BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik - Pelanggaran Hak Atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik Oleh Negara Penerima

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia

  demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak

   begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa.

  Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November 1818.

  Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik

   yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis.

20 Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Bandar Maju, 1992, Halaman: 32.

  21 Diakses: 28

  Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB) diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada

   tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.

  Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negara- negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat Officers. yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional

   implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.

  Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis

   Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut:

  “1. majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-

  

usulan (recoomendations) dengan tujuan: Memajukan kerjasama internasional di

bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional

secara progresif dan pengodifikasiannya; Memajukan kerjasama internasional di

bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan

membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan

dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin,

bahasa, ataupun agama.” 22 23 Ibid. 24 Ibid.

  Ayunika, Peranan Hukum Diplomatik Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai

   hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.

  Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

  Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan

   keistimewaan diplomatik.

  Konferensi tersebut dinamakan “The United Nations Conference on

  

Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2

  Maret 1961–14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya 25 Ibid. adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang

  

  berhubungan dengan Mahkamah Internasional. Konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu:

1. Vienna Convention on Diplomatik Relations, 2.

  Optional Protocol Concerning Aqcuisition of Nationality, dan 3. Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

  Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang

   terpenting.

  Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus melalui ordonansinya

  United States Diplomatik and Consular Staff in Teheran

  tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal 27 28 Edy Suryono. Op.Cit Halaman : 37 T. May Rudi, Teori, Etika Dan Kebijakan Hubungan Internasional, Angkasa, Bandung,

  24 Mei 1980. Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: “…that

  

the rules of customary international law should continue to govern question not

   expressly regulated by the provisions of the present Convention.”

B. Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik

  Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga

   negaranya di negara penerima.

  Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi pejabat missi diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang 29 30 Syahmin, Hukum Diplomatik, Rajagrafindo, Jakarta, 2008, Halaman : 16-17

Sumaryo Suryokusummo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Jakarta : Tatanusa, 2013, perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya merupakan wewenang konsuler.

  Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu dan urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani perjanjian, melakukan negoisasi khusus.

   Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan

  seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik.

   Article 3

  Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961 : 1.

   The function of a diplomatik mission consist, inter alia, in: (a) Representing the sending state in the receiving state; (b) Protecting in the receiving state the interests of the sending state and of its national, within the limits permitted by international law;

  (c) Negotiating with the government of the receiving state; (d) Ascertaining by all lawful means conditions and developments in the receiving state, and reposting thereon to the government of the sending state;

  (e) Promoting friendly relations between the sending state and the receiving state, and developing their economic cultural and scientific relations.

31 Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, Halaman: 50.

  Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut: 1. Mewakili negaranya dinegara penerima

  Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas

  omnimodo)

  utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara dimana dia diakreditasi. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu perwakilan diplomatik di negara penerima pada hakekatnya harus mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai

   negara yang berdaulat.

33 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Tatanusa, Jakarta, 2013,

2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya

  Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan (Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah

   tangga negara penerima.

  Hanya saja jika warga negaranya meminta pertolongan, ia wajib memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan

34 Novi Monalisa Anastasia Tambun, Penerobosan dan Perusakan Gedung konsulat Amerika

  Serikat Di Benghazi, Libya Ditinjau Dari Hukm Diplomatik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan diperhitungkan kemudia secara gotong royong.

  3. Melakukan perundingan dengan negara penerima Pejabat missi diplomatik juga mempunyai tugas untuk melakukan perundingan mengenai berbagai masalah yang menjadi kepentingan negaranya di negara penerima yang pada umumnya dilakukan oleh duta besar. Perundingan-perundingan tersebut bukan saja menyangkut berbagai permasalahan termasuk kerja sama bilateral baik dibidang politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, militer ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Disamping itu fungsi pejabat missi diplomatik juga untuk memberikan penafsiran mengenai pendapat atau sikap negara pengirim serta mencari dukungan mengenai setiap masalah dari negara penerima termasuk untuk mengadakan konsultasi mengenai masalah-masalah internasional. Demikian juga mengenai kekecewaan dan ketidak-puasan yang dialami oleh negara pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu

   masalah.

  4. Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain . Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh

   sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata.

5. Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang

  Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan. Duta besar sebagai kepala perwakilan diplomatik bertugas untuk meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat

   mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya.

  Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961 mulai berlaku apabila

  “kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara

penerima, baik saat ia menyerahkan surat-surat kepercayaannya maupun ia

memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli surat

kepercayannya kepada menteri luar negeri negara penerima, atau menteri lain yang

ditunjuk untuk itu, sesuai denngan praktik yang berlaku di negara penerima yang

akan diperlakukan secara seragam”

  Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan.

  Pada umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-garata. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala

  

  perwakilannya diluar negeri) Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan

  

  cara yang berbeda-beda diantaranya: 8.

  Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya.

  9. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).

  10. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled).

  Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas).

  38 39 Syahmin, Hukum Diplomatik, Raja grafindo, Jakarta, 2008, Halaman: 85 J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-

  Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina.

  11. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima.

  12. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina).

  13. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.

  14. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas.

  Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh perangkat-

  

  perangkat berikut : a.

  Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa.

  Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan 40 timbale balik.

  Ryeza, Menganalisis Fungsi Perwakilan Diplomatik, Sumber: Diakses: 29 b. Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus berkonsultasi dengan pemerintah negaranya.

  c.

  Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas.

  d. Kuasa Usaha (charge d’Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada menteri luar negeri.

  e.

  Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase terdiri atas dua bagian, yaitu:

  1. Atase Pertahanan Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh.

  2. Atase Teknis Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri sipil tertentu yang tidak berasal dari lingkungan Departemen Luar Negeri dan ditempatkan di salah satu kedutaan besar untuk membantu duta besar. Dia berkuasa penuh dalam melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari departemennya sendiri. Misalnya Atase Perdagangan, Perindustrian,

41 Pendidikan Kebudayaan.

C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik

  Kekebalan Diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negara- negara dalam melakukan hubungannya dengan negara lain. Dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil- wakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan. Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)

  Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima, walaupun pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga halnya gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu disebabkan faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu, seorang diplomat itu dianggap tetap berada dinegaranya sendiri, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat dikuasai oleh negara penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut adalah

   dikuasai oleh hukum dari negara pengirim.

  Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan

   realita yang sebenarnya.

  Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik dianggap

  

  Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan teori tersebut dapat disimak

  

  dalam ilustrasi berikut : a.

  Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima, misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan peraturan lalu lintas Indonesia. Apabila diplomat Indonesia 42 mengemudikan kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti

  Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber: , diakses 29 Januari 2015 43 Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31

  Keistimewaannya, 44 Syahmin, Op.Cit, Halaman: 117

  bertabrakan dengan pengendara lain, karena di Saudi Arabia pengguna jalan raya harus mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan.

  b.

  Apabila terdapat anggapan bahwa kantor perwakilan diplomatik beserta tempat tinggal diplomat dianggap berada diwilayah negara pengirim, para diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak dan iuran (misalnya pajak bumi dan bangunan, retribusi pengelolaan sampah), padahal dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban tersebut. Andaikata mereka harus membayar, negara pengirim harus membuka dinas-dinas terkait dinegara diplomat. Meskipun demikian bukan berarti kantor kedutaan terbebas dari pembayaran biaya, karena dalam praktik ada beberapa rekening kantor kedutaan dan rumah kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan listrik.

  c.

  Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak perlu memperoleh kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga negaranya sendiri diwilayahnya.

2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara

  (Representative Character)

  Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa dan kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta kepala negaranya. Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan

   kebingungan hukum.

  Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat kekebalan diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara penerima, padahal bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim.

  Dalam praktik juga sulit dibedakan antara perbuatan seorang diplomat dalam kapasitasnya sebagai wakil negara atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Padahal menurut hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik perbuatan atas nama

   negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan keistimewaan.

46 Syahmin, Op.Cit, Halaman: 118

3. Teori kebutuhan fungsional

  Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.

  Dalam muadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dirumuskan “...that the purpose of such privilages and immunities is not to

  

benefit individuals but to ensure the efficient performance of the function of

diplomatik missions as representing states.” Artinya, bahwa tujuan pemberian

  kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk meenguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi missi diplomatik sebagai wakil dari negara. Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan, hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik asing di suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas

   pertimbangan-pertimbangan lain.

D. Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik

  Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat

   ditangkap dan diadili.

  Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional.

  Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat.

  A.

  Kekebalan Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan

  

(immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah

  kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan 48 Syahmin, Op.Cit. Halaman: 118 terhadap segala gangguan yang merugikan. Sedangkan immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap Juridiksi dari negara penerima, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

1. Kekebalan pribadi

  Ketentuan-ketentuan yang bermaksud melindungi diri pribadi seorang wakill diplomatik atau kekebalan-kekebalan memngenai diri pribadi seorang wakil diplomatik diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the Person

  

of a diplomatik agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrest

or detention. The receiving state shall terat him with due respect and shall tahe all

   Berarti propriate steps to prevent ant attack on his person, freedom or dignity” .

  bahwa pejabat diplomatik adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap dan ditahan.

  Jadi, sesuai dengan pengertian inviolabilitiy sebagai kekebalan terhadap alat- alat kekuasaan dari negara penerima, maka pejabat diplomatik atau seorang wakil diplomatik mempunyai hak untuk tidak dapat dikenakan tindakan kekuasaan oleh alat-alat kekuasaan negara penerima yaitu misalnya berupa penahanan dan penangkapan.

  a.

  Yurisdiksi pidana Kekebalan terhadap yurisdiksi pengadilan pidana yang dapat dinikmati oleh para pejabat diplomatik ditentukan didalam Konvensi Wina 1961 sebagai berikut:

  

  (Pasal

  “seorang pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi pidana negara penerima”

  31 ayat 1 Konvensi Wina 1961) Apabila seorang pejabat diplomatik membuat kesalahan yang dapat mengganggu keamanan atau ketertiban dalam negeri atau turut dalam suatu komplotan yang ditujukan kepada negara penerima, maka untuk menjaga agar tindakan-tindakannya itu tidak akan membawa akibat yang tidak diinginkan, negara penerima untuk sementara dapat menahan, walaupun kemudian ia masih harus dikirim pulang kembali ke negrinya. Dan menurut hukum kebiasaan internasional bahwa negara penerima tidak mempunyai hak, dalam keadaan yang menuntut dan

   menghukum seorang pejabat diplomatik.

  b.

  Yurisdiksi perdata dan adminisrasi Hukum kebiasaan internasional tidak saja memberikan kekebalan dari yurisdiksi pidana dari negara penerima, tetapi juga para pejabat diplomatik kebal dari yurisdiksi perdata dan administrasi. Ketentuan yang mengatur adanya kekebalan seorang pejabat diplomatik dari yurisdiksi perdata atau sipil, terdapat dalam ketentuan pasal 31 ayat 1 Konvensi Wina 1961, sebagai berikut: “he shall also enjoy

  immunity from its civil and administrative jurisdiction”

  Tuntutan perdata dan administrasi dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang pejabat diplomatik dan tidak ada tindakan atau eksekusi apapun yang berhubungnan dengan hutang-hutang dan lain-lainnya yang serupa dapat 51 Article 31 Konvensi Wina 1961 diajukan terhadap para pejabat diplomatik didepan pengadian perdata atau pengadilan

   administrasi negara penerima.

2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik

  Kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa yang diberikan pada seorang wakil diplomatik tidaklah berbatas pada diri pribadi saja melainkan juga anggota- anggota keluarganya turut pula menikmati kekebalan dan hak-hak istimewa tersebut.

  Ketentuan mengenai kekebalan keluarga pejabat diplomatik terdapat dalam

  Pasal 37 ayat (1) Konvensi Wina 1961 yang menyatakan “the members of family of a

  

diplomatik agent forming part of his household shall, if they are not nationals of the

receiving state, enjoy the privileges and immunities specifies in article 29 to 36”.

  Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak

   istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai 36.

  Dengan demikian agar seorang dapat dianggap sebagai anggota keluarga pejabat diplomatik, maka tidak hanya adanya sesuatu hubungan darah atau perkawinan yang mencantumkan kedudukan anggota keluarganya, tetapi ia harus bertempat tinggal bersama pejabat diplomatik atau merupakan bagian dari rumah tangganya dan bahkan pula bukan berwarganegara Negara penerima. Keluarga pejabat diplomatik yang dapat menerima kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini, termasuk pula pelayanan-pelayanan perwakilan dan pelayan rumah tangga. 53 Ibid. Halaman : 49

  3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a withness” maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun

   menyangkut perkara pidana, dan administasi.

  Seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksanakan untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikaan kesaksiannya di depan pengadilan, hal mana termasuk pula anggota keluarga dan pengikut-pengikutnya, juga tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi didepan pengadilan.

  Kemungkinan yang terjadi dalam hubungannya dengan persolan kekebalan seorang wakil diplomatik dari kewajiban untuk menjadi saksi wakil diplomatik tersebut secara sukarela (voluntarily) memberikan kesaksiannya didepan peradilan atas perintah dan persetujuan dari pemerintahnya

  4. Kekebalan korespondensi Kekebalan korespondensi adalah kekebalan dari pihak perwakilan asing sesuatu negara yaitu pejabat diplomatiknya untuk mengadakan komunikasi dengan bebas guna kepentingan tujuan-tujuan resmi atau official purposes dari perwakilan asing tersebut, tanpa mendapat halangan yang berupa tindakan pemeriksaan atau tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh negara-negara lainnya.

  Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi.

  Hubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik tersebut dengan pemerintahnya sendiri, dengan pemerintah negara penerima, maupun dengan

   perwakilan diplomatik asing lainnya.

  Selanjutnya di dalam pasal 27 ayat 2 Konvensi Wina 1961 ditetapkan bahwa korespondansi didalam arti yang luas atau resmi adalah dinyatakan kebal atau tidak dapat diganggu gugat. Tetapi harus dingat bahwa kebebasan hubungan komunikasi tersebut haruslah dijalankan didalam hubungan yang resmi dan berkaitan dengan misi perwakilan dan fungsinya.

  5. Kekebalan kantor perwakilan Asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik Dalam Konvensi Wina 1961 telah dicantumkan mengenai pengakuan secara universal tentang kekebalan diplomatik yang meliputi tempat kediaman dan tempat kerja atau kantor perwakilan pejabat diplomatik. Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961. Namun, hak kekebalan disini diartikan sebagai suatu hak dari gedung perwakilan atau tempat kerja dan tempat kediaman seorang pejabat diplomatik utnuk mendapatkan perlindungan special dari negara penerima, gedung perwakilan dan tempat kediaman dari pejabat diplomatik dinyatakan tidak dapat diganggu gugat atau

   . inviolable 6.

  Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit.

  Secara substansial kekebalan para pejabat diplomatik in transit biasanya diberikan. Masalah itu sebelumnya tidak diberikan namun beberapa negara seperti Belanda dan Perancis telah meneytujui untuk memasukkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan masing-masing mengenai perlakuan para diplomat yang ditempatkan di negara tersebut.

  Didalam Konvensi Wina 1961 telah mengambil pendekatan Fungsional secara tegas dalam memberikan hak kekebalan dan keistimewaan bagi pada diplomat yang berpergian melalui negara ketiga baik menuju atau dari posnya. Negara ketiga hanya wajib memberikan hak tidak diganggu gugatnya dan kekebalan-kekebalan lainnya yang diperlukan dalam rangka menjamin perjalanan diplomat itu dalam transit atau kembali. Hak-hak yang sama juga diperlukan dalam hal anggota keluarga diplomat yang menyertainya atau kepergian secara terpisah untuk bergabung dengannya atau dalam perjalanan kembali ke negaranya. Para diplomat beserta anggota keluarganya yang dalam perjalanan transit juga memperoleh perlindungan khusus dan bebas dari penahanan sesuai dengan haknya yang tidak dapat diganggu-gugat, tetapi dapat pula kepada mereka diadakan tuntutan terhadap perkara perdata dengan ketentuan bahwa tuntutan ini tidak melibatkan penahana mereka dan mereka tidak mempunyai

   keistimewaan seperti bebas dari pemeriksaan koper milik mereka.

  7. Perjalanan karena force majeure Seorang diplomat diberikan kekebalan terbatas semacam itu tanpa melihat hubungan antara penerima dan pengirim di satu pihak dan negara ketiga di lain pihak.

