Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami Di Provinsi Aceh Dalam Perspektif Hukum

(1)

REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA

TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM

PERSPEKTIF HUKUM

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K)

Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

OLEH :

M A Z W A R

NIM. 118101007/HK

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA

TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM

PERSPEKTIF HUKUM

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM)., Sp.A(K)

Untuk Dipertahankan Dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

OLEH :

M A Z W A R

NIM. 118101007/HK

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

(Promosi Doktor)

Judul Disertasi : REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

Nama Mahasiswa : Mazwar

Nomor Pokok : 118101007

Program Studi : Doktor (S3) Ilmu Hukum

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H, MS, CN Promotor

)

(Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum Kopromotor

) (Dr. Oloan Sitorus, S.H., MS

Kopromotor

)

Ketua Program Studi,

(Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H

D e k a n


(4)

KOMISI PENGUJI :

Penguji

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S

Penguji

Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H

Penguji


(5)

REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ABSTRAK

Mazwar1 Muhammad Yamin2Runtung3 Oloan Sitorus4

Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan permasalahan kepemilikan hak atas tanah di Provinsi Aceh, karena peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggal/hilangnya masyarakat terutama pemilik tanah dan hilang, rusaknya fisik tanah serta dokumen pertanahan. Untuk mengembalikan administrasi pertanahan kepada kondisi semula, maka dilakukan rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan pendaftaran tanah oleh tim ajudikasi RALAS.

Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (2) Bagaimana peranBPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (3) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Jenis penelitian ini adalah preskriptif dengan metode pendekatan hukum sosiologis (empiris) dan analisis data secara kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa aturan hukum yang dipergunakan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh adalah Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 dan PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007). Kedua aturan hukum tersebut belum memadai untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Belum memadai aturan hukum tersebut antara lain karena SK Kepala BPN No. 114-II/2005 tidak mengatur substansi penggantian sertipikat hilang. Substansi penggantian sertipikat hilang hanya ditemui dalam PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007) namun PERPU tersebut baru diterbitkan pada saat rekonstruksi pertanahan telah berjalan lebih kurang tiga tahun dan tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksananya. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Dampak dari permasalahan hukum tersebut mengakibatkan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan maksimal.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai peranan lebih besar dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namun belum dilakukan secara maksimal. Peran BPN pada rekonstruksi pertanahan pasca tsunami tidak

1

Pegawai Negeri Sipil Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

2

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4


(6)

hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis pendaftaran tanah, tetapi juga berperan dalam penyelamatan dokumen pertanahan, penetapan lokasi, mempasilitasi kesepakatan warga dan pelaksanaan pendaftaran tanah. Peran yang belum maksimal dilakukan oleh BPN dapat terlihat dalam pencapaian realisasi target kegiatan. Dari target yang telah direncanakan yaitu sebanyak 600.000 (enam ratus ribu bidang) bidang tanah, sampai berakhirnya kegiatan RALAS, BPN hanya mampu menyelesaikan sertipikat hak atas tanah sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas) bidang tanah.

Masyarakat mempunyai peranan penting dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namum partisipasi masyarakat tersebut masih kurang. Masyarakat dan lembaga adat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pertanahan baik dalam kegiatan kesepakatan warga maupun dalam setiap tahapan kegiatan pendaftaran tanah. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, antara lain terlihat dari banyaknya masyarakat terutama pemilik tanah/ahli waris dan pihak yang berbatasan tidak hadir pada saat dilakukan penyuluhan, sosialiasi, penunjukan batas dan pengukuran; masyarakat tidak aktif atau kurang seksama dalam memperhatikan pengumuman data yuridis dan data fisik, serta terlambat menyampaikan keberatan/sanggahan kepada petugas Tim Ajudikasi.

Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: (1) Disarankan kepada Pemerintah dan DPR agar dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang sedang dibahas untuk mencantumkan dalam bab khusus tentang penanganan masalah pertanahan sebagai dasar hukum dan pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pihak/instansi terkait dalam melakukan rekonstruksi pertanahan di lokasi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan bencana lainnya. (2) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membenahi dan menyediakan sarana dan prasarana berupa gedung khusus tempat/ruang khususpada Kanwil BPN Provinsi dalam rangka penyelamatan dokumen/arsip Kantor Pertanahan, terutama buku tanah, surat ukur dan alas hak sebagai dasar penerbitan sertipikat sebagai antisipasi terhadap kerusakan/kehilangan dokumen pertanahan apabila terjadi bencana alam seperti tsunami di Provinsi Aceh.

Back up data pada Kanwil BPN Provinsi tersebut dapat berbentuk “Bank Data

Pertanahan (BDP)”. Melaksanakan pendaftaran tanah yang belum selesai dilakukan melalui kegiatan RALAS. Penyelesaian sisa kegiatan RALAS secara gratis, tidak hanya melalui kegiatan PRONA, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan lain seperti sertipikasi nelayan, UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan lain sebagainya. (3) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Instansi terkait, Pemerintah Daerah termasuk aparatur gampong dan Mukim agar dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keselamatan bukti hak dan surat-surat tanah sehingga seminimal mungkin dapat dihindari kerusakan dan kehilangan saat bencana alam terjadi.


(7)

POST-TSUNAMI LAND RECONSTRUCTION IN ACEH PROVINCE IN LEGAL PERSPECTIVE

ABSTRACT

Mazwar1 Muhammad Yamin2 Runtung Oloan Sitorus

3 4

The earthquake and tsunami occured on December 26, 2004 has resulted in the problem of the ownership of right to land in Aceh Province because the event has caused many people died or lost, especially the land owner, and the physically destroyed lands and their documents. To restore the land administration, a land reconstruction was implemented through land registration activity conducted by RALAS adjudication team.

The problems raised in this study were: 1) how the existing legal regulation that becomes the basis in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was used, 2) what role was played by BPN (National Land Board) in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, 3) how did community participation play its role in supporting the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. This is a prescriptive study with sociological (empirical) legal approach. The data obtained were qualitatively analyzed.

The result of this study showed that the legal regulation used in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 and Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 (Law No. 48/2007). The two legal regulations was not adequate to be the basis in the implementation of land reconstruction because the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 does not regulate the substance of the replacement of lost certificate. The substance of the replacement of lost certificate is only found in the Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 but the PERPU was issued when the land reconstruction had lasted for about three years and it was not followed up with its regulation of implementation, while the Government Regulation No.24/1997 could not fully applied in the post-tsunami land reconstruction. The impact brought by the legal problem resulted in the less-maximally implemented post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. The BPN had a bigger role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, the role was not maximally implemented.

__________________________ 1

Staff (Civil Servant) of National Land Board, Republic of Indonesia 2

Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 3

Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 4


(8)

The role of the BPN in the post-tsunami land reconstruction was only related to the technical implementation of land reegistration, but it also played a role in safeguarding the land documents, location determination, facilitating the agreement made by the community members and the implementation of land registration. The non-maximal role played by the National Land Board can be seen through the achievement realization of the target of the activity. Of the targetted 600,000 lots of land planned, up to the end of RALAS activity, the BPN could only accomplish providing the land right certificate for 231,316 (two hundred thirty one thousand three hundred sixteen) lots of land.

The community had an important role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, but the community participation was still inadequate. The community members and Adat Institutions were involved in various land reconstruction activitieseither in the community agreement activity or in any stage of land registration activity. The less participation of community in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was seen among other things through many commuity members especially the land owners/ their heirs and those who shared the land boundary did not attend when the extension, socialization, boundary determination, and measurement activities were done; the community members were not active or did not pay serious attention to the announcement of the juridical and physical data, and they were late to express their objection/complaint to the adjudication team members.

