Pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB 1
PENGERTIAN PEMERINTAH YANG BERSIH DAN BERWIBAWA
1.1

Pemerintahan Yang Baik dan Benar

1.1.1

Pengantar
Ada pendapat yang menganggap bahwa the best government is the least government.

Pendapat ini perlu dicermati secara arif. Pertama, sulit dibayangkan adanya kelangsungan
kehidupan suatu masyarakat tanpa ada pemerintah . Meskipun manusia dianggap rasional,
selalu ada keterbatasan (constraints) yang mempersulit mereka untuk bertindak secara
rasional. Masalahnya tidak terletak hanya pada kemauan untuk tidak berbuat rasional, tetapi
pada keterkaitan antarindividu, antarkelompok, dan antara manusia dengan lingkungan hidup.
Manusia tidak mungkin dapat memenuhi segala keburtuhannya sendiri dan tidak bebas untuk
berbuat sesuka hati dalam memenuhi kebutuhannya itu. Dalam masyarakat, kemerdekaan
tidak berarti kebebasan tanpa batas. Kebebasan individual seseorang selalu harus
mengindahkan kebebasan individual orang lain. Untuk iti, diperlukan aturan yang mengatur
batasan dan hubungan antarindividu dan kelompok dalamm masyarakat atau negara. Setiap

individu dalam masyarakat memikul hak dan kewajiban secara bersamaan. Kewenangan
seseorang atau suatu posisi dalam masyarakat atau organisasi harus diimbangi dengan
tanggungjawab yang sama besarnya. Tak seorang pun dapat menggunakan wewenang apalagi
yang dapat merugikan orang lain atau lingkungan, tanpa harus mempertanggungjawabkan. Ini
merupakan kaidah dalam kehidupan bermasyarakat (masyarakat madani). Disinilah letak
pentingnya peranan pemerintah. Secara singkat, peran negara atau pemerintah adalah untuk
mengatur dan memellihara hubungan antarindividu dan dalam masyarakat.
Bagi negara-negara berkembang, ide untuk mengurangi peran pemerintah ini sungguh
tidak layak, terutama dalam era globalisasi sekarang ini. Persaingan yang terbuka dan
semakin langsung itu akan menghadapkan kekuatan-kekuatan yang tidak seimbang. Usaha
bisnis raksasa dari negata-negara maju berhadapan dengan kekuatan yang sangat kecil yang
tidak terorganisasi di negara-negara berkembang. Akibatnya, tentu saja bukan kehidupan
dunia yang harmornis yang akan terbentuk, melainkan suatu hubungan yang bersifat
asimestris yang menjurus pafa pemerasan dan pemanfaatan kekuatan-kekuatan mikro di
negara-negara berkembang untuk kepentingan konglomerat dari negara-negara kaya.

1

Sesuai dengan pemahaman bahwa hakikat dari kebijakan publik pada dasarnya adalah
intervensi pemerintah dalam masyarakat, muncul persoalan tentang besarnya campur tangan

yang dapat dilakukan oleh pemerintah itu. Pemerintah baru akan melakukan intervensi
bilamana suatu masalah tidak dapat diselesaikan tanpa ada campur tangan pemerintah. Dalam
keadaan darurat seperti penyesalan konflik atarsuku dan bencana alam, penentuan keharusan
campur tangan pemerintah ini mudah dipahami, tetapi dalam keadaan normal persoalan
menjadi rumit, misalnya, sejauh mana pemerintah dapat melakukan intervensi dalam bidang
moneter? Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,disebutkan
adanya independensi dari Bank Indonesia terhadap campur tangan pemerintah dan atau pihakpihak lain dalam kebijakan moneter yang menjadi wewenang Bank Indonesia dalam
memelihara kestabilan nilai rupiah [Pasal 1 butir 10, danPasal 4 ayat (2)]. Persoalannya, jika
bidang moneter harus dianggap sebagai bidang tabu untuk intervensi pemerintah, bagaimana
dengan kebijakan bidang fiskal yang ditangani oleh Kementerian Keuangan dan kebijakan
dalam bidang industri dan perdagangan yang ditangani oleh Kementerian Perdagangan
Perindustrian? Persoalannya, bukankah semua bidang tersebut mempunyai dampak yang
sama terhadap kondisi perekonomian dari suatu negara? Dan, bukankah setiap perubahan
dalam bidang ekonomi yang ditimbulkan itu sepenuhnya menjadi bagian dari tanggungjawab
presiden kepada rakyat?

1.2

Pengertian dan Kedudukan


1.2.1

Asal Mula
Dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas

dalam melaksanakan tugas-tugasnya,maka ada kemungkinan bahwa administrasi negara
melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga
menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk meningkatkan
perlindungan hukum secara lebih baik bagi warga masyarakat, maka pada tahunu 1950
Panitia de Monchy di Nederland telah membuat laporan tentang asas-asas umum
pemerintahan yang baik (algeme beginselen van behoorlijk bestuur atau the general
principles of good administration). Jadi lahirnya istilah asas umum pemerintahan yang
baik dapat ditunjuk secara tepat yaitu dari laporan Panitia de Monchy. Istilah itu dipakai
dalam pekerjaan-pekerjaan atau tulisan-tulisan Commissie de Monchy (1946-1950) untuk
mempertinggi perlindungan hukum terhadap administrable.
2

Pada mulanya timbul keberatan terhadap konsep de Monchy tersebut, terutama dari
pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Nederland karena ada kekhawatiran di
kalangan mereka bahwa hakim atau peradilan administrasi kelak akan menggunakan istilah

untuk memberikan suatu penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah diambil
pemerintah. Akan tetapi saat sekarang keberatan tersebut sudah tidak beralasan lagi, sebab
meskipun istilah itu dipergunakan dalam pengadilan dan badan banding terhadap keputusan
instansi pemerintah namun Freies Ermessen tetap diakui dan dapat dilaksanakan oleh alat
administrasi negara dalam melaksanakan fungsinya. Meskipun usul dari Panitia de Monchy
tidak seluruhnya diterima tetapi istilah tersebut telah mendapat tempat yang layak dalam
perundang-undangan dan yurisprudensi di Nederland. Dalam produk perundang-undangan
yang baru, istilah tersebut sering secara tegas-tegas dipergunakan. Artinya, didalam berbagai
peraturan perundangan ketentuan-ketentuan tentang prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan
dasar untuk meminta banding terhadap keputusan yang telah diambil oleh badan
pemerintahan.

