MELIHAT LEBIH JAUH POLITIK HUKUM DARI SI

MELIHAT LEBIH JAUH POLITIK HUKUM DARI SISI HAK ASASI
MANUSIA
Marhara hasibuan (8111416193)
marharahasibuan@students.unnes.ac.id
Data Buku :
Judul Buku

: Politik Hukum Hak Asasi Manusia

Penulis

: Dr. Suparman Marzuki

Penerbit

: Erlangga

Tahun Terbit

: 2014


Kota Penerbit

: Jakarta

Bahasa Buku

: Indonesia

Jumlah Halaman : 288
ISBN Buku

: 9786022418627

PEMBAHASAN
Buku ini membahas lebih dalam mengenai perkembangan HAM dari sisi
pemeintahan Indonesia yang telah mengalami tahap reformasi. Membahas
lebih dalam sisi HAM dari pelbagai masalah-masalah penegakannya dalam
setiap perubahan sistem politik di Indonesia.
Negara-negara yang baru terlepas dari kekuasaan otoritarian akan
dihadapkan pada penyelesaian masalah-masalah politik, hukum, dan hak asasi

manusia. Dalam kaitannya itu, setelah jatuhnya rezim orde baru, tuntutan
mengenai ditegakkannya Hak Asasi Manusia dan menuangkannya secara
konkret dalam konstitusi. Apabila melihat lebih kebelakang, tidak adanya
pengakuan HAM dalam UUD 1945 menjadi celah-celah terhadap pelanggaranpelanggaran HAM. Sikap otoriter pemimpin Orde Baru yang dipimpin oleh
Presiden Soeharto banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang
tidak dapat kita pungkiri sangat sulit menyelesaikannya pada masa itu,
dikarenakan posisi Presiden sangatlah kuat.
Indonesia menganut prinsip negara hukum demokrasi namun terjadi
banyak pelanggaran-pelanggaran atas HAM. Prinsip negara hukum dan
demokrasi merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan konsep
HAM. HAM dan Demokrasi tanpa hukum akan menciptakan individualisme dan
egoisme kelompok. Sementara negara hukum yang kontentnya tanpa adanya
pengakuan HAM dan demokrasi akan menciptakan kekuasaan yang otoriter.
Dalam berbagai perspektif melalui Negara Hukum, Demokrasi dan Konfigurasi
Politik akan menciptakan sistem pembagian kekuasaan dan perlindungan HAM
yang diatur dalam konstitusi. Ini seperti yang telah dikemukakan oleh Miriam
Budiardjo, bahwa pembatasan kekuasaan pemerintah serta Jaminan HAM
warga negara karena konstitusi merupakan hukum tertinggi yang harus
dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sesuai dengan dalilnya
sendiri.


Mengenai demokrasi dengan HAM, merupakan suatu konsep yang telah
mengalami perkembangan dan perdebatan, terutama pada konsep
berdemokrasi. Perubahan dan perkembangan demokrasi akan selalu diikuti
oleh perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya setiap negara. Sistem
politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap sistem politik yang kuno.
Awal munculnya konsep demokrasi memang selalu berkaitan erat dengan HAM.
Magna Charta yang telah ditandatangani pada tahun 1215 tercermin bahwa
kekuasaan pemerintah terbatas dan HAM lebih tinggi daripada kedaulatan raja.
Gelombang demokrasi tentunya tidak muncul disetiap negara dengan
sendirinya mulai jatuhnya negara-negara menganut sistem otoritarian telah
menyebabkan transisi dan gelombang demokrasi semakin berkembang di
berbagai negara didunia. Di Indonesia, transisi demokrasi tidak jauh berbeda
dengan negara-negara lainnya yang sama-sama keluar dari sistem otoritarian
dan diliputi pelanggaran HAM berat. Namun dalam transisinya tersebut,
Indonesia telah melakukan perubahan yang besar dibawah Pimpinan B.J.
Habibie. Pemilu dilaksanakan secara cepat, dengan supremasi hukum dan juga
penghormatan dan juga penegakan HAM.
Perubahan terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali, untuk mempertegas
demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dimana dalam membuat hukum tidak untuk

