BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Endometriosis - Kadar Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Serum pada Wanita dengan Endometriosis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Endometriosis

  Endometriosis didefinisikan sebagai adanya kelenjar dan stroma endometrium ektopik atau di luar dari kavum uterus dan dihubungkan

  (3), (14)

  dengan nyeri pelvik dan infertilitas. Endometriosis pertama sekali diidentifikasi oleh Von Rokitansky tahun 1860. Endometriosis paling sering berimplantasi pada permukaan peritoneum pada pelvis wanita, namun terkadang dapat juga ditemukan pada ovarium, septum rektovaginal, ureter, terkadang dapat juga ditemukan pada kandung kencing,

  (4), (5)

  pericardium, pleura dan otak. Walaupun patogenesis endometriosis tetap kurang dimengerti, namun pandangan baru yang didapat dari penelitian-penelitian terakhir dengan menggunakan metode genetik, molekular, dan biokimia yang baru seperti : adanya polimorfisme beberapa gen yang berhubungan dengan endometriosis, pengaruh dari endokrin dan reseptornya, peranan apoptosis, sistem imunitas, angiogenesis, suasana lingkungan di peritoneum, telah membantu untuk menjelaskan dengan lebih baik mekanisme yang menyebabkan penyakit tersebut dan konsekuensi klinisnya dan telah memberikan pendekatan baru terhadap diagnosis dan pengobatan kelainan yang kompleks dan

  (3), (14), (20) rumit ini.

  25

  (20) Gambar 1. Endometriosis pada ligamen uterosakral

  Gambar 2. Endometriosis pada kedua ovarium dengan perlengketan ke (20) rektum sampai ke cavum douglas

2.2 Insidensi Endometriosis

  Secara umum prevalensi endometriosis terjadi pada 6-10% populasi wanita. Angka kejadian endometriosis ini meningkat, pada 60 – 80 % penderita dismenorea, 30 – 50 % penderita nyeri perut, 25 – 40 % penderita dengan keluhan dispareunia, 30 – 40 % pasutri infertilitas, dan 10 – 20 % pada penderita dengan siklus menstruasi tidak teratur.

  Dalam 2 dekade terakhir ini kelihatanya insiden endometriosis cenderung meningkat, terutama dengan semakin meluasnya penggunaan laparoskopi. Pada wanita yang dilakukan tindakan laparoskopi diagnostik

  (3), (11) ternyata 10 – 15 % didiagnosa sebagai endometriosis.

  Di Indonesia ditemukan 15 – 25 % wanita infertil yang disebabkan oleh endometriosis, sedang infertilitas idiopatik mencapai 70 – 80 %.

  Sedangkan angka kejadian kista coklat ini adalah sebesar 30 – 40 % dari

  (21) semua populasi endometriosis.

2.3 Klasifikasi Endometriosis

  Sangat penting dalam menentukan stadium endometriosis terutama untuk menetapkan cara pengobatan yang tepat dan untuk evaluasi hasil pengobatan. Ada beberapa klasifikasi yang dianjurkan dalam menentukan stadium endometriosis, seperti klasifikasi yang dianjurkan oleh American Fertility Society (AFS) dan klasifikasi yang dianjurkan oleh Kurt Semm berupa Endoscopic Endometriosis Clasification (EEC).

  Klasifikasi endometriosis pada awalnya yang dibuat oleh American Fertility Society (AFS) yang kemudian diganti namanya menjadi American Society for Reproductive Medicine (ASRM) pada tahun 1979 kemudian direvisi pada tahun 1985. Revisi ini memberikan gambaran endometriosis secara tiga dimensi dan dapat membedakan antara lesi yang superfisial ataupun lesi yang invasif. Namun klasifikasi ini tidak memberikan manfaat untuk memberikan prognostik berkaitan dengan fertilitas dan derajat nyeri.

  (20), (22)

  Kemudian klasifikasi ini direvisi kembali tahun 1997 yang sekarang banyak digunakan untuk menentukan stadium endometriosis, dimana

  (2), (20), (23) klasifikasi endometriosis dibagi pada empat klasifikasi.

