Chapter II Karakterisasi Simplisia dan Skrining Fitokimia serta Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Ekstrak Etanol Buah Terong Lalap Ungu (Solanum melongena L).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman
Uraian tanaman meliputi daerah tumbuh, nama daerah, nama asing,
sistematika tanaman, morfologi tanaman, kandungan kimia dan kegunaan dari
tanaman.
2.1.1 Daerah tumbuh
Terong (Solanum melongena L.) merupakan tanaman asli daerah tropis.
Tanaman ini berasal dari benua Asia, terutama India, Birma, Indonesia dan
Myanmar. Dari daerah-daerah ini kemudian dibawa ke Spanyol dan
disebarluaskan ke negara-negara lain di Afrika Tengah, Afrika Timur, Afrika
Barat, dan Amerika Selatan (Rukmana, 1994; Mashudi, 2007).
Tanaman terong sangat mudah dikembangbiakkan karena dapat tumbuh di
daerah dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1.200 m dari permukaan laut
(Supriati dan Herliana, 2010).
2.1.2 Nama daerah
Di Indonesia terong memiliki berbagai macam nama daerah, seperti treung
(Aceh), trong (Gayo), terung (Karo), tiung (Toba), reteng (Simalungun), toru
(Nias), poki-poki (Manado), terung (Ambon), Cung (Palembang), tiung
(Lampung), lintadung (Tidung), terong (sunda), encung (Jawa), tuung (Bali),

atimbu (Gorontalo), bodong-bodong (Makassar), iterung (Bugis), kenduru
(Sumba), kaumenu (Timor), boki-boka (Seram Timur), pelole (Halmahera
Selatan), kiniwoki (Halmahera Utara), dan fafaki (Ternate) (Heyne, 1987).

6
Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Nama asing
Tanaman terong banyak tersebar di berbagai negara dengan nama yang
berbeda, misalnya eggplant (Eropa), aubergine (UK), brinjal (India), khatiri-kai
(Srilanka), aikua (Katon), gie-zi (China), nasubi (Jepang), ca tim (Vietnam), dan
makhua (Thailand) (Mashudi, 2007; Anonima, 2012).

2.1.4 Sistematika tanaman
Sistematika tanaman terong berdasarkan identifikasi oleh Herbarium
Medanense (MEDA) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Plantae


Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Solanales

Famili

: Solanaceae

Genus

: Solanum


Spesies

: Solanum melongena L.
Menurut Choudhary dan Gaur (2009) terdapat 3 varietas dibawah spesies

Solanum melongena , yaitu :

1. Solanum melongena var. esculentum
Terong ini bentuk buahnya besar, bulat atau bulat telur.
2. Solanum melongena var. serpentinum
Terong ini bentuk buahnya panjang, ramping, bagian ujung biasanya
membengkok.
3. Solanum melongena var. depressum
Terong varietas depressum bentuk buahnya bulat kecil.

7
Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Morfologi tanaman
Terong (Solanum melongena L.) merupakan tanaman setahun jenis perdu

yang dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 50 - 150 cm. Batang bulat, bercabang,
berkayu, berduri dan berbulu. Daun tunggal, bulat telur, ujung runcing, pangkal
berlekuk, tepi berombak, panjang 3 - 15 cm, lebar 2 - 9 cm, pertulangan menyirip,
warnanya hijau, letak daun berselang-seling dan bertangkai pendek. Bunga
majemuk, berseling, terdiri dari 5 kelopak, bentuk lonceng, terdiri dari lima
mahkota,berwarna putih lembayung sampai ungu, kepala sari kuning, (Hutapea,
2001; Haryoto, 2009). Buah terong merupakan buah sejati tunggal, berdaging
tebal, bentuk buahnya beraneka ragam, diantaranya bulat kecil, silindris, lonjong,
dan bulat panjang. Warna buahnya ungu, tetapi ada pula yang berwarna putih dan
hijau bergaris putih (Sunarjono 2013; Mashudi, 2007). Biji pipih, kecil, kuning,
dan licin. Akar tunggang dan berwarna cokelat muda (Hutapea, 2001).
2.1.6 Kandungan kimia
Kandungan zat aktif yang terkandung dalam terung yaitu alkaloid,
saponin, flavonoid, polifenol, asam amino, alanina, arginina, asam askorbat, beta
karoten, asam klorogenat, asam folat, saporin, dan nasunin (Hutapea, 2001;
Wijayakusuma, 2004).
2.1.7 Kegunaan tanaman
Terung ungu berfungsi sebagai makanan fungsional karena memiliki sifat
antioksidan yang baik, terung biasa dikonsumsi dengan cara dimasak menjadi
sayur seperti sayur lodeh, sayur asem, opor, gulai dan balado terong, namum ada

beberapa jenis terong yang dapat dimakan sebagai lalap segar, seperti terong lalap
atau terong gelatik. Beberapa jenis terong juga dapat dijadikan sebagai asinan,

