BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN - Ekspresi L - Selectin Pada Jaringan Endometriosis

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Endometriosis

  Endometriosis merupakan salah satu penyakit jinak ginekologi yang paling banyak mendapat perhatian para ahli. Dinegara-negara maju maupun negara berkembang, telah banyak penelitian yang dilakukan terhadap endometriosis, namun hingga kini penyebab dan

  1 patogenesisnya masih belum diketahui secara pasti.

  2.1.1 Definisi

  Kata endometriosis berasal dari kata endometrium. Arti endometriosis sendiri secara klinis adalah jaringan mirip endometrium yang terdapat diluar kavum uteri seperti organ genitalia interna, vesica urinaria, usus, perotoneum, paru, umbilikus bahkan dapat dijumpai di mata dan otak. Di tempat yang salah ini lesi-lesi endometriosis tetap saja dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron, sehingga pada sebagian besar wanita akan dirasakan nyeri yang hebat karena darah haid tersebut tidak dapat keluar melalui jalan semestinya yaitu

  1,17,18,19,20 kanalis servikalis dan dan vagina.

  2.1.2 Epidemiologi

  Pada umumnya endometriosis paling sering ditemukan

  1

  pada usia reproduksi. Prevalensi keseluruhan sebenarnya dari endometrosis tidak diketahui, terutama karena tindakan pembedahan merupakan satu-satunya metode yang andal untuk diagnosis dan umumnya tidak dilakukan pada wanita tanpa gejala atau temuan fisik yang secara kuat mengarah pada kemungkinan tersebut, perkiraannya bervariasi dengan diagnosis. Prevalensi endometriosis asimptomatik yaitu sekitar 4% pada wanita yang menjalani bedah untuk sterilisasi elektif. Sebagian besar perkiraan prevalensi endometriosis berkisar antara 5%-20% diantara wanita dengan nyeri pelvis dan antara 20%-40% di antara wanita infertil; prevalensi umum

  21 berkisar antara 3%-10% pada wanita usia reproduktif.

  Usia rata-rata saat diagnosis endometriosis bervariasi antara 25-30 tahun. Endometriosis jarang pada perempuan pramenarche tetapi dapat diidentifikasi pada 50% atau lebih remaja dan wanita muda yang lebih muda dari 20 tahun dengan keluhan nyeri pelvis kronis atau dispareuni. Sebagian besar kasus pada wanita muda yang kurang dari usia 17 tahun berkaitan dengan anomali duktus Mullerian dan obstruksi serviks atau vagina. Kurang dari 5% wanita yang memerlukan bedah endometriosis yang merupakan wanita pasca menopause dan sebagian besar wanita tersebut telah menerima terapi estrogen. Prevalensi endometriosis asimptomatik dapat agak lebih rendah pada wanita kulit hitam dan lebih tinggi pada

  21 wanita Asia dibandingkan pada wanita kulit putih.

  Diperkirakan prevalensi endometriosis akan terus meningkat dari tahun ketahun. Ditemukannya endometriosis pada usia pascamenopasue menunjukkan bahwa selain estrogen, steroid jenis lain seperti androgen atau kortikosteroid juga ikut berperan terhadap pertumbuhan endometriosis. Oleh karena itu setiap nyeri haid yang terjadi pada usia remaja, maupun pada usia menopause perlu

  1 dipikirkan adanya endometriosis.

2.1.3 Patogenesis Endometriosis

  Endometriosis merupakan suatu penyakit multifaktorial dengan etiopatogenesis yang belum jelas dimana endometriosis

  22

  mempengaruhi 5-15% wanita pada usia reproduksi. Endometriosis berkaitan dengan respon dimana terjadinya penyimpangan dari

  23,24 pembersihan cavum peritoneum dari sel-sel endometrium ektopik.

  Gangguan imunitas dan faktor yang terlibat dalam adhesi, invasi, dan angiogenesis, begitu juga dengan proliferasi, dan gangguan apoptosis adalah penting dalam pembentukan lesi. Metabolisme estrogen yang menyimpang mencetuskan pertumbuhan sel endometrotik. Inflamasi kronis memiliki peran penting dalam regulasi beberapa mekanisme patofisiologi mis, angiogenesis, metabolisme estrogen dan stress oksidatif . Selain itu, faktor genetik, epigenetik, dan lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan penyakit. Mekanisme ini lebih lanjut

  .21

  didiskusikan dalam paragraf berikut Endometriosis berhubungan dengan aktifasi dari sistem imunitas dan penyimpangan dari sitokin pada cairan peritoneum yang

  25,26 menciptakan terjaadinya keadaan inflamasi.

  2..1.3.1 Asal Seluler

  Sampai saat ini masih belum terdapat konsesus yang menjelaskan secara pasti tentang asal histopatologis dari jaringan

  2

  endometriosis. Terdapat beberapa teori untuk etiologi endometriosis: Teori implantasi menjelaskan bahwa selama periode menstruasi, jaringan endometrium mengalami aliran balik melalui saluran tuba menuju ke cavum abdomen dimana jaringan endometrium tersebut

  24

  dapat berimplantasi. Endometrium pada wanita dengan endometriosis dipercaya merupakan jaringan endometrium abnormal,

  3 yang menjadi faktor predisposisi terhadap teradinya penyakit ektopik.

  Teori dari metaplasia coelomic diperkanalkan oleh mayer. Diketahui bahwa peritoneum pelvis, epitel germinal dari ovarium, dan saluran mullerian berasal dari epitel coelemic. Berdasarkan dari hipotesis meyer, terjadi transformasi dari dari sel-sel peritoneum menjadi sel epitel saluran mullerian. Meyer kemudian menjelaskan bahwa, infeksi atau rangsangan induktif lainnya dapat menyebabkan terjadinya metaplasia yang menyebabkan terjadinya endometriosis ektopik pada pelvis. Tipe dari transformasi ini dapat menyebabkan

  27 endometriosis pada permukaan ovarium.

  Teori induksi merupakan kelanjutan dari teori metaplasia coelomic dan menyebutkan bahwa faktor imunologi dan biokimia dapat menginduksi diferensiasi sel menjadi jaringan endometrium. Teori ini berdasarkan pada teori yang dikemukakan oleh lavender dan

24 Norman.

  Penyebaran secara hematogen dari jaringan endometrium ke jaringan lain seperti pleura, ruang retroperitoneal dan umbilicus merupakan salah satu kemungkinan lain sebagai bagian dari

  

27

etiopategenisis dari endometriosis.