  • Superfisial
  • Dalam
  • Superfisial
  • Dalam

  • Tebal
  • Tebal
  • Tebal
  • Tebal
  • Berdasarkan hasil laparoskopi diagnostik (LD) / laparatomi didapatkan jumlah skor :

  2

  4

  4

  8

  16 Tuba Kanan ; - Tipis

  1

  2

  4

  4

  8

  16 Kiri ; - Tipis

  1

  2

  4

  4

  8

  16 Kavum Douglas Sebagian Seluruhnya

  4

  40

  1

  8

  16 Kiri ; - Tipis

  6 Ovarium Kanan dan kiri

Tabel 2.1. Klassifikasi Endometriosis Menurut American Fertility Society

  (AFS) / Revisi American Society for Reproductive Medicine (ASRM)

   Endometriosis NILAI 1 cm 1-3 cm 3 cm Peritoneum

  1

  2

  4

  2

  4

  1

  4

  2

  4

  4

  16

  20 Ovarium perlengketan 1/3 bagian 1/3-2/3 bagian 2/3 bagian

  Kanan ; - Tipis

  1

  2

  4

  (1) stadium I (minimal) : 1-5 (2) stadium II (mild ) : 6-15 (3) stadium III (moderate) : 16-40 (4) stadium IV (severe) : > 40 Gambar 3. Lembar klasifikasi endometriosis berdasarkan klasifikasi American Society for Reproductive Medicine yang direvisi.

  (20)

2.4 Diagnosis Endometriosis

  Diagnosis endometriosis secara pasti ditegakkan berdasarkan hasil histopatologi dengan ditemukannya kelenjar dan stroma endometrium yang berasal dari jaringan diluar kavum uteri. Namun secara klinis, endometriosis dapat dikenali berdasarkan gejala-gejala yang ditemukan.

  Salah satu keluhan umum para wanita yang menderita gejala endometriosis adalah nyeri pelvik. Gejala-gejala mencakup dismenore, nyeri intermenstruasi, dan dyspareunia. Dismenore merupakan gejala yang paling umum dilaporkan, tetapi bukan alat prediksi endometriosis yang terpercaya. Dismenore yang berkaitan dengan endometriosis seringkali dimulai sebelum aliran menstruasi muncul dan biasanya bertahan selama menstruasi berlangsung, bahkan terkadang lebih lama dari itu. Nyeri biasanya menyebar, berada dalam pelvik, dan dapat menjalar ke punggung, paha, atau berhubungan dengan tekanan usus, kegelisahan, dan diare episodik. Dyspareunia terkait endometriosis biasanya terjadi sebelum menstruasi, lalu terasa semakin nyeri tepat di awal menstruasi. Nyeri ini seringkali berhubungan dengan penyakit yang

  (14), (20) melibatkan cul-de-sac dan sekat rektovagina.

  Dari data cross-sectional survey pada tahun 2008 dari 1000 wanita dengan endometriosis ditemukan gejala dismenore pada 79%, nyeri pelvik 69%. Dengan membandingkan derajat minimal-ringan dengan derajar sedang-berat, dispareunia lebih banyak ditemukan dengan 51% pada derajat sedang-berat dan 31% pada derajat minimal-ringan. Sedangkan berdasarkan pasien dengan infertilitas ditemukan 22% pada derajat minimal-ringan dan 30% pada derajat sedang-berat dan dengan adanya massa diovarium ditemukan 7% pada derajat minimal-ringan dan 29%

  (24) pada derajat sedang-berat.

  Nyeri pelvik kronik 70 – 80 % disebabkan endometriosis. Yang dimaksud nyeri pelvik kronik adalah nyeri pelvik hebat yang dialami lebih 6 bulan. Siklik maupun asiklik, tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari dan memerlukan pengobatan. Mekanisme terjadinya nyeri mungkin disebabkan peradangan lokal, infiltrasi yang dalam dengan kerusakan

  (2), (14), (20) jaringan, terlepasnya prostaglandin dan perlengketan.

  Sementara itu, endometriosis ekstrapelvik dapat berkaitan dengan bermacam-macam gejala siklik yang merefleksikan organ-organ terkait: parut (goresan bekas luka) abdominal, saluran gastrointestinal dan

  (14) urinaria, diafragma, pleura, dan saraf perifer.

  Sebesar 50% wanita yang infertil ditemukan endometriosis. Dan pada 15% wanita dengan infertilitas sekunder ditemukan adanya

  (2)

  endometriosis. Infertilitas yang disebabkan oleh endometriosis dapat

  

(14)

  dikaitkan pada tiga mekanisme yakni:

  • Gangguan secara anatomi pada adnexa yang menghalangi atau mengaggu proses penangkapan ovum pada saat ovulasi.
  • Mempengaruhi pada perkembangan oosit atau saat embriogenesis.
  • Mengurangi reseptivitas endometrium.

