Implementasi kurikulum 2013 dan Kesiapan

Implementasi Kurikulum 2013 dan Kesiapan Guru
Ahmad Aprillah (Pimpinan Umum LPM Pena Kampus FKIP Unram)
Sesuai dengan jadwal tentatif pengembangan dan implementasi kurikulum 2013 yang dikeluarkan
oleh kementerian pendidikan nasional maka kurikulum baru ini akan diimplementasikan secara nasional
pada awal tahun ajaran baru 2013-2014. Pada tahap awal kurikulum ini hanya akan diimplementasikan
secara nasional pada kelas 1, IV, VII, dan X. Namun sebelum diimplementasikan tentu banyak hal yang
harus dipersiapkan termasuk penyusunan buku teks dan pelatihan para guru sesuai dengan pendekatan
dan metode yang ada dalam kurikulum. Proses ini bukanlah proses singkat namun membutuhkan waktu
panjang.
Pada hakekatnya kurikulum adalah “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (UU Sisdiknas). Berangkat dari definisi kurikulum
berdasarkan UU sisdiknas tersebut, setidaknya ada tiga komponen penting yang ada dalam kurikulum
yaitu komponen tujuan pendidikan, komponen proses, dan komponen evaluasi.
Tujuan pendidikan dalam setiap kurikulum dirumuskan berdasarkan pancasilan dan UUD 1945.
Kurikulum boleh gonta-ganti namun tujuan pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum tidak boleh
melenceng dari apa yang diamanatkan pancasila dan UUD 1945. Tujuan pendidikan biasanya juga
dirumuskan sesuai dengan kebutuhan rezim (baca: zaman) yang berkuasa. Pada masa orde lama
pendidikan lebih ditujukan untuk menghasilkan manusia Indonesia yang patriotis dan nasionalis. Hal ini
mengingat pada masa tersebut masih masa-masa awal kemerdekaan sehingga nasionalisme dan
patriotisme akan menjadi perekat identitas-identitas yang majemuk menjadi satu identitas tunggal,

Indonesia.
Bagaimanpun, tujuan pendidikan berubah ketika masuk era orde baru (orba). Pada era orba baru
tujuan pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia Indonesia pancasilais. Ini tidak terlepas dari sikap
politik orba yang menghendaki adanya ideologi tunggal yakni pancasila untuk menciptakan ketertiban
nasional. Sementara pada masa reformasi saat ini pendidikan lebih diarahkan untuk menghasilkan
manusia Indonesia yang berkarekter unggul. Manusia Indonesia yang memiliki integritas. Ini tentu untuk
merespons berbagai degradasi moral dan social seperti tindak korupsi yang semakin meraja lela, penyalah
gunaan narkoba, tawuran pelajar, dan lain-lain.
Selain tujuan pendidikan komponen lain yang harus ada dalam kurikulum adalah komponen proses
pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan
di dalam kurikulum. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran melibatkan banyak sub komponen
seperti metode ataupun teknik pembelajaran, guru, buku ajar, dan kelengkapan pembelajaran yang lain.
Komponen-komponen inilah yang secara sinergis menentukan tercapainya tujuan pendidikan.
Proses pembelajaran merupakan pusat segala upaya perbaikan kualitas pendidikan nasional. Betapa
sempurna sekalipun rumusan tujuan yang dirumuskan namun proses untuk mencapai tujuan tersebut tidak
optimal niscaya semuanya akan sia-sia belaka. Oleh sebab itu, seharusnya perhatian lebih dicurahkan
kepada upaya-upaya praksis untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Namun perhatian

pemerintah belum optimal terbukti dengan masih banyaknya sekolah dengan sarana dan prasarana
seadanya.