  Teori yang dikemukakan oleh Dmowski mengenai penurunan imunitas selular menjelaskan bahwa wanita dengan endometriosis mempunyai gangguan dalam status imunitas dimana dijumpai

  24 penurunan dari Sel T Limfosit sitotoksik.

2.1.3.2 Adhesi, Invasi, dan Angiogenesis

  Mediator molekuler untuk adhesi sel endometrium pada peritoneum tidak diketahui dengan baik. Berbagai integrin dijumpai dalam endometrium menstrual dan blok dari subunit integrin beta-1 sebagian mengganggu adhesi. Hal ini mengimplikasikan peran integrin dalam adhesi sel tetapi mekanisme lain mungkin terlibat. Integrin merupakan glikoprotein permukaan sel yang bertindak sebagai reseptor untuk protein matriks ekstraseluler (ECM). Pada endometrium normal, mereka penting dalam interaksi antara elemen glandular dan stroma, dan penting untuk implantasi. Invasi sel endometriosis pada jaringan tempat perlekatan memerlukan degradasi lokal dari ECM oleh matrix metalloproteinases (MMP). Pada endometrium normal, peningkatan sintesis dan aktivasi MMP pada fase sekretorik akhir penting untuk merusak jaringan yang sesuai dan menstruasi. Pada endometriosis peritoneum dan ovarium, MMP dijumpai tidak bergantung pada fase siklus. Faktanya, indeks invasi dari sel endometriosis bertanggung jawab terjadap barisan sel kandung kemih metastatik. Ketahanan lesi endometriosis tergantung pada angiogenesis. Peningkatan kadar faktor angiogenik seperti

  vascular endothelial growth factor (VEGF) dijumpai dalam cairan

  peritoneum dari pasien endometriosis, dimana mereka dapat berasal dari makrofag peritoneum, sel endometrium menstruasi secara retrograd atau lesi endometriosis sendiri. Oleh karena itu, lingkungan

  21 peritoneum mendukung vaskularisasi dari lesi yang baru terbentuk.

2.1.3.3 Proliferasi dan Apoptosis

  Proliferasi dari sel endometrium dan endometriosis diinduksi oleh estrogen. Sebaliknya, progesteron menstimulasi differensiasi seluler dan mensupresi proliferasi seluler. Pada endometriosis, peningkatan efek estrogen dan kerja progesteron abnormal mengarah pada peningkatan proliferasi sel. Secara simultan, gangguan apoptosis pada sel endometrium dan endometriosis dari wanita dengan endometriosis dapat berkontribusi pada patogenesis penyakit. Apoptosis, kematian sel terprogram, meminimalisir kebocoran kandungan seluler seperti protease dari sel yang mati, sehingga mengurangi kemungkinan respon inflamasi. Pada endometrium yang sehat, apoptosis memfasilitasi pemeliharaan homeostasis seluler selama siklus menstruas. Pada wanita dengan endometriosis, persentase sel apoptotik dalam endometrium yang luruh dan dalam epitel glandular berkurang yang menunjukkan peningkatan jumlah sel yang bertahanyang memasuki rongga peritoneum dengan menstruasi retrograde. Peningkatan ekspresi faktor anti-apoptotik dan penurunan faktor pro-apoptotik diamati

  11,21 dalam endometriosis yang mendukung fenotip anti-apoptotik.

2.1.3.4 Respon Inflamasi dan Imun

  Endometriosis biasanya berhubungan dengan proses inflamasi yang berada di rongga peritoneum dari pasien. trafficking sel imun dan pelepasan sitokinnya merupakan komponen penting dari perkembangan siklis dari endometrium normal dalam tiap siklus menstruasi. Namun, peningkatan jumlah makrofag dan limfosit yang teraktivasi telah terdeteksi dalam cairan peritoneum dari pasien ini.

  Produksi sitokin oleh lesi endometriosis dan sel imun terkait memodulasi pertumbuhan dan inflamasi dalam endometriosis: peningkatan kadar sitokin proinflamasi, MMP, begitu juga dengan kemokin dan reseptornya terlibat dalam langkah yang berbeda dari ketahan sel endometriosis: adhesi, invasi, vaskularisasi, dan pertumbuhan lesi. Induksi sintesis prostaglandin E2 (PGE-2) oleh siklo-oksigenase 2 (COX-2) juga dapat menjadi penting untuk patogenesis endometriosis serta pembentukan nyeri. Sitokin dan kemokin proinflamasi disarankan terlibat dalam patogenesis proinflamasi yang mencakup interleukin (IL) 1 β dan 6, tumor necrosis

  factor alpha (TNF-

  α), monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1),

  IL-8, dan res eptor α IL-8 (IL8RA) yang diatur saat aktivasi dari sel T yang diekspresikan secara normal. Selain itu, aktivitas sel natural

  killer (NK), yang terlibat dalam pengenalan dan destruksi sel asing dalam tubuh, berkurang dalam endometrium dari pasien endometriosis. Hal tersebut dapat meningkatkan ketahanan sel endometriosis dalam rongga peritoneal. Endometriosis juga disarankan dapat menjadi penyakit autoimun karena autoantibodi yang mengenali antigen endometrium dihasilkan oleh pasien

  Activated receptor (PPAR)

  γ agonists, akan berguna dalam terapi endometriosis. Selain itu, adanya autoantibodi endometrium dan peningkatan konsentrasi molekul inflamasi dalam cairan peritoneum dan darah perifer wanita dengan endometriosis telah disarankan

  11,21 sebagai biomarker potensial untuk endometriosis.

2.1.3.5 Stress Oksidatif

  Stress oksidatif disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dari spesies oksigen reaktif (ROS), yang diproduksi oleh metabolisme oksigen normal, dan sistem antioksidan mengontrol sintesis dan inaktivasi mereka. Stress oksidatif meningkat pada wanita dengan endometriosis pelvis terutama akibat peningkatan produksi ROS oleh makrofag. Selain itu sel endometriosis tampaknya juga meningkatkan produksi ROS dan penurunan detoksifikasi ROS yang mengarah pada stress oksidatif endogen yang lebih tinggi. ROS dapat berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan sel endometrium dan endometriosis . Stress oksidatif juga terlibat dalam pembentukan adhesi pelvis akibat peningkan produksi dan penurunan turnover dari matriks ekstraseluler dengan inhibisi dari kerja MMP dan peningkatan inhibitornya (TIMP). Sehingga, stress oksidatif dapat menjadi salah satu dari beberapa

  11 faktor yang terlibat dalam endometriosis dan gejala terkait.