  Pemeriksaan fisik pada genitalia eksterna biasanya tidak ditemukan kelainan terutama pada derajat minimal-ringan biasanya tidak ditemukan kelainan apapun. Pada pemeriksaan spekulum terkadang bisa tampak implant yang khas berwarna biru atau lesi proliferatif merah yang berdarah bila terkena sentuhan, biasanya pada forniks posterior. Sementara endometriosis pada wanita dengan endometriosis yang menginfiltrasi dalam yang mengenai septum rektovagina sering dapat diraba, tetapi sangat jarang terlihat. Uterus seringkali terfiksasi atau terjadi peneurunan mobilitas uterus. Wanita dengan endometrioma mungkin memiliki massa adneksa yang terfiksasi. Nyeri tekan lokal dan nodularitas ligamentum uterosakral menyokong kuat ke arah diagnosis endometriosis dan sering menjadi satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas diagnostik tertinggi bila dilakukan selama menstruasi tetapi tidak selalu dapat menyingkirkan diagnosa endometriosis pada hasil pemeriksaan fisik adalah normal. Secara keseluruhan dibandingkan dengan baku emas diagnosa endometriosis dengan pembedahan, pemeriksaan fisik memiliki sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga yang

  (14), (20) yang lebih rendah.

  Ultrasonografi transvaginal mungkin sangat membantu mendiagnosis endometriosis tahap lanjut yang biasanya digunakan untuk mendeteksi endometrioma ovarium, tetapi tidak dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau superficial peritoneal foci dari penyakit.

  Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra ultrasonografi, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan internal berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp echogenic capsule). Beberapa mungkin mempunyai sekat internal atau dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan karakteristik gejala ditemukan, ultrasound transvaginal diketahui mempunyai sensitivitas 90% bahkan lebih dan hampir mempunyai spesifisitas 100% untuk mendeteksi endometrioma.

  (14), (20)

  Magnetic Resonance Imaging (MRI) mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari massa ovarium kistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI lebih baik terhadap ultrasonografi transvaginal, namun hanya dapat mengidentifikasi 30% - 40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati 70% dan

  (14) spesifisitas mendekati 75%.

  Gambar 4. Gambaran Ultrasound Transvaginal pada endometrioma

  (20) ovarium.

  (25) Gambar 5. Gambaran endometrioma ovarium pada pemeriksaan MRI.

  Saat ini tidak ada biomarker terpercaya untuk diagnosa dan prognosa endometriosis. Berbagai marker yang berbeda pada cairan serum dan peritoneum, termasuk cancer antigen 125 (CA-125) dan sitokin seperti interleukin 6 (IL-6) dan tumor necrosi factor (TNF)-

  α telah diusulkan. Walaupun hasil yang menjanjikan telah ditunjukkan, penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengevaluasi relevansi biomarker ini untuk diagnosis. Pada penelitian baru-baru ini, Cytokeratin-19 urin mungkin bisa

  (7) menjadi biomarker untuk endometriosis.

  Secara umum, sensitivitas CA-125 terlalu rendah sebagai uji seleksi yang efektif bagi diagnosis endometriosis. Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal kehamilan selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit radang pelvik akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga terkadang melewati siklus menstruasi. CA-125 serum telah dianjurkan sebagai uji selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-analisis yang meliputi 23 penelitian terpisah menggunakan penyakit terdiagnosis dengan operasi sebagai standar emas, mengarahkan pada kesimpulan bahwa CA-125 tidak begitu akurat. Cut off value yang memberikan 90% spesifisitas mempunyai sensitivitas kurang dari 30%, dan jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas 50% dengan spesifisitas 70%. Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis lanjutan, nilai-nilai yang berkaitan

  (14) dengan spesifisitas 90% mempunyai sensitivitas kurang dari 50%.

  Ekspresi mRNA aromatase p450 juga dapat digunakan dalam mendukung diagnosis endometriosis meskipun pemeriksaan dapat juga terjadi peningkatan pada adenomiosis, leiomioma dan karsinoma endometrium.