The result of this study recommended that (1) the government and the local legislative members are suggested to state in a special chapter about the handlings of land problem as the legal basis in the Law on Land which was still under discussion and as the guidance for the Ministry of Agraria and Land Use and the other related parties/agencies involved in the implementation of land construction in the locations of natural disasters such as earthquake, tsunami and the other kinds of disasters, (2) The Ministry of Agraria and Land Use is suggested to improve and provide facility and infrastructure in the form of special building or place/room in the Regional Office of Provincial BPN to safe the documents/archieves of the Land Office specifically the land book, letter of measurement, and the basic right as the basis of certificate issuance as the anticipation of the damage/loss of land documents when natural disaster occured such as the tsunami occured in Aceh Province. To accomplish the remaining activities of RALAS was free of charge through not only the PRONA activity but also through fishermen certification, UKM (small and medium scale businesses) and so forth, (3) The Ministry of Agraria and Land Use, Related Agencies and Local Government including “gampong” and “mukim” (village level) apparatuses are suggested, in any social activitiy, to provide extension and understanding to the community members on the importance of safely keeping the the evidence of the right of land ownership such as land documents that the damage and loss of those documents can probably be avoided and minimized when the natural disaster occurs.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillaahir rahmaanir rahim. Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamiin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Selawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai pembawa rahmat dan pesan keilmuaan kepada manusia.

Penulis menyadari bahwa selama mengikuti pendidikan pada Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan menyelesaikan tulisan disertasi ini, menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, namun berkat rahmat dan petunjuk Allah SWT serta bantuan yang diberikan oleh berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung baik secara moril maupun materil, semua hambatan dan tantangannya dapat penulis hadapi dan akhirnya Alhamdulillah disertasi ini dapat penulis pertanahankan dihadapan Rektor, Promotor, Kopromotor, dewan penguji dan Guru Besar serta undangan yang hadir.

Besarnya arti bantuan dari berbagai pihak tersebut, dan dengan diawali ucapan Alhamdu lillaahi rabbil ’aalamiin, dengan segala ketulusan hati pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Kopromotor. Walaupun kesibukan dalam tugas-tugas sebagai Dekan, beliau masih menyempatkan diri untuk membimbing dan menstranfer ilmu pengetahuan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku penguji. Sebagai Ketua Program, beliau telah banyak memberikan kesempatan dan kemudahan pelayanan akademik, sedangkan selaku penguji beliau banyak memberikan arahan dan masukan yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Promotor. Dengan penuh ketulusan, beliau banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis terutama dibidang keagrarian. Ilmu keagrarian yang beliau berikan akan membawa manfaat bagi penulis sebagai praktisi agraria dan dalam mengabdi pada instansi tempat penulis bekerja.

5. Bapak Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S,. selaku Kopromotor. Walaupun kesibukannya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yokyakarta, beliau masih menyempatkan diri secara aktif membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini baik langsung maupun melalui telepon dan e-mail. Beliau adalah Lae saya, sebagai seorang sahabat yang penuh ketulusan dan kesetiaan, dorongan dan motivasi yang diberikan tidak henti-hentinya kepada penulis baik dalam mengikuti pendidikan Program Doktor maupun dalam


(11)

6. menyelesaiakan disertasi ini. Penulis sangat terkesan dengan tekat beliau yang selalu beliau sampaikan “Lae ku harus jadi Doktor”.

7. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello, S.H., M.S., Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku penguji. Sebagai Sekretaris Program, beliau telah banyak memberikan kesempatan dan kemudahan dalam pelayanan akademik sedangkan selaku penguji beliau banyak memberikan arahan dan masukan yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.

8. Bapak Prof. Dr. Ilyas Ismail, S.H.,M.Hum., selaku penguji. Banyak pengetahuan yang beliau tansferkan kepada penulis termasuk meminjamkan beberapa leteratur kepada penulis terutama yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini. Beliau sangat aktif dalam setiap pengujian dan memberikan arahan dan masukan yang konstruktif dalam penulisan disertasi ini.

9. Bapak dan Ibu Guru Besar serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Program Doktor Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama mengikuti pendidikan Program Doktor. Ilmu pengetahuan yang diberikan sangat bermanfaat bagi penulis terutama dalam menyelesaikan disertasi ini.

10.Para pegawai/staf pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam memberikan pelayanan akademik, sehingga memotivasi, dan meperlancar administrasi selama mengikuti pendidikan pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(12)

11.Kepada teman-teman peserta Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2011/2012 yang selalu berdiskusi dan meminjamkan beberapa leteratur kepada penulis terutama yang berkaitan dengan penulisan disertasi ini, semoga tetap terjalin silaturrahmi diantara kita semua.

12.Bapak/ibu dan rekan sejawat di tempat penulis bekerja, yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara hingga penyelesaian disertasi ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan melalui lubuh hati yang paling dalam kepada Ibunda dan ayahnda tercinta; almarhumah Hj. Nur’aina dan Almarhum Nyak Maneh, yang tak pernah berhenti menyayangi, membesarkan dan mendidik penulis. Perjuangan dan doa-doa beliau telah mengantarkan penulis untuk menikamati kehidupan seperti saat ini. Predikat Doktor dibidang ilmu hukum ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua penulis sebagai rasa hormat dan terima kasih kepada kedua beliau diiringi doa yang tulus penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Ya Allah, ampunilah dosa kedua orang tuaku, limpahkanlah rahmat dan hidayah-Mu kepada keduanya, jadikanlah kedua orang tuaku sebagai orang yang Engkau ridhoi, berikanlah tempat yang baik disisi Mu, amin yarabbal alamin.

Begitu juga penulis sampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada mertua penulis, H.T. Zainal Arifin dan Hj. Putri Kartini. Atas doa, bimbingan dan dukungan yang beliau berikan, penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.


(13)

Teristimewa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada isteri tercinta Hj. Cut Ida, S.Ag dan anak-anakku tersayang; Rahmi Rimanda, Mirda Arifa, Fauzan Maulana dan Fuad Zikrillah. Dukungan dalam bentuk motivasi, kesabaran yang selalu ditujukkan serta dorongan dalam bentuk doa selalu diberikan oleh istri tercinta dan anak-anakku tersayang sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum ini dengan baik dan tepat waktu. Mereka adalah sumber motivator yang ulung dan hebat dalam setiap perjuangan penulis. Predikat Doktor yang penulis sandang ini semoga dapat memotivasi anak-anakku untuk menempuh pendidikannya, amin yarabbal alamin.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kakak, abang dan adik-adik penulis yang telah banyak memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pekuliahan Program Doktor Ilmu Hukum dan penulisan disertasi ini. Terkhusus kepada adinda Asril, S.E., dan Nurul Aina, S.H., yang tanpa pamrih telah membantu penulis sejak awal perkulihaan hingga penyelesaian disertasi ini.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan saran dan pendapat ilmiah sebagai bahan masukan penulisan disertasi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Ucapan terima kasih yang telah penulis sampaikan di atas, disertai dengan harapan yang tulus, semoga bantuan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah, berguna bagi bangsa dan negara serta mendapatkan limpahan rahmat dan hidayah dari Allah SWT, amin yarabbal alamin.


(14)

Akhirnya penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan dalam pengantar ini yang sebenarnya memiliki andil dalam proses penyelesaian studi dan penulisan disertasi ini, semoga Allah SWT membalas amal baik Bapak/Ibu dan Saudara/i.

