Hubungan Diplomatik Taiwan Dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai Subjek Hukum Internasional

(1)

HUBUNGAN DIPLOMATIK TAIWAN DENGAN NEGARA LAIN DALAM

STATUSNYA SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ERIC NIM : 080200062

DEPARTEMEN :HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

HUBUNGAN DIPLOMATIK TAIWAN DENGAN NEGARA LAIN

DALAM STATUSNYA SEBAGAI SUBJEK HUKUM

INTERNASIONAL

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara

OLEH : ERIC NIM : 080200062

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Ketua Departemen

Arif, SH, M.Hum NIP. 196403301993031002

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Sutianoto SH, M.Hum Arif, SH, M.Hum NIP. 195610101986031003 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih karunia dan penyertaan-Nya yang dirasakan oleh Penulis setiap waktu terkhusus dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena kasih-Nyalah maka skripsi ini dapat dirampungkan.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi mahasiswa pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada khususnya guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini adalah “Hubungan Diplomatik Taiwan Dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai Subjek Hukum Internasional”.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini.. Melalui kesempatan ini, Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada kedua orangtua Penulis yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang kepada penulis.

Serta tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Sutianoto SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Arif, SH, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang berkenaan menyediakan waktu, bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M. Sc.(CTM), Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Arif, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing II Penulis.

7. Bapak Sutianoto SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan waktu, bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Dr.Jelly Leviza, S.H.,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas

9. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah mendidik Penulis dari awal sampai akhir kuliah ini.

10.Seluruh Pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11.Kepada orang tua tercinta, Papa dan Mama yang telah merawat dan mendidik Penulis sampai saat ini.


(5)

12.Kepada semua saudara-saudariku

13.Kepada semua teman-temanku yang selalu memberi dukungan semangat

Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih, semoga skripsi ini berguna dan berkenan bagi para pembaca sekalian.

Medan, 24 April 2012 Penulis,

ERIC


(6)

ABSTRAKSI

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan terhadap masalah hubungan diplomatik Taiwan sebagai subjek Hukum Internasional. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah apa yang dimaksud dengan subjek Hukum Internasional, membentuk hubungan diplomatik antar negara dan hubungan diplomatik Taiwan sebagai subjek Hukum Internasional.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan, dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) dengan perolehan data sekunder yang bersumber sari majalah, buku-buku, jurnal, surat kabar, website online, dan dokumen pustaka lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pembukaan hubungan diplomatik antara negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap merupakan dua hal yang berbeda. Negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak langsung membuka perwakilan tetap. Hubungan diplomatik antar negara diartikan sebagai “the Conduct by Government officials of negotiations and other relations between nations..” (yang secara bebas berarti tindakan oleh pemerintah secara resmi yang terkait dengan negosiasi dan hubungan lainnya antar negara), maka salah satu bentuk nyata dalam pelaksanaan hubungan tersebut dalam praktek negara – negara yaitu melalui pembentukan misi diplomatik yang permanen. Hubungan diplomatik dengan negara-negara lain umumnya menggunakan jalur ekonomi dan perdagangan, sekaligus menjadi saluran hubungan diplomatik tidak resmi mengingat Taiwan secara riil merupakan kekuatan ekonomi Asia secara signifikan dan merupakan pintu gerbang para investor untuk melakukan investasi di kawasan ini selain Hong Kong dan Singapura. China berusaha melunakkan tawaran dengan memberikan kelonggaran kepada Taiwan dengan semboyan Satu Tiongkok dua Sistem (Republic-People Republic of China) dengan pilotproyek diterapkannya sistem itu di Hong Kong dan Makau ditambah dengan komunikasi politik dengan tokoh oposisi Taiwan dan rekonsiliasi politik antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Nasionalis (Kuomintang).


(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-syarat

berikut : penduduk tetap, wilayah yang tertentu; pemerintah; kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain.1

Unsur wilayah adalah merupakan unsur negara dengan syarat bahwa kekuasaan negara yang bersangkutan harus secara efektif di seluruh wilayah negara yang bersangkutan. Hal ini berarti didalam wilayah tersebut tidak boleh ada kekuasaan lain selain kekusaan negara yang bersangkut.2

Pengakuan merupakan pernyataan dari suatu negara yang mengakui suatu negara lain sebagai subjek hukum internasional. Pengakuan berarti bahwa selanjutnya antara negara yang mengakui dan negara yang diakui terdapat hubungan sederajat dan dapat mengadakan segala macam hubungan kerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan nasional masing-masing yang diatur oleh ketentuan-ketentuan Hukum Internasional. Pengakuan juga berarti menerima suatu negara baru ke dalam masyarakat Internasional.3

Suatu negara tidak dapat ada sebagai subyek hukum tanpa adanya pengakuan. Pengakuan ini memungkinkan negara baru untuk mengadakan

1

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, edisi kesepuluh, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hal.127.

2

Max Boli Sabon, Ilmu Negara, (Jakarta : Gramedia, 1994), hal.16

3

Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era


(8)

hubungan-hubungan resmi dengan negara-negara lain, dan dengan subyek Hukum Internasional lainnya.4

Sebuah negara menggunakan media diplomasi sebagai alat untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Setiap negara memiliki kepentingan nasional yang berbeda – beda, dalam pencapaian kepentingan tersebut terkadang menimbulkan konflik antara dua negara. Media diplomasi dapat digunakan untuk meredakan konflik yang terjadi antara negara – negara yang sedang berselisih, yakni dengan menggunakan sarana lobbying dan bargaining. Namun apabila cara tersebut tidak berhasil maka dibutuhkan manajemen perubahan, melalui alternatif– alternatif lain yang tujuannya untuk mencapai kepentingan nasional.5

pada tatanan dunia yang selalu berubah. Oleh karena itu sarana diplomasi yang digunakan negara juga ikut mengalami transformasi untuk mewujudkan kepentingan nasional. Berdasarkan kondisi nyata dan globalisasi, pelaksanaan diplomasi disesuaikan dengan tuntutan Internasional merupakan keharusan sebagai upaya agar dapat menyesuaikan diri dengan segala perubahan baik perubahan politik dan isu – isu Internasional. Dengan adanya kepiawaian seorang diplomat dalam mengelola dan memahami perubahan situasi global secara kekinian, maka akan memudahkan pencapaian tujuan dan kepentingan nasional negaranya.

Hal terpenting dalam hubungan suatu negara dengan negara lain tergantung

6

Dari pernyataan tersebut menggambarkan bahwa media diplomasi dapat mengalami perubahan yang disesuaikan oleh kebutuhan suatu negara, yakni dari diplomasi dengan cara damai dapat berubah menggunakan kekerasan, seperti halnya

4

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 69

5

Ibid

6


(9)

ancaman dan tindakan tegas untuk menekan negara lain. Adanya perubahan sarana diplomasi dikarenakan antara dua negara yang berselisih tidak memiliki trust

(kepercayaan), respect ( rasa saling menghormati ) dan keselarasan, sehingga sarana diplomasi melalui alternatif tindakan tegas dan ancaman dapat dipakai untuk membuat kesepahaman bersama.

Salah satu bentuk dari penggunaan tindakan tegas dan ancaman yaitu dengan melakukan penangguhan hubungan diplomatik antara negara satu dengan negara lain. Itu dilakukan karena dua negara bersikeras untuk mempertahankan argumennya. Penangguhan hubungan diplomatik biasanya terjadi akibat penolakan untuk memberikan pengakuan yang sah terhadap wilayah suatu Negara.7

Apabila terjadi penangguhan hubungan diplomatik, komunikasi diantara dua negara yang berkonflik tetap perlu dipertahankan, karena merupakan kebutuhan untuk meminimalisir akibat dari menurunnya hubungan diplomatik atau jalur untuk

memulihkan hubungan dua negara agar kembali normal.8

Taiwan merupakan bagian dari wilayah China yang tidak boleh dipisahkan. Dalam aspek topografi, semasa zaman kuno, Pulau Taiwan menyambung dengan Tanah Besar China. Kemudian, disebabkan pergerakan bumi, bagian penyambung Terkadang adanya keselarasan kepentingan diantara dua Negara yakni Cina dan Taiwan, dapat mengakibatkan terjadinya konflik. Ini terjadi karena dua negara memiliki kepentingan yang sama, dimana keduanya bersikeras dan berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan kepentingan mereka yang bertujuan memberi kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyatnya, seperti dalam kasus Taiwan.