1.2.2

Sejarah Timbulnya Istilah Ini
Dengan adanya kewenangan bagi administrasi negara untuk bertindak secara bebas

dalam melaksanakan tugas-tugasnya maka ada kemungkinan bahwa administrasis negara
melakukan perbuatan yang menyimpang dari peraturan yang berlaku sehingga menimbulkan
kerugian bagi warga masyarakat. Oleh sebab itu untuk meningkatkan perlindungan hukum

secara lebih baik bagi warga masyarakat maka pada tahun 1950 panitia de Monchy di
Nederland telah membuat laporan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik (algeme
benginselen van behoorlijk bestuur atau the general principles of good administration). Jadi
lahirnya istilah asas umum pemerintahan yang baik ini dapat ditunjuk secara tepat yaitu dari
laporan panitia de Monchy. Istilah itu dipakai dalam pekerjaan-pekerjaan atau tulisan-tulisan
Commissie de Monchy (1946-1950) untuk mempertinggi perlindungan hukum terhadap
administrabele.
Pada mulanya timbul keberatan terhadap konsep de Monchy tersebut terutama dari
pejabat-pejabat dan pegawai-pegawai pemerintah di Nederland karena ada kekhawatiran di
kalangan mereka bahwa hakim atau peradilan administrasi kelak akan mempergunakan istilah
itu untuk memberikan suatu penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah
diambil pemerintah. Akan tetapi pada saat sekarang ini keberatan tersebut sudah tidal
beralasan lagi, sebab meskipun istilah itu dipergunakan dalam pengadilan-pengadilan dan
3

badan-badan banding terhadap keputusan-keputusan instansi pemerintah akan tetapi freies
Ermessen tetap diakui dan dapat dilaksanakan oleh alat administrasi negara dalam
melaksanakan fungsinya. Meskipun usul/pendapat-pendapat dari panitia de Monchy ini tidak
seluruuhnya diterima akan tetapi istilah tersebut sudah mendapat tempat yang layak, dalam
perundang-undangan dan yurisprudensi di Nederland. Dalam produk perundnag-undangan

yang baru istilah tersebut sering secara tegas-tegas dipergunakan. Artinya di dalam berbagai
peraturan perundangan ketentuan-ketentuan tentang prinsip-prinsip tersebut dapat dijadikan
dasar untuk minnta banding terhadap keputusan-keputusan yang telah diambil oleh badanbadan pemerintahan.

1.2.3

Kedudukan dalam Hukum Formal
Perlu ditegaskan secara resmi di dalam peraturan perundang-undangan sebagai asas-

asas umum pemerintahan, sehingga kekuatan hukumnya secara yuridis formal belum ada. Jika
diatas dikemukakan bahwa dalam produk perundang-undangan yang baru istilah tersebut
digunakan secara tegas itu hanya menyangkut penyebutan istilahnya saja yang materimaterinya berserakan di berbagai peraturan perundang-undangan atau yurisprudensi. Jadoi
tidak ada peraturan formal khusus tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik ini.
Dengan demikian asas-asas umum pemerintahan yang baik ini secara utuh lebih mengikat
secara moral , atau sebagai sumber hukum ia lebih bersifat doktrinal. Kenyataan yang
demikian ini bukan hanya ada di negeri Belanda (tempat lahirnya istilah itu) tetapi berlaku
juga di Indonesia dengan arti bahwa secara formal di Indonesia pun belum ada peraturan
perundang-undangan tentang asas-asas umum pemerintah yang baik. Ketika dalam rangka
pembahasa RUU Peradilan Tata Usaha Negara Fraksi ABRI mengusulkan dimasukkannya
prinsip-prinsip pemerintahan yang baik sebagai salah satu alasan gugatan atas tindakan

administrasik negara, pemerintah (via Menteri Kehakikman Ismail Saleh) memberikan
jawaban sebagai berikut:
“Menurut hemat kami dalam praktek ketatanegaraan kita maupun dalam Hukum Tata
Usaha Negara yang berlaku di Indonesia kita belum mempunyai kriteria tentang ‘algemene
beginselen van behoorlijk bestuur’ tersebut yang berasal dari negeri Belanda. Pada waktu ini
kita belum mempunyai tradisi administrasi yang kuat mengakar seperti halnya di negaranegara Eropa Kontinental tersebut. Tradisi demikian bisa dikembangkan melalui
yurisprudensi yang kemudian akan menimbulkan norma-norma. Secara umum prinsip dari
hukum Tata Usaha Negara kita selalu dikaitkan dengan apapratur pemerintahan yang bersih
4

dan berwibawa yang konkritisasi normanya maupun pengertiannya masih sangat luas sekali
dan perlu dijabarkan melalui kasus-ksus yang konkrit”.

5

BAB 2
PRINSIP-PRINSIP PEMERINTAHAN YANG BERSIH DAN
BERWIBAWA

2.1.1 Sumber Hukum Pemerintahan Yang Bersih Dan Berwibawa


2.1.1

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara)
Istilah ketetapan dalam ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat (sementara)

MPRS/MPR di atas sebenarnya tidak ada dalam undang-undang dasar 1945. Istilah ini
mungkin diambil Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada sidang pertama, bunyi
pasal 3 undang-undang dasar 1945 di mana terdapat sumber hukum, karena Undang-undang
dasar 1945 menyebutkan, bahwa Majelis Permusyawaratan rakyat berwenang menetapkan
undang-undang dasar, garis-garis besar haluan negara (pasal 3), memilih presiden dan wakil
presiden (pasal 6 ayat 2) dan sebagainya. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara
pada saat ini masih merupakan sumber hukum, karena ada beberapa Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara yang dinyatakan tetap berlaku oleh Ketetapan Majelis
Permusyaratan

Rakyat

Sementara


no.

V/MPR/1973,

yaitu

Ketetapan

Majelis

Permusyawaratan Rakyat Sementara no. XX, XXV, dan XXIX yang semuanya ditetapkan
tahun 1966. Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang lain, ada
yang sudah dicabut dan dinyatakan tedak berlaku lagi, baik karena ia sudah dilaksanakan dan
berlaku “ein mahlig”, maupun karena tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.
2.1.2

Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)
Undang-undang sebagai sumber hukum dapat dilihat dari undang-undang dasar 1945

dalam pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) serta pasal 22. Undang-undang ini selain

berfungsi melaksanakan Undang-undang dasar 1945 dan Majelis Permusyaratan rakyat, juga
mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang dasar 1945 maupun Majelis
Permusyaratan Rakyat. Undang-undang sebagai pelaksana dari undang-undang dasar 1945,
umpanya undang-undang Nomor 16/1969, tentang anggota Majelis Permusyaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah pelaksanaan dari
6

pasal 2 (ayat (1) dan pasal 19 Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang sebagai pelaksana
dari Ketetapan Majelis permusyawaratan Rakyat Sementara antara lain adalah Undangundang no. 15/1969 tentang pemilihan umum sebagai pelaksanaan dari Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara no. 1/MPRS/1966 jo no. XLII/MPRS 1968. Undangundang yangbukan merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Dasar 1945 atau ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah umpanya Undang-undang no. 1/1974 tentang
perkawinan. Undang-undang yang melaksakan pasal-pasal tertentu dari Undang-undang dasar
1945 disebut Undang-undang irganik, umpamanya Undang-undang no. 16/1969.
Bentuk peraturan lain yang juga merupakan sumber yang sederajat dengan Undangundang ialah peraturan pemerintah pengganti Undang (Perpu). Sebenernya dari nama dan
badan yang menetapkannya, tingkat Perpu, ini adalah di bawah Undang-undang. Tetapi
karena karena bentuk peraturan ini dimaksud sebagai pengganti Undang-undang,maka
derajatnya sama dengan Undang-undang. Ini di tetapkan oleh presiden dalam hal kegentingan
yang memaksa, yang kalau ditetapkan dalam bentuk Undang-undang akan membutuhkan
waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang genting itu harus segera dapat
diatasisehingga kepada Presiden diberikan hak untuk menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang, dengan syarat bahwa Presidan harus meminta persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam sidang berikutnya. Kalau Dewan Perwakilan Rakyat menyetujuinya
mak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Sebaliknya kalau Dewan Perwakilan
Rakyat menolaknya, maka Presiden harus mencabut peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 22 Undang-undang dasar 1945.

2.2 Sistim pemerintahan yang bersih dan berwibawa
2.2.1

Bentuk sistim pemerintahan
Sistim pemerintahan di indonesia. Undang-undang dasar 1945 menganut sistim

presidensiil, namun sistim ini bukan merupakan suatu konsekwensi yang diadakan karena
Undang-undang dasar 1945 menganut ajaran Trias Political. Jadi jika ada sistim pemerintahan
presidensiil itu harus diukur dengan syarat-syarat seperti tersebut di atas, maka di Indonesia
tidak terdapat sistim presidensiil yang murni. Dari pasal 4 dan 17 Undang-undang dasar 1945
telah menunjukan, bahwa Undang-undang Dasar 1945 menganut sistim presidensiil. Presiden
menjadi kepala eksekutif dan mengangkat serta memberhentikan para menteri yang
bertanggung jawab kepadanya.
7

Namun demikian jika dilihat dari pasal 5 ayat (1) dalam hubungannya dengan pasal 21
ayat (2) Undang-undang dasar 1945, dapat dipastikan sudah, bahwa Undang-undang dasar
1945 itu idak menganut sistim pemerintahan residensiil sepenuhnya karena menurut pasalpasal tersebut di atas Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama membuat
Undang-undang yang berarti sistim pemerintahan presidensiil di indonesia itu bukan
merupakan pelaksaan dari ajaran Trias Political. Pertanggung jawab Presiden kepada Majelis
Permusyaratan Rakyat mengandung ciri-ciri parlementer dan juga kedudukan Presiden
sebagai mandataris pelaksana Garis-garis besar haluan negara menunjukkan supremasi dari
Majelis (Parliamentary supremacy) yang melambankan sifat dari lembaga pemegang
kedaulatan rakyat yang tidak habis kekuasaannya dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga
negara yang ada di bawahnya. Karena itu Majelis berwenang mengangkat dan mengesahkan
suatu pemerintah (eksekutif) dan sekaligus memberhentikan pemerintahan yang diangkatnya
itu apabila ia gagal atau tidak mampu lagi dalam melaksakan kehendak rakyat melalui majelis
itu. Jadi berdasarkan pasa 4 ayat (1) dan pasal 17 Undang-undang dasar 1945, sistim
pemerintahannya adalah presidensiil, karena presiden adalah aksekutif, sedangkan menterimenteri adalah pembantu presiden. Dilihat dari sudut pertanggung jawab Presiden kepada
Majelis Permusyaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga
negara lain – kepada siapa Presiden bertanggung jawab – maka sistim pemerintahan di bawah
Undang-undang

Dasar

1945

dapat

di

sebut

“quasai

presidensil.”

Jika

Majelis

Permusyawaratan Rakyat memberhantikan Presiden melalui suatu sidang istimewa atas usul
resolusi Dewan Perwakilan Rakyat, Sebagai variasi dari kedua sistim pemerintahan itu adalah
sistim pemerintahan di Swiss, di mana tugas pembuat Undang-undang berada di bawah
pengawasan rakyat yang mempunyai hak pilihh. Pengawasan itu dilakukan dalam bentuk
referendum yang obligantoir dan faktuatatif. Obligator jika persetujuan dari rakyat mutlak
harus diberikan dalam pembuatan suatu peraturan Undang-undang yang mengikat rakyat
seluruhnya, karena sangat pentingnya. Contoh dari refrendum obligator adalah persetujuan
yang diberikan oleh rakyat terhadap pembuatan Undang-undang Dasar. Sedangkan refrendum
fakultatif dilakukan terhadap Undang-undang biasa, karena kurang pentingnya, setelah
Undang-undang itu diumumkan dalam jangka waktu yang ditentukan. Keuntungan dari sistim
refrendum ini ialah, bahwa pada setiap masalah negara rakyat langsung ikut serta
menanggulanginya, akan tetapi kelemahannya, bahwa tidak setiap masalah rakyat mampu,
menyelesaikannya, karena untuk mengatasinya perlu pengetahuan yang cukup harus dimiliki
oleh rakyat sendiri. Sistim ini tidak bisa dilaksakan jika banyak terdapat perbedaan faham
antara rakyat dan eksekutif yang menyangkut kebijaksanaan politoknya. Keuntungan yang
8

lain ialah, bahwa kedudukan pemerintah itu stabil itu stabil yang membawa akibat pemerintah
akan memperoleh pengalaman yang baik dalam menyelenggarakan kepentingan rakyatnya.
2.2.2

