dengan kontrak akan diselesaikan melalui arbitrase).

  150

  Menurut Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae : Belanda

  • –Indonesia bahwa

  “arbitrage” adalah penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau lebih juru pisah yang harus memutus menurut hukum yang berlaku atau berdasar keadilan.

  151

  Menurut arbitrase sebagai

  Black‟s Law Dictionarya method of dispute resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to by the disputing parties and whose decision is binding (arbitrase sebagai metode

  penyelesaian sengketa yang melibatkan satu atau pihak ketiga yang lebih netral yang biasanya disetujui oleh para pihak yang bersengketa dan keputusannya mengikat).

  152

  Menurut Charlton ”arbitration is a process in which the parties to a dispute

  arguments and evidence to a neutral third party (the arbiter) who makes a determination 149 (arbitrase adalah proses di mana pihak untuk mengajukan sengketa Hans Van Houtte, The Law of International Trade, (London : Sweet & Maxwell Limited, 1995), hlm. 383. 150 N.E. Algra, et.al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae : Belanda

  • – Indonesia, ( Jakarta : Binacipta, 1983), hlm. 33-34. 151
  • th Bryan A. Garner, et.al.eds., ed., (Paul Minn : West Group-St.,

    Black‟s Law Dictionary, 9

    1999), s.v. “arbitration”., hlm. 100. 152

      Ruth Charlton, Dispute Resolution GideBook, (Sydney : LBC Information Services, 2000), hlm. 9. dan bukti kepada pihak ketiga yang netral (arbiter) yang membuat suatu keputusan). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase bahwa “arbitrase (wasit) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa

      .”

      153

      Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase merupakan suatu tindakan hukum di mana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan

      154

      final dan mengikat. Angualia Daniel mengatakan dalam artikelnya bahwa :

      Arbitration may also be defined as the process by which a dispute or difference between two or more parties as to their mutual legal rights and liabilities is referred to and determined judicially and with binding effect by the application of law by one or more persons (the arbitral tribunal) instead of by a court of law ... Arbitration is only an alternative to litigation and it does not replace the judicial machinery in all aspects, rather it co-exists with it.

      (Terjemahan : arbitrase juga dapat didefinisikan sebagai proses di mana perselisihan atau perbedaan antara dua pihak atau lebih dalam hak hukum para pihak secara timbal balik dan kewajibannya menunjukkan dan diartikan secara hukum serta dengan efek mengikat penerapan hukumnya oleh satu orang atau lebih (majelis arbitrase) melalui hukum pengadilan ... Arbitrase hanya alternatif untuk litigasi dan tidak mengganti mekanisme peradilan disemua aspek, melainkan digunakan semacam itu).

      153 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002), hlm. 76. 154 Angualia Daniel, “The Role of Domestic Courts In International Commercial Arbitration,th 2010, hlm. 4-5, sebagaimana dikutip dari edition, (Butterworths,

      Halsbury‟s Laws of England, 4 1991), para 601, 332, diunduh dari http://www.ssrn.com/abstract=1674760.

      155

      Frank Elkouri dan Edna Elkouri menyatakan bahwa arbitrase adalah “a

      simple proceeding voluntarily chosen by parties who want a dispute determined by an impartial judge of their own mutual selection, whose decision, based on the merits of the case, they agree in advance to accept as final and binding” (merupakan proses

      sederhana secara sukarela yang dipilih oleh para pihak yang menginginkan sengketanya diputuskan oleh seorang hakim netral yang dipilih para pihak sendiri secara bersama, yang keputusannya, berdasarkan pada manfaat dari sengketa, para pihak menyetujuinya untuk menerima sebagai putusan yang final dan mengikat).

      156

      Arbitrase menurut Subekti adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan bahwa para pihak akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang dipilih atau ditunjuk para pihak tersebut. Sedangkan menurut Sudikno

      157

      Mertokusumo arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan suatu persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit atau lebih.

      158

      Bentuk arbitrase, ada dua, yaitu arbitrase terlembaga atau permanen

      159 160

      (institutional arbitration) dan arbitrase ad hoc, di mana ICSID termasuk dalam 155 156 Elkouri & Elkouri, How Arbitration Works, (Washington DC : BNA Books, 1997), hlm. 2. 157 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta : Bina Cipta, 1981), hlm. 1.

      Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yoyakarta : Liberty, 1979), hlm. 190. 158

      “There are two main forms of arbitration available to the participants of international commerce : Institutional arbitration and ad hoc arbitration.” Lihat dalam Julian D.M. Lew, (Oceana Publication Inc., 1978), hlm. 19.

      Applicable Law in International Commercial Arbitration, 159 “An institutional arbitration is one which is administered by one of the many specialist arbitral institutions : amongst the better known are the American Arbitration Association (AAA), the arbitrase institutional. Sengketa internasional menimbulkan masalah khusus karena

      161

      terdapat lebih dari satu sistem hukum nasional. Arbitrase ICSID tergolong dalam

      162

      arbitrase internasional yang ditentukan oleh para pihak dalam kontrak, dilakukan dengan cara yang ditentukan para pihak atau institutional atau gabungan keduanya

      163 atau mengikuti prosedur administrasi suatu institusi arbitrase.

      ICSID digunakan untuk menyelesaikan sengketa antara investor dari negara yang berbeda dengan negara tempat investasi dilakukan. Oleh karena pihak yang terlibat mengandung unsur negara, maka sedapat mungkin arbitrase dilakukan sesuai prosedur yang ditetapkan dalam Konvensi ICSID.

      International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID), the London Court of International Arbitration (LCIA), the International Chamber of Commerce (ICC).” Lihat dalam Alan Redfern and Martin Hunter, Law and Practice of International Commercial Arbitration, (London : Sweet & Maxwell, 1991), hlm. 13. Badan arbitrase ini lebih banyak menjadi alternatif yang disukai khususnya oleh investor asing. Sifatnya yang permanen, hukum acaranya jelas serta kedudukan dan kewenangannya yang jelas (akan) bermanfaat bagi para pihak dalam membantu menyelesaikan sengketanya, dalam Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal, (Bandung : CV. Keni Media, 2011), hlm. 14. 160An ad hoc arbitration is conducted under rules of procedure which are adopted for the purpose of the arbitration, normally after a dispute has arisen. These rules of procedure may be those drawn up by one of the non- commercial international organizations.” (the best known example is the

      Lihat dalam Alan Redfern and Martin Hunter, UNCITRAL Arbitration Rules).

      Law and …, ibid.

      Arbitrase Ad hoc tidak bersifat permanen atau bersifat temporer karena dibentuk apabila sengketanya lahir sehingga lembaga internasional dan nasional tidak begitu mendukung adanya badan arbitrase yang sifatnya ad hoc, dalam Huala Adolf, ibid. 161 Stephen B. Golberg, Frank E.A. Sander, Nancy H. Rogers, Alternative Dispute : Negotiation, Mediation and Other Process, second edition, (London : Little Brown and Company), hlm. 359. 162

      “Arbitration is international if : (a) the parties to an arbitration agreement have, at the time of the conclusion of that agreement, their places of business in different States; or (b) one of the following places is situated outside the State in which the parties have their places of business (i) the place of arbitration if determined in, or pursuant to, the arbitration agreement ; (ii) any place where a substantial part of the obligations of the commercial relationship is to be performed or the place with ehich the subject-matter of the dispute is most closely connected; or (c) the parties have expressly agreed that the subject matter of the arbitration agreement relates to more than one country .” Dalam Berdasarkan sejarah, arbitrase berusia lebih tua dari pengadilan negara karena arbitrase telah ada dalam hukum-hukum kuno, antara lain hukum Yunani dan hukum Romawi. Dalam hukum Romawi suatu sengketa perjanjian dapat diselesaikan melalui seorang arbiter yang disebut compromissum. Referensi yang berkaitan dengan aturan arbitrase ditemukan dalam Digesta 4 ayat (8) dan 5, Codex Iustianianus 2 ayat (55)

      164 serta ketentuan arbitrase diatur pula dalam Kitab II Novellae 82 ayat (11).

      Arbitrase juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Byzantinium lama, Hukum

      165

      Islam dalam Eksistensi arbitrase telah Qur‟an Surah ke-5 Al Maidah ayat 48. diakui sejak dahulu, bahkan keberadaannya sudah ada jauh sebelum lahirnya

      166 167

      pengadilan nasional, Lord Savlille of Nowdigatte mengatakan

      ”arbitration is one means for resolving disputes, perhaps the oldes form of acceptable alternative dispute resolution, i.e., an alternative to the state court system.”