7

Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta,

2008,hal 86

8


(10)

itu turun dan berubah menjadi selat, maka Taiwan pun menjadi pulau. Terdapat banyak benda budaya yang digali di berbagai tempat Taiwan diantaranya alat batu, keramik hitam dan keramik berwarna membuktikan kebudayaan Taiwan sebelum catatan sejarah sama dengan kebudayaan di Tanah Besar China. Berdasarkan catatan dokumen zaman kuno, pada tahun 230, Raja Negara Wu Sun Quan pernah menugaskan Jeneral Wei Wen dan Zhuge Zhi mengetuai 10 ribu laskar marinir tiba di Taiwan. Ini merupakan permulaan penduduk Tanah Besar China menggunakan pengetahuan maju. Pada akhir Abad ke-6 dan awal Abad ke-7 yaitu Dinasti Sui, Raja Yangdi pernah 3 kali mengantar pegawainya ke Taiwan untuk mengadakan kajian dan membantu penduduk setempat. Dalam waktu kira-kira 600 tahun berikutnya yaitu semasa Dinasti Tang dan Song, untuk menghindari diri dari peperangan dan kematian dalam tentera, terdapat keramaian penduduk yang tinggal di pantai Tanah Besar China khususnya di kawasan sekitar bandar Quanzhou dan Zhangzhou, Provinsi Fujian lari ke Kepulauan Penghu atau pindah ke Pulau Taiwan. Pada tahun 1355, Dinasti Yuan secara resmi menubuhkan “Jabatan Penghu” di Kepulauan Penghu untuk menangani pentadbiran Penghu dan Taiwan. Ini juga merupakan permulaan kerajaan Tanah Besar China menubuhkan jabatan pentadbiran khas di Taiwan. Setelah Dinasti Ming, pertukaran antara rakyat Tanah Besar China dengan Pulau Taiwan semakin sering terjadi. Ahli pelayar Zheng He semasa mengetuai pasukan kapal besar melihat berbagai negara Asia Tenggara, pernah singgah di Taiwan dan memberi barang serta hasil pertanian kepada penduduk setempat. Pada tahun 1628, bencana kering terjadi di Provinsi Fujian sehingga rakyat jelata mengalami penderitaan besar. Penduduk Fujian, Zheng Zhilong mengetuai puluhan ribu orang massa pindah ke Taiwan untuk mengadakan penyerangan secara


(11)

besar-besaran. Sejak pertengahan abad ke-16, Pulau Taiwan yang indah dan kaya sumbernya mulai dirampas penjajah barat. Berbagai negara asing termasuk Spanyol dan Portugal berturut-turut menyerang Taiwan, atau merampas sumber, atau secara terpaksa menyebar ajaran agama, atau secara langsung mengadakan penaklukan. Pada tahun 1642, Belanda mengalahkan Sepanyol dan menduduki bahagian utara Pulau Taiwan, dan Taiwan turut menjadi tempat penjajahan Belanda. Penjajah Belanda mengadakan ekploitasi yang kejam terhadap rakyat Taiwan semasa penjajahannya. Rakyat Taiwan selalu menggalakkan perjuangan antiBelanda. Pada tahun 1662, berdasarkan bantuan rakyat Taiwan, pahlawan nasional China Zheng Chenggong berhasil mengalahkan penjajah Belanda dan mengambil kembali Taiwan. Pada masa tidak lama kemudian, Zheng Chenggong terkena penyakit dan meninggal dunia. Anaknya Zheng Jing dan Zheng Keshuang menangani pentadbiran di Taiwan selama 22 tahun. Semasa 3 genegrasi ZhengChenggong menangani pentadbiran di Taiwan, mereka melaksanakan banyak tindakan untuk menjaga perkembangan ekonomi dan kebudayaan Taiwan antaranya menggalakkan pembuatan gula dan garam, mengembangkan industri dan perniagaan, meningkatkan perdagangan, mendirikan sekolah dan memperbaiki cara pengeluaran pertanian etnik Gaoshan. Ini dikenal sebagai “Zaman Mingzheng” dalam sejarah pembangunan Pulau Taiwan.

Belum diakuinya Taiwan sebagai sebuah Negara oleh sebagian besar Negara lain di dunia merupakan kendala besar bagi Taiwan untuk menjalin hubungan diplomatik dan hubungan kerjasama yang lebih luas. Bahkan, PBB sebagai suatu organisasi Internasional yang menaungi seluruh Negara tidak mengakui Taiwan sebagai anggotanya. Hal ini membuat banyak Negara di berbagai belahan dunia


(12)

hanya melakukan hubungan kerjasama dalam perdagangan, perekonomian, dan ketenagakerjaan dengan Taiwan termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah memiliki hubungan kerjasama dengan Taiwan sejak tahun 1960. Namun Indonesia selalu berpegang teguh dengan prinsip One China Policy atau kebijakan satu China. Artinya, secara de jure Indonesia hanya menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC). Indonesia tidak mengakui Taiwan sebagai sebuah Negara yang berdaulat dan merdeka dari China. Namun bukan berarti antara Indonesia dan Taiwan tidak terjalin hubungan kerjasama. Hubungan antara Indonesia dengan Taiwan hanya sebatas hubungan kerjasama perdagangan dan ekonomi. Hal ini dikarenakan Indonesia ingin tetap menjalin hubungan yang baik dengan pemerintah RRC baik hubungan diplomatik maupun hubungan kerjasama ekonomi.

Taiwan merupakan mitra dagang Indonesia yang cukup diperhitungkan. Banyak sekali hubungan kerjasama perdagangan yang telah dijalin dengan Taiwan di berbagai bidang kehidupan. Mulai dari bidang perdagangan dan perekonomian, investasi - investasi perusahaan Taiwan, ketenagakerjaan, pendidikan dan kepariwisataan. Kesemua aspek tersebut sangat menguntungkan baik bagi Indonesia maupun bagi Taiwan.

Wilayah Taiwan yang sekarang secara de facto merupakan wilayah Republik Cina pernah menjadi protektorat dari negara Jepang setelah peperangan antara Cina dengan Jepang pada akhir abad ke-19 (1894-1895) yang berbuah pada kekalahan Cina dan perjanjian Shimonoseki berakhirnya masa Perang Dunia II dan Taiwan diambil alih oleh pemerintahan Kuomintang (saat itu, Cina masih berada di bawah Dinasti Qing dari Manchuria, 1895).


(13)

Sejarah pemisahan Taiwan dan Cina dimulai dari perang saudara di tahun 1949. Republik Cina yang dipimpin oleh Chiang Kai Shek yang berhaluan nasionalis kalah dari perang saudara dengan Partai Komunis Cina (Zhongguo Gongchandang) pimpinan Mao Zedong dan mundur ke Taiwan. Mao Zedong kemudian memproklamirkan berdirinya negara baru Republik Rakyat Cina di Beiping, yang kemudian diubah namanya menjadi Beijing dan selanjutnya ditetapkan sebagai ibukota negara baru tersebut. Mao Zedong mendeklarasikan Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis.

Sejak Oktober 1949, Taiwan terus berusaha memisahkan diri dari Cina. Usaha yang dilakukan oleh Taiwan yaitu Pragmatic Diplomacy yang dijalankan Taiwan memperlihatkan keinginan untuk melepaskan diri dari Cina. Taiwan giat membuka hubungan diplomatik dengan berbagai negara di Afrika ataupun memberi bantuan dana kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diterjemahkan oleh Beijing sebagai keinginan untuk mendirikan negara terpisah.

Taiwan selanjutnya mencoba kembali untuk menjadi anggota PBB, akan tetapi gagal setiap kali mencoba karena Cina menghalanginya. Cina berusaha mengedepankan Dasar Satu Cina yang dipromosikan oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok di Cina Daratan disamping melakukan tekanan ekonomi dan diplomatik kepada Taiwan. Kebanyakan negara dunia mengubah arah diplomatiknya ke pemerintahan Republik Rakyat di daratan pada tahun 1970-an dan kini, Republik Cina di Taiwan hanya diakui 25 negara saja.

Demikianlah, maka perlu dilakukan suatu telaah terhadap masalah yang menyangkut pelaksanaan hubungan diplomatik dengan mengambil judul:


(14)

Hubungan Diplomatik Taiwan dengan Negara Lain Dalam Statusnya Sebagai Subjek Hukum Internasional.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apa yang dimaksud dengan Subjek Hukum Internasional?

