Sifat Melawan Hukum Materiel versus Kepu

Sifat Melawan Hukum Materiel versus Keputusan MK
Laporan oleh: Artanti Hendriyana
[Unpad.ac.id, 14/08] Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal
25 Juli 2006 menghendaki dihilangkannya implementasi ajaran sifat melawan hukum materiel
dalam tindak pidana korupsi. Namun dalam praktiknya, aparat penegak hukum masih saja
menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiel pasca keputusan MK tersebut. Hal ini
mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) oleh aparat penegak hukum.
Juniver Girsang (Foto: Dadan T.)
“Putusan MK RI tersebut merupakan salah satu solusi adanya jaminan kepastian hukum yang
diberikan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, karena MK menghendaki penerapan
sifat melawan hukum formil dalam mengejawantahkan unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal
2 ayat (1) UU PTPK, yang selama ini justru dijadikan ruang multitafsir akibat dari implementasi
ajaran sifat melawan hukum materiel,” jelas Juniver Girsang saat mempresentasikan disertasinya
yang berjudul “Implementasi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Tindak Pidana
Korupsi Dihubungkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor:
003/PUU-IV/2006” pada Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana
Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (13/08).
Dalam disertasinya, Juniver Girsang menjelaskan bahwa ajaran sistem melawan hukum formal
yaitu apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak
pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar, maka alasanalasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Sedangkan ajaran

materiel mengakui alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan perkataan lain, alasan
pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Praktik aparat penegak hukum yang masih menerapkan ajaran sifat melawan hukum materiel
menurut Juniver Girsang akan menimbulkan sebuah ketidakpastian hukum danabuse of power.
“Untuk menghindarinya, maka putusan MK tersebut harus atau wajib ditaati oleh aparat penegak
hukum, termasuk hakim, dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia, sebagaimana
layaknya hidup di dalam Negara Hukum,” tegasnya.

Juniver Girsang menjelaskan, bahwa selama di lapangan ia banyak menemukan penanganan
perkara tindak hukum pidana, khususnya tindak korupsi masih sangat subjektif. Bahkan,
penanganan di suatu daerah bisa berbeda dengan penanganan di daerah lain.
“Dengan adanya keputusan MK yang menyebutkan bahwa sifat hukum formil harus sudah pasti,
maka harus sudah pasti pula apa yang dilakukan seseorang dikatakan melakukan suatu tindak
pidana, apa yang dimaksud kerugian negara, dan berapa kerugian negara yang dituduhkan
kepada seseoang tersebut,” jelas Founder Juniver Girsang & Partners ini saat mempertahankan
disertasinya.
Kemudian, Juniver Girsang menyatakan, dengan adanya keputusan MK ini, maka tidak akan ada
lagi multitafsir mengenai suatu perbuatan tindak pidana korupsi, khususnya mengenai unsur
yang harus dipenuhi seseorang oleh seseorang sehingga dinyatakan telah melakukan suatu
perbuatan. Menurutnya, kepastian hukum bisa tercapai apabila semuanya sudah ditangani sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.
“Kalau tidak, kedepannya bisa terjadi abuse of power karena seseorang yg menangani kasus
perkara ini bisa berdasarkan kepentingannya sendiri, kelompoknya, atau untuk tujuan-tujuan
yang betul-betul melanggar hukum. Inilah alasan mengapa keputusan MK harus kita diakomodir
untuk kepastian hukum,” tegas Juniver Girsang.
Pada sidang kali ini, bertindak sebagai ketua tim promotor yaitu Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita,
SH, LLM., didampingi oleh Prof. Dr. Hj. Komariah Emong Sapardjadja, SH dan Prof. Dr.
Indriyanto Seno Adji, SH. MH, dengan tim oponen ahli Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, SH,
MH., Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, SH, MS., Prof. Dr. I Nyoman Serikat Putradjaya, SH, MH.,
Dr. Hj. Efa Laela Fakhirah, SH, MH., dan Dr. Indra Perwira, SH, MH.
Juniver Girsang akhirnya berhasil meraih gelar Doktor dengan predikat “Cumlaude”. Dihadapan
para undangan, pria yang kini aktif sebagai Ketua Umum Perhimpunan Penasehat Hukum Pajak
(PPHP) ini mengucapkan rasa syukur dan terimakasihnya kepada seluruh pihak yang telah
membantunya dalam penyelesaian disertasi tersebut. “Saya berharap di masa mendatang disertasi
ini dapat memberikan sumbangsih bagi penegak hukum di Indonesia, khususnya dalam
menangani tindak korupsi, harapnya.
Sifat Melawan Hukum
Oleh : DAMANG

Terminologi sifat melawan hukum dapat ditemukan sebagai salah satu unsur tindak pidana

korupsi dalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.