      168

      Berkaitan dengan hal tersebut Susan Choi mengungkapkan alasan mengapa arbitrase menjadi pilihan para pihak dalam menyelesaikan sengketanya yaitu bahwa :

      Arbitration has become a popular method for the resolution of disputes arising from international commercial transactions. In the international context, 164 Jerzy Jakubowski, “Reflections On The Philosophy of International Commercial Arbitration And Conciliation,” dalam Jan C. Schultsz, The Art Of Arbitration, (Deventer/Netherlands : Kluwer

      Law and Taxation, 1982), hlm. 175. 165 Al Qur‟an Surah ke-5 Al-Maidah ayat 48 yang artinya “… maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu, …” 166 167 Jerzy Jakubowski, op.cit.

      Lord Saville of Nowsdigatte, “Introduction,” dalam Ronald Bernstein (eds), Handbook of rd Arbitration Practice, (London : Sweet and Maxwell, 3 .ed., 1998), hlm. 4., sebagaimana dikutip dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar, Teori, Prinsip, dan Filosofi Arbitrase, (Bandung : CV. Keni Media, 2013), hlm. 49. 168 Susan Choi, “Judicial Enforcement of Arbitration Awards Under The ICSID and New York Conventions ,” New York University Journal of International Law and Politics, 28 N.Y.U. J. Int'l L. & Pol. 175, Fall 1995 Winter 1996, hlm. 175

      arbitration can provide an alternative to litigation in courts that may be unfamiliar to one party. Parties have the freedom to choose the procedural and substantive law that will govern the dispute and can select arbiters based on their expertise in a certain area. Other potential advantages include efficiency, simplicity and, manageable costs.

      (Terjemahan : arbitrase telah menjadi suatu metode yang populer untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari transaksi komersial internasional. Dalam konteks internasional, arbitrase dapat memberikan alternatif untuk litigasi di pengadilan yang mungkin asing bagi salah satu pihak. Para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hukum acara dan hukum substantif untuk menyelesaikan sengketa dan dapat memilih arbiter sesuai keahliannya di bidang tertentu. Keuntungan lainnya yang potensial adalah termasuk efisiensi, kesederhanaan dan biaya pengelolaan).

      169

      Arbitrase bermanfaat sehingga dipilih oleh para pihak. Peter D‟Ambrumenil menyatakan bahwa arbitrase bermanfaat karena para pihak dapat menunjuk arbiternya sendiri yang ditentukan, yang akan mempertimbangkan bukti-bukti dan memutuskan hasilnya, hal ini berarti dimungkinkan untuk menunjuk seseorang yang memiliki pengetahuan tentang sengketa sehingga menghilangkan biaya para pihak untuk mengajukan bukti saksi ahli.

      Arbitrase merupakan proses alternatif pertama dan tertua (the first and oldest of

      170 these alternative procedures ) dan merupakan proses yang membutuhkan banyak

      biaya. Meski demikian, arbitrase tetap dipilih karena meskipun perhatian cenderung fokus pada pengadilan sebagai forum penyelesaian konflik, namun sistem pengadilan belum tentu sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa. Penyelesaian sengketa arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang paling formal 169

      Peter D‟Ambrumenil, Mediation and Arbitration, (London : Cavendish Publishing Limited, 1997), hlm. 7. 170 David Kelly, Ann Holmes, Ruth Hayward, Business Law, Fourth Edition, (London, Sydney, Oregon, USA : Cavendish Publishing Limited, 2002) , hlm.70. dalam memutuskan sengketa selain pengadilan. Berkat dukungan pembuat undang- undang dan pertimbangan pragmatis maka arbitrase menjadi pilihan dalam proses

      171

      penyelesaian sengketa. Dengan demikian hukum arbitrase perlu dikembangkan guna mewujudkan sistem yang lebih menguntungkan penggunanya dalam

      172

      menyelesaikan sengketa sebagaimana diungkapkan bahwa :

      Arbitration is generally known as the peaceful settlement of disputes, are closed, there is no publication of the verdict if there is no agreement of the parties, and the trial was not open to the public . Arbitration does not have a lot of formalities such as civil procedure in court, but the arbitration is only good for a bona fide businessmen … through arbitration also can reduce the burden of the buildup of the court and more favorable than the court because it can resolve disputes quickly and prevent damage.

