BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH A. Deskripsi Lokasi Penelitian - Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum

BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH A. Deskripsi Lokasi Penelitian

  o o

  Provinsi Aceh terletak antara 01 58' 37,2" - 06 04' 33,6" Lintang Utara dan

  o o

  94 57' 57,6" - 98 17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah Provinsi Aceh, sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah Barat dengan Samudera Indonesia. Satu-satunya hubungan darat menuju ke Provinsi lain hanyalah dengan Provinsi Sumatera Utara.

  Luas Provinsi Aceh 5.677.081 Ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 Ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 Ha.

  Luas wilayah

  pada 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh yang terkena dampak tsunami adalah 2.250.993,6 Ha. Total luas bidang tanah yang mengalami kerusakan/ terkena dampak tsunami adalah 68.966,60 Ha atau 3.06% dari luas keseluruhan wilayah Provinsi Aceh. Kerusakan bidang tanah sebagai akibat dari bencana ini, tersebar di 10

  89 diakses

  (sepuluh) kabupaten/kota. Di bawah ini dijelaskan ke 10 (sepuluh) kabupaten/kota di Provinsi Aceh di mana luas wilayahnya rusak terkena bencana tsunami.

  7. Kab. Aceh Utara 329.686 8.158 2,47

  Penelitian ini menetapkan gampong-gampong (desa-desa) di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sebagai lokasi penelitian karena mengalami dampak terparah akibat gempa dan tsunami serta termasuk daerah prioritas pada tahun pertama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh.

  Kota Banda Aceh luas wilayahnya 6.135,9 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 3.857,7 Ha dengan kata lain 62,87% luas wilayah Kota Banda Aceh rusak akibat tsunami. Sedangkan di Kabupaten Aceh Besar luas wilayahnya 268.612 Ha dan luas wilayah terkena tsunami 7.150 Ha dengan kata lain 2,66% luas wilayah Kabupaten Aceh Besar rusak akibat tsunami.

  Agenda Rapat yang Disampaikan Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pertanahan Nasional, tanggal 7 Maret 2005, hal. 2.

  Sumber: Data Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan

  10. Nagan Raya 336.372 3.924 1,17 Total 2.250.993,90 68.966,60 3,06

  9. Aceh Jaya 381.299 38.130 10,00

  8. Kab. Aceh Barat 292.735 6.429 2,20

  6. Kab. Bireuen 190.121 200 0,11

  Tabel II.1. Kerusakan Bidang Tanah Sebagai Akibat dari Bencana Tsunami

  5. Kab. Pidie 416.055 480 0,12

  4. Kab. Aceh Besar 268.612 7.150 2,66

  3. Kota Lhokseumawe 18.106 588 3,25

  2. Kota Sabang 11.872 50 0,42

  1. Kota Banda Aceh 6.135,9 3.857,7 62,87

  Luas Wilayah Terkena Tsunami (Ha) Persentase (%)

  No. Wilayah Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Ha)

1. Kota Banda Aceh

  Kota Banda Aceh terletak antara 05 16' 15" - 05 36' 16" Lintang Utara dan 95 16' 15" - 95 22' 35" Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah administratif Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau kisaran 61,

  2

  36 Km dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Darul Imarah dan Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar; sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Krueng Barona Jaya dan Kecamatan Darussalam Kabupaten Aceh Besar; sebelah

   Barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar.

  Kota Banda Aceh merupakan ibukotanya Provinsi Aceh, mempunyai 9

  

  kecamatan, 17 mukim dan 90 gampong. Kota Banda Aceh merupakan daerah terpadat jumlah penduduknya yang rata-rata per kilometer wilayahnya dihuni oleh

   sekitar 4.251 jiwa.

  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pembangunan dan Pendapatan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kota Banda Aceh: tahun 2008 sebanyak 217.918 jiwa, tahun 2009

  90 diakses pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 11.39 WIB. 91 Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS Provinsi Aceh bekerjasama dengan BAPPEDA Aceh, 2013), hal. 17. Mukim adalah persekutuan atau federasi dari beberapa gampong di Aceh. Saat ini satu mukim paling kurang terdiri dari tiga gampong. Mukim dipimpin oleh imuem mukim. Gampong adalah kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang berada di

bawah mukim. Sebuah gampong terdiri dari beberapa jurong, tumpok atau ujong. Lihat Sanusi M.

  Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. xxi dan xviii. 92 Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, Aceh dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS Provinsi

  sebanyak 212.241 jiwa, tahun 2010 sebanyak 223.446 jiwa, tahun 2011 sebanyak 228.562 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 238.784 jiwa.

  Ketika terjadinya musibah gempa bumi 9,1 Skala Richter dan gelombang tsunami di Provinsi Aceh tanggal 26 Desember 2004, area Kota Banda Aceh yang terkena tsunami ± 3.800 ha dari 6.135 ha (63%), dalam tempo 30 menit, penduduk yang hilang dan meninggal ± 200.000 orang. Kantor Pertanahan Banda Aceh rusak parah tidak dapat digunakan dan dokumen yang rusak/musnah/tidak lengkap

  

  mencapai ± 80%. Kota Banda Aceh hancur bagaikan kota mati, kegiatan warga dan

   pemerintahan lumpuh.

  2. Kabupaten Aceh Besar

   Kabupaten Aceh Besar terletak pada garis 5,2º - 5,8º Lintang Utara dan

  95,0º - 95,8º Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, Kota Sabang dan Kota Banda Aceh, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Jaya, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie, dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. 93 94 Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, “Laporan RALAS”, Presentase, (2014).

  Anonimus, Gambaran Umum Administrasi Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Pasca Tsunami, hal. 1. 95 Pada waktu Aceh masih sebagai sebuah kerajaan, yang dimaksud dengan Aceh atau Kerajaan Aceh adalah wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar ditambah dengan beberapa kenegerian/daerah yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Pidie. Selain itu, juga termasuk Pulau Weh (sekarang telah menjadi Pemerintah Kota Sabang), sebagian wilayah Pemerintah Kota Banda Aceh, dan beberapa kenegerian/daerah dari wilayah Kabupaten Aceh Barat. Aceh Besar dalam istilah Aceh disebut Aceh Rayeuk. Penyebutan Aceh Rayeuk sebagai Aceh yang sebenarnya karena daerah inilah yang pada mulanya menjadi inti Kerajaan Aceh dan juga karena di situlah terletak ibukota kerajaan yang bernama Bandar Aceh atau Bandar Aceh Darussalam. Untuk nama Aceh Rayeuk ada juga yang menamakan dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Aceh Tiga Sagi).

diakses pada tanggal 6 Maret 2014,

  2 Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar adalah 2.974,12 Km , sebagian besar

  wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada di kepulauan. Sekitar 10% desa di Kabupaten Aceh Besar merupakan desa pesisir. Kabupaten Aceh Besar terdiri dari 23 kecamatan, 68 mukim dan 604 gampong. Wilayah kecamatan yang paling luas adalah Kecamatan Seulimeum yang meliputi lebih dari 16% dari luas wilayah Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan kecamatan yang mempunyai wilayah paling kecil yaitu Kecamatan Krueng Barona Jaya yang luasnya hanya 0,3% dari luas Kabupaten Aceh Besar. Jarak antara pusat-pusat kecamatan dengan pusat kabupaten sangat bervariasi. Kecamatan Lhoong merupakan daerah yang paling jauh, yaitu berjarak 106 km dengan pusat ibukota kabupaten (ibukota terletak di Kecamatan Kota

96 Jantho).

  Berdasarkan data BPS bekerjasama dengan BAPPEDA Provinsi Aceh tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Besar: tahun 2008 sebanyak 310.107 jiwa, tahun 2009 sebanyak 312.762 jiwa, tahun 2010 sebanyak 351.418 jiwa, tahun 2011 sebanyak 359464 jiwa dan tahun 2012 sebanyak 371.412 jiwa. Luas wilayah Kabupaten Aceh Besar 268.612 Ha, daerah yang terkena bencana tsunami seluas 695

   Ha dan daerah yang tidak terkena bencana tsunami 267.917 Ha.

B. Dampak Bencana Tsunami di Provinsi Aceh

  96 Badan Pusat Statistik, Aceh Besar in Figures, Aceh Besar dalam Angka 2013, (Jantho: BAPPEDA Kabupaten Aceh Besar dengan BPS Kabupaten Aceh Besar, 2013), hal. 3. 97 Badan Pertanahan Nasional, Proposal Penanganan Pasca Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara Bidang Pertanahan, (Banda Aceh: Badan

  1. Gambaran dan Dampak Bencana

98 Gempa bumi 9,1 Skala Richter yang terjadi 26 Desember 2004, merupakan

  salah satu gempa bumi terkuat sepanjang sejarah modern di bagian Barat Indonesia, merupakan peristiwa alam yang diakibatkan oleh tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah “jinak” selama lebih dari seribu tahun. Namun, adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600 Km patahan dengan keras. Episentrumnya terletak di 250 Km Barat Daya Provinsi Aceh. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolam air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

  Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 km ke arah 98 Secara garis besar gempa bumi dibagi menjadi dua, yaitu gempa bumi tektonik dan gempa

  bumi vulkanik. Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh pergeseran lapisan

batuan di dalam bumi. Gempa jenis ini bersifat regional (luas) dan dapat menimbulkan akibat

mengerikan bila guncangannya terjadi dalam skala besar. Sejumlah peristiwa dahsyat yang tercatat

sejarah akibat gempa tektonik, misalnya terjadi di Jepang pada tahun 1933 yang mengakibatkan 366.262 rumah warga di Tokyo hancur dan memakan korban 59.065 jiwa. Di Yokohama 11.615 rumah hancur, 23.440 orang meninggal, 3.183 orang hilang, dan 42.053 orang luka-luka. Tahun 1920 di Cina terjadi juga gempa tektonik yang menelan korban 200.000 jiwa. Di Indonesia, gempa

tektonik cukup besar terjadi tahun 1926 di Padang Panjang lalu di Jawa pada zaman pendudukan Jepang. Gempa yang disebut terakhir menelan korban dalam kisaran 4.000 orang. Sedangkan gempa

bumi jenis kedua adalah gempa vulkanik, gempa jenis ini tidak sedahsyat gempa tektonik karena

bersifat lokal. Artinya, getaran dari perut bumi hanya dirasakan oleh daerah yang dekat dengan wilayah gunung api. Radius getarannya pun tergantung pada besar kecilnya letusan gunung api. Lihat

Faizal Adriansyah, Aceh Laboratorium Bencana, (Banda Aceh: Acehpoint, 2012), hal. 6-7 dan 9. Bencana gempa bumi di Aceh yang diikuti dengan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 termasuk daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang, dan setelah tragedi itu 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000 an

   orang mendadak menjadi tunakarya.

  Skala bencana yang terjadi dapat dilihat dari besarnya jumlah korban manusia dan kerusakan yang ditimbulkannya. Sebanyak 16 (enam belas) kabupaten/kota mengalami kerusakan. Dari seluruh kabupaten/kota yang terkena bencana tsunami, kabupaten/kota yang mengalami kerusakan terparah adalah Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Jaya dan Kabupaten Aceh Besar. Desa yang terkena tsunami sebanyak 654 desa (11,4%) dan persentase keluarga miskin terkena tsunami sebesar

   15,16% (63.977 KK).

  Menurut Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III jumlah korban di 15

  

  kabupaten di Provinsi Aceh mencapai 126.602 meninggal dunia dan telah dimakamkan, serta hilang 93.638 orang (dari jumlah ini sebagian meninggal/ berada di pengungsian/di luar Aceh). Jumlah pengungsi sampai dengan tanggal 21 Maret

  

  2005 adalah sebanyak 514.150 jiwa di 21 kabupaten/kota. Secara keseluruhan, tragedi bencana gempa dan tsunami di Aceh memiliki dampak kerugian lebih dari

  

  97% dari PDRB Provinsi Aceh. Di bawah ini dapat dijelaskan lokasi tempat pengungsian dan jumlah para pengungsi. 99 BRR, Perumahan-Membentang Atap Berpilar Asa-Seri Buku BRR-Buku 7, (Jakarta: Penerbit BRR Bekerjasama dengan Multi Donor Fund dan UNDP, 2009), hal. viii. 100 101 Data UNSYIAH for Aceh Reconstruction, 7 Maret 2005. 102 Data Bakornas PBP, 21 Maret 2005, pukul 17.00 WIB. 103 Himpunan Laporan Satlak I, II, dan III.

  Republik Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias,

  Gambar II.1. Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005 Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota

  Jumlah Pengungsi Rumah/Tenda Barak/Huntara Total

  Darurat No. Kab/Kota

  1. Banda Aceh 48.360 1.561 49.921

  2. Aceh Besar 91.157 6.328 97.485

  • 3. Sabang 3.712 3.712

  4. Pidie 74.404 11.456 85.860

  5. Bireuen 46.768 3.035 49.860

  6. Aceh Utara 26.662 450 27.112

  7. Lhokseumawe 952 1.542 2.494

  8. Aceh Timur 13.182 527 13.709

  • 9. Langsa 6.156 6.156 10. 3.224 2.205 3.224

  Aceh Tamiang 11. 38.217 2.205 40.422

  Aceh Jaya 12. 70.804 1.885 72.689

  Aceh Barat 13. 16.560 480 17.040

  Nagan Raya 14. 3.480 3.480

  • 15. 16.148 - 16.148

  Aceh Barat Daya

  Aceh Selatan 16.

  • 17. 18.009 18.009

  105 105 Aceh Singkil

  Simeulue

Jumlah Pengungsi Rumah/Tenda Barak/Huntara Total

  Darurat No. Kab/Kota

  18. 648 648 Bener Meriah

  • 19. 5.288 5.288
  • 20. 234 234

  Aceh Tengah

  • 21. 611 611

  Gayo Lues

  • Total 484.576 29.574 514.150 Sumber: Laporan Satlak I Lhokseumawe tanggal 18 Maret 2005.

  Aceh Tenggara

  Tabel di atas menunjukkan, jumlah pengungsi terbanyak berada di Kabupaten Aceh Besar yaitu 97.485 orang sedangkan di Kota Banda Aceh jumlah pengungsi sebanyak 49.921 orang.

  Berdasarkan hasil penelitian, lokasi-lokasi pengungsian tersebut pada umumnya jauh dari lokasi tsunami dan lokasi asal pengungsi. Hal ini mempengaruhi pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat melalui kegiatan RALAS. Pelaksana RALAS dan masyarakat yang tinggal di lokasi bencana sebagai lokasi kegiatan RALAS sangat sulit untuk mengetahui dengan pasti keberadaan subyek hak

   atas tanah (masih hidup atau tidak).

  Hal tersebut senada dengan pernyataan warga masyarakat yang berada pada lokasi pengungsian, merasa kurang nyaman berada di lokasi pengungsian karena

   jauhnya lokasi pengungsian dengan gampong tempat asalnya.

  104 Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, Hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB. 105 Hasil wawancara dengan Fahrizal warga masyarakat Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa

  Hasil penilaian kerusakan dan kerugian yang dilakukan oleh Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan World Bank, menyatakan ada beberapa sektor yang mengalami kerusakan dan kerugian yang

  

  antara lain sebagai berikut: 1. sektor sosial, termasuk perumahan, pendidikan, kesehatan, agama dan budaya, kerusakan 13,657 dan kerugian 532 dengan total 16,186. 2. sektor infrastruktur, termasuk transportasi, komunikasi, energi, air dan sanitasi bendungan, kerusakan 5,915 dan kerugian 2,239 dengan total 8,154. 3. sektor produksi, termasuk agribisnis, perikanan, industri dan perdagangan, kerusakan 3,273 dan kerugian 7,721 dengan total 8,154. 4. lintas sektor, termasuk lingkungan, pemerintahan, bank dan keuangan, kerusakan 2,346 dan kerugian 3,718 dengan total 6,064.

  Selain keempat sektor di atas yang mengalami kerusakan dan kerugian akibat dampak yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami, terdapat juga beberapa aspek yang mengalami hal yang sama yaitu; aspek sosial dan kemasyarakatan, aspek ekonomi, infrastruktur, dan pemerintahan.

  Kerusakan pada aspek sosial dan kemasyarakatan mempengaruhi proses pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, dikarenakan fasilitas layanan kesehatan rusak seperti rumah sakit maupun alat-alat kesehatan, masyarakat yang menderita luka maupun trauma kurang maksimal dilayani, sehingga berdampak terhadap keaktifan masyarakat dalam proses pendaftaran tanah. Rusaknya rumah-rumah ibadah seperti meunasah juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, karena biasanya masyarakat Aceh selalu menggunakan fasilitas meunasah sebagai tempat bermusyawarah, termasuk 106

  Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) dan World Bank, Damage tempat berkumpulnya masyarakat dalam rangka membicarakan kesepakatan warga

   dan musyawarah terkait dengan pelaksanaan pendaftaran tanah.

  Aspek ekonomi meliputi sektor perindustrian, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah (UKM), pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan dan ketenagakerjaan. Dampak yang ditimbulkan dari kerusakan aspek ekonomi di bidang pertanahan adalah rendahnya nilai ekonomi tanah di lokasi bencana, hal ini disebabkan karena bukti kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat banyak yang musnah atau hilang begitu juga dengan batas-batas tanah yang hancur karena bencana

   sehingga tidak dapat diketahui lagi dengan jelas fisik tanahnya.

  Berdasarkan hasil wawancara dengan Fahrul Razi, mengatakan bahwa tanah di lokasi tsunami sulit untuk mencari pembelinya karena tidak ada bukti/alas hak dan

  

  kekhawatiran aspek keamanan dan kenyamanannya. Pernyataan tersebut sama dengan pernyataan Safrida warga gampong Baet Kecamatan Baitussalam Kabupaten

   Aceh Besar.

  Aspek infrastruktur meliputi bidang perumahan, perhubungan, energi, pos dan telematika, air minum dan sanitasi serta sumber daya air. Akibat rusaknya aspek infrastruktur terutama sarana dan prasarana transportasi, berdampak terhadap pelaksanaan pendaftaran tanah berbasis masyarakat yang dilaksanakan melalui 107

  Hasil wawancara dengan Bapak H.M. Ansari Yahya, Keucik Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 15.00 WIB. 108 Hasil wawancara dengan Irwansyah, Notaris/PPAT di Kota Banda Aceh, tanggal 17 Juni 2014, pukul 15.00 WIB. 109 Hasil wawancara dengan Fahrul Razi, warga masyarakat Gampong Baru, Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, tanggal 16 Juni 2014, pukul 17.00 WIB. 110 Hasil wawancara dengan Safrida, warga masyarakat Gampong Baet, Kecamatan kegiatan RALAS, dikarena sulitnya Tim Ajudikasi turun ke lokasi bencana untuk

  

  melaksanakan proses pendaftaran tanah. Infrastruktur pertanahan seperti gedung Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh mengalami kerusakan berat sedangkan gedung Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh hancur total, termasuk rusak/hilangnya

   dokumen pertanahan mengakibatkan pelayanan terhadap pertanahan terhambat.

  Moda transportasi yang dimiliki oleh BPN seperti: mobil dinas, sepeda motor dinas hilang/hancur terkena tsunami sehingga perlu pengadaan yang memerlukan

   biaya besar dan waktu yang lama.

  Aspek pemerintahan antara lain meliputi aparatur, sarana prasarana pemerintahan, batas administrasi. Kerusakan yang dialami oleh BPN di Provinsi Aceh pada aspek pemerintahan, antara lain: meninggalnya pejabat/staf BPN sebanyak 40 orang, 6 (enam) kantor hancur atau rusak parah termasuk perlengkapan survei, peralatan, komputer, buku tanah, dokumen-dokumen pertanahan serta terhambat/terhentinya pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Kondisi tersebut mempengaruhi terhadap pelaksanaan rekonstruksi pertanahan

   di Provinsi Aceh.

2. Upaya Penanggulangan Dampak Bencana

  111 Hasil wawaancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (mantan Project Manager Ralas tahun 2008) tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 Wib. 112 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari

  Selasa, 19 November 2013, pukul 11.00 WIB. 113 114 Ibid.

  Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usahan Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager Ralas Tahun 2006), di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013, Pukul 11.00 Upaya penanggulangan dampak bencana dilakukan melalui pelaksanaan tanggap darurat dan pemulihan kondisi masyarakat dan wilayah Aceh. Upaya penanggulangan dampak bencana tersebut dilakukan secara sistematis, menyeluruh, efisien dalam penggunaan sumberdaya dan efektif dalam memberikan bantuan kepada kelompok korban. Upaya penanggulangan dan pemulihan tersebut dilakukan dengan pendekatan secara utuh dan terpadu melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang harus berjalan secara bersamaan dalam

  

  pelaksanaan penanggulangan dampak bencana, lihat gambar di bawah ini: Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam Gempa Bumi dan

  Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Aceh dan Nias, Sumatera Utara. Sumber: Republik

  Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh

  dan Nias, Sumatera Utara, Buku Utama, (Jakarta: Maret 2005), hal. 2- 13.

  Penelitian ini terfokus pada tahapan rekonstruksi yaitu berkaitan dengan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Namun demikian secara umum diuraikan juga

  

  penanggulangan dampak bencana pada tahap tanggap darurat dan rehabilitasi, karena kedua tahapan ini akan mempengaruhi tahapan rekonstruksi pertanahan.

  Tahap tanggap darurat bertujuan menyelamatkan masyarakat yang masih hidup, mampu bertahan dan segera terpenuhinya kebutuhan dasar yang paling minimal. Sasaran utama dari tahap tanggap darurat ini adalah penyelamatan dan pertolongan kemanusiaan. Dalam tahap tanggap darurat ini, diupayakan pula penyelesaian tempat penampungan sementara yang layak, serta pengaturan dan pembagian logistik yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban bencana yang masih hidup. Saat bencana baru saja terjadi, tahap tanggap darurat ditetapkan selama 6 bulan setelah bencana, namun demikian, setelah ditetapkannya Inpres No. 1 Tahun 2005, tahap tanggap darurat ini kemudian diperpendek menjadi 3 bulan dan berakhir pada tanggal 26 Maret 2005.

  116 Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada

saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan

penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan,

pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Pasal 1 angka 10 UU No.

  24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 117 Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau

masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk

normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat

  Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) yang diketuai oleh Wakil Presiden telah mengkoordinasikan upaya-upaya kedaruratan pada tahap tanggap darurat yang mencakup:

   1.

  secepatnya menolong korban yang masih hidup; 2. secepatnya mengubur jenazah-jenazah korban; 3. secepatnya memperbaiki sarana dan prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban.

  Berdasarkan wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil BPN Provinsi Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2006), pada tahap tanggap darurat, telah melaksanakan kegiatan pertanahan dalam program pemulihan pasca bencana di Provinsi Aceh secara integral dan holistik dengan langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:

  1. kegiatan penyelamatan personil; 2. kegiatan penyelamatan dokumen (administrasi umum dan pertanahan); 3. kegiatan penyelamatan sarana dan prasarana; 4. kegiatan pembukaan pelayanan pertanahan terbatas (di posko); 5. kegiatan perawatan dan migrasi data/dokumen pertanahan (di posko); 6. kegiatan pembukaan kembali kantor dan pelayanan pertanahan optimal.

  

  Tahap rehabilitasi

   118

  Republik Indonesia, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias, Sumatera Utara, (Maret 2005), hal. 2-11.

  bertujuan mengembalikan dan memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti tahap

  119 Hasil wawancara dengan Kepala Bagian Tata Usaha (Mantan Project Manager RALAS tanggap darurat, seperti rehabilitasi mesjid, rumah sakit, infrastruktur sosial dasar serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan. Sasaran utama dari tahap rehabilitasi ini adalah untuk memperbaiki pelayanan publik hingga pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini, juga diupayakan penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek hukum melalui penyelesaian hak atas tanah, dan yang terkait dengan aspek psikologis melalui penanganan trauma korban bencana.

  Berdasarkan wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008), pada tahap ini, BPN telah melaksanakan beberapa langkah kegiatan pertanahan sebagai berikut:

   1.

  kegiatan penyiapan personil, 2. kegiatan penyiapan sarana dan prasarana, 3. kegiatan penyediaan peralatan teknis dan teknologi, 4. kegiatan penyiapan data yuridis dan data fisik, 5. kegiatan perawatan dan penyelamatan dokumen pertanahan.

  C.

  Rekonstruksi Pertanahan

   120

  Rehabilitasi meliputi perbaikan dan pemulihan: a. prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; b. prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; c. prasarana dan sarana kesehatan dan psiko-sosial; d. prasarana dan sarana kehidupan keagamaan serta adat istiadat; e. prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; f. hak-hak atas tanah dan bangunan; g. prasarana tempat tinggal sementara yang memadai dan manusiawi, dan h. prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Lihat

Pasal 4 Perpu No. 2 Tahun 2005. 121 Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh (Mantan Project Manager RALAS tahun 2008) di Banda Aceh, hari Selasa, 19 November 2013 Pukul 14.00 WIB. 122 Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisik/obyek dan subyek

  Rekonstruksi

  

  Rekonstruksi pertanahan dilaksanakan untuk mengembalikan setiap jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum bencana alam tsunami di Provinsi Aceh. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah kepada masyarakat di lokasi tsunami. pasca tsunami bertujuan membangun kembali kawasan kota, desa dan aglomerasi kawasan dengan melibatkan semua masyarakat korban bencana, para pakar, perwakilan lembaga swadaya masyarakat dan dunia usaha.

  Obyek rekonstruksi pertanahan tersebut meliputi tanah yang berada di lokasi bencana tsunami dan lokasi yang terkena dampak baik terhadap pemilik tanah yang berdomisili di lokasi bencana atau di luar lokasi bencana. Rekonstruksi pertanahan dilakukan melalui kegiatan pendaftaran tanah berbasis masyarakat.

  Berdasarkan wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, bahwa BPN melakukan rekonstruksi pemilikan dan penguasaan tanah masyarakat terkena bencana guna memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat melalui 123

  Pelaksanaan rekonstruksi meliputi: a. penataan ruang; b. penataan lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam; c. pembangunan prasarana dan sarana perumahan serta pemukiman; d. pembangunan prasarana dan sarana umum serta pelayanan publik; e. pembangunan prasarana dan sarana perekonomian yang mencakup perbankan, keuangan serta dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah; f. pembangunan prasarana dan sarana kehidupan keagamaan dan adat istiadat; g. pembangunan prasarana dan sarana pendidikan dan kebudayaan; h. penciptaan tenaga kerja yang menunjang kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan i. pembangunan prasarana dan sarana yang terkait langsung dengan normalisasi kegiatan pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat, dan j. pelaksanaan rekonstruksi lainnya sesuai dengan rencana induk dan rencana rinci. Lihat Pasal kegiatan RALAS. Dalam kegiatan RALAS masyarakat dilibatkan dan masyarakat mempunyai peranan penting terhadap kegiatan rekonstruksi pertanahan. Obyek kegiatan RALAS meliputi tanah yang berada dilokasi bencana tsunami termasuk bidang-bidang tanah yang telah dilakukan penataan melalui kegiatan konsolidasi

   tanah.

a. Maksud dan Tujuan RALAS

  RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration System) merupakan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh.

  Pengertian rekonstruksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 1996 diuraikan

  

  sebagai: “Pengembalian sebagai semula” atau “penyusunan (penggambaran) kembali”.

  Pengertian sistem adalah “Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas” atau “susunan yang teratur dari pandangan,

  

teori, asas dan sebagainya” atau “metode”.

  

  Pengertian administrasi dapat diuraikan sebagai berikut: “Usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi” atau “usaha dan kegiatan yang 124 berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan” atau

  Hasil wawancara dengan Kakanwil BPN Provinsi Aceh, di Banda Aceh, hari Selasa, tanggal 25 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB. 125 126 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.Cit, hal. 829. Ibid, hal. 950.

  “kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan” atau “kegiatan kantor dan tata usaha”. Sebagai perbandingan dikutip pendapat Dann Sugandha, dalam bukunya

  Kepemimpinan dalam Administrasi mengartikan “Administrasi adalah organisasi dan manajemen dari semua sumbernya agar secara berdaya guna dan berhasil guna dapat dicapai tujuan yang telah ditentukan.

  

  Selanjutnya dibandingkan dengan pendapat John M. Pfeifener dalam bukunya

  

Public Administration yang mengatakan “Administration may be defined as the

organization and direction of human and material resources to achieve desired

end”.

  

  Administrasi pertanahan termasuk dalam bidang Administrasi Negara (Public

  

Administration ). Administrasi Negara adalah sebagai keseluruhan kegiatan yang

  dilakukan oleh seluruh aparatur pemerintah dan suatu negara dalam usaha mencapai tujuan negara.

  

  Dalam fungsinya, administrasi negara mempunyai tugas utama yakni:

  

  1. menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai (organization goal); 2. menentukan kebijaksanaan umum yang menyangkut seluruh organisasi (general and over all policies).

  128 Dann Sugandha, Kepemimpinan dalam Administrasi, dalam Rusmadi Murad, Administrasi

  

Pertanahan: Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek, Cetakan I, Edisi Revisi, (Bandung:

Mandar Maju, 2013), hal. 1. 129 Rusmadi Murad, Op.Cit. 130 Sondang Siagian, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, MCMLXXVV), hal.8.

  

  Rochmat Soemitro membedakan pengertian administrasi dalam arti luas sebagai terjemahan “administration” yaitu “Bestuur van de staat, de provincien, de

  

waterschappen, de gemeenten en grote maatschappijen. In de U.S. verstaat men

order ‘the administration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder

begrepen” (…. Pemerintah suatu negara, provinsi, subak, kota-kota dan maskape-

  maskape besar. Di Amerika Serikat dengan kata “the administration” dimaksudkan keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden) dan dalam arti sempit dalam pengertian “tata usaha” yaitu “Elke stelselmatige, schrifelijke vastlegging en

  ordening van gegevens, samengesteld met het doel een overzicht vandeze gegevens te

verkrijgen in hun onderling verband. Niet alle losse gecompileerde verzamelinggen

van aantekeningen kan men als administratie qualificeren” (Setiap penyusunan

  keterangan yang dilakukan secara tertulis dan sistematis dengan maksud untuk mendapatkan suatu ikhtisar dari keterangan-keterangan itu dalam keseluruhan dan dalam hubungannya satu dengan yang lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi). Selanjutnya Rochmat Soemitro, bahwa dalam kegiatan “administrasi” telah termasuk kegiatan “tata usaha” dengan kata lain “tata usaha” sebagai bagian dari kegiatan “administrasi”.

  Pertanahan yang dimaksud di sini merupakan suatu kebijaksanaan yang digariskan oleh Pemerintah dalam mengatur hubungan hukum antara tanah dengan orang sebagaimana yang ditetapkan oleh UUD 1945 dan dijabarkan dalam UUPA, 132

  Rochmat Soemitro dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap sehingga menurut Rusmadi Murad administrasi pertanahan adalah suatu usaha dan kegiatan suatu organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  

  Berdasarkan kajian RALAS merupakan kerangka kebijakan untuk merekonstruksi hak atas tanah di Provinsi Aceh atau sebagai suatu usaha pengembalian sebagaimana keadaan semula semua unsur-unsur (perangkat) organisasi dan manajemen yang berkaitan dengan penyelenggaraan kebijaksanaan pemerintah di bidang pertanahan dengan mengerahkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan di Provinsi Aceh pasca terjadi gempa bumi dan tsunami.

  Adapun yang menjadi tujuan RALAS adalah:

   1.

  memulihkan dan melindungi terhadap hak atas tanah masyarakat di daerah tsunami;

  2. membangun kembali (merekonstruksi) sistem administrasi pertanahan; 3. meningkatkan jaminan kepastian hak atas tanah; 4. meningkatkan efisiensi dan transparansi serta kualitas pelayanan pertanahan; 5. memperbaiki kapasitas kelembagaan untuk melaksanakan fungsi manajemen pertanahan secara efisien sesuai dengan Agenda Kepala Badan Pertanahan

  Nasional. Sasaran spesifiknya adalah untuk:

  1. memulihkan dan memproteksi pemilikan tanah masyarakat di sekitar wilayah bencana; dan 2. membangun kembali sistem administrasi pertanahan. 133 Rusmadi Murad, Op.Cit, hal. 2-3. 134 Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh, RALAS (Reconstruction of Aceh Land Administration

  Pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah itu penting untuk dilakukan segera, oleh karena itu pemulihan dan proteksi itu menempatkan pondasi yang solid bagi pekerjaan rekonstruksi, perencanaan spasial, kompensasi dan pembangunan ekonomi jangka panjang. Selain itu, pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah juga penting

   untuk membangun keadilan sosial dan menjamin stabilitas sosial jangka panjang.

  BPN melakukan pemulihan dan proteksi hak-hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana tsunami termasuk di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar sehingga masyarakat, pemilik tanah atau ahli waris korban bencana mendapatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanahnya.

b. Komponen dan Lokasi Kegiatan RALAS

  RALAS melaksanakan rekonstruksi pertanahan terhadap 3 (tiga) komponen kegiatan. Ketiga komponen kegiatan RALAS adalah;

  Pertama penerbitan sertipikat hak-hak atas tanah, yang meliputi kegiatan:

  rekonstruksi data-data pertanahan, ajudikasi berbasis masyarakat dan kepedulian serta partisipasi masyarakat, pengukuran dan pemetaan, pendaftaran serta penerbitan sertipikat hak atas tanah, dan kebijakan dan isu-isu yang terkait dengan peraturan perundang-undangan.

  Kedua, merekonstruksi kelembagaan BPN di Aceh, yang meliputi kegiatan:

  rekonstruksi fasilitas dan pengadaan peralatan dan furniture, pelatihan dan

  135 Joyo Winoto, “Reconstruction of Land Administration System in Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) and Nias”, Makalah padaExpert Group Meeting on Secure Land Tenure: New pengembangan kapasitas, dan komputerisasi dan pengembangan sistem cadangan (back up system).

  Ketiga, manajemen proyek, meliputi: dukungan terhadap manajemen proyek,

  pemantauan dan evaluasi serta mekanisme penanganan pengaduan, dan bantuan teknis terhadap pelaksanaan kegiatan.

  RALAS menetapkan 3 (tiga) kriteria lokasi prioritas. Ketiga kriteria prioritas lokasi RALAS tersebut, yaitu: wilayah yang akan menjadi prioritas utama pembangunan kembali infrastruktur/perumahan, wilayah yang terkena langsung tsunami dan lokasi terpilih di sekitar lokasi yang terkena langsung tsunami.

  Berdasarkan asil penelitian, pendaftaran tanah melalui kegiatan ajudikasi RALAS dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun anggaran, yaitu:

  Lokasi kegiatan RALAS tahun 2005 adalah 2 (dua) kabupaten/kota yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, dengan total target sebanyak 50.000 bidang tanah, terdiri dari 30.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh dan 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar.

  Lokasi kegiatan RALAS tahun 2006 adalah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota yaitu Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, dan Kabupaten Nagan Raya. Target pensertipikatan tanah di kesembilan lokasi tersebut sebanyak 150.000 bidang tanah, terdiri dari 15.000 bidang tanah di Kota Banda Aceh, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 25.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya.

  Lokasi kegiatan RALAS tahun 2008 adalah 13 (tiga belas) kabupaten/kota yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Singkil dan Kabupaten Simeulue. Target pensertipikatan tanah di ketiga belas lokasi tersebut sebanyak 110.000 bidang tanah, terdiri dari 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Besar, 20.000 bidang tanah di Kabupaten Pidie, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Bireuen, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Utara, 5.000 bidang tanah di Kota Lhokseumawe, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Timur, 15.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Jaya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Nagan Raya, 10.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Selatan, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Aceh Barat Daya, 5.000 bidang tanah di Kabupaten Singkil dan 5.000 bidang tanah di Kabupaten Simeulue.

  Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa obyek kegiatan RALAS meliputi pendaftaran bidang-bidang tanah di lokasi tsunami atau yang terkena dampak dari bencana tsunami. Namun demikian pelaksanaan pendaftaran tanah juga dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang menjadi obyek kegiatan konsolidasi tanah di

c. Konsolidasi Tanah

  Konsolidasi tanah adalah suatu metode pembangunan yang merupakan salah satu kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah dengan Rencana Tata Guna Tanah/Tata Ruang dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumber daya alam.

  

  Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah menyatakan bahwa: “Konsolidasi Tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat dengan mewujudkan suatu tatanan penguasaan serta penggunaan tanah yang tertib dan teratur”.

  Partisipasi aktif masyarakat berwujud kesepakatan para pemegang hak atas tanah dan/atau penggarap tanah negara yang menjadi objek konsolidasi tanah, yang menjadi Peserta Konsolidasi Tanah (PKT) untuk melepaskan hak atas tanah dan penguasaan fisik atas tanah-tanah yang bersangkutan, yang sebagian ditata kembali menjadi satuan-satuan baru yang akan dikembalikan kepada mereka dan sebagian lain merupakan sumbangan untuk pembangunan prasarana jalan dan fasilitas-fasilitas lain serta pembiayaan pelaksanaan konsolidasi.

  

  Pemberian hak atas satuan-satuan tanah baru tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pemberian keringanan- 136

  Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam Konteks UUPA - UUPR- UUPLH, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 309. 137

  Pasal 1, Pasal 6 dan Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang keringanan tertentu bagi para Peserta Konsolidasi Tanah mengenai kewajiban- kewajiban finansialnya.

  

  Prinsip konsolidasi tanah adalah sebagai berikut:

  

  1. kegiatan konsolidasi tanah membiayai dirinya sendiri; 2. adanya “land polling” yang juga merupakan ciri khas konsolidasi tanah; 3. hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah; 4. konsolidasi tanah melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah; 5. tanah yang diberikan kembali kepada pemilik mempunyai nilai lebih tinggi daripada sebelum konsolidasi tanah.

  Konsolidasi tanah meliputi kegiatan penataan kembali bidang-bidang tanah termasuk haknya dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah secara langsung.

  Pengaturan bentuk-bentuk tanah yang semula terpecah-pecah dan tidak teratur menjadi bidang tanah yang teratur, baik bentuk maupun tata letaknya, dilakukan dengan cara:

  1. penggeseran letak; 2. penggabungan; 3. pemecahan; 4. penukaran; 5. penaatan letak; 6. penghapusan letak.

  Lokasi konsolidasi tanah kemudian dilengkapi dengan prasarana dan fasilitas yang diperlukan, seperti jalan, jalur hijau sehingga menghasilkan pemanfaatan tanah

  138

Pasal 8 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah. yang optimal dan memenuhi berbagai persyaratan, agar menunjang kecepatan pembangunan dan pengembangan kota sesuai dengan rencara tata ruang.

  Bagi pemilik tanah, langsung menikmati nilai tambah atas tanahnya dan mendapatkan jaminan kepastian hukum hak atas tanahnya. Walaupun luas tanah yang diberikan kembali kepada pemilik tanah lebih kecil daripada sebelum konsolidasi, namun nilainya menjadi lebih tinggi karena di wilayah letak tanah tersebut sudah tersedia fasilitas jalan dengan kavling yang teratur.

  Konsolidasi tanah pada pokoknya bertujuan menyediakan tanah untuk kepentingan pembangunan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta

   memberikan pemanfaatan tanah yang optimal.

  Secara sadar rakyat diajak ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan dalam rangka merealisasikan trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Tanah tersedia untuk prasarana jalan dan fasilitas umum tanpa ganti rugi. Lingkungan tertata secara baik sesuai dengan rencana tata ruang. Sasaran konsolidasi

Dokumen yang terkait

Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum

3 94 390

Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Rekonstruksi Sosial Ekonomi Pasca Gempa Bumi Dan Gelombang Tsunami

2 48 105

PERANAN UNITED NATIONS CHILDREN'S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI CHILD TRAFFICKING DI ACEH PASCA TSUNAMI

0 9 1

PERAN BAITUL MAL DALAM PENGELOLAAN TANAH YANG KEHILANGAN PEMILIK DAN AHLI WARIS PASCA TSUNAMI DI ACEH

0 0 14

STRATEGI PEMBANGUNAN ISLAM DI ACEH PASCA TSUNAMI MENUJU TERWUJUDNYA MASYARAKAT RELIGIUS

0 0 14

Janji Negara Donor Tsunami Aceh Dalam Perspektif Hukum Intemasional

0 0 13

BAB II PELAKSANAAN SERTIFIKASI HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI AJUDIKASI PASCA BENCANA TSUNAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Band

0 0 69

BAB II ATURAN - ATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI SUAKA A. Pengertian dan Istilah Pencari Suaka - Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengusiran Pencari Suaka Di Australia Menurut Hukum Internasional

0 0 22

BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG ORANG TUA DALAM MEMBERIKAN HAREUTA PEUNULANG DI KABUPATEN ACEH BESAR A. Deskripsi Daerah Penelitian - Pelaksanaan dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan Melalui Hareuta Peunulang di Ka

0 0 36

BAB II BAPPEDA KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI ACEH A. Sejarah Ringkas - Sistem Pengendalian Internal Gaji Dan Upah Pada Bappeda Kabupaten Aceh Timur Provinsi Aceh

0 0 13