Tegasnya pasal tersebut menyatakan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar Rupiah)

Kata melawan hukum dalam pasal tersebut kemudian dalam penjelasanya, mencakup perbuatan
melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil, yakni meskipun perbuatan tersebut
tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma kehidupan sosial dalam
masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Sebenarnya istilah melawan hukum materil dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU
No. 20 Tahun 2001 tidak dapat dipergunakan lagi Pasca Putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006
tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan bahwa “penjelasan Pasal 2 ayat 1 tersebut dinyatakan
telah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.”


Meskipun demikian, pasca putusan MK tersebut, praktiknya MA tetap menganut ajaran
perbuatan melawan hukum materil (materele wederrechtelijkheid). Bisa diamati misalnya dalam
Putusan MA RI No. 2064 K/ Pid/ 2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama terdakwa H. Fahrani
Suhaimi. (Lilik Mulyadi: 2011)

Argumentasi dari hakim tersebut masih menggunakan perbuatan melawan hukum materil
sebagai berikut:
Bahwa putusan MK No. 003/ PUU- IV/ 2006 tanggal 25 Juli 2006 yang menyatakan penjelasan
Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dinyatakan telah bertentangan
dengan UUD NRI 1945 dan telah dinyatakan mempunyai kekuatan hukum mengikat sehinga
unsur melawan hukum tersebut tidak menjadi jelas rumusannya. Oleh kerana itu berdasarkan
doktrin Sen-Clair atau La Doctrine do Sen Clair hakim harus melakukan penemuan hukum.
Bertitik tolak aspek tersebut di atas, Majelis Hakim MA RI memberi makna unsure melawan
hukum dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU N0 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 akan
memperhatikan doktrin dan Yurisprudensi MARI yang berpendapat bahwa unsur melawan
hukum dalam tindak pidana korupsi adalah mencakup perbuatan melawan hukkum dalam arti
materil, dan mengenai perbuatan melawan hukum dalam arti materil juga meliputi fungsi positif
dan fungsi negatif dengan berpedoman bahwa tujuan diperluas unsur perbuatan melawan hukum
adalah untuk mempermudah pembuktian di persidangan sehingga suatu perbuatan dipandang

oleh masyarakat sebagai melawan hukum secara materil atau tercela perbuatannya, dapatlah
dihukum pelakunya melakukan tindak pidana korupsi, meskipun perbuatan itu tidak melakukan
perbuatan melawan hukum secara formal. Kemudian pengertian melawan hukum menurut
penjelasan Pasal 1 ayat 1 sub a UU No. 3 Tahun 1971, tidak hanya melanggar peraturan yang ada
sanksinya melainkan mencakup pula perbuatan yang bertentangan dengan keharusan atau
kepatutan dalam pergaualan masyarakat atau dipandang tercela oleh masyarakat. Selain itu
berdasarkan butir 2 Surat Menteri Kehakiman RI tanggal 11 Juli 1970 sebagai pengantar
diajukannya RUU No 3 Tahun 1971 dapat disimpulkan pengerttian perbuatan melawan hukum
secara materil adalah dititikberatkan pada pengertian yang diperoleh dari hukum tidak tertulis,
hal ini tersirat dalam surat tersebut yang pada pokoknya berbunyi “maka untuk mencakup
perbuatan yang sesungguhnya bersifat koruptif, tetapi sukar dipidana, karena tidak didahului
suatu kejahatan atau pelanggatran dalam RUU ini dikemukakan sarana “melawan hukum dalam
rumusan tindak pidana korupsi, yang pengertiannya juga meliputi perbuatan-perbuatan yang
bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak cermat terhadap orang
lain, barang maupun haknya” dan akhirnya sejalan dengan politik hukum untuk memberantas

