Pelanggaran Hak atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik oleh Negara Penerima

(1)

PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK PEJABAT

MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MILA LAILYANA 110200068

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK PEJABAT

MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

MILA LAILYANA 110200068

Departemen Hukum Internasional

Diketahui/Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Internasional

(Dr. Chairul Bariah, SH., M.Hum) NIP. 195612101986012001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sutiarnoto S.H., M.Hum Arif, S.H., M.Hum. NIP : 195610101986031003 NIP : 196403301993031002


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim.

Syukur alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Setiap mahasiswa yang akan menyelesaikan program S1 pada Universitas Sumatera Utara diwajibkan menyusun karya tulis/skripsi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka penulis menyusun skripsi yang diberi judul : PELANGGARAN HAK ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK PEJABAT MISSI DIPLOMATIK OLEH NEGARA PENERIMA.

Berpedoman pada judul tersebut, penulis menyadari di dalam pelaksanaan penulisan karya tulis / skripsi ini banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan hambatan. Namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen pembimbing maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan-kekurangan dalam hal penelitian skripsi ini. Maka dari tiu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dimasa yang akan dating.

Dalam penelitian skripsi ini menerima banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat berjasa dan membantu penulis baik itu hal-hal kecil maupun besar serta terus memberikan jalan yang baik bagi penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.

6. Bapak Dr. Sutiarnoto S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini serta telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran dalam membantu penulis.

7. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta telah banyak meluangkan waktu serta ide dan tenaga untuk menyelesaikan skripsi ini.


(5)

8. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H, M.hum, selaku Sekretasis Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak pelajaran tentang kesabaran dan keikhlasan dalam proses penulisan skripsi ini.

9. Bapak Alwan, S.H, M.Hum selaku dosen wali

10.Seluruh staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis ketika duduk di bangku perkuliahan.

11.Terima kasih tak terhingga kepada Ayahanda penulis, H. Bustamam Ganie, S.E dan Ibunda tercinta, Drs. Hj, Sri Handriaty yang menjadi motivasi utama serta selalu meluangkan baik materi, waktu, dan tenaga untuk mendengarkan keluh kesah penulis dalam menulis skripsi ini dan telah menjadi suatu pencerah bagi penulis untuk tetap terus melangkah lebih baik dari hari ke hari dan menjadi sosok yang harus tetap rendah hati.

12.Kepada abang, kakak dan adik penulis Dr. Meutia Wardhanie Ganie, Al Hamidy M.I.T, Mochammad Siddiq Bustamam terima kasih atas doa-doanya serta saran-saran yang terus mendukung penulis sampai saat ini.

13.Kepada Nenek dan Atok H. Saman Bakrie dan Hj. Hamidah terima kasih sudah menjaga, memberikan perhatian serta menggantikan peran orang tua penulis selama orang tua penulis tidak berada di Medan.


(6)

14.Kepada Keluarga besar H. M. Ganie dan H. Saman Bakri terima kasih buat motivasi dan doa yang telah di berikan selama ini.

15.Kepada sahabat terbaik penulis, Kathy Carissa Bangun, terima kasih dari awal memulai perkuliahan wanita ini selalu menjadi orang yang memiliki segudang nasihat, canda, dan saran kepada penulis. Dan akhirnya kita dapat keluar dari kampus ini ca!.

16.Teman yang luar biasa dari pertama masuk kuliah, orang-orang yang memiliki segudang cerita dan kisah serta tingkah dan kepribadian unik dari masing-masing individu. Merekalah, Fikri Rizki, Syahnaz Miyagi Munira, Nur Aqmarina, Cyndi Fransisca Ulina Hutagalung, Astri Ramadhani Sipahutar, Merico Sitorus,

Abdurrahman Harit’s Ketaren, Calvin Benyamin Panjaitan, Muhammad Fauzan

Akmal Zaldy, Sarah Diva, Michael Benhard Marhain Sipayung, Yogi Ar Chaniago, Ayu Sabena, Ryan Pranata, Alif Oemry S.H, Syaid Mustafa Siregar S.H dan sangat banyak lagi teman-teman luar biasa di luar sana yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu..

17.Terima kasih teman-teman Grup A stambuk 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

18.Serta ucapan terima kasih kepada Mahasiswa ILSA (International Law Student Association) 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang sangat luar biasa memberikan kesan selama di Beijing serta kesan yang indah dalam kegiatan Hukum Internasional lainnya.


(7)

19.Dan juga kepada teman-teman penulis lainnya yang berada di dalam maupun di luar wilayah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, Februari 2015


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 19

1. Jenis Pendekatan ... 19

2. Data Penelitian ... 20

3. Teknik Pengumpulan Data ... 21

4. Analisis Data ... 22

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK A. Sejarah Hubungan Diplomatik ... 25


(9)

C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik ... 38

D. Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik ... 43

E. Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik...53

F. Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan Kekebalan DIplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik ... 57

BAB III BENTUK-BENTUK PELANGGARAN ATAS KEKEBALAN DIPLOMATIK A. Pelanggaran Terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik ... 63

B. Pelanggaran Kebebasan Komunikasi ...67

C. Penistaan Lambang Bendera...72

D. Penangkapan dan Penahanan Terhadap Staf Missi Diplomatik ...80

BAB IV PENYELESAIAN KASUS PENANGKAPAN STAF DIPLOMAT INDIA OLEH KEPOLISIAN AMERIKA SERIKAT A. Latar Belakang Kasus Penangkapan Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat ... 87

B. Tanggapan Pihak India atas Kasus Penangkapan Diplomat India di Amerika Serikat ... 91

C. Tinjauan Mengenai Penanganan dan Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat ... 94


(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA ... 103


(11)

ABSTRAKSI

Negara sama dengan halnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk dapat terus hidup, mereka tidak bisa memisahkan dirinya dengan manusia lain. Begitu juga dengan negara tidak ada satu negarapun dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan anggota missi diplomatik yang dilakukan oleh negara penerima serta bagaimana hubungan diplomatik antar negara. Beberapa pelanggaran yang sering terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap kekebalan gedung perwakilan diplomatik, pelanggaran kebebasan komunikasi, serta terjadinya penangkapan serta penahanan diplomat di negara penerima.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan penelitian kepustakaan (library research) atau penelitian normatif yaitu dengan upaya penyelesaian dan pengumpulan data-data dan berbagai macam buku, pendapat sarjana, kamus, eniklopedia dan literatur hukum internasional maupun hubungan politik internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Serta metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis norma tive yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari perundangan putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.

Hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang diplomat diatur dalam Konvensi Wina 1961, yaitu: Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata, Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat, Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik. Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India (Devyani Khobragade). Amerika Serikat tidak seharusnya menangkap dan menahan diplomat India dengan tuduhan penipuan Visa pembantu rumah tangga sang diplomat. Penanganan dan penyelesaian kasus itu seharusnya dapat dilakukan dengan cara damai bukan dengan penangkapan dan penahanan seperti itu. Putusan Hakim Distrik Amerika Serikat menutup kasus Devyani Khobragade dengan alasan kekebalan diplomatik. Hakim menemukan, Khobragade memiliki kekebalan luas dari apa yang didakwakan padanya.


(12)

ABSTRAKSI

Negara sama dengan halnya manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan manusia lain untuk dapat terus hidup, mereka tidak bisa memisahkan dirinya dengan manusia lain. Begitu juga dengan negara tidak ada satu negarapun dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan terhadap banyaknya kasus-kasus pelanggaran hak kekebalan dan keistimewaan anggota missi diplomatik yang dilakukan oleh negara penerima serta bagaimana hubungan diplomatik antar negara. Beberapa pelanggaran yang sering terjadi adalah adanya pelanggaran terhadap kekebalan gedung perwakilan diplomatik, pelanggaran kebebasan komunikasi, serta terjadinya penangkapan serta penahanan diplomat di negara penerima.

Adapun metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan penelitian kepustakaan (library research) atau penelitian normatif yaitu dengan upaya penyelesaian dan pengumpulan data-data dan berbagai macam buku, pendapat sarjana, kamus, eniklopedia dan literatur hukum internasional maupun hubungan politik internasional yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Serta metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis norma tive yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari perundangan putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin.

Hak kekebalan dan keistimewaan yang dimiliki seorang diplomat diatur dalam Konvensi Wina 1961, yaitu: Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana, Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata, Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat, Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik. Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India (Devyani Khobragade). Amerika Serikat tidak seharusnya menangkap dan menahan diplomat India dengan tuduhan penipuan Visa pembantu rumah tangga sang diplomat. Penanganan dan penyelesaian kasus itu seharusnya dapat dilakukan dengan cara damai bukan dengan penangkapan dan penahanan seperti itu. Putusan Hakim Distrik Amerika Serikat menutup kasus Devyani Khobragade dengan alasan kekebalan diplomatik. Hakim menemukan, Khobragade memiliki kekebalan luas dari apa yang didakwakan padanya.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan hidup di dunia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial yang memberikan pengertian bahwa manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain.1 Walaupun manusia sebenarnya dilahirkan seorang diri tetapi dalam kehidupan, manusia tidak bisa terlepas dari manusia lain.