  (20)

  Laparoskopi merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga abdomen. Disini akan tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau kebiruan dan berkapsul, juga terlihat lesi endometriosis yang minimal. Implan peritoneum klasik merupakan lesi “bubuk mesiu” biru-hitam (mengandung deposit hemisoderin dari darah yang terperangkap) dengan berbagai jumlah fibrosis di sekelilingnya, tetapi sebagian besar implan tidak biasa (athypical) dan tampak putih pekat, merah seperti api, atau vesikular. Penyakit ini tidak umum ditemui dalam adhesi ovarium, bercak kuning-coklat, atau dalam kerusakan peritoneum. Lesi merah sangat kaya pembuluh darah, proliferatif, dan menandakan tahap awal penyakit. Lesi terpigmentasi merepresentasikan penyakit dalam tahap yang lebih lanjut. Keduanya aktif secara metabolisme dan umumnya berkaitan dengan gejala. Lesi putih kurang kaya pembuluh darah dan kurang aktif, serta kurang menimbulkan gejala. Endometrioma biasanya tampak sebagai kista halus dan gelap, khususnya berkaitan dengan adhesi dan mengandung cairan berwarna coklat pekat. Endometrioma yang lebih besar seringkali multilokular. Pemeriksaan visual secara langsung pada ovarium biasanya sangat terpercaya untuk mengenali endometrioma, tetapi ketika dugaan penyakit sangat tinggi dan gejala tidak terlalu tampak, eksplorasi secara cermat dengan penusukan ovarium dan aspirasi dapat dilakukan. Endometrioma ovarium biasanya disertai sejumlah lesi pada peritoneum. Sebaliknya, endometriosis yang menginfiltrasi dalam seringkali tidak tampak dan

  (2), (14), (25) terisolasi.

2.5 Penatalaksanaan

  Pengobatan pada endometriosis tergantung keluhan wanita yang menderita endometriosis. Sehingga penatalaksanaan harus disesuaikan dengan tujuan pengobatan apakah penanganan terhadap keluhan

  (26) infertilitas atau keluhan nyeri.

  Pengobatan terhadap endometriosis yang saat ini dianut adalah berupa pengobatan medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya. Pengobatan medikamentosa memang dapat mengurangi lesi

  (2) endometriosis, namun angka residifnya sangat tinggi.

  Penatalaksanaan endometriosis dengan medikamentosa dan/atau pembedahan memiliki tiga tujuan yaitu : untuk mengurangi nyeri, meningkatkan fertilitas/kehamilan dan menunda rekurensi selama mungkin. Kebanyakan pengobatan medikamentosa dengan cara supresi hormonal, hingga menyebabkan suasana hipoestrogenik sehingga mengurangi ukuran lesi endometriosis. Pengobatan medikamentosa meliputi progestin, danazol, gonadotropin-releasing hormone (GnRH)

  analogues, levonorgestrel-releasing intrauterine system (LNG-IUS) dan pil

  kontrasepsi. Pengobatan farmakologi lain seperti non-steroidal anti-

  

inflammatory drugs (NSAIDs) secara luas digunakan untuk mengobati

(7), (27) nyeri kronik pada pasien endometriosis.

  Penatalaksanaan bedah untuk penanganan endometriosis bertujuan untuk mengembalikan atau memulihkan hubungan anatomis normal, untuk mengeksisi atau merusak semua lesi endometriosis yang terlihat sebanyak mungkin, dan untuk menunda rekurensi penyakit dan mengurangi nyeri. Untuk wanita yang masih ingin punya anak yang memiliki endometriosis derajat sedang atau berat yang mendistorsi anatomi reproduksi, pembedahan adalah pilihan terapi karena pengobatan farmakologis tidak dapat mencapai tujuan ini. Bila endometriosis kurang berat, pengobatan farmakologis dapat secara efektif mengendalikan nyeri pada mayoritas pasien tetapi tidak memiliki efek perbaikan pada fertilitas; pembedahan sekurang-kurangnya sama efektifnya dengan pengobatan farmakologis untuk meredakan nyeri dan juga dapat memperbaiki fertilitas.

  (14), (25) Pembedahan dapat dilakukan secara laparoskopi atau laparatomi.

  Prosedur endoskopi spesifik mencakup ablasi implant endometriosis, adesiolisis, kistektomi ovarium, ooforektomi, dan salpingektomi.

  Laparoskopi memiliki visualisasi yang lebih baik dibandingkan dengan laparatomi terhadap kavum Douglasi dan memungkinkan pembesaran tingkat tinggi terhadap permukaan peritoneum yang bisa membantu identifikasi endometriosis yang tersamar. Reseksi konservatif endometriosis dengan laparatomi paling baik pada kasus-kasus endometriosis yang luas, adesi pelvik yang berat atau endometrioma yang lebih dari 5 cm. Tujuan dari prosedur laparatomi adalah eksisi komplit semua endometriosis dan perlengketan untuk mengembalikan anatomi

  (28) fungsional saluran reproduksi.