Medan, Desember 2014 Penulis,


(15)

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

KATA PENGANTAR……….. v

DAFTAR ISI………. xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR……….... xv

DAFTAR ISTILAH... xvi

DAFTAR SINGKATAN……….. xxi

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Perumusan Masalah………... 14

C. Tujuan Penelitian………. 14

D. Manfaat Penelitian……….. 15

E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional...……….. 15

1. Kerangka Teoretis………. 15

2. Kerangka Konsepsional……… 35

F. Metode Penelitian……… 38

1. Sifat Penelitian……….. 39

2. Jenis Penelitian... 39

3. Metode Pendekatan...……….. 39

4. Lokasi Penelitian... 40

5. Teknik Pengumpulan Data... 40

6. Alat Pengumpulan Data... 43


(17)

7. Analisis Data...………. 44

G. Asumsi……

………. 46

H. Sistematika

Penulisan……….. 47

BAB II KETERSEDIAAN ATURAN HUKUM YANG MENJADI DASAR DALAM PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI

DI PROVINSI ACEH ……….. 50

A. Deskripsi

Lokasi Penelitian……… 50

1. Kota Banda

Aceh………. 51

2. Kabupaten

Aceh Besar……… 53

B. Dampak

Bencana Tsunami di Provinsi Aceh………. 54

1. Gambaran

dan Dampak Bencana…..………... 54

2. Upaya


(18)

C. Rekonstruksi

Pertanahan………. 65

1. Maksud dan

Tujuan RALAS……… 67

2. Komponen

dan Lokasi Kegiatan RALAS……… 71

3. Konsolidasi

Tanah……… 73

D. Ketersediaan

Aturan Hukum Rekonstruksi Pertanahan

Pasca Tsunami di Provinsi Aceh……… 88

1. Pengaturan

Rekonstruksi Pertanahan dalam

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 114-II/2005………. 111

a. Manual

Kesepakatan Warga……… 114

b. Manual

Teknis Pendaftaran Tanah……….. 125

2. Pengaturan

Rekonstruksi Pertanahan dalam

UU No. 48 Tahun 2007……… 134

BAB III PERANAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MELAKSANAKAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN

PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH……… 157

A. Struktur

Lembaga Pertanahan………….………... 157

1. Dasar

Pembentukan Lembaga Pertanahan ………... 157

2. Administrasi

Pertanahan………. 167

B. Struktur

Lembaga Rekonstruksi Pertanahan……….. 172

1. Dasar

Pembentukan RALAS dan Panitia Ajudikasi .. 172

2. Keterlibatan

Pihak-pihak Lain dalam Kegiatan

RALAS……… 178

C. Peranan

Badan Pertanahan Nasional dalam

Melaksanakan Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami


(19)

1. Melakukan Rekonstruksi Dokumen Pertanahan……. 188

2. Pelaksanaan

Pendaftaran Tanah Berbasis

Masyarakat……….. 194

a. Tahap

Penetapan Lokasi……….. 198

b. Tahap

Kesepakatan Warga………... 199

c. Tahap

Kegiatan Pendaftaran Tanah………. 203

3. Penyelesaian

Permasalahan dalam Rekonstruksi

Pertanahan……… 224

a.

Hambatan-hambatan dalam Pelaksanaan

Kegiatan RALAS dan Solusi……… 224

b. Penyelesaian

Pendaftaran Tanah Pasca Kegiatan

RALAS………. 232

BAB IV PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN REKONSTRUKSI PERTANAHAN


(20)

A. Ruang Lingkup Partisipasi………. 237

B. Masyarakat

dan Lembaga Adat Aceh………. 246

C. Budaya Adat

Aceh dan Kearifan Lokal……….. 257

D. Partisipasi

Masyarakatdalam Mendukung Pelaksanaan Rekonstruksi

Pertanahan……… 269

1. Peran

Lembaga Adat Aceh dalam Rekonstruksi

Pertanahan……… 271

2. Pelaksanaan

Partisipasi Masyarakat……… 279

3.

Hambatan-hambatan dan Solusi dalam Partisipasi

Masyarakat……….. 308

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..……….. 316

A. Kesimpulan

………. 316

B. Saran………

………... 318

DAFTAR PUSTAKA……… 321


(21)

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel II.1. Kerusakan Bidang Tanah Sebagai Akibat dari Bencana

Tsunami ……….. 51

Tabel II.2. Jumlah Pengungsi per Kabupaten/Kota……….. 57 Tabel II.3. Kebijakan Pemulihan Aspek Yuridis Bidang Tanah

Berdasarkan Variasi Permasalahan yang Dihadapi…………. 128 Tabel III.1. Tingkatan Penanganan Pengaduan Masyarakat……….. 217


(23)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar II.1. Jumlah Pengungsi per 21 Maret 2005……….. 57 Gambar II.2. Tahapan Penanggulangan Dampak Bencana Alam

Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami dan Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi di Provinsi Aceh dan

Nias, Sumatera Utara……… 62 Gambar III.1. Skema Proses Penyelamatan Dokumen Pertanahan……. 191 Gambar III.2. Diagram Alur Proses Pendaftaran Tanah Secara

Sistematis Berbasis Masyarakat……….... 195 Gambar IV.1. Tangga Partisipasi Menurut Arnstein………... 242 Gambar IV.2. Langkah-langkah Kegiatan Membangun Kesepakatan

Warga……… 284

Gambar IV.3. Identifikasi Bidang Tanah pada Peta Kerja Identifikasi

Bidang Tanah……… 286 Gambar IV.4. Proses Pendaftaran Tanah Berbasis Masyarakat... 297


(24)

(25)

DAFTAR ISTILAH

Aceh Lhee Sagoe : Aceh Tiga Sagi

Aceh Rayeuk :

Administrative agencies : Badan-badan administrasi Aceh Besar

Al-hajaru al-asasiyyu : Batu pondasi

Antecedent conditions : Kondisi yang melatar belakanginya

Applied theory : Teori yang diterapkan

Arable land : Tanah sawah

Asl al-bina : Dasar bangunan

Beschikkingsgebied : Wilayah kekuasaan

Bijhouding : Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Blang : Persawahan

Cadastre : Pendaftaran tanah

Capistratum : Pendaftaran tanah

Catastro : Pendaftaran tanah

Community Driven

Adjudication : Ajudikasi berbasis masyarakat

Continuous recording : Rekaman yang berkesinambungan

Contradiktoire delimitatie: Suatu pengukuran lapangan yang disaksikan dan

ditandatangani oleh pemilik tanah yang berbatasan langsung dengan tanah yang dimohonkan tersebut

Culture : Budaya hukum

Disfunctional conflict : Konflik disfungsional

Dispute : Sengketa

Economically viable : Kelayakan ekonomi


(26)

Emergency response : Tanggap darurat

Environmentally sound : Ramah lingkungan

Felt conflict : Konflik yang dirasakan

Field Research : Penelitian lapangan

Freies ermessen : Tindakan yang sewenang-wenang

Functional conflict : Konflik fungsional

Gampong : Kesatuan wilayah adat terkecil di Aceh yang berada

di bawah mukim

General land banking : Bank tanah umum

Glee : Gunung

Good community : Komunitas masyarakat yang baik

Grand theory : Teori dasar

Human capital : Kapabilitas penghidupan manusia

Improved food security : Meningkatnya sekuritas pangan

Imuem : Imam

Inbreng : Penyertaan dalam modal perusahaan

Inconsistent claim : Tuntutan yang tidak selaras

Increased well-being : Kesejahteraan yang meningkat

Individualimplementing

body : Badan pelaksana individual

Inspraak : Keberatan

Institution : Pranata

Interdependence : Ketergantungan tugas

Jurong : Lorong

Kadaster : Pendaftaran tanah

Kadastrale : Pendaftaran tanah

Keuciek : Kepala desa

Kukaku seiri : Konsolidasi tanah


(27)

Land owner : Pemilik tanah

Land readjustment : Konsolidasi tanah

Land reduction : Sumbangan tanah

Land registration : Pendaftaran tanah

Landrente : Pajak bumi

Land sharing : Sumbangan tanah

Law in book :Peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam

kitab-kitab hukum

Legal approval : Pengakuan hak

Legal certainty : Kepastian hukum

Legal culture : Budaya hukum

Livelihood outcomes : Hasil-hasil penghidupan

Livelihood strategy : Strategi penghidupan

Living law : Hukum yang hidup

Local public bodies : Badan-badan publik lokal

Lot contribution : Sumbangan tanah

Maintenance : Kegiatan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah

Meugoe :Bersawah

Meunasah : Masjid/musholla

More income : Pendapatan yang meningkat

Mukim : Persekutuan atau federasi dari beberapa gampong

di Aceh

Natural disaster : Bencana alam

Netwoking system : Sistem jaringan

Normal condition : Keadaan normal

Ordinary condition : Keadaan biasa

Participatory planning : Rencana partisipasi

Perceived conflict : Konflik yang dipersepsikan


(28)