  Kewajiban-kewajiban di dalam ketentuan Konvensi Wina 1961 tersebut dapat diterapkan bahwa dalam hal diplomat itu terpaksa harus transit karena force majeure antara lain adanya pesawat yang dipaksakam harus mendarat dinegara ketiga. Dalam kasus R.v. Governer of Pentoville Prison pada tahun 1971. Pengadilan di inggris menolak untuk memberikan kekebalan terhadap proses ekstradisi kepada seorang mata-mata dari Costa Rica yang bernama Dr. Teja, pemegang paspor diplomatik, dimana ia tidak ditempatkan atau tidak menjadi tamu pemerintah sesuatu negara. Penting pula bahwa diplomat harus diangkat oleh pemerintahnya yang

   pengangkatannya juga diakui oleh negara ketiga.

  B.

  Keistimewaan Pengertian keistimewaan adalah berbagai hak istimewa privilege yang melekat pada perwakilan diplomatik (sebagai institusi) dan anggota misi (sebagai

   individu) di negara penerima.

  1. Pembebasan pajak-pajak

  58 59 Edy Suryono, Op.Cit, Halaman: 70 Ibid. Halaman: 73

  Keistimewaan pembebasan pajak-pajak ini dapat dinikmati oleh pejabat diplomatik beserta keluarganya, staf administrasi dan teknik, staf pelayanan, pembantu-pembantu rumah tangga berdasarkan daftar yang diserahkan kepada kementerian luar negeri setempat. Pada umumnya keistimewaan dalam perpajakan ini meliputi pembebasan pajak-pajak langsung, pajak penghasilan, pajak atas barang

   pribadi bergerak seperti kendaraan bermotor, perabot, bagasi dan sebagainya.

  Dalam Konvensi Wina 1961 dikatakan bahwa, seorang pejabat diplomatik akan dibebaskan dari semua pajak pribadi baik regional, nasional kecuali: a.

  Pajak tidak langsung, sehingga tak berlaku pada pembelian barang di toko umum yang pajak penjualannya telah diperhitungkan didalamnya.

  b.

  Pajak atas barang-barang yang tidak bergerak yang terletak didalam daerah negara penerima, misalnya rumah, tanah, kecuali yang dikuasai oleh pejabat- pejabat diplomatik tersebut atas nama negara pengirim untuk keperluan dan maksud yang resmi dari misi perwakilan.

  c.

  Pajak untuk jasa-jasa pelayanan yang diberikan.

  d.

  Registrasi, pembayaran pengafilan, hipotek, pajak perangko sehubungan dengan barang-barang bergerak.

2. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi.

  Pada umumnya pembebasan bea cukai dan bagasi ini meliputi barang-barang yang diimpor untuk keperluan perwakilan diplomatik dan keperluan rumah tangga para pejabat diplomatik. Dalam hubungan ini pula bagasi-bagasi milik para pejabat diplomatik bebas dari pemeriksaan petugas-petugas doane.

  Pembebasan bea cukai dan bagasi ini diakui pula dalam Konvensi Wina 1961, yang memberikan pembebasan bea cukai dan bagasi, baik bea masuk maupun bea keluar dari pajak-pajak lainnya yang mempunyai hubungan dnegan itu, tanpa memasukkan biaya penyimpangan atau pajak yang ada hubungannya dengan

  

  pelayangan terhadap: a.

  Barang-barang keperluan dinas perwakilan diplomatik b.

  Barang-barang untuk keperluan pribadi dari pejabat diplomatik atau anggota keluarganya sebagai barang keperluan rumah tangga, termasuk barang-barang yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga.

  3. Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial dimaksudkan bahwa para pejabat diplomatik bebas daripada ketentuan kewajiban kemanan sosial yang mungkin berlaku di dalam negara penerima, seperti kewajiban siskamling, jaga malam dan lain lain. Pembebasan demikian juga berlaku untuk pelayan-pelayan

   pribadi yang turut serta didalam melayani kepentingan seorang pejabat diplomatik.

  4. Pembebasan dri pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer.

  Pembebasan dari pelayanan pribadi, pelayanan umum dan militer disini dijamin oleh Konvensi Wina 1961 yang menyatakan bahwa negara penerima harus 62 Ibid. Halaman: 65 memmbebaskan para pejabat diplomatik dari semua pelayanan pribadi, pelayanan umum macam apapun dan dari kewajiban militer seperti yang berhubungan dengan

   pengambilalihan, sumbangan militer.