korupsi dalam Putusan MA RI No 275 K/ Pid/ 1983 tanggal 28 Desember 1983, untuk pertama
kalinya dinyatakan secara tegas bahwa korupsi secara materil melawan hukum karena perbuatan
tersebut adalah perbuatan yang tidak patut, tercela dan menusuk perasaan hati masyarakat
banyak, dengan memakai tolok ukuran asas-asas hukum yang bersifat umum dan menurut

kepatutan dalam masyarakat.

Tentunya dari putusan MA RI di atas memunculkan pertanyaan sebagai berikut:
Jika sudah dibatalkan oleh MK penjelasan perbuatan melawan hukum materil, kenapa masih
digunakan oleh MA, apakah masih dibolehkan MA menggunakan unsur perbuatan melawan
hukum materil tersebut dengan melakukan penemuan hukum kembali ?
Apakah mesti MARI tunduk pada putusan MK yang sudah membatalkan pengertian perbuatan
melawan hukum materil itu ?

Kedua pertanyaan tersebut, sebenarnya lahir dari satu konsep atau asas hukum yang kita anut
saat ini yaitu asas legalitas yang sederhananya terdapat dalam Pasal 1 KUHP “Tidak ada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali undang-undang mengaturnya lebih dahulu”. Olehnya itu dalam
hukum pidana sangat dilarang penggunaan analogi.

Terdapatnya unsur perbuatan melawan hukum materil dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No
20 Tahun 2001 merupakan kontradiksi antara dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana
ataukah tidak, atau dalam kalimat yang lain apakah masih dimungkinkan hakim melakukan
analogi ataukah penafsiran ekstensif. Dalam konteks ini menurut saya hakim dapat melakukan
penafsiran hukum, perlu diketahui bahwa analogi dan penafsiran ekstensif merupakan penemuan
hukum dari metode konstruksi, bukan penafsiran an sich (lih. Achamd Ali: 2002).


Sepanjang hakim itu melakukan penafsiran terhadap maksud Pasal 2 ayat 1 UU No. 31 Tahun
1999 jo UU No 20 Tahun 2001, tidak mengubah maksud dari pasal tersebut, tetap dimungkinkan.
Misalnya dengan berpatokan pada adanya unsur kerugian Negara dan ternyata bertentangan
dengan nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat tetap dapat dipidana. Tapi kalau tidak
melanggar nilai keadilan yang dianut dalam masyarakat, orang yang merugikan keuangan
Negara itu bisa lepas dari tuntutan pidana.

Sebuah contoh sederhana, seorang kepala daerah mencairkan dana bantuan bencana alam, namun
dari bantuan tersebut masih ada sisanya, sisanya kemudian ia anggarkan lagi untuk pembangun
jalan dan jembatan, dimungkinkan terjadi kerugian Negara, tetapi terpenuhinya memperkaya diri
sendiri baik itu sebuah korporasi tidak ada, dalam penggunaan anggaran sisa itu karena tidak
diperuntukan untuk yang demikian. Berarti tidak terpenuhilah perbuatan korupsinya. Inilah yang
dimaksud perbuatan melawan hukum materil berfungsi negatif. Perbuatan tersebut terpenuhi
melanggar undang-undang namun dalam tataran substantif, oleh masyarakat bukan dipandang
sebagai perbuatan pidana.

Kalau kita membuka RUU KUHP Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2, kelihatan sudah menganut istilah
melawan hukum materil berfungsi positif dan berfungsi negatif.


Tegasnya pasal tersebut berbunyi (1) tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,
kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, selanjutnya pada ayat 3 nya
dinyatakan “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak mengurangi tidak berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dpidana walaupun
perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sepertinya di masa mendatang, asas legalitas yang dianut di Indonesia tidak lagi bersifat absolut,
karena secara tersirat sudah diakui hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat.