2.1.4 Klasifikasi Endometriosis

  Menentukan stadium endometriosis penting dilakukan terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Sistem pembagian stadium endometriosis yang dipakai dewasa ini adalah berdasarkan klasifikasi yang dianjurkan oleh perkumpulan Fertilitas Amerika (American Fertility Society = AFS) yang pertama kali dibuat pada tahun 1979 dan kemudian telah berubah nama manjadi American Society for

  Reproductive Medicine ( ASRM ). Kemudian klasifikasi ini telah

  direvisi pada tahun 1985. Dengan revisi ini memungkinkan untuk melihat endometriosis menjadi potongan tiga dimensi dan membedakan antara endometriosis superficial dan invasif. Kemudian ASRM kembali membuat revisi untuk stadium endometriosis pada tahun 1997. Pada sistem ini, endometriosis dibagi menjadi Stadium I (minimal), stadium II (mild), stadium III (moderate) dan stadium IV ( Severe) atau dengan pembagian Endometriosis minimal-ringan

  1 adalah AFS I-II dan endometriosis sedang –berat adalah AFS III-IV. Gambar 1. Stadium Endometriosis

  1 Berdasarkan sistem skoring endometriosis menurut ASRM yang telah direvisi, penilaian terhadap lesi endometriosis pada peritoneum dan tuba menggunakan nilai yang berhubungan dengan ukuran lesi. Penilaian ini juga didasarkan pada perlengketan pada ovarium dan tuba fallopi. Dan juga terdapat penilaian untuk lesi yang dijumpai pada daerah cul de sac posterior. Sistem skoring

  1

  endometriosis diklasifikasikan sebagai berikut :

  • Stadium 1 (Minimal) : 1-5
  • Stadium 2 (Mild) : 6-15
  • Stadium 3 (Moderate) : 16-40
  • Stadium IV (Severe)

  : > 40

2.1.5 Diagnosis Endometriosis

  Salah satu keluhan pasien yang paling sering pada wanita

  1.21 dengan endometriosis simptomatik yaitu nyeri pelvis kronis.

  Gejala mencakup dismenorea, nyeri intermenstrual, dan dispareunia. Dismenorea merupakan gejala yang dilaporkan paling sering; ketika onsetnya baru, progresif, atau berat, ia sangat kuat mengarah pada endometriosis tetapi tidak dapat secara andal memprediksi endometriosis. Dismenorea yang terkait dengan endometriosis sering dimulai sebelum onset aliran menstruasi dan biasanya menetap selama mens, kadang bahkan setelahnya. Nyeri biasanya bersifat difus, berlokasi dalam di pelvis, tumpul, dan sakit dan dapat menjalar ke punggung dan paha atau dapat disertai dengan tekanan pada rektum, nausea, dan diare episodik. Satu setengah hingga dua pertiga wanita dengan endometriosis dan nyeri mengalami nyeri intermenstrual. Dispareunia akibat endometriosis biasanya baru dalam onset, sering intens dengan penetrasi yang dalam segera sebelum menstruasi, dan terkait dengan penyakit yang melibatkan

  

21

cul-de-sac dan septum rektovagina.

  Hubungan paradoks yang sering antara tingkat dan keparahan nyeri dan stadium dan lokasi endometriosis diketahui dengan baik; wanita dengan penyakit lanjut dapat mengalami sedikit atau tanpa ketidaknyamanan sama sekali dan mereka dengan penyakit minimal atau ringan dapat mengalami nyeri yang melumpuhkan. Keparahan nyeri pada wanita dengan endometriosis yang berinfiltrasi dalam berkorelasi dengan baik dengan kedalaman dan volume infiltrasi. Dispareunia lebih sering pada wanita dengan penyakit yang melibatkan septum rektovagina. Endometriosis ekstrapelvis dapat menyebabkan berbagai gejala siklis yang mencerminkan organ yang terlibat: scar abdomen, traktus gastrointestinal dan urinarius,

  21 diafragma, pleura, dan saraf perifer.

  Pemeriksaan fisik dari genitalia eksterna biasanya normal. kadang, pemeriksaan spekulum dapat mengungkapkan implan berwarna biru tipikal atau lesi proliferatif merah yang berdarah saat tersentuh, keduanya biasanya di forniks posterior. Sementara penyakit pada wanita dengan endometriosis infiltrasi dalam melibatkan septum rektovagina sering dapat dipalpasi, ia kurang sering terlihat, dan kebanyakan tidak memiliki temuan yang bermakna. Uterus sering retroversi dan dapat menunjukkan penurunan mobilitas atau fiksasi. Wanita dengan endometrioma ovarium dapat memiliki massa adneksa terfiksir. Tenderness fokal dan nodularitas dari ligamentum uterosakralis sangat kuat mengarah pada penyakit dan sering merupakan satu-satunya temuan fisik.Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik terbesarnya ketika dilakukan selama menstruasi tetapi bahkan kemudian pemeriksaan yang normal tidak dapat mengeksklusikan diagnosis.

  Secara keseluruhan, dibandingkan dengan diagnosis bedah baku emas dari endometriosis, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesivisitas, dan nilai prediktif yang relatif buruk.

  21,28

2.1.5.1 PENCITRAAN

  Ultrasonografi transvaginal dapat menolong mengidentifikasi wanita dengan endometriosis lanjut. Ultrasonografi transvaginal khususnya berguna untuk deteksi endometrioma ovarium, tetapi ia tidak dapat menggambarkan adhesi pelvis atau fokus penyakit peritoneum superfisial. Endometrioma dapat memiliki berbagai gambaran ultrasonografi tetapi biasanya muncul sebagai struktur kistik dengan eko interna tingkat rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik keriting. Beberapa dapat memiliki septa interna atau penebalan dinding nodular. Ketika tampilan karakteristik dijumpai, ultrasonografi transvaginal memiliki sensitivitas 90% atau lebih tinggi dan dan hampir 100% spesivisitas untuk deteksi endometrioma. Pencitraan aliran Doppler warna umumnya menambah sedikit untuk membedakan endometrioma dari kista hemoragik, teratoma kistik jinak, dan neoplasma kistik yang dapat memiliki tampilan yang sama. Jika tidak dilakukan lebih dini untuk indikasi lain selama evaluasi infertilitas, ultrasonografi transvaginal sebaiknya dilakukan sebelum setiap terapi empiris untuk memulai asumsi infertilitas yang tidak dapat dijelaskan, khususnya jika laparoskopi diagnostik tidak direncanakan: sebalinya, penyakit lanjut yang dapat menghalangi kesuksesan dapat berlanjut tanpa diketahui. Ultrasonografi transrektal dapat membantu dalam evaluasi wanita yang dicurigai memiliki penyakit infiltrasi dalam pada septum rektovagina atau melibatkan ligamentum

  21 uterosakral.