  (25) Gambar 6. Algortime diagnosis dan penatalaksanaan endometriosis.

2.6 Patogenesis

  Sampai saat ini belum ada patogenesis tunggal yang mendasari terjadinya endometriosis. Ada tiga teori yang dapat menjelaskan endometriosis secara histogenesis.

2.6.1 Teori Transplantasi Dan Regurgitasi

  Teori Sampson 1921, menyatakan bahwa darah haid dapat mengalir dari kavum uteri malalui tuba falopii ke rongga pelvis, terjadi adhesi dan tumbuh. Namun tidak dapat dijelaskan mengapa endometriosis terjadi hanya pada sebagian kecil wanita. Kebanyakan wanita mengalami menstruasi retrograde (76-90%) ke dalam kavum

  (2), (6) peritoneum tetapi endometriosis terjadi hanya 5-10% saja.

  Gambar 7. Menstruasi Retrograd pada endometriosis Endometriosis paling banyak ditemukan pada peritoneum, ovarium, posterior dan anterior cul-de-sac, ligamentum sakrouterina, posterior uterus, dan posterior ligamentum latum. Terjadi peningkatan kejadian menstruasi retrograd pada obstruksi aliran darah haid. Endometriosis ovarium dapat dikaitkan pada mentruasi retrograd atau disebabkan oleh aliran limfatik dari uterus ke ovarium. Endometriosis ekstrapelvik sangat jarang terjadi (1-2%) yang mungkin disebabkan oleh penyebaran sel

  (14), (29) endometrium melalui pembuluh darah ataupun aliran limfatik.

  2.6.2 Teori Metaplasia Sel-Sel Coelom

  Dikemukakan teori metaplasia coelom sebagai penjelasan dari histogenesis endometriosis. Disimpulkan bahwa mesotelium peritoneal dapat mengalami metaplasia berubah menjadi endometrium sebagai akibat dari iritasi dan infeksi. Secara embriologis hal ini benar karena epitel germinativum ovarium, endometrium, peritoneum berasal dari epitel coelom yang sama. Transformasi (metaplasia) coelemic epithelium menjadi jaringan endometrium yang menjadi dasar terjadinya

  (2), (14), (29) endometiosis.

  (25) Gambar 8. Tempat implantasi sel endometriosis.

  2.6.3 Teori Induksi

  Teori induksi pada dasarnya menjelaskan kelanjutan dari teori metaplasia sel coelom. Bahwa endometrium yang mengalami degenerasi pada kavum abdomen melepaskan faktor-faktor yang menginduksi sebuah proses metaplastik dalam sel-sel mesenkim yang menyebabkan terjadinya endometriosis. Adanya faktor biokimia endogen dapat

  (14) menginduksi perubahan sel peritoneal menjadi jaringan endometrium.

2.7 Faktor Genetik dan Inflamasi

  Seperti yang sudah dijelaskan bahwa patogenesis endometriosis disebabkan oleh banyak faktor. Oleh karena itu, perkembangan endometriosis kemungkinan tidak hanya melibatkan menstruasi retrograde, adanya metaplasia dan induksi dari faktor endogen, tetapi melibatkan faktor-faktor lain pada tingkat molekuler yaitu defek genetik

  (7) atau sistem imun atau keduanya.

  Tempfer dkk, membagi beberapa polimorfisme gen yang terlibat dalam endometriosis, seperti polimorfisme gen mediator inflamasi, polimorfisme gen sex hormone dan hormone regulator, polimorfisme gen enzim metabolisme dan biosintesis, polimorfisme gen homeostasis glukosa, fungsi vaskular, tissue remodelling. Termasuk gen-gen inflamasi, sintesis steroid, reseptor hormon, faktor pertumbuhan, adhesion

  

molecules, regulasi siklus sel, apoptosis dan onkogenesis. Asosiasi

  polimorfisme dalam gen-gen inflamasi seperti IL-10, IL-2, IL-12, IL-16, IL-

  (30)

  18, TGF- β, IFN-γ, TNF-α dan TNF-β telah diobservasi.

  Gen yang menjadi predisposisi perkembangan endometriosis berhubungan pada proses molekuler yang mengkontrol pertumbuhan dan perkembangan sel endometrium, perlekatan dan invasi pada permukaan

  (14) peritoneum, proliferasi, neovaskularisasi ataupun respon inflamasi.