Persoonlijke recht : Hak perorangan atau hak pribadi

Peukan : Pasar

Peutua Beuna : Orang tua yang selalu berkata benar

Planning CityAct : Undang-Undang Perencanaan Kota

Policies : Kebijakan

Processes : Proses

Project land banking : Bank tanah khusus

Public Administration : Administrasi Negara

Qawanin al-bilad

al-asasiyyah : Undang-undang dasar negara

Rechtsrelatie : Hubungan hukum

Rechtsstaat : Negara hukum

Rechtscadaster : Pendaftaran tanah

Recht zekerheit : Kepastian hukum

Reclaiming : Tuntutan kembali

Record :Rekaman

Reconstruction of Aceh Land Administration

System : Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh

Redesign : Merancang kembali

Reduced vulnerability : Tereduksinya kerapuhan

Regeling : Peraturan

Reine rechtslehre : Ajaran hukum murni

Rescue team : Tim penyelamatan

Resources : Sumber daya

Right : Hak

Seuramo Mekkah : Serambi Mekkah

Social capital : Kapital sosial


(29)

Space : Data spasial

Specialland banking : Bank tanah khusus

Structure : Struktur hukum

Substance : Substansi hukum

Sustainable livelihood

approach : Pendekatan penghidupan yang berkelanjutan

Tambo : Bedug

Total purchase scheme : Skema pembelian total

Trafficking : Perdagangan manusia

Tumpok : Kelompok perumahan penduduk

Ujong : Ujung, sebutan untuk sebuah tempat yang terletak

di ujung kampung atau untuk menyebut tanjung

Ureuëng Acèh : Suku Aceh

Vermogens recht : Hak kekayaan

Vulnerability context : Konteks kerapuhan

Wisdom : Kearifan

Work schedule : Jadwal kerja

World Bank : Bank Dunia

Zakelijke rechten : Hak-hak kebendaan


(30)

(31)

DAFTAR SINGKATAN

ADB : Asean Development Bank

APBK : Anggaran Pendapatan dan Belanja Kota (APBK APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara

AS : Amerika Serikat

ASDP : Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan

BAKORNAS PBP : Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

BAPEL : Badan Pelaksana

BAPPEDA : Badan Pembangunan dan Pendapatan Daerah BAPPENAS : Badan Pembangunan dan Perencanaan Nasional BPHN : Badan Pembinaan Hukum Nasional

BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan BPN RI : Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia BPS : Badan Pusat Statistik

BRR : Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi BUMN : Badan Usaha Milik Negara

CDA : Community Driven Adjudication

CGI : Consultative Group on Indonesia

DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DPR RI : Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

FMR : Financial Management Report

GH : Gardu Hubung

GIM : Graphical Index Mapping

GPS : Global Positioning System


(32)

HAM : Hak Asasi Manusia

ICR : Implementation Completion Report

IKM : Industri Kecil dan Menengah IKMN : Inventaris Kekayaan Milik Negara

ILAP : Indonesian Land Administration Project

IMTAQ : Iman dan Taqwa

IPA : Instalasi Pengolahan Air

IPLT : Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi JICA : Japan International Cooperation Agency

JTM : Jaringan Tegangan Menengah JTR : Jaringan Tegangan Rendah JUKNIS : Petunjuk Teknis

KANWIL : Kantor Wilayah

KPA : Konsorsium Pembaruan Agraria

KPTK : Koordinator Pelaksana Teknis Kegiatan KT : Konsolidasi Tanah

KUA : Kantor Urusan Agama

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata LAKA : Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh

LOC : Land Office Computerization

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MA : Madrasah Aliyah

MAA : Masyarakat Adat Aceh

MDTF : Multy Donor Trust Fund

MENKO KESRA : Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat MI : Madrasah Ibtidaiyah

MoU : Memorandum of Understanding


(33)

Darussalam

NAD : Nanggroe Aceh Darussalam

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia PA : Pengguna Anggaran

PBB : Pajak Bumi dan Bangunan PEMDA : Pemerintah Daerah

PERGUB : Peraturan Gubernur

PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PKB : Pemeriksaan Kendaraan Bermotor

PLN : Perusahaan Listrik Negara

PLTD : Pembangkit Listrik Tenaga Diesel PM : Perdana Menteri

POKMASDARTIBNAH : Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan PPAIW : Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf

PPAN : Program Pembaharuan Agraria Nasional PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah

PPI : Pangkalan Pendaratan Ikan

PPK : Program Pengembangan Kecamatan PRONA : Proyek Operasi Nasional Agraria

PT : Perguruan Tinggi

PUSKESMAS : Pusat Kesehatan Masyarakat

P2KP : Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan

P4T : Penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

RA : Raudhatul Atfal

RALAS : Reconstruction of Aceh Land Administration System

RI : Republik Indonesia

RS : Rumah Sakit


(34)

RTR : Rencana Tata Ruang

R2WANS : Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh dan Nias-Sumatera Utara

R3MAS : Rencana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara

SATKORLAK PBP : Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi

SATLAKSUS : Satuan Pelaksana Khusus

SD : Sekolah Dasar

SDA : Sumber Daya Alam SDM : Sumber Daya Manusia

SEKJEN PBB : Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa SIMTANAS : Sistem Informasi Pertanahan Nasional

SKPA : Satuan Kerja Pemerintah Aceh SLB : Sekolah Luar Biasa

SMK : Sekolah Menengah Kejuruan SMP : Sekolah Menengah Pertama SMU : Sekolah Menengah Umum

SPPTBPF : Surat Pernyataan Pemasangan Tanda Batas dan Penguasaan Fisik

SR : Sambungan Rumah

STPDN : Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri STUP : Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan

SU : Surat Ukur

TUPA : Tim Penyelesaian Ajudikasi

TK : Taman Kanak-kanak

TPA : Tempat Pembuangan Akhir TPI : Tempat Pelelangan Ikan TUN : Tata Usaha Negara


(35)

UKM : Usaha Kecil dan Menengah UKMP : Unit Kendali Manajemen Proyek

UN : United Nation

UPK : Unit Pelaksana Kegiatan


(36)

REKONSTRUKSI PERTANAHAN PASCA TSUNAMI DI PROVINSI ACEH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ABSTRAK

Mazwar1 Muhammad Yamin2Runtung3 Oloan Sitorus4

Peristiwa gempa bumi dan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan permasalahan kepemilikan hak atas tanah di Provinsi Aceh, karena peristiwa tersebut telah mengakibatkan meninggal/hilangnya masyarakat terutama pemilik tanah dan hilang, rusaknya fisik tanah serta dokumen pertanahan. Untuk mengembalikan administrasi pertanahan kepada kondisi semula, maka dilakukan rekonstruksi pertanahan melalui kegiatan pendaftaran tanah oleh tim ajudikasi RALAS.

Permasalahan dalam penelitian ini: (1) Bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (2) Bagaimana peranBPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh; (3) Bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. Jenis penelitian ini adalah preskriptif dengan metode pendekatan hukum sosiologis (empiris) dan analisis data secara kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan kesimpulan bahwa aturan hukum yang dipergunakan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh adalah Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 dan PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007). Kedua aturan hukum tersebut belum memadai untuk dijadikan dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Belum memadai aturan hukum tersebut antara lain karena SK Kepala BPN No. 114-II/2005 tidak mengatur substansi penggantian sertipikat hilang. Substansi penggantian sertipikat hilang hanya ditemui dalam PERPU No. 2 Tahun 2007 (UU No. 48 Tahun 2007) namun PERPU tersebut baru diterbitkan pada saat rekonstruksi pertanahan telah berjalan lebih kurang tiga tahun dan tidak ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksananya. Sedangkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak dapat sepenuhnya diterapkan dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Dampak dari permasalahan hukum tersebut mengakibatkan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan maksimal.