Bermula dari konsep manusia sebagai makhluk sosial maka terjadilah hubungan antar negara. Tidak ada satu negara di dunia ini yang dapat membebaskan diri dari keterlibatannya dengan negara lain. Karena suatu negara memiliki kepentingan di wilayah negara lain maka diciptakanlah suatu hubungan. Dalam rangka menjalin hubungan antar bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan perlu dilakukan pertukaran missi diplomatik.

Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Missi-missi diplomatik tersebut sifatnya permanen, meskipun dalam kenyataan pejabat-pejabat yang berdinas dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perkembangan yang terjadi

1

Galang Dea Alfarisi, Manusia Sebagai Makhluk Sosial, Sumber :

http://galangalfaris22.blogspot.com/2013/11/manusia-sebagai-makhluk-sosial.html , diakses: 25 Januari 2015.


(14)

selama ratusan tahun, lembaga perwakilan diplomatik telah menjadi sarana utama dengan mana melakukan hubungan antar negara-negara.2

Perwakilan diplomatik merupakan wakil resmi untuk mewakili negara asalnya dalam melaksanakan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau suatu organisasi internasional. Perwakilan diplomatik di suatu negara ini di kepalai oleh seorang duta dari suatu negara yang diangkat melalui surat pengangkatan atau surat kepercayaan (letter of credentials). Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 dimana negara-negara di Eropa sudah mulai melakukan pertukaran duta-duta besarnya secara permanen dan hal ini sudah dianggap umum pada saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara. Dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai suatu kebiasan internasional. Selanjutnya pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan termasuk harta milik, gedung perwakilan, dan komunikasi diplomat.3

Tugas perwakilan diplomatik secara umum adalah untuk mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima dan menjadi penghubung antar pemerintahan kedua negara. Berdasarkan pada Pasal 3 Konvensi Wina 1961, tugas seorang perwakilan diplomatik meliputi:4

2

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000, Halaman : 563

3

Febi Hidayat, Pertanggungjawa ban Negara Atas Pelanggatan Hak Kekebalan Diplomatik Ditinjau Dari Aspek Hukum Internasional (Studi Kasus Penyadapan KBRI di Myanmar Tahun 2004),

Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas 2011, Halaman: 5

4

Roy Sanjaya, Tugas Perwa kilan Diplomatik, sumber :


(15)

1. Mewakili negara pengirim dinegara penerima (representasi).

2. Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperkenankakn oleh hokum internasional (proteksi).

3. Melakukan perudingan dengan pemerintah negara penerima (negoisasi). 4. Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan

perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada negara pengirim. 5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara dua negara serta

mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, perwakilan diplomatik memerlukan hak kekebalan dan keistimewaan demi kelancaran sang diplomat melaksanakan tugasnya di negara penerima.

Pada mulanya pelaksanaan pemberian kekebalan diplomatik bagi para diplomat pada hakekatnya merupakan hasil sejarah diplomasi yang sudah lama sekali dimana pemberian semacam itu dianggap sebagai kebiasaan internasionanl. Sesuai dengan aturan-aturan kebiasaan dalam hukum internasional, para diplomat yang mewakili negara-negara sering memilliki kekebalan yang kuat dari yurisdiksi negara pengirim. Kekebalan-kekeban ini sering diberikan secara jelas dalam undang-undang maupun peraturan negara pengirim, dan kadang-kadang diberikan juga lebih banyak dari yang sudah ditentukan dalam hukum internasional.5

5

Edi Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Penerbit Mandar Jaya Solo ,1992. Halaman : 20.


(16)

Alasan-alasan untuk memberikan hak-hak istimewa dan kekebalan kepada para diplomat di negara penerima adalah:6

1. Para diplomat adalah wakil-wakil negara;

2. Mereka tidak dapat menjalankan tugas secara bebas kecuali mereka diberikan kekebalan-kekebalan tertentu. Jelas bahwa jika mereka tetap bergantung kepada good-will pemerintah mereka mungkin terpengaruholeh pertimbangan-pertimbangan keselamatan perorangam;

3. Jelaslah pula bahwa jika terjadi gangguan pada komunikasi mereka dengan negaranya, tugas mereka tidak dapat berhasil.

Kekebalan dibedakan dengan keistimewaan. Disatu pihak kekebalan yang diberikan baik kepada gedung perwakilan Diplomatik maupun para pejabat diplomatik beserta keluarganya membuat mereka tidak bisa diganggu gugat oleh aparat keamanan negara penerima serta harus dilindungi dan dicegah dari semua ganguan. Lain pihak keistimewaan yang juga dinikmati oleh perwakilan diplomatik dan para diplomat dan keluarganya tersebut menyangkut pembebasan mereka dari semua beaya masuk, pungutan dan pajak-pajak baik untuk barang bergerak maupun barang tidak bergerak, biaya-biaya lainnya, termasuk bea masuk untuk pembelian barang-barang yang diimport.7

6

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Penerbit Alumni Bandung, 2005, Halaman 56.

7


(17)

Kekebalan diplomatik yang melekat pada pejabat diplomatik berdasarkan pada Konvensi Wina Tahun 1961 secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 5 kelompok yaitu:

1. Kekebalan terhadap yurisdiksi pidana; 2. Kekebalan terhadap yurisdiksi perdata;

3. Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat; 4. Kekebalan dalam mengadakan komunikasi;

5. Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik.

Seiring daengan perkembangannya di dalam dinamika hubungan diplomatik kejadian yang tidak dapat dihindari yaitu pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, terutama yang berkaitan dengan perlindungan pejabat diplomatik.8 Salah satu pelanggaran yang tidak jarang terjadi berkaitan dengan kekebalan diplomatik adakah perlakuan atau kegiatan yang tidak menyenangkan dari pihak negara penerima dimana perwakilan diplomatik tersebut ditempatkan.9

Meningkatnya sejumlah kejahatan serius yang dilakukan terhadap perutusan dan misi-misi diplomatik seperti pembunuhan dan penculikan para perutusan serta serangan-serangan yang diajukan terhadap gedung-gedung kedutaan, menyebabkan dilakukkannya pengesahan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada

8

Mohammad Firdaus kurnia, Tanggung Jawab Pemerintah Libya Terhadap Seranngan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Benghazi Libya Tahun 2012, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013, Halaman : 9

9 Ibid.


(18)

tanggal 14 Desember 1973, atas Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman atas kejahatan-kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi secara Internasional, termasuk wakil-wakil Diplomatik (Convention on the Prevention and Punishment of Crimes a ga inst Interna tiona lly Protected Persons, including Diploma tik Agents). Meskipun telah ada konvensi tersebut, serangan-serangan terhadap gedung-gedung kedutaan dan kejahatan-kejahatan kekerasan dan lain-lain yang dilakukan terhadap personil diplomatik masih terus terjadi sampai saat ini, masih banyak pula tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan para diplomat didalam menjalankan tugas diplomatiknya. walaupun memang agak berkurang.10 Banyak kasus mengenai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Salah satunya yaitu dilakukannya penangkapan oleh kepolisian Amerika Serikat terhadap diplomat India Devyani Khobragade. Kasus ini bermulai dari Khobragade melakukan pemalsuan infomasi pengajuan izin tinggal (visa) pembantunya yaitu Sangeeta Richard. Khobragade dituduh telah memperkerjakan Sangeeta Richard dan membayar upah dibawah upah minimal yang ditetapkan oleh hukum Amerika Serikat. Upah minimal yang telah ditetapkan oleh Amerika Serikat sebesar US$ 9,75 per jamnya sementara Khobragade memasukkan angka manipulasi ke dalam visa sebesar US$ 10 per jam agar Sangeeta menmperoleh visa A-3. Atas hal tersebutlah pada tanggal 11 Desember 2013 Khobragade didakwa dengan penipuan visa. Pada tanggal 12 Desember 2013 Devyani Khobragade ditangkap oleh US Marshall

10

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2000, Halaman : 569


(19)

Amerika Serikat, Khobragade ditangkap setelah mengantar anaknya di sekolah. Perlakuan polisi federal saat penangkapan itu memicu kemarahan di India. Khobragade mengaku ia mendapat perlakuan seperti penjahat brutal meski sudah berulang kali menyatakan bahwa dirinya adalah diplomat yang dilindungi kekebalan diplomatik.11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari penjelasan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang dapat dipaparkan antara lain :

1. Bagaimana praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik?

2. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi diplomatik?

3. Bagaimana penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui praktek negara penerima dalam penerapan kekebalan diplomatik terhadap anggota missi diplomatik.

11

Politik Indonesia, AS Usir Diplomat India Devyani Khobragade, sumber:


(20)

2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran atas kekebalan diplomatik oleh negara penerima terhadap staf missi diplomatik.

3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus penangkapan staf diplomat India oleh kepolisian Amerika Serikat.

Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penuliisan skripsi ini adalah:

1. Secara teoritis

Memberikan pemahaman akan adanya prinsip-prinsip yang harus diaati dalam hubungan diplomatik yang dilaksanakan antar negara sesuai dengan Konvensi Wina 1961 dan 1963 dan menambah pengetahuan kita bersama dalam mendalami dan mempelajari hukum internasional secara umum dan hukum diplomatik secara khusus tentang pelanggaran kekebalan diplomatik.

