TINJAUAN FUNGSI HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUA

TINJAUAN FUNGSI HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN
MASYARAKAT DALAM PENETAPAN
PERPPU ORMAS

TUGAS MATA KULIAH SOSIOLOGI HUKUM

OLEH :
HARTANA, S.H.
17/417859/PHK/09751

MAGISTER HUKUM LITIGASI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA
2017

2

TINJAUAN FUNGSI HUKUM SEBAGAI PEMBAHARUAN MASYARAKAT
DALAM PENETAPAN PERPPU ORMAS

1. LATAR BELAKANG.
Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan

analitis mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan
gejala-gejala sosial lain. Tujuan sosiologi hukum di dalam kenyataan seperti berikut :
berguna untuk terhadap kemampuan memahami hukum di dalam konteks sosial, memberikan
kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat, baik
sebagai sarana pengendalian sosial, mengubah masyarakat, mengatur interaksi sosial agar
mencapai keadaan social yang tertentu dan memberikan kemungkinan-kemungkinan dan
kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas hukum di dalam masyarakat.
Hukum di Indonesia terbukti telah menjadi alat kekuasaan, hukum bukanlah sesuatu yang
otonom karena menjadi sub sistem dari sistem lain yang lebih besar. Keadaan ini harus
diperbaiki pada saat ini karena saat ini adalah momentum yang tepat untuk itu dimana hukum
harus menunjukkan otoritasnya dan secara fleksibel mengikuti perkembangan dan tuntutan
rakyat. Pengertian yang fleksibel dari hukum di sini jangan diartikan bahwa hukum itu plinplan dalam menghadapi perkembangan jaman, tetapi pengertian yang benar dalam konteks
ini adalah bagaimana hukum dapat menempatkan diri dalam posisinya sebagai institusi yang
keberadaannya dibutuhkan oleh rakyat dalam sebuah negara yang demokratif. Jadi lebih
tepatnya fleksibelitas hukum ini dapat dikaitkan dengan adaptasi hukum terhadap tuntutan
rakyat. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan
(role occupant) itu diharapkan bertindak. (Liky Faizal, Sosiologi Hukum Dalam Paradigma
Sosial, Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10 Juli-Desember 2009).
Untuk memahami bekerjanya hukum, dapat dilihat fungsi hukum tersebut di dalam
masyarakat. Fungsi tersebut dapat diamati dari beberapa sudut pandang, yaitu sebagai sosial,

sebagai alat untuk mengubah masyarakat, sebagai simbol, sebagai alat politik, maupun
sebagai alat integrasi. Fungsi hukum sebagai rekayasa sosial yang semakin penting dalam era
pembangunan adalah sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada
anggapan bahwa adanya ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap
penting dan sangat diperlukan. "Hukum sebagai sarana rekayasa sosial, innovasi, sosial
engineering, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku
yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan-tujuan
yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang dipandang tidak perlu lagi,
menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya" (Satjipto Rahardjo, Hukum Dan
Perubahan Sosial Bandung : Alumni, 1983).
Adanya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, Suatu masyarakat di manapun di
dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat manapun senantiasa mengalami perubahan,

3

hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam
menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of engineering,
sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu tujuan yang
diinginkan bersama (Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hokum, Jakarta : PT.Raja
Grafindo persada, 2000).