Pembagian kekuasaan menurut sistim pemerintahan

Di atas telah dutarakan bahwa Undang-undang Dasar 1945 tidak menganut sistim
pemisahan kekuasaan (Trias Politica) sebagaimana diajarkan oleh Montesquieu, melainkan
menganut sistim pembagian kekuasaan karena:
1. Undang-undang dasar 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap kekuasaan itu
harus dilakukan oleh satu organ/ badan tertentu yang tidak boleh saling campur
tangan.
2. Undang-undang dasar 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tiga bagian saja
dan juga tidak membatai pembagian kekuasaan dilakukan oleh tiga organ/badan saja.
3. Undang-undang dasar 1945 tdak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, pasal 1 ayat (2), kepada lembaga-lembaga
negara lainnya.
Undang-undang dasar 1945 menetapkan 6 lembaga negara sebagai berikut:
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang dasar 1945 menyebutkan bahwa anggota Majelis
Permusyawaratn Rakyat terdiri dari anggota Dewan Perwakilan ditambah dengan
utusan daerah dan utusan Golongan. Dari bunyi pasal ini 2 pertanyaan dapat diajukan,
yaitu bagaimana komposisi keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu, atau
berapakah jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari ketiga unsur
tersebut, dan bagaimana cara pengisian anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
tersebut. Dengan mempergunakan 3 cara yaitu:
1. Mempelajari kembali pembicaraan-pembicaraan yang terjadi di PPKI, - panitia
persiapan kemerdekaan indonesia.
2. Menghubungkan pasal 2 ayat (1) dengan pasal 1 ayat (2) Undang-undang dasar
1945.
3. Mempelajari sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-undang dasar 1945.
Dari pembicaraan para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada waktu
membicarakan tentang susunan Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat disimpulkan bahwa di
panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia terdapat dua pendapat, yaitu: yang mengnginkan
agar semua anggota Majelis permusyawaratan Rakyat dipilih langsung oleh Rakyat, dan
khusus mengenai Utusan Golongan tidak dapat dipilih melalui pemilihan umum, tapi
diangkat. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa anggota PPKI berkeinginan, sebagian

9

terbesar anggota MPR di pilih melalui pemilihan umum, dan khusus untuk utusan golongan
anggotanya diangkat.
b. Presiden
Undang-undang dasar 1945 mengatur masalah pengisian jabatan presiden
dalam pasal6 ayat (2); pasal ini menyebutkan bahwa presiden dipilih oleh Majelis
Permusyaratan Rakyat dengan suara terbanyak. Sedangkan syarat untuk menjadi
presiden hanya ditentukan “orang indonesia asli” (pasal 6 ayat (1) Undang-undang
Dasar 1945). Berdasarkan pasal 6 ayat (2) Undang-undang dasar 1945 tersebut, maka
sebelum diadakan pemilihan presiden, terlebih dulu harus ada Majelis Permusyaratan
Rakyat.
c. Dewan Perwakilan Rakyat
Pasal 19 Undang-undang dasar 1945 menetapkan, bahwa susunan Dewan
Perwakilan

Rakyat

ditentukan

dengan

Undang-undang.

Prof.Moh.

Yamin

berpendapat,bahwa menurut pasal 19 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 Dewan
Perwakilan Rakyat tidak harus ditetapkan dengan Undang-undang pemilihan, tetapi
dengan Undang-undang biasa atau umum. Dengan demikian keanggutaan Dewan
Perwakilan Rakyat yang disusun itu bisa saja berdasarkan pemilihan dan
pengangkatan atau penunjukan asal saja dengan Undang-undang. Jadi kesimpulannya,
bahwa yang penting Dewan Perwakilan Rakyat harus diatur dengan Undang-undang,
sedangkan keanggotaannya bisa saja dipilihataupun diangkat.
d. Dewan Pertimbangan Agung
Pasal 16 Undang-undang Dasar 1945 ayat (1) menetapkan, bahwa susunan
dewan pertimbangan agung ditetapkan dengan Undang-undang, sedangkan ayat (2)
Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan presiden
dan berhak memajukan usul kepada Pemerintah. Dalam penjelasan undang-undang
dasar 1945 selanjutnya dinyatakan, bahwa Dewan Pertimbangan Agung hanya suatu
badan penasehat belaka. Meskipun demikian badan ini tidak kurang pentingnya dari
pada lembaga-lembaga negara lainnya, hanya bidang tugasnya yang berbeda.
Pembuatan undang-undang dasar telah memperhitungkan betapa sibuknya seorang
presiden yang mendapat kekuasaan yang demikian besar serta tanggung jawab yang
berat, dalam menyelenggarakan pemerintahan serta menghadapi berbagai macam
masalah dan kesulitan. Juga para pembantu Presiden seperti Wakil presiden dan para
Menteri telah disibukkan oleh tugasnya masing-masing, maka dalam keadaan yang
demikian itu presiden perlu didamping oleh suatu Dewan yang berkewajiban memberi
jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
10

e. Mahkamah Agung
Bahwa secara tegas di dalam pasal-pasal Undang-Undang dasar 1945 tidak
disebutkan kalimat yang berbunyi “Indonesia adalah suatu negara hukum”. Penegasan
mengenai kalimat tersbut hanya kita jumpai di dalam penjelasan Undang-undang
Dasar 1945, khususnya mengenai sistim pemerintahan negara pada angka I yang
mengemukakan: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtstaat) tidak
berdasar atas kekuasaan belaka (Machtstaat).” Keadaan yang demikian ini berbeda
dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat pasal 1-nya yang berbunyi:
“Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum
yang demokratis yang berbentuk federasi.” Dalam suatu negara hukum perlu adanya
suatu Mahkamah Agung, sebagai badan ataupun lembaga yang mempunyai tugas
menegakkan tertib hukum yang telah digariskan oleh rakyat di samping Mahkamah
Agung yang merupakan peradilan kasasi serta mengawasi kegiatan-kegiatan peradilan
bawahan.
f. Badan pemeriksa keuangan
Menurut Undang-undang Dasar 1945 pasalnya yang berlaku bagi badan
pemeriksa keuangan adalah pasal 23 ayat (5). Sejak berlakunya Undang-undang Dasar
itu pada tanggal 18 Agustus 1945 hingga tanggal 10 Deember 1945 Badan Pemeriksa
Keuangan belum terbentuk. Ada pun sebabnya karena kemungkinan situasi politik
pada waktu itu belum mengizinkan untuk memikirkan masalah badan itu. Baru pada
tanggal 10 Desember 1945 Menteri keuangan mengirimkan surat kepada kementerian
yang ada serta sekalian jawatan dalam lingkungan masig-masing kementrian yang
isinya, bahwa tidak lama lagi, mungkin sekali mulai tanggal 1 januari 1946,
pemerintah akan mendirikan Badan Pemerintahan Keuangan sebagai diharuskan
dalam Undang-undang Dasar. Untuk itu oleh Kementrian keuangan di Magelang, telah
dua bulan ini diadakan suatu kantor persiapan yang akan menjadi dasar Badan
Pemeriksaan Keuangan. Kantor persiapan itu telah mulai menjalankan pekerjaanpekerjaan yang akan diteruskan nanti oleh badan tersebut. Karena kedudukan dan
lapangan pekerjaan Badan Pemeriksaan Keuangan dalam garis-garis besarnya sama
dengan kedudukan dan lapangan pekerjaan “Algemene Rekenkamer” dahulu, maka
sebelum diadakan peraturen baru, aturan-aturan yang berlaku bagi “Algemene
Rekenkamer” untuk sementara waktu dan sekedar sebagai pedoman, dijalankan
terhadap Badan Pemeriksaan Keuangan. Baru pada tanggal 1 januari 1947 berdasarkan
penetapan pemerintah 1946 no. 11/UM. Presiden Republik Indonesia menentapkan
berdirinya badan Pemeriksa Keuangan.
11

Jika terdapat lembaga-lembaga lainnya yang tidak diatur oleh Undang-undang
Dasar 1945, maka lembaga-lembaga itu termasuk dalam organisasi pemerintah yang
disebut sebagai lembaga pemerintah (regerings-organen) dan lembaga-lembaga
administrasi negara (administrative-organen).