2. Bagaimana membentuk hubungan diplomatik antar Negara?

3. Bagaimana hubungan diplomatik Taiwan sebagai Subjek Hukum Internasional?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan utama dari penulisan skripsi ini secara umum adalah untuk menempatkan Studi Analisa Hubungan Diplomatik sebagai bidang yang menarik dalam ilmu Hukum Internasional. Suatu penulisan biasanya dilakukan untuk memberikan gambaran obyektif terhadap fenomena tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:

a. Memberikan gambaran tentang hubungan diplomatik Taiwan sebagai subjek

Hukum Internasional.

b. Mengetahui bagaimana hubungan diplomatik antar negara.

c. Mengaplikasikan teori-teori yang didapatkan selama proses belajar di


(15)

d. Penulisan ini sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana S1 pada Jurusan Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat penulisan skripsi yang dilakukan adalah:

a. Penulisan ini sangat penting untuk memperoleh data yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagai bahan penyusunan skripsi dan bahan pembinaan serta memperkaya khasanah perbendaharaan ilmu hukum khususnya Hukum Internasional.

b. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumber kajian bagi yang berkepentingan.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah hubungan diplomatik Taiwan dengan Negara lain dalam statusnya sebagai subjek hukum internasional. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang sama dengan mahasiswa fakultas hukum USU. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Suatu menjadi pendapat umum bahwa hakekat manusia itu adalah sebagai kepribadian dan masyarakat. Dua unsur eksistensi ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila kita substitusikan kepada masyarakat Internasional maka Negara dapat dikatakan sebagai kepribadian, sementara


(16)

kumpulan dari Negara-negara tersebut dapat dikatakan sebagai masyarakat internasional (international society).9

Konsepsi di atas membawakan hubungan-hubungan dalam mana kepentingan yang beraneka ragam saling menjalin secara berkelanjutan yang semakin hari semakin meluas. Interpedansi antar mereka dalam memenuhi kepentingan-kepentingan mereka sudah menjadi suatu keharusan. Dengan perkataan lain, Negara-negara di dunia sekarang ini erat kaitannya satu sama lain, sehingga apapun yang terjadi misalnya di bidang politik, ekonomi, dan sosial di suatu bagian dunia pasti akan mempengaruhi bagian dunia lainnya.10

Sejak permulaan sejarah umat manusia, hubungan individu, kelompok, dan antar bangsa sudah mengenal kaedah-kaedah yang mengatur dan menata perilaku semestinya dalam hubungan itu sendiri. Kaedah-kaedah tersebut ditujukan sebagai suatu keabsahan yuridis untuk mengatur perilaku Negara-negara didalam melakukan hubungan-hubungan di antara mereka. Inilah yang disebut dengan hukum diplomatik. Dalam rangka mempererat hubungan antar bangsa serta kerjasama dan persahabatan maka Negara-negara mengirimkan perwakilannya ke Negara lain. Pengiriman perwakilan Negara ke Negara lain dikenal dengan pertukaran misi diplomatik yang sudah dilakukan sejak dahulu. Perwakilan diplomatik dianggap sebagai wakil dari Negara yang diwakilinya dan kedudukannya dipersamakan dengan kedudukan seorang kepala Negara pengirim di Negara penerima.

11

Definisi diplomat yaitu sebagai orang yang melakukan diplomasi. Kata diplomat berasal dari bahasa Yunani yaitu “diploma” yang artinya adalah “a letter

9

Buana, Mirza, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Nusamedia, Bandung, 2007, hal 16

10

Ibid

11

Setyo Widagdo & Hanig Nur Widhiyanti. Hukum Diplomatik dan Konsuler, Bayumedia Publishing, Malang, Cetakan Pertama, 2008, hal 35.


(17)

folded double” atau surat yang dilipat ganda, kemudian diterjemahkan sebagai utusan negara yang mengemban tugas ganda. Sehingga dalam kaitannya dengan hubungan antar negara, diplomat dapat dikatakan sebagai duta negara atau utusan negara yang ditugaskan ke negara lain sebagai representatif atau untuk merepresentasikan negara yang telah mengutusnya. Maka dalam menjalankan fungsinya, seorang diplomat harus bekerja sesuai dengan aturan diplomatik yang telah berkembang di kalangan negara-negara dunia.12

Definisi mengenai diplomasi sangatlah beragam. Para pakar memberi definisi yang berbeda. Menurut Wikipedia Indonesia pengertian diplomasi adalah “seni dan praktek bernegosiasi oleh seseorang yang biasanya mewakili sebuah negara atau organisasi”. Kata diplomasi sendiri biasanya langsung terkait dengan diplomasi Internasional yang biasanya mengurus berbagai hal seperti budaya, ekonomi, dan perdagangan. Biasanya, orang menganggap diplomasi sebagai cara mendapatkan keuntungan dengan kata-kata yang halus.

13

Menurut the Chamber's Twentieth Century Dictionary, diplomasi adalah “the

art of negotiation, especially of treaties between states; political skill”. (seni

berunding, khususnya tentang perjanjian di antara negara-negara; keahlian politik). Syahrimin mengatakan bahwa diplomasi, yang sangat erat dihubungkan dengan

The Oxford English Dictionary memberi konotasi sebagai berikut:

“manajemen hubungan intemasional melalui negosiasi; yang mana hubungan ini diselaraskan dan diatur oleh duta besar dan para wakil; bisnis atau seni para diplomat”.

12

Ak, Syahmin, Hukum Diplomatik Dalam Kerangka Studi Analisis, Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal 20

13

Suryono,Edy, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung: Angkasa,


(18)

hubungan antar negara sebagai : Seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.14

Definisi hubungan diplomatik adalah salah satu cara yang dipergunakan dalam hubungan internasional, dengan memakai metode diplomasi atau negosiasi. Secara tradisional, fungsi perwakilan diplomatik atau agen diplomatik yang dikirimkan ke negara asing merupakan penyambung lidah pemerintahnya dan sebagai jalur komunikasi resmi antar negara pengirimnya dengan negara dimana diplomat tersebut ditempatkan. Selain itu, diplomat tersebut memberikan laporan-laporan kepada pemerintahnya mengenai kondisi dan perkembangan situasi yang terjadi di negara penerima, melindungi bangsanya yang berdiam di negara penerima serta meningkatkan hubungan persahabatan antara negaranya dengan negara penerima. Selanjutnya diplomat tersebut bertugas memupuk kerjasama dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan anjuran dan ketentuan-ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.15

Fungsi perwakilan diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkan antara politik dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi perwakilan diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang

14

Op.Cit, hal 21

15


(19)

perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sebenarnya merupakan wewenang konsuler.16

Hukum Internasional tidak pernah luput dari pelanggaran-pelanggaran ataupun pembangkangan dari negara-negara yang melanggar hukum tersebut. Pelanggaran sering terjadi dalam masalah-masalah politik dan keamanan yang dianggap vital bagi negara yang bersangkutan. Namun, setiap kali terjadi pelanggaran, negara pelanggar selalu berusaha menjelaskan bahwa tindakkannya tidak bertentangan dengan hukum internasional. Dalam sengketa-sengketa yang terjadi, negara selalu berlindung dibawah prinsip penegakkan hukum dalam membenarkan tindakannya dan tidak pernah berdasarkan ketidakadaan hukum. Oleh karena itu, hukum internasional bertugas mengatur berbagai macam interaksi antar negara dan subyek-subyek hukum lainnya yang memiliki ruang lingkup yang luas dan kompleks serta dituntut untuk berperan aktif demi terlaksananya hubungan dan kerjasama yang baik serta dapat memelihara perdamaian dan keamanan dunia.17

16

Sihbudi, M. Riza, dkk, Konflik dan Diplomasi, PT Eresco, Bandung, 1993, hal 27

17

Ambarwati, dkk, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan

Internasiona,Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hal 66.

Pada akhir Perang Dunia II jumlah negara-negara yang baru merdeka sangatlah terbatas dan karena dunia terus mengalami perkembangan jumlah negara-negara yang diakui kemerdekaannya oleh negara lainnya juga bertambah. Negara menjadi sangat penting keberadaannya karena negara merupakan subyek yang paling utama dalam hukum internasional. Negara juga berperan sebagai pemegang hak dan segala kewajiban yang ditanggungnya. Oleh karena itu, pembentukan suatu negara yang


(20)

merupakan subyek hukum internasional harus memiliki unsur-unsur konstitutif sebagai syarat sahnya terbentuknya suatu negara.18

Bentuk perwujudan khusus atau dalam kata lain, apa saja yg menjadi kekhususan pembahasan hukum internasional. PBB memberikan ruang khusus terhadap Hukum Internasional19

Perdamaian dan keamanan, batas wilayah, kegiatan kemanusiaan dan HAM merupakan pokok pembahasan PBB. Dimana pembahasan tersebut diatas digolongkan ke delam nama atau kelompok-kelompok hukum : Hukum humaniter, hukum udara, hukum angkasa, hukum diplomatik, hukum lingkungan internasional, hukum laut internasional, hukum pengelesaian sengketa, hukum pidana internasional, hukum ekonomi internasional. Kelompok hukum tersebut diajarkan pada bagian hukum internasional dengan tujuan agar, mahasiswa dapat mengerti dan memahami mekanisme PBB dan Hukum Internasional itu sendiri.

. Semua ketentuan internasional dikeluarkan oleh PBB melalui suatu rapat Majelis Umum yang dihadiri oleh Negara-negara anggota. Dari pertemuan tersebut, lahirah aturan-aturan formal internasional yang dikenal dengan Hukum Internasional.

20

Jika diperhatikan peristiwa setahun terakhir di dunia internasional, berbagai peristiwa hukum internasional setahun terakhir dapat memberikan gambaran mengenai bidang-bindang kekhususan dari hukum internasional. Peristiwa di Libya. Kekuatan rakyat yang hendak menggulingkan kekuasaan Khadafi, presiden Libya yang sudah menjabat selama lebih dari 30 tahun. Melalui resolusi Dewan Keamanan, PBB mengirimkan tentara keamanan internasional atau yg dikenal

18

Op.Cit, hal 29

19

Djamili, Mizwar, Mengenal PBB dan 170 Negara di Dunia, PT Kreasi Jaya Utama,

Jakarta, 1995, hal 57.