Hukum sebagai kontrol sosial
Dalam memandang hukum sebagai alat kontrol sosial manusia, maka hukum
merupakan salah satu alat pengendali sosial. Alat lain masih ada sebab masih saja diakui
keberadaan pranata sosial lainnya (misalnya keyakinan, kesusilaan). Kontrol sosial
merupakan aspek normatif kehidupan sosial. Hal itu bahkan dapat dinyatakan sebagai
pemberi defenisi tingkahg laku yang menyimpang dan akibat-akibat yang ditimbulkannya,
seperti berbagai larangan, tuntutan, dan pemberian ganti rugi. Hukum sebagai alat kontrol
sosial memberikan arti bahwa ia merupakan sesuatu yang dapat menetapkan tingkah laku
manusia. Tingkah laku ini dapat didefenisikan sebagai sesuatu yang menyimpang terhadap
aturan hukum. Sebagai akibatnya, hukum dapat memberikan sanksi atau tindakan terhadap si
pelanggar. Karena itu, hukum pun menetapkan sanksi yang harus diterima oleh pelakunya.
Hal ini berarti bahwa hukum mengarahkan agar masyarakat berbuat secara benar menurut
aturan sehingga ketentraman terwujud. Sanksi hukum terhadap perilaku yang menyimpang,
ternyata terdapat perbedaan di kalangan suatu masyarakat. Tampaknya hal ini sangat berkait
dengan banyak hal, seperti keyakinan agama, aliran falsafat yang dianut. Dengan kata lain,
sanksi ini berkaitan dengan kontrol sosial. Hukum, di samping bukan satu-satunya alat
kontrol sosial, juga sebagai alat pengendali memainkan peran pasif. Artinya bahwa hukum
menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat yang dipengaruhi oleh keyakinan dan
ajaran falsafat lain yang diperpeganginya. Dalam hal ini, fungsi hukum ini lebih diperluas
sehingga tidak hanya dalam bentuk paksaan. Fungsi ini dapat dijalankan oleh dua bentuk

yaitu :
-

Pihak penguasa negara. Fungsi ini dijalankan oleh suatu kekuasaan terpusat yang
berwujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh the ruling class tertentu. Hukumnya
biasanya dalam bentuk hukum tertulis dan perundang-undangan.

-

Masyarakat. Fungsi ini dijalankan sendiri oleh masyarakat dari bawah. Hukumnya biasa
berbentuk tidak tertulis atau hukum kebiasaan.

Fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dapat berjalan dengan baik bila terdapat hal-hal
yang mendukungnya. Pelaksanaan fungsi ini sangat berkaitan dengan materi hukum yang
baik dan jelas. Selain itu, pihak pelaksana sangat menentukan. Orang yang akan
melaksanakan hukum ini tidak kalah peranannya. Suatu aturan atau hukum yang sudah
memenuhi harapan suatu masyarakat serta mendapat dukungan, belum tentu dapat berjalan
dengan baik bila tidak didukung oleh aparat pelaksana yang kimit terhadap pelaksanaan
hukum. Hal yang terakhir inilah yang sering dikeluhkan oleh masyarakat Indonesia. Aparat
sepertinya dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur lain yang sepatutnya tidak menjadi faktor


4

penentu, seperti kekuasaan, materi dan pamrih serta kolusi. Citra penegak hukum masih
rawan.
Hukum sebagai rekayasa sosial.
Hukum sebagai rekayasa sosial sangat diperlukan dalam proses perubahan
masyarakat yang di manapun senantiasa terjadi, apalagi dalam kondisi kemajuan yang
menuntut perlunya perubahan-perubahan yang relatif cepat. Fungsi Hukum sebagai rekayasa
sosial ini, juga sering disebut sebagai a tool of engineering yang pada prinsipnya merupakan
fungsi hukum yang dapat diarahkan untuk merubah pola-pola tertentu dalam suatu
masyarakat, baik dalam arti mengokohkan suatu kebiasaan menjadi sesuatu yang lebih
diyakini dan lebih ditaati, maupun dalam bentuk perubahan lainnya. Fungsi hukum sebagai
rekayasa sosial yang semakin penting dalam era pembangunan adalah sebagai sarana
pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya ketertiban dalam
pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping
itu, hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah-arah kegiatan warga
masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi
hukum di atas seyogianya dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian
sosial. Walaupun sejumlah ahli memberikan pandangan positif terhadap fungsi hokum