  Banyak fakta menunjukkan bahwa endometriosis dihubungkan dengan keadaan inflamasi peritoneum subklinis yang ditandai dengan peningkatan volume cairan peritoneum, peningkatan konsentrasi sel darah putih cairan peritoneum (terutama makrofag) dan peningkatan sitokin

  (31) inflamasi, faktor pertumbuhan, dan substansi penyokong angiogenesis.

  Jadi endometriosis adalah sebuah kondisi inflamasi dimana sejumlah besar leukosit direkrut dari sirkulasi darah ke dalam lesi endometriosis sehingga terjadi perubahan jumlah dan fungsi dari leukosit ini dalam endometrium eutopik dan cairan peritoneum dan juga dalam lesi endometriosis. Telah ditunjukkan bahwa terdapat perubahan pada populasi sel T, sel B, sel mast, sel dendritik dan makrofag dalam endometrium dan lesi endometriosis ektopik yang mungkin diakibatkan oleh perubahan potensial pada sel T regulator yang mempengaruhi

  (32) terjadinya endometriosis dan progresifitasnya.

  Makrofag atau sel lain bisa menyokong pertumbuhan sel-sel endometrium dengan cara mensekresi growth factor dan angiogenetic

  factor seperti Vascular endothelial Growth Factor (VEGF), epidermal growth factor (EGF), macrophage-derived growth factor (MDGF),

  fibronektin, dan adhesion molecule seperti integrin. Setelah perlekatan sel-sel endometrium ke peritoneum, terjadi invasi dan pertumbuhan lebih lanjut yang tampaknya diregulasi oleh matrix metalloproteinase (MMP)

  (7), (31) dan inhibitor jaringannya.

2.8 Angiogenesis

  Pada dasarnya pertumbuhan sel dikontrol berdasarkan kebutuhan pada oksigenasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan dari pembuluh darah melalui proses angiogenesis untuk memastikan adanya suplai oksigen sampai pada jaringan dan sel. Begitu juga dengan pertumbuhan lesi endometriosis yang membutuhkan suplai darah yang adekuat, yang menunjukkan bahwa ada peran penting dari angiogenesis dalam endometriosis. Sel endometrium yang masuk ke peritoneum secara retrograd harus selamat dari proses apoptosis dan mengalami adhesi pada mesothelium dan akhirnya berproliferasi yang membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Angiogenesis dipengaruhi oleh keseimbangan faktor pro-angiogenesis endogen dan antiangiogenesis endogen. Ada sekitar 30 jenis faktor pro-angiogenesis endogen dan sekitar 30 jenis faktor antiangiogenesis endogen yang dikenal. Faktor angiogenesis yang berperan penting pada endometriosis adalah Vascular

  

(15), (33)

endothelial Growth Factor (VEGF).

  (33)

Tabel 2.2. Beberapa faktor pro-angiogenesis endogen

2.9 Peranan VEGF Pada Endometriosis

  Angogenesis didefinisikan sebagai pembentukan baru kapiler pembuluh darah dari pembuluh darah yang ada yang melibatkan interaksi dan regulasi molekular dari VEGF. VEGF yang berisi N-linked glycosylation terdiri dari sembian isoform yang dihasilkan dari transkripsi mRNA dari gen tunggal yang berisikan delapan exon. VEGF mRNA adalah protein yang banyak diekspresikan diberbagai jaringan dan organ.

  (33), (34) Gen VEGF manusia berlokasi pada kromosom 6p12.

  Terdapat beberapa jenis VEGF yang dikenal, diantaranya VEGF-A,

  VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D, VEGF-E, VEGF-F dan PlGF. VEGF-A adalah janis VEGF yang banyak ditemukan pada sel glandular epitel dan stroma dari endometrium baik eutopik maupun ektopik endometrium yang diketahui mempunyai peranan pada angiogenesis secara umum dan juga angiogenesis pada proliferasi endometrium. Dalam suatu penelitian juga ditemukan bahwa mRNA VEGF dan ekspresi protein VEGF ditemukan

  (15), (18), (35), (36) pada lesi endometriosis. VEGF-A adalah ikatan glikoprotein disulfida dengan besar molekul 34-42 kDa. VEGF-A predominan berlokasi pada epitel kelenjar dari lesi endometriosis. Makrofag pada cairan peritoneum merupakan sumber dari pembentukan VEGF-A pada cairan peritoneum. VEGF-A terdiri dari beberapa isoform yang memiliki potensi untuk proses angiogenesis, seperti VEGF 121, 145, 165, 183, 189 dan 206. Isoform terbesar yang paling banyak berikatan dengan komponen matrix ekstraselular, sedangkan VEGF 121 dan VEGF 165 merupakan isoform yang bebas berdifusi dalam ekstraselular dan dapat diidentifikasi pada cairan

  (7), (15), (36) peritoneum dan serum darah.

