Positif dan negatif dari game

oleh Puspita Insan Kamil
Ada yang tahu daerah bernama Batang? Mungkin bagi yang mudik ke
arah Jawa Tengah atau Timur dengan lintas jalur utara mengenal daerah
tersebut. Ya, daerah tersebut merupakan salah satu lintasan Pantai Utara
atau Pantura setelah Pekalongan. Sebagai salah satu daerah yang
memiliki potensi laut, tidak heran potensi ini juga menjadi seksi bagi salah
satu bidang industri: Energi Fosil. Dengan lokasi daerah pesisir pantai
utara yang dekat dengan Kalimantan sebagai penyedia batubara terbesar
di Indonesia, berbagai media sekarang memberitakan rencana
pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) bertenaga batubara
terbesar di Asia Tenggara, 2 x 1000 MW.
Sebenarnya wajar saja jika pemerintah mencanangkan program
pengejaran 10.000 MW untuk menyediakan listrik bagi 35% warga
Indonesia yang belum mendapatkan listrik, tapi apakah energi fosil
solusinya? Apakah PLTU akan membawa dampak positif lebih besar
ketimbang dampak negatifnya di Batang? Pertanyaan terakhir, mengapa
di Jawa? Bukan di Indonesia Timur yang memang kekurangan listrik.
Pembangunan PLTU yang akhirnya menimbulkan “di Jawa-Jawa
lagi, kan…” merupakan indikasi bahwa PLTU ini kemungkinan besar
ditujukan untuk pengadaan energi industri atau pabrik. Seperti yang telah
banyak terjadi, di sekeliling PLTU pasti menjadi kawasan industri. Dalih

pemerintah bahwa negara maju memiliki industri yang berkembang pesat
dan tentunya butuh supply energi yang besar kerap kali kita dengar.
Mengapa, energi dijadikan komoditi bisnis disaat seharusnya listrik
menjadi standar hidup? Masih ada warga Indonesia yang belum mendapat
listrik sebagai standar kelayakan hidup, dan kondisi ini semakin membuat
ketimpangan taraf hidup.
Kunjungan saya ke Batang beberapa kali dalam 6 bulan terakhir membuka
mata saya bahwa kapital-kapital itu yang pada akhirnya mereguk
keuntungan. Alas Roban, sebuah pantai dengan perkampungan nelayan,
hasil tangkapan laut segar yang saya coba sendiri, menjadi kawasan yang
mungkin akan terancam dengan kehadiran PLTU. PLTU dalam masa
pembangunannya butuh pengerukan dasar laut yang merusak ekosistem
laut. Dalam masa pembakarannya, limbah air panas dalam jumlah besar
akan dibuang ke laut dan menambah kerusakan ekosistem. Nelayan tidak
akan bisa mecari ikan dalam jarak dekat, atau mungkin mereka harus ke
Jakarta. Nelayan-nelayan itu tidak tahu apa itu PLTU, apa itu batubara.
Mereka adalah korban pertama dari megaproyek PLTU yang akan
dibangun di sana.
Konsorsium pembangun PLTU, Bhimasena, hari ini mengadakan sosialisasi
di Batang. Target mereka mungkin penduduk, yang akan menjadi korban

kedua dalam megaproyek PLTU ini. Saya kaget di sana, bahwa ada
penduduk yang mengatakan pembangunan PLTU akan membawa manfaat
dengan membawa ekspatriat ke Batang meski hanya selama 3 tahun.

Bangun, kawan. Bangun, warga Indonesia. Banggakah kita dengan
kedatangan para tenaga asing yang kemudian hanya akan membawa
penjamuran lokalisasi? Dollar mungkin mengalir, namun lestarikah itu?
Sehabis kenyang hari ini, habis esok hari. Bukan itu manfaat sebenarnya.
Bahkan dalam MDG’s atau Millennium Development Goals telah dikatakan
bahwa pembangunan yang harus dilakukan adalah pembangunan yang
berlangsung terus menerus, tanpa menghabiskan sumber daya alam,
tanpa merusak lingkungan. Sementara PLTU, nantinya akan
menerbangkan partikel batubara, debu-debu beracun, menimbulkan hujan
asam, dan merusak kawasan laut. Saya juga sedih ketika melihat Pantai
Ujungnegoro, yang kemungkinan akan menjadi lokasi pembangunan PLTU
merupakan kawasan konservasi laut. Mengingatkan saya akan Taman
Nasional Batang Gadis, yang akan dialihkan lahannya menjadi
pertambangan, membuat saya bertanya-tanya, kemana pemerintah kita?
Mungkin benar pernyataan seorang responden di sebuah talkshow di
Green Radio, para menteri, pegawai kehutanan, atau kementrian

lingkungan hidup, mungkin tidak pernah turun langsung di hutan,
mendaki gunung, dan hanya duduk di ruangan nyaman mereka, oleh
sebab itu mereka tidak mengerti masalah yang sebenarnya terjadi dengan
hutan kita!
Batubara adalah perusak hutan nomor satu di Kalimantan. Menurut
Kompas, 6 Desember 2011, konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) saat
ini (saat ditulis) mencapai 25,7 juta hektar. HPH diberikan untuk
perkebunan dan pertambangan. Binatang hutan, lingkungan hutan, dan
orang rimba merupakan korban ketiga dari megaproyek PLTU ini. Perlu
diperhatikan penebangan hutan adalah sama sekali berbeda dengan
penanaman kembali. Saya tidak mengerti orang bodoh mana yang berhak
menyetarakan hal tersebut, tapi hutan purba memiliki spesies yang tidak
akan pernah kita miliki jika kita menanam sekedar pohon mangga di
sebuah lahan. Apa orang utan akan kembali setelah rumah mereka
digusur? Apa harimau Sumatera akan kembali beranak pinak di depan
pohon mangga yang diberi judul reboisasi? Berbeda, kawan! Kita bahkan
telah mempelajarinya sewaktu SD.
Korban keempat adalah petani. PLTU terbukti telah merusak banyak lahan
warga di berbagai daerah. Cilacap, contohnya. Batang memiliki potensi
pertanian dan mayoritas penduduknya selain nelayan adalah petani. Saya

sempat mengunjungi rumah warga yang di dalam sebuah rumah tinggal
beberapa keluarga. Dampak PLTU akan dirasakan oleh orang-orang ini.
Sawah mereka akan rusak oleh debu dan kualitas air yang menurun akibat
dampak PLTU. Mereka tidak mengerti tentang investasi, hanya untuk
makan hari ini sudah membuat mereka bersyukur.
Aku bersamamu orang-orang malang, kata Soe Hok Gie. Para kapital di
atas kursi kerajaan mereka tidak akan pernah mengerti penderitaan kita.
Kita tidak merasakan dampaknya sekarang, atau esok, satu-dua hari.
Nanti, saat pembangunan mulai terlaksana, saat debu itu mulai
beterbangan, saat laut kita mulai rusak, saat padi itu tak bisa merunduk

dan dimakan. Aku bersamamu orang-orang malang. Perjuangan membuat
kita kuat, tak peduli apa yang kita gunakan. Gandhi hanya menggunakan
garam untuk membuat India merdeka, dan ia menang. Kita akan menang,
tidak perlu takut. Aku bersamamu orang-orang malang, korban-korban
sebenarnya dari arus listrik dan terangnya yang membutakan.
…Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak
dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata (UU Perlindungan LIngkungan
no. 32 Tahun 2009 Pasal 66)