sebagai rekayasa sosial, namun fungsi tersebut tidak luput dari kritikan atau kelemahannya.
Terhadap tanggapan dimaksud, seperti dikemukakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh
Achmad Ali, dengan menyatakan bahwa "membicarakan hukum sebagai rekayasa sosial itu
berarti memberikan kekuasaan yang amat penuh kepada pemerintah. Kita selalu
menggunakan istilah itu sebagai sesuatu yang netral, padahal dipakainya istilah itu
sebenarnya tidak netral. Istilah itu dapat dipakai untuk tujuan yang baik dan dapat juga
dipakai untuk tujuan yang buruk. Istilah itu sendiri mempunyai dua arti, pertama sebagai
suatu prosedur, suatu cara untuk mengubah masyarakat, dan yang kedua yang teramat
penting adalah secara materiil, yaitu masyarakat apa yang dikehendaki. Itu tidak mudah, kita
harus bertanya masyarakat seperti apa yang dikehendaki oleh pemerintah dan oleh warga
masyarakat. Pandangan yang dikemukakan terakhir di atas, menunjukkan bahwa fungsi
hukum sebagai rekayasa sosial mempunyai arti yang tidak selalu positif, dan bahkan dapat
diartikan negatif, terutama karena ketidakjelasan arah yang akan dituju oleh hukum dalam
merekayasa masyarakat yang bersangkutan. Dengan mengemukakan sejumlah contoh,
kerugian

dan keuntungan

fungsi


hukum sebagai

rekayasa sosial,

seperti

yang

diungkapkannya bahwa "Contoh dampak positif penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial
antara lain : Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1954 yang menetapkan
bahwa orang kulit hitam harus dipersamakan dengan orang kulit putih”. Dampak negatif dari
penggunaan hukum sebagai rekayasa sosial adalah yang hanya membawa keuntungan bagi
sebagian kecil warga masyarakat dunia, justru merugikan sebagian besar warga masyarakat
lainnya". Dengan pandangan tersebut, maka dapat dikatakan, bahwa fungsi hukum sebagai
sarana atau alat rekayasa sosial dalam aplikasinya perlu dilakukan secara ektra hati-hati,

5

sehingga sejauh mungkin tidak membawa dampak negatif sebagaimana yang dikhawatirkan,
dan bahkan jika perlu dalam pelaksanaannya benar-benar tidak akan melahirkan dampak

seperti yang tersebut. Adanya hukum sebagai rekayasa sosial mencerminkan fungsi hokum
sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta
perbuatan yang membahayakan (Ashadi L.Diab, Peranan Hukum Sebagai Social Control,
Social Engineering Dan Social Welfare, Jurnal Al-‘Adl Vol. 7 No. 2, Juli 2014).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) yang ditetapkan sekaligus diundangkan pada tanggal 10 Juli 2017
yang merupakan salah satu hokum public yang bersifat memaksa, secara resmi disetujui oleh
DPR untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna tanggal 24 Oktober
2017. Terlepas dari perdebatan adanya unsur politis dalam penetapan Perppu Ormas tersebut,
kenyatannya pro dan kontra selalu mewarnai pengesahan Perppu Ormas tersebut yang
memang sejak diundangkannya penuh dengan perdebatan yang menguras banyak energi.
Masing-masing pihak yang mendukung maupun yang menolak mempunyai argumentasi
tersendiri yang sulit dicarikan titik temunya. Terlepas dari itu, perbedaan pendapat adalah
sesuatu yang wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan bagian dari
Demokrasi. Berdasarkan dari latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan
adalah “apakah penetapan Perppu Ormas dimaksudkan sebagai sarana pembaharuan
masyarakat menuju suatu perubahan hukum tertentu?”.
2. PEMBAHASAN.
Pemerintah bertugas menentukan bentuk dan corak hukum yang dipakai di dalam