5. Pembebasan dari kewarganegaraan

  Dalam protokol opsional Konvensi Wina 1961 mengenai hal memperoleh kewarganegaraan mengatur bahwa anggota-anggota perwakilan diplomatik yang bukan warga negara Negara penerima dan keluarganya tidak akan memperoleh kewarganegaraan Negara penerima tersebut semata-mata karena berlakunya hukum negara penerima tersebut.

  Dengan demikian terhadap kelahiran anak seorang pejabat diplomatik dinegara penerima maka anak tersebut tidak akan memperoleh kewarganegaraan negara penerima yang semata-mata karena berlakunya negara penerima, anak tersebut

   tetap mengikuti kewarganegaraann orang tuanya.

E. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik.

  Pengertian kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah berkembang dari masa ke masa. Pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik dilakukan secara timbal-balik (reciprocity principles) yang memang mutlak diperlukan dalam rangka

64 Ibid. Halaman: 67

  meningkatkan atau mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tidak memandang sistem politik maupun sosial budaya yang berbeda.

  Kekebalan dan keistimewaan para pejabat diplomatik ini tidak seterusnya dapat diberikan kepada seorang diplomat. Terdapat batas waktu kapan dapat dimulai kekebalan pejabat missi diplomatik dan kapan kekebalan para pejabat missi diplomatik itu berakhir.

  A. Mulai dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan diplomatik.

  Kekebalan dan Keistimewaan pejabat missi diplomatik ini mulai berlaku sejak mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya, atau jika sebelum diangkat oleh negara pengirim untuk menduduki jabatan diplomatik tertentu mereka telah berkedudukan di negara penerima maka awal berlakunya kekebalan hukum dan hak- hak istimewa diplomatik dianggap telah ada sejak mereka diangkat oleh negara pengirim atau dapat dikatakan pula sejak calon diplomat mendapatkan letter of dari pemerintahnya maka hak kekebalan dan keistimewaan pejabat missi

  credentials

  diplomatik sudah dapat diberikan kepada calon diplomat tersebut. Pengangkatan pejabat tersebut harus diberitahukan oleh negara pengirim kepada negara penerima melalui kementrian luar negeri negara penerima atau kementerian lain yang ditunjuk.

  Hal tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) Konvensi Wina 1961 secara jelas berbunyi “Setiap orang yang berhak akan kekebalan hukum dan hak-hak istimewa akan mendapatnya sejak saat ia memasuki wilayah Negara penerima dalam proses menempati posnya, atau jika ia sudah di dalam wilayahnya, sejak saat pengangkatannya itu diberitahukan kepada Kementerian Luar Negeri atau

  

  kementerian lainnya yang disetujui.” Ketentuan mengenai awal dinikmatinya kekebalan dan keistimewaan diplomatik bagi orang- orang yang berhak menikmati ini sesuai dengan ketentuan

  Pasal 22 Konvensi Havana tahun 1928 tentang Diplomatic Officer Pasal 14 menyebutkan petugas diplomatik harus terhormat untuk orang-orang mereka, tempat tinggal mereka, swasta atau pejabat, dan harta benda mereka. Diganggu gugat ini meliputi: a.

  Semua kelas petugas diplomatik; b.

  Seluruh personil resmi misi diplomatik; c. Para anggota keluarga masing-hidup di bawah atap yang sama; d.

  Kertas, arsip dan korespondensi misi.

  Serta pada Pasal 22 tentang kapan hak diplomatic officer dapat dinikmati “Petugas diplomatik dapat kenikmatan kekebalan mereka dari saat mereka melewati perbatasan negara di mana mereka akan menjalani misinya dan dimana posisi mereka telah diketahui. Hak kekebalan akan terus ada selama periode misi dan bahkan setelah itu akan dihentikan, untuk waktu yang diperlukan bagi petugas diplomasi dalam misi. Sehingga dapat dikatakan bahwa keistimewaan dan kekebalan diplomatik berlaku sejak diplomat memasuki wilayah negara penerima dalam rangka 66 Murti, Hak Kekebalan dan Keistimewaan Diplomatik, Sumber:

  , diakses: 30 Januari melaksanakan fungsi resminya. Dengan diberlakukan pemberitahuan terlebih dahulu