Sementara itu, komponen terakhir dalam kurikulum adalah evaluasi. Pelaksanaan kurikulum perlu
dievaluasi untuk melihat capaian yang telah terlaksana. Evaluasi merupakan proses review atas berbagai
proses pelaksanaan kurikulum. Untuk menngukur berapa persen keberhasilan kurikulum maka yang
dilakukan adalah pengukuran (measurement). Sementara jika ingin menilai kurikulum gagal atau berhasil
maka yang dilakukan adalah assessment. Sementara evaluasi adalah kolaborasi atas test, measurement,
dan assessment sehingga yang dihasilakn dalam evaluasi adalah rekomendasi-rekomensi untuk
memperbaiki dan membenahi kurikumum ke depannya.
Kesiapan Para Guru
Seperti yang telah saya singgung diatas, perubahan paling drastis dan sangat berpengaruh
sebenarnya pada komponen proses pembelajaran . Ada beberapa perubahan mendasar terhadap proses
pembelajaran yang digunakan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diterapkan dalam
kurikulum 2013. Perubahan-perubahan tersebut membutuhkan sosialiasi dan pelatihan panjang bagi para
guru supaya siap dan terbiasa dengan perubahan tersebut. Namun dengan rencana pemerintah untuk
menerapkan kurikulum baru pada awal tahun ajaran baru 2013-2014, mungkinkah mempersiapkan
segalanya?
Hasil Uji Kompetensi Guru pada 2012 lalu seharusnya menjadi cerminan bagaimana kondisi real
kualitas guru di lapangan. Kita ambil hasli UKG NTB sebagai contoh. Sebagian besar guru di NTB masih
berada di bawah rata-rata nasional. Guru sertisikasi di NTB hanya memperoleh nilai 40 dari nilai
maksimal 91,12. Ini artinya kempat kompetensi; kompetensi pedagogic, profesional, kepribadian, dan
social guru NTB masih sangat rendah. UKG hanya untuk guru yang telah tersertifikasi. Lalu bagaimana

dengan beum tersertikasi. Jika yang tersertikasi saja rendah, bagaimana dengan yang belum sertifikasi.
Guru-guru yang kurang kompeten menurut hasil UKG diatas kini dituntut untuk merubah
pendekata, dan teknik mereka dalam mengajar. Mengajar dengan kurikulum lama saja mereka sudah
kualahan lalu bagaimana jika mereka harus dituntut untuk mengajar dan mengevaluasi siswa mereka
dengan metode dan teknik yang sama sekali baru bagi mereka? Para guru pasti akan kalang kabut.
Padahal merekalah yang berada di garda terdepan dalam implementasi kurikulum 2013.
Ada beberapa perubahan dalam kurikulum baru yang menuntut profesionalisme guru yang sesuai
dengan kurikulum baru tersebut. Perubahan isi mata mata pelajaran dan jumlah mata pelajaran pada
masing-masing satuan pendidikan tentu membutuhkan guru yang siap untuk itu. Ambil contoh misalnya
mata pelajaran (mapel) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang
diintegrasikan ke dalam bahasa Indonesia di tingkat SD. Ini jelas tidak akan mampu dijalankan oleh guru
SD biasa yang terbiasa mengajarkan ketiga mata pelejaran tersebut sebagai mapel yang masing-masing
terpisah. Metode dan teknik yang digunakan untuk mengajar IPA jelas berbeda dengan yang digunakan
untuk mengajar bahasa Indonesia.
Dengan system integrasi mata pelajaran seperti ini, mau tidak mau harus ada porsi mata pelajaran
yang terdegradasi. Tidak mungkin seorang guru mampu mengajarkan IPA, IPS, BI sekaligus secara
seimbang dan proporsional. Pasti ada isi mata pelajaran yang akan tereliminasi. Yang terjadi kemudian

adalah pembelajaran setengah-setengah. Setengah IPS, setengah IPA, dan setengah BI. Akhirnya tidak ada
pemahaman yang utuh akan masing-masing mata pelajaran tersebut. Oleh karena itu benar-benar