mempertahankan cita-cita negara. Suatu kaedah mempunyai sifat hokum karena kaedah tadi
ditetapkan dan dipertahankan oleh negara yang dalam hal ini oleh para pejabat. Hukum
merupakan salah satu alat bagi negara dalam mempertahankan cita-cita nasionalnya. Karena
negara pada hakikatnya merupakan tatanan politik suatu masyarakat, maka cita-cita hukum
suatu negara secara ideal merupakan akibat lanjut cita-cita politiknya. Karena itu, hukum
yang berlaku sudah barang tentu mengandung cita-cita politik pada orang-orang atau
golongan yang berkuasa di negara yang bersangkutan. Namun patut dicatat bahwa penguasa
dalam hal ini pemerintah tidaklah sewenang-wenang dalam memberi kekuatan mengikat
hukum. Kekuatan mengikat hukum sangat bergantung pada kesadaran rakyat. Undangundang berlaku berdasarkan nilai batinnya. Hukum sebagai alat politik tidak mengikat karena
kehendak penguasa, melainkan pemerintah hanya mendapatkan kekuasaan dari hukum.
Dalam negara Republik Indonesia, cita-cita politik negara dapat dilihat dalam dasar dan
konstitusi negara (Pancasila dan UUD 1945). Cita-cita nasional ini harus di wujud nyatakan
dalam tatanan politik, kehidupan dan perjalanan bangsa. Semua lembaga yang dimiliki oleh
negara, khususnya penguasa dan pembuat undang-undang sedapat mungkin merencanakan
dan melaksanakan hukum yang dapat merealisasikan cita-cita tersebut. Bahkan secara tegas

6

dapat dikatakan bahwa hukum merupakan alat dominan dalam mewujudkan cita-cita politik
nasional negara dan bangsa Indonesia. Rasa aman, rasa tertib, rasa adil, rasa merdeka

bersuara yang merupakan tuntutan politik warga yang harus dijalankan oleh penguasa politik,
dapat tergambar dalam hukum nasional yang sekaligus merupakan alat politik. Dengan
demikian, hukum mengalami perubahan sesuai kondisi waktu dan tempat. Meski harus
diingat bahwa hukum juga tidak terlepas dari hasrat orang-orang atau golongan yang
memerintah. Namun mereka menyusun hukum itu tidak lepas dari dasar dan konstitusi
negara yang memuat citacita nasional (Ashadi L.Diab, Peranan Hukum Sebagai Social
Control, Social Engineering Dan Social Welfare, Jurnal Al-‘Adl Vol. 7 No. 2, Juli 2014).
Sejak dikeluarkannya Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang No. 17 tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan telah memantik pro-kontra di kalangan masyarakat, baik
masyarakat elit (termasuk anggota parlemen, pemimpin ormas, tokoh agama, akademisi, dan
lain sebagainya) maupun masyarakat bawah atau akar rumput. Kelompok yang kontra
berpandangan atau berargumen bahwa Perppu tersebut (1) menunjukkan watak otoriter
pemerintah Joko Widodo yang bisa membahayakan bagi otonomi masyarakat dan masa
depan bangsa dan negara, (2) telah memberangus kebebasan berekspresi dan berserikat
masyarakat yang juga digaransi oleh Konstitusi UUD 1945, (3) bertentangan dengan nilainilai demokrasi yang menjadi "ruh” Bangsa dan Negara Indonesia, dan (4) berpotensi untuk
disalahgunakan oleh rezim penguasa baik sekarang maupun di masa datang guna melarang
ormas-ormas yang dipandang oleh pemerintah telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Sementara itu kelompok yang pro (baik elite maupun masyarakat bawah) berpendapat
bahwa Perppu tersebut dibuat karena dilatari oleh spirit untuk, antara lain, merawat