20


(21)

dengan casque bleu, yaitu tentara gabungan dari berbagai Negara, yang bersifat netral, tidak memihak.21

Hubungan bilateral dalam hubungan internasional selalu berada dalam dua konteks, yaitu kerjasama dan konflik. Kedua konteks hubungan internasional ini berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan dinamika hubungan internasional itu sendiri. Hubungan bilateral yang dilakukan oleh Malaysia – Indonesia sejak 1973 merupakan konteks kerjasama yang semakin membaik dan membuat hubungan keduanya menjadi lebih erat. Konsep Hubungan Bilateral menurut Didi Krisna dalam kamus politik internasionalnya mengatakan Hubungan bilateral adalah keadaan yang menggambarkan adanya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadi hubungan timbal balik antara dua pihak atau dua negara.22

Hubungan bilateral yang terjalin dengan baik tak lepas dari adanya kepentingan nasional dari kedua negara tersebut yang berusaha dicapai dalam hubungan kerjasama diantara keduanya. Hans J. Morgenthau menyampaikan pandangan tentang konsep kepentingan nasional sebagai berikut: “The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in

that sense necessary, and one that is variable and determined by circumstances.23”

Konsep kepentingan nasional, maka, mengandung dua elemen, salah satu yang logis yang diperlukan dan dalam arti yang diperlukan, dan satu yang variabel dan ditentukan oleh keadaan.24

21

Siswanto, Eds. Demokratisasi di Timur Tengah pasca Politisasi, (Jakarta : PPP LIPI, 2010), hal 34

22

Didi Krisna, Kamus Politik Internasional, Jakarta: Grasindo1 2003 hal. 18

23

Hans J. Morgenthau, “Another “Great Debate”: The National Interest of the United States,”in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasquest (New Jersey: Prentice Hall,

24


(22)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini bersifat deskriptif analisis, yaitu menjelaskan dan menganalisis permasalahan berdasarkan data daninformasi yang dikumpulkan

Dalam penulisan ilmiah terdapat beraneka ragam jenis penelitian. Dariberbagai jenis penelitian, khususnya penelitian hukum yang paling popular dikenal adalah :

1. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau hanya menggunakan data sekunder belaka. 2. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan cara terutama meneliti data

primer yang diperoleh di lapangan selain juga meneliti data sekunder dari perpustakaan.

Pilihan metode suatu penelitian hukum tergantung pada tujuan penelitian itu sendiri. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, maka penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan

(library research) dengan perolehan data sekunder yang bersumber sari majalah,

buku-buku, jurnal, surat kabar, website online, dan dokumen pustaka lainnya.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan


(23)

Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL. Dalam bab ini berisi tentang definisi subjek hukum internasional, perkembangan subjek hukum internasional, macam-macam subjek hukum internasional dan kedudukan negara sebagai subjek utama dalam hukum internasional.

BAB III : HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA. Bab ini berisikan tentang sejarah perkembangan hubungan diplomatik, pembukaan hubungan diplomatik, berakhirnya misi diplomatik dan syarat-syarat pembentukan hubungan diplomatik.

BAB IV : HUBUNGAN DIPLOMATIK TAIWAN SEBAGAI SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL. Bab ini berisi tentang status Taiwan dalam perspektif hukum internasional, hubungan diplomatik antara Taiwan dengan Indonesia.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

A. Definisi Subjek Hukum Internasional

Secara umum subyek hukum diartikan sebagai pendukung / pemilik hak dan kewajiban. Pada awal mula dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Akan tetapi karena perkembangannya, pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional pada saat ini ternyata tidak terbatas pada Negara saja tetapi juga meliputi subyek hukum internasional lainnya. Hal ini dikarenakan terdapat perkembangan ataupun kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan transportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin kompleks.25

Menurut I Wayan Parthiana subjek hukum pada umumnya diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum. Dengan kemampuan sebagai

Jadi subyek hukum internasional dapat diartikan sebagai negara atau kesatuan-kesatuan bukan negara yang dalam keadaan tertentu memiliki kemampuan untuk menjadi pendukung hak dan kewajiban berdasarkan Hukum Internasional. Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk dianggap sebagai subyek hukum internasional. Begitu juga dengan keberadaan individu atau kelompok individu

(belligerent) yang pada akhirnya dapat pula diakui sebagai subyek hukum

Internasional.

25

Haryomataram, KGPH, Pengantar Hukum Internasional, RajaGrafindo Persada,


(25)

pemegang hak dan kewajiban tersebut, berarti adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan kewajiban. Secara umum yang dipandang sebagai subjek hukum adalah : (a) individu atau orang perorangan atau disebut pribadi alam dan (b) badan atau lembaga yang sengaja didirikan untuk suatu maksud dan tujuan tertentu yang karena sifat, ciri, dan coraknya yang sedemikian rupa dipandang mampu berkedudukan sebagai subjek hukum. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa subjek hukum internasional adalah pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional; dan setiap pemegang atau pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional adalah Subjek Hukum Internasional.26

Pendapat lain juga dikemukakan oleh F. Sugeng Istanto yang mengatakan bahwa yang dianggap sebagai subjek hukum bagi hukum internasional adalah negara, organisasi internasional dan individu. Subjek hukum tersebut masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang berbeda satu sama lain. Subjek Hukum Internasional adalah pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Adapun subjek hukum internasional adalah sebagai berikut.27

1. Negara

Negara dinyatakan sebagai subjek hukum internasional yang pertama karena kenyataan menunjukkan bahwa yang pertama melakukan hubungan internasional adalah negara. Aturan-aturan yang disediakan masayarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila

26

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 58.

27

F. Sugeng Istanto, Studi Kasus Hukum Internasional, Penerbit PT Tatannusa, Jakarta, 1998, hal 17


(26)

mereka saling mengadakan hubungan. Adapun negara yang menjadi subjek hukum internasional adalah negara yang merdeka, berdaulat, dan tidak merupakan bagian dari suatu negara, artinya negara yang mempunyai pemerintahan sendiri secara penuh yaitu kekuasaan penuh terhadap warga negara dalam lingkungan kewenangan negara itu.

2. Tahta Suci (Vatican)

Yang dimaksud dengan Tahta Suci (Vatican) adalah gereja Katolik Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun bukan suatu negara, Tahta Suci mempunyai kedudukan sama dengan negara sebagai subjek hukum internasional. Tahta Suci memiliki perwakilan-perwakilan diplomatik di berbagai negara di dunia yang kedudukannya sejajar sengan wakil-wakil diplomat negara-negara lain.

3. Palang Merah Internasional

Organisasi Palang Merah Internasional lahir sebagai subjek hukum internasional karena sejarah. Kamudian, kedudukannya diperkuat dalam perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi palang merah tentang perlindungan korban perang.

4. Organisasi Internasional, Organisasi Internasional dibagi menjadi sebagai

berikut.

a. Organisasi Internasional Publik atau Antarpemerintah (Intergovernmental Organization: Organisasi internasional publik meliputi keanggotaan negara-negara yang diakui menurut salah satu pandangan teori pengakuan atau keduanya. Prinsip-prinsip keanggotaan organisasi internasional adalah sebagai berikut.


(27)

1) Prinsip Universitas (University). Prinsip ini dianut PBB termasuk badan-badan khusus yang keanggotaannya tidak membedakan besar atau kecilnya suatu negara.

2) Prinsip Pendekatan Wilayah (Geographic Proximity). Prinsip kedekatan wilayah memiliki anggota yang dibatasi pada negara-negara yang berada di wilayah tertentu saja. Contohnya, ASEAN meliputi keanggotaan negara-negara yang ada di Asia Tenggara.

3) Prinsip Selektivitas (Selectivity). Prinsip selektivitas melihat dari segi kebudayaan, agama, etnis, pengalaman sejarah, dan sesama produsen. Contohnya Liga Arab, OPEC, Organisasi Konferensi Islam, dan sebagainya.

b. Organisasi Internasional Privat (Private International Organization): Organisasi ini dibentuk atas dasar mewujudkan lembaga yang independen, faktual atau demokratis, oleh karena itu sering disebut organisasi

nonpemerintahan (NGO = Non Government Organization) atau dikenal

dengan lembaga swadaya masyarakat yang anggotanya badan-badan swasta. c. Organisasi Regional atau Subregional: Pembentukan organisasi regional

maupun subregional, anggotanya didasarkan atas prinsip kedekatan wailayah, seperti : South Pasific Forum, South Asian Regional Cooperation,

gulf Cooperation Council, dan lain-lain.

d. Organisasi yang bersifat universal: Organisasi yang bersifat universal lebih memberikan kesempatan kepada anggotanya seluas mungkin tanpa memandang besar kecilnya suatu negara.