2. Secara praktis

Agar skripsi ini dapat menjadi kajian bagi praktisi hukum internasional terutama dalam bidang hukum diplomatik karena dalam hubungan diplomatikyang dilaksanakan oleh negara-negara harus mematuhi prinsip-prinsip hubungan diplomatik yang telah ada dan diakui secara internasional sehingga kita menjadi lebih kritis terhadap pelanggarana-pelanggaran yang dilakukan terhadap prinsip-prinsip hubungan diplomatik.


(21)

Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Pelanggaran Hak Atas Kekebalan Diplomatik Pejabat Missi Diplomatik Oleh Negara Penerima” belum

pernah ada ditulis sebelumnya.

Khusus yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari pihak administrator bagian atau jurusan hukum internasional.

E. Tinjauan Kepustakaan

Meningkatnya kerja sama antarnegara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya badan PBB.

Hampir semua negara pada saat ini diwakili di wilayah negara-negara asing oleh perutusan-perutusan diplomatik dan stafnya. Langkah-langkah utama dalam membangun misi diplomatik permanen adalah mengangkat kepala misi, memperoleh tempat untuk misi dan tempat tinggal untuk kepala, mengangkat staf dan menempatkan staf tersebut di tempat sarana praktis dari operasi, seperti komunikasi dan transportasi. Karena signifikansi represantional dan fungsional dari kepala misi,


(22)

prosedur yang lebih rumit diperlukan untuk penunjukkan daripada untuk diplomat lainnya.12

Dewasa ini sebagi landasan yuridis untuk membuka hubungan diplomatik antarnegara dapat kita pergunakan ketentuan pasal 2 Konvensi Wina 1961 yang menggariskan : “the establishment of diploma tik rela tions between sta tes, a nd of perma nent diploma tik missions, take place by mutual consent.”

Pasal 2 konvensi ini hanya menyatakan syarat – syarat terbentuknya suatu hubungan diplomatik itu sendiri, Berdasarkan pasal tersebut, dapat kita lihat bahwa kesepakatan bersama (mutual consent) merupakan syarat mutlak berdirinya suatu hubungan diplomatik, baik oleh antar negara maupun oleh suatu misi diplomatik yang permanen.

Hubungan diplomatik antarnegara dapat diadakan dengan perhubungan persahabatan antarpemerintah mereka dalam bentuk apapun, tetapi hubungan diplomatik tetap dianggap ada, hanya dengan didirikannya misi diplomatik, atau lebih baik dengan pertukaran misi diplomatik.

Sebelum kita memahami tugas dan fungsi perwakilan diplomatik berdasarkan Konvensi Wina 1961, maka ada baiknya pula kita melihat dan memahami beberapa pendapat sebagaimana yang dikemukakan dibawah ini:

12

Richard K.Gardiner, International Law, (Harlow: Pearson Education Limitedd, 2003), Halaman: 348


(23)

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pada pokoknya hanya terdapat tiga tugas yang wajib dilakukan oleh perwakilan diplomatik yaitu: negotiation, observation, dan protection.13

Dalam hal negosiasi, Ia harus mengemukakan pandangan dan kepentingan negaranya terhadap situasi ataupun perkembangan dunia pad saat itu kepada negara penerima.

Dalam observation, Ia harus mampu mengemukakn secara seksama atas segala kejadian di negara penerima yang mungkin dapat mempengaruhi kepentingan nasional negaranya. Bahkan jika dianggap perlu melapporkan tentang hal-hal tersebut kepada pemerintah negaranya.

Dalam hal proteksi, Ia harus mampu memberi perlindungan kepada diri dan badan hukum maupun harta benda warga negaranya dan termasuk pula dengan kepentinan negaranya dengan memperhatikan dan mengindahkan pengaturan-prngaturan hukum internasional dalam tersebut.

Fungsi-fungsi atau tugas-tugas yang akan dilakukan oleh misi sudah diakui secara umum diabad-abad lampau, dan telah dirumuskan di dalam Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, yang terdiri atas:14

13

Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vo1 8th edition, (London-New York:Longmans Green & Co, 1960), Halaman: 785-786.

14

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Internasional, Jakarta, Djambatan, 2002, Halaman: 94


(24)

1. Mewakili negara pengirim dalam negara penerima

2. Melindungi kepentingan-kepentingan dan warga-warga negara pengirim di negara penerima di dalam batasbatas yang diizinkan oleh hukum internasional 3. Mengadakan negosiasi dengan pemerintah negara penerima

4. Menentukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum, keadaan, dan perkembangan di negara penerima dan member laporan tentang itu kepada pemerintah negara penerima.

5. Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan sosial mereka. Agar diplomat dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara baik maka diperlukan hak kekebalan dan keistimewaan di negara penerima maupun negara ketiga. Hak kekebalan dan keistimewaan ini tidak hanya diperuntukkan untuk sang diplomat saja tetapi untuk keluarga diplomat, anggota staf diplomat, maupun pembantu diplomat. Adapun hak kekebalan dan keistimewaan tersebut adalah :

1. Kekebalan mengenai diri pribadi

Ketentuan tentang kekebalan pribadi diatur dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961. Yang menyatakan “the person of a diplomatic a gent sha ll be inviola ble. He sha ll no be lia ble to a ny form of a rrest or detention. The receiving sta te sha ll tera t him with due respect a nd sha ll the propria te steps to prevent and attack on his person freedom or dignity”. Yang berarti bahwa pejabat diplomatic adalah inviolable. Ia tidak dapat ditangkap atau ditahan.


(25)

2. Kekebalan keluarga seorang wakil diplomatik

Ketentuan mengenai kekebalan keluara diplomatic terdapat dalam pasal 37 ayat 1 Konvensi Wina 1961. Yang menyatakan “the members of family of a diploma tik a gent forming pa rt of his household sha ll, if they a re not na tiona ls of the receiving sta te, enjoy the privileges and immunities specifies in a rticle 29 to 36”. Yang artinya anggota keluarga dari seorang wakil diplomatik yang merupakan bagian dari rumah tangganya, yang bukan berwarganegara penerima akan meikmati hak-hak istimewa dan kekebalan sebagaimana diatur dalam pasal 29 sampai 36.15

3. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Dalam pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 terdapat suatu ketentuaan yang berbunyi sebagai berikut. “a diplomatic agent is not obliged to give as a withness” maka seeorang wakil diplomatik tidak boleh diwajibkan untuk menjadi saksi di muka pengadilan negara setempat, baik yang menyangkut perkara perdata maupun menyangkut perkara pidana, dan administasi

4. Kekebalan korespondensi

Pasal 27 konvensi wina 1961 menjamin komunikasi bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Dimaksud dengan hak untuk berhubungan bebas ini adalah hak seorang diplomatik untuk bebas dalam kegiatan surat- menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubunngan komunikasi.

15


(26)

5. Kekebalan kantor perwakilan asing dan tempat kediaman seorang wakil diplomatik

Secara jelas terdapat di dalam pasal 22 dan 30 Konvensi Wina 1961. Dapat dilihat bahwa kekebalan diplomatik atas kantor perwakilan dan tempat kediaman secara tegas diakui oleh Konvensi Wina 1961.

6. Kekebalan para pejabat diplomatik pada waktu transit 7. Perjalanan karena force majeure

8. Pembebasan pajak-pajak

9. Pembebasan dari bea cukai dan bagasi 10.Pembebasan dari kewajiban keamanan sosial

11.Pembebasan dari pelayanan pribadi, umum dan militer 12.Pembebasan dari kewarganegaraan.

Hak kekebalan dan keistimewaan diplomat ini dapat dinikmati para diplomat setelah mereka memasuki wilayah negara penerima dalam rangka proses menempati pos kedinasannya untuk melaksanakan fungsi resminya. Dan berakhirnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik ini jika para diplomat meninggalkan negara penerima, atau pada saat berakhirnya suatu periode yang layak, akan tetapi kekebalan dan keistimewaan akan terus ada sampai saat berakhirnya periode yang dimaksud tersebut, bahkan dalam hal terjadinya konflik bersenjata antara negara penerima dengan negara pengirim pun kekebalan dan keistimewaan tetap ada.


(27)

Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda diantaranya:16

1. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya.

2. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).

3. Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas). Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina.

16

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-572


(28)

4. Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima.

5. Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina). 6. Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.

7. Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas.

Kekebalan diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negara-negara dalam melakukakn hubungannya dengan negara-negara lain dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik luar negeri yaitu sebagai berikut:

1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)

Teori ini menganggap bahwa meskipun para diplomat secara konkret ada/tinggal di negara penerima, tetapi secara yuridis dianggap ada diluar wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Sebagai konsekuensi alur pemikiran tersebut, para anggota misi tidak tunduk dan tidak dikuasai oleh hukum negara penerima, tetapi tetap tunduk pada hukum negara


(29)

pengirim. Dengan demikian, menurut teoori tersebut seluruh edun perwakilan dam perabot yang ada didalamnya termasuk orang-orang yang mendiami gedung perwakilan dianggap ada diluar wilayah negara penerima. Wilayah tersebut dianggap sebagai perluasan dari wilayah negara pengirim.