kebhinekaan dan kebangsaan serta menjaga toleransi dan hak-hak sipil masyarakat yang
selama ini dirusak oleh sejumlah kelompok radikal-intoleran. Mereka juga berargumen
bahwa kebebasan dan demokrasi itu ada batasnya, tidak bisa dibiarkan berkembang liar yang
justru akan menodai dan merusak spirit kebebasan dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Belum lama ini Pemerintah RI telah membubarkan ormas yang dipandang telah melanggar
spirit dan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Ormas yang dimaksud adalah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Pemerintah, melalui Kementerian Hukum dan HAM, bahkan
telah mencabut badan hukum HTI sehingga ormas yang sebetulnya orpol (organisasi politik)
ini dilarang melakukan aktivitas dalam bentuk apapun dengan menggunakan nama dan
atribut HTI. Tentu saja pembubaran ormas ini bukan tanpa pertimbangan masak. Pemerintah,
seperti diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, telah mendengar nasihat dan menyerap
aspirasi berbagai lapisan masyarakat dan kalangan tokoh agama yang selama ini dikenal
reputasi mereka dalam menjaga toleransi, kebangsaan dan keberagaman. Beberapa ormas
selama ini memang telah melakukan berbagai tindakan radikalisme (termasuk terorisme),
intoleransi, dan anti-kebhinekaan yang bukan hanya bertentangan dengan semangat Pancasila
dan Konstitusi UUD 1945 tetapi juga telah membahayakan bagi kelangsungan kehidupan

7

bangsa dan negara Republik Indonesia tercinta. Termasuk di antaranya Ormas yang terangterangan mendiskreditkan ideologi negara Pancasila, menyerukan penggantian ideologi dan
konstitusi negara serta sistem politik-pemerintahan dan fondasi kenegaraan, terlibat dalam
gerakan dan jaringan terorisme global dan nasional, melakukan tindakan provokatif dan
intoleran serta sebagai aktor berbagai tindakan provokasi kebencian dan intoleransi atas
berbagai kelompok sosial-agama di Indonesia. Sudah banyak karya akademik dan hasil riset
yang membahas dan mendokumentasikan tentang aksi-aksi mereka selama ini. Tentu saja
tindakan makar, intoleran dan radikal seperti yang dilakukan oleh ormas-ormas di atas tidak
bisa dibiarkan begitu saja menggerogoti sendi-sendi kebangsaan dan bangunan kenegaraan.
Negara adalah ibarat tubuh manusia. Begitu tubuh itu terindikasi penyakit kanker misalnya,
harus segera diantisipasi sebelum sel-sel kanker itu menjalar kemana-mana dan
membahayakan kelangsungan hidup tubuh kita (Sumanto Al Qurtuby, Pro-Kontra Perppu
No. 2 Tahun 2017, Media online Deutsche Welle (DW) 25 Juli 2017).
Dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan diterangkan bahwa maksud dan tujuan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini adalah untuk membedakan dan sekaligus
melindungi Ormas yang mematuhi dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormas berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 dan Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Ada dua hal yang perlu digarisbawahi dari penjelasan
umum ini yaitu :
-

Pertama yaitu pemetaan Ormas (yang sudah terdaftar maupun yang sudah berstatus badan
hukum) menjadi dua kelompok yaitu Ormas yang asas dan kegiatannya konsisten dengan
Pancasila dan UUD 1945 dan sebaliknya kelompok Ormas yang asas dan kegiatannya
nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

-

Kedua yaitu perlindungan yang hanya diberikan oleh Pemerintah terhadap Ormas yang
asas dan kegiatannya konsisten dengan Pancasila dan UUD 1945. Disatu sisi Ormas yang
patuh dan konsisten dengan asas dan tujuan Ormas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
akan dilindungi, dan disisi lain Ormas yang asas dan kegiatannya nyata-nyata
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 akan ditertibkan.

