NAFS SEBAGAI KONSEP KEPRIBADIAN MANUSIA

Fiya Ma’arifa Ulya
13710071

Nafs Sebagai Konsep Kepribadian Manusia dalam Al Qur’an
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan tujuan mulia (QS. Al Baqarah: 30)
. Karena itu, dia bukanlah sekedar makhluk yang mudah dianalisis dengan teknik-teknik ilmiah
dan empiris. Selain memiliki susunan organo-biologis, manusia juga memiliki aspek-aspek
nafsiologis-filosofis yang sulit diramal dan terkadang sulit untuk dipahami. Seperti konsep Al
Ruh, Al ‘Aql, Al Nafs, dan Al Fitroh. Manusia bukanlah makhluk bertipe penurut. Tidak jarang
ia congkak dengan kemampuan “manusiawi” nya, dan sering pula ia menjadi lemah tak berdaya.
Dari situlah terbentuk dinamika kepribadian manusia, beserta emosi-emosi yang mengikutinya.
Kecenderungan manusia adalah tidak pernah stabil. Situasi dan kondisi yang demikian cukup
menyulitkan para pakar, pada khususnya dan juga kita, untuk menemukan kesatuan “pandangan”
tentang manusia. Nafsiologi adalah jawaban untuk membicarakan nafs dengan segala
kemampuannya, baik potensi maupun aktualita.
Baharuddin dalam bukunya mengatakan bahwa Al nafs sebagai elemen dasar psikis
manusia. Elemen berarti bagian fundamental, yaitu bagian pokok dari sesuatu. Elemen adalah
prinsip dasar atau prinsip pertama. Dalam kaitannya dengan stratifikasi jiwa, bahwa elemen jiwa
berarti sisi jiwa yang menjadi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia.1
Al nafs sebagai elemen dasar psikis manusia mengandung arti Al nafs sebagai satu dimensi jiwa

yang memiliki fungsi dasar dalam susunan organisasi jiwa manusia. Karena ia mampu mewadahi
dan menampung dimensi-dimensi lainnya seperti Al ‘aql, Al qalb, Al ruh, dan Al Fitroh. Pun
secara esensial juga mewadahi potensi-potensi dari masing-masing dimensi psikis, berupa
potensi taqwa (baik, positif), dan potensi fujur (buruk, negatif).
Sedangkan para sufi, mendefinisikan nafs sebagai dimensi manusia yang berada diantara ruh dan
jism. Ruh membawa cahaya (nur) dan jism membawa kegelapan (zulm). Perjuangan spiritual
dilakukan untuk mengangkat jiwa menuju ruh dan melawan berbagai kecenderungan jism yang

Baharuddin. Paradig a Psikologi Isla i “tudi te ta g Ele e Psikologi dari Al Qur’a . Cet 2 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 91-92

1

1

rendah. Jadi, hubungan psikis manusia dipahami dengan hubungan konflik antara ruh dan jism.
Kemudian, diantara konflik tersebut muncul Al nafs.2
Ada dua ayat dalam Al Qur’an yang mendukung bahwa manusia sebagai makhluk yang tersusun
dari kesatuan totalitas nafsio-fisik. Yaitu QS. Al A’raf: 189, “Dia-ah yang menciptakan kalian
dari suatu nafsin wahidah, dan menjadikan dari padanya jodoh baginya…”. Serta QS. Al An’am:

2, “Dia-lah yang mencipta kalian dari tanah, lalu menentukan ajal (batas)…”.
Nafsin wahidah dalam ayat tersebut diartikan sebagai suatu bahan baku yang hakikatnya tidak
dapat diketahui, dan dari bahan tersebut manusia dicipta secara spesial. Ketika manusia
diorbitkan sebagai suatu nafs, Allah mengumumkan bahwa manusia sebelum itu adalah sesuatu
yang tidak dapat disebut (QS Al Insan: 1). Nafsin wahidah itulah yang diproses dalam
kandungan wanita bersama dengan unsur tanah. Maka dari itu, sejak tahap zigot, terbentuklah
embrio manusia yang akan tumbuh sebagai totalitas makhluk hidup nafsio-fisik yang tercipta
dari suatu nafsin wahidah dan dari suatu unsur tanah dan air.3
Dengan demikian, nafsil-insaniah (kepribadian manusia) dalam perkembangannya tidak pernah
tampil sebagai nafs tanpa fisik, atau fisik tanpa nafs. Aktivitas nafs tanpa fisik adalah imajinasi
(khayal), sedangkan aktivitas fisik tanpa nafs adalah robot. Hanya maut yang dapat memisahkan
nafs dari fisiknya.4
Nafs dalam Al Qur’an
Kata Nafs dalam Al Qur’an digunakan dalam berbagai bentuk dan aneka makna. Kata Al
nafs dijumpai sebanyak 297 kali, masing-masing dalam bentuk mufrad (singular) sebanyak 140
kali, sedangkan dalam bentuk jamak terdapat dua istilah, yaitu nufus sebanyak 2 kali dan anfus
sebanyak 153 kali, serta dalam bentuk fi’il sebanyak 2 kali. Kata Al nafs dalam Al Qur’an
memiliki aneka makna, susunan kalimat, klasifikasi, dan objek ayat.5
Sebagian besar istilah nafs dalam Al Qur’an mengandung makna “diri manusia”. Dalam
konteks pembicaraan tentang manusia, nafs menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri

manusia yang menghasilkan tingkah laku yang pada gilirannya juga akan mengubah tingkah