      (Terjemahan : Arbitrase umumnya dikenal sebagai penyelesaian sengketa secara damai, tertutup, tidak ada publikasi putusan jika tidak ada kesepakatan para pihak, dan sidang tidak terbuka untuk umum. Arbitrase tidak memiliki banyak formalitas seperti prosedur di pengadilan, tetapi arbitrase hanya baik untuk pengusaha bonafide ... melalui arbitrase juga dapat mengurangi beban penumpukan perkara di pengadilan dan lebih menguntungkan daripada pengadilan karena dapat mengatasi perselisihan dengan cepat dan mencegah kerusakan).

      Terdapat dua pendapat mengenai keberadaan arbitrase. Ada yang berpendapat bahwa arbitrase adalah termasuk dalam penyelesaian sengketa melalui litigasi, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa arbitrase adalah termasuk penyelesaian sengketa non-litigasi. Dalam hal ini penulis juga sependapat dengan pandangan yang

      171 Jacqueline M. Nolan-Haley, Alternative Dispute Resolution In a Nutshell, (St. Paul, Minnesota : West Publishing Company, 1992), hlm. 119. 172 Nurnaningsih Amriani, Suhaidi, Tan Kamello, Runtung, “Empowering Arbitration for

      Resolving Environmental Disputes ,” The International Journal Of Humanities & Social Studies, Volume 3, Issue 1, 2015, hlm. 190-192, diakses dari www.theijhss.com.

      173

      pertama bahwa arbitrase adalah termasuk dalam litigasi. Adapun alasannya adalah:

      Pertama, arbitrase menggunakan pendekatan penyelesaian sengketa bersifat adversarial /pertentangan dan hasil yang dicapai adalah win-lose solution, hal ini

      dibuktikan dengan adanya rasa tidak puas oleh salah satu pihak yang dikalahkan dan mengakibatkan pihak tersebut dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase yang pada dasarnya bersifat final dan mengikat. Perbedaannya dengan putusan pengadilan adalah para pihak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali sesuai waktu yang ditentukan. Kedua, arbitrase

      174

      memiliki ciri-ciri pengadilan. Ketiga, arbitrase bukan termasuk ADR (Alternative

      175 Dispute Resolution) atau APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa), dan Keempat, 173

      Oleh karena termasuk dalam litigasi, maka untuk mendapatkan hasil yang memuaskan dalam praktek seringkali digabung dengan salah satu bentuk yang terdapat dalam penyelesaian sengketa non litigasi, lihat William H. Ross dan Donal E. Conlon, Hybrid Forms of Third-Party Dispute Resolution : (Mississippi State : The Academy of Management Review, Theoretical Implications of Combining, 2000), hlm. 416-427 dalam Adi Sulistiyono, Op.Cit., hlm.141-142. lihat juga dalam Konvensi ICSID yang mengatur arbitrase dan konsiliasi untuk penyelesaian sengketa penanaman modal antara negara dan investor asing. 174 Menurut F.F van der Haaijden, peradilan memiliki 4 (empat) ciri, yaitu : first, There should be a settlement of a conflict, second, There conflict must be decided on the basis of law, Third, It should be decided by a third party, Fourth, And the parties to the conflict should be bound by the decision. Lihat dalam Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 4. Lihat juga dalam Adi Sulistiyono, op.cit., hlm. 135. 175

      Hal tersebut sejalan dengan pendapat Marriot bahwa “ADR as a range of procedures which serve as alternatives to the adjudicatory procedures of litigation and arbitration for the resolution of disputes, generally but not necessarily involving the intercession and assistance of a neutral third party who helps to facilitate such resolution.” Selanjutnya Marriot mengatakan bahwa “Arbitration differs from ADR in five main ways. First, system of ADR and arbitration are concensual and their use restson agreement, but agreement to enter into arbitration will be enforced by courts, whereas the common wisdom is that agreement to enter into an ADR process may not necessarily be, thought this may be changing. The second main difference is that arbitration has as its object the rendering of a final and binding award, the ADR neutral does not. A third difference is that ADR processes are subject to no statutory regime in England, whereas arbitration is subject to an extensive statutory regime, principal of the 1950, the 1975 and the 1979 Act. A fourth point of difference lies in procedures adopted in arbitration and in ADR. Arbitral procedures are constrained by the rules of natural justice. Yet, the rules of natural justice would positevely hinder an ADR neutral., who must be free to see the parties together or separately, with the utmost flexibility as to what is disclosed from hukum positif Indonesia juga memisahkan antara arbitrase dengan alternatif

      176 penyelesaian sengketa.