Dari dua hal tersebut dapat terbaca dengan jelas bagaimana political will Pemerintah
terhadap Ormas-Ormas yang ada di Negara kita. Terlepas dari nuansa politis yang mewarnai
pembentukan Perppu Ormas ini, secara nyata pembentukan Perppu Ormas juga merupakan
amanat dari konstitusi untuk memberikan perlindungan hak-hak berserikat dan berkumpul
sebagimana Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 yaitu ‘Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat’. Jadi melalui Perppu ini Negara telah
hadir dalam memberikan perlindungan salah satu Hak Asasi Pribadi (Personal Rights) warga
negaranya, khususnya bagi mereka yang berorganisasi (berserikat, berkumpul) dalam
naungan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang asas dan tujuannya serta kegiatannya

8

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sepanjang Ormas tersebut (telah terdaftar atau sudah
berstatus badan hukum) dalam kegiatannya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945, tentunya Pemerintah akan memberikan perlindungan hukum terhadap Ormas tersebut.
Perlakuan terhadap Ormas yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas Ormas sesuai
dengan Anggaran Dasar-nya yang telah terdaftar dan telah disahkan oleh Pemerintah,
ternyata dalam menghadapi Ormas yang demikian ternyata sikap Pemerintah sudah tegas
sebagaimana diktum pertimbangan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yaitu pelanggaran terhadap
asas dan tujuan Ormas yang didasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan perbuatan yang
sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis,
agama, dan kebangsaan pelakunya, dan faktanya terdapat Ormas tertentu yang dalam
kegiatannya tidak sejalan dengan asas Ormas sesuai dengan Anggaran Dasar Organisasi
Kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan Pemerintah, dan terbukti ada asas
Organisasi Kemasyarakatan dan kegiatannya yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Terhadap Ormas yang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 akan diterapkan sanksi
administratif secara berjenjang berupa : 1) peringatan tertulis, 2) penghentian kegiatan, dan
3) pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri atau pencabutan status badan hukum
oleh menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia,
serta sanksi pidana bagi anggota dan/atau pengurus Ormas. Pemberian sanksi dalam Perppu
tersebut tidak melalui proses penegakan hukum (due process law) sebagaimana dalam UU
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Bagi mereka yang
kontra dengan Perppu Ormas, penerapan sanksi tersebut dianggap melanggar HAM, karena
telah mereduksi hak-hak untuk membela diri untuk memperoleh keadilan melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Argumentasi dari Pemerintah terkait dengan
penerapan sanksi ini dikarenakan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 belum menganut asas
Contarius Actus sehingga sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap Ormas
yang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Asas Contarius Actus adalah salah satu asas dalam Hukum
Administrasi Negara yang bermakna Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara dengan sendirinya (otomastis) berwenang
mencabutnya/membatalkannya. Dengan demikian penerapan sanksi administratif berupa
pencabutan surat keterangan terdaftar dan/atau pencabutan status ‘badan hukum' adalah
sanksi yang bersifat langsung dan segera dapat dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri atau
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap Ormas yang asas dan kegiatannya nyatanyata mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga
Pemerintah berwenang melakukan pencabutan. Kekuasaan untuk menerapkan sanksi yang
bersifat langsung dan segera inilah yang dikhawatirkan kedepannya akan menimbulkan
penyalahgunaan wewenang yang berujung pelanggaran HAM, sebagaimana pendapat John