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mempunyai peranan lebih besar dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namun belum dilakukan secara maksimal. Peran BPN pada rekonstruksi pertanahan pasca tsunami tidak

1

Pegawai Negeri Sipil Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

2

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4


(37)

hanya berkaitan dengan pelaksanaan teknis pendaftaran tanah, tetapi juga berperan dalam penyelamatan dokumen pertanahan, penetapan lokasi, mempasilitasi kesepakatan warga dan pelaksanaan pendaftaran tanah. Peran yang belum maksimal dilakukan oleh BPN dapat terlihat dalam pencapaian realisasi target kegiatan. Dari target yang telah direncanakan yaitu sebanyak 600.000 (enam ratus ribu bidang) bidang tanah, sampai berakhirnya kegiatan RALAS, BPN hanya mampu menyelesaikan sertipikat hak atas tanah sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas) bidang tanah.

Masyarakat mempunyai peranan penting dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, namum partisipasi masyarakat tersebut masih kurang. Masyarakat dan lembaga adat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan rekonstruksi pertanahan baik dalam kegiatan kesepakatan warga maupun dalam setiap tahapan kegiatan pendaftaran tanah. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, antara lain terlihat dari banyaknya masyarakat terutama pemilik tanah/ahli waris dan pihak yang berbatasan tidak hadir pada saat dilakukan penyuluhan, sosialiasi, penunjukan batas dan pengukuran; masyarakat tidak aktif atau kurang seksama dalam memperhatikan pengumuman data yuridis dan data fisik, serta terlambat menyampaikan keberatan/sanggahan kepada petugas Tim Ajudikasi.

Hasil penelitian ini merekomendasikan sebagai berikut: (1) Disarankan kepada Pemerintah dan DPR agar dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) yang sedang dibahas untuk mencantumkan dalam bab khusus tentang penanganan masalah pertanahan sebagai dasar hukum dan pedoman bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta pihak/instansi terkait dalam melakukan rekonstruksi pertanahan di lokasi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami dan bencana lainnya. (2) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang untuk membenahi dan menyediakan sarana dan prasarana berupa gedung khusus tempat/ruang khususpada Kanwil BPN Provinsi dalam rangka penyelamatan dokumen/arsip Kantor Pertanahan, terutama buku tanah, surat ukur dan alas hak sebagai dasar penerbitan sertipikat sebagai antisipasi terhadap kerusakan/kehilangan dokumen pertanahan apabila terjadi bencana alam seperti tsunami di Provinsi Aceh.

Back up data pada Kanwil BPN Provinsi tersebut dapat berbentuk “Bank Data

Pertanahan (BDP)”. Melaksanakan pendaftaran tanah yang belum selesai dilakukan melalui kegiatan RALAS. Penyelesaian sisa kegiatan RALAS secara gratis, tidak hanya melalui kegiatan PRONA, tetapi juga melalui kegiatan-kegiatan lain seperti sertipikasi nelayan, UKM (Usaha Kecil dan Menengah) dan lain sebagainya. (3) Disarankan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Instansi terkait, Pemerintah Daerah termasuk aparatur gampong dan Mukim agar dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan memberikan penyuluhan dan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga keselamatan bukti hak dan surat-surat tanah sehingga seminimal mungkin dapat dihindari kerusakan dan kehilangan saat bencana alam terjadi.


(38)

POST-TSUNAMI LAND RECONSTRUCTION IN ACEH PROVINCE IN LEGAL PERSPECTIVE

ABSTRACT

Mazwar1 Muhammad Yamin2 Runtung Oloan Sitorus

3 4

The earthquake and tsunami occured on December 26, 2004 has resulted in the problem of the ownership of right to land in Aceh Province because the event has caused many people died or lost, especially the land owner, and the physically destroyed lands and their documents. To restore the land administration, a land reconstruction was implemented through land registration activity conducted by RALAS adjudication team.

The problems raised in this study were: 1) how the existing legal regulation that becomes the basis in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was used, 2) what role was played by BPN (National Land Board) in implementing the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, 3) how did community participation play its role in supporting the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. This is a prescriptive study with sociological (empirical) legal approach. The data obtained were qualitatively analyzed.

The result of this study showed that the legal regulation used in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 and Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 (Law No. 48/2007). The two legal regulations was not adequate to be the basis in the implementation of land reconstruction because the Decree of the Head of National Land Board No. 114-II/2005 does not regulate the substance of the replacement of lost certificate. The substance of the replacement of lost certificate is only found in the Regulation in Place of Legislation (PERPU) No.2/2007 but the PERPU was issued when the land reconstruction had lasted for about three years and it was not followed up with its regulation of implementation, while the Government Regulation No.24/1997 could not fully applied in the post-tsunami land reconstruction. The impact brought by the legal problem resulted in the less-maximally implemented post-tsunami land reconstruction in Aceh Province. The BPN had a bigger role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, the role was not maximally implemented.

__________________________ 1

Staff (Civil Servant) of National Land Board, Republic of Indonesia 2

Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 3

Professor, Faculty of Law, University of Sumatera Utara 4


(39)

The role of the BPN in the post-tsunami land reconstruction was only related to the technical implementation of land reegistration, but it also played a role in safeguarding the land documents, location determination, facilitating the agreement made by the community members and the implementation of land registration. The non-maximal role played by the National Land Board can be seen through the achievement realization of the target of the activity. Of the targetted 600,000 lots of land planned, up to the end of RALAS activity, the BPN could only accomplish providing the land right certificate for 231,316 (two hundred thirty one thousand three hundred sixteen) lots of land.

The community had an important role in the post-tsunami land reconstruction in Aceh Province, but the community participation was still inadequate. The community members and Adat Institutions were involved in various land reconstruction activitieseither in the community agreement activity or in any stage of land registration activity. The less participation of community in the implementation of post-tsunami land reconstruction in Aceh Province was seen among other things through many commuity members especially the land owners/ their heirs and those who shared the land boundary did not attend when the extension, socialization, boundary determination, and measurement activities were done; the community members were not active or did not pay serious attention to the announcement of the juridical and physical data, and they were late to express their objection/complaint to the adjudication team members.

The result of this study recommended that (1) the government and the local legislative members are suggested to state in a special chapter about the handlings of land problem as the legal basis in the Law on Land which was still under discussion and as the guidance for the Ministry of Agraria and Land Use and the other related parties/agencies involved in the implementation of land construction in the locations of natural disasters such as earthquake, tsunami and the other kinds of disasters, (2) The Ministry of Agraria and Land Use is suggested to improve and provide facility and infrastructure in the form of special building or place/room in the Regional Office of Provincial BPN to safe the documents/archieves of the Land Office specifically the land book, letter of measurement, and the basic right as the basis of certificate issuance as the anticipation of the damage/loss of land documents when natural disaster occured such as the tsunami occured in Aceh Province. To accomplish the remaining activities of RALAS was free of charge through not only the PRONA activity but also through fishermen certification, UKM (small and medium scale businesses) and so forth, (3) The Ministry of Agraria and Land Use, Related Agencies and Local Government including “gampong” and “mukim” (village level) apparatuses are suggested, in any social activitiy, to provide extension and understanding to the community members on the importance of safely keeping the the evidence of the right of land ownership such as land documents that the damage and loss of those documents can probably be avoided and minimized when the natural disaster occurs.