2. Teori Diplomat Sebagai Wakil Negara Berdaulat atau Wakil Kepala Negara (Representa tive Cha ra cter)

Dalam bahasa Indonesia diartikan teori sifat seorang diplomat sebagai wakil lnegara berdaulat, atau teori sifat perwakilan. Memnurut teori tersebut, diplomat dianggap sebagai symbol atau lambang negara pengirim sekaligus wakil negara pengirim di negara penerima karena itu segala perbuatan diplomat harus dianggap sebagai perbuatan dari kepala negara atau setidaknya dianggap sebagai pencerminan kehendak negara pengirim.

3. Teori Kebutuhan Fungsional (Functional Neccesity Theory)

Menurut teori ini, hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatic perlu diberikan kepada diplomat agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga hasil pekerjaannya memuaskan negara penerima dan negara pengirim.

Anggota staf perwakilan diplomatik terdiri dari anggota staf diplomatik yaitu mereka yang mempunyai gelar dari anggota atau kepangkatan diplomatik yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat politis atau diplomatis yang memegang paspor diplomatik dan anggota staf administrasi, teknis dan pelayanan dari perwakilan yang diperkerjakan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi


(30)

dan teknis yang pada umumnya memegang paspor dinas. Didalam lingkungan staf diplomatik sendiri dibedakan dalam dua kategori17:

1. Kategori pertama, staf diplomatik yang diangkat dari kementerian luar negeri yang merupakan staf diplomatik karir yang mempunyai jenjang kepangkatan dari pangkat diplomatik terendah.

a. Atase merupakan pangkat atau gelar diplomatik yang paling rendah b. Sekretaris III

c. Sekretaris II d. Sekretaris I e. Counsellor

f. Minister Counsellor

g. Minister bisa disebut sebagai duta (bukan duta besar) dan merupakan pangkat setingkat lebih rendah dari duta besar dan setingkat lebih tinggi dari Minister Counsellor.

2. Kategori kedua adalah para pejabat diplomatik yang pengangkatannya berasal dar kementerian-kementerian lain termasuk lembaga dan institusi-institusi lainnya (sifatnya non-karir) yang di perbantuan kepada perwakilan diplomatik dari negaranya. Kepangkatan kategori kedua ini karena pada umumnya bersifat teknis, maka keoada mereka diberikakn satu status sebagai “Service

17

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Tata Nusa, Jakarta, 2013, Halaman: 111-112


(31)

Atta ches” yang namanya tergantung dari Kementerian, lembaga atau institusi mana mereka berasal.

Negara penerima wajib menjaga keamanan dan keselamatan para diplomat yang bertugas dinegaranya baik dari warga negara penerima maupun warga negara asing. Tetapi pada saat sekarang ini makin banyak kasus pelanggaran kekebalan diplomatik oleh negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:

1. Pelanggaran terhadap gedung perwakilan diplomatik 2. Pelanggaran kebebasan komunikasi

3. Penistaan lambang negara

4. Penangkapan dan penaanan terhadap staf misi diplomatik.

Salah satu pelanggaran kasus yang menjadi perbincangan dunia internasional saat sekarang ini adalah ditangkap dan ditahannya diplomat India Devyani Khobragade di Amerika Serikat. Dengan tuduhan pemalsuan Visa pembantu rumah tangganya. Didalam Visa pembantu Devyani yang bernama Sangeeta Richard devyani membuat pernyataan akan membayar gaji sang pembanu dengan jumlah US$10. Tetapi keyataannya tidak. Hal ini dilakukan Devyani agar Sangeeta mendapatkan visa A-3, Dimana Visa A-3 tersebut merupakan visa non-imigran dan memungkinkan pemegangnya untuk bekerja di mana saja di Amerika Serikat untuk majikan tertentu.


(32)

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penelitian yang dipakai sebagai berikut :

1. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif.

Pendekatan yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan Yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sitem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)18

Penelitian dalam skripsi ini adalag penelitian yuridis normatif. Penilitian yuridis normatif selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistem norma yang digunakan untuk memberikan justifikasi preskriptif tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau atauran, sehingga penilitian hukum normatif adalah penelitian yang mempunyai objek kajian tentang kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait

18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001, Halaman: 38


(33)

dengan suatu peristiwa hukum. yuridis normatif merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari kepustakaan (dokumen). Dokumen yang dimaksud disini adalah dokumen yang terkait dengan hubungan internasional yang mengatur tentang hubungan diplomatik dan hubungan konsuler antara lain: Konvensi Wina 1961, Konvensi Wina 1963, Konvensi Wina 1975.

2. Data Penelitian

Sumber data dari penelitian ini berasal dari Library Research (penelitian kepustakaan). Penelitian kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dapat di klasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu :

a. Pr ima ry Resource atau Authoritative Records (Bahan Hukum Primer)

Merupakan berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, dalam tulisan ini antara lain Konvensi Wina 1961

b. Seconda ry Resource atau Not authoritative Records (Bahan Hukum Sekunder)

Merupakan bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang keputusan kasus diplomat India ditangkap oleh kepolisian Amerika Serikat serta macam-macam pelanggaran hak atas kekebalan diplomatik di negara penerima seperti literatur, hasil-hasil penelitian, makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.


(34)

Merupakan bahan bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa literatur asing.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut : a. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak

maupun elektronik, serta dokumen-dokumen pemerintahan. b. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

c. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.


(35)

4. Analisis Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan tersier yang telah disusun secara sitematis sebelumnya, akan dianalisis dengan menggunakan metode-metode sebagai berikut:19

a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru)yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan diteliti sedemkian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.

b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.

c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi) antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam

19

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Suatu pengantar, (Jakarta: Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2003), Halaman : 10-11


(36)

menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Adapun sistematika skripsi ini sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Praktek Negara Penerima Dalam Penerapan Kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik

Yaitu menguraikan tentang Sejarah Hubungan Diplomatik, Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik, Teori-Teori Kekebalan Diplomatik, Hak Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik, Mulai dan Berakhirnya Kekebalan dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik, dan Praktek Negara Penerima Penerapan Kekebalan Diplomatik Terhadap Anggota Missi Diplomatik.

BAB III : Bentuk-Bentuk Pelanggaran Atas Kekebalan Diplomatik Oleh Negara Penerima Terhadap Staf Missi Diplomatik

Yaitu menguraikan tentang Pelanggaran Terhadap Gedung Perwakilan Diplomatik, Pelanggaran Kebebasan Berkomunikasi. Penistaan Lambang negara serta Penangkapan dan Penahanan Terhadap Staf Missi Diplomatik


(37)

BAB IV : Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat

Yaitu menguraikan tentang Latar Belakang Kasus Peangkapan Diplomat India Oleh Kepolisian Amerika Serikat, Tanggapan Pihak India Atas Kasus Penangkapan Diplomat India, dan Tinjauan Mengenai Penanganan dan Penyelesaian Kasus Penangkapan Diplomat India oleh Kepolisian Amerika Serikat.

BAB V : Penutup


(38)

BAB II

PRAKTEK NEGARA PENERIMA DALAM PENERAPAN KEKEBALAN DIPLOMATIK TERHADAP ANGGOTA MISSI DIPLOMATIK

A. Sejarah Hubungan Diplomatik

Meningkatnya kerja sama antar negara dalam menggalang perdamaian dunia demi kesejahteraan manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan sosial maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat pula. Pengaturan diplomatik khususnya perkembangan kodifikasi hukum diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya badan Perwakilan Bangsa-Bangsa.20

Sampai dengan tahun 1815 ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan hubungan diplomatik berasal dari hukum kebiasaan. Pada Kongres Wina tahun 1815 raja-raja yang ikut dalam konferensi sepakat untuk mengodifikasi hukum kebiasaan tersebut menjadi hukum tertulis. Namun, tidak banyak yang telah dicapai dan mereka hanya menghasilkan satu naskah saja yaitu hirarki diplomat yang kemudian dilengkapi dengan protokol Aix-La-Chapelle pada tanggal 21 November 1818. Kongres Wina dari segi substansi praktis tidak menambah apa-apa terhadap praktik yang sudah ada sebelumnya selain menjadikannya sebagai hukum tertulis.21

20

Edy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Bandung: Bandar Maju, 1992, Halaman: 32.