  Gambar 2. Gambaran ultrasonografi transvaginal Kista 21 endometriosis Seperti ultrasonografi transvaginal, magnetic resonance

  

imaging (MRI) dapat membantu untuk deteksi dan differensiasi

  endometrioma ovarium dari massa ovarium kistik lainnya tetapi tidak dapat secara anda menggambarkan lesi peritoneum kecil.

  Untuk deteksi implan peritoneal, MRI lebih superior dibandingkan dengan ultrasonografi transvaginal tetapi masih mengidentifikasi 30-40% lesi yang diamati saat bedah. Untuk deteksi penyakit yang didokumentasikan melalui histopatologi, MRI sekitar 70% sensitif dan 75% spesifik. Keuntungan utama MRI dibandingkan dengan ultrasonografi yaitu kemampuannya untuk lebih andal membedakan antara produk perdarahan akut dan darah yang berdegenerasi. Sementara endometrioma biasanya menunjukkan intensitas sinyal tinggi relatif homogen pada T1-weighted images dan sinyal hipointens pada T2- weighted images, perdarahan akut umumnya memiliki intensitas sinyal yang rendah pada T1 dan T2-weighted

  

images. Kontras gadolinium tidak menawaran nilai diagnostik

  tambahan. MRI juga dapat digunakan untuk tambahan dalam

  21 diagnosis penyakit rektovagina.

  21 Gambar 3. Gambaran MRI dari Endometrioma

2.1.5.2 Diagnosis Operatif

  Laparoskopi dengan pemeriksaan histologi dari lesi yang dieksisi merupakan baku emas untuk diagnosis endometriosis.

  Kewaspadaan yang lebih besar pada tampilan yang bervariasi dari lesi endometriosis telah melipatgandakan frekuensi endometriosis didiagnosis dengan laparoskopi ketika pemeriksaan yang cermat

  21 dan sistematis dilakukan.

  Implan peritoneum klasik merupakan lesi biru kehitaman (powder burn) (mengandung deposit hemosiderin dari darah yang terperangkap) dengan berbagai jumlah fibrosis disekitarnya, tetapi mayoritas implan (atipikal) muncul dengan lesi putih dan opak, merah dan seperti api, atau vesikular. Pada kasus yang kurang umum, penyakit dapat ditemukan pada adhesi ovarium, bercak kuning kecoklatan, atau pada defek peritoneum. Lesi merah sangat tinggi dengan vaskular dan proliferatif dan mewakili stadium penyakit dini. Lesi berpigmen mewakili penyakit yang lebih lanjut. Keduanya secara metabolik aktif dan lebih sering menyebabkan gejala. Lesi putih kurang vaskular dan aktif, dan kurang sering simptomatik. Pemeriksaan laparoskopik serial mengungkapkan bahwa terdapat progresi alami dalam tampilan lesi endometriosis dari waktu ke waktu dan bahwa variasi lesi dapat diamati pada

  21,29 setiap waktu dan pada setiap pasien.

  1 Gambar 4. Lesi endometriosis pada peritoneum pelvis

  Kriteria histologi yang ketat akan mengkonfirmasi diagnosis bedah endometriosis pada hanya sekitar setengah kasus. Bukti mikroskopik endometriosis pada peritoneum yang tampak normal sering pada wanita infertil asimptomatik dengan dan tanpa penyakit jelas lainnya tetapi ini memiliki signifikansi klinis yang tidak pasti karena dapat muncul pada sebagian besar wanita tetapi mengalami

  21 progresi hanya pada beberapa wanita. Endometrioma biasanya muncul sebagai kista halus dan berwarna gelap, biasanya terkait dengan adhesi dan mengandung cairan coklat padat seperti coklat. Endometrioma yang lebih besar sering multilokuler. Inspeksi visual yang cermat dari ovarium umumnya sangat andal untuk deteksi endometrioma, tetapi, ketika penyakit sangat dicurigai dan tidak tampak, eksplorasi dengan pungsi dan aspirasi ovarium dapat membantu. Endometrioma ovarium biasanya disertai dengan sejumlah lesi peritoneum yang dapat dilihat. Selain itu, endometriosis infiltrasi dalam sering retroperitoneum, sering tidak tampak, dan sering terisolasi; ia bahkan dapat mewakili kondisi yang berbeda yang muncul dari sisa

  1,21 Mullerian dalam septum rektovagina.

2.2 Imunologi Endometriosis

  Sistem imunitas memainkan peranan dalam perkembangan

  30

  dari endometriosis. Endometriosis berhubungan dengan aktivitas dari sel-sel imun dan banyaknya citokin pada cairan peritoneum yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi. Hal ini menyerupai

  31 reaksi autoreaktif.