(28)

e. Orang Perorangan (Individu): Setiap individu menjadi subjek hukum internasional jika dalam tindakan yang dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai kehidupan masyarakat dunia.

f. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa: Menurut hukum perang,

pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam keadaan tertentu.

• Menentukan nasibnya sendiri,

• Memilih sendiri sistem ekonomi, politik, dan sosial,

• Menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didudukinya.

Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.

Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.28

Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda.29

Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau

28

Rudi, T May, Hukum Internaisonal I, Refika Aditama, Bandung, 2001, hal 44

29

Kusumaatmadja, Mochtar, Hukum Humaniter Internasional Dalam Pelaksanaan dan


(29)

persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’.30

B. Perkembangan Subjek Hukum Internasional

Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.

Subyek Hukum Internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan Hukum Internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun, seiring perkembangan zaman telah terjadi perubahan pelaku-pelaku subyek hukum internasional itu sendiri. Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:

1. Negara

Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah penduduk yang tetap, mempunyai wilayah (teritorial) tertentu; pemerintahan yang sah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.

30


(30)

2. OrganisasiInternasional

Organisasi internasional mempunyai klasifikasi, yakni:

1. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global

dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;

2. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan

maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank,

UNESCO, International Monetary Fund, International Labor

Organization, dan lain-lain;

3. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud

dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation

(ASEAN), Europe Union.

3. Palang Merah Internasional

Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of


(31)

4. Tahta Suci Vatikan

Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia.

5. Kelompok Pemberontak/Pembebasan

Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.


(32)

6. Individu

Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti

dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, menyatakan individu adalah sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.

7. Perusahaan Multinasional (MNC)

Eksistensi MNC dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.

Subyek hukum internasional juga dapat didefinisikan sebagai pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh Hukum Internasional atau setiap negara, badan hokum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan internasional.

C. Macam-Macam Subjek Hukum Internasional

Sebagaimana diketahui bahwa subyek hukum internasional meliputi: 1) Negara;

2) Organisasi Internasional; 3) Palang Merah Internasional; 4) Tahta Suci atau Vatikan;


(33)

5) Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya;

6) Wilayah-wilayah Perwalian; 7) Kaum Belligerensi;

8) Individu.31

c. A government; and

Di antara beberapa subyek hukum internasional sebagaimana tersebut di atas, dalam pembahasan berikut materinya hanya dibatasi Negara sebagai subyek hukum internasional dan individu sebagai subyek hukum internasional.

Negara sebagai salah satu subyek internasional dan merupakan subyek hukum utama dari hukum internasional. Negara sebagai subyek hukum internasional baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis, yang pertama-tama merupakan subyek hukum internasional pada awal mula lahir dan pertumbuhan hukum internasional adalah negara.

Peranan negara sebagai subyek hukum internasional lama kelamaan juga semakin dominan oleh karena bagian terbesar dari hubungan-hubungan internasional yang dapat melahirkan prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum internasional dilakukan oleh negara-negara. Unsur tradisional suatu Negara terdapat dalam Pasal 1

Montevidio (Pan American) Convention on Rights And Duties of State of 1933. Pasal

Tersebut Berbunyi sebagai berikut :

The State as person of international law should posses the following qualification :

a. A permanent population

b. A defined territory

31

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 59.


(34)

d. A capacity to enter into relations with other State.32

Unsur-unsur diatas juga dikemukakan oleh Oppenheim Lauterpacht. Berikut adalah uraian beliau tentang masing-masing unsur tersebut :33

1) Harus ada rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia dari

kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan ataupun memiliki kulit yang berlainan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa masyarakat ini harus terorganisasi dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisasi dengan baik “hidup” berdampingan dengan masyarakat disorganised.

2) Harus ada daerah, dimana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup

berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain (a wandering people) bukan termasuk negara, tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil, dapat juga hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.

3) Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili rakyat,

dan memerintah menurut hukum negerinya. Suatu masyarakat yang anarchitis bukan termasuk negara. Dalam salah satu tulisnnya, Lauterpacht menyatakan bahwa adanya unsur ini, yaitu pemerintah, merupakan syarat utama untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum atau

32

Huala Adolf, Aspek Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hal 2.

33


(35)

secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara.

4) Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.

Oppenheim-Lauterpacht menggunakan kalimat lain untuk unsur keempat ini, yaitu dengan

menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat” (sovereign). Yang

dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.

Di antara unsur- unsur negara tersebut sebenarnya unsur kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain kurang penting, karena negara mungkin dapat berdiri tanpa adanya kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, sehingga disebut juga dengan unsur non phisik. Mengenai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain ini ada kaitannya dengan pengakuan baik hukum nasional maupun internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut.

Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain dimaksudkan dalam pengertian yuridis, maksudnya karena hukumlah baik hukum nasional maupun hukum internasional mengakui adanya kekuasaan dan kewenangan tersebut. Sedangkan mengenai pernyataan yang berkenaan dengan kriteria atau ukuran tentang kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain, tidak ada ketentuan yang jelas dan pasti. Berkaitan dengan pengakuan “suatu negara diakui


(36)

secara de jure sedangkan negara lain mengakuinya secara de facto, hanyalah pengecualian saja dan merupakan hal yang luar biasa”.34

Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan seperti yang disebut diatas adalah hal yang paling penting dari segi hukum internasional. Ciri-ciri diatas juga membedakan negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui oleh Negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri. Bahkan hukum internasional itu sendiri boleh dikatakan bagian terbesar terdiri atas hubungan hukum antara negara dengan negara.35

Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya. Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewenangan atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara dapat mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya, sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan dari negara itu. Dalam pandangan hukum internasional, Negara juga mempunyai Hak dan Kewajiban. Hak dan kewajiban Negara terdapat dalam konvensi montevidio tahun 1933 tentang hak Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan Negara lain. Tetapi hal ini tidak bisa diartikan bahwa kedaulatan itu tidak ada yang membatasi, atau sebagai tidak terbatas sama sekali. Pembatasannya sendiri adalah hukum, baik hukum nasional maupun hukum internasional.

34

Widagdo, Setyo, dan Hanif Nur Widhiyanti. 2008. Hukum Diplomatik dan Konsuler.

Bayu Media : Malang, hal 34

35

Starke, J. G., Pengantar hukum Internasional I-edisi kesepuluh, Sinar Grafika Indonesia, Jakarta, 2008, hal 55


(37)

dan kewajiban Negara-negara oleh Negara-negara Amerika latin, serta dalam rancangan Deklarasi tentang hak dan kewajiban Negara-negara yang disusun oleh komisi hukum internasional PBB pada tanggal 1949. Rancangan tersebut dibuat agar dapat disahkan oleh majelis umum PBB.36

D. Kedudukan Negara sebagai Subjek Utama Dalam Hukum Internasional

Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia sejak dahulu kala selalu hidup bersama-sama dalam suatu kelompok (zoon politicon). Dalam kelompok manusia itulah mereka berjuang bersama-sama mempertahankan hidupnya mencari makan, melawan bahaya dan bencana serta melanjutkan keturunannya. Mereka berinteraksi, mengadakan hubungan sosial. Untuk mempertahankan hak mereka untuk dapat hidup di tempat tinggal tertentu yang mereka anggap baik untuk sumber penghidupan, diperlukan seseorang atau sekelompok kecil orang-orang yang ditugaskan mengatur dan memimpin kelompoknya. Kepada pemimpin kelompok inilah diberikan kekuasaan-kekuasaan tertentu dan kelompok manusia tadi diharuskan menaati peraturan-peraturan perintah pemimpinnya.37

Negara adalah lanjutan dari kehendak manusia bergaul antara seorang dengan orang lainnya dalam rangka menyempurnakan segala kebutuhan hidupnya. Semakin luasnya pergaulan manusia tadi maka semakin banyak kebutuhannya, maka bertambah besar kebutuhannya kepada sesuatu organisasi negara yang akan melindungi dan memelihara hidupnya. Secara etimologi, negara dapat diterjemahkan dari kata-kata asing staat (bahasa Belanda), state (bahasa Inggris) dan Etat (bahasa

37


(38)

Prancis). Asalnya adalah bahasa latin yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri; membuat berdiri; dan menempatkan.