21

Niam, Sejarah Hubungan Diplomatik Antar Negara,Sumber:

https://masniam.wordpress.com/2009/03/21/sejarah-hubungan-diplomatik-antar-negara/ Diakses: 28 Januari 2015


(39)

Kemudian pada tahun 1927 dalam kerangka Liga bangsa-bangsa (LBB) diupayakanlah kodifikasi yang sesungguhnya. Namun, hasil-hasil yang dicapai komisi ahli ditolak oleh dewan LBB tersebut. Alasannya yaitu belum waktunya untuk merumuskan kesepakatan global mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang cukup kompleks. karena itu, memutuskan untuk tidak memasukkan masalah tersebut dalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi hukum internasional.22

Disamping itu, di Havana pada tahun 1928 konferensi ke-6 organisasi negara-negara amerika (OAS) menerima konvensi dengan nama Convention of Diplomatik Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang mendatangani saja dan tidak meratifikasi karena menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suaka politik. Mengingat sifatnya yang regional implementasi konvensi ini tidak menyeluruh.23

Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat pasal 13 Piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut:24

“1. ma jelis umum a ka n menga daka n penyelidika n da n menga juka n usulan -usula n (recoomenda tions) denga n tujua n: Memajukan kerjasama internasional di bida ng politik, da n mendorong peningka ta n da n pengemba nga n hukum interna siona l seca ra progresif da n pengodifika sia nnya ; Memajukan kerjasama internasional di bida ng ekonomi, sosia l, kebuda ya a n, pendidika n, dan bida ng -bida ng keseha ta n, da n memba ntu meningka tkan pema ha ma n a ta s hak-ha k a sa si ma nusia da n kebeba sa n da sa r ba gi semua uma t ma nusia ta npa membeda -beda kan ba ngsa , ra s, jenis kela min, bahasa, ataupun agama.”

22

Ibid.

23 Ibid.

24

Ayunika, Peranan Hukum Diplomatik Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri, Skripsi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara, 2013, Halaman: 60.


(40)

Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik, terutama mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun, pembahasan mengenai hubungan diplomatik tidak mendapatkan prioritas.25

Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, Majelis Umum PBB pada tahun 1953 menerima resolusi yang meminta Komisi Hukum Internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

Pada tahun 1954, Komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 Majelis Umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Konferensi Internasional guna membahas maslah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.26

Konferensi tersebut dinamakan “The United Na tions Conference on Diplomatik Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret 1961–14 April 1961. Kota Wina dipilih dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi ini dihadiri oleh delegasi dari 81 negara, 75 diantaranya

25 Ibid.

26 Ibid.


(41)

adalah anggota-anggota PBB dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan dengan Mahkamah Internasional.27 Konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu:

1. Vienna Convention on Diploma tik Rela tions,

2. Optiona l Protocol Concerning Aqcuisition of Na tiona lity, da n

3. Optiona l Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Di antara ketiga instrumen tersebut Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik (Convention on Diplomatik Relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting.28

Konvensi Wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani Konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian, pada 24 april 1964, Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku. Kini hampir seluruh negara didunia telah meratifikasi konvensi tersebut,termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1982 pada 25 Januari 1982. Pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi Wina tersebut digarisbawahi oleh Mahkamah Internassional dalam kasus United Sta tes Diploma tik and Consula r Sta ff in Teheran melalui ordonansinya tertanggal 15 Desember 1979, dan pendapat hukumnya (Advisory Opinion) tertanggal

27

Edy Suryono. Op.Cit Halaman : 37

28

T. May Rudi, Teori, Etika Dan Kebijakan Hubungan Internasional, Angkasa, Bandung, 1993. Halaman: 3


(42)

24 Mei 1980. Konvensi wina ini merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi ini tetap berlaku sepertii tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan: “…that the rules of customa ry interna tiona l la w should continue to govern question not expressly regula ted by the provisions of the present Convention.” 29

B. Fungsi dan Tujuan Pejabat Missi Diplomatik

Secara tradisional, fungsi pejabat missi diplomatik, baik duta besar maupun pejabat diplomatiknya adalah untuk mewakili negaranya dan mereka itu bertindak sebagai suara dari pemerintahnya disamping sebagai penghubung antara pemerintah negara penerima dan negara pengirim. Mereka juga bertugas untuk melaporkann mengenai keadaan dan perkembangan di negara dimana mereka di akreditasikan termasuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan negaranya dan warga negaranya di negara penerima.30

Fungsi pejabat missi diplomatik pada dasarnya hanya berhubungan dengan persoalan politik, tetapi pada saat ini sulit bagi kita untuk memisahkakn antara politik dengan aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itulah fungsi pejabat missi diplomatik lama kelamaan juga berubah, bukan hanya menyelenggarakan hubungan politik saja, tetapi sudah jauh masuk ke bidang

29

Syahmin, Hukum Diplomatik, Rajagrafindo, Jakarta, 2008, Halaman : 16-17

30

Sumaryo Suryokusummo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Jakarta : Tatanusa, 2013, Halaman : 69


(43)

perdagangan, keuangan, perindustrian dan lain sebagainya, yang sbenarnya merupakan wewenang konsuler.

Pejabat missi diplomatik ada yang bersifat tetap (permanent), dan ada pejabat missi diplomatik yang bersifat sementara (ad hoc). Lingkup fungsi pejabat missi diplomatik sementara (ad hoc) sangat terbatas, begitu pula rentang waktu dan urusannya misalnya dalam menghadiri konferensi antarnegara, menandatangani perjanjian, melakukan negoisasi khusus.31

Fungsi pejabat missi diplomatik tetap (permanent) adalah melaksanakan seluruh tugas yang dibebankan oleh negara pengirim dinegara penerima sesuai dengan kesepakatan kedua negara sepanjang tidak bertentangan dengan Konvensi Wina tahun 1961 dan konvensi lain yang berkaitan dengan hubungan diplomatik.32 Berikut ini beberapa fungsi pejabat missi diplomatik seperti yang tercantum dalam Konvensi Wina 1961 :

Article 3

1. The function of a diploma tik mission consist, inter a lia , in: (a ) Representing the sending sta te in the receiving sta te;

(b) Protecting in the receiving sta te the interests of the sending sta te a nd of its na tiona l, within the limits permitted by interna tiona l la w;

(c) Negotia ting with the government of the receiving sta te;

(d) Ascerta ining by a ll la wful mea ns conditions and developments in the receiving sta te, a nd reposting thereon to the government of the sending sta te;

(e) Promoting friendly rela tions between the sending sta te a nd the receiving sta te, a nd developing their economic cultura l a nd scientific rela tions.

31

Widodo, Hukum Kekebalan Diplomatik, Aswaja Presindo, Yogyakarta, 2009, Halaman: 50.

32


(44)

Fungsi pejabat missi diplomatik adalah sebagai berikut: 1. Mewakili negaranya dinegara penerima

Perwakilan diplomatik yang dibuka oleh suatu negara ke negara lain merupakan suatu perwakilan yang permanen (permanent mission) dan mempunyai tugas dan fungsi yang cukup beragam (ius representationis omnimodo) yaitu hak keterwakilan sesuatu negara secara keseluruhan. Tugas utama seorang duta besaar adalah untuk mewakili negara pengirim di negara penerima dan untuk bertindak sebagai saluran hubungan yang resmi antara pemerintah dari kedua negara. Disamping itu tujuan pokok dari pembukaan hubungan diplomatik adalah untuk memudahkan hubungan resmi antara negara dan para diplomatnya, dapat melakukan negosiasi dan menyampaikan pandangan dari pemerintahnya mengenai berbagai maslah kepada negara dimana dia diakreditasi.

Dengan demikian apa yang dilakukan oleh para diplomat dalam suatu perwakilan diplomatik di negara penerima pada hakekatnya harus mencerminkan kepentingan dari negara pengirim dan pemerintahnya. Mereka harus menjaga harkat dan martabat serta kehormatan negaranya sebagai negara yang berdaulat.33

33

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Dan Konsuler, Tatanusa, Jakarta, 2013, Halamn 70.


(45)

2. Perlindungan terhadap kepentingan negara pengirim dan warga negaranya Tugas kedua yang juga penting dari pejabat missi diplomatik adalah untuk melindungi kepentingan dari negara pengirim dan kepentingan dari warga negarnya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum internasional. Perlindungan itu harus pula diberikan oleh negara penerima kepada para pejabat diplomatik dinegaranya. Bahkan negara ketiga pun harus memberikan fasilitas dan perlindungan diplomatik kepada para pejabat diplomatik yang sedang in transit di negara ketiga yang bersangkutan (Pasal 46 Konvensi Wina 1961). Walaupun memiliki fungsi proteksi, bukan berarti Duta Besar boleh langsung campur tangan dalam persoalan rumah tangga negara penerima.34

Hanya saja jika warga negaranya meminta pertolongan, ia wajib memberikannya dalam batas-batas kekuasaannya sejauh diperkenankan hukum internasional. Sebagai contoh, warga negaranya dirugikan oleh suatu badan atau lembaga dari negara penerima maka sang duta boleh memberikan perlindungan diplomatik kepada mereka berupa tuntutan ganti rugi melalu saluran diplomatik atau jika ada warga negaranya terlantar, duta dapat memberikan pertolongan keuangan seandainya memang tersedia anggaran untuk itu atau mengajak warga negaranya yang lain untuk mengulurkan

34

Novi Monalisa Anastasia Tambun, Penerobosan dan Perusakan Gedung konsulat Amerika Serikat Di Benghazi, Libya Ditinjau Dari Hukm Diplomatik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013. Halaman: 35-36


(46)

tangan untuk memulangkan yang bersangkutan dengan biaya yang akan diperhitungkan kemudia secara gotong royong.

3. Melakukan perundingan dengan negara penerima

Pejabat missi diplomatik juga mempunyai tugas untuk melakukan perundingan mengenai berbagai masalah yang menjadi kepentingan negaranya di negara penerima yang pada umumnya dilakukan oleh duta besar. Perundingan-perundingan tersebut bukan saja menyangkut berbagai permasalahan termasuk kerja sama bilateral baik dibidang politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan, militer ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Disamping itu fungsi pejabat missi diplomatik juga untuk memberikan penafsiran mengenai pendapat atau sikap negara pengirim serta mencari dukungan mengenai setiap masalah dari negara penerima termasuk untuk mengadakan konsultasi mengenai masalah-masalah internasional. Demikian juga mengenai kekecewaan dan ketidak-puasan yang dialami oleh negara pengirim terhadap sikap pemerintah negara penerima mengenai sesuatu masalah. 35

4. Laporan perwakilan diplomatik kepada pemerintahnya

Fungsi perwakilan diplomatik lainnya yang juga penting adalah menyangkut kewajiban untuk memberikan laporan kepada negaranya mengenai keadaan dan perkembangan negara penerima dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum mengenai berbagai aspek baik politik, ekonomi, sosial, budaya

35


(47)

dan lain-lain . Dengan demikian perwakilan diplomatik memainkan peranan yang penting bukan saja dalam menyampaikan informasi dari pemerintah negara penerima kepada negaranya tetapi juga sebaliknya. pejabat missi diplomatik tersebut juga harus secara aktif mengambil prakarsa dalam mengumpulkan informasi dari berbagai sumber dinegara penerima dan menganalisanya sebelum menyampaikannya kepada pemerintah negara pengirim. Didalam praktek hal itu bisa juga timbul masalah, karena beberapa negara menurut undang-undangnya melarang adanya azas kebebasan dalam informasi. Oleh karena itu bisa saja terjadi bahwa cara-cara untuk memperoleh informasi itu dianggap biasa dan sah di satu negara, tetapi oleh sesuatu negara lainnya bisa dilihat sebagai suatu tindak kriminal mata-mata.36 5. Meningkatkan hubungan dan kerjasama di berbagai bidang

Fungsi pejabat missi diplomatik juga mencakup hal yang penting seperti kewajiban untuk meningkatkan hubungan persahabatan dengan negara penerima dan mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. pejabat missi diplomatik juga bertugas untuk meningkatkan hubungan ekonomi perdagangan atas dasar prinsip saling menguntungkan. Duta besar sebagai kepala perwakilan diplomatik bertugas untuk meningkatkan pengertian antara dua negara karena itu melibatkan bukan saja yang berhubungan dengan pemerintah negara penerima tetapi juga dalam rangka menjelaskan kebijakan dan sikap pemerintahnya dan pandangan

36


(48)

mereka terhadap rakyat dan negara melalui media dan dalam acara-acara yang layak serta memberikakn pengertian terhadap pemerintah dan rakyat mengenai maksud, harapan dan kehendak dari negaranya.37

Fungsi pejabat missi diplomatik ini menurut pasal 13 Konvensi Wina 1961 mulai berlaku apabila

“kepala missi diplomatik dianggap telah memulai tugasnya di negara penerima , ba ik sa a t ia menyerahkan sura t-sura t keperca ya a nnya ma upun ia memberita huka n keda tangannya dan menyera hka n sebuah sa linan asli sura t keperca ya nnya kepada menteri lua r negeri nega ra penerima , a ta u menteri la in ya ng ditunjuk untuk itu, sesua i dennga n pra ktik ya ng berlaku di nega ra penerima ya ng akan diperlakukan secara seragam”

Urutan-urutan penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan ditentukan oleh hati, tanggal, dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan.

Pada umumunya tugas seorang kepala missi diplomatik akan berakhir karena telah habis masa jabatannya yang diberikan kepadanya. Tugas itu dapat pula berakhir karena ia ditarik kembali recalled oleh pemerintah negaranya. Bisa juga berakhir karena sang diplomat yang bersangkutan tidak disukai lagi persona non-garata. Jika antara negara pengirim dan negara penerima terjadi perang, tugas seorang diplomat juga kan terganggu (terhenti) dan ia biasanya dipanggil pulang. Kemudian, jika kepala pemerintahan (presiden/raja/ratu) wafat, turun tahta, atau terjadi suksesi kepemimpinan nasional, dapat pula menyebabkan berhentinya tugas missi diplomatik seorang pejabat diplomatik, (pada saat sekarang, kematian kepala negara atau kepala

37


(49)

pemerintahan, tidak lagi dipergunakan sebagai alasan untuk menarik kembali kepala perwakilannya diluar negeri)38

Menurut J.G Starke, sebuah pejabat missi diplomatik dapat berakhir dengan cara yang berbeda-beda diantaranya:39

8. Penarikan kembali (recall) perutusan itu oleh negara yang mengirimnya. Surat penarikan kembali biasanya disampaikan kepada kepala negara atau kepala menteri luar negeri dalam audensi yang resmi dan perutusan yang bersangkutan akan menerima pengembalian Lettre de Recreance yang memberitahukan penarikannya.

9. Pemberitahuan oleh negar apengirim kepada negara penerima bahwa tugas perutusan itu telah berakhir (pasal 43 Konvensi Wina).

10.Permintaan oleh negara penerima agar perutusan ditarik kembali (recalled). Negara tuan rumah tidak perlu memberikan penjelasan mengenai permintaan tersebut (lihat Pasal 8 Konvensi Wina), akan tetapi seperti dalam kasus permintaan Australia pada bulan Juni 1986 agar Atase Afrika Selatan kembali negaranya, hal ini secara tegas dapat didasarkan atas suatu klaim tetang tuduhan tindakakn yang tidak dapat diterima, dengan suatu batas waktu tertentu untuk keberangkatanyya (sepuluh hari seperti yang ditanyakan dalam permintaan Australia untuk pemulangan Atase yang dikemukakan di atas).

38

Syahmin, Hukum Diplomatik, Raja grafindo, Jakarta, 2008, Halaman: 85

39

J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, Halaman 571-572


(50)

Walaupun penyebutan tentang batas waktu itu tidak secara etgas diisyaratkan oleh Konvensi Wina.

11.Penyerahan paspor-paspor kepada perutusan dan stafnya serta keluarganya oleh negara yang menerima, seperti pada waktu pecah perang antara negara pengirim dan negara penerima.

12.Pemberitahuan oleh negara penerima kepada negara pengirim, jika perutusan itu dinyatakan persona non grata dan apabila ia tidak ditarik kembali atau tugas-tugasnya belum berakhir, bahwa negara penerima itu menolak mengakuinya lagi sebagai anggota misi (pasal 9 dan 43 Konvensi Wina). 13.Tujuan misi tersebut telah terpenuhi.

14.Berakhirnya masa berlaku surat-surat kepercayaan yang diberikan hanya untuk waktu terbatas.

Tujuan pejabat missi diplomatik, Menurut ketetapan Konggres Wina 1815 dan Konggres Aux La Chapella 1818 (konggres Achen), pelaksanaan peranan perwakilan diplomatik guna membina hubungan dengan negara lain dilakukan oleh perangkat-perangkat berikut :40

a. Duta Besar Berkuasa Penuh (ambassador), adalah tingkat tertinggi dalam perwakilan diplomatik yang mempunyai kekuasaan penuh dan luar biasa. Ambassador ditempatkan pada negara yang banyak menjalin hubungan timbale balik.

40

Ryeza, Menganalisis Fungsi Perwakilan Diplomatik, Sumber:

http://ryezamanutd.blogspot.com/2013/06/menganalisis-hubungan-internasional.html, Diakses: 29 Januari 2015


(51)

b. Duta (gerzant), adalah wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah dari duta besar, Dalam menyelesaikn segala persoalan kedua negara dia harus berkonsultasi dengan pemerintah negaranya.

c. Menteri Residen, seorang menteri residen dianggap bukan wakil pribadi kepala negara. Dia hanya mengurus urusan negara dan pada dasarnya tidak berhak mengadakan pertemuan dengan kepala negara dimana dia berugas. d. Kuasa Usaha (charge d’Affair). Dia tidak ditempatkan oleh kepala negara

kepada kepala negara tetapi ditempatkan oleh menteri luar negeri kepada menteri luar negeri.

e. Atase-atase, adalah pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh. Atase terdiri atas dua bagian, yaitu:

1. Atase Pertahanan

Atase ini dijabat oleh seorang perwira militer yang diperbantukan departemen Luar negeri dan ditempatkan di kedutaan besar negara bersangkutan, serta diberi kedudukan sebagai seorang diplomat. Tugasnya adalah memberikan nasehat di bidang militer dan pertahanan keamanan kepada duta besar berkuasa penuh.

2. Atase Teknis

Atase ini dijabat oleh seorang pegawai negeri sipil tertentu yang tidak berasal dari lingkungan Departemen Luar Negeri dan ditempatkan di salah satu


(52)

kedutaan besar untuk membantu duta besar. Dia berkuasa penuh dalam melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan tugas pokok dari departemennya sendiri. Misalnya Atase Perdagangan, Perindustrian, Pendidikan Kebudayaan.41

C. Teori-Teori Kekebalan Diplomatik

Kekebalan Diplomatik merupakan hal yang penting bagi wakil dari negara-negara dalam melakukan hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam melakukan diplomasi yang dilakukan oleh wakil-wakil dari negara tersebut. Agar wakil-wakil negara tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik dan efisien, maka para wakil-wakil negara dalam berdiplomasi tersebut diberikan hak-hak istimewa dan kekebalan. Sehubungan dengan itu terdapat 3 teori mengenai landasan hukum pemberian kekebalan dan keisitimewaan diplomatik luar negeri, yaitu sebagai berikut :

1. Teori Ekstrateritorialitas (Exterritotiality Theory)

Menurut teori ini, seorang pejabat diplomatik dianggap seolah-olah tidak meninggalkan negaranya, ia hanya berada diluar wilayah negara penerima, walaupun pada kenyataannya ia sudah jelas berada diluar negeri sedang melaksanakan tugas-tugasnya dinegara dimana ia ditempatkan. Demikian juga halnya gedung perwakilan, jadi pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu disebabkan faktor eksterritorialitas tersebut. Oleh karena itu,

41


(53)

seorang diplomat itu dianggap tetap berada dinegaranya sendiri, ia tidak tunduk pada hukum negara penerima dan tidak dapat dikuasai oleh negara penerima. Menurut teori ini seorang pejabat diplomatik tersebut adalah dikuasai oleh hukum dari negara pengirim.42

Dalam praktiknya, teori eksterritorialitas sangat berat untuk diterima karena dianggap tidak realistis. Teori ini hanya didasarkan atas suatu fiksi dan bukan realita yang sebenarnya.43

Jadi, teori eksterritorialitas dalam arti, seorang wakil diplomatik dianggap tetap berada di wilayah negaranya sendiri44.

Teori ini didalam kehidupan sangat sullit diterapkan, dan mayoritas ahli hukum menyangkal kebenarannya. Kejanggalan teori tersebut dapat disimak dalam ilustrasi berikut : 45

a. Seorang diplomat dalam kesehariannya sulit memaksakan diri untuk melaksanakan ketentuan hukum negara pengirim di negara penerima, misalnya diplomat Indonesia tidak dapat mengendarai mobil pribadi pada jalan raya untuk jalur dua arah di negara Saudi Arabia dengan menerapkan peraturan lalu lintas Indonesia. Apabila diplomat Indonesia mengemudikan kendaraan di jalan lajur sebelah kiri maka pasti

42

Sigit Fahrudin, Hak istimewa Dan Kekebalan Diplomatik, sumber:

http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-diplomatik.html , diakses 29 Januari 2015

43

Edy Suryono, dan Moenir Arissoendha, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewaannya, Bandung, Angkasa, 1991. Halaman: 31

44

Syahmin, Op.Cit, Halaman: 117

45


(54)

bertabrakan dengan pengendara lain, karena di Saudi Arabia pengguna jalan raya harus mengendarai kendaraan pada lajur sebelah kanan.

b. Apabila terdapat anggapan bahwa kantor perwakilan diplomatik beserta tempat tinggal diplomat dianggap berada diwilayah negara pengirim, para diplomat setiap bulan atau setiap tahun wajib membayar berbagai pajak dan iuran (misalnya pajak bumi dan bangunan, retribusi pengelolaan sampah), padahal dalam praktik mereka tidak melakukan kewajiban tersebut. Andaikata mereka harus membayar, negara pengirim harus membuka dinas-dinas terkait dinegara diplomat. Meskipun demikian bukan berarti kantor kedutaan terbebas dari pembayaran biaya, karena dalam praktik ada beberapa rekening kantor kedutaan dan rumah kediaman resmi diplomat yang wajib dibayar pihak kedutaan asing kepada negara penerima, misalnya rekening telepon, air, dan listrik.

c. Andaikata para diplomat dianggap tinggal dinegara pengirim maka tidak perlu memperoleh kekebalan dan keistimewaan mutlak pada warga negaranya sendiri diwilayahnya.

2. Teori Diplomat sebagai wakil negara berdaulat atau wakil kepala negara (Representa tive Cha ra cter)

Teori ini mengajarkan bahwa baik pejabat diplomatik maupun perwakilan diplomatik, mewakili negara pengirim dan kepala negaranya. Dalam kapasitas itulah pejabat dan perwakilan diplomatik asing menikmati hak-hak istimewa


(55)

dan kekebalan kepada pejabat-pejabat diplomatik asing juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran dan kedaulatan serta kepala negaranya.

Teori ini berasal dari era kerjaan masa lalu dimana negara penerima memberikan semua hak, kebebasan, dan perlindungan kepada utusan-utusan raja sebagai penghormatan terhadap raja itu sendiri. Namun seperti halnya dengan teori eksterritorialitas, pemberian hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini tidak mempunyai batas yang jelas dan menimbulkan kebingungan hukum.46

Teori ini sulit juga diterapkan Karena sampai saat ini orang yang mendapat kekebalan diplomatik bukan hanya diplomat, tetapi termasuk anggota keluarga diplomat yang membentuk rumah tangganya dan tinggal di negara penerima, padahal bukan berstatus diplomat yang mewakili negara pengirim. Dalam praktik juga sulit dibedakan antara perbuatan seorang diplomat dalam kapasitasnya sebagai wakil negara atau wakil kepala negara, dengan perbuatan diplomat dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Padahal menurut hukum diplomatik seluruh perbuatan diplomat baik perbuatan atas nama negara maupun atas nama pribadi memperoleh kekebalan dan keistimewaan.47

46

Syahmin, Op.Cit, Halaman: 118

47


(56)

3. Teori kebutuhan fungsional

Teori ini mengajarkan bahwa hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan diplomatik dan misi diplomatik hanya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik tersebut dapat melaksanakan tugasnnya dengan baik dan lancar. Dengan memberikan tekanan pada kepentingan fungsi, terbuka jalan bagi pembatasan hak-hak istimewa dan kekebalan-kekebalan sehingga dapat diciptakan keseimbangan antara kebutuhan negara pengirim dan hak-hak negara penerima. Teori ini kemudian didukung untuk menjadi ketentuan dalam Konvensi Wina 1961.

Dalam muadimah Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dirumuskan “...that the purpose of such privilages and immunities is not to benefit individua ls but to ensure the efficient perfor ma nce of the function of diplomatik missions as representing states.” Artinya, bahwa tujuan pemberian kekebalan dan keistimewaan tersebut bukan untuk meenguntungkan orang perseorangan, tetapi untuk menjamin pelaksanaan yang efisien fungsi-fungsi missi diplomatik sebagai wakil dari negara.

Maka dari itu, jelaslah bahwa landasan yuridis pemberian semua kemudahan, hak-hak istimewa dan kekebalan yang diberikan kepada para agen diplomatik asing di suatu negara adalah untuk memperlancar atau memudahkan


(57)

pelaksanaan kegiatan-kegiatan para pejabat diplomatik dan bukan atas pertimbangan-pertimbangan lain.48

D. Hak Kekebalan Dan Keistimewaan Pejabat Missi Diplomatik

Dalam abad ke 16- dan 17 pada waktu pertukaran duta-duta besar secara permanen antarnegara-negara di Eropa, sudah mulai menjadi umum, kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah diterima sebagai praktik-praktik negara dan bahkan telah diterima oleh para ahli hukum internasional meskipun jika terbukti bahwa seorang duta besar telah terlibat dalam komplotan atau penghianatan melawan kedaulatan negara penerima. Seorang duta besar dapat diusir, tetapi tidak dapat ditangkap dan diadili.49

Kekebalan duta besar dari yurisdiksi pidana di negara penerima telah mulai dilakukan oleh banyak negara dalam abad ke-17 sebagai kebiasaan internasional.

Kemudian pada pertengahan abad ke-18 aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi para diplomat.

A. Kekebalan

Bahwa didalam istilah kekebalan terkandung dua pengertian, yaitu kekebalan (immunity), dan tidak dapat diganggugugat atau inviolabilitas (Inviolability) adalah kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan

48

Syahmin, Op.Cit. Halaman: 118

49


(1)

diplomatik. Tidak jarang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara penerima terhadap anggota staf missi diplomatik membuat hubungan antara negara penerima dengan negara pengirim menjadi bentrok.

3. Penanganan dan penyelesaian terkait kasus penangkapan diplomat India Devyani Khobragade oleh kepolisian Amerika Serikat dapat dihubungkan dengan kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh Devyani. Pihak Kepolisian Amerika Serikat tidak sepantasnya menangkap dan menahan Devyani dan memperlakukan devyani layaknya seorang penjahat kriminal. sesuai dengan pasal 29 Konvensi Wina 1961: “Pejabat diplomatik tidak boleh diganggu gugat, tidak boleh ditangkap dan ditahan. Mereka harus diperlakukan dengan penuh hormat dan Negara penerima harus mengambil langkah-langkah yang layak untuk mencegah serangan atas diri, kebebasan dan martabatnya.”