(40)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami5 pada tanggal 26 Desember 20046

5

Dalam terminologi Aceh, istilah atau kata tsunami tidak dikenal. Namun demikian, dalam masyarakat Aceh, terutama di kalangan orang tua dan juga kalangan yang belajar di dayah (pesantren, mengenalinya dengan istilah lain, “ie beuna” melalui cerita-cerita lisan. Ie berarti air dan beuna berarti benar. Ie beuna dimaksudkan sebagai air yang menunjukkan kebenaran ayat-ayat Tuhan dalam menghapus segenap kebatilan. Selain istilah ie beuna, ada pula yang menyebutnya dengan smong atau

seumong. Lihat Abdullah Sanny, Lokakarya Nasional Menjaring Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Menyusun Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami, Banda Aceh: 1 Februari 2005, dalam Hasanuddin Yusuf, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 166. Menurut orang tua-tua, ie beuna itu dapat berasal dari laut dan juga disertai semburan air dari permukaan tanah. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Cetakan Kedua, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. 102.

telah menimbulkan derita kemanusiaan dan menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta lumpuhnya sektor ekonomi, infrastruktur hingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap status dan kepemilikan hak atas tanah. Dampak peristiwa tsunami di Provinsi Aceh (dulu

6

Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9,1 pada skala Richter. Gempa tersebut beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra membentuk gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles, dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah “tsunami”, yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksasa Meiji pada tanggal 15 Juni 1896 yang melanda Jepang dan menyebabkan

21.000 orang kehilangan nyaw


(41)

disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)),7 telah menimbulkan permasalahan pertanahan, antara lain:8

1. musnah dan kerusakan obyek/bidang-bidang tanah, termasuk hilang/ rusaknya tanda batas tanah dan titik dasar teknik;

2. subyek hak hilang, meninggal, mengungsi, tidak diketahui alamat serta tidak memiliki ahli waris;

3. rusak/hancurnya gedung kantor beserta dokumen pertanahan, seperti alas hak dan sertipikat hak atas tanah pada masyarakat, hak tanggungan pada Bank, buku tanah/dokumen pada Kantor Pertanahan;

4. petugas, aparatur dan pihak-pihak terkait hilang, meninggal dunia, tidak berada di tempat/tidak diketahui alamat, aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta saksi/pihak yang berbatasan).

Tsunami telah mengakibatkan terjadinya proses pemisahan secara fisik (penguasaan) antara bidang tanah dengan pemiliknya. Juga telah terjadi proses kemusnahan (hilang dan rusak) berbagai bukti (dokumen dan bukti fisik) hubungan pemilikan antara satu bidang tanah dengan orang tertentu. Hal tersebut sangat berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang.

Bidang tanah adalah satu-satunya harta (asset) yang tertinggal. Tanah yang tertinggal juga dalam keadaan rusak secara fisik dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan, bahkan sebagian bidang tanah musnah. Kerusakan fisik tanah dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan cenderung untuk dapat dinyatakan

7

Penggunaan kata Aceh bukan Nanggroe Aceh Darussalam, oleh penulis berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009. Ditegaskan dalam Pergub No. 46 Tahun 2009 tersebut bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (“NAD”) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”.

8

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

Pemaparan, disampaikan pada Rapat Kerja NasionalBadan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, hal. 5.


(42)

telah “lumpuh” nya penguasaan/pemilikan tanah warga di wilayah bencana. Sulit membayangkan upaya pembangunan kembali wilayah yang terkena bencana dalam prespektif pertanahan tanpa terlebih dahulu melaksanakan pemulihan hak keperdataan atas tanah milik warga.

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) yang disampaikan pada rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 7 Maret 2005, kerusakan yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh meliputi areal ± 28.483,7 Ha atau 1,27% dari luas Provinsi Aceh sebesar 2.252.053,9 Ha, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara. Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh juga menimbulkan dampak sebagai berikut:9

1. Dampak Kelembagaan a. Sumber Daya Manusia

Pegawai Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, dan dari pegawai yang selamat, terdapat beberapa pegawai yang mengalami trauma berat akibat kehilangan suami/istri/anak dan keluarga lainnya serta harta benda.

b. Sarana dan prasarana kerja

Kerusakan dan kehilangan sarana dan prasarana kerja di BPN Provinsi Aceh meliputi gedung kantor, perlengkapan/peralatan kantor, sarana mobilitas dan dokumen pertanahan. Kerusakan dan kehilangan dokumen pertanahan terparah adalah pada Kanwil BPN Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar.

9

Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan Agenda Rapat yang Disampaikan Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pertanahan Nasional, tanggal 7 Maret 2005, hal. 2-7.


(43)

2. Dampak Fisik

Kerusakan bidang-bidang tanah sebagai dampak dari bencana/peristiwa gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu:

a. Rusak berat

Tanahnya musnah, tenggelam atau turun. b. Rusak sedang

Tanahnya ada tetapi batas tanah dan fondasi bangunan tidak tampak sama sekali tetapi dapat diidentifikasi.

c. Rusak ringan

Katagori rusak ringan yang dimaksudkan adalah daerahnya hanya terkena lidah air, serta tidak terdapat kerusakan dan sama sekali aman/tidak terkena dampak bencana.

3. Dampak terhadap Koordinat Titik Kerangka Dasar

Gempa tektonik secara teoritis menimbulkan pergeseran pada kulit bumi (topografi) yang berakibat pada terjadinya pergeseran koordinat titik kerangka dasar. Dari hasil pengamatan melalui pengukuran beberapa titik Kerangka Dasar Kadastar Nasional (KDKN) diduga telah terjadi pergeseran koordinat yang cukup signifikan, oleh karenanya untuk pelaksanaan rekonstruksi batas tanah diperlukan:

a. Pengukuran KDKN Orde II dan Orde III dengan menggunakan GPS tipe Geodetik.

b. Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (baru) pasca tsunami dengan menampilkan bidang-bidang tanah.

4. Dampak terhadap Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan

Dampak kelembagaan, dampak fisik dan dampak lain yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh telah berakibat pada terhentinya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan pada Kantor-kantor Pertanahan yang terkena musibah yaitu meliputi Kantor Wilayah Badan Pertnahan Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan gedung kantor dan tidak adanya perlengkapan serta peralatan kantor, sarana mobilitas, dan dokumen pertanahan, serta pegawai yang trauma karena kehilangan rumah, suami/istri, dan anak serta sanak keluarga lain, dan harta benda telah berakibat pada tidak berjalannya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan di Provinsi Aceh.

Berdasarkan analisis, permasalahan pertanahan berkaitan dengan keberadaan obyek dan keberdaan subyek serta dokumen pertanahan dapat dinventarisir sebagai berikut:


(44)

1. Obyek hak

Terdapat tanah musnah10

2. Subyek Hak

. Terhadap fisik tanah yang masih ada, batas-batas tanah mengalami kerusakan atau hilang antara lain batas-batas tanah dalam bentuk permanen, bangunan, batas-batas alam seperti pohon-pohon besar serta tempat-tempat pemakaman umum dan keluarga. Di beberapa lokasi sisa-sisa batas-batas tanah yang masih ada telah diratakan dengan buldoser sehingga batas fisik tanah yang masih tersisa menjadi semakin tidak jelas dan bahkan hilang.

11

Pemilik tanah atau ahli waris yang sah banyak yang meninggal dunia, hilang, tidak diketahui keberadaannya serta berdomisili di tempat pengungsian dan diantaranya mengungsi di luar Provinsi Aceh. Beberapa ahli waris masih di bawah umur dan belum ada kesepakatan diantara ahli waris.

3. Dokumen Pertanahan

Kondisi dokumen pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan dan masyarakat banyak yang hilang dan dalam kondisi rusak/hancur. Dokumen 10

Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168 (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2007).

11

Subyek hak menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memohon sesuatu hak atas tanah. R. Rahardjo,


(45)

pertanahan meliputi alas hak dan sertipikat12 yang berada pada masyarakat sedangkan yang berada pada Kantor Pertanahan dalam bentuk buku tanah,13

Masyarakat yang terkena tsunami baik yang selamat dari bencana maupun ahli waris sangat mengharapkan untuk memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya tsunami. Keinginan mereka untuk kembali menata kehidupan di lokasi semula juga sangat tinggi.

tanda bukti hak atas tanah dan surat-surat yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lainnya atas tanah yang menjadi dasar dan persyaratan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.

Desakan agar jaminan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah warga korban tsunami juga disampaikan oleh Anggota Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh yang mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh

12

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA) tidak pernah disebut sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, bahwa pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertipikat (lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 203. Senada dengan Herman Hermit, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah susun. Suatu pengakuan dan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah atau satuan rumah susun secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis di dalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran dan batas-batas bidang tanah atau satuan rumah susun tersebut (lihat Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah Negara, Tanah Pemda dan Balik Nama, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 31).