  Gambar 9. Struktur gen VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C, VEGF-D. VEGF-A

  (35) yang terdiri dari 8 exon menghasilkan tujuh isoform. VEGF-A menimbulkan efek biologisnya dengan berikatan dengan dua reseptor tyrosin kinase yaitu VEGFR-1 atau VEGFR-2. Ekspresi gen

  VEGF paling banyak diregulasi oleh keadaan hipoksia, hormon seks steroid dan beberapa sitokin. Sebuah penelitian mengobservasi bahwa produksi VEGF oleh makrofag dalam cairan peritoneum meningkat

  (7), (15), (36) setelah stimulasi dengan estrogen dan progesterone.

  Ketika VEGF berikatan dengan reseptor targetnya, akan

  2+

  mengakibatkan peningkatan yang cepat Ca intraselular dan konsentrasi inositol triphosphate di sel endotel. Fungsi fisiologis dari VEGF adalah untuk menginduksi angiogenesis untuk perbaikan sel endometrium secara sendiri pada saat menstruasi. VEGF juga memodulasi pembuluh darah yang baru dibentuk dengan mengkontrol permeabilitas mikrovaskular, pembentukan matriks fibrin untuk migrasi sel endotel dan juga proliferasi.

  (33), (35)

  Teraktifasinya VEGFR1 berimplikasi dalam meningkatkan ekspresi dari tipe urokinase dari plasminogen activator dan plasminogen activator

  

inhibitor-1 di sel endotel, dimana molekul ini berperan pada degradasi

  matriks ekstraselular dan migrasi sel. VEGFR1 juga berperan pada kemotaksis dari monosit. VEGFR2 merupakan mediator yang predominan dari VEGF dalam menstimulasi migrasi sel endotel, proliferasi, ketahanan sel dan juga meningkatkan permeabilitas vaskular. VEGF menginduksi dimerisasi dari VEGFR2 yang menyebabkan autofosforilasi, aktifasi dan meningkatkan aktifitas kinase. Proses ini akan melibatkan berbagai enzim dan protein yang kemudian akan berfungsi sesuai dengan efeknya

  (33) masing-masing.

  (33) Gambar 10. Signal transduksi dan fosforilasi VEGFR.

  Neoangiogenesis secara fisiologis pada wanita berkaitan dengan siklus menstruasi. VEGF-A penting pada angiogenesis fase luteal. mRNA

  VEGF-A dapat dideteksi pada sel granulosa yang mengelilingi oosit dan sel theca pada folikel sebelum ovulasi. Setelah ovulasi, mRNA VEGF-A dapat ditemukan pada sel luteal yang berasal dari sel granulosa. Ekspresi

  VEGF-A pada korpus luteum ditemukan lebih tinggi pada fase luteal dan menurun setelah fase mid-luteal dan sangat sedikit bahkan tidak dijumpai

  (37)

  pada fase late-luteal. Dalam hal ini berarti VEGF dipengaruhi oleh steroid ovarium. Hormon gonadotropin, Luteinizing Hormone (LH) diketahui juga dapat meregulasi angiogenesis di ovarium. LH yang menstimulasi luteinisasi pada sel granulosa pada saat ovulasi

  (38) berhubungan dengan peningkatan ekspresi VEGF di ovarium.

  Ekspresi VEGF-A dapat diinduksi dengan keadaan hipoksia. Kebutuhan oksigen ditransportasikan oleh eritrosit yang bersirkulasi, yang produksinya dikontrol oleh glycoprotein hormone erythropoietin (EPO).