kepentingan pribadi atau kelompok tertentu melainkan untuk semua
masyarakat.
Kemerdekaan atau independensi kekuasaan kehakiman yang semakin
kuat dibanding sebelumnya sesungguhnya memberikan harapan bagi tegaknya
hukum, keadilan, dan perlindungan HAM karena dalam sistem negara modern,
cabang kekuasaan kehakiman memang harus diorganisasikan tersendiri karena
prinsip pemisahan kekuasaan menempatkan kekuasaan kehakiman pada
dimensi sangat penting. Kemerdekaan kehakiman itu adalah garansi bagi
proteksi HAM dari kesewenang-wenangan kekuasaan, serta garansi adanya
mekanisme memperjuangkan pemenuhan HAM yang diabaikan undang-undang
sebagaimana tugas dan kewenangan MK.
Dalam konsep negara hukum yang pada umumnya dikenal sebagai the
rule of law dan rechtstaat kedua konsep tersebut menekankan pentingnya
pengakuan terhadap HAM. Indonesia yang secara konsep memiliki dua
pandangan tentang konsep ini dimana Indonesia menerapkan konsep negara
hukum Pancasila. Kebijakan penegakan HAM dalam konsep negara hukum yang
dianut oleh Indonesia mengalami berbagai perubahan dari setiap rezim yang
telah dilalui oleh negara ini.
Negara hukum dalam orde baru memiliki konsep yang menyimpang dari
penyelenggaraanya, kekuasaan Presiden sangatlah besar mencakup legislatif

dan juga yudikatif, sehingga pelaksanaan kebijakan HAM menjadi terbengkalai
dan semakin marak terjadi. Lembaga peradilan bukan merupakan lembaga
yang bekerja mandiri namun merupakan lembaga dibawah pemerintah bahkan
disebut sebagai alat untuk membungkam suara rakyat. Banyak terjadi
manipulasi kebijakan sehingga Presiden dapat bertindak menurut kehendaknya
sendiri yang telah mencederai kehendak Negara hukum.
Sementara negara hukum dalam era reformasi yang telah dipimpin oleh
B.J. Habibie merombak tatanan pemerintahan otoritarian orde baru dan
membangun suatu tatanan politik yang memastikan ditegakkannya negara
hukum yang demokratis. Perubahan terhadap UUD 1945 menegaskan negara
hukum Indonesia yang demokratis dan menghormati HAM, kekuatan HAM
dipertegas dalam hal konstitusional di dalam UUD 1945, hal ini dapat merujuk
pada kualitas negara hukum.

Penempatan jaminan negara hukum dalam penjelasan dan tidak dalam
pasal tersendiri serta menempatkan kata negara hukum pada satu rangkaian
kata kekuasaan belaka mengindikasikan dominannya negara berdasarkan
kekuasaan dibanding negara berdasarkan hukum.
UUD 1945 perubahan pertama belum mencantumkan secara formal eksplisit
dalam pasal tertentu tentang negara hukum, artinya perubahan yang telah

dilakukan belum mencapai tahapan yang sempurna dalam setiap langkah
hukum yang dilakukan. Perubahan yang selanjutnya dalam tahapan yang tidak
ditentukan mengharapkan terciptanya suatu kepastian dalam negara hukum
mengenai perkembangan HAM di sistem hukum Indonesia.
Penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran HAM berat
memerlukan adanya suatu politik hukum dari pemerintah. Politik hukum ini
penting mengingat politik hukum mencerminkan sikap dan kemauan dari
pemerintah yang berkuasa mengenai pembentukan hukum maupun penegakan
hukum yang telah ada secara konsisten. Politik hukum nasional Indonesia
terkait dengan Perlindungan HAM dapat dilihat salah satunya pada UU No 26
Tahun 2000. Dalam UU tersebut telah terkandung suatu semangat untuk
memberikan jaminan keadilan bagi para korban dan keluarga korban
pelanggaran HAM berat, yakni dengan adanya suatu peradilan bagi para
pelaku HAM berat. Namun demikian ternyata UU ini sendiri mengandung
banyak kelemahan yang mengakibatkan proses peradilan bagi para pelaku
pelanggaran HAM berat tersebut tidak dapat berjalan dengan semestinya.
Politik hukum tidak hanya dilihat pada produk peraturan hukum namun juga
pada bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara
konsisten. Pada tataran pelaksanaan penegakan hukum Indonesia telah
melakukan beberapa persidangan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM

berat, baik melalui Pengadilan HAM (permanen) maupun Pengadilan HAM Ad
Hoc. Namun demikian, terdapat berbagai kekurangan dalam proses
persidangan tersebut.
Perubahan UUD 1945 memberikan penjabaran ide negara hukum yang
belum pernah dirumuskan secara komprehensif. Membangun suatu negara
hukum harus diletakkan dalam satu kesatuan sistem hukum yang mencakup
elemen kelembagaan. Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarki dan
aspek-aspek yang bersifat sistemik dan saling berkaitan satu sama lain itulah
tercakup pengertian sistem hukum yang harus dikembangkan. Dengan
kaitannya dengan perlindungan HAM, pasal 27 dan pasal 28 UUD 1945 yang
lebih rinci menjabarkan hak-hak yang diatur hanya akan menjadi normatif
perskriptif saja tanpa implementasi apabila pedoman dasar yang diatur dalam
pasal 28 dan 28A sam pai 28J tidak ditindaklanjuti dengan undang-undang
yang lebih implementatif dan mengikat secara hukum, serta instrumeninstrumen lembaga hukum yang dapat menjamin terpenuhi apa yang diatur
tersebut. Selain itu, penghormatan dan perlindungan yang mencakup hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya akan juga menjadi slogan hukum belaka apabila
kebijakan politik hukum tidak didukung ketersediaan sarana dan prasarana
sosial dan ekonomi yang cukup.
Tidak ada artinya sama sekali memberikan hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan apabila pemerintah dan swasta

tidak menyediakan lapangan kerja atau sistem penerimaan pekerja tidak
terbuka, diskriminatif dan kolutif. Begitu pula hak atas pendidikan, hak atas
kesehatan, hak atas perumahan tidak akan terwujud jika pemerintah tidak
menjaminnya dengan kuat dan pasti.

Beralih ke era Gus Dur, program reformasi kehidupan politik, hukum dan
HAM sebagai upaya untuk mewujudkan formal dan substansi negara hukum
dan demokrasi terus dilakukan, dimana muncul desakan untuk mengusut dan
menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di orde baru. Konfigurasi
politik demokratis era Gus Dur yang tidak secara optimal menjadi konteks
politik demokratis yang produktif bagi agenda menyelesaikan pelanggaran
HAM, tidak saja karena hal-hal yang telah disebutkan di atas, tetapi juga
karena kerapuhan rezim demokratis sipil itu sendiri. Gaya dan perilaku politik
Gus Dur yang sering kali kontroversial, serta dukungan Parlemen yang lemah
membuat agenda pengusutan kejahatan HAM terabaikan, serta memungkinkan
militer melakukan langkah-langkah rahasia untuk melemahkan agenda
pengusutan.
Dari empat kali perubahan UUD 1945, perubahan ketiga adalah
perubahan yang paling besar pengaruhnya terhadap konfigurasi politik setelah
Pemilu 2004 karena mengubah ketentuan mengenai pemilu dan kekuasaan

kehakiman yang merupakan dua elemen penting demokrasi. Sepanjang 2004
sampai sekarang, produk hukum HAM seperti ratifikasi konvensi internasional
HAM, tidak banyak yang dihasilkan. Bahkan UU KKR yang menjadi dasar
pembentukan lembaga KKR sesuai amanat UU NO. 26 Tahun 2000 dibatalkan
oleh MK, yang berujung batalnya pembentukan lembaga tersebut.
Mengenai politik hukum HAM itu sendiri merupakan kebijakan hukum
tentang penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Kebijakan ini bisa
dalam bentuk pembuatan, perubahan, pemuatan pasal-pasal tertentu atau
pencabutan peraturan perundang-undangan. Politik hukum pada aspek
penghormatan adalah kebijakan yang mengharuskan negara untuk tidak
mengambil langkah-langkah yang akan mengakibatkan individu ataukelompok
gagal meraih atau memenuhi hak-haknya.
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk
merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama
di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena
telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara
( konstitusi ) yaitu, UUD 1945 tidak mengatur secara rinci tentang HAM.
Komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam
Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Langkah selanjutnya

memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik.
Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November
1945.pada masa berlakunya KRIS (Konstitusi Republik Indonesia Serikat) tahun
1949 dan UUDS 1950. Kedua UUD ini memuat lebih rinci tentang HAM terbukti
dengan adanya pasal-pasal yang memuat tentang Hak Asasi Manusia yang di
ambil dari Universal Declaration Of Human Righty.
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan
sebutan tum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang
menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer
mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof.
Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami
periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan
momen “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya
menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak
tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi

berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat

menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan
kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran
tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya
kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Pada masa pemerintahan ini
hanya satu konvernsi ham yang di rativikasikan yaitu Hak politik wanita. Pada
periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi
Parlementer. Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada
dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden
melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah
terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir
1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi
dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat
defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya
restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan
bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai –
nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam
rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi
Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada
anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat
untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran,
pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan
masyarakat yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan
masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang
dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi
internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus
Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan
sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif
pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPPRES.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta
memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal
pelaksanaan HAM.
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak
yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada
saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah
orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang – undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait

dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional
dalam bidang HAM.
Walaupun UUD 1945 telah mengaturnya, namun kesadaran akan
pentingnya penegakan HAM tumbuh di saat tumbangnya rezim otoriter. Masa
transisi saat ini, telah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada para
pejuang HAM. Komnas HAM telah dibentuk dimasa pemerintahan Soeharto,
namun dalam era reformasi ini kiprahnya terlihat lebih maksimal. Banyak
permasalahan muncul dalam proses penegakan HAM saat ini. Permasalahan itu
timbul disebabkan oleh Pengetahuan dan pengalaman yang terbatas tentang
HAM, baik pada Lembaga-lembaga Negara, maupun masyarakat. Pengetahuan
yang terbatas menyebabkan pembentukan dan pelaksanaan peraturan
perundangan menjadi kurang dapat menjamin keadilan dan kepastian hukum.
Intepretasi yang berbeda-beda terhadap peraturan perundangan menjadi topik
sehari-hari.
Perbedaan interpretasi peraturan tertulis menimbulkan polemik tentang
proses penegakan HAM. Polemik yang berkembang berkisar pada beberapa
masalah, diantaranya: Keabsahan pembentukan KPP HAM, Kewenangan
memaksa KPP HAM dalam memanggil saksi dan tersangka, Penetapan Jaksa
dan Hakim ad hoc yang independen dan penolakan intervensi pihak asing
dalam proses pengakan HAM. Dari buku ini jelas dituangkan bagaimana
pemerintah mengatur kebijakan-kebijakan terhadap Ham melalui setiap
perkembangan politik yang telah dilaksanakan.
Dari hasil review buku ini, maka penulis berhasil menemukan keunikan buku
dimana buku ini mengupas lebih dalam bagaimana pelaksanaan HAM di
Indonesia dari setiap rezim yang telah dilalui oleh negara ini dan bagaimana
relevansi antara konsep Negara Hukum yang merupakan cita-cita dari
kedaulatan masyarakat terhadap pelaksanaan penghormatan HAM, buku ini
membahas kelemahan-kelemahan yang terjadi bagi setiap sistem hukum
terhadap HAM.
Buku merupakan buku yang cocok bagi referensi karena membahas
mengenai hubungan antara konsep negara hukum serta demokrasi dengan
HAM yang dalam prakteknya memiliki suatu kohesi. Buku ini juga membahas
bagaimana sistem perpolitikan yang mempengaruhi berjalannya HAM
terutamanya di Indonesia, Buku ini juga dilengkapi dengan referensi dari
berbagai sumber terpercaya dan berbagai tokoh-tokoh hukum nasional
maupun internasional mengenai Hukum dan juga Hak Asasi Manusia. Masalahmasalah yang diangkat dalam buku ini serta hubungannya terhadap konsep
negara hukum dan demokrasi serta hubungan anatara undang-undang yang
memiliki makna komprehensif mengandung suatu makna penting untuk
dijadikan sebagai suatu referensi berpikir, bahwa penting untuk menghormati
HAM sebagai sebuah negara yang utuh menjadi negara hukum yang merdeka
dan berdaulat. Dari keberpihakannya, buku ini merupakan buku yang netral
yang tidak memperlihatkan dukungan pada suatu kelompok politik tertentu,
karena memang buku ini berkaitan dengan berbagai kasus HAM pada masa
pemerintahan di Indonesia.