Pada dasarnya tidak ada suatu definisi yang tepat terhadap pengertian suatu Negara. Namun kita dapat mengambil beberapa pengertian suatu Negara berdasarkan pengertian-pengertian oleh para ahli yang dapat dijadikan sebagai suatu sumber hukum atau biasa disebut dengan doktrin para sarjana. Serta pengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional yang dapat kita ambil dari Konvensi Montevidio tahun 1933. Menurut Plato, negara adalah suatu tubuh yang senantiasa maju, berevolusi dan terdiri dari orang-orang (individu-individu) yang timbul atau ada karena masing-masing dari orang itu secara sendiri-sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya yang beraneka ragam, yang menyebabkan mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kepentingan mereka bersama.38

Kesatuan inilah yang kemudian disebut masyarakat atau negara39. Dari pengerian yang disampaikan sarjana ini dapat diketahui bahwa suatu negara ada karena hubungan manusia dengan sesamanya karena manusia menyadari tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dalam pemenuhan kebutuhannya, atau berdasarkan doktrin yang diajarkan oleh Aristoteles biasa kita kenal dengan istilah zoon political. Menurut Thomas Hobbes bahwa negara adalah suatu tubuh yang dibuat oleh orang banyak beramai-ramai, yang masing-masing berjanji akan memakainya menjadi alat

untuk keamanan dan pelindungan mereka40

38

http://www.docstoc.com/docs/20860721/RESUME-HUKUM-INTERNASIONAL diakses 3 April 2012

39

Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta : Liberty, 1980), hlm. 17

40

Samidjo, Op.Cit., hlm. 29

. Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh sarjana ini adalah bahwa suatu negara terbentuk oleh sekumpulan manusia yang menyatukan dirinya dan kemudian mengadakan perjanjian antar


(39)

sesama mereka untuk menjadikan negara yang mereka bentuk sendiri sebagai alat untuk keamanan dan perlindungan bagi mereka (Teori Perjanjian Masyarakat atau teori kontrak sosial). Dari sini juga dapat diketahui bahwa negara dibentuk dalam rangka memberikan rasa aman dan perlindungan bagi masing-masing mereka, yang berarti juga bahwa manusia menyadari mereka dapat menjadi serigala bagi

sesamanya (homo homini lupus) dalam pencapaian kepentingan masing-masing

mereka, yang kemudian dalam skala yang besar dapat menyebabkan terjadinya perlawanan atau perang (bellum omnium contra omnes).41

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut dengan kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.42

Sesuai dengan pelaku utama hubungan internasional adalah negara, maka yang menjadi perhatian utama hukum internasional adalah hak dan kewajiban serta kepentingan negara. Negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, bahkan menjadi subjek hukum internasional yang pertama dan utama serta terpenting (par

excellence). Negara menjadi subjek hukum internasional yang pertama-tama, sebab

kenyataan menunjukkan bahwa yang pertama-tama yang mengadakan hubungan

42


(40)

internasional adalah Negara. Negara sebagai suatu kesatuan politik dalam hukum internasional yang juga sifatnya keterutamaannya maka suatu negara harus memiliki unsur-unsur tertentu berdasarkan hukum internasional. Aturan hukum internasional yang disediakan masyarakat internasional dapat dipastikan berupa aturan tingkah laku yang harus ditaati oleh negara apabila mereka saling mengadakan hubungan kerjasama.43 Untuk lebih jelasnya lagi dalam merumuskan pengertian suatu negara berdasarkan hukum internasional dapat kita lihat pada ketentuan Konvensi Montevidio tahun 1993 mengenai hak-hak dan kewajiban- kewajiban negara (Rights

and Duties of States) yang menyebutkan bahwa suatu negara dapat dikatakan

sebagai subjek hukum internasional apabila telah memiliki unsur-unsur, yaitu44

Untuk wilayah suatu negara tidak dipengaruhi batas ukurannya. Walaupun pernah terjadi negara yang wilayah negaranya kecil tidak dapat menjadi anggota PBB. Akan tetapi sejak tetapi sejak tahun 1990, negara seperti Andorra,

: a) Penduduk yang tetap

Penduduk yang dimaksud disini yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan satu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional, tidak harus yang berasal dari rumpun, etnis, suku, latar belakang kebudayaan, agama ataupun bahasa yang sama. Akan tetapi penduduk tersebut haruslah menetap di suatu tempat, walaupun sudah ada penduduk asli yang mendiami tempat tersebut.

b) Wilayah tertentu

43

Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm. 12.

44

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Penerbit :


(41)

Liechtenstein, Monaco, Nauru, San Marino dan Tuvalu telah bergabung menjadi anggota PBB.

c) Pemerintah (penguasa yang berdaulat)

Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh kekuasaan lain di muka bumi. Akan tetapi kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara terbatas pada wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Maksudnya adalah bahwa dalam kedaulatan suatu negara terbatas pada kedaulatan Negara lain. Suatu negara harus memiliki pemerintah, baik seorang atau beberapa orang yang mewakili warganya sebagai badan politik serta hukum di negaranya, dan pertahanan wilayah negaranya. Pemerintah dengan kedaulatan yang dimiliknya merupakan penjamin stabilitas internal dalam negaranya, disamping merupakan penjamin kemampuan memenuhi kewajibannya dalam pergaulan internasional. Pemerintah inilah yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka mencapai kepentingan nasional negaranya, baik itu di dalam negaranya dalam rangka mempertahankan integritas negaranya, maupun di luar negaranya melaksanakan politik luar negeri untuk suatu tujuan tertentu.

d) Kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lainnya.

Unsur keempat ini secara mandiri merujuk pada kedaulatan dan kemerdekaan. Kemerdekaan dan kedaulatan merupakan 2 (dua) posisi yang tak terpisahkan sebagai subjek hukum internasional. Suatu Negara dinyatakan mempunyai kedaulatan apabila memiliki kemerdekaan atau negara dianggap mempunyai kemerdekaan, apabila memiliki kedaulatan. Pemerintahan suatu negara haruslah merdeka dan berdaulat, sehingga wilayah negaranya tidak tunduk pada kekuasaan negara lain dan berarti juga bahwa negara tersebut bebas melakukan


(42)

hubungan kerjasama internasional dengan negara manapun. Sewajarnya adalah kalau suatu negara memiliki kapasitas untuk mengadakan hubungan kerjasama internasional dengan negara lain untuk tujuan - tujuan yang hendak dicapai oleh negara tersebut.

Akan tetapi untuk menjadi suatu negara yang berdaulat dalam prakteknya memerlukan pengakuan bagi negara lain.45

Negara sebagai subyek hukum internasional telah dikenal sejak adanya praktek hubungan internasional. Dengan kata lain, negara adalah subyek hukum internasional yang pertama ada. Bagi negara federasi seperti Amerika Serikat, India dan Jerman, pemegang kedaulatan untuk mengadakan hubungan dengan luar negeri berada ditangan pemerintah federal. Akan tetapi untuk masa sekarang, pemerintah Kalau 4 (empat) unsur diatas tadi merupakan persyaratan secara hukum internasional terbentuknya suatu negara, maka ada juga yang menjadi unsur politik terbentuknya suatu negara yang juga dapat berakibat hukum. Unsur yang dimaksud adalah pengakuan (recognition).

Pengakuan dalam hukum internasional termasuk persoalan yang cukup rumit karena sekaligus melibatkan masalah hukum dan politik. Unsur-unsur hukum dan politik sulit untuk dipisahkan secara jelas karena pemberian dan penolakan suatu pengakuan oleh suatu negara dipengaruhi pertimbangan politik, sedangkan akibatnya mempunyai ikatan hukum. Kesulitan juga berasal dari fakta bahwa hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara untuk mengakui negara lain atau pemerintahan lain seperti halnya juga bahwa suatu negara atau pemerintahan tidak mempunyai hak untuk diakui oleh negara lain. Tidak ada keharusan untuk mengakui seperti juga ada kewajiban untuk tidak mengakui.

45

Anthony Aust, Handbook of International Law (United Kingdom: Cambridge University Press, 2005), hlm. 17


(43)

negara bagian pun memungkinkan untuk mengadakan hubungan dengan subyek hukum internasional lainnya, seperti dengan salah satu kota/propinsi yang ada di Indonesia. Misalnya, kota Bandung pernah mengadakan hubungan persahabatan dengan kota lain yang ada di Jerman, Amerika Serikat dan Jepang.

Bentuk negara lain seperti dominion dalam "British Commonwealth" yang hanya dikepalai oleh seorang Gubernur Jenderal sebagai wakil dari Ratu Inggris ternyata mempunyai kedudukan yang sama sebagai subyek hukum intemasional seperti halnya negara berdaulat lainnya. Dengan demikian persyaratan/pengertian negara dalam subyek hukum internasional lebih longgar karena dalam prakteknya negara-negara yang berstatus protektorat Inggris ikut serta juga dalam konferensi-konferensi internasional yang sejajar dengan anggota/peserta lainnya. Kelonggaran status subyek bukum internasional untuk negara yang tidak berdaulat penuh karena tuntutan kondisi serta kepentingan bukan hanya bagi subyek hukum itu sendiri melainkan bagi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan.

Negara dikatakan berdaulat (sovereian) karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Negara berdaulat berarti negara itu mempunyai kekuasaan tertentu. Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi daripada kekuasaannya sendiri dan mengandung 2 (dua) pembatasan penting dalam dirinya:

1. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain mulai.

2. Kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu. Konsep kedaulatan, kemerdekaan dan kesamaan derajat tidak bertentangan satu dengan lain bahkan merupakan perwujudan dan pelaksanaan pengertian


(44)

kedaulatan dalam arti wajar dan sebagai syarat mutlak bagi terciptanya suatu masyarakat Internasional yang teratur.