12

BAB III
KARAKTERISTIK DASAR PEMERINTAHAN PEMERINTAHAN YANG
BERSIH DAN BERWIBAWA

3.1 Pengantar
Menurut

sejarahnya

(ALGEMENE

BENGINSELEN

VAN

BEHOORLIJK

BESTUUR) asas-asas umum yang berkenaan dengan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa terdiri dari:
1.

Asas Kepastian Hukum
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seesorang berdasarkan

suatu keputusan badan atau pejabat administrasi negara. Oleh sebab itu, menurut Hr, suatu
lisensi tidak dapat dicabut kembali apabila kemudian ternyata bahwa dalam pemberian izin
atau lisensi itu ada kekeliruan dari administrasi negara. Lisensi yang tak boleh dicabut
kembali itu haruslah berupa keputusan administrasi negare yang telah memenuhi dyarat
materiil (syarat kewenangan bertindak) dan syart formal (syarat yang berkaitan dengan bentuk
keputusan itu). Dengan demikian demi kepastian hukum bagi orang yang menerima
keputusan, pemerintah harus mengakui keabsahan lisensi yang diberikan .
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa izin yang telah diberikan kepada seseorang
yang membangun supermarket tidak boleh ditarik kembali kendatipun ternyata kemudian
lokasi supermarket itu diperlukan untuk kegiatan lain. Sebab bilamana izin sudah diberikan
ternyata masih ada kemungkinannya untuk ditarik kembali berarti jaminan kepastian
hukumnya tak ada.
2.

Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan ini menghendaki proporsi yang wajar dalan penjatuhan hukum

terhadap pegawai yang melakukan kesalahan. Artinya hukuman yang dijatuhkan tidak boleh
berlebih-lebihan sehingga tidak seimbang dengan kesalahan yang dilakukan pegawai yang
bersangkutan. Pada saat ini di Indonesia sudah ada undang-undang tentang peradilan
Administrasi negara (UU No.5 tahun 1986) yang diharapkan lebuh bisa menjamin
pelaksanaan asas keseimbangan ini sehingga perlindungan hukum bagi pegawai negeri dapat
lebih sempurna.
13

3.

Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan Pangreh
Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus atau fakta yang sama alat

administrasi negara dapat mengambil tindakan yang sama.
Adanya asas ini mungkin akan menimbiulkan kekaburan pengertian dengan asas yang
pernah dikemukakan oleh Van Vollenhoven yaitu asas kasuistis dalam melaksanakan tindakan
administrasi negara. Prinsip kasuistis ini menghendaki perbedaan tindakan atau keputusan
tersendiri atas peristiwa tertentu sehinggga keputusan itupun tifaka berlaku umum.
Kekaburan pengertian ini bisa diatasi jika kita berpegang pasa sikap bahwa badanbadan pemerintahan tetap bertindak secara kasuistik (terhadap berbagai fakta) dalam
menghadapi masalah-masalah pada bidangnya masing-masing,tetapi bersamaan dengan itu
harus dijaga pula dalam menghadapi peristiwa dan fakta yang sama janganlah sampai
mengambil keputusan yang sifatnya saling bertentangan.
4.

Asas Bertindak Cermat
Asas ini menghendaki agar administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati

agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Tentang ini ada yurisprudensi
Hoore raad tanggal 9 Januari 1942 yang bisa dikemukakan sebagai contoh. Ditegaskan
apabila ada bagian jalan yang keadaannya tidak baik dan membahayakan maka pemerintah
harus mememberi tanda atau peringatan agar keadaan itu bisa diketahui oleh para pemakai
jalan. Jika pemerintah lalai melakukan ini dan ternyata betul menimbulkan kecelakaan
(kerugian) bagi warga masyarakat maka pemerintah dapat digugat agar mengganti kerugian.
5.

Asas Motivasi untuk setiap Keputusan
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat pemerintah itu dapat

bersandar pada alasan atau motivasi yang cukup yang sifatnya benar,adil,dan jelas. Dengan
alasan atau motivasi ini maka orang yang terkena keputusan itu menjadi tahu betul tentang
alasan –alasan keputusan itu sehingga bila orang itu tidak menerimanya dapat memilih
kontra-argumen yang tepat untuk naik banding guna memperoleh keadilan.
6.

Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan
Asas ini menghendaki agar dalam mengambil keputusan pejabat adminitrasi negara

tidak menggunakan kewenangan atas kekuasaan di luar maksud pemberian kewenangan atau
kekuasaan itu. Penggunaan kewenangan di luar maksud pemberiannya dalam hukum dikenal
14

dengan “detounement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang), satu istilah yang berasal dari
tradisi hukum Perancis. Bila pemerintah menggunakan uang untuk pembinaan olah raga yang
diambil dari anggaran yang sebenarnya

diberikan untuk pembinaan KUD maka tindakan

pemerintah itu termasuk detournement de pouvoir.
7.

Asas Permainan yang Layak
Asas ini menghendaki agar pejabat dapat memberikan kesempatan yang seluas-

luasnya kepada warga masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan adil,
sehingga dapat pula memberi kesempatan yang luas untuk menuntut keadilan dan kebenaran.
Dengan kata lain asas ini sangat menghargai eksistensi instansi peradilan yang dapat diminta
untuk memberi keputusan yang adil oleh masyarakat baik melalui administratief beroep
(instansi pemerintahan yang bersangkutan yang lebih tinggi) maupun melalui badan-badan
peradilan (di luar instansi itu). Pentingnya asas ini ialah agar dapat dilakukan antisipasi jika
ternyata instansi pemerintah memberikan keterangan yang kurang jelas,menyesatkan,berat
sebelah atau subjektif. Jika penawaran tertinggi satu tender diberitahukan kepada satu
perusahaan secara rahasia agar perusahaan itu dapat memberikan penawaran yang lebih tinggi
sehinggga bisa menang , maka pejabat yang memberitahukan itu telah melakukan permainan
yang tidak fair (melanggar asas fair play). Banyak contoh lain yang bisa dikemukaakan dalam
rangka fair play ini,tetapi yang terpenting dari asas ini pemerintah itu harus memberikan
keterangan yang jelas, terbuka dan objektif.
8.