9

Emerich Edward Dalberg Acton atau dikenal sebagai Lord Acton (1834-1902) “Power tends
to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” (kekuasaan cenderung korup, dan
kekuasaan mutlak menghasilkan korup yang mutlak). Kekuasaan ini tentunya tidak tak
terbatas, karena Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Undang-undang ini,
peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh Negara Republik Indonesia (pasal 71, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia). Ketika ada Ormas tertentu yang telah melakukan kegiatan-kegiatan yang
bernuansa permusuhan antara lain berupa ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi baik secara
lisan maupun tertulis, melalui media elektronik maaupun media lainnya yang menimbulkan
kebencian baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap mereka yang termasuk ke
dalam penyelenggara Negara, yang potensial menimbulkan konflik sosial antara anggota
masyarakat, tentunya harus diantisipasi oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan
kewajiban untuk melindungi kedaulatan Negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pemerintah seharusnya selalu waspada
dan trengginas mengantisipasi potensi-potensi buruk dan kurang sehat yang menimpa
masyarakat, bangsa dan negara seperti yang disemaikan oleh ormas-ormas di atas, bukan
malah membiarkan mereka berkeliaran dimana-mana. Para elite politik dan penguasa harus
cekatan menangani ulah berbagai ormas radikal, intoleran, dan kontra-Pancasila yang
membahayakan keamanan nasional dan kenyamanan sosial bukan malah membiarkan mereka
melakukan berbagai aksi konyolnya. Karena itu, kehadiran Perppu ini perlu di sambut positif
demi "menertibkan” kehidupan sosial-kemasyarakat dan keberlangsungan bangsa dan
Negara. Keamanan, kenyamanan, toleransi, dan kebangsaan harus diutamakan. Demokrasi
ada batasnya. Dan demokrasi di Indonesia bukan demokrasi sekuler-liberal ala Barat
melainkan demokrasi yang bertumpu pada nilai-nilai local wisdom, sendi-sendi kebangsaan
dan norma-norma Pancasila, bukan demokrasi yang liar bebas nilai dan tanpa batas yang
berpotensi memicu konflik, ketegangan, perpecahan dan perseteruan. Perlu juga diingat,
negara Indonesia bukanlah negara sekuler-liberal, bukan pula negara Islam, melainkan
"Negara Pancasila” sehingga semua ormas dan kelompok masyarakat harus tunduk pada
Ideologi dan Konstitusi Negara. Bahwa Perppu itu berpotensi untuk disalahgunakan di
kemudian hari, memang benar. Jangankan Perppu, konstitusi dan kitab suci juga berpotensi
untuk disalahgunakan. Alasan bahwa Perppu itu bisa digunakan untuk menganulir ormasormas lain di Indonesia sama sekali tidak berdasar karena spirit dari Perppu ini untuk
melawan ormas-ormas yang melakukan tindakan makar, intoleransi, dan radikalisme di
masyarakat bukan ormas-ormas yang selama ini menjadi pejuang toleransi, pluralisme, dan
perdamaian (Sumanto Al Qurtuby, Pro-Kontra Perppu No. 2 Tahun 2017, Media online
Deutsche Welle (DW) 25 Juli 2017).

3. KESIMPULAN.

10

Penetapan sekaligus pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) adalah merupakan salah satu
langkah yang ditempuh oleh Pemerintah dalam menjalankan fungsi hukum sebagai sarana
untuk mengubah atau sarana pembaharuan masyarakat dengan menerapkan asas Contarius
Actus dalam menata ormas-ormas yang telah ada untuk menuju suatu perubahan hukum yaitu
terciptanya suatu ketertiban dan keharmonisan hidup sosial kemasyarakatan serta
keberlangsungan bangsa dan Negara dengan memberikan perlindungan hak-hak untuk
berserikat dan berkumpul dalam naungan Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang asas dan
tujuannya serta kegiatannya selaras atau berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

DAFTAR PUSTAKA :
-

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

-

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan.

-

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi kemasyarakatan.

-

Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial Bandung : Alumni, 1983.

-

Soerjono soekanto, Pokok-pokok Sosiologi hokum, Jakarta : PT.Raja Grafindo persada, 2000.

-

Liky Faizal, Sosiologi Hukum Dalam Paradigma Sosial, (online) Jurnal TAPIs Vol. 5 No. 10
Juli-Desember 2009 diakses tanggal 23 November 2017.

-

Ashadi L.Diab, Peranan Hukum Sebagai Social Control, Social Engineering Dan Social
Welfare, (online) Jurnal Al-‘Adl Vol. 7 No. 2, Juli 2014, diakses tanggal 23 November 2017.

-

Sumanto Al Qurtuby, Pro-Kontra Perppu No. 2 Tahun 2017, (online) Deutsche Welle (DW)
25 Juli 2017, diakses tanggal 24 November 2017.