      177

      Penyelesaian sengketa arbitrase berbeda dengan judicial settlement meskipun kedua proses tersebut merupakan jalur yudisial melalui tribunal. Arbitrase merupakan bentuk khusus dari pengadilan, bedanya adalah jalur judicial settlement menggunakan satu pengadilan permanen atau standing court sedangkan arbitrase merupakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut, namun dalam fungsi intinya, seorang arbiter bertindak sebagai “hakim” dalam majelis,

      178 seperti juga hakim permanen walaupun hanya untuk sengketa yang ditangani. one party to the other. The fifth and final point of comparison between arbitration and ADR procedures is the basis upon which decision are reached. Arbitrators are expected to decide matters according to law and even when acting ex aequo et bono. ADR neutral do not decide at all, and their recommendation and opinions do not have to follow the law. Lihat Arthur Marriot, “The Role of ADR in The Settlement of Commercial Disputes,” Asia Pacific Law Review, Vol 1 Summer, 1994, hlm. 2 & 7-8 dalam Adi Sulistiyono, op.cit., hlm. 142. 176 Lihat Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lihat Adi Sulistiyono, ibid., hlm. 142. 177In a Judicial Settlement, a dispute is placed before an existing independent court.” Diakses dari tanggal

      31 Desember 2013. Lihat Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes (Surabaya : Airlangga University Press, 2003), hlm. 173 bahwa judicial settlement Resolution), (penyelesaian yudisial) adalah penyelesaian yang dilakukan oleh Mahkamah Internasional (

      “the International Court of Justice-

      ICJ”) yang berkedudukan di Den Haag sebagai satu-satunya organ yang ada dalam masyarakat internasional untuk menyelesaikan sengketa secara hukum. ICJ menggantikan dan melanjutkan fungsi Mahkamah Internasional Permanen (“the Permanent Court of International Justice- PCIJ”) yang dibentuk dalam rangka penyelesaian perdamaian tahun 1919. Bandingkan dengan J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1989), hlm. 177. Lihat juga J. G. Merrils, Penyelesaian Sengketa Internasional, (Bandung : Tarsito, 1986), hlm. 95. dan lihat dalam Philippe Sands, Principles of International Environmental Law I : Frameworks, Standars and Implementation, (Manchester and New York : Manchester University Press, 1995), hlm. 170. 178

      Perdagangan , (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia UI-Press, 2002), hlm. 138, sebagaimana dikutip dari J.L. Brierly, The Law of Nations, (Oxford : Clarendon Press, 1963), hlm. 347

      Arbitrase menjadi pilihan utama di antara ADR karena beberapa kelebihan,

      179

      menurut Warren sebagai berikut :

      Arbitration become the best choice amongst ADR because it is in the nature of arbitration that a final and binding decision is rendered at the end of process. Arbitration can also be enforced as a contract under law because it arises out of an agreement between the parties, either before or at the beginning of the dispute, to refer the subject matter of the dispute to the process, arbitration also boasts flexibility of procedures, parties have the autonomy of putting together a set of procedures streamlined and tailored to their specific wants and needs, some arbitral institutions specifically provide for expedited or fast-tract arbitration which is a procedures that allows the parties, when all requisite conditions are satisfied, to procure an award in the shortest possible time and at

    a lower cost than would be the case if the matter was brought before the courts.

      (Terjemahan : arbitrase menjadi pilihan utama di antara ADR karena sifatnya yang menghasilkan putusan yang umumnya final dan mengikat diakhir proses. Arbitrase juga dapat dilaksanakan sebagai suatu bentuk perjanjian hukum karena merupakan hal yang disepakati dalam perjanjian antara para pihak, baik sebelum maupun setelah timbulnya sengketa dengan menunjuk sengketa tertentu yang akan diproses. Arbitrase juga memiliki prosedur yang fleksibel, di mana para pihak memiliki otonomi luas mengenai prosedur arbitrase yang diinginkan dan dituangkan dalam proses, beberapa institusi arbitrase bahkan siap untuk dipercepat atau disebut sistem ”fast-tract arbitration” yaitu prosedur membolehkan para pihak untuk mengorbankan seluruh kondisi yang diperlukan untuk menghasilkan putusan dalam waktu yang singkat dan biaya murah dibandingkan jika di bawa ke pengadilan).