Masyarakat Internasional mengalami berbagai perubahan yang besar dan pokok ialah perbaikan peta bumi politik yang terjadi terutama setela politik di dunia. Timbulnya negara-negara baru yang merdeka, berdaulat dan sama derajatnya satu dengan yang lain terutama sesudah Perang Dunia

Kemajuan teknologi berbagai alat perhubungan menambah mudahnya perhubungan yang melintasi batas negara. Perkembangan golongan ialah timbulnya berbagai organisasi atau lembaga internasional yang mempunyai eksistensi terlepas dari negara-negara dan adanya perkembangan yang memberikan kompetensi hukum kepada para individu. Kedua gejala ini menunjukkan bahwa disamping mulai terlaksananya suatu masyarakat internasional dalam arti yang benar dan efektif berdasarkan asas kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat antar negara sehingga dengan demikian terjelma Hukum Internasional sebagai hukum koordinasi, timbul suatu komplek kaedah yang lebih memperlihatkan ciri-ciri hukum subordinasi.46


(45)

BAB III

HUBUNGAN DIPLOMATIK ANTAR NEGARA

A. Sejarah Perkembangan Hubungan Diplomatik

Semenjak lahirnya Negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip-prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomatik. Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa. Perundingan-perundingan ini biasanya dipimpin oleh seorang utusan yang dinamakan duta besar.

Perwakilan diplomatik tetap, pada mulanya berkembang di city-states Italia pada abad XV seperti Milan, Venesia, Genoa dan Florence. Bahkan sudah ada di antara city states tersebut mempunyai resident ambassador di luar Italia. Vanesia misalnya mulai tahun 1478 telah mempunyai resident ambassador di Prancis. Demikian juga mulai tahun 1490-an Milan telah mempunyai resident ambassador di Spanyol dan Inggris. Praktek ini kemudian berkembang di Negara-negara Eropa pada pertengahan abad ke XVII setelah Treaty of Westphalia pada tahun 1948.47

Pada tahun 1815, diselenggarakan Kongres Wina, dimana raja-raja yang menjadi peserta bersepakat untuk mengkordifikasikan kebiasaan-kebiasaan tersebut menjadi sebuah hukum tertulis. Kongres ini kurang berhasil, hanya membuat hukum kebiasaan yang ada menjadi tertulis, secara substansi tidak banyak berubah. Dalam beberapa tahun kemudian, sering diadakan upaya-upaya untuk mengkodifikasi

47

Jurnal Balitbang Departamen Luar Negeri RI. 1988. Peranan Hubungan Bilateralsebagai Media Diplomasi dan Komunikasi antar Bangsa. Deplu RI, Jakarta


(46)

hukum diplomatik ini. Upaya dari Liga Bangsa-Bangsa tahun 1927, Konvensi Negara-negara Amerika pada tahun 1928, Komisi Hukum Internasional Majelis Umum PBB tahun 1947. Namun semua upaya diatas kurang mendapatkan respon yang positif dan hanya beberapa negara saja yang meratifikasinya. Akibat sering terjadinya insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan sering dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional untuk segera memprioritaskan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.48

Pesatnya perkembangan teknologi KIE (Komunikasi, Informasi, dan

Edukasi) dewasa ini, telah memacu semakin intensifnya interaksi antar negara dan

antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah memengaruhi potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya kita dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh pemerintah (pusat dan daerah), organisasi non-pemerintah (Ornop dalam negeri dan NGO’s luar negeri), swasta (perusahaan-perusahaan multinasional), dan perorangan sebagai aktor baru dalam hubungan luar negeri. Kenyataan ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditujukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negaranya, serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.49

Sejarah telah mencatat dam membuktikan bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa di dunia mengenal dan menjalankan praktik hubungan diplomatik, misi diplomatik secara tetap seperti yang ada dewasa ini, di zaman India kuno telah


(47)

dikenal ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antar raja ataupun kerajaan, dimana hukum bangsa-bangsa pada waktu itu telah mengenal pula apa yang dinamakan duta. Pengiriman duta-duta ke luar negeri sudah dikenal dan dipraktikkan oleh Indonesia, dan negara Asia serta Arab sebelum negara-negara Barat mengenalnya. Di benua Eropa, baru pada abad ke-16 masalah pengiriman duta-duta itu diatur menurut hukum kebiasaan, tetapi hukum kebiasaan internasional menyangkut masalah itu menjadi jelas pada abad ke-19, dimana pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada

Kongres Wina 1815, yang diubah dan disempurnakan oleh Protocol

Aix-La-Chapelle 1818. Kongres Wina tersebut pada hakikatnya merupakan tonggak sejarah

diplomasi modern karena telah berhasil mengatur dan membuat prinsip-prinsip secara sistematis, termasuk klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik. Dengan demikian, sampai dengan 1815 ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hubungan diplomatik sebagian besar bersumber dari hukum kebiasaan.50

Pada Kongres Wina 1815, raja-raja yang ikut dalam konferensi itu sepakat untuk mengodifikasikan hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai, dan mereka hanya menghasilkan satu naskah, yaitu hierarki diplomat (klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik) yang kemudian dilengkapi pula dengan Protocol Aix-La-Chapelle tanggal 21 November 1818. Sebenarnya Kongres Wina ini dilihat dari segi substansi, praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya, yang jelas hanya sebagai upaya positif mengodifikasikan praktik-praktik negara-negara dalam bidang


(48)

hubungan diplomatik itu menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastiannya.51

1. Majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan

(recommendations) dengan tujuan :

Pada tahun 1927, dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa, diupayakan kembali kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai Komisi Ahli ditolak oleh Dewan LBB. Alasannya yaitu, belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan umum mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. Karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda Konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada 1930 untuk kodifikasi hukum internasional. Disamping itu, di Havana pada 1928 Konferensi ke-6 Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama

Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh dua belas negara

Amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani, tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Mengingat sifatnya yang regional, implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.

Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis umum PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut.

a. Memajukan kerja sama internasional di bidang politik, dan mendorong

peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya

b. Memajukan kerja sama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan

51


(49)

pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.

Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang di dalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas. Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat Perang Dingin dan langgarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yogoslavia, Majelis Umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.52

Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan

keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations

Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di

Wina pada 2 Maret – 14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic Relations, Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality, dan Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of

52

Berridge, G.R. (1995). Diplomacy: Theory and Practice, Harvester Wheatsheaf, London: Prentice-Hall, http://www.ccc.nps.navy.mil/research/theses/Chin03.pdf


(50)

Disputes. Diantara ketiga instrumen tersebut, Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.

Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 April 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian, pada 24 April 1964, Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU No. 1 Tahun 1982 pada 25 januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tecantum dalam Konvensi Wina tersebut digaris bawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus

United States Diplomatic and Counsular Staff in Teheran melalui ordonansinya

tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (advisory opinion) tertanggal 24 Mei 1980. Konferensi Wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan : “....that the rules of customary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present

Convention.”53

Sehubungan dengan itu, perlu diingat bahwa untuk pertama kalinya ada usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul, telah dilakukan dalam Konferensi Negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana – Cuba, di mana dalam tahun itu juga telah disetujui Convention on Consular Agents

53

Bolewski, Wilfried. (2007). Diplomacy and International Law in Globalized Relations, http://www.idss.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP129.pdf


(51)

(konvensi mengenai pejabat konsuler). Sesudah itu dirasakan belum ada usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler, kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan konsuler.54

Pembahasan masalah hubungan konsuler itu dalam Komisi Hukum Internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zourek sebagai

Rapporteur Khusus. Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan konsuler telah

diajukan kepada Majelis Umum PBB pada 1961. Dengan Resolusi 1685 (XVI),

Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963. Wakil dari 95 negara telah berkumpul di ibukota Austria (kota Wina) sejak tanggal 4 Maret s/d 22 April 1963, dan pada 18 April 1963 konferensi telah menyetujui draft articles final konvensi mengenai hubungan konsuler, termasuk kedua protokol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik. Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti dan rinci, bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan Konvensi Wina 1961. Akta finalnya telah ditandatangani pada 24 April 1963, dan dinyatakan berlaku pada tanggal 19 Marret 1967. Ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan aksesi. Empat puluh di antaranya telah menjadi pihak dalam Protokol Pilihan tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa.55

54

http://id.wikipedia.org/wiki/Havana – Cub#coloum-one#ofmaps, diakses 6 April 2012


(52)

Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab, yaitu :

- Bab Pertama (Pasal 2-Pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam

mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul

- Bab Kedua (Pasal 28-Pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang

diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya

- Bab Ketiga (Pasal 58-Pasal 67) khusus menyangkut ketentuan-ketentuan

mengenai lembaga Konsul Kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada Konsul Kehormatan dan kantornya

- Bab Keempat (Pasal 68-Pasal 73) berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler oleh perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya, dan lain sebagainya

- Bab Kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan,

ratifikasi dan aksesi, mulai berlakunya dan lain-lain.56

Konvensi Wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai Misi-misi Khusus (Convention on Special Missions) yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 8 Desember 1969. Konvensi mengenai Misi-misi Khusus yang juga disebut Konvensi New York 1969 ini, telah pula diratifikasi Indonesia dengan UU No. 2 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982.57

57


(1)

dan menempatkan Taiwan sebagai partner dagang ketujuh teratas bagi China. Bagi China, Taiwan merupakan pasar ekspor yang besar. Di bidang investasi, sekitar 3000 an proyek dengan nilai kontrak yang cukup besar yaitu 10,36 miliar dolar AS yang tercatat sebagai proyek investasi Taiwan di mainland. Dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi RRC, diperkirakan hubungan investasi antara keduanya semakin meningkat. Sesungguhnya, China berada di posisi yang sangat dilematis karena selain usahanya untuk menentang keberadaan Taiwan sebagai suatu negara yang merdeka dengan selalu melaksanakan politik satu china kepada negara - negara lain di dunia, Taiwan juga merupakan pasar ekspor dan mantra dagang yang cukup diperhitungkan oleh China.