2

Ibid, hlm. 93
Sukanto Mm & A. Dardiri Hasyim. Nafsiologi Refleksi Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia. Cet 1
(Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 40
4
Ibid, hlm. 40
5
“ele gkap ya dapat dilihat dala Tabel Al afs dala Al Qur’a ya g ada di la pira .

3

2

laku. Al Qur’an menggunakan kata nafs dalam empat pengertian, yaitu 1) dalam pengertian
nafsu, 2) nafas, 3) jiwa, dan 4) diri, keakuan.6
Nafs dalam pengertian nafsu seperti yang disebut dalam QS. Yusuf: 53, “Dan aku tidak
mmbebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada

kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. Sementara itu, nafs dalam pengertian nafas atau nyawa,
seperti yang tersebut dalam QS. Ali Imran: 185, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.
Ada perbedaan pendapat dalam mengartikan nafs pada ayat tersebut. Sayyid Quthb
menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan nafs yang mengalami hidup dan mati, setiap nafs
(yang berjiwa) akan mati. Sedangkan Ar Razi menjelaskan bahwa kematian itu berkaitan dengan
tubuh, karena jiwa (nafs) maupun ruh tidak mengalami kematian. Maka, dalam kaitannya dengan
kematian tubuh, nafs disini diartikan sebagai nafas atau nyawa. Karena nyawa merupakan tanda
adanya kehidupan (al hayat), kemudian ditandai dengan lenyapnya nafas, nyawa, lalu diikuti
dengan hilangnya unsur panas, air, dan tanah yang berkumpul kembali dengan alam asal
kejadiannya.7
Sementara itu, sehubungan dengan nafs dalam pengertian jiwa, dalam QS. Al Fajr: 27-30,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhoiNya.
Maka, masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba Ku, dan masuklah ke dalam surgaKu”.
Nafs dalam ayat ini diartikan sebagai jiwa karena nafs disini berkaitan dengan ketenangan, yang
sebaiknya


kita

pahami

sebagai

keadaan-keadaan,

aspek-aspek,

watak-watak,

atau

kecenderungan-kecenderungan dari pribadi manusia yang bersifat mental bukan fisikal.
Selanjutnya, Al nafs dalam pengertian keakuan atau pribadi adalah totalitas dari diri
manusia (makhluk nafsio-fisiologis). Pernyataan “aku” adalah pernyataan total tentang diri
manusia. Keakuan muncul ketika kesadaran manusia tentang dirinya terbentuk dan bermula sejak
bentuk manusia yang sempurna lahir, setelah tahap jasad, hayat, dan ruh terlampaui, menjadi


6
7

Musa Asy’arie. Ma usia Pe be tuk Kebudayaa dala
Ibid, hlm. 81

Al Qur’a . Yogyakarta: Lesfi, 99 , hlm. 80

3

sebuah eksistensi.8 Eksistensi manusia tersebut pada kelanjutannya sangat dipengaruhi oleh
faktor internal yaitu apa yang telah ada dalam potensi asal, dan faktor eksternal dari
lingkungannya. Perpaduan antara apa yang ada dalam diri manusia dan pengaruh eksternal akan
melahirkan kondisi jiwa yang berbeda-beda antara manusia satu dengan manusia lain. Bila
sesuatu yang sudah ada dalam jiwa itu bertemu dengan dunia eksternal yng positif, maka jiwa
akan bertumbuh kembang menjadi jiwa yang positif, sehat, dan kuat. Sebaliknya, bila kondisi
yang secara alami positif itu tidak mendapat dukungan positif dari lingkungan, maka jiwa
bertumbuh kembang tidak optimal. Sebagai contoh yaitu munculnya hawa nafsu atau syahwat,
dan karenanya akan lahir berbagai perbuatan yang negatif dan bahkan destruktif.9
Jika kualitas nafs (jiwa) itu baik, maka kecenderungannya adalah menggerakkan manusia

kepada perbuatan baik. Sebaliknya, jika kualitas nafs itu buruk, maka nafs cenderung
menggerakkan manusia kepada perbuatan yang buruk.10 Walaupun pada hakikatnya, potensi
positif lebih kuat daripada potensi negatif. Sebagaimana yang disampaikan oleh Quraish Shihab
dalam menafsirkan laha ma kasabat wa ‘alaiha maktasabat (Al Baqarah: 286) bahwa jiwa
manusia lebih mudah melakukan hal positif daripada melakukan hal yang negatif. Untuk itulah
manusia senantiasa dituntut untuk memelihara kesucian nafs-nya dan jangan sekali-kali
mengotorinya.11
Disisi lain, Al Qur’an juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs dari segi tingkatantingkatan. Dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, sesuai
kecerahan dan kegelapan. Yaitu Nafs Al Muthmainnah (yang tenang), Nafs Al Lawwamah (yang
selalu mengecam dan menyesali kesalahan), Nafs Al- Ammarah bi Al-Suu’ (yang mendorong
manusia ke arah negatif).12
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Nafs Al Ammarah adalah nafsu biologis yang mendorong
manusia untuk melakukan pemuasan kebutuhan biologisnya. Atau nafs yang cenderung agresif
mendorong untuk memuaskan keinginan-keinginan rendah, dan menggerakkan pemiliknya untuk
melakukan hal-hal yang negatif. Sementara itu, Nafs Al Lawwamah adalah nafs yang mencela
dirinya karena melakukan perbuatan yang secara rasional tidak baik. Ia telah mau menyadari
8

Ibid, hlm. 79
Fuad Nashori Suroso. Potensi-Potensi Manusia seri Psikologi Islami. Cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),

hlm. 105
10
Ibid, hlm. 106
11
Baharuddi . Paradig a Psikologi Isla i…,…, hl .
12
Fuad Nashori Suroso. Potensi-Pote si Ma usia…,…, hl .

9

4

kesalahannya dan mencela kesalahan itu, karena memang sifat dasarnya adalah cenderung pada
kebaikan. Hanya saja, daya tarik terhadap keburukan lebih kuat. Sehingga, nafs dalam tingkatan
ini masih mudah terkecoh dengan daya tarik keburukan tersebut. Walaupun pada akhirnya ia
akan menyesali dan mencela dirinya. Sedangkan Nafs Al Muthmainnah merupakan nafs yang
cenderung kepada kebaikan, jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat.
Bahwa jika seseorang melakukan perbuatan baik, maka dia akan merasa tenteram dengan
perbuatan itu.
Tingkatan-tingkatan nafs yang ada dalam diri manusia tersebut juga dapat dipahami

melalui cara kerja ‘aql-qalb-nafs.
1. Nafs Al Muthmainnah dicapai seseorang bila qalbunya sehat (qalbun salim) yang
berisi keimanan yang aktif mendominasi jiwa seseorang, aql dalam keadaan
mendukung qalbu, dan nafsu dikendalikan oleh qalbu.
2. Nafs Al Lawwamah terjadi ketika qalbu yang masih beriman, aql maupun nafs secara
bergantian mendominasi jiwa seseorang.
3. Nafs Al Ammarah terjad pada saat seseorang didominasi oleh nafsunya. Sedangkan
qalbu dalam keadaan tak berdaya atau berpenyakit (qalbun maridl) bahkan dikunci
mati (qalbun mayyit), dan ‘aql melayani nafsu.
Menuju Kepribadian Insani
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa jiwa manusia lebih mudah
atau cenderung untuk melakukan hal-hal positif daripada melakukan perbuatan yang negatif.
Fitrah manusia adalah suci dan beriman.13 Karena itu, dalam kaitannya dengan kepribadian
insani, kita harus memaknai dulu apa yang disebut dengan insani dan bagaimana pula
hubungannya dengan basyar.
Manusia dalam pengertian insan, dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan
kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjuk pada dimensi alamiahnya, yang menjadi
ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan mati. Manusia dalam pengertian
basyar adalah manusia seperti yang tampak pada lahiriahnya, mempunyai bangunan tubuh yang
sama, makan dan minum dari bahan yang sama di alam ini, dan seiring dengan bertambahnya

usia kondisi tubuhnya akan menurun, menjad tua, dan pada akhirnya ajal menjemput.14

13
14

Hanna Djumhana Bastaman. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 91
Musa Asy’ari. Ma usia Pe be tuk Kebudayaa …,…, hl .

5

Agar menjadi manusia yang sadar akan potensi insaniahnya yang pada selanjutnya dapat menjadi
kepribadian insaniah, maka dalam eksistensinya sebagai manusia ia harus selalu berusaha
menjaga sifat dasar asalnya yaitu cenderung kepada kebaikan, dan merawat ruh positifnya
supaya menjadi mukmin yang sebenar-benarnya, yang termanifestasikan sebagai khalifah dan
‘abd.

‘Aql

Qalb


Nafs

Ruh
Jism

6

DAFTAR PUSTAKA
Asy’ari, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Qur’an. Yogyakarta: Penerbit
Lesfi.
Baharuddin. 2007. Paradigma Psikologi Islami Studi tentang Elemen Psikologi dari Al Qur’an.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Intergrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hasyim, A. Dardiri & Sukanto Mm. 1995. Nafsiologi Refleksi Analisis Tentang Diri dan Tingkah
Laku Manusia. Surabaya: Risalah Gusti.
Nashori, H. Fuad. 2005. Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

7