8
Universitas Sumatera Utara

manisan dan juga dodol ( Vindayanti, 2012; Hastuti, 2007). Tidak hanya sebagai
bahan makanan, terong juga bermanfaat untuk mengobati berbagai penyakit,
seperti seperti kanker, hipertensi, hepatitis, diabetes, arthritis, asma dan bronchitis
(Persid dan Verma, 2014; Kandoliya, dkk., 2015).

2.2 Simplisia dan Ekstrak
2.2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dikatakan lain, berupa
bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia
hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang
berupa

tumbuhan


utuh,

bagian

tumbuhan

atau

eksudat

tumbuhan

(Depkes RI, 2000).
2.2.2 Ekstrak
Ekstrak yaitu sediaan kental atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan
(Depkes RI, 1995).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut
cair yang sesuai. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat
digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain.
Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah
pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 2000).

9
Universitas Sumatera Utara

Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering
digunakan antara lain yaitu:
a. Cara dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstraksi simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama
dan seterusnya.

2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umunya dilakukan pada temperatur
ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus
menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang tidak bereaksi ketika
ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida pekat.
b. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ektraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan
adanya pendingin balik. Umunya dilakukan pengulangan proses pada residu
pertama sampai 3 - 5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

10
Universitas Sumatera Utara

2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada temperatur 40 - 50oC.
4. Infundasi
Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 - 98oC)
selama waktu tertentu (15 - 20 menit).
5. Dekoktasi
Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.

2.3 Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau gugus atom yang memiliki satu atau lebih
elektron tidak berpasangan, sehingga senyawa tersebut sangat reaktif mencari
pasangan (Fessenden dan Fessenden, 1986). Radikal bebas cenderung menangkap
elektron dari molekul lain dan kemudian membuat senyawa baru yang tidak
normal yang akan menyebabkan reaksi berantai (Kosasih, 2004). Reaksi ini akan
berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan


11
Universitas Sumatera Utara

menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung koroner, katarak, serta
penyakit degeneratif lainnya (Muchtadi, 2013).
Mekanisme reaksi radikal bebas terbentuk melalui 3 tahapan reaksi, yaitu :
(1) permulaan (inisiasi, initiation) suatu radikal bebas, (2) perambatan (propagasi,
propagation) reaksi radikal bebas; (3) pengakhiran (terminasi, termination) reaksi

radikal bebas (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Tahap inisiasi adalah tahap awal terbentuknya radikl bebas. tahap
propagasi adalah tahap perpanjangan radikal berantai, dimana terjadi reaksi antara
sutau radikal dengan senyawa lain dan menghasilkan radikal baru. Tahap
terminasi adalah tahap akhir, terjadi pengikatan suatu radikal bebas dengan radikal
bebas yang lain sehingga membentuk senyawa non radikal yang biasanya kurang
reaktif dari radikal induknya (Kumalaningsih, 2006).

2.4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang

dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus
reaksi berantai dari radikal bebas (Kumlaningsih, 2006). Tubuh memiliki
mekanisme pertahanan antioksidan dalam bentuk enzim antioksidan dan zat
antioksidan untuk menetralisir radikal bebas, tetapi karena perkembangan industri
yang pesat, manusia berkontak dengan berbagai sumber radikal bebas yang
berasal dari lingkungan dan dari kegiatan fisik yang tinggi sehingga sistem
pertahanan antioksidan dalam tubuh tidak memadai (Silalahi, 2006). Senyawa ini
memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya

12
Universitas Sumatera Utara

reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal atau dengan mengikat
radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007).
Menurut Kosasih (2004) antioksidan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. Antioksidan primer
Antioksidan primer bekerja untuk mencegah terbentuknya senyawa radikal
bebas baru dengan mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang
berkurang dampak negatifnya sebelum radikal bebas bereaksi, contoh antioksidan
ini adalah enzim SOD (superoxide dismutase) yang berfungsi sebagai pelindung
hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal
bebas.
b. Antioksidan sekunder
Antioksidan sekunder berfungsi menangkap senyawa radikal bebas serta
mencegah terjadinya reaksi berantai, contoh antioksidan sekunder adalah vitamin
E, vitamin C dan β-karoten, bilirubin, albumin.
c. Antioksidan tersier
Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki kerusakan selsel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas, contoh enzim yang dapat
memperbaiki DNA pada inti sel adalah metionin sulfoksidan reduktase.
Antioksidan alami yaitu antioksian yang dapat diperoleh dari tanaman atau
hewan berupa tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik
(Kumalaningsih, 2006).
2.4.1 Tokoferol
Tokoferol merupakan salah satu antioksidan yang terdapat dalam
tumbuhan. Tokoferol adalah suatu antioksidan yang sangat efektif dan dengan

13
Universitas Sumatera Utara

mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus hidroksil ke radikal bebas
sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif ( Silalahi, 2006).
Rumus bangun tokoferol dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut:

Gambar 2.1 Rumus bangun tokoferol
2.4.2 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan
rumus molekul C6H8O6. Pemerian vitamin C adalah hablur atau serbuk berwarna
putih atau agak kekuningan. Pengaruh cahaya lambat laun menyebabkan berwarna
gelap, dalam keadaan kering stabil di udara namun dalam larutan cepat
teroksidasi. Vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol,
praktis

tidak

larut

dalam

kloroform,

dalam

eter

dan

dalam

benzen

(Depkes RI, 1979). Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada gambar 2.2
berikut:

Gambar 2.2 Rumus bangun vitamin C
Vitamin C adalah antioksidan yang ditemukan pada tumbuhan dan hewan
karena manusia tidak mempunyai enzim gulunolactone oxidase untuk
memproduksi senyawa ini sehingga vitamin C harus diperoleh dari luar. Asam

14
Universitas Sumatera Utara

askorbat adalah agen pereduksi sehingga dapat mengurangi oksigen reaktif
( Hamid, dkk., 2010).
2.4.3 Karotenoid
Karotenoid adalah suatu kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga
atau merah jingga, mempunyai sifat larut dalam lemak atau pelarut organik tetapi
tidak larut dalam air. Salah satu senyawa karotenoid adalah β-karoten, yaitu
senyawa yang akan dikonversikan menjadi vitamin A oleh tubuh sehingga sering
juga disebut sebagai pro-vitamin A (Kumalaningsih, 2006).
β-karoten mempunyai berat molekul 536,9 dengan rumus molekul C40H56.
Karakteristik β-karoten adalah hablur atau serbuk berwarna coklat-merah atau
merah kecoklatan, praktis tidak larut dalam air, sedikit larut dalam sikloheksana,
kurang larut dalam etanol. β-karoten peka terhadap udara, panas dan cahaya,
terutama ketika dalam bentuk larutan (Komisi Farmakope Eropa, 2005). Rumus
bangun β-karoten dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut:

Gambar 2.3 Rumus bangun β-karoten
β-karoten memperlambat fase inisiasi radikal bebas sehingga dapat
melindungi tubuh terhadap berbagai penyakit, yaitu menghambat pertumbuhan sel
kanker, mencegah serangan jantung, mencegah katarak, serta meningkatkan
fungsi sistem kekebalan tubuh (Silalahi, 2006).

15
Universitas Sumatera Utara

2.4.4 Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang mengandung 15 atom
karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6 (Markham,
1998). Rumus bangun flavonoid dapat dilihat pada gambar 2.4 berikut :

Gambar 2.4 Rumus bangun flavonoid
Senyawa ini adalah senyawa pereduksi yang dapat menghambat reaksi
oksidasi sehingga dapat dijadikan sebagai antioksidan (Robinson, 1995). Senyawa
ini berperan sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil
(Silalahi, 2006).
2.4.5 Polifenol

Gambar 2.5 Rumus bangun polifenol
Senyawa fenol dapat di definisikan secara kimiawi oleh adanya satu cincin
aromatik yang membawa satu (fenol) atau lebih (polifenol) gugus hidroksil,
termasuk derifat fungsionalnya. Polifenol adalah kelompok zat kimia yang
ditemukan pada tumbuhan. Turunan polifenol sebagai antioksidan dapat
menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki

16
Universitas Sumatera Utara

radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan
radikal bebas. Polifenol merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap
aktivitas antioksidan dalam buah dan sayuran (Hattenschwiller dan Vitousek,
2000).