Hubungan kerjasama perekonomian diantara Indonesia dan Taiwan sangat tidak terganggu dengan adanya kebijakan luar negeri satu China yang dianut oleh Indonesia. Indonesia masih menjadikan Taiwan sebagai negara partner kerjasama perdagangan yang sangat baik. Selain bidang perekonomian yang sebagaimana telah disebutkan diatas, masih banyak kerjasama dalam bidang lain yang terjalin antara pemerintah Indonesia dan Taiwan. Salah satu bidang yang juga menguntungkan bagi kedua belah pihak negara yaitu kerjasama dalam bidang ketenagakerjaan.

Saat ini resmi tercatat lebih dari 120 ribu orang Indonesia yang bekerja di berbagai sektor di Taiwan. Mereka yang bekerja di Taiwan ikut berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian Taiwan. Para pahlawan devisa negara tersebut diakui banyak diperlukan di Taiwan. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia yang diberangkatkan di Taiwan dari tahun ke tahun. Mereka biasanya bekerja didalam bidang perindustrian dan jasa seperti buruh dan pelayan. Taiwan juga merupakan salah satu investor besar dari


(2)

Asia di Indonesia. Dalam berbagai pertemuan dengan pihak Taiwan, Pihak Indonesia fokus menawarkan tiga sektor untuk dikembangkan yakni infrastruktur, agribisnis dan juga energi. Saat ini, Taiwan mampu bersaing dengan negara negara maju termasuk di bidang teknologi komunikasi dan produk produknya. Hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat ekspor produk - produk unggulan Taiwan ke Indonesia. Produk produk IT Taiwan seperti ponsel, komputer dan laptop unggulan mereka sudah banyak sekali dipasarkan di Indonesia. Selain itu juga banyak sekali produk produk berupa mesin industri diekspor ke Indonesia.

Selain itu, Taiwan juga menjalin kerjasama dengan Indonesia dalam bidang kepariwisataan. Sampai sejauh ini, banyak warga Taiwan yang berkunjung dan berlibur ke Indonesia. Salah satu tujuan favorit mereka adalah pulau Bali. Banyak juga warga negara Indonesia yang berkunjung ke Taiwan untuk berlibur. Hal ini tentu membuat devisa kedua negara bertambah. Dalam bidang pendidikan, banyak sekali kalangan pelajar dari berbagai daerah di Indonesia yang saat ini tengah melanjutkan pendidikan di beberapa perguruan tinggi di Taipei yang merupakan ibukota Taiwan. Pemerintah Taiwan selalu mengundang para pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan pendidikan baik untuk belajar bahasa Mandarin, teknologi atau bahkan yang ingin mengambil gelar doktoral dalam berbagai bidang disana. Sekitar seribu pelajar dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Taiwan dan jumlahnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dengan kondisi seperti ini, secara prinsip kerjasama diantara pemerintah Indonesia dan Taiwan di bidang ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, pendidikan serta kepariwisataan tidak akan terpengaruh dengan persoalan politik diantara kedua negara.


(3)

Sepertinya kebijakan luar negri One China Policy tidak menjadi kendala bagi pengembangan hubungan kerjasama perekonomian dan perdagangan antara Indonesia dan Taiwan. Pemerintah Indonesia memang harus tetap berupaya mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif secara konsisten dan pemerintah dituntut untuk melaksanakan politik luar negeri yang selues mungkin tanpa mengabaikan kepentingan nasional yang dimiliki oleh Indonesia termasuk dalam berhubungan dengan Taiwan.


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian dan analisis dalam bab-bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Subjek Hukum Internasional merupakan pihak-pihak pembawa hak dan kewajiban hukum dalam pergaulan internasional. Sebagaimana diketahui bahwa subyek hukum internasional meliputi Negara, Organisasi Internasional, Palang Merah Internasional, Tahta Suci atau Vatikan, Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, Wilayah-wilayah Perwalian, Kaum Belligerensi, Individu.

2. Pembukaan hubungan diplomatik antara Negara-negara dan pembukaan perwakilan tetap diplomatik dilakukan atas dasar saling kesepakatan. Pembukaan hubungan diplomatik dan pembukaan perwakilan tetap merupakan dua hal yang berbeda. Negara dapat saja membuka hubungan diplomatik tetapi tidak langsung membuka perwakilan tetap. Hubungan diplomatik antar negara diartikan sebagai “the Conduct by Government officials of negotiations and other relations between nations..” (yang secara bebas berarti tindakan oleh pemerintah secara resmi yang terkait dengan negosiasi dan hubungan lainnya antar negar), maka salah satu bentuk nyata dalam pelaksanaan hubungan tersebut dalam praktek negara – negara yaitu melalui pembentukan misi diplomatik yang permanen.


(5)

3. Hubungan diplomatik dengan negara-negara lain umumnya menggunakan jalur ekonomi dan perdagangan, sekaligus menjadi saluran hubungan diplomatik tidak resmi mengingat Taiwan secara riil merupakan kekuatan ekonomi Asia secara signifikan dan merupakan pintu gerbang para investor untuk melakukan investasi di kawasan ini selain Hong Kong dan Singapura. China berusaha melunakkan tawaran dengan memberikan kelonggaran kepada Taiwan dengan semboyan Satu Tiongkok dua Sistem (Republic-People Republic of China) dengan pilotproyek diterapkannya sistem itu di Hong Kong dan Makau ditambah dengan komunikasi politik dengan tokoh oposisi Taiwan dan rekonsiliasi politik antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Nasionalis (Kuomintang) yang pernah berseteru pada tahun 1930-1940-an itu. Namun perkembangan politik di Hong Kong, mundurnya ketua daerah otoritas khusus Hong kong Tung Chee-Hwa atas desakan RRT, naiknya Donald Tsang, tokoh moderat yang masih diikat secara politik oleh RRT dan sering terjadinya gejolak politik terutama dengan aktivis prodemokrasi membuat rakyat dan pemerintah Taiwan menolak tawaran halus Republik Rakyat Taiwan.

B. Saran

Dari hasil penelitian maka didapatkan saran sebagai berikut :

1. Pemerintah Indonesia sebaiknya harus selalu memperhatikan berbagai aspek agar hubungan kerjasama perdagangan yang telah terjalin dengan baik tidak menggangu hubungan diplomatik Indonesia dengan Taiwan karena sesungguhnya memang tidak dapat dipungkiri Taiwan pasti memliki keinginan


(6)

untuk membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia agar hubungan kejasama diantara kedua negara dapat diperluas dengan berbagai idang kehidupan.

2. Taiwan merupakan sebuah negara yang tidak diakui oleh China sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Negara lain masih menganggap Taiwan merupakan bagian dari provinsi Fujin. Hal ini membuat pemerintah Republik Rakyat China (RRC) selalu berusaha menggunakan kebijakan Satu China atau One China Policy kepada setiap negara di berbagai belahan dunia. Hal ini semakin membuat sempitnya ruang gerak pemerintah Taiwan untuk mengadakan hubungan kerjasama bilateral dengan berbagai negara di belahan dunia. Taiwan menjadi sebuah wilayah yang mempunyai syarat-syarat sebagai negara berdaulat namun tidak mempunyai kedaulatan di dunia Internasional karena kurangnya pengakuan dan dukungan diplomatik dari berbagai negara. Hal inilah yang membuat Taiwan selalu berupaya mencari dukungan kepada dunia Internasional agar Taiwan dapat diakui sebagai suatu negara yang berdaulat.

3. Tidak diakuinya Taiwan dan selalu berusaha mencari dukungan dunia Internasional agar Taiwan diakui sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Taiwan menjadi sebuah wilayah yang mempunyai syarat-syarat sebagai negara berdaulat namun tidak mempunyai kedaulatan di dunia Internasional karena kurangnya pengakuan dan dukungan diplomatik. Saat ini, negara-negara yang masih berhubungan diplomatik dengan Republik Taiwan berjumlah 25 negara, mayoritas adalah negara-negara.