  Dengan adanya peningkatan kebutuhan oksigen akan membutuhkan pertumbuhan pembuluh darah baru. Keadaan hipoksia akan meningkatkan dan mengaktifkan Hypoxia-Inducible Protein-1 (HIF-1) yang akan meningkatkan ekspresi gen VEGF dan gen reseptor VEGF. HIF-1 merupakan faktor transkripsi yang paling penting untuk gen regulasi- hipoksia. HIF-1 merupakan heterodimer yang terdiri dari HIF-

  1α dan HIF- 1β. HIF-1β lebih stabil, sedangkan HIF-1α sangat berpengaruh terhadap keadaan hipoksia. Dalam keadaan normal HIF- 1α akan dihidroksilasi oleh prlyl hydroxylase (PH), kemudian akan berikatan dengan Von Hippel

  (35), (39) Lindau Protein (VHL) yang selanjutnya akan didegradasi.

  (35)

  Gambar 11. Regulasi gen VEGF yang dinduksi oleh HIF-1 Beberapa sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan dapat meningkatkan ekspresi VEGF. Tumor Necrosis Factor –

  α (TNF-α) merupakan sitokin inflamasi yang mempunyai aktifitas biologis yang kuat untuk meningkatkan VEGF. Sitokin lain seperti IL-

  1α, IL-1β dan IL-6 dapat menstimulasi VEGF. Faktor-faktor pertumbuhan seperti Tissue Growth Factor- β (TGF-β), Epidermal Growth Factor (EGF) dan Platelet Derived

  (35), (40) Growth Factor – BB (PDGF-BB) juga dapat menginduksi VEGF.

  Pada suatu penelitian yang membandingkan antara wanita yang menderita endometriosis dengan wanita non-endometriosis, diketahui bahwa ekspresi VEGF-A lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis. Ekspresi VEGFR-1 dan VEGFR-2 lebih rendah pada sel stroma dari wanita yang mengalami endometriosis dibandingkan wanita non- endometriosis. Sedangkan ditemukan bahwa ekspresi VEGFR-2 pada pada pembuluh darah lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis

  (36) pada fase sekresi.

  Lebih lanjut pada penelitian tersebut menemukan bahwa kadar

  VEGF-A di cairan peritoneum lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan non-endometriosis. (282,65 pg/mL vs 125,17 pg/mL ; p<0,05). Namun kadar VEGF-A pada serum ditemukan tidak berbeda bermakna secara statistik antara wanita dengan

  (36) endometriosis dan non-endometriosis.

  Suatu keadaan yang berbeda didapatkan pada penelitian lain bahwa ditemukan perbedaan kadar serum VEGF pada wanita dengan endometriosis (rerata kadar VEGF serum 241,6±164 pg/mL) dibandingkan wanita non-endometriosis (rerata kadar VEGF serum 221,6±128 pg/mL).

  Seperti yang sudah dijelaskan bahwa endometriosis dipengaruhi oleh sistem imun dan adanya peningkatan sitokin pada cairan peritoneum wanita dengan endometriosis yang dapat juga ditemukan peningkatan pada serum darah. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat meningkatkan modulasi VEGF pada peritoneum juga akan dapat

  (15) meningkatkan kadar VEGF pada serum darah.

  Pada penelitian lain yang membandingkan kadar VEGF serum pada wanita dengan severe endometriosis yang dibandingkan dengan wanita non-endometriosis mendapatkan hasil yang jauh berbeda. Dimana pada wanita dengan endometriosis didapatkan rerata kadar VEGF serum 735,1±100,6 pg/mL sedangkan wanita non-endometriosis didapatkan

  (41) rerata kadar VEGF serum 97,1±12,1 pg/mL.

  Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat risiko terjadinya endometriosis akibat adanya polimorfisme dari gen VEGF. Dari beberapa gen VEGF seperti gen +936TC, gen -460CT, +405CG, -2578AC dan -1154GA, ternyata gen +936TC +405CG yang diindikasikan

  (42), (43), (44) mempunyai hubungan terhadap risiko terjadinya endometriosis.

  2.10 Konsep Teori Menstruasi Retrograd Faktor Genetik,

  Hormonal dan Lingkungan Sel endometrium di rongga peritoneum

  VEGF, MMP, Growth factor Implantasi dan Invasi Apoptosis ↓↓

  Angiogenesis Makrofag Pertumbuhan dan Perkembangan sel endometrium ektopik

  Perdarahan secara Adhesi pada siklik pada rongga peritoneum peritoneum Inflamasi Kronik /

  Pembentukan peritoneal fibrosis

  2.11 Kerangka Konsep

VEGF SERUM ENDOMETRIOSIS

  Faktor Perancu :

  • Inflamasi • Pemakaian obat-obatan hormonal (estrogen, progesteron)

  Variabel Independent

  • Tumor / Neoplasia

  Variabel Dependent