13

Buku tanah merupakan dokumen yang menegaskan data keabsahan penguasaan/ kepemilikan hak si pemegang sertipikat dan data keabsahan obyektif bidang tanah yang dikuasai/ dimiliki si pemegang sertipikat (Herman Hermit, Ibid, hal. 35). Menurut definisi formalnya, “buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya” (Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). Buku tanah terdiri dari empat halaman ukuran kwarto (21 cm X 28 cm), namun bisa ditambah apabila halaman terakhir sudah penuh diisi.


(46)

segera mengganti sertipikat tanah warga korban tsunami. Jika status dan kepemilikan tanah-tanah tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan masalah itu menjadi embrio munculnya sengketa di tengah masyarakat.14

Pemerintah dalam hal ini BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 1988, bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

15

Program pemulihan urusan pertanahan menjadi tidak sederhana, dan menjadi hal yang sangat prioritas dilaksanakan karena tujuan kegiatan pertanahan dituntut untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemilik tanah.

Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI). Terakhir dalam Kabinet Kerja (Tahun 2014) telah berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

16

14

Harian Serambi Indonesia terbitan tanggal 8 Agustus 2005.

Sebagai

15

A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Mandar Maju, 1993), hal. 10.

16

Tujuan kegiatan pertanahan antara lain memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, hal ini senada dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheid) dalam pergaulan manusia, E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957), hal. 254. Sedangkan menurut Jeremy Bentham, bahwa hukum harus menuju ke arah sesuatu yang berguna, suatu anggapan yang mengutamakan utilitiet (utilities theorie). Menurut anggapan Theorie Utilitiet

bahwa hukum harus mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah (berguna) bagi setiap orang, karena yang berfaedah bagi setiap orang yang satu mungkin merugikan orang lain karena menurut anggapannya tujuan hukum didefinisikan dapat menjamin adanya kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang dan “Kepastian hukum” (zekerheid door het recht) bagi individu adalah jalan utama dari hukum, lihat Liza Erwina, Ilmu Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012, hal. 33. Hal senada


(47)

upaya menjamin perlindungan hukum terhadap pemilik tanah di wilayah bencana tsunami serta dalam rangka proses percepatan pemulihan keadaan pasca bencana, mutlak diperlukan suatu program simultan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi di bidang pertanahan. Kegiatan ini diperlukan juga sebagai wujud komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)17 di wilayah bencana. Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini BPN, menyelenggarakan program pendaftaran tanah terhadap seluruh bidang tanah di seluruh desa/kelurahan di lokasi bencana tsunami tanpa memungut biaya,18

tentang kepastian hukum terdapat juga dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

yang dilakukan melalui kegiatan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh atau Reconstruction of Aceh Land

Administration System (RALAS). RALAS dilaksanakan untuk mengembalikan setiap

jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum terjadinya bencana alam tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.

17

Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasian hak asasi manusia harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

1. Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif,

2. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut,

3. Harus ada kemandirian pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 244-245.

18

Berdasarkan Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007, menyatakan bahwa Permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009.


(48)

Program RALAS melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat sebanyak 600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah di wilayah komunitas yang terkena tsunami dan komunitas yang berdekatan, sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami. Pendaftaran tanah sebanyak 600.000 bidang tanah tersebut dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.19

Berdasarkan data dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh dari target 600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, pencapaian pengukurannya sebanyak 321.479 (tiga ratus dua puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh sembilan) bidang tanah sedangkan penerbitan sertipikatnya sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas).

20

Program rekonstruksi pemilikan penguasaan tanah yang dilakukan oleh jajaran BPN melalui kegiatan RALAS tersebut mendapat tantangan dalam pelaksanaannya mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul sebagai dampak bencana alam gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Permasalahan rekonstruksi pertanahan sebagai upaya dalam rangka perlindungan hukum bidang pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang saling berbenturan, Berdasarkan kajian realisasi kegiatan RALAS berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami masih jauh dari target yang direncanakan.

19

Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami.

20

Lihat Data Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Permasalahan Pertanahan di Provinsi Aceh, Banda Aceh, 10 Mei 2013.


(49)

di mana di satu sisi tuntutan penanganan dalam kondisi darurat dan di sisi lain harus berhadapan dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan penanganan yang demokratis.

Oleh karena problema tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pertanahan pada wilayah bencana melalui peningkatan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala BPN tentang bagaimana penanganan pasca bencana di Provinsi Aceh dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.21

Partisipasi masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pemulihan hak-hak keperdataan di bidang pertanahan di wilayah bencana, hal yang terkait kesiapan BPN seperti ketersediaan peraturan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program besar dan mulia tersebut.

Kegiatan rekonstruksi fisik merupakan pekerjaan dengan menggunakan teknologi tinggi yang belum pernah dilaksanakan oleh aparat BPN yang bertugas di Provinsi Aceh. Pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan optimal, diperlukan sumber daya manusia yang profesional dan berkemampuan teknologi tinggi. Kendala yang dihadapi terhadap sumber daya manusia terutama yang bertugas di Provinsi Aceh sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini yaitu kekurangan pegawai sebagai akibat dari korban tsunami baik yang meninggal maupun yang

21

Lihat Rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: KD.02/928/DPR RI/2005 tanggal 14 Pebruari 2005 tentang Penanganan Pasca Bencana di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.


(50)

mengalami trauma dan kurangnya sumber daya manusia yang handal yang mampu menggunakan teknologi tinggi tersebut sedangkan sarana dan prasarana banyak yang hilang/musnah.

Rekonstruksi obyek dan subyek hak atas tanah, khususnya berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul akibat tidak diketahuinya lagi subyek atau pemilik tanah, dihadapkan pada belum tersedianya pranata hukum yang berkedudukan sebagai hukum positif yang dapat dijadikan dasar penyelesaian pada masa darurat.

Berkaitan dengan tidak diketahuinya lagi subyek/pemilik tanah pasca tsunami, maka Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam (MPU NAD) telah menerbitkan Surat Keputusan MPU NAD Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami yang menyebutkan bahwa tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam yang diserahkan melalui Baitul Mal.22

22

Surat Keputusan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami.

Substansi fatwa tersebut telah mendapat legitimasi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi


(51)

Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Dalam Pasal 8 ayat (1), menyebutkan:

“Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal”.

Baitul Mal sebagai subyek hak atas tanah secara implisit tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan, tetapi berdasarkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh dimungkinkan diatur dengan peraturan setempat. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)23 yang memberikan dasar bagi berlakunya hukum adat di bidang pertanahan (agraria), ketentuan-ketentuan mengenai Baitul Mal yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat dipergunakan sebagai sumber hukum guna penyelesaian masalah tersebut di atas. Kendala yang dihadapi bersumber pada ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional (hukum positif) yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Baitul Mal dapat menjadi subyek hak atas tanah. Untuk itu guna memenuhi keperluan bagi upaya memberikan jaminan kepastian hukum, nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat diadopsi dengan mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangan.24

23

Pasal 5 UUPA mengatakan: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

24


(52)

Rekonstruksi dalam rangka pemulihan, jaminan kepastian serta perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat harus segera diwujudkan. “Harus” karena pemulihan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum hak atas tanah merupakan syarat mutlak bagi upaya pemulihan kehidupan sosial kemasyarakatan terutama pembangunan kembali Provinsi Aceh pasca bencana. “Harus” terutama karena di sinilah representasi kehadiran negara untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/ pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) jo Pasal 19 ayat (1) UUPA.

Namun demikian mengingat kenyataan urusan pertanahan yang dalam kondisi normal saja sangat rumit dan tidak mudah diselesaikan apalagi dalam kondisi yang serba tidak normal seperti yang terjadi di Provinsi Aceh pasca bencana. Oleh karena itu, rekonstruksi, kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana alam harus benar-benar diselenggarakan secara integral dan holistik serta melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat.25

25

Kakanwil BPN NAD, “Rekonstruksi Bidang Pertanahan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebagai Wujud Perlindungan dan Jaminan Kepastian Hak Atas Tanah)”, makalah, disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan tanggal 1 Maret 2005 di Pekanbaru, hal. 2. Partisipasi masyarakat di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang ikut serta dalam suatu kegiatan secara bersama serta mengembangkan langkah-langkah kegiatan. Partisipasi adalah hak dan bukan sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari partisipasi masyarakat adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi RALAS.


(53)

Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam mengapa pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan sesuai dengan target yang telah direncanakan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

2. bagaimana peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

3. bagaimana partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1. mengkaji ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;

2. mengkaji peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;

3. menggali partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh.


(54)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penemuan konsep-konsep perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang pertanahan terhadap masyarakat yang mengalami bencana gempa, tsunami atau keadaan darurat luar biasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi BPN (sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), DPR, Pemerintah dalam upaya pembentukan pranata hukum pertanahan di Indonesia khususnya dalam rangka penanganan masalah pertanahan akibat bencana alam, seperti gempa dan tsunami.

E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka Teoretis26

Kerangka teoretis merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi

26

Kerangka teoretis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoretis ini adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari seluruh analisis. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 325.


(1)

Keputusan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari'at Islam.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong, (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 17 Seri D Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21).

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10).

Qanun Provinsi Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20).

Qanun Kota Sabang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim, (Lembaran Daerah Kota Sabang Tahun 2010 Nomor 06).

Rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: KD.02/928/DPR RI/2005 tanggal 14 Pebruari 2005 tentang Penanganan Pasca Bencana di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.

D. INTERNET

Acehnese in the New York Metro Area uploaded_files/Acehnese%20 Profile.pdf/diakses hari Kamis, tanggal 19 Juni 2014, pukul 12.19 WIB.

diakses pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 10.54 WIB.


(2)

pukul 8.37 WIB.

tanggal 21 Juni 2014, pukul 11.09 WIB.

diakses pada tanggal 21 Juni 2014, pukul 11.39 WIB.

pada hari Kamis, tanggal 19 Juni 2014, pukul 9.53 WIB.

http://docs.google.com/viewe?a=v&q=cache:o5hlYf1YXnQJ:ocw.usu.ac.id. hal. 2. Diakses pada tanggal 21 Agustus 2011.

diakses

pada tanggal 6 Maret 2012, pukul 4.03 WIB.

http://www.bappencis.go.id/indeks.Php. Diakses tanggal 3 Maret 2013.

pada tanggal 12 Juni 2014, pukul 9.03 WIB.

Kamis, tanggal 19 Juni 2014, pukul 9.47 WIB.

pada hari Kamis, tanggal 19 Juni 2014, pukul 10.19 WIB.

Maret 2014, pukul 15.00 WIB.

http://www.rakyataceh.com/print.php?newsid=12003/ Terkait 'Mengambangnya' Dana Nasabah Tsunami Baitul Mal Aceh Diminta Transparan/diakses tanggal 12 Juni 2014, pukul 9.34 WIB.

pukul 6.44 WIB.


(3)

Hukum Negara dalam Keadaan Darurat (Staatsnoodrecht),

Rizqinna, Finna. 2010, Partisipasi Masyarakat

Stephanie J. Buechler, A Sustanable Livelihood Approach for Action Research on

Wastewater Use in Agriculture,

United Nations Development Programme, “Dampak dari Kebijakan Ajudikasi Pertanahan Berbasis Masyarakat dalam Rekonstruksi Administrasi Pertanahan Pasca Tsunami di Aceh”, http://www.unhabitat-indonesia.org/files/rep-434.pdf, diunduh 1 Oktober 2013.

E. SURAT KABAR

Harian Kompas, terbitan tanggal 13 April 2005.

Harian Serambi Indonesia, terbitan tanggal 8 Agustus 2005.

“333 KK Korban Tsunami Diusir, Lahan Rumah Bantuan di Glee Judah Belum Dibebaskan”, Harian Serambi Indonesia, terbitan Selasa, 10 Juni 2014. Nasucha, Chaizi. “Tantangan Tanah Perkotaan”, Harian Umum Lampung Pos,


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. INDITITAS

Nama : Mazwar

Tempat/Tanggal Lahir : Meukek/10 Desember 1965 Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Alamat : Jln. Makam Teuku Nyak Arief Lrg. Cut Asiah No. 8 Desa Meunasah Pepeun Kecamatan

Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar Provinsi Aceh

Nama Ayah/Ibu : Nyak Maneh (Alm)/ Hj. Nur’aina (Alm) Nama Istri : Hj. Cut Ida, S.Ag.

Nama Anak : 1. Rahmi Rimanda 2. Mirda Arifa 3. Fauzan Maulana 4. Fuad Zikrillah B. RIWAYAT PENDIDIKAN

Pendidikan Formal

1. Sekolah Pascasarjana (S2) Ilmu Hukum, USU Medan, Tahun 2002.

2. Fakultas Hukum Universitas Nommensen

Medan, Tahun 1989.

3. Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMA) Negeri Meukek.

4. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri

Meukek.

5. Sekolah Dasar Negeri 1 Kuta Buloh Meukek. Pendidikan Informal (Diklat/Kursus/Penataran, Dll)

1. Diklat Pengadaan Tanah Angkatan I, di Bogor, Tahun 2014;

2. Disiminasi HAM Bagi Pejabat Kanwil BPN

Provinsi Aceh, Tahun 2010;

3. Lokakarya Nasional Finalisasi Kerangka

Kebijakan Pertanahan Nasional, di Jakarta, Tahun 2006;

4. Lokakarya Pengembangan Pendidikan dan

Pelatihan (Diklat) dan Jabatan Fungsional, di Jakarta, Tahun 2006;

5. Diklat Pengadaan Barang dan Jasa, di

Pekanbaru, Tahun 2005;

6. Diklat Analisis Jabatan BPN, di Jakarta, Tahun 2004;


(5)

7. Semiloka Nasional Penyusunan Kurikulum Hukum Otonomi Daerah yang Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum (Unsyiah), Tahun 2004;

8. Diklat Manajemen Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), di Jakarta, Tahun 2003;

9. Kursus Temu Koordinasi, Komunikasi,

Konsultasi Teknis Perencanaan dan Sosialisasi Ujicoba Pendataan Ulang PNS, Tahun 2002;

10. Kursus Bimbingan Teknis Penyuluhan Hukum

Daerah Maluku, di Ambon, Tahun 1996;

11. Kursus Dasar Pertanahan (KDP) Tk. II, di Bogor, Tahun 1993.

Pendidikan Penjenjangan

1. Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan (Diklat PIM) Tingkat III (Spama), di Jakarta, Tahun 2005;

2. Pendidikan dan Pelatihan Administrasi Umum (Diklat ADUM) Badan Pertanahan Nasional Angkatan XLIV, di Banda Aceh, Tahun 1999.

C. RIWAYAT JABATAN/PEKERJAAN

1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Utara, Sejak 11 Juni 2013; 2. Kepala Kantor Pertanahan Lhokseumawe, 6 Mei 2011 s/d 11 Juni 2013; 3. Kepala Bagian Tata Usaha Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi Aceh, 1 April 2005 s/d 6 Mei 2011;

4. Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh, tahun 1999 s/d tahun 2005;

5. Kepala Sub Seksi Penyelesaian Masalah Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Maluku Tenggara, 27 April 1995 s/d tahun 1997;

6. Staf Bidang Hak-hak Atas Tanah pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Maluku, tahun 1993 s/d tahun 1995;

7. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Maluku, tahun 1993.

D. PENULISAN KARANGAN ILMIAH/PENELITIAN

1. Post-Tsunami Land Parcel Reconstruction in Aceh Province, International Journal of Humanities and Social Science, tahun 2014;

2. Dampak Keberadaan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang dan Pelabuhan Bebas Sabang terhadap Kepemilikan Tanah, Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara - Medan, tahun 2001;

3. Suatu Tinjauan Hukum terhadap Beberapa Kasus Gugatan Ganti Kerugian Akibat Kecelakaan Lalulintas di Jalan Raya, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Nommensen - Medan, tahun 1988.


(6)

E. PENGHARGAAN

1. Satyalencana Karya Satya Sepuluh Tahun (tahun 2003);

2. Satyalencana Karya Satya Dua Puluh Tahun (tahun 2014).

Medan, 10 Desember 2014