Kalau kita mencari dasar konstitusioanlanya asas legalitas dalam UUD NRI Tahun 1945 dalam
Pasal 1 ayat 3 “negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak ada embel-embel konsep Negara
hukum rechstaat ataukah konsep Negara hukum rule of law yang kita gunakan, berarti dengan
tidak adanya embel-embel tersebut dilakukan secara sengaja, dengan tujuan memberi tempat
yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (the rule of law). Artinya demi tegaknya keadilan,
seyogianya perbuatan yang tidak wajar, tercela, atau yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam
masyarakat dapat dipidana secara formal tidak ada hukum tertulis yang melarangnya (konsep
Negara hukum prismatic dalam Mahfud: 2006)

Agar tercipta kejelasan dalam pemahaman pengertian “melawan hukum” mari kita lihat

pembagiannya dalam hukum pidana. Sifat melawan hukum adalah suatu frase yang memiliki
empat makna (Hiariej: 2006)
Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
atau dengan kata lain merupakan syarat tertulis untuk dipidananya suatu perbuatan
Sifat melawan hukum khusus biasanya kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik.
Sifat melwan hukum formil mengandung arti semua bagian (unsur-unsur ) dari rumusan delik itu
telah terpenuhi
Sifat melawan hukum materil menganut dua pandangan, Pertama sifat melawan hukum materil
dilihat dari sudut perbuatannya, yang mana mengandung arti perbuatan yang melanggar atau
yang membahayakan kepenting hukum yang hendak dilindungi atau pembuat undang-undang
dalam rumusan tertentu. Kedua, sifat melawan hukum materil dlihat dari sudut hukumnya, hal ini
mengandung makna yang bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup
dalam masyarakat, asas-asas kepatutan, atau nilai-nali keadilan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat.

Dalam perkembangan selanjutnya sifat melawan hukum materil itu masih dibagi lagi menjadi
dua yaitu sifat melwan hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi negatif dan sifat melawan
hukum materil dalam fungsinya yang berfungsi positif

Sifat melawan hukum dalam fungsinya yang negatif diartikan bahwa meskipun perbuatan

tersebut memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka
perbuatan tersebut tidak dipidana. Sedangkan sifat melawan hukum materil berfungsi positif,
mengadung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan,
namun jika perbuatan tersebut dianggap tidak tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-noram kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Pertnyaan sekarang, kira-kira yang dibatalkan oleh MK, perbuatan melawan hkum material
dalam arti yang bagaimana ? kalau diartikan bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti tidak
boleh menggunakan analogi, karena dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana sepertinya
kurang tepat, karena untuk konteks sekarang cara kita menerapakan asas legalitas tidak lagi
absolute, bahkan dengan diberikanya hak bagi hakim untuk menggali nilai –nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat berdasarkan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
menunjukan ada indikasi dapat diterapkannya perbuatan melawan hukum materil yang terbagi
atas dua itu (berfungsi negatif dan berfungsi positif).

Kalau dikatakan ini melanggar hak tersangka/ terdakwa karena bisa sewenang-wenang terhadap
perlakuan hukum terhadap terdakwa, maka jawabanya tidak juga. Bukankah dari dianutnya dua
pembagin perbuatan melawan hukum materil itu, terdakwa bisa tidak di pidana, bisa juga
dipidana. Yang dilarang sebenarnya dalam hukum pidana, dalam perspektif saya, kalau hakim itu
menggunakan analogi yang diartikan tidak lagi berpijak pada satu ketentuan hukum dalam

sebuah pasal yang diterapkan itu. Tetapi penerapan perbuatan melawan hukum materil berfungsi
positif dan berfungsi negatif diakui bersama masih berpijak pada unsure-unsur tindak pidana

korupsi seperti terjadinya kerugian Negara, memperkaya diri sendiri ataukah sebuah korporasi.
Kalau begitu dalam penelaahan asas, hingga teori dan tujuan hukum (tidak melihat sasaran utama
putusan MK sebagai putusan yang final and binding). Maka perbuatan melawan hukum materil
yang berfungsi positif dan berfungsi negative, masih layak diterapkan oleh hakim dalam
memeriksa perkara tindak pidana korupsi.