Asas Keadilan atau Kewajaran
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakan pemerintah tidak berlaku

sewenang-wenang dan tidak layak maka keputusan yang berkaitan dengan tindakannya dapat
dibatalkan.
9.

Asas Menanggapi Penghargaan yang Wajar
Asas ini menghendaki agar tindakan pemerintah dapat menimbulkan harapan-harapan

yang wajar bagi yang berkepentingan. Seorang pegawai

negeri yang memakai mobil

pribadinya untuk keperluan dinas,misalnya, dapat (wajar) untuk berharap mendaptkan
kompensasi biaya pembelian bensin dan lain-lain. Pada tanggal 13 Jamuari 1959 Centrale
Raad van Beroep di Nederland memutuskan perkara yang posisi kasusnya sebagai berikut:
seorang pegawai negeri yang memakai mobil pribadinya untuk keperluan dinas meminta uang
pengganti untuk pemakaian mobilnya itu. Ia memperoleh uang pengganti yang dimintanya,
akan

tetapi

kemudian

aturan-aturan

kepegawaian

tidak

memuat

ketentuan

yang
15

memmperbolehkan pemberian uang pengganti kepada pegawai negeri atas biaya yang
dikeluarkannya sehingga keputusan pemberian uang penggati tersebut ditarik kembali.
Centrale Raa van Beroep menyatakan keputusan (penarikan kembali ) dari instansi itu batal
sebab penarikan kembali keputusan itu bertantangan dengan harapan yang ditimbulkan secara
wajar.
10.

Asas Meniadakan Akibat suatu Kepurusan yang Batal
Asas ini menghendaki agar jika terjadi pembatalan atas satu keputusan maka akibat

dari keputusan yang dibatalkan itu harus dihilangkan sehingga yang bersangkutan (terkena)
harus diberikan ganti rugi atau rehabilitasi. Miisalnya satu instansi membuat keputusan
memberhentikan pegawai itu kemudian dibatalkan oleh lembaga peradilan administrasi
(bidang kepegawaian). Maka semua akibat dari keputusan yang kemudian dibatalkan itu harus
dihilangkan sehingga instansi yang membuat keputusan pemberhentian itu bukan saja harus
menerima pegawai yang bersangkutan untuk bekerja lagi di instansi itu,tetapi juga harus
mengganti kerugian akibat keputusan yang pernah dibuatnya.
11.

Asas Perlindungan atas Pandangan (cara) Hidup
Asas ini menghendaki agar setiap pegawai negeri diberi kebebasan atau hak untuk

mengatur kehidupan pribadinya sesuai dengan pandangan (cara) hidup yang dianutnya.
Penerapan asas ini di Indonesia harus ditekankan pada pembatasan dari garis-garis moral
Pancasila yang merupakan falsafah hidup bangsa. Dengan demikian pandangan hidup itu
dalam pelaksanaanya harus diberikan batasan moral sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia yang religius. Yurisprudensi di Nederland yang membatalkan tindakan disiplin atas
pegawai yang melakukan hubungan kelamin dengan sekretaris wanitanya di instansinya (lihat
putusan Centrale Raad van beroep tanggal 29 Mei 1951) kiranya tidak harus diberlakukan
pula di Indonesia , sebab tindakan pegawai yang seperti itu bertentangan baik dengan
perasaan moral maupun dengan jiwa peraturan disiplin pegawai yang berlaku. Di Indonesia
perlindungan atas pandangan (cara) hidup harus tetap diberikan tetapi harus pula dalam
kerangka nilai-nilai moral yang sesuai dengan Pancasila sebagai pandangan hidup dan
kepribadian bangsa.
12.

Asas Kebijaksanaan
Asas ini menghendaki agar dalam melaksanakan tugasnya pemerintah diberi

kebebasan untuk melakukan kebijaksanaan tanpa harus selalu menunggu instruksi. Pemberian
kebebasan ini berkaitan dengan perlunya tindakan positif dari pemerintah yaitu
16

menyelenggarakan kepentingan umum.Jadi di samping melaksanakan peraturan perundangan
yang telah ada (eksekutif) pemerintah dapat juga melakukan tindakan positif atau
kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Koentjoro Poerbopranoto
menyatakan kecenderungan pada pendapat O. Notohamidjojo yang mengemukakan bahwa
pengertian hikmah kebijaksanaan itu berimplikasi tiga unsur:
-

Pengetahuan yang tandas dan analisa situasi yang dihadapi.

-

Rancangan penyelesaian atas dasar ‘staats idee’ ataupun ‘rechts idee’ yang disetujui
bersama yaitu Pancasila bagi pemerintah kita Indonesia.

-

Mewujudkan rancangan penyelesaian untuk mengatasi situasi dengan tindakan
perbuatan dan penjelasan yang tepat, yang dituntut oleh situasi yang dihadapi.
Koentjoro Purbopranoto mengemukakan pula bahwa asas kebijaksanaan ini jangan

dikaburkan pengertiannya dengan ‘freies Ermessen’, sebab freies Ermerssen pada hakekatnya
memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah dalam menghadapi situasi yang konkrit
sedangkan kebijaksanaan merupakan suatu pandangan jauh ke depan dari pemerintah. Oleh
karenanya freies Ermessen justru harus didasarkan pada asas yang lebih luas yaitu asas
kebijaksanaan yang menghendaki bahwa pemerintah dalam segala tindakannya harus
berpandangan luas dan selalu dapat menghubungkan dalam menghadapi tugasmya itu gejalagejala masyarakat yang harus dihadapinya serta pandai memperhitungkan lingkungan akibat
tindakan pemerintahannya itu dengan penglihatan yang jauh ke depan.
Selanjutnya agar memperoleh hasil-hasil yang efektif maka kebijaksanaan pemerintah
itu harus mendapatkan dukungan dari bawah (warga negara). Oleh sebab itu segala tindakan
pemerintahan perlu mempunyai otoritas dan wibawa.
13.

Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Asas ini menghendaki agar dalam menyelenggarakan tugasnya pemerintah selalu

mengutamakan kepentingan umum. Negara Indonesia adalah negara hukum yang dinamis
(welfare state, negara kesejahteraan) yang menuntut segenap aparat pemerintahannya
melakukan kegiatan-kegiatan yang menuju pada penyelenggaraaan kepentingan umum (vide
alinea IV pembukaan UUD 1945 dan pasal 33,34 Batang Tubuh UUD 1945). Oleh sebab itu
asas pemerintahan yang baik di negara Republik Indonesia.
Akhirnya perlu dikemukakan lagi bahwa asas-asas tersebut di Indonesia harus
disesuaikan dengan sikap budaya dan pandangan hidup bangsa dengan nilai-nilai
17

luhurnya,artinya, praktek administrasi negara (pemerintahan) di Indonesia tidak harus meniru
atau mengikuti begitu saja praktek hukum dan yurisprudensi yang hidup di negara Belanda.
3.4 Prinsip Kebijakan Pemerintah Penanggulangan Wabah Korupsi
Langkah awal dan mendasar untuk menghadapi dan memberantas virus KKN adalah
dengan memperkuat landasan hukum yang dapat mendukung pembentukan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari KKN sejak kini dan untuk masa mendatang.
Barda (1996) membedakan tiga tahap dalam kebijakan hukum pidana, yaitu kebijakan
legislatif yang merupakan tahap formulasi, kebijakan yudikatif yang merupakan tahap
aplikatif, dan kebijakan eksekutif yang merupakan tahap administratif. Membedah prospek
penanggulangan korupsi di Indonesia melalui kebijakan hukum pidana di Indonesia ,
merupakan usaha penulis untuk menggunakan pendekatan yang bersifat sinergis ke dalam tiga
tahap tersebut di atas. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan R.I. yang mengatur
pemberantasan tindak pidana korupsi menunjukkan ada empat strategis dalam kebijakan
hukum pidana yang sebagaimana akan saya uraikan dibawah ini.
Strategi kebijakan hukum pidana yang bersifat awal sungguh sangat unik karena
pertama kali diterapkan dalam keadaan darurat perang, yaitu melalui Peraturan Penguasa
Perang

Pusat

Angkatan

Dasar

Nomor

(P4

AD)

Prt/PERPU/013/1958

tentang

pengusutan,penuntutan dan pemeriksaaan perbuatan korupsi pidana dan penilikan harta
benda, dimuat dalam berita Negara nomor 40 tahun 1958 tanggal 16 April 1958.
Namun keunikan imi, tampak kontroversional dimana korupsi di Indonesia yang
semakin meningkat dan meluas tanpa perlawanan yang berarti selama kurun waktu kurang
lebih 32 tahun justru terjadi pada masa kepemimpinan nasional di bawah seorang militer, hal
yang sama juga bukan mustahil terjadi pada pemerintahan yang dipimpin oleh seorang sipil.
Di sisi lain kita patut berterima kasih, bahwa dalam keadaaan darurat, Penguasa Perang Pusat
Angkatan Darat telah memikirkan dan menuangkan inisiatif untuk memberantas korupsi
dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Substansi yang diatur dalam Peraturan Penguasa Pusat Angkatan Dasar (P4 AD)
membedakan antara perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi lainnya sehingga tidak
tampak perbedaan antara delik-delik umum dan delik-delik khusus. Pengertian korupsi masih
“terbungkus” dalam kemasan pola pikir penyusun kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal
yang menarik dan sungguh unik, yang terdapat dalam P4 AD tersebut adalah dimuatnya
ketentuan tentang tugas dan wewenang “Badan Koordinasi Pemilik Harta Benda”. Ketentuan
18

seperti ini tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemberantasan korupsi, kecuali di dalam Undang-Undang No 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Strategi kebijakan hukum pidana melalui P4 AD tidak berusia lama karena selang dua
tahun sejak diberlakukannya, telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 24 prp Tahun
1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang
merupakan strategi kebijakan hukum pidana tahap kedua. Pembaruan yang terdapat dalam
tahap kedua adalah dihapuskannya dualisme mengenai perbuatan korupsi sehingga dalam
Undang-Undang ini hanya dikenal satu perbuatan korupsidan telah diakui adanya peraturan
perundang-undangan khusus yang mengatur tentang korupsi. Namun demikian, dalam
Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 masih melekat pengakuan atas perbedaan antara
kejahatan dan pelanggaran sehingga untuk terjadinya suatu tindak pidana korupsi terlebih
dahulu dibuktikan telah terjadi kejahatan dan pelanggaran. Hal ini tersurat dalam kalimat
“tindakan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan....”(pasal 1 huruf a). Ketentuan ini
sudah tentu bukanlah suatu kualifikasi tindak pidanan yang mudah dibuktikan oleh penuntut
umum.
Strategi kebijakan hukum pidana tahap ketiga dilakukan dengan menetapkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU PTPK 1971) dan mencabut Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960. Alasan
pencabutan sebagaimana diuraikan dalam bagian menimbang, adalah bahwa Undang-Undang
Nomor 24 Prp tahun 1960 dipandang kurang memadai dan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat waktu itu.
Namun demikian dalam UU PTKP, 1971 masih terdapat kelemahan-kelemahan
sebagaimana sering terjadi dalam praktek pemberantasan korupsii, dan sekaligus merupakan
kendala-kendala yang sangat berarti. Di dalam UU PTKP,1971 terdapat 5(lima) kelemahan
mendasar sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Kelemahan pertama terletak pada ketentuan mengenai rumusandetik yang bersifat
materiel. Dalam praktek, kalimat “dapat”, dimuka kalimat “kerugian keuangan Negara” atau
“perekonomian Negara”, sebagai tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a dan b, sering
ditafsirkan sebagai unsur yang harus dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di
persidangan. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya penjelasan pasal yang menegaskan
bahwa kalimat tersebut harus dapat diartikan sebagai delik formil. Kelamahan rumusan delik
19