  Menurut teori implantasi terjadinya endometriosis disebabkan oleh aliran balik atau reflux dari menstruasi sehingga dijumpai adanya reflux dari jaringan endometrium melalui tuba fallopi menuju ke rongga pelvis dimana sel endometrium tersebut

  30 kemudian berimplantasi. Pada sebagian wanita, reflux dari sel endometrium tersebut tidak dimusnahkan, dimana hal ini disebabkan oleh wanita tersebut secara genetik terprogram untuk tidak berespon terhadap antigen endometrium atau diakibatkan karena reflux yang terjadi sangat banyak sehingga kemampuan eliminasi dari sel imunitas diperitoneum menjadi berkurang. Sel-sel yang mengalami reflux juga dapat dilindungi oleh perlengkatan yang abnormal dari mesothelium yang mengekspresikan molekul adhesi. Tidak hanya peritoneum yang melindungi sel-sel endometrium tersebut, tetapi juga sel-sel endometrium ini menghasilkan sejumlah kemotaktik dan citokin angiogenik (IL-8) yang abnormal. Makrofag memfasilitasi pertumbuhan melalui growth factor seperti

  transforming growth factor β. Faktor imunosupresive menghambat

  aktivitas sitotoksik dari sel NK. Makrofag yang telah teraktivasi mempresentasikan antigen dari sel endometrium kepada sel T dimana sel T akan berkoordinasi dengan sel B untuk mensintesis antibodi. Antibodi yang telah tersintesa akan melindungi endometrium ektopik dan dapat menyebabkan perburukan dari disfungsi sel NK. Hal ini akan menjadi mata rantai yang termasuk dalam keseluruhan sistem imunitas. Kerusakan utama kemungkinan dapat berlokasi pada endometrium, makrofag yang telah teraktifasi oleh faktor intrinsik (infeksi, spermatozoa dan substansi kimia), uterus, ataupun tubo-terine junction. Hal ini menjelaskan bahwa endometriosis berhubungan dengan ketidakefektivan dari sistem imun. Dan juga, ketika siklus abnormal ini terbentuk, pertumbuhan dan angiogenesis dapat menginduksi

  30,31 teradinya metaplasia dari mesothelium yang telah teriritasi.

  Setelah terjadinya penyebaran dari sel endometrium selama menstruasi, perjalanan dari mekanisme endometriosis mengikuti beberapa tahapan yaitu reflux, adhesi, proteolysis, proliferasi dan angiogenesis. Lingkungan peritoneum dari kebanyakan wanita mampu untuk mereabsorbsi jaringan endometrium pada akhir dari

  30 periode menstruasi.

  Pada beberapa wanita yang kemudian menderita endometriosis, proses pembersihan yang terjadi tidak efisien. Hal ini dapat disebabkan oleh jaringan endometrium itu sendiri ataupun dari satu atau beberapa kelainan dari faktor-faktor yang ada pada lingkungan peritoneum seperti sistem imunitas humoral dan selular,

  22 Sel NK, makrofag, peritoneum, dan konsentrasi hormon lokal.

  Ketidakmampuan untuk membersihkan implan pada peritoneum ini dapat diperburuk dengan disposisi anatomis, yang sering dijumpai pada wanita dengan endometriosis dimana hal ini meningkatkan reflux menstrual. Hal ini termasuk hipertonia dari uteritubular junction, gelombang dari kontraksi retrograd, dan malformasi dari uterus. Menstruasi dari dari wanita dengan endometriosis sering lebih panjang dan lebih banyak dan siklusnya

  30 dapat menjadi lebih pendek. Endometrium dari pasien dengan endometriosis dapat melepaskan antigen HLA-DR dan HLA A. Jaringan endometriosis dapat memanifestasi sintesis yang berbeda dan melepaskan beberapa sitokin yang termasuk dalam pertumbuhan selular dan reaksi inflamasi. Respon dari jaringan endometrium terhadap sitokin, terutama IL-1 dan TNF

  α dapat menjadi lebih terikat dengan dengan pelepasan dari MCP-1 (Monocyte chemotactic protein 1),

  30 sitokin terlibat dalam perekrutan dan aktivasi dari makrofag.

  Sel stroma endometrium melepaskan intercellular adhesion

  

molecule - 1 dan bentuk terlarutnya (sICAM) selama fase

  proliferasi. Stroma endometrium dari wanita dengan endometriosis

  30 mensekresikan lebih banyak molecul sICAM.

  Adhesi dari endometrium yang mengalami reflux merupakan hal yang penting dari teori implantasi. Cell Adhesion Moloecul termasuk cadherins, intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) berperan dalam proses adesi.

  α2β1 dan α3β1 integrin diekspresikan pada permukaan sel mesotelial dan dapat memediasi perlengketan antara endometrial dan mesothelial. Penelitian baru-baru ini menemukan bahwa asam hyaluronic dan CD44 memilki peran dalam interaksi antara mesothelium peritoneal dan sel

  32 endometrium. Ekspresi dari asam hyaluronic dan CD44 pada sel dan permukaan jaringan kemungkinan memainkan peranan yang

  24 penting dalam inisiasi awal dalam proses adhesi.

  ICAM-1 merupakan bagian dari imunoglobulin adhesion

  molecule. ICAM-1 dapat ditemukan pada beberapa jenis tipe sel termasuk pada endometrium ektopik dan implant endometrium.

  ICAM-1 dijumpai pada jaringan endometrium manusia dan kemungkinan berhubungan dengan disfungsi dari sel NK pada endometriosis. Hubungan antara pelepasan dari ICAM-1 pada stroma endometrium dengan penekanan dari aktivitas Sel NK kemungkinan menjadi alasan dari terlepasnya jaringan

  33 endometrium ektopik dari sistem imunitas.

  Bentuk terlarut dari ICAM-1 (sICAM-1) merupakan hasil dari pelepasan molekul permukaan dan dipercaya berkaitan dengan sistem imunitas. Peneltian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara konsentrasi sICAM-1 pada cairan peritoneum dan pertumbuhan dari lesi endometriosis dipermukaan peritoneum dan terjadinya lesi merah endometriosis yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi dari sICAM-1 pada cairan peritoneal mengindikasikan pelepasan aktif molekul dari jaringan endometrium

  34 pada peritoneum.

  Mekanisme yang mempengaruhi pengawasan dari sistem imunitas kemungkinan disebabkan sekresi dari protein yang mengganggu pengenalan implant dari jaringan endometrium. Salah satu faktor yang telah teridentifikasi adalah sICAM-1. Reseptor ini berikatan dengan ligand leukosit dan menggangu kemampuan leukosit untuk berinteraksi dengan sel dan menyebabkan

  24 terganggunya sistem imunitas tubuh.

  Paparan matriks eksraselular dari mesothelium dapat disebabkan oleh aktivitas enzimatik dari endometrium (protease) atau penyerangan dari jaringan peritoneum yang tipis dan rapuh. Banyak penyebab dari terjadinya lesi seperti, trauma operasi, sel

  30 inflamasi, toksin dan sitokin.

  Kemampuan dari jaringan endometriosis ektopik untuk mengekspresikan integrin setelah terjadinya menstruasi retrograd dapat menjelaskan bagaimana terjadinya interaksi antara jaringan

  30 dan matriks dengan lingkungan peritoneum.