Berbeda halnya kalau berbicara persoalan ranah kewenangan MK dan sasaran dari pada
putusannya, karena MK yang bertindak sebagai judicial court (bukan justice court), yang mana
MK bertindak seolah-olah sebagai UUD sebagai landasan tertinggi dari UU, maka mau tidak
mau Pengadilan Umum dan jajarannya harus tunduk pada putusan MK tersebut.

Di sinilah kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dengan hadirnya MK, karena putusan MK
tidak dikenal lagi upaya hukum untuk menganulir putusannya. Satu-satunya cara adalah dengan
merivisi UU tersebut melalaui pembahasan kembali di legislatif.
Sifat Melawan Hukum Materiil dan Formiil Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK)
(Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006)
Frase berbuatan melawan hukum telah menjadi suatu frase yang sering disebut-sebut sebagi frase
ampuh bagaikan pedang pusaka yang dipandang mampu memerangi tindak pidana korupsi. Frase
melawan hukum marak dibicarakan oleh banyak kalangan baik dari kalangan pakar hukum,
hakim, jaksa , akademisi dan para praktisi hukum dalam hal ini pengacara yang banyak mengani
kasus korupsi. .

Ulasan mengenai sifat melawan hukum ini merupakan sebuah telaah normatif

dan diikuti dengan perkembangan sifat melawan hukum terhadap praktek hukum positif di
Indonesia
Pengertian Sifat Melawan Hukum
Sebelum membahas tentang sifat melawan hukum, lebih baik didahului dengan pembahasan
singkat pengertian tentang pengertian delik yang dikenal dalam hukum pidana. Di dalam

perundang-undangan dipakai istilah perbuatan pidana (UU Dar. Th. 1951 No.1), peristiwa pidana
(didalam kostitusi RIS maupun UUDS Th. 1950), dan tindak pidana sebagai istilah yang sering
dipergunakan dalam Undang-Undang Pemberantasan Subversi, Korupsi dan lain-lainnya.
Sedangkan dalam literatur-literatur sering dipakai istilah pelanggaran pidana, perbuatan yang
boleh dihukum, perkara hukum perdata dan lain-lain. Didalam ilmu pengetahuan hukum secara
universal dikenal dengan istilah “delik”. Didalam perundang-undangan dan literatur hukum
pidana Belanda dikenal istilah strafbaarfeit. Menurut ahli hukum Belanda, Vos memandang
strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Menurut
Pompe pengertian strafbaarfeit dibedakan menjadi dua, yaitu definisi menurut teori adalah suatu
pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan
pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Definisi
menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Jadi strafbaarfeit mempunyai dua arti yaitu
menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk
kepada perbuatan (yang melawan hukum) yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan.
Hubungan antara strafbaarfeit dan “melawan hukum” adalah “melawan hukum” merupakan
bagian

dari

elemen

strafbaarfeit.

Menurut

Pompe,

elemen

strafbaarfeit

adalah

wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum), schuld (unsur kesalahan) dan subsociale (unsur
bahaya/ganguan/merugikan).
Pengertian sifat melawan hukum yang berlaku didalam hukum positif di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dengan pengertian sifat melawan hukum yang ada didalam praktek hukum positif
Negeri Belanda mengingat Hukum Materiil Pidana di Indonesia dalam hal ini Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) masih mengambil dari Hukum Pidana di Belanda.
Dalam hukum pidana istilah “melawan hukum” mempunyai 4 (empat) makna. Keempat makna
tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum
formal dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat
umum dapat dipidananya suatu perbuatan pidana. Sedangkan pengertian pidana sendiri menurut
Pompe didefinisikan secara teoritis sebagai suatu kelakuan yang bertentangan dengan hukum