diperlukan guru yang benar-benar mampu menghandle pengintegrasian tersebut. Guru-guru tersebut tentu
harus dilatih dan dididik khusus sehingga ia benar-benar maksimal ketika mengajarkan mata pelajaran
yang terintegrasi tersebut.
Sesuai rencana proses pembelajaran juga akan diarahkan menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa (students centered) bukan lagi berpusat pada guru (teacher centered). Namun merubah paradigma
pembelajaran ini tak semudah membalik telapak tangan. Guru di Indonesia sudah terlampau biasa
mengajar dengan pendekatan konvensional (ceramah). Siswapun ditempatkan tetap sebagai objek dari
transfer ilmu sang guru. Guru-guru Indonesia seakan belum mengajar jika tidak berbicara panjang lebar di
depan kelas. Artinya jika ingin merubah paradigm proses pembelajaran maka yang harus dibenahi terlebih
dahulu adalah guru. Gurulah yang harus dirubah mindset cara mengajar mereka.
Perubahan pradigma dalam proses pembelajaran dari siswa diberitahu menjadi siswa mencari tahu
bukanlah hal yang baru. KBK maupun KTSP dalam konsepnya juga menghendaki siswalah yang lebih
aktif di dalam kelas. Namun pada prakteknya tetap saja guru mendominasi kelas. Sehingga siswa tetaplah
menjadi bejani kosong yang menunggu untuk disuapi oleh guru mereka. Artinya, dibutuhkan upaya yang
serius untuk mentransformasi pandangan para guru dalam mengajar di kelas. Perubahan paradigm ini jika
perlu sudah dilakukan semenjak penyiapan calon guru di Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan
(LPTK). Dengan demikian akan lahir guru-guru baru yang memiliki pandangan, paradigm, dan mindset
yang juga baru dalam mengajar.
Kurikulum 2013 juga akan menerapkan system evaluasi baru untuk melihat keberhasilan
pencapaian proses belajar mengajar. Jika selama ini tes sangat dominan dalam evaluasi maka dalam

kurikulum baru tes akan dikombinasikan dengan penilaian portofolio. Pertimbangannya, tes hanya
mampu menilai kognitif siswa semata sementara afektif dan psikomotorik siswa tidak akan tersentuh.
Oleh karena itu system evaluasi baru ini diharapkan akan mampu mengukur pencapaian siswa secara
konprehensif.
Bagaimanapun ini juga membutuhkan kesiapan dari guru. Semua guru terbiasa menilai siswa
mereka hanya dengan menggunakan tes. Mereka terbiasa membuat soal untuk tes sehingga mengabaikan
keaktifan dan sikap siswa dalam penilaian. Jika kurikulum 2013 diterapkan nanti maka para guru perlu
pelatihan khusus bagaimana melakukan evaluasi yang komprehensif dengan portofolio. Ketika kuliah di
LPTK para guru hanya dipersiapkan untuk membuat soal tes semata sehingga pendekatan evaluasi yang
mereka kuasipun masih konvensional.
Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita betapa vital peran dan fungsi guru dalam setiap
pergantian kurikulum. Namun pemerintah seakan tutup mata akan hal ini. Mereka terus merubah
kurikulm tanpa mempertimbangkan kondisi guru di lapangan. Guru harus selau berusaha menyesuakan
diri dengan kurikulum baru yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, program sertifikasi guru tengah
berlangsung saat ini mempersiapkan guru mampun merencakan dan melaksanakan pembelajaran sesuai
KTSP. Mereka diajarkan bagaimana mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), materi,
dan instrumen penilaian yang sesuai dengan KTSP. Namun seiring diterapkannya kurikulum baru semua
itu harus diubah lagi.

Seharusnya dalam setiap perubahan kurikulum guru haruslah menjadi bahan pertimbangan utama.

Kesiapan guru di lapangan akan menjadi faktor penentu implementasi kurikulum baru. Para ahli di
Jakarta hanyalah para pengamat dan ahli pendidikan. Namun praktisi pendidikan sehari-hari adalah para
guru di daerah-daerah. Betapapun komprehensif perencanaan pemerintah (kurikulum) pada akhirnya
semua akan bergantung pada mutu dan kulaitas guru di lapangan.