2.5 Spektrofotometer UV-Visibel
Spektrofotometer UV-Visibel adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan sinar tampak yang diabsorbsi oleh sampel.
Spektrofotometer yang sering digunakan dalam dunia industri farmasi salah satu
adalah spektrofotometer ultraviolet dengan panjang gelombang 200 - 400 nm dan
visibel (cahaya tampak) dengan panjang gelombang 400

- 800 nm

( Dachriyanus, 2004).
Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar monokromator,
tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau
pencatat (Depkes RI, 1979). Prinsip kerja spektrofotometer Visible adalah
sinar/cahaya dilewatkan melalui sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan, dimana
akan menghasilkan spektrum. Sebagian dari cahaya tersebut akan diserap dan
sisanya akan dilewatkan. Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan akan
sebanding dengan konsentrasi larutan dalam kuvet. Absorbansi yang terbaca
hendaknya berada diantara 0,2 - 0,6 ( 0,2 ≤ A ≥ 0,6) karena pada kisaran nilai
absorbansi tersebut kesalahan fotometrik yang terjadi adalah paling minimal. Alat
spektrofotometer

ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan

(Ewing, 1975, Rohman, 2007).

17
Universitas Sumatera Utara

2.6 Metode Pemerangkapan Radikal Bebas DPPH
DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) pertama kali ditemukan pada tahun
1922 oleh Goldschmidt dan Renn. DPPH bersifat tidak larut dalam air, berwarna
ungu pekat seperti KMnO4 dan bentuk tereduksinya (DPPH-H) berwarna jingga
kekuningan (Ionita, 2005). Rumus bangun DPPH dapat dilihat pada gambar 2.5
berikut:

Gambar 2.6 Rumus bangun DPPH
Metode pemerangkapan radikal bebas DPPH merupakan metode

yang

paling banyak digunakan karena memiliki keunggulan, seperti cepat, sederhana,
dan tidak mahal untuk mengukur kemampuan berbagai senyawa dalam
memerangkap radikal bebas. (Marinova dan Batchvarov, 2011).
Metode uji antioksidan DPPH didasarkan pada reaksi penangkapan atom
hidrogen oleh DPPH dari senyawa antioksidan. Selanjutnya DPPH akan diubah
menjadi DPPH-H (bentuk tereduksi dari DPPH) oleh senyawa antioksidan. Warna
ungu larutan DPPH akan berubah menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil
radikal bebas tersebut berpasangan dengan atom hidrogen dari senyawa
antioksidan (Prakash, 2001).
Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah
Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat

menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat

18
Universitas Sumatera Utara

antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Nilai IC50 diperoleh
berdasarkan perhitungan persamaan regresi linier yang diperoleh dengan cara
memplot konsentrasi larutan uji dan persen pemerangkapan DPPH (Brand, dkk.,
1995). Secara spesifik, suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat
jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat untuk IC50 bernilai 50 - 100 ppm, sedang
jika IC50 bernilai 101 - 150 ppm dan lemah jika IC50 bernilai lebih dari 150 ppm
(Fidrianny, dkk., 2014).
2.6.1 Pelarut
Metode ini akan bekerja dengan baik menggunakan pelarut metanol atau
etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji
sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004).
2.6.2 Pengukuran absorbansi panjang gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Panjang gelombang
maksimum (λmaks) yang digunakan dalam pengukuran sampel uji pada metode
pemerangkapan radikal bebas DPPH sangat bervariasi. Biasanya absorbansi
DPPH diukur pada panjang gelombang 515 - 520 (Marxem, dkk., 2007).
2.6.3 Waktu pengukuran
Waktu pengukuran atau waktu kerja (operating time) bertujuan untuk
mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan pengukuran yakni pada saat
sampel dalam kondisi stabil. Waktu pengukuran dalam beberapa penelitian
sangatlah bervariasi, yaitu 1 - 240 menit. Waktu pengukuran yang paling sering
digunakan

dan paling banyak direkomendasikan menurut literatur adalah 60

menit (Rosidah, dkk., 2008; Molyneux, 2004; Marinova dan Batchvarov, 2011).

19
Universitas Sumatera Utara