ini kemudian diperlemah lagi dengan Putusan Makamah Agung R.I Reg. 42 K/Kr?1965
tanggal 8Januari 1966 yang di dalam pertimbangan hukumnya mengenai hilangnya unsur sifat
melawan hukum, menegaskan antara lain, bahwa tindak pidana korupsi tidak terbukti jika:
kepentingan umum terlayani, Negara tidak dirugikan dan terdakwa tidak menikmati
keuntungan. Sebagai akibat dari rumusan delik materiel dalam UU PTPK,1971 dan Putusan
makamah agung R.I. tersebut di atas, maka banyak tindak pidana korupsi yang menyangkut
konglomerat tidak dilanjutkan ke tingkat pemeriksaan di sidang pwngadilan karena tidak
terbukti adanya unsur kerugian keuangan Negara atau perekonomian negara dengan
dikembalikannya uang hasil korupsi oleh terdakwa kepada Negara.
Kelemahan kedua, perihal sanksi pidana yang telah menetapkan hanya maksimum
khusus dan tidak ada batas minimum khusus sehingga Jaksa Penuntut Umum memiliki
diskresi yang sangat luas oleh hakim. Namun disisi lain diskresi tersebut kurang didukung
oleh batas ancaman minimum tertentu yang dapat mencegah atau mengurangi ketidakadilan
dalam penetapan tuntutan pidana atau penjatuhan pidana (disparitas pidana) apalagi dalam
kasus TPK yang berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat.
Kelemahan ketiga terletak pada subjek hukum yang dijadikan sasaran UU PTPK, 1971
di mana korporasi bukan subjek hukum Undang-Undang ini, kecuali hanya untuk subjek
hukum, perorangan.
Kelemahan

keempat

terletak

pada

system

pembuktian

yang

masih

tatap

mempertahankan “negative wettelijek beginsel” yang oleh sementara pakar hukum dipandang
sebagai asas yang mengedepankan “praduga tak bersalah” atau “presumption of innocence”,
tanpap mempertimbangkan lebih jauh dampak yang serius dan meluas dan merugikan
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dengan system pembuktian negative ini maka kasus-kasusu tindak pidanan korupsi
sangat sulit untuk dapat dibukrtikan di muka persidangan karena JPU harus memiliki minimal
dua alat bukti yang cukup dan kemudian berdasarkan alat bukti tersebut Hakim harus juga
meyakini kebenaran atas kesalahan terdakwa. Kelemahan tersebut di atas ditambah dengan
rumusan pasal yang mengatur cara Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk mengetahui
asal-usul kekayaan.

20

3.3 Karakteristik Pemerintahan Yang Bijak dan Berwibawa
Penyelenggaraan pemerintahan personalianya terdiri dari aneka suku yang memiliki
keunikan sendiri baik dalam hal agama yang dianut, kebiasaan ataupun sistim moralnya.
Kebhinekaan ini harus mendasari karakter para penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab
itu dasar Pemerintahan yang baik perlu mengacu pada :
1.

Pluralisme atau kemajemukan atau heterogenitas
Pluralitas atau kebhinekaan itu merupakan sesuatu yang alamiah. Manusia tidak

mungki merubahnya apalagi berusaha melakukan penyeragaman. Hal yang mustahil. Hal itu
akan menyalahi kodrat. Tuhan menciptakan keanekaragaman di bumi pasti ada tujuannya.
Melalui kebhinekaan atau kelebihan dan kekurangan yang memiliki, manusia diharapkan
dapat saling mendekat, bekerjasama dalam berbagai bidang untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia sebagai manusia. Adanya perbedaan itu justru manusia didorong untuk saling
member, mengasih agar segala kebutuhan dasar manusia dapat terpenuhi. Dalam konteks
pemerintahan yang baik, perbedaan harus menjadi landasan dalam mewujudkan kerjasama
dalam rangka menyukseskan program kerja pemerintah.
2.

Toleransi
Hidup dalam masyarakat yang majemuk berarti harus berani dan mau menerima

keanekaragaman budaya, sikap maupun perilaku. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
kebhinekaan dapat menimbulkan benturan bahkan konflik kepentingan. Disini perlunya sikap
toleransi, yaitu sikap mau menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan agama, adatistiadat yang berbedamaupun pendapat. Torelansi bagi masyarakt luas, adalah sikap dan
semangat mau menghormati, menghargai perbedaan akan menciptakan suasana kerja yang
bagus, tidak ada ras saling curiga satu sama lainnya.
3.

Demokrasi
Inti semangat demokrasi adalah semangat mau mengakui adanya perbedaan.

Perbedaan dalam segala hal. Setiap makhluk hidup (manusia) itu memiliki sifat unik, khusus.
Setiap yang khusus bila diintegrasikan secara baik dan terpadu akan memberikan hasil yang
bermanfaat bagi kehidupan. Juga dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, setiap
pejabat memiliki tugas-tugas yang khusus. Punya fungsi sendiri-sendiri. Setiap fungsi dan
tugas pejabat harus dihormati, perlu diberi peluang sama agar semuanya dapat mewujudkan
karyawan secara baik. Bila semuanya bersikap saling menghormati hak dan kewajiban
21

masing-masing dalam suatu kesatuan, akan terjelma kerjasama yang menguntungkan
lembaga.

22

BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dan negara memiliki hak dan kewajiban yang
bertanggung jawab kepada masalah negara untuk menjaga ketertiban, serta dalam
mewujudkan penyelenggaraan negara (pemerintahan) yang bersih dan bijak sana. Hal penting
dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta dalam mengurangi
terjadinya penyelewengan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan adalah political will
negara dalam memerangi KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta penegakan hukum yang
konsisten dan adil.
Jadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa adalah pemerintahan yang para pelaku
yang terlibat di dalamnya bisa menjaga diri atau bisa menghindari dari tindakan-tindakan
KKN agar bisa terwujud pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang bersih dan
berwibawa juga merupakan sebuah keniscayaan dari demokrasi dan masyarakat madani pada
tingkat kekuasaan negara.
Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan berbagai
kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik.
Dan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa harus adanya peran
masyarakat yang dimana masyarakat mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan
memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Negara,

Hak untuk memperoleh

pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara, Hak menyampaikan saran dan
pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara.
4.2

Saran
Peran serta masyarakat akan sangat membantu aparat penegak hukum dalam memantau

kinerja dan perilaku aparat pemerintahan. Dengan adanya suatu sistem penghargaan bagi
peran serta masyarakat yang diatur dalam suatu produk hukum yang mempunyai legitimasi/
terpercaya maka diharapkan peran serta masyarakat akan meningkat.
Tanpa adanya peran masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa mungkin akan sulit untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Selain itu pula untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, para pelaku
hukum harus berani menindak tegas para pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Daftar Pustaka
23

1. Rimper, alfredo. 2016, Makalah Pendidikan Kebangsaan; jakarta, sekolah tinggi
ilmu komunikasi dan sekretariat tarakanita
2. Junaidi, Muhammad. 2013, Pendidikan Kewarganegaraan; yogyakarta, Graha Ilmu
3. Prof. C.S.T. Kansil, S.H dan Chrstine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2011, Pengantar Ilmu
Hukum Indonesia; jakarta, PT RINEKA CIPTA.
4. Moh. Kusnardi, S.H dan Ibrahim, Harmaily S.H. 1985, Hukum Tata Negara
Indonesia; jakarta pusat, PT “Sastra Hudaya”.

24