  Laminin dan fibronectin merupakan dua jenis glikoprotein yang memainkan peranan yang penting dalam perlekatan sel epitel dengan membran sel basal dan perlekatan antara sel stromal dengan matriks interstisial. Mereka membantu interaksi dari sel epitel dan matriks ekstraselular dan menghasilkan substrat untuk

  7,24 adhesi dan migrasi.

  Penelitian yang dilakukan menilai tentang lokalisasi dari

  

adhesive protein dan reseptornya pada endometrium wanita

  dengan dan tanpa endometriosis. Selama siklus menstruasi, endometrium berkembang menjadi jaringan yang berdiferensiasi baik yang baik untuk implantasi dari embrio. Integrin pada endometrium eutopic diregulasi secara hormonal dan integrin β3 dapat sebagai penanda dari resepsivitas endometrium.

  Endometriosis dapat mengekspresikan integrin secara mandiri. Ekspresi integrin pada jaringan endometrium ektopik lebih tinggi

  30 dibandingkan dengan endometrium normal.

  Setelah terjadinya adhesi pada dinding peritoneum, sel endometrium kemudian berproliferasi. Walaupun jika endometriosis disebabkan oleh transformasi dari peritoneum menjadi epitel tipe mulerian (teori metaplasia), namun cukup jelas bahwa

  30 endometriosis merupakan suatu penyakit invasive.

  Adhesi dari sel endometrium diikuti dengan invasi ke mesotelium dan sitolisis apoptosis dari jaringan endometrium ektopik oleh monosit dan makrofag peritoneum. Pada penelitian tentang autolog dari endometrium eutopik dan ektopik dijumpai adanya penurunan kapasitas dari dari monosit untuk memediasi proses sitolisis dari jaringan endometrium ektopik pada peritoneum

  24 dijumpai adanya peningkatan resistensi dari proses apoptosis sel.

  Invasi jaringan dan penyebaran metastasis memerlukan destruksi dari matriks ekstraseluler. Destruksi proteolitik dari matriks ekstraselular yang mengikuti perlekatan awal dapat menjadi bagian yang penting dalam dalam implantasi dari jaringan endometrium ektopik. Dalam proses ini, protease yan disekresikan memainkan peranan yang penting dalam patogenesis endometriosis. Dua famili dari enzim proteolitik terlibat dalam hal ini, yaitu serine protease dan matriks metaloproteinase (MMPs) Ekspresi dari enzim ini muncul pada jaringan endometrium ektopik dengan ditemukannya peningkatan pada stroma endometrium pada

  35,36 saat menstruasi.

  MMP (matriks metaloproteinase) merupakan regulator fisiologis untuk remodeling dari matriks ekstraselular. MMP-1 merupakan elemen metaloprotease yang penting dalam fisiologi menstruasi. MMP-1 diekspresikan pada lapisan fungsional dari dari endometrium hanya pada saat menstruasi dan MMP-1 disupresi oleh konsentrasi fisiologis dari progesterone. Lesi endometriosis merah, menurut kriteria dari vaskularisasi dan vaskularisasi dan

  30 proliferasi mengekspresikan MMP-1.

  MMP-2 disekresikan dari lesi endometriosis pada waktu yang tidak sesuai. Dari pemeriksaan immunofluorescense menunjukkan bahwa MMP-2 lebih banyak dijupai pada lesi

  30 endometriosis dibandingkan dengan endometrium normal.

  Siklus endometrium pada wanita dengan menstruasi reguler terdiri dari 3 tahapan yaitu proliferasi, sekresi dan menstruasi.

  Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, memiliki peranan dalam homeostatis selular, mengeliminasi sel-sel dari lapisan fungsional dari endometrium pada akhir fase sekresi dan selama menstruasi. TNF-

  α diperkirakan merupakan signal lokal utama yang menginisiasi dan memodulasi apoptosis selama menstruasi.

  Ketahanan dari endometrium yang mengalami reflux dapat

  27

  disebabkan oleh keadaan resistens terhadap apoptosis. Dijumpai adanya peningkatan ekspresi dari Bcl-2 dan BCL-XL protein pada

  

37

sel stroma dari kista endometriosis.

  Terdapat bukti bahwa angiogenesis memainkan peranan yang penting dalam patofisologi dari endometriosis. Dari gambaran laparoscopy terlihat bahwa kebanyakan lesi ndometriosis dikelilingi oleh pembuluh darah peritoneum.

  Αβ3 integrin diperkirakan sebagai penanda faktor angiogenik. Diantara beberapa faktor angiogenik,

  VEGF merupakan faktor angiogenik yang paling banyak diteliti pada saat ini.VEFG ditemukan lebih banyak pada endometrium dari wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan wanita tanpa endometriosis. Peningkatan ekspresi VEGF juga ditemukan meningkat pada lesi endometriosis merah dibandingkan dengan lesi endometriosis hitam. Pada lesi endometriosis merah, VEFG bukan hanya diekspresikan oleh makrofag, namun juga oleh beberapa sel. Korelasi dari konsentrasi yang tinggi dari VEGF dan keberadaan dari MMP-1 telah dilaporkan pada lesi endometriosis merah. VEGF, dalam hal sebagai faktor angiogenik, menyebabkan peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kebocoran dari produk fibrin ke ruang ekstraselular yang akan meningkatkan perekrutan dari makrofag. Sekresi dari TNF-

  α dan IL-6, yang disekresikan oleh makrofag ketika molekul besar seperti fibrin mengaktivasi mereka,

  30 meningkatkan aktivitas angiogenik dari makrofag. Banyak penelitian yang dilakukan yang menunjukkan bahwa pada wanita dengan endometriosis dijumpai adanya peningkatan volume cairan peritoneum dan juga peningkatan konsentrasi dari prostaglandin, protease dan sitokin termasuk sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, dan TNF

  α dan sitokin angiogenik seperti IL-8 dan

  VEGF pada cairan peritoneum yang diproduksi oleh

  38,39,40,41 makrofag.

  Faktor proangiogenik lainnya, seperti hepatocyte growth

  factor (HGF), erythropoietin, angiogenin, macrophage migration inhibitory factor dan neutrophil activating factor ditemukan

  meningkat pada cairan peritoneum wanita dengan

  42,43,44,45,46 endometriosis.

  Dari beberapa penelitian juga menunjukkan peningkatan konsentrasi dari sitokin inflamasi pada serum dari wanita dengan endometriosis yang menggambarkan bahwa endometriosis

  8 menyebabkan inflamasi sistemik.

  Makrofag merupakan 85% dari sel yang berada pada cairan

  15

  peritoneum. Makrofag dikenal sebagai komponen integral dari

  Mononuclear phagocyte system (MPS). Makrofag berasal dari sumsum tulang yang memasuki aliran darah sebagai monosit.

  Dalam wakti yang singkat, makrofag dapat mencapai jaringan

  21,22

  perifer. Pada wanita dengan endometriosis dijumpai lebih banyak makrofag peritoneum. Cairan peritoneum dari wanita dengan endometriosis mengandung sitokin kemotaktik MCP-1 dan

  IL-8 yang menarik monosit. Asal dari sitokin kemotaktik ini adalah dari sel T, makrofag, sel mesothelial, dan endometrium ektopik.

  Endometrium dari wanita dengan endometriosis mengekspresikan sejumlah kecil sitokin yang meregulasi aktivasi dari makrofag (IL-10 dan IL-13) dimana hal ini tidak dijumpai pada endometrium wanita tanpa endometriosis.

  Defisiensi dari sistem fagositosis, makrofag pada wanita dengan endometriosis dapat memperparah ataupun menginisiasi endometriosis dengan beberapa jalan yaitu:

  30

  30

  • Dengan mensekresikan fibronectin, dimana membuat sel endometrium dapat melekat pada peritoneum.
  • Dengan mensekresikan growth factor yang menyebabkan terjadinya proliferasi endometrium (TGF-

  α, EGF, TNF-α, IL-1).

  • Dengan melepaskan sitokin angiogenik (VEGF, TGF-β,

  TNF- α, IL-8).

  • Dengan mensekresikan sitokin yang mengaktivasi penghasil antibodi sel B.
  • Dengan mensekresi sitokin yang terlibat didalam fibrosis

  (TGF- β), yang menjelaskan terjadinya adhesi yang terjadi pada penyakit ini.

  • Dengan mensekresikan sitokin yang menghambat aktivias sitotoksik dari sel NK.
  • Dengan melepaskan sitokin yang menginhibisi mekanisme imunitas selular (IL-10) dimana IL-10 akan menghambat proliferasi dari sel T.
  • Dengan memproduksi soluble ICAM-1 yang diketahui dapat menghambat sistem imunitas sel.
  • Dengan mensekresikan IL-6 yang mampu merangsang produksi dari HGF oleh jaringan stromal endometriosis.

  Cairan perioneum dan serum yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis menghambat aktivitas sitotoksik dari sel NK.

  Penurunan aktivitas ini dapat disebabkan oleh sekresi dari makrofag peritoneum yang telah teraktivasi berupa TGF- β dan IL-

  10, sekresi substan oleh jaringan endometrium ektopik yang dapat menghambat aktivitas sel NK, Endometrium eutopik dari wanita dengan endometriosis melepaskan lebih banyak sitokin yang

  30 dapat menghambat aktivitas sitotoksik sel NK.

  47 Gambar 5. Patogenesis Endometriosis

2.3 Inflamasi dan Endometriosis

  Endometriosis dikaitkan dengan meningkatnya aktivitas inflamasi. Beberapa penelitian telah membuktikan terjadi peningkatan serum marker inflamasi yang berada di dalam cairan peritoneum. Nyeri panggul, yang merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada endometriosis,dapat diatasi dengan obat-obatan antiinflamasi, hal mendukung hipotesa yang menyatakan terdapat kontribusi dari inflamasi kronis dalam patogenesa

  11,21,48,50 endometriosis.

  Fasciani dkk menunjukkan bahwa sel-sel dari endometrium dapat berproliiferasi dan menginvasi matriks fibrin pada in vitro, yang akan membentuk jaringan kelenjar baru, stroma dan pembuluh darah yang serupa dengan proses awal terbentuknya

  16

  lesi endometriosis. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas sitotoksis dari sel T dan natural killer (NK) tampaknya memainkan peran penting dalam ketahanan, implantasi dan proliferasi sel-sel endometrium pada kavum

  52,53

  peritoneum wanita yang menderita endometriosis. Keberadaan penyakit autoimun dengan endometriosis telah dilaporkan oleh

  11,31,54

  beberapa peneliti. Peningkatan serum anti-endometrial antibody menunjukkan adanya hubungan antara endometriosis

  11 dengan infertilitas yang tidak diketahui penyebabnya.

  Endometriosis sering dihubungkan dengan perlengketan di dalam panggul yang luas. Terdapat bukti pada percobaan binatang yang menunjukkan bahwa sistim fibrinolisis yang terganggu mungkin berkontribusi dalam pembentukan adesi, namun masih

  11 belum jelas apakah hal ini juga berlaku pada manusia.

  Terbentuknya adhesi di dalam panggul dapat disebabkan adanya ketidakseimbangan antara pembentukan fibrin dan aktivitas

  11,55

  pemecahan fibrin di dalam peritoneum. Dalam suatu penelitian retrospektif pada wanita yang menderita endometriosis dibandingkan dengan wanita yang sehat yang dilakukan oleh Hellebrekers dkk. dilaporkan bahwa wanita dengan endometriosis dan adesi memiliki konsentrasi yang tinggi dari plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), tissue plasminogen activator (tPA) dan plasminogen di dalam cairan peritoneum, dibandingkan dengan

  56

  pasien dengan endometriosis yang tidak disertai adesi. Dalam hal ini, Mohamed dkk memberikan hipotesa bahwa matrix fibrin yang persisten di dalam kavum peritoneum akan meningkatkan kemungkinan fregmen endometrium terdeposit sebagai akibat dari

  57 hipofibrinolisis.

  Kemampuan dari sel inflamasi untuk berespon terhadap patogen penting dalam mempertahankan kesehatan multiselular dari organisme. Pada mamalia, limfosit harus berpindah ke organ limphoid sekunder, seperti lymphnode,dimana ditemukan adanya antigen. Sistem imunitas kemudian menyebabkan limfosit untuk menemukan antigen tersebut. Setelah berikatan dengan antigen, pemindahan sitem imunitas ke lokasi inflamasi menyebabkan pengaturan sistem pertahanan host. Molekul adesi mengkontrol perpindahan dari leukosit ke lokasi inflamasi. Selectin, terutama L Selectin, memainkan peranan yang penting dalam perlekatan awal dari leukosit ke endothelium dan ke leukosit lainnya. L selectin bertanggung jawab terhadap perpindahan limfosit ke lymphnode dan peyer’s patches dan secara langsung limfosit dan neutrofil ke lokasi inflamasi. Penghambatan secara langsung dari L Selectin

  14 akan mempengaruhi proses inflamasi.