(onrechmatig of wederrechtelijk, yang diadakan karena pelanggar bersalah (aan schuld van de
overtreder te wijten) dan yang dapat dihukum (strafbaar). Jadi sifat melawan hukum umum
merupakan semua perbuatan pidana yang baru dapat dipidana jika melawan hukum walaupun
perbuatan melawan hukum tidak tecantum secara tegas dalam rumusan delik. Sebagai contoh
dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa”
barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun“, dalam rumusan pasal 338 KUHP tersebut tidak
terdapat kata “melawan hukum” sebagai bagian inti karena merampas nyawa orang berarti telah
melawan hukum. Demikian Juga Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UU PTPK) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunkan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara negara atau perekonomian suatu negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Didalam rumusan pasal 3 UUPTPK tersebut tidak
disebutkan frase kata ” melawan hukum”. sehingga melawan hukum dalam pasal 3 UUPTPK
tidak perlu dicantumkan dalam dakwaan dan tidak perlu penuntut umum membuktikannya.
Sifat melawan hukum Khusus, artinya melawan hukum menjadi bagian inti atau dicantumkan
dalam rumusan delik dan harus tercantum dalam dakwaan dan cara melakukannnya harus dapat
dibuktikan oleh penuntuk umum. Jika penuntut umum tidak dapat membuktikan frase kata
“melawan hukum” dalam rumusan delik, maka dapat diputuskan bebas. Dengan demikian sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Pandangan
penyebutan frase kata “melawan hukum” secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada
hukum Jerman yang diajarkan oleh sejumlah pakar hukum Jerman antara lain Zevenbergeb dan
kemudian diterusakan diajarkan oleh pengikutnya di Belanda yaitu Simon. Menurut pandangan
ini melawan hukum hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam
peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan pandangan Simon, sebagian besar ahli hukum
pidana Belanda yang berpendapat bahwa siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana berarti ia
melakukan tindak pidana dan dengan demikian secara otomatis melawan hukum, atau dengan

kata lain walaupun kata”melawan hukum” tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara
diam-diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.
Sifat melawan hukum formal adalah jika seluruh bagian dari unsur-unsur dari rumusan delik
telah terpenuhi atau jika seluruh bagian inti yang lain telah terbukti. Melawan hukum material
terdapat dua pandangan, pertama, sifat melawan hukum material dilihat dari sudut perbuatannya.
Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan hukum
yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu. Kedua, sifat
melawan hukum material dilihat dari sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna
bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat , asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Sifat melawan hukum materiil dalam hukum pidana sebenarnya berasal dari Jerman dengan salah
satu ilmuwan hukumnya yaitu Von Liszt. Secara tegas Von Liszt menyatakan bahwa setiap
perbuatan yang anti sosial adalah wederrechtelijk. Perkembangan selanjutnya sifat melawan
hukum material ini masih dibagi lagi menjadi sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya
yang negatif dan sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang positif.
Sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif adalah suatu perbuatan yang
memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka
perbuatan pidana tersebut tidak dapat dipidana, sepert perkara korupsi jika dilakukan dengan
demi kepentingan umum, negara tidak dirugikan dan terdakwa tidak mendapatkan untung, dalam
hukum secara formal sudah melawan hukum tetapi jika dikaitkan dengan sifat melawan hukum
materiil perbuatan korupsi tersebut bukan merupakan melawan hukum. Sedangakn sifat melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang positif, mengandung arti bahwa meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan namun perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam
masyarakat maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Ajaran sifat Melawan Hukum Dalam Undang-Undang Pemberantansan Tindak Pidana Korupsi
(UU PTPK)
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
penjelasannya, secara jelas terlihat bahwa sifat melawan hukum dalam undang-undang tersebut

