Pemanfaatan Modal Sosial Dalam Rekonstruksi Sosial Ekonomi Pasca Gempa Bumi Dan Gelombang Tsunami

(1)

PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM REKONSTRUKSI

SOSIAL EKONOMI PASCA GEMPA BUMI DAN

GELOMBANG TSUNAMI

(

Studi Kasus Pada Pelaksanaaan Credit Union BSP Makmur Ratana di Kuta Geulumpang Kec. Samudra Gedong kabupaten Aceh Utara )

TESIS

OLEH :

Mauludi

NIM 047024008/SP

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana tsunami. Dalam penelitian ini difokuskan pada pelaksanan Credit Union BSP Makmur Ratana yang beroperasi pada wilayah kampung Geulupang.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif .Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kuta Geulumpang Adapun pertimbangan pemilihan lokasi penelitian ini adalah mengingat bahwa Kuta Geulumpang Kecamatan Samudra Gedung Kabupaten Aceh Utara yang merupakan salah satu wilayah yang terkena bencana Tsunami yang sedang dalam tahap rekonstruksi. Untuk memenuhi kebutuhan akan data dan informasi untuk kebutuhan penelitian ini dipergunakan pendekatan-pendekatan yang sesuai dengan tipe penelitian. Metode pengumpulan data menggunakan teknik, interview, observasi dan studi dokumentasi.

Adapun hasil dari penelitian ini menunjukkan keberhasilan rekayasa modal sosial dalam membentuk lembaga keuangan swadaya masyarakat (Credit Union) dimana pembentukan Credit Union telah berhasil mengembangkan potensi ekonomi masyarakat Geulumpang dan juga telah mampu mendongkrak perkembangan dunia usaha masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa orang miskin bukan hanya perlu uang saja untuk keluar dari keadaannya yang miskin itu. Yang diperlukan adalah pembinaan dan pendampingan. Pembinaan dan pendampingan tersebut tersedia oleh.Credit Union bukan hanya berperan sebagai lembaga simpan pinjam, tetapi juga mendidik dan menyejahterakan anggotanya dalam banyak hal. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus berperan lebih aktif dalam mengembangkan Credit Union . Seharusnya lebih ditingkatkan lagi peran serta pemerintah dalam mensukseskan Credit Union di Indonesia dalam bentuk: bantuan, motivasi, pendampingan, pembinaan dan pelatihan.


(3)

ABSTRACT

The aim of this research is to acknowledge the profitable sosial capital in reconstruction sosial economic by Credit Union program for victim of Tsunami disaster. The focus of this research is the implementation of program Credit Union BSP makmur Ratana that was operatein Kampung Geulumpang.

The type of this research is descriptive. The location of research was doing in Kuta geulumpang. The reason to choose this location by consideration that Kuta Geulumpang, Kecamatan samudera Gedung kabupaten Aceh Utara was the one of the reconstruction area pasca natural disaster (tsunami). The data was collect by , interview, observation (perseption) and documentation study.

The result of this research show the successfully of profitable of sosial capital to build an finance foundation by Credit Union, where the Credit Union support the expand of economic potension of Geulupang people, and other side to grow up the trade and business society. Based on the results of this research it can be concluded that the poor do not just need money to be relieved of their situation. What is needed is both cultivation and guidance. This cultivation and guidance is provided by credit cooperatives. Not only do credit cooperatives play a role as a credit institution, but also educate and enhance the welfare of their members in a variety of ways. Because of this the Indonesian people should be providing encouragement, cultivation and financial aid in order to continue the success of credit cooperatives in Indonesia


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaiakan penyususnan tesis ini dengan judul “ PEMANFAATAN MODAL SOSIAL DALAM REKONSTRUKSI SOSIAL EKONOMI PASCA GEMPA BUMI DAN GELOMBANG TSUNAMI (Studi Kasus Pada Pelaksanaaan Credit Union BSP Makmur Ratana di Kuta Geulumpang Kec. Samudra Gedong kabupaten Aceh Utara)

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan keiklasan hati telah banyak memberikan bantuan moril dan materil untuk kelancaran studi dan penulisan tesis ini, yaitu :

1. Bapak Prof.Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Ir. Chairun Nisa, B. Msc, MS., selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Dr. Subhilhar, MA, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Drs. Badaruddin, M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini

5. Bapak Drs. Irfan, M.Si, selaku dosesn Pembimbing II, yang telah memberikan waktu dan pemikiran dalam penyelesaian tesis ini


(5)

6. Para pengurus dan staff BSP MAKMUR Ratana yang telah memberikan dukungan dan bantuan guna kelancaran studi ini.

7. Segenap civitas akademika, terutama dosen dan staff sekretariat Sekolah Pasca Sarjana Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pelayanan akademik dan administratif guna kelancaran studi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut andil dan memberi bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan atas segala saran dan kritik untuk penyempurnaan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Januari 2008


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.3 . Manfaat Penelitian ... 7

1.3. Kerangka Pemikran ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Modal Sosial ... 11

2.2. Rekonstruksi sosial ... 23

2.3. Pemberdayaan masyarakat ... 25

2.4. Koperasi Sebagai Penjelmaan Ekonomi Kerakyatan... 36

2.5. Credit Union... 46

BAB III METODE PENELTIAN ... 50

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Defenisi Konsep ... 50

3.5. Informan ... 51

3.6 Teknik Pengumpulan Data... 51

3.6 Lokasi Penelitian ... 51


(7)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 53

4.1. Sejarah Desa Kuta Geulumbang ... 53 4.2. Rekayasa Modal Sosial Sebagai Pondasi

Pembentukan Credit Union... ... 59 4.3.Credit Union Sebagai Alternatif Rekonstruksi

Sosial Ekonomi Masyarakat ... 67 4.4. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Credit Union ... 75

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN ... 77 SARAN ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Permasalahan

Pasca bencana gempa bumi dan gelombang tsunami telah membawa pada kondisi yang sangat memprihatinkan dengan melihat kerusakan fisik yang sangat parah di propinsi NAD dan Sumatera Utara. Penderitaan masyarakat Aceh yang demikian lama akibat konflik bersenjata yang panjang, ditambah lagi dengan bencana gempa dan tsunami, telah menempatkan mereka pada posisi yang semakin terpuruk. Dengan kata lain pembangunan kembali masyarakat Aceh harus dilakukan dengan membangun (kembali) prakondisi yang diperlukan agar Aceh bangkit. Demikian halnya masyarakat pulau nias Propinsi Sumatera Utara yang mengalami bencana dapat segera memulihkan kondisi sosial ekonominya.

Berbagai infrastruktur sosial dan ekonomi, terutama yang berada di wilayah perkotaan mengalami kerusakan berat/hancur. Diperkirakan akibat gempa tersebut 90% masyarakat, terutama di perkotaan mengalami kehilangan mata pencaharian. Pasca gempa, banyak program bantuan masuk ke Aceh, baik yang berasal dari Pemerintah RI maupun dari berbagai negara donor, pihak swasta, organisasi masyarakat sipil, politik, relawan dan pihak lainnya. Bantuan yang diberikan terbagi dalam 2 kategori besar, yaitu yang bersifat darurat dan bersifat membangun kembali (rekonstruksi, rehabilitasi dan pemulihan). Saat ini, bantuan darurat secara umum telah dinyatakan selesai, sedangkan bantuan rekonstruksi, rehabilitasi dan pemulihan masih dalam tahap implementasi.


(9)

Presiden RI mengeluarkan Keputusan Presiden tanggal 27 Desember 2004 yang menyatakan bencana alam gempa bumi dan gelombang tsunami di wilayah Aceh dan Nias Sumatera Utara sebagai bencana nasional, dan selanjutnya juga mengeluarkan arahan berupa 12 direktif kepada seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu dan Gubernur Provinsi NAD untuk melakukan tindakan yang segera dan komprehensif di dalam penanganan tanggap darurat bencana alam tersebut. Sebagai tindak lanjut dari arahan direktif tersebut, telah diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam .

Permasalahan di Aceh itu sendiri tidaklah hanya terbatas pada tatanan kegiatan rekontruksi dan rehabilitasi, namun juga merupakan sintesa antara bencana gempa bumi dan tsunami serta konflik yang berkepanjangan. Permasalahan utama kenapa kemampuan seluruh pakar yang berkecimpung di Aceh dalam kegiatan rehabilitasi dan rekontruksi seperti tidak kelihatan hasilnya lebih dikarenakan oleh beberapa faktor utama, diantaranya:

1. Rusaknya struktur sosial akibat konflik yang berkepanjangan 2. Rusaknya infrastruktur pemerintahan dan pendidikan

3. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pemerintah (formal), baik dalam skala lokal maupun skala yang lebih besar.

4. Konflik juga mentransformasikan sebagian besar masyarakat Aceh mejadi masyarakat dengan pola pikir yang cendrung tertutup. (www.kompas.co.id) Setelah selesainya masa emergency, hal yang paling perlu dilaksanakan adalah kegiatan sustainable yang dapat mendukung ekonomi masyarakat pada


(10)

pengembangan ekonomi berdasarkan jenis usahanya. Adapun alasan diadakan program rekonstruksi sosial ekonomi masyarakat adalah berdasar pada sulitnya masyarakat dalam mengembangkan ekonominya karena mayoritas masyarakat banyak yang kehilangan matapencahariannya akibat dari bencana alam gempa bumi dan tsunami. Pola hidup masyarakat saat ini hanyalah bergantung kepada kapasitas alam tanpa memikirkan suatu hal yang baru yang dapat merobah keadaan menjadi lebih baik karena kurangnya pengetahuan mereka.

Melihat kondisi masyarakat yang terkena musibah tersebut perlu adanya satu persiapan sosial dan pemanfatan potensi modal sosial yang didasari kepada kemampuan masyarakat untuk dapat menemukan kembali jati dirinya. Adapun hasil yang diinginkan dari pemanfaatan potensi modal sosial tersebut adalah untuk membangun dan memulihkan kondisi yang lama ke kondisi yang baru sehingga terbentuk program pembangunan yang didasari kepada norma-norma dan hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat sehingga orang-orang dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Intinya adalah kemampuan masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri tujuan-tujuan mereka. Dengan menggali kembali modal sosial tersebut, masyarakat kembali tumbuh kepercayaan dan jati dirinya untuk menata kembali kehidupan dan mengharapkan masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan tersebut.

Kabupaten Aceh Utara merupakan daerah yang turut tertimpa musibah akibat gempa bumi dan gelombang Tsunami tersebut. Dari 22 kecamatan di Kabupaten Aceh Utara terdapat 7 (tujuh) kecamatan yang terkena langsung gelombang tsunami tersebut. Untuk pemulihan kondisi hasil dari dampak musibah tersebut di Kabupaten Aceh Utara terutama terhadap kerusakan infrastruktur dan


(11)

sufrastruktur yang begitu dasyhat, maka perlu di cari solusi alternatif agar masyarakat Aceh, khususnya Aceh Utara dapat kembali melangsungkan tatanan kehidupan yang normal seperti sebelum terjadinya musibah tersebut.

Modal sosial bisa dikatakan sebagai sumberdaya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumberdaya tentunya modal sosial ini memberikan kekuatan atau daya dalam beberapa kondisi-kondisi sosial dalam masyarakat. Putnam (1993) menemukan bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan masyarakat Madani (civil community). Menurut Fukuyama (1995) justru semakin bertambah bobotnya apabila semakin intensif di daya gunakan modal sosial itu.

Putnam (dalam Badaruddin.2002) menyebutkan bahwa modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama dari organisasi sosial,seperti kepercayaan (trust),norma-norma (norms) dan jaringan –jaringan (networks) yang dapat meningkatkan efisiensi dalam suatu masyarakat melalui fasilitas bagi tindakan-tindakan yang terkoordinasi.

Modal sosial dapat terwujud di dalam kelompok sosial terkecil (keluarga) hingga kelompok sosial terbesar (negara). Pada hakekatnya semua kelompok masyarakat memiliki sejumlah modal sosial karena modal sosial tercipta dari dinamika budaya masing-masing kelompok (Lister, 2002 : 11 ).

Modal sosial merupakan norma-norma dan hubungan-hubungan sosial yang mengakar dalam struktur masyarakat,sehingga orang-orang dapat mengkoordinir tindakan untuk mencapai tujuan. Secara sederhana Modal sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk mengkoordinir diri sendiri dalam memperjuangkan tujuan-tujuan mereka .


(12)

Sebelum terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami, kehidupan masyarakat Aceh Utara dalam menjalankan aktifitasnya selalu bergotong royong bekerja sama bahu membahu melaksanakan kegiatan saling bergandeng tangan dan mengedepankan musyawarah mufakat, kepercayaan,jaringan-jaringan mengikuti pranata-pranata yng sudah ada sejak dulu..”

Untuk mengembalikan dan pemulihan kondisi dari dampak gempa bumi dan gelombang tsunami yang telah meluluh lantakkan seluruh sendi-sendi dan potensi masyarakat yang ada di kabupaten Aceh Utara .Maka perlu di gali kembali potensi modal sosial yang ada dan pernah ada di NAD khususnya di kabupaten Aceh Utara untuk dapat menata kembali kehidupan dan pembangunan masyarakat itu sendiri sehingga tidak tergantung kepada bantuan orang lain.

Salah satu alternative tindakan yang diimplementasikan dalam hal perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat adalah dengan mensosialisasikan program Credit Union dengan mengandalkan pondasi pada modal sosial masyarakat yang ada selama ini. Dimana dengan konsep kredit simpan-pinjam ini diharapkan dapat menjadi penopang pergerakan dan aktivitas kehidupan masyarakat korban bencana. Program tersebut diharapkan dapat membawa masyarakat kepada era perbaikan kualitas hidup dan juga kepada ikatan solidaritas sosial untuk bersama-sama mengembangkan kesejahteraan bersama dimana konsep koperasi kredit merupakan milik dan tanggung jawab bersama para anggota untuk memupuk semangat solidaritas dan sikap saling tolong menolong .


(13)

1.2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pemanfaaatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana tsunami?

1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana tsunami di Kuta Geulumpang

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dalam pemanfaatan modal sosial dalam rekonstruksi sosial ekonomi melalui Credit Union bagi korban bencana tsunami di Kuta Geulumpang.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

2. Bagi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah


(14)

KERANGKA BERPIKIR

Kepercayaan

Jaringan sosial

Modal sosial Rekayasa

modal sosial sosial ekonomi Rekonstruksi melalui

Credit union

Perbaikan kondisi sosial

ekonomi masyarakat

Pranata sosial

Kerangka pemikiran diatas merupakan gambaran sebuah kondisi pemanfaaatan modal sosial dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat Aceh pasca bencana tsunami. Proses ini dimulai dari pemetaan sumber-sumber modal sosial yang terdiri dari nilai-nilai kepercayaan, jaringan sosial dan pranata sosial yang ada pada masyarakat setempat. Sumber-sumber modal tersebut


(15)

kemudian akan dijadikan fondasi perbaikan kondisi ekonomi masyarakkat melalui usaha swadaya masyarakat itu sendiri dengan menggunakan media yang disebut dengan Credit Union. Credit Union ini merupakan sebuah pilihan strategi rekonstruksi sosial ekonomi masyarakat yang mengandalkan kepada swdaya masyarakat tersebut untuk keluar dari keterpurukan yang ada. Melalui Credit Union ini diharapkan tercipta perbaikan-perbaikan tatanan kehidupan sosial terutama ekonomi masyarakat karena pada dasarnya kekuatan dan keberhasilan Credit Union ini terletak pada masyarakat itu sendiri.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Modal sosial

Konsep modal sosial (sosial capital) diperkenalkan Robert Putnam (1993) sewaktu meneliti Italia pada 1985. Masyarakatnya, terutama di Italia Utara, memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi karena tiap indvidu punya minat besar untuk terlibat dalam masalah publik. Hubungan antar masyarakat lebih bersifat horizontal karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Sementara itu, Putnam prihatin atas kecenderungan runtuhnya jalinan sosial masyarakat Amerika. Adanya televisi memberikan kontribusi bagi terciptanya "couch potato syndrome". Kebiasaan orang Amerika "nongkrong" di depan layar televisi berjam-jam sebagai cerminan hidup yang sangat individualistik.

Menurut Putnam (1993), modal sosial adalah kemampuan warga untuk mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002) mengatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat diselenggarakan dengan mudah.

Pengertian modal sosial, dalam kajian ilmu-ilmu sosial kontemporer, terkait dengan perilaku kooperatif yang terorganisasikan secara horisontal, meski sering kali tidak formal, yang bisa mendorong pada adanya keteraturan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di samping itu, dalam modal sosial ini terkandung pula hubungan saling mempercayai di antara warga


(17)

masyarakat dan antara masyarakat dengan negara, bukan hubungan-hubungan dominasi dan otoritarianisme.

Dalam rumusan Robert D. Putnam (1993), modal sosial menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran dan pada gilirannya diperkuat oleh kemakmuran tersebut.

Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina perantauan (overseas Chinese) melalui apa yang disebut dengan network capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia, mendorong pada kemampuan kompetitif mereka dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga dagangnya. Pendirian perkumpulan satu dialek bahasa dan jaringan keluarganya, siang hwee (kamar dagang), memungkinkan mereka bisa saling membantu dan mempercayai satu sama lain dalam transaksi ekonomi modern tanpa harus melalui lembaga ekonomi formal yang birokratis.

Putnam juga mengajukan contoh mengenai kuatnya modal sosial masyarakat Italia Utara yang sejak berabad-abad lalu memiliki jaringan horisontal


(18)

di antara kelompok-kelompok masyarakatnya, yang mengembangkan budaya politik yang menekankan pada otonomi, kerja sama, toleransi, dan penghormatan pada hukum, sehingga memungkinkan berkembangnya demokrasi partisipatif dan ketertiban. Sebaliknya, organisasi sosial di Italia Selatan sangat hierarkhis, dengan dominasi dan hegemoni kelompok elite, budaya politiknya berpola atasan-bawahan (clientelistic) dan otoriter, yang dilambangkan dengan penguasaan mafia yang mencolok.

Masyarakat Italia Selatan mengembangkan hubungan sosial yang vertikal, memiliki ketergantungan yang luas pada keluarga, dan kepercayaan sosial pada nonkeluarga yang rendah, karena lembaga-lembaga publik yang ada tidak dapat diandalkan untuk terciptanya rasa keamanan dan perlindungan. Juga ada kecurigaan meluas pada negara dan otoritas yang lebih tinggi. Di sini jaringan sosial vertikal mencakup hubungan-hubungan asimetri dan eksploitasi, yang mendorong pada munculnya ketimpangan sosial-ekonomi dan tindak kekerasan.

James S. Coleman (1990) melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok-kelompok perantau di berbagai daerah lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekerabatan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupannya itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan komoditas dan keterampilan tertentu di daerah perantauan.


(19)

Kiranya cukup penting untuk mengetengahkan konsep modal sosial yang diajukan Francis Fukuyama (1999), yang tulisan-tulisannya dianggap kontroversial, tetapi populer, yang menekankan bahwa modal sosial memiliki kontribusi cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan dinamika ekonomi. Dalam konsepsi Fukuyama, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka.

Apabila anggota kelompok mengharapkan anggota-anggotanya berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya organisasi menjadi lebih efisien dan efektif. dalam konteks ini, berarti modal sosial bukan hukum atau aturan formal, tetapi norma informal yang mempromosikan perilaku konsesual dan kerja sama yang juga di dalamnya terkandung kejujuran, pemenuhan tugas dan tanggung jawab, saling mengendalikan, dan kesediaan untuk saling menolong.

Keluarga, dilihat Fukuyama, merupakan sumber penting bagi modal sosial. Sebagai contoh, betapa pun rendah opini orang tua Amerika atas anak-anak mereka yang berusia belasan tahun, jauh lebih mungkin di antara mereka saling mempercayai dan bekerja sama ketimbang dengan orang asing. Inilah alasan mengapa sebenarnya seluruh kegiatan bisnis dimulai dari keluarga. Di Cina dan Amerika Latin, keluarga sangat kuat dan kohesif, tetapi ia sangat sulit untuk memercayai orang asing, sehingga tingkat kejujuran dan kerja sama dalam kehidupan publik jauh lebih rendah dan ini mendorong pada terjadinya nepotisme dan korupsi pada lembaga-lembaga publik. Reformasi agama Protestan menjadi


(20)

bermakna bukanlah karena ia mendorong kejujuran, kesediaan saling menolong, dan kepedulian di antara para wiraswastawannya, tetapi kebajikan-kebajikan itu dipraktikkan secara luas di luar keluarga, terutama pada lembaga-lembaga publik.

Fukuyama (1999) menyebutkan, bahwa modal sosial menunjuk pada seperangkat sumber daya yang melekat dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial anak. Kerja sama dalam keluarga itu dimungkinkan karena adanya fakta biologis yang kodrati dan itu tidak hanya memperlancar dan memudahkan jenis-jenis aktivitas sosial lainnya, seperti menjalankan bisnis. Dalam dunia sekarang ini pun banyak perusahaan besar yang impersonal dan birokratis sebagian besar dijalankan oleh keluarga. Tapi kebergantungan berlebihan atas ikatan kekerabatan itu bisa menimbulkan konsekuensi negatif atas masyarakat luas. Dalam penglihatan Fukuyama, banyak kebudayaan, mulai dari Cina, Eropa Selatan, hingga Amerika Latin yang mempromosikan familisme, yakni peningkatan ikatan kekerabatan, tetapi itu mengakibatkan kewajiban moral atas otoritas publik dalam segala bentuknya menjadi lemah.

Tetapi Fukuyama mengakui, ada modal sosial yang diproduksi dan disosialisasikan institusi publik, yakni melalui sistem pendidikan, yang di sebagian besar negara diberikan oleh negara sebagai kekayaan publik. Sekolah-sekolah biasanya tidak hanya mengajarkan berbagai pengetahuan dan keterampilan, juga memasyarakatkan para pelajar ke dalam kebiasaan-kebiasaan budaya tertentu yang dirancang untuk membuat mereka menjadi warga negara yang baik.


(21)

Namun demikian, banyak juga, menurut Fukuyama, pemerintah yang cakap dalam menghancurkan modal sosial. Umpamanya, bagaimana negara telah gagal memberikan dan melindungi hak-hak keamanan dan kepemilikan yang stabil kepada publik, sehingga mengakibatkan para warga negara tidak percaya bukan hanya pada pemerintah tapi juga saling tidak percaya di antara mereka sendiri dan menjadi sangat sulit untuk diasosiasikan. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern di Eropa Barat, sentralisasi fungsi-fungsinya, dan turut campurnya pada hampir seluruh perjalanan kehidupan warga negaranya cenderung melemahkan sosiabilitas spontan.

Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan. Konsep modal sosial (sosial capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre tahun 1916 mengatakan modal sosial, bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat; saling simpati serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003).


(22)

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul "The Forms of Capital" tahun 1986 (Syabra, 2003) mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggapsebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial.

Bourdieu (Syabra, 2003) menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial, dan menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Modal ekonomi, menurut Bourdieu memang dengan mudah dapat dikonversikan ke dalam bentuk uang, dan dapat dilembagakan dalam bentuk hak kepemilikan. Tetapi dalam kondisi tertentu modal budaya juga dapat dikonversikan menjadi modal yang memiliki nilai ekonomi, dan dapat dilembagakan, seperti kualifikasi pendidikan. Demikian pula modal sosial dalam kondisi tertentu dapat dikonversikan ke dalam modal ekonomi dan bahkan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar kesarjanaan. Misalnya sekalipun diperoleh melalui perguruan tinggi yang sama dan dalam jangka waktu pendidikan yang sama, masing-masing gelar kesarjanaan dengan bidang keahlian yang berbeda memiliki "nilai jual ekonomi" yang berbeda. Bahkan gelar kesarjanaan dalam bidang sama tetapi diperoleh dari perguruan tinggi yang berbeda akan mengandung nilai ekonomi yang berbeda. Seorang tamatan perguruan tinggi yang


(23)

memiliki nilai akreditasi tinggi pada umumnya akan lebih mudah mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih besar dibandingkan dengan seorang tamatan perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang rendah nilai akreditasinya (Todaro & Smith, 2003).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (sosial capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial dimasa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memperkuat efektifitas pembangunan (Suharto dan Yuliani, 2005).

Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Seperti dicontohkan oleh Tjondronegoro tentang bentuk-bentuk jaringan daerah pedesaan dan perkotaan seperti gotong royong, kelompok arisan maupun pengajian dapat disebut sebagai modal sosial. Sehingga dalam menjalankan program pembangunan, khususnya pertanian dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di perhati-kan dan dimanfaatperhati-kan. Brehm dan Rahn (Bahtiar,1997) menjelasperhati-kan bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi.

Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (Bahtiar,1997) bahwa modal sosial adalah jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Prusak (2001) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan


(24)

kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama.

Modal sosial mulai berkembang dan banyak menyita waktu para ilmuwan sosial setelah manusia sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata tetapi juga ada modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bias merupakan hasil interaksi sosial dalam bentuk jaringan sosial (Alder & Seok, 2002).

Oleh karena itu mengenai pengertian atau definisi modal sosial sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan pada karakteristik yang melekat pada individu (misalnya, norma-norma, saling percaya, saling pengertian , kepedulian, dll) dan kedua penekanan pada jaringan hubungan sosial (misalnya adanya kerjasama, pertukaran informasi, dll)

Bourdieu (Winter, 2000) menjelaskan bahwa modal sosial (sosial capital) merupakan wujud nyata dari suatu institusi kelompok yang merupakan jaringan koneksi yang bersifat dinamis dan bukan alami. Oleh karena itu modal sosial dapat menghasilkan hubungan sosial secara langsung dan tidak langsung dan jangka pendek maupun jangka panjang. Hubungan ini dapat dilakukan dalam hubungan antar keluarga, tetangga, teman kerja, maupun masyarakat dalam arti luas. Modal sosial merupakan kumpulan sumberdaya yang dimiliki setiap anggota dalam suatu kelompok yang digunakan secara bersama-sama.

Grootaert dan Basteler (2001) mengungkapkan ada tiga manfaat modal sosial (sosial capital), yaitu: (1) partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan


(25)

meningkatkan ketersediaan informasi dengan biaya rendah; (2) partisipasi dan jaringan kerja lokal serta sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih mudah untuk mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam kegiatan bersama; dan (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap mengurangi perilaku tidak baik dari anggota. Jika disimak, titik simpul kekuatan modal sosial (sosial capital) itu bertumpu pada dua hal: jaringan dan sumber daya. Itulah yang dapat dibaca dalam karya-karya para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Robert Putnam, James Coleman, Fukuyama, dan lain-lain. Mereka mengenalkan konsep modal sosial itu merujuk dua komponen penting yaitu: (1) jaringan sosial yang beroperasi di masyarakat yang memberi manfaat mutualistik bagi para warganya; dan (2) berbagai jenis sumber daya yang tersedia di masyarakat bersangkutan yang dapat didayagunakan bagi kepentingan publik.

2.1.1. Saling Percaya ( Trust)

Sikap saling percaya (trust) sebagai salah satu elemen dari modal sosial

adalah merupakan sikap salah satu dasar bagi lahirnya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan komunitas dan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks) yang akhirnya di mapankan dalam wujud pranata (institution) saling percaya meliputi adanya kejujuran (honesty ) kewajaran (fainerss), sikap egaliter (egali-tarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity). Salah satu elemen-elemen pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan di transmisikan melalui mekanisme-mekanisme sosial budaya didalam sebuah unit sosial seperti


(26)

keluarga, komunitas, asosiasi suka rela, negara, dan sebagainya. Menurut Pretty dan Ward (1999 ),sikap saling percaya merupakan unsur pelumas yang sangat penting untuk kerja sama, yang oleh Putnam di Italia, ia menemukan bahwa para warga negara di negara bagian Emilia- Romagna dan Tuscany misalnya, memiliki banyak organisasi-organisasi komonitas yang aktif, dan mereka ditautkan oleh isu-isu publik, bukan melalui pola patronasme. Mereka percaya satu sama lain untuk berlaku fair dan mematuhi hukum.para pimpinan di dalam komunitas-komunitas ini relatif jujur dan komit terhadap kesetaraan, jaringan-jaringan sosial dan politik di organisasi secara horizontal, bukan hiraikal. Komunitas seperti ini menurut Putnam menilai penting solidaritas, partisipasi warga ( civic participation

) dan intergas; dan dalam komunitas seperti ini demokrasi berjalan (democracy work ). Sikap saling percaya itu terbangun karena adanya dua unsur

yang saling terkait yaitu norma-norma resiproritas (norms of reciprocity) dan jaringan keterlibatan keluarga (networks of civic engagement ).

Francois (2003) memandang trust sebagai komponen ekonomi yang relevan melekat pada kultur yang ada pada masyarakat yang akan membentuk rekayasa modal sosial.

Qionhong Fu (2004) merujuk ke beberapa pendapat para sosiolog, membagi tiga tingkatan trust yaitu :

1. Tingkatan individual, merupakan kekayaan individu

2. Hubungan sosial, merupakan atribut kolektif untuk mencapai tujuan kelompok

3. Sistem sosial, merupakan nilai publik yang perkembangnnya difasilitasi oleh sistem sosial yang ada.


(27)

Dari mana sumber trust tersebut ? banyak peneliti merujuk ke jaringan sebagai sumber penting tumbuh dan hilangnya trust. Nahapit dan ghosal (1998) menyatakan bahwa pada tingkat individual, trust berasal dari adanya nilai –nilai yang bersumber dari kepercayaan agama yang dianut, kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma di masyarakat. Pada tingkatan komunitas, sumber trust berasal dari norma sosial yang memang melekat pada stuktur sosial setempat ( dalam Coleman, 1998).

Fukuyama yang mengkaji bidang ekonomi menyebutkan bahwa modal sosial yang berintikan kepercayaan (trust) merupakan dimensi budaya dari kehidupan ekonomi yang sangat menentukan dalam keberhasilan pembangunan ekonomi. Hilangnya sikap saling percaya antar warga masyarakat, maupun antar warga dengan pemerintah, merupakan contoh hilangnya potensi modal sosial dalam kehidupan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Badaruddin (2005) tentang potensi modal sosial dalam komunitas nelayan menemukan adanya beberapa potensi modal sosial, yaitu : patron-klien, koperasi, serikat tolong menolong, arisan. Dalam keempat potensi modal sosial yang ditemukannya tersebut diketahui bahwa kepercayaan (trust) adalah unsur utama yang membentuk potensi-potensi tersebut. Menurut Badaruddin adanya sikap saling percaya dalam komunitas nelayan merupakan faktor pendorong bagi munculnya keinginan adanya suatu bentuk jaringan sosial yang dimapankan dalam wujud pranata sosial, dan pranata sosial itu dikenal dengan patron-klien. Begitu juga dengan koperasi, serikat tolong menolong , dan arisan, semuanya dapat terjadi karena adanya kepercayaan dalam komunitas nelayan, yang kemudian melembaga menjadi pranata sosial resmi yang dimiliki masyarakat. Kepercayaan inilah yang


(28)

menjadi faktor utama dalam modal sosial, dimana kepercayaan dapat menjadi perekat bagi kerjasama dalam masyarakat.

Fukuyama ( 2002 ) berpendapat bahwa kepercayaan adalah pengharapan yang muncul dalam sebuah komunitas yang berperilaku normal, jujur, dan kooperatif berdasarkan norma-norma yang dimiliki bersama, demi kepentingan anggota yang lain dari komunitas itu. Ada tiga jenis perilaku dalam komunitas yang mendukung kepercayaan ini, yaitu perilaku normal, jujur dan kooperatif. Perilaku norma yaitu perilaku yang sesuai asas dan norma-norma yang dianut bersama, jika dalam komunitas terdapat perilaku deviant (menyimpang) dari beberapa anggotanya maka akan sulit mendapatkan adanya kejujuran dan sifat kooperatif. Adanya jaminan tentang kejujuran dalam komunitas dapat memperkuat rasa solidaritas dan sifat kooperatif dalam komunitas.

Kepercayaan timbal balik hanya muncul di dalam sebuah konteks sosial, kata fukuyama. Kepercayaan sosial, termasuk kejujuran, keteladanan, kerjasama, dan rasa tanggup jawab terhadap orang lain sangat penting untuk menumbuhkan kebajikan-kebajikan individual. Hal itulah yang menjadi argumen sentral dari Max Weber tentang etika protestan yang menunjukan bahwa kaum puritan memperoleh kekayaan material sebagai hasil dari kepercayaan religiusnya, dan telah mengembangkan kebajikan-kebajikan tertentu seperti kejujuran dan sikap hemat yang sangat membantu bagi akumulasi modal.

Dalam bukunya Trust, Fukuyama mencoba membedah karakteristik ekonomi beberapa negara berdasarkan unsur-unsur budaya negara bersangkutan ( modal sosial dan kepercayaan yang dianut ). Ia sampai pada kesimpulan bahwa ada dua jenis kepercayaan yang ada dalam struktur masyarakat, yaitu high trust


(29)

community dan low trust community. High trust commmunity adalah masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi dalam komunitasnya. Tingkat kepercayaan yang tinggi tersebut dilihatnya dari apa yang disebutnya sosiabilitas spontan.

2.1.2. Jaringan Sosial ( networks)

Aspek vital dari modal sosial adalah keterkaitan ( Connectedness ), jaringan ( networks ) dan kelompok ( groups ). Keterkaitan terwujud didalam beragam tipe kelompok pada tingkat lokal maupun di tingkat yang lebih tinggi. Adanya jaringan hubungan antar individu, norma-norma dan kepercayaan, sebagai bagian dari modal sosial memberikan manfaat dalam konteks terbentuknya kerjasama kolektif dalam menghadapi dan memecahkan persoalan bersama komunitas masyarakat kecil secara kolektif yang akan memperkuat posisi tawar mereka terhadap kekuatan-kekuatan struktural, seperti pasar dan nelayan pemilik yang senantiasa berupaya mengeksploitasikan mereka melalui penentuan harga secara sepihak dan system bagi hasil yang tidak setara dan adil. Tentang keterkaitan ini berikut akan dikutip pendapat dari penelitian terdahulu oleh Zulkifli Lubis ( 2001) :

Keterkaitan antar individu di dalam kelompok memilki tiga elemen penting yang paling relevan, yaitu : (i) hubungan yang bersifat lokal ( local connection ), berupa ikatan yang kuat antara individu-individu di dalam kelompok – kelompok lokal dan komunitas; (ii) hubungan lokal – lokal ( local – local connection ), berupa hubungan hosrisontal antar grup di dalam satu komunitas atau antar komunitas yang kadangkala menjadi flatform bagi struktur – struktur institusional yang lebih baru pada tingkat yang lebih tinggi; (iii) hubungan lokal-luar (local – external connections) berupa hubungan vertikal antara kelompok – kelompok lokal dan agensi atau organisasi dari luar, biasanya hubungan bersifat satu arah atau dua arah.


(30)

Adanya sikap saling percaya yang terbangun antar beberapa golongan komunitas nelayan merupakan dasar bagi munculnya keinginan untuk membentuk jaringan sosial (networks). Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Jaringan sosial tersebut terbentuk antar golongan nelayan yang berperan sebagai ”klien”. Jaringan sosial juga terbentuk antar sesama golongan ”klien”. Menurut Putnam, kerjasama sukarela lebih mudah terjadi di dalam suatu komunitas yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan- aturan yang telah mewarisi sejumlah modal sosial yang substansial dalam bentuk aturan-aturan, pertukaran timbal balik (reciprocity), dan jaringan-jaringan antar warga. Jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (collaboration/cooperation ), dan keadilan (equity). Elemen – elemen pokok modal sosial ini tersebut bukanlah sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme sosial budaya didalam sebuah unit sosial di dalam sebuah unit soaial seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara, dan sebagainya. Dalam penelitian Putnam di Italia, ia menemukan bahwa warga negara di negara bagian EmiliaRomagna dan Tuscany misalnya, memiliki banyaknya organisasi -organisasi komunitas yang aktif, dan mereka di tautkan oleh isu-isu publik, bukan melalui pola patronasme. Mereka percaya satu sama lain untuk berlaku fair dan mematuhi hukum. Para pemimpin didalam komunitas-komunitas ini relative jujur dan komit terhadap kesetaraan, jaringan- jaringan sosial dan politik diorganisasi secara horisontal, bukan hikarial. Komunitas seperti ini menurut Putnam menilai


(31)

penting solidaritas, partisipasi warga (civic participations) dan integritas; dan dalam komunitas seperti ini demokrasi berjalan ( democracy work). Sikap saling percaya itu terbangun karena adanya dua unsur yang paling terkait yaitu norma – norma resiprositas norms of reciprocity). Salah satu elemen pokok modal sosial adalah adanya jaringan sosial yang meliputi adanya partisipasi.

Solidaritas adalah faktor utama dalam merekatkan hubungan sosial dalam sebuah komunitas. Karena rasa solidaritaslah masyarakat bisa menyatukan resepsinya tentang hal yang ingin mereka perjuangkan. Salah satu unsur dalam jaringan sosial adalah kerjasama. Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Hampir pada semua kelompok manusia dapat ditemui adanya pola-pola kerjasama. Kerjasama timbul karena individu memiliki orientasi terhadap kelompoknya atau terhadap kelompok lain. Charles H Cooley ( Dalam Soekanto, 1997) menggambarkan kerjasama sebagai :

Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan – kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

2.1.3. Pranata Sosial

Pranata sosial merupakan salah satu merupakan elemen penting dari modal sosial selain dari kepercayaan dan jaringan sosial. Pranata (institutions), yang meliputi nilai-nilai yang di miliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan. (Soekanto, 1997 : 7).


(32)

Pranata atau lembaga adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk berinteraksi menurut pola-pola resmi. Pranata muncul di sebabkan adanya keperluan dan kebutuhan manusia yang tidak dapat dipenuhi sendiri, dan lembaga ini muncul dengan norma-norma masing-masing. Di dalam pranata, masayarakat dapat berinteraksi satu sama lain tetapi sudah di ikat oleh aturan-aturan yang telah di sepakati bersama. Jika tidak ada aturan-aturan dan pola-pola yang resmi maka belum di sebut sebagai pranata sosial, karena hal itu masih merupakan interaksi sosial biasa.

Pranata sosial ini sangat bermacam-macam ragam bentuknya, mulai dari yang tradisional (masyarakat adat) sampai pada pranata yang modern (partai politik, koperasi, perusahaan dan perguruan tinggi). Menurut Koentjaraningrat (1990) ada delapan tipe dari pranata sosial, yaitu :

1. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk mata pencaharian hidupnya

2. Pranata yang berfungsi untuk memenuhi keperluan kehidupan kkerabatan,yang sering di sebut Domestic institution.

3. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan pendidikan.

4. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan ilmiah manusia atau sering disebut scientific institution.

5. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan untuk menghayatkan rasa keindahan.

6. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan fisik dan kenyamanan hidup manusia.


(33)

7. Pranata yang berfungsi memenuhi keperluan manusia untuk berbakti kepada Tuhan .

8. Pranata yang berfungsi untuk keperluan manusia untuk mengatur keseimbangan kekuasaan dalam masyrakat.

Di dalam suatu pranata supaya dapat tercipta kerjasama, maka harus ada norma-norma yang mengatur . Norma-norma yang ada pada sebuah pranata dapat terbentuk secara sengaja maupun tidak sengaja. Norma-norma yang ada pada masyarakat mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda, ada yang lemah dan ada yang kuat ikatannya.

2.2. Rekontruksi Sosial Ekonomi

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 Tentang Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara disebutkan bahwa rekonstruksi adalah perumusan kebijakan, dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali semua prasarana, sarana, kelembagaan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sarana utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian,sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.

Rekontruksi dan rehabilitasi Aceh tengah berjalan, sekalipun oleh sebahagiaan melihatnya agak lambat.Dua tahun lebih pasca musibah tsunami tidak terasa bagi kita,namun sangat dirasakan oleh sebahagiaan masyarakat yang


(34)

hidupnya masih terkatung-katung,baik di pengungsian, tenda-tenda darurat ,bahkan yang masih berada di di areal hutan. Dari fenomena tersebut rekontruksi sosial Aceh membutuhkan keteladanan dan keikhalasan,itulah kunci dan kiat membangun kembali peradaban-peradaban yang hilang selama ini. Keteladanan yang di maksud disini adalah rekontruksi sosial masyarakat Aceh mensyaratkan kesatuan pandangan dan pola pikir yang jelas dan terarah.Rekontruksi sosial masyarakat Aceh adalah kerja besar secara mental dan fisik.

Kesulitan hidup di era-era yang lalu untuk sekian dekade telah membuahkan kekerasan struktural yang berbahaya dan penghancuran peradaban yang di dalamnya termasuk hilangnya kekuatan yang ada sejak dulu yaitu modal sosial di dalam kehidupan masyarakat. Rekontruksi sosial membutuhkan komitmen juang yang di landasi pemikiran yang cerdas bahwa rekontruksi sosial masyarakat Aceh harus bangkit dari keterpurukan.Rekontruksi sosial membutuhkan keteladanan karena keikut sertaan masyarakat Aceh membangun kembali jatidirinya tak terlepaskan dari kesadaran yang tinggi yang di barengi dengan tarap apresiasi positif terhadap niat mulia membangun kembali Aceh. Di sadari bahwa keikut sertaan publik Aceh menjadi tolak ukur utama dalam menatap masa depan Aceh yang lebih baik.

Kendala pokok rekontruksi sosial di lapangan adalah kendala teknis dan koordinasi.Secara teknis harus diakui bahwa kesulitan signifikan di lapangan adalah dalam mengubah kebiasaan -kebiasaan turun temurun yang pernah ada di dalam kehidupan dan peradaban Aceh sejak dulu.Di sini pentingnya penyatuan langkah yang sistematis membangun jaringan kerja yang baik dengan tetap mengacu kepada adat istiadat setempat.Kendala signifikan lainnya adalah


(35)

koordinasi .Keikut sertaan publik dalam membangun Aceh harus diapresiasikan dengan baik.Banyaknya LSM, NGO dan donatur-donatur lainnya yang memberikan perhatian positif terhadap percepatan pembangunan Aceh membawa pengaruh besar dalam pergeseran tatanan kehidupan dan mempengaruhi segi modal sosial yang ada.Dengan demikian langkah koordinasi dilakukan bagaimana masing-masing LSM,NGO dan donatur lainnya serta pemerintahan turut berjuang bersama di dalam percepatan rekontruksi sosial masyarakat Aceh terwujud.

Untuk para korban gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah setempat menyusun kebijakan-kebijakan serta menjalankan program-program yang ditujukan untuk pemulihan akses terhadap pelayanan publik dan motor penggerak kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan yang dilakukan adalah dengan menggerakkan sel-sel ekonomi dalam skala yang tidak terlalu besar antara lain melalui kebijakan pemberdayaan ekonomi lokal, terutama UMKM yang dibarengi dengan pembangunan jaringan/ keterkaitan usaha (business linkages/networking) dengan usaha besar. Strategi pembangunan NAD dan Sumatera Utara (pulau Nias) diupayakan menyeluruh (holistic) serta memperhatikan dimensi spatial dan kemanusiaan, membangun basis kelembagaan berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) setempat. Apapun rencana pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan, harus dapat menjamin penghidupan masyarakat NAD dan Nias menjadi lebih baik antara lain jaminan kehidupan ekonomi yang normal dengan tingkat pendapatan yang semakin meningkat, adanya lapangan kerja yang produktif, dan adanya perlindungan sosial yang memadai.


(36)

Relasi dan tanggung jawab masing-masing yang berkepentingan terhadap Rekontruksi sosial harus berada dalam langkah-langkah koordinasi yang baik.Di lapangan kondisi ini terasa sulit sekali karena masih terdapatnya keinginan dan langkah beragam dari masing-masing pihak.

Alas pikiran ini merupakan bentuk konkrit dari perjuangan bersama membangun kualitas kehidupan masyarakat Aceh yang lebih baik dengan rekontruksi sosial yang baru berdasarkan kaidah-kaidah dan elemen-elemen modal sosial .

2.3. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan adalah upaya memberdayakan ( mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya ) guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Jadi pemberdayaan masyarakat adalah upaya mengembangkan mayarakat dari keadaan kurang atau tidak berdaya menjadi punya daya dengan tujuan agar masyarakat tersebut dapat mencapai / memperoleh kehidupan yang lebih baik.

Payne (1997: 266) mengemukakan lebih jauh inti dari tujuan pemberdayaan dilakukan :

“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of sosial or personal blocks to exercising cacity and self-confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada intinya tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk membantu masyarakat memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan mereka lakukan


(37)

yang terkait dengan diri mereka sendiri, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri pada masyarakat untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Shardlow (1998:32) melihat bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok maupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Gagasan Shardlow ini, tidak jauh dengan gagasan yang mengartikan pemberdayaan sebagai upaya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya.

Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bertitik berat pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri sehingga diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sekedar objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunanyan ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum, (Setiana, 2002:8)

Dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai objek yang akan diberdayakan, pemberdayaan adalah upaya memberikan motivasi/dorongan


(38)

kepada masyarakat agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.

Sebagaimana diutarakan pada urai terdahulu, rakyat berada dalam posisi yang tidak berdaya (powerless). Posisi yang demikian memberi ruang yang lebih besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi terhadap pelanggaran hak-hak rakyat. Dengan demikian, rakyat harus diberdayakan sehingga memiliki kekuatan posisi tawar (empowerment of the powerless).

Pemberdayaan (empowerment) dalam studi kepustakaan memiliki kecenderungan dalam dua proses. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan kedua, menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempuyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

Proses yang pertama merupakan suatu pendekatan alternatif tehadap pembangunan yang menempatkan prioritas pada kaum miskin. Dalam hal ini menurut John Friedman, pembangunan alternatif menekankan keutamaan politis untuk melindungi kepentingan rakyat. Selanjutnya, tujuan dari pembangunan alternatif adalah memanusiakan suatu sistem yang membungkam mereka dan untuk mencapai tujuan ini diperlukan bentuk-bentuk perlawanan dan perjuangan politis yang menekankan hak-hak mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara yang tersingkir.


(39)

Di masa lampau hingga saat ini, pembangunan, termasuk Indonesia, telah mengisolasi sebagian besar rakyat dari proses pembangunan, oleh karena itu diperlukan pemecahan masalah- masalah melalui pemberdayaan.

Sementara itu menurut pendapat Kartasasmita, menyatakan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling); (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan (3) memberdayakan mengandung pula arti melindungi kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksplotasi yang kuat atas yang lemah. (Setiana 2005: 6)

Pada intinya, pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.

Pembedayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya.Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan.

Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat guna menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi. Yang intinya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat.


(40)

Pemberdayaan masyarakat bertitik tolak untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyampaikan kebutuhannya kepada instansi-instansi pemberi pelayanan.

Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, pemberdayaan bertujuan untuk memberikan kekuatan terhadap rakyat agar memiliki posisi tawar terhadap negara. Posisi tawar ini selanjutnya menjadi kekuatan untuk mengkonntrol kekuasan negara dalam menyelenggarakan manajemen pemerintah, sehingga hak-hak rakyat tidak terekploitasi dan dapat berpartisipasi secara aktif dan bebas.

Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat, memliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi (Kartasasmita, 1996:249).

Untuk itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan seperti ini, terdapat dua pihak yang memiliki hubungan yang sangat erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (Community Worker) dan kedua, pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling


(41)

mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan hanya dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana).

Pemberdayaan merupakan suatu bentuk upaya memberikan kekuatan, kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan berbagai bentuk inovasi kreatif sesuai dengan kondisi, yang secara potensial dimiliki. Disamping itu secara bertahap masyarakat juga didorong untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk mengambil peran yang sejajar dengan mereka yang lebih berdaya melalui proses penyadaran.

Menurut Prijono (1996:208-209), pemberdayaan terdiri dari pemberdayaan pendidikan, ekonomi, sosial budaya, psikologi dan politik. Pemberdayaan pendidikan merupakan faktor kunci yang ditunjang dan dilengkapi oleh pemberdayaan yang lain, yaitu :

a. Pemberdayaan pendidikan. Pendidikan merupakan kunci pemberdayaan masyarakat. Oleh karena pendidikan dapat meningkatkan pendapatan, kesehatan, produktivitas. Seringkali masyarakat berpendidikan rendah yang salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi, karean dalam pendidikan itu sendiri membutuhkan biaya yang cukup banyak.

b. Pemberdayaan ekonomi. Akses dan penghasilan atas pendapatan bagi setiap orang merupakan hal yang penting karena menyangkut otonominya (kemandirian). Sehingga dengan faktor ekonomi tersebut memungkinkan manusia untuk mengontrol dan mengendalikan kehidupannya sesuai dengan yang mereka inginkan.


(42)

c. Pemberdayaan sosial budaya. Dalam kehidupan masyarakat hendaknya tidak ada pembedaan-pembedaan peran dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap manusia hendaknya memiliki peran dan tanggung jawab yang sama sehingga dapat berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat secara bersama-sama.

d. Pemberdayaan psikologi. Pemberdayaan sebagai perubahan dalam cara berfikir manusia. Pemberdayaan tidak bermaksud membekali manusia dengan kekuasaan dan kekayaan, tetapi membuat mereka sadar terhadap dirinya dan apa yang diinginkan dalam hidup ini. Interaksi antar masyarakat didasarkan atas pengambilan keputusan bersama, tanpa ada yang memerintah dan diperintah, tidak ada yang merasa menang atau dikalahkan. Pemberdayaan didasarkan atas kerja sama, untuk mencapai dengan hubungan timbal balik yang saling memberdayakan.

e. Pemberdayaan politik. Dalam pemberdayaan politik pada intinya adalah bagaimana setiap orang dapat memiliki peluang dan partisipasi yangs sama dalam kegiatan-kegiatan politik. Seperti kesempatan bersama dalam pengambilan keputusan dan kepemimpinan, keterlibatan lembaga-lembaga politik, kesempatan untuk memberikan pendapat dan menyampaikan hak suara dan lain sebagainya.


(43)

Dalam pelaksanaannya, pemberdayaan yang menurut Midgley dalam Adi (2003:49-50) diidentikkan dengan pembangunan sosial yang dapat dilakukan oleh individu, masyarakat/atau komunitas maupun oleh pemerintah, yaitu :

a. Pembangunan sosial melalui individu (Sosial Development By Individual), dimana individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat pada pendekatan individual ataupun perusahaan (individuals or enterprise approach).

b. Pembangunan sosial melalui komunitas (Sosial Development By Communities), dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian approach).

c. Pembangunan sosial melalui pemerintah (Sosial Development By Goverments), dimana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga didalam organisasi pemerintah (governmental agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach).

Dari beberapa pendapat diatas jelas dikatakan bahwa dalam melakukan langkah perencanaan pemberdayaan, harus meliputi bidang politik, hukum dan ekonomi sehingga masyarakat dapat berperan didalam pembangunan dengan aturan yang jelas demi peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Namun


(44)

agar pemberdayaan dapat berjalan dengan baik, maka pemberdayaan dibidang pendidikan merupakan faktor kunci dari pemberdayaan masyarakat.

Pemberdayaan sebagai suatu proses perlu adanya pengembangan dari keadaan yang tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar mampu mentransfer daya adalah dengan strategi peningkatan pendidikan dan kesadaran, sebagaimana Ife (1995:64), mengemukakan sebagai berikut:

“Empowerment through educationan and consciousness raising emphasizes the importance of an educative process (broadly understood) in equipping people to increase their power. This incorporates notion of consciousness raising : helping people to understand the society and the structures of oppression, giving people the vocabulary and the skill to work towards effective change, and so on.”

(Pemberdayaan melalui peningkatan pendidikan dan kesadaran menekankan pada pentingnya proses pendidikan (pengertian secara luas) untuk meningkatkan kemampuan masyarakat. Kerja sama ini menekankan pada kesadaran meningkatkan: membantu masyarakat untuk memahami masyarakat dan strukturnya, memberikan masyarakat wawasan dan keterampilan untuk bekerja menghadapi perubahan secara efektif, dan seterusnya).

Agar proses pemberdayaan sesuai dengan tujuannya Adi (2001:32-33) mengatakan perlu adanya intervensi sosial yang dijabarkan melalui dua intervensi yakni internesi makro yaitu intervensi yang dilakukan di tingkat komunitas dan organisasi sedangkan intervensi mikro adalah suatu intervensi yang dilakukan pada level individu, keluarga dan kelompok.

Dalam penerapannya dilapangan Adi (2001:160) menyatakan ada 2 (dua) pilihan pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatan direktif yang dilakukan berdasarkan asumsi bahwa community worker tahu apa yang dibutuhkan dan yang baik bagi masyarakat, sedangkan pendekatan non direktif


(45)

dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan baik bagi mereka.

Menurut Hogan (2000:20) seperti yang dikutip Adi (2001:212), tahapan-tahapan yang menggambarkan proses pemberdayaan yang berkelanjutan sebagai suatu siklus, yaitu :

1. Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan.

2. Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidak berdayaan.

3. Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek. 4. Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna.

5. Mengembangkan rencana aksi dan mengimplementasikannya.

Terkait dengan hal tersebut, Lapera (2001:57-59) mengungkapkan langkah perencanaan pemberdayaan ini dapat dilakukan dalam bidang:

1.Di bidang politik, pada bidang ini adalah mengerakkan perubahan sedemikian rupa, sehingga dipenuhi syarat minimal bagi sebuah kondisi baru yaitu menyangkut kepastian akan hak-hak dasar rakyat untuk ambil bagian dalam proses politik dan penyelenggaraan pemerintahan. Inti dari usaha pemberdayaan di bidang politik ini adalah menghilangkan seluruh hambatan yang selama ini menutup peluang bagi masyarakat untuk bisa ambil


(46)

bagian secara konstruktif dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan.

2.Di bidang hukum, di bidang ini diperlukan suatu kondisi minimal yang berkembang memperkuat identitas masyarakat (komunitas), termasuk identitas lokal yang antara lain dapat mengacu pada nilai-nilai dan norma hukum adat setempat. Penguatan institusi lokal sudah tentu tidak dilakukan dengan mata tertutup, melainkan dengan pikiran kritis, sehingga jelas mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan.

3.Di bidang ekonomi, program di lapangan ekonomi diawali dengan langkah redistribusi sumber-sumber ekonomi. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat dasar bagi pemenuhan konsumsi dan tingkat produksi tertentu di kalangan masyarakat.

Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggungjawab utama dalam program pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan adalah masyarakat berdaya atau memiliki daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud dapat dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerjasama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya adalah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan program pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu memiliki kemampuan atau


(47)

yang disebut potensi. Keutuhan potensi ini akan dapat dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk dapat berdaya dan mandiri.

Terkait dengan tujuan pemberdayaan, Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalahmasalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.

Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam


(48)

masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapanketerampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya.

Kemandirian masyarakat dapat dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses belajar yang baik, secara bertahap akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri. Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu& Matson (Suprijatna, 2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang meliputi sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu adalah;

(1) setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan pribadi atau kelompok;

(2) komunitas memiliki kebebasan atau otonomi, yaitu memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab;

(3) memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan masalah sendiri;

(4) distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai berkesempatan dan bebas memiliki serta menyatakan kehendaknya;

(5) kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama;


(49)

(7) adanya heterogenitas/beda pendapat;

(8) pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan

Pembentukan masyarakat yang memiliki kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau agar tidak jatuh lagi. Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri.

Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berpikir atau pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar dapat mengambil peran di dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004).

Sesuai uraian diatas, dapat dikatakan proses pemberdayaan sebaiknya mampu mentransfer daya dengan upaya peningkatan kapasitas masyarakatnya secara berkelanjutan dalam meningkatkan daya dan kemampuan yang ada baik


(50)

secara individu, organisasi dan komunitas, yang merupakan upaya peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat.

2.4. Perkembangan Koperasi Dan Credit Union

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, para pendiri bangsa ini telah menyadari bahwa pembangunan ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya demokrasi ekonomi, yaitu : perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan.

Hal ini sangat jelas terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 1 yang berbunyi : “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan.”

Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 tersebut mengandung cita-cita bangsa, tujuan membangun asas perekonomian dan tata cara menyusun perekonomian bangsa. Pemerintah bersama warga negaranya berkewajiban menjalankan usaha melaksanakan ketetapan dalam UUD 1945, agar cita-cita yang luhur dapat dicapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Inilah yang kemudian menjadi dasar demokrasi ekonomi, dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau penilaian anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

Pemahaman ini kemudian melahirkan apa yang disebut dengan ekonomi kerakyatan yaitu ekonomi berbasis masyarakat. Ekonomi kerakyatan yang berbasis masyarakat tersebut akan terwujud bila : Pertama, terciptanya suasana


(51)

atau iklim yang menungkinkan potensi ekonomi masyarakat berkembang. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat. Ketiga, melindungi berlangsungnya kegiatan ekonomi kerakyatan.

Dengan dasar-dasar pemikiran diatas, koperasi lahir menjadi badan usaha yang sesuai dengan tujuan-tujuan demokrasi ekonomi dan mampu memberdayakan perekonomian masyarakat. Dan sejak itu pula koperasi dijadikan sebagai soko guru perekonomian Indonesia.

Koperasi kemudian lahir sebagai sebuah badan usaha yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan anggota-anggotanya. Koperasi berusaha memperbaiki nasib, maningkatkan taraf hidup, serta memajukan kemakmuran dan kesejahteraan hidup anggota-anggotanya. Tidak seperti badan usaha lain yang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.

Untuk tujuan tersebut, koperasi berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari anggota-anggotanya, sehingga usaha koperasi biasanya sesuai dengan kebutuhan anggota-anggotanya yang berasal dari apa yang mereka hasilkan sendiri. Apa yang dihasilkan oleh anggota koperasi merupakan usaha-usaha kecil dalam sektor informal yang mereka kerjakan. Pertanian, perikanan, industri-indusri rumah tangga, dan lain-lain sektor informal.

Unit-unit usaha kecil seperti mendapat kesempatan hidup dan berkembang dengan adanya koperasi. Sehingga masyarakat sebagai pemilik unit-unit usaha kecil terus merasa ingin berkembang dan bertumbuh menjadi lebih besar. Dengan filosofis koperasi “dari semua dan untuk semua “ , koperasi pun turut menjadi besar mengiringi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi masyrakat.Dan


(52)

dengan keadaan seperti ini, maka kesejahateraan masyarakat dan pemerataan kesejahteraan dapat tercapai.

Dilihat dari asal katanya, koperasi berasal dari bahasa Inggris co dan operation, yang mengandung arti kerjasama untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud dengan koperasi dalam hal ini bukanlah segala bentuk pekerjaan yang dilakukan secara bersama-sama dalam arti yang sangat umum. Koperasi yang dimaksud adalah suatu bentuk usaha yang didirikan oleh orang-orang tertentu, untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, berdasarkan ketentuan dan tujuan tertentu pula.

Secara umum, koperasi dipahami sebagai perkumpulan orang yang secara sukarela mempersatukan diri untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan ekonomi mereka, melalui pembentukan sebuah perusahaan yang dikelola secara demokratis.

Keinginan yang dimiliki seseorang untuk menyatukan diri kedalam koperasi jelas untuk melihat tujuan peningkatan kesejahteraan ekonominya. Kondisi ini tampak dengan gerakan-gerakan yang dilakukan koperasi berada di “arus bawah” yaitu pada tingkatan masyarakat dengan kemampuan ekonomi terbatas / ekonomi lemah.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Bung Hatta yang menyatakan bahwa: “Koperasi didirikan sebagai persekutuan kaum yang lemah untuk membela keperluan hidupnya. Mencapai keperluan hidupnya dengan ongkos yang semurah-murahnya, itulah yang dituju. Pada koperasi didahulukan keperluan bersama, bukan keuntungan.”

Koperasi dianggap sesuai dalam susunan perekonomian yang hendak dibangun di Indonesia tidak terlepas dari mayoritas penduduk Indonesia yang


(53)

masih hidup dalam kemiskinan dan keterbatasan yang ditandai dengan kemampuan ekonomi yang lemah dan terbatas. Dimana koperasi mewadahi masyarakat tersebut yang ingin melibatkan diri dalam kegiatan ekonomi dan menjalin kerjasama dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lebih kuat.

Keadaan ini menjadikan koperasi tumbuh sebagai badan usaha yang tumbuh dan mengakar pada masyarakat lapisan bawah. Mereka biasanya terdiri dari para karyawan pabrik, petani kecil, pedagang kecil, nelayan dan kelompok-kelompok ekonomi lemah. Yang nantinya diharapkan dapat tumbuh menjadi ekonomi yang kuat dan besar.

Koperasi kredit menjadi populer di Indonesia ketika sulitnya masyarakat mengakses dana dari perbankan. Koperasi kredit atau kopdit semakin berkembang. Tumbuhnya koperasi ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapat dana membantu memecahkan masalah keuangan dan paling tidak menggantikan peran rentenir yang sebelumnya banyak meminjamkan uang kepada masyarakat khususnya pedesaan semakin berkurang.

Kopdit atau koperasi simpan pinjam menjadi salah satu bagian dari koperasi di dalam negeri. Boleh dibilang kopdit masuk ke Indonesia takkala perekonomian baru mulai tumbuh. Pada saat itu, kondisi ekonomi masyarakat terutama di pedesaan masih sangat rendah sehingga koperasi menjadi salah satu jalan menggerakkan ekonomi rakyat.

Credit Union, pertama kali muncul di Indonesia pada 1960-an yang mulai dikembangkan dari barat. Seorang pastor Katolik asal Jerman bertugas di Indonesia dan membawa konsep tersebut. Traget utama atau sasaran Credit Union diperuntukkan kepada setiap orang yang mau menciptakan asset dengan cara


(54)

menabung dengan harapan hari esok akan lebih sejahtera. Credit Union berbeda dengan koperasi kredit yang bermakna memberikan kredit, bandingkan dengan kartu kredit, mobil kredit, rumah kredit dan sebagainya. Semua barang-barang kredit ini diluar makna Credit Union karena barang-barang dilunasi secara perlahan-lahan dengan tidak mempunyai makna menabung didalamnya. Setelah lunas selesai sudah kreditnya dan orang yang punya kredit tersebut tidak punya asset atau modal, yang berbeda dengan konsep Credit Union, nilai kredit tersebut justru menjadi aset dan menjadi modal yang disebut saham. (Ngo. A. Petrus, 2004)

Credit Union (CU), diambil dari bahasa Latin "credere" yang artinya percaya dan "union" atau "unus" berarti kumpulan. Sehingga "Credit Union" memiliki makna kumpulan orang yang saling percaya, dalam suatu ikatan pemersatu dan sepakat untuk menabungkan uang mereka sehingga menciptakan modal bersama untuk dipinjamkan kepada anggota dengan tujuan produktif dan kesejahteraan.

Manfaat CU bagi anggota adalah mengubah pola pikir. Maksudnya, dari yang terbiasa instant- langsung memanfaatkan uang saat mendapat pinjaman -- menjadi menciptakan modal dahulu dengan menabung secara rutin. Jika telah tercipta modal atau tabungan, baru memanfaatkan atau meminjam. Selain itu, CU juga dapat mengubah kebiasaan seseorang dari tidak biasa menabung menjadi biasa menabung. Anggota CU selalu mempunyai uang dalam bentuk tabungan yang terus meningkat, dan selalu bisa memanfaatkan tabungan untuk meningkatkan jumlah untuk menciptakan aset.


(55)

Credit Union merupakan salah satu gerakan masyarakat membangun sumber modal bersama yang demokratis dan berkeadilan, gerakan masyarakat memberdayakan dirinya dalam bidang ekonomi, dengan mengangkat nilai-nilai sosial yang ada di lingkungannya sebagai semangat kegiatan Ekonomi yang berperspektif lingkungan dan gender secara partisipatif, gerakan Rakyat untuk membuka pintu bagi gerakan sosial/masyarakat (dalam bidang lainnya), gerakan rakyat meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan ekonomi negara, terutama di daerahnya (meningkatnya daya beli dan kemampuan membayar kewajiban pajak adalah salah satu faktanya), gerakan rakyat meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan financialnya. Sebagai Upaya mengangkat harkat dan martabatnya, maupun martabat bangsa di mata dunia, serta gerakan rakyat membangun perdamaian.

Credit Union (CU) ialah “kumpulan orang” (disebut anggota) yang bersepakat membentuk sebuah perusahaan atau lembaga keuangan sebagai sumber modal bersama. Dengan modal dari kekurangannya, orang-orang tersebut menginvestasikan, meminjamkan dan mengembangkan uang diantara sesama mereka, dengan bunga yang layak untuk kepentingan produktif demi mencapai kesejahteran dan kebebasan finansial (keuangan) secara bersama-sama. Credit Union berasal dari bahasa latin “Credere” yang berarti saling percaya, dan “Unus” yang berarti komunitas/kumpulan, jadi Credit Union adalah Sekumpulan orang yang saling percaya. Di Indonesia CU ini lebih dikenal dengan Koperasi Kredit (KOPDIT).

Untuk mencapai kesejahteraan anggotanya Credit Union memberikan pelayanan dalam bentuk pelayanan simpanan anggota, pelayanan pinjaman


(56)

anggota dan pelayanan non simpan pinjam. Pelayanan non simpan pinjam dimaksudkan disini adalah pelayanan seperti solidaritas kesehatan, pelayanan santunan duka anggota, pelayanan perlindungan pinjaman anggota dan lain-lain. Dalam proses pelayanannya Credit Union menganut dan mengembangkan nilai-nilai 1) Menolong diri sendiri, 2) Bertanggung-jawab pada diri sendiri, 3) Diawasi secara Demokrasi, 4) Kesetaraan, 5) Keadilan, 6) Kejujuran dan 7) Solidaritas. Prinsip-Prinsipnya Credit Union, Keanggotaan sukarela dan terbuka, pengawasan demokratis oleh anggota, partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi, otonomi dan kemandirian, pendidikan, pelatihan dan penerangan, kerjasama antar koperasi dan kepedulian sosial. Selain nilai-nilai dan prinsip-prinsip diatas, Credit Union mengembangkan dan memperkuat Tiga Pilarnya yakni pendidikan, swadaya dan solidaritas.

Jika ditelusuri lebih jauh, Gerakan CU lahir sebagai salah satu bentuk perlawanan rakyat terhadap gerakan ekonomi kapitalis yang berlindung di balik kebijakan pemerintah. Melalui gerakan ini diharapkan terjadi perimbangan dalam perekonomian Negara. Setidaknya bisa meminimalisir system monopoli pasar yang selama ini cenderung dibiarkan oleh pemerintah.Dalam hal ini ekonomi kerakyatan merupakan pilihan yang tepat untuk menciptakan kemakmuran rakyat yang berkeadilan, karena bisa mengakomodir berbagai kepentingan rakyat, seperti kepentingan ekonomi, lingkungan, budaya, kebersamaan dan keadilan, kejujuran dan transparansi. Bentuk gerakan yang tepat untuk ini dan sudah dibuktikan keberadaanya adalah Credit Union.

Mengapa Credit Union yang menjadi pilihan, berdasarkan pengalaman dan fakta hingga saat ini, setidaknya ada beberapa alasan berikut:


(57)

1. Credit Union memberdayakan manusia dalam berbagai aspek, 2. mendorong ekonomi rumah tangga yang kokoh,

3. membangun gerakan ekonomi moral rakyat,

4. sarana kaum miskin yang senasib untuk berhimpun,

5. membangun kearifan pengelolaan keuangan, menciptakan lapangan kerja,

6. memperkuat keswadayaan sosial, budaya, ekonomi dan politik yang akan mengurangi ketergantungan pada Negara.

7. memperkuat proteksi pada tanah dan hak-hak adat dan sumberdaya alam lainnya dari eksploitasi pemodal dan Negara,

8. menciptakan pensiunan mandiri dan jaminan sosial bagi keluarga miskin,

9. serta terbangunnya rekonsiliasi dan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat.(www.pancur kasih.com)


(1)

sebagian besar anggota masih menggunakan dana dari CU hanya untuk keperluan komsumsi

5. Masih ditemukannya sebagian dari masyarakat yang apatis dan belum menerima keberadaan Cu karena masyarakat sempat memiliki stigma bahwa organisasi-organisasi yang ada pasca bencana hanya merupakan penjelmaan kegiatan eksploitatif dan tujuan utama hanya untuk meraih keuntungan saja.

6. Adanya konflik berkepanjangan dari luar masyarakat dan juga beberapa konflik internal pada masyarakat memiliki peran yang sangat berpengaruh dalam perjjalanan credit union ini.


(2)

BAB V PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

1. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan rekayasa modal sosial dalam membentuk lembaga keuangan swadaya masyarakat (Credit Union)

2. Pembentukan Credit Union telah berhasil mengembangkan potensi ekonomi masyarakat Geulumpang dan juga telah mampu mendongkrak perkembangan dunia usaha masyarakat

3. Pemanfatan modal sosial sebagai pondasi pembentukan Credit Union telah menjadi sebuah kekuatan bagi lembaga keuangan ini dimana terdapat rasa kepemilikan dan tanggungjawab yang tinggi dari pada anggota-anggotanya.

4. Masih terdapat berbagai kendala dalam proses pengembangan Credit Union salah satunya adalah masih kurangnya tenaga sosial dan media/ fasilitas yang tersedia untuk melaksanakan penyadaran-penyadaran serta sosialisasi manfaaat Credit Union kepada masyarakat terutama yang berada di pedalaman .


(3)

5.2. SARAN

1. Perlunya peningkatan kegiatan sosialisasi Credit Union kepada seluruh masyarakat terutama yang berada di daerah pelosok

2. Perlunya dukungan yang lebih besar lagi dari berbagai pihak dalam peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Kuta Geulumpang 3. Kedepannya perlu digalakkan kegiatan-kegiatan pemberdayaan

masyarakat dan pendampingan-pendampingan sosial terutama bagi daerah-daerah rekonstruksi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto, 2001, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta : LPFE – UI.

________,2002, Pemikiran-Pemikiran Dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial, Jakarta : Fakultas Ekonomi UI.

Arif M Nasution, Subhilhar dan Badaruddin, 2005, Isu-isu Kelautan : Dari Kemiskinan hingga Bajak Laut ,Yogyakarta,Pustaka Pelajar,2005

Badaruddin, 2003, Modal Sosial dan Reduksi Kemiskinan Nelayan di Sumatera Utara, Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan tinggi,DIKTI. Badaruddin,1999, Sosial Capital in The Creation of Human Capital, Dalam

Partha Dasgupta dan Ismail Serageldin(ed), Sosial Capital : A Multifaceted Perspective,Washington: The World Bank.

Coleman, J.1988, sosial capital in the creation of human capital, cambridge, Harvard University

Cohen & Prusak, 2001, sosial capital in the creation of human capital. The american journal of sociology

Cook, Sarah dan Stave, Macaulay, 1997, Pemberdayaan Yang Tepat, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.

Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Jakarta,1999.

Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Biro Hukum dan Organisasi, Undang-Undang Republik indonesia No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, Jakarta,1992.

Fukuyama, Prancis ,Trust ; Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran,Yogykarta,Penerbit Qalam,2002

Fukuyama,Prancis,Sosial Capital ; Civil Society and Development,Third World Quarterly,Vol 22,2001

Kartasasmita, Ginanjar,1996, Pembangunan Untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, CIDES, Jakarta.

Koentjaraningrat, Kebudayaan ,Mentalitas dan Pembangunan,Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,2002


(5)

Mulyana, Dedi, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosda Karya.

Mikkelsen, Britha, 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Moeljarto, T, 1992, Politik Pembangunan : Sebuah Analisis Konsep, Gerak dan Strategi, Yogyakarta : PT. Tiara Walda.

Putnam Robert D.1993. The prosperous Community : Sosial capital and public life. TAP

_________________, Making Democracy work : civic Tradition in modern italy. Princeton University press

Rani Usman,2003, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta,Penerbit Yayasan Obor Indonesia,2003

Sastropoetro, Santoso, 1998, Partisipasi, Komunikasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional, Bandung : Alumni.

Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Rafika Aditama.

Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gaya Media.

Setiana, 2005, tehnik Penyuluhan da pemberdayaan masyarakat, Ghalia indonesia, Bogor

Suyono Usman 1998, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Pustaka Pelajar , Jakarta

Suprijatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta: Jakarta.

Syabra, R. 2003. ”Modal Sosial: Konsep dan aplikasi”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol.V. N0.1:1-5.

Soetrisno, Lukman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Jakarta : Kanisius. Tjondronegoro, S.M.P. 2005. “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial”. Jurnal

Sosiologi Indonesia. Vol. I. No. 7: 21-22

Todaro, P.M. & Smith S.C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.


(6)

Usman, Husaini dan Akbar PS, 2003, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta : PT Bumi Aksara.

Winter. 2000. Towards a Theorised Understanding of Family Life and Sosial Capital. Australia: Australian Institute of Family Studies.

Zaim saIdi, Secangkir Kopi Max Havelaar : LSM Kebangkitan Masyarakat, Jakarta, PT. Gramedia