      Akan tetapi meski terdapat berbagai kelebihan, arbitrase juga memiliki

      180

      beberapa kelemahan dalam prakteknya menurut Huala Adolf antara lain : a.

      Untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah, dalam hal ini, kedua belah pihak yang bersengketa harus memiliki kesepakatan dalam perjanjiannya terlebih dahulu, 179 termasuk pada pemilihan forum arbitrase asing yang tidak mudah.

      Warren B, “The Case For Sports Law Arbitration and A Practice In Singapore,” Singapore Vol. 19 September 2007, hlm. 277-278.

      Academy of Law Journal, 180 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, op.cit., hlm. 16-17. b.

      Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase dalam teritori negara lain masih merupakan permasalahan yang sulit.

      c.

    Sebagaimana diketahui bahwa arbitrase menganut sistem non-preseden atau tidak ada keterikatan kepada putusan-putusan arbitrase sebelumnya. Di mana

      dengan tidak adanya preseden tersebut, sangatlah dimungkinkan adanya keputusan yang saling berlawanan (conflicting decision), dan berujung kepada fleksibilitas dalam pengambilan keputusan sulit dicapai.

      Wadah penyelesaian sengketa melalui arbitrase ada karena adanya sengketa yang terjadi antara para pihak yang terikat kontrak dan memilih arbitrase sebagai wadah penyelesaian sengketanya. Mendefinisikan pengertian sengketa dalam arbitrase adalah sangat penting karena tanpa adanya sengketa maka tidak akan terjadi suatu pilihan arbitrase dalam suatu kontrak bisnis dan tidak pula akan terpilih seorang atau lebih arbiter di mana arbiter adalah berbeda dengan ahli sebagaimana

      181

      diungkapkan oleh John Parris bahwa :

      Even if there is an appointment of a third party, if there is no dispute it will not be an arbitration and he will not be an arbiter. If the parties agree to refer some matter upon which they have been unable to agree to a third party, he is not an arbiter but an independent expert, a valuer of certifier called in to complete their contract for them, or under the term of the contract, as in the case of a rent review.

      (Terjemahan : Bahkan jika ada janji dari pihak ketiga, jika tidak ada sengketa maka arbitrase tidak akan terjadi dan arbiter tidak akan menjadi penengah. Jika para pihak setuju untuk menunjuk beberapa hal di mana para pihak tidak mampu untuk menyetujui pihak ketiga, yang bukan seorang arbiter tetapi seorang ahli independen, penilai bersertifikat dipanggil untuk menyelesaikan kontrak para pihak, atau di bawah jangka waktu kontrak, seperti dalam sengketa sewa- menyewa).

      181 John Parris, Arbitration Principles and Practice, (London, Toronto, Sydney, New York : Granada Publishing, 1983), hlm. 9.

      182

      Istilah sengketa sering disinonimkan dengan konflik. Menurut Black

      “dispute is a conflict or controversy ; a conflict of claims or rights ; an assertion of a right, claim, or demand one side, met by contrary claims or allegations on the other.

      The subject of litigation (sengketa adalah sebuah konflik atau kontroversi; konflik

      atas klaim atau hak-hak; sebuah pernyataan dari hak, klaim, atau permintaan satu sisi, dipenuhi oleh klaim yang bertentangan atau dugaan di sisi lain. Subjek litigasi).

      183

      Menurut Vilhelm Aubert sengketa atau konflik sebagai suatu kondisi yang ditimbulkan oleh dua orang atau lebih yang dicirikan oleh beberapa tanda pertentangan secara terang-teranga n. Konflik berasal dari bahasa latin “con”

      ( bersama)

      dan “flegere” (menyerang). Konflik akan selalu terjadi, konflik terjadi ketika salah satu pihak tidak setuju atau berbeda pendapat sehingga membutuhkan

      184 suatu penyelesaian sengketa.

      185