Sesuai dengan pernyataan pasal tersebut, AS dan India secara hukum kebiasaan internasional terikat pacta sunt servanda yang mewajibkan kedua pihak menyepakati perjanjian internasional tersebut karena kedua negara telah meratifikasinya dalam instrumen hukum nasionalnya masing-masing. Putusan hakim Distrik Amerika Serikat di Manhattan Shira Scheiden, menyatakan menutup kasus Devyani Khobragade dengan alas an kekebalan diplomatik. Hakim menemukan, Khobragade memiliki kekebalan luas dari apa yang didakwakan padanya.


(2)

B. SARAN

Hubungan diplomatik yang baik berperan sebagai pemelihara keseimbangan dan kedamaian tatanan internasional. Banyak kasus-kasus pelanggaran hubungan diplomatik yang terjadi dari dulu sampai sekarang berkaitan dengan kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik. Oleh karena itu saran yang diberikan yaitu :

1. Dibutuhkan kerjasama dan saling menghormati antara negara pengirim dengan negara penerima agar Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dapat ditegakkan dengan sempurna.

2. Bagi negara penerima, disini sangat diperlukan sikap menghormati kepada diplomat asing. Negara penerima hendaknya melindungi serta menjaga diplomat asing baik dari gangguan dari dalam negerinya maupun gangguan dari warga asing. Kepada diplomat asing yang sedang bertugas di negara pengirim hendaknya dapat menghormati dan menaati peraturan negara penerima selama peraturan-peraturan yang diberlakukan oleh negara penerima tidak mengganggu tugas misi diplomatiknya.

3. Untuk penanganan dan penyelesaian kasus ditangkapnya diplomat India tersebut seharusnya pihak kepolisian tidak langsung menangkap sang diplomat disamping ia memiliki kekebalan diplomatik. Kepolisian Amerika Serikat dapat menghubungi pihak negara pengirim atas kasus tersebut dan dapat menyelesaikan kasus tersebut dengan jalan damai tanpa harus menjadi sorotan dunia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agusman, Damos Dumoli, 2010, Hukum Per janjian Internasional: Kajian dan Pra ktik Indonesia, Bandung: Refika Aditama

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2002, Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan

Edy Suryono dan Moenir Arissoendha, 1991, Hukum Diplomatik Kekebalan dan Keistimewa a nnya, Bandung: Angkasa

J.G Starke, 2000, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika Kelsen, Hans, 1952, Principles of International La w, New York

Lauterpacht, Oppenheim, 1960, International Law, Vo1 8th edition, London-New York: Longmans Green & Co

Richard K. Gardiner, International Law, 2003, Harlow: Pearson Education Limited Sunggono, Bambang, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo

Persada

---, 2003, Metode Penelitian Hukum Suatu pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Suryokusumo, Sumaryo, 2005, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung: Alumni

---, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Jakarta: Tatanusa Suryono, Edi, 1992, Perkembangan Hukum Diplomatik, Solo: Mandar Jaya

Syahmin, 2008, Hukum Diplomatik, Jakarta: Raja Grafindo

T. May Rudi, 1993, Teori, Etika dan Kebijakan Hubungan Internasional, Bandung: Angkasa


(4)

Tambaruka, Apriadi, 2001, Revolusi Timur Tengah: Kejatuhan Para Penguasa Otoriter di Nega ra -Nega ra Timur Tenga h, Yogyakarta: Narasi Wasito, 1999, Konvensi-konvensi Wina, Andi Offset, Yogyakarta

INTERNET

Murti, Ha k Kekeba la n dan Keistimewa a n Diploma tik, http://murtiblogz.blogspot.com/2013/04/hak-kekebalan-dan-keistimewaan.html diakses: 30 Januari 2015

Galang Dea Alfarisi, Ma nusia Seba ga i Ma khluk Sosia l, http://galangalfaris22.blogspot.com/2013/11/manusia-sebagai-makhluksosial.html

Roy Sanjaya, Tuga s Per wa kila n Diploma tik,

http://roysanjaya.blogspot.com/2009/02/tugas-perwakilan-diplomatik.html

Politik Indonesia, AS Usir Diploma t India Devya ni Khobra ga de, http://www.politikindonesia.com/m/index.php?ctn=1&k=politik&i=52185

Niam, Sejarah Hubungan Diplomatik Antar Negara,

https://masniam.wordpress.com/2009/03/21/sejarah-hubungan-diplomatik-antar-negara/

Ryeza, Menga na lisis Fungsi Per wa kila n Diploma tik,

http://ryezamanutd.blogspot.com/2013/06/menganalisis-hubungan-internasional.html

Sigit Fahrudin, Ha k Istimewa da n Kekeba la n Diploma tik,

http://mukahukum.blogspot.com/2009/04/hak-istimewa-dan-kekebalan-diplomatik.html

Nizar Fikri, Tinjauan Yuridis Terhadap Kekebalan Gedung Diplomatik (Studi Terha da p Ka sus Keduta a n Besa r Irak di Isla ma bad Februa ri 1973), http://nizarfikkri.blogspot.com/2011/12/tinjauan-yuridis-terhadap-kekebalan.html Minarty, Analisis Kasus “The Tabion V. Mufti (Filipina V. Yordania”) Terkait Kekeba la n Ba gi Peja ba t Diploma tik Berda sa rka n Konvensi Wina 1961, http://minartyplace.blogspot.com/2010/08/analisis-kasus-tabion-v-mufti-filipina.html


(5)

Gandi Misseyer, Hukum Diplomatik dan Konsuler Tinjauan Hukum tentang Pela ngga ra n yang Dila kuka n http://lawlowlew.blogspot.com/2013/07/hukum-diplomatik-dan-konsuler-tinjauan.html

Minarty, Imunita s Terha da p Yurisdiksi Nega ra, http://minartyplace.blogspot.com/2009_03_01_archive.html

Sigit Fahrudin, Pela ngga ra n Terha da p Gedung Perwa kila n Diploma tik,

http://mukahukum.blogspot.com/2010/02/pelanggaran-terhadap-gedung-perwakilan.html

Muhammad Rakhmanaji, Yurisdiksi Ekstrateritorial dalam Kasus Perusakan Keduta a n Besa r Inggris di Ira n, http://alsaindonesia.org/site/yurisdiksi-ekstrateritorial-dalam-kasus-perusakan-kedutaan-besar-inggris-di-iran/

Sigit Fahrudin, Pela ngga ra n Kebeba sa n Komunika si,

http://mukahukum.blogspot.com/2010/03/pelanggaran-kebebasan-komunikasi.html

Hidayatullah, Buntut Penya da pa n KBRI Mya nma r, http://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2004/07/12/1896/buntut-penyadapan-kbri-myanmar.html

Liputan, Ta s Diploma tik Ta k Luput Digeleda h,

http://news.liputan6.com/read/319352/tas-diplomatik-tak-luput-digeledah Ensiklopedia, Bendera Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Bendera_Indonesia Oimamonoha, Arti dan Makna Lambang Negara Indonesia “Garuda Pancasila”, https://oimamonoha.wordpress.com/2012/08/10/arti-dan-makna-lambang-negara-indonesia-garuda-pancasila-2/

Evan, Bera ga m Aksi Penghina a n La mba ng Nega ra ,

www.tempo.co/read/news/2011/04/25/078329891/Beragam-Aksi-Penghinaan-Simbol-Negara

Tyokronisilicus, Kasus Demonstrasi di Depan Kedutaan BEsar Indonesia di Ca nberra Ta hun 1992, https://tyokronisilicus.wordpress.com/2011/11/25/kasus-demonstrasi-di-depan-kedutaan-besar-indonesia-di-canberra-tahun-1992/


(6)

Arpita De, Who Is Devya ni Khobra ga de, http://timesofindia.indiatimes.com/india/Who-is-Devyani-Khobragade/articleshow

Aida Mudjib, Analisa Pelanggaran HAM pada Kasus Devyani Khobragade, http://www.academia.edu/6912104/analisa_pelanggaran_HAM_pada_kasus_Devya ni_Khobragade

Elisabeth Septin Puspoayu, Kekebalan Gedung Per wakilan Diplomatik Dalam Situasi Khusus (Studi Ka sus Keduta a n Besa r Lybia di London 1984) http://aiuabeth.blogspot.com/2012/05/cobacoba.html

JURNAL

Febi Hidayat, Pertanggungja waban Negara Atas Pelanggatan Hak Kekebalan Diploma tik Ditinja u Da ri Aspek Hukum Interna siona l (Studi Ka sus Penya da pan KBRI di Mya nma r Ta hun 2004), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Andalas 2011 Mohammad Firdaus kurnia, Tanggung Jawab Pemerintah Libya Terhadap Sera nngan Keduta a n Besa r Amerika Serika t di Bengha zi Libya Tahun 2012, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2013

Ayunika, Peranan Hukum Diplomatik Terhadap Perlindungan Hak-Hak Tenaga Ker ja Indonesia Di Lua r Negeri, Skripsi Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara, 2013

Novi Monalisa Anastasia Tambun, Penerobosan dan Perusakan Gedung konsulat Amerika Serika t Di Bengha zi, Libya Ditinja u Da ri Hukm Diploma tik, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013

PERUNDANG-UNDANGAN Konvensi Wina 1961