2.4 Selectin

  Selektin merupakan suatu cell adhesion molecule dimana merupakan suatu carbohydrate binding molecule yang berikatan dengan ligand fucosylated dan sialylated glikoprotein, yang

  58 ditemukan pada sel endotel, leukosit, dan trombosit.

  Selektin terlibat dalam lalu lintas sel-sel sistim imunitas tubuh, limfosit T dan trombosit. Absennya selektin atau ligand selektin pada tikus percobaan dan manusia menyebabkan infeksi

  59 bakteri rekuren dan penyakit yang persisten.

  Selektin merupakan kelompok dari molekul sel adhesi yang

  58,59

  terbagi menjadi E-, L- dan P-selectin. Ketiga jenis selectin yaitu L ( Leucosit, CD62L), E (Endothelial, CD62E), dan P Selectin ( Platelet, endothelial, CD62P) mempunyai karakteristik berupa bentuk struktur molekul yang serupa dan kemampuan mereka

  58,59

  untuk berikatan dengan ligand Karbohidrat. Keseluruhan selectin merupakan glikoprotein yang tersusun dari 30%

  59

  karbohidrat. L-selectin diekspresikan pada seluruh granulosit dan

  58

  monosit dan kebanyakan limfosit. Ekspresi L selectin pada permukaan leukosit memfasilitasi interaksi yang memungkinkan leukosit untuk meninggalkan aliran darah, dan membuat kontak yang acak untuk mengaktivasi sel endotel dimana mereka akan mulai untuk berputar dan melekat secara baik. P-selectin disimpan pada rantai granula

  α pada trombosit dan badan Weibel–Palade pada sel endotel, dan ditranslokasi ke permukaan sel endotel dan trombosit yang teraktivasi. E-selectin tidak diekspresikan dalam kondisi normal kecuali pada pembuluh darah mikro di kulit, namun akan diinduksi secara cepat oleh sitokin-sitokin inflamasi. Ketiga tipe selektin ini mengikat struktur gula yang sama dan molekul tersebut bertanggung jawab untuk target yang berbeda-beda: P- selectin ke secretory granules, E-selectin ke membran plasma dan

  58 L-selectin ke ujung lipatan dari leukosit.

  58 Gambar 6. Struktur Selectin

  Struktur selektin terdiri dari N terminal Lectin domain, epidermal growth factor domain (EGF), 2 L Selectin, 6 atau 9 P

  58 Selectin, transmembrane domain dan cytoplasmic domain.

2.4.1 L-selectin

  L-selektin (CD62L) merupakan suatu sel adesi glikoprotein

  16,61 dengan berat molekul 65-75 kDa yang berasal dari limfosit.

  Molekul ini memainkan peranan yang penting pada proses perlekatan limfosit ke sel endotel pada daerah inflamasi, yang secara imunologi disebut sebagai the rolling phenomenon, dan menyebabkan limfosit dapat bermigrasi dari aliran darah ke jaringan

  16,62

  interstisial. Transmigrasi melewati lapisan sel endotel memungkinkan leukosit untuk mendekati antigen target pada jaringan inflamasi. L Selectin secera eksklusif diekspresikan pada leukosit ( termasuk keseluruhan sel myeloid, Sel T naive dan

  14

  beberapa Sel T yang telah teraktivasi ). Sel T naive

  14 mengekspresikan L Selectin yang tinggi pada bagian permukaan.

  L-selektin penting untuk pengikatan limfosit pada high endothel

  venules (HEV) dan invasi neutrofil ke dalam tempat inflamasi. Pada

  waktu aktivasi neutrofil, L-selektin dapat dipecah dengan enzim proteolitik dekat domain transmembran dan lepas dari permukaan.

  Konsentrasi yang tinggi dari L-selektin yang dilepaskan atau terlarut, dapat menghambat perlekatan leukosit ke endotel. Dari beberapa penilitian yang dilakukan didapat peningatan ekspresi L- selectin terkait dengan keadaan infeksi dan adanya multiple trauma pada organ dimana hal ini menggambarkan bahwa area pada jalur

  63 inflamasi dipengaruhi oleh L-selectin.

  14 Gambar 7. L-Selectin pada Sel Limfosit T

2.4.2 Peran L-selectin dalam Inflamasi Jaringan

  Untuk mencapai jaringan dan memulai proses inflamasi leukosit akan melalui beberapa tahapan yang saat ini diketahui yaitu leukocyte rolling, adesi, dan transmigrasi. Dengan ditemukannya integrin, selektin dan ligand-ligandnya, kemokin dan reseptornya maka saat ini dapat dijelaskan lebih mendalam tahapan yang dilalui lekosit untuk dapat sampai ke tempat inflamasi yang spesifik.

  Rekruitmen leukosit dari kompartemen intravaskular ke tempat jaringan inflamasi membantu melindungi vertebrata dari mikroorganisme yang menginvasi dan gangguan lain. Rekrutmen leukosit mengikuti kaskade adesi multitingkat yang diregulasi secara ketat yaitu:

  62

  1. Leukocyte capture

  62 Pada waktu pengenalan patogen dan aktivasi oleh patogen,

  makrofag yang menetap di jaringan yang mengalami inflamasi melepaskan sitokin-sitokin seperti IL-1, TNF- α dan kemokin. IL-1 dan TNF-

  α menyebabkan endotel-endotel pembuluh darah yang dekat dengan tempat inflamasi mengekspresikan cellular adhesion molecule, termasuk selektin. Leukosit sirkulasi ditarik ke arah tempat inflamasi karena adanya kemokin.

  2. Rolling adhesion

  Ligand karbohidrat pada leukosit sirkulasi mengikat molekul selektin pada dinding sisi dalam dari pembuluh darah dengan affinitas yang lemah. Ini menyebabkan leukosit bergerak lambat dan mulai berputar menggelinding (rolling) sepanjang permukaan dalam dinding pembuluh darah.