mengandung keempat makna tentang ajaran sifat melawan hukum yakni sifat melawan hukum
umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum
materiil. Dalam hal sifat melawan hukum umum dan sifat melawan hukum formal telah melekat
dengan sendirinya, mengingat korupsi adalah perbuatan pidana sedangkan sifat melawan hukum
khusus tergambar dari kata “melawan hukum” yang ada dalam rumusan delik, sementara sifat
melawan hukum secara eksplisit dicantumkan dalam penjelasan.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, pembuat undang-undang menegaskan sikapnya
bahwa didalam undang-undang tersebut sifat melawan hukum yang dimaksud dalam undangundang tersebut tidak hanya sifat melawan hukum formal melainkan juga sifat melawan hukum
materiil baik dari sudut pandang perbuatannya maupun dari sudut pandang sumber hukumnya
Sifat melawan hukum materiil dari sudut pandang perbuatannnya yaitu kepentingan hukum yang
hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang adalah keuangan negara dan perekonomian
negara. Sedangkan sifat melawan hukum materiil sudut pandang sumber hukumnya yaitu
perbuatan bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat,
asa-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat. Jika frase”
melawan hukum” tidak dijelaskan secara eksplisit seperti yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1),
maka secara implisit harus ditafsirkan bahwa kata”melawan hukum” yang dimaksud tidak hanya
melawan hukum formal tetapi juga melawan hukum materiil. Menurut Vos, seorang pakar
hukum yang mengajarkan sifat melawan hukum materiil dengan tegas mengatakan bahwa
melawan hukum sebagai unsur konstitutif setiap perbuatan pidana, tidak hanya melawan hukum
tertulis tetapi juga melawan hukum tidak tertulis dalam masyarakat. Pendapat Vos ini diperkuat
oleh ahli hukum pidana Belanda lainnya yaitu Van Hatum dan Pompe. Pompe menyatakan
bahwa melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis.
Sifat melawan hukum dalam penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU PTPK sebelum Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006, seolah-olah sama perbuatan melawan hukum dalam hukum
perdata (Pasal 1365 KUH Perdata) atau dalam istilah hukum perdata disebut onrechtmatige daad
dengan melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Dalam buku disertasi Prof. DR. Komariah Emong Sapardjaja, S.H. secara jelas menjelaskan arti
melawan hukum dalam hukum perdata dengan membandingkan dengan ketentuan Pasal 1382

Code Civil Perancis, Pasal 1401 Burgelijk Wetboek Belanda dan Pasal 1365 KUH Perdata
Indonesia. Dalam disertasi tersebut Komariah mengutip pendapa ahli hukum Belanda Van
Bemmelen menyatakan bahwa arti melawan hukum di bidang hukum pidana tidak ada bedanya
dengan arti melawan hukum di bidang hukum perdata, seperti termuat dalam Pasal 1401 BW
(Pasal 1365 KUH Perdata).
Dalam konteks undang-undang pemberantasan tidak pidana korupsi sebenarnya terlihat jelas
bahwa terlihat jelas bahwa melawan hukum dalam hukum pidana (wederrechtelijk) dengan
melawan hukum dalam hukum perdata (onrechmatige) tidak memiliki perbedaan. Hal ini
diindikasikan dengan adanya ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Dalam hal tersangka meninggal dunia
pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara
Negara atau diserahkan kepada instasi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya”. Gugatan perdata yang dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara adalah Pasal 1365
KUH Perdata tentang onrechtmatige daad atau perbuatan melawan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) tidak mengikat
secara hukum. Adapun pertimbangan Mahkamah Konstitusi, secara garis besar ada beberapa hal,
yang Pertama, pembuat undang-undang sesungguhnya bukan hanya menjelaskan Pasal 2 ayat (1)
tentang unsur melawan hukum, melainkan telah melahirkan norma baru yang memuat
digunakannya ukuran-ukuran yang tidak tertulis dalam undang-undang secara formal untuk
menentukan perbuatan yang dapat dipidana. Kedua, perbuatan melawan hukum dalam hukum
perdata (onrechmatige daad), seolah-olah telah diterima menjadi satu ukuran melawan hukum
dalam hukum pidana (wederrechtelijkheid). Ketiga, Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengakui
dan melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh jaminan dan perlindungan
hukum yang pasti. Hal ini dikaitkan dengan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang
menyatakan bahwa orang hanya dapat dituntut dan diadili atas dasar peraturan perundang-

undangan yang tertulis dan yang telah lebih dahulu ada, dengan kata lain bahwa suatu tindak
pidana memiliki unsur melawan hukum yang harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku
yang merumusakan perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan ketat
yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana.Keempat, Konsep melawan
hukum yang secara formil tertulis, mewajibkan pembuat undang-undang untuk merumuskan
secermat dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian hukum. Kelima,
konsep melawan hukum materiil yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran
kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai suatu norma
keadilan, merupakan ukuran yang tidak pasti dan berbeda-beda dari suatu lingkungan masyarakat
tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat
mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum,
menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat.