Memori Kultural Konflik dan Media (1)

2013

Memori Kultural, Konflik, dan Media
Studi Kasus:
Pertikaian Indonesia dan Malaysia atas Ikla
Gilang Desti Parahita

E ig atic Malaysia

Juni, 2013
Jurusan Ilmu Komunikasi
FISIPOL
Universitas Gadjah Mada
parahita.gilang@gmail.com
Abstract
THIS essay proposes that:
1)
intercultural communication that is exclusively based on cultural
memory – which is asymetrical— can lead to intercultural conflict. In the context of
2009 Indonesian-Malaysian dispute, the conflict substance is the cultural memories
that are experienced by Indonesian and Malaysian are different.

2)
The intercultural conflict might be aroused by mainstream media that
uses the past conflict –stored in cultural memory— in framing international news. On
the other hand, the new media media is involved in intercultural conflict by its
capability in mediating conflict, being a conflict tool, preserving conflict, and
becoming the material of conflict memory itself.
Keywords: memori budaya, pertikaian antar budaya, Internet

KONFLIK antar budaya adalah inkompabilitas nilai-nilai, harapan-harapan, proses-proses,
atau hasil-hasil yang diyakini atau dilakukan oleh dua pihak dari dua budaya yang berbeda
atas isu-isu substantif atau relasional (Ting-Toomey, 1994). Definisi tersebut menunjukkan
tiga ciri dari konflik antarbudaya seperti yang dipaparkan Stella Ting-Toomey dan Leeva
Chung (2012):
1) Melibatkan persepsi antar budaya yang terlihat melalui kacamata etnosentrisme dan
stereotip;
2) Persepsi etnosentris menambah bias dan prasangka pada proses konflik;
3) Proses atribusi kepada konflik diperumit dengan gaya konflik secara verbal dan nonverbal yang dilatari oleh perbedaan latar belakang budaya.
Pada makalah ini penulis mengajukan dua dugaan terhadap konflik antar budaya
yang termediasi. Dugaan pertama adalah bahwa konflik dapat terjadi manakala pihak-pihak


1

2013
yang terlibat berkomunikasi bertolak dari memori kultural yang berbeda atau asimetris. Hal
ini dapat dijelaskan oleh fenomena konflik people to people antara Indonesia dan Malaysia
yang sesungguhnya adalah dua negara dengan akar leluhur dan kebudayaan yang sama
namun berkembang menjadi dua negara yang berbeda dan mengembangkan memori
kultural yang berbeda. Dugaan ini berada pada level substansi dari konflik antar budaya.
Dugaan berikutnya berada pada level cara berkomunikasi. Berbagai teori konflik
antar budaya menjelaskan penyebab konflik tersebut melalui perspektif yang berbeda, salah
satunya adalah teori kesalahpahaman budaya yang berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang
berbeda (Widiastuti, 2011; Ting-Toomey, 1994). Cara berkomunikasi di sini diterjemahkan
penulis sebagai strategi komunikasi yang tidak hanya mencakup kanal komunikasi yang
digunakan (tatap muka, atau termediasi oleh media atau simbol) melainkan juga gaya
berkomunikasi (linear, kontinum, kontekstual).
Pada level cara berkomunikasi ini, penulis mengajukan dugaan bahwa Internet
berpeluang menjadi media yang meredam atau meningkatkan eskalasi konflik manakala
Internet digunakan oleh para netizen Indonesia dan Malaysia untuk mempresentasikan,
menyimpan, dan mengarsipkan persamaan atau perbedaan memori kultural kedua belah

pihak.
Untuk membuktikan dugaan-dugaan tersebut, penulis akan menggunakan dua
strategi. Pertama, memaparkan keyakinan-keyakinan teoritik yang bertolak dari teori-teori
media, memori kultural, dan konflik.
Kedua, menggunakan contoh konflik antara netizen Indonesia dan Malaysia yang
terjadi di Youtube Dotcom, situs pengunggah gambar bergerak, khususnya pertikaian
netizen kedua negara tersebut atas video berita tentang dipakainya Tari Pendet pada iklan
E ig ati Malaysia . Konflik yang dimaksud di sini tidak dalam arti kontak fisik melainkan
pertikaian verbal dan simbolik di antara kedua belah pihak. Pertikaian itu dipilih karena
melibatkan orang-orang yang berasal dari dua negara dan isu yang dipertikaikan (seni
tradisi) erat dengan identitas kebangsaan.

2

2013
Memori kultural, Komunikasi, dan Konflik
Penulis mengajukan dugaan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjebak pada
penggalian memori kultural masing-masing kelompok budaya akan menyebabkan konflik
antarbudaya. Dugaan tersebut berangkat dari dua premis yaitu:
1) Setiap kelompok budaya mengkonstruksi memori kulturalnya masing-masing.

Akar pemikiran memori kultural adalah memori kolektif. Istilah memori
kultural yang digunakan di sini berakar dari istilah yang digunakan oleh Maurice
Halbwach yaitu memori kolektif. Berikut ini adalah basis-basis pemikiran Halbwach
(1950) (dalam Neiger, et.al, 2011) tentang memori kolektif:
a. Memori kolektif dikonstruksi secara sosio-politik.
Memori kolektif tidaklah berarti menghadirkan fakta-fakta otentik masa lalu secara
bersama, melainkan salah satu versi masa lalu yang diseleksi untuk diingat oleh
kelompok tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dan membentuk persepsi diri
kelompok tersebut. Memori didefinisikan dan dinegosiasikan dalam lingkungan
kekuatan dan agenda politik tertentu.
b. Konstruksi memori kolektif berlangsung terus menerus dan dalam proses
multidireksional.
Proses membentuk memori kolektif tidaklah linear maupun dalam urutan logis
melainkan dinamis dan kontingen (banyak kemungkinan). Peristiwa dan keyakinan
hari ini membimbing pembacaan kita atas masa lalu dan pada saat yang sama skema
dan kerangka referensi yang dipelajari dari masa lalu membantu memahami hari ini.
c. Memori kolektif bersifat fungsional.
Suatu kelompok menggunakan memori kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu misalnya membangun kebersamaan, menentukan mana kawan mana 'the
other', bahkan mengenang masa lalu untuk menunjukkan pelajaran moral dari suatu

kegagalan.
d. Memori kolektif harus dikonkretkan.
Memori kolektif adalah konsep teoretis yang banyak membahas ide-ide abstrak
namun untuk membuatnya fungsional konsep tersebut harus dikonkretkan dan
dimaterialkan melalui struktur fisik dan artefak kultural seperti ritual peringatan

3

2013
(commemorative rituals), monumen-monumen, museum-museum sejarah, Internet,
dan banyak lagi.
e. Memori kolektif adalah narasional atau dikisahkan.
Memori haruslah terstruktur dalam pola budaya yang familiar. Pada banyak kasus,
memori kultural mewujud pada narasi yang terkenal, dimulai dari permulaan kisah,
perkembangan peristiwa, dan akhir cerita, juga ada tokoh protagonis dan antagonis.
Lebih dari itu, perujukan ke masa lalu juga melahirkan pelajaran-pelajaran moral
yang membimbing dan menunjukkan jalan bagi komunitas yang sekarang.
Terlihat dari basis-basis pemikiran Halbwach bahwa memori kolektif berada
di tingkat intersubjektif, politis, dan dikomunikasikan secara simbolik dengan
menggunakan artefak-artefak (dikonkretkan) atau disampaikan secara verbal

(dinarasikan). Pemikiran Maurice Halbwach tersebut dikembangkan oleh Jan Assman
(2008) dan Astrid Erll (2008). Alih-alih mengganti istilah memori kultural
Halbwachian dengan istilah lain, Assman (2008:110) membagi cara mengingat (ways
of remembering) pada memori kultural ke dalam dua dimensi, yaitu memori
komunikatif dan memori kultural. Memori komunikatif adalah sesuatu yang dihayati
oleh sejumlah orang dan membentuk sejumlah orang menjadi suatu kolektivitas
budaya atau identitas (Assman, ibid); sedangkan memori kultural adalah segala
bentuk tradisi, transmisi, dan transferensi yang memungkinkan suatu memori
berpindah pada intragenerasi maupun intergenerasi (Assman, ibid).
Sementara itu, Astrid Erll (2008:3-8) menggagas untuk menggunakan istilah
memori kultural daripada memori kultural karena ia menyadari bahwa memori tidak
hanya merujuk pada artefak, melainkan pada tingkatan pengingatan (individual dan
kolektif), dan cara mengingat itu sendiri, misalnya: perang dapat diingat sebagai
perlawanan atau pendudukan. Memori kultural ditegaskan oleh Erll (2008:110)
bertolak dari teori-teori antropologis dan semiotik sehingga menurutnya memori
kultural mencakup aspek sosial (orang atau sekelompok orang), material (artefak
dan media) dan mental (cara mengingat) dari suatu memori sehingga istilah tersebut
mampu menunjukkan keeratan hubungan antara memori dengan konteks
sosiokultural di mana memori itu hidup.


4

2013
Pendapat Maurice Halbwach, Jan Assman dan Astrid Erll tersebut
menunjukkan konsistensi tentang apa yang disebut dengan memori kultural atau
kultural yaitu bahwa memori kultural dikonstruksi oleh suatu masyarakat secara
sosiopolitik yaitu melalui praktek komunikasi, kebijakan politik, maupun penciptaan
material dengan berbagai tujuan sosial dan politik, misalnya untuk menciptakan
garis batas in-group dan out-group maupun identitas suatu kelompok.
2. Memori kultural digunakan dalam komunikasi antar budaya.
Memori kultural digunakan dalam komunikasi karena beberapa faktor.
Pertama, memori telah disadari sebagai salah satu elemen keberhasilan dalam
komunikasi. Hal itu ditunjukkan oleh berbagai teori komunikasi. Pada Teori Aksi
Berbasis Tujuan, memori jangka panjang –dalam sense psikologis— menjadi dasar
untuk mengambil sikap dan tindakan (Griffin, 2012:103). Selain itu, memori dengan
jelas menjadi elemen yang penting pada tradisi retorika bahkan menjadi salah satu
cabang studi retorika sebab pembicara yang baik menurut Aristoteles adalah
pembicara yang mampu menggugah gagasan-gagasan dan frasa-frasa yang
tersimpan dalam pikiran (memori) audiens (Griffin, 2012:296).
Kedua, memori hadir melalui bahasa. Bahasa sebagai sarana komunikasi

merupakan residu dari masa lalu. Hal itu didasarkan pada Olick dan Robins (1998)
yang menyitir Assman (2002) bahwa residu dari masa lalu nampak pada bahasa dan
komunikasi, termasuk di sini kemampuan untuk mengkomunikasikan memori.
Dengan kata lain, komunikasi merupakan cara untuk mendapatkan kembali (retrieve)
memori dan bahasa atau media komunikasi lainnya (film, musik, foto, media cetak,
bita, Internet, dsb.) menjadi cara untuk mendapatkan kembali (retrieval) maupun
penyimpanan (storing) dan pengarsipan (archiving) memori.
Ketiga, khususnya untuk komunikasi antarbudaya, memori digunakan untuk
menarik garis batas pemisah di antara dua grup: this is my group, you are the other.
Assman (2008:109) menegaskan memori memungkinkan bagi kita untuk hidup pada
suatu kelompok dan komunitas, dan hidup pada suatu kelompok dan komunitas
memungkinkan kita untuk menciptakan sebuah memori. Artinya, memori
dikonstruksi oleh suatu kelompok untuk mendefinisikan kolektivitas kelompok itu
sendiri. Olick dan Robins (1998:123-124) menunjukkan bahwa memori berhubungan

5

2013
dengan suatu pengelompokan orang (ke sebuah komunitas hingga bangsa-negara)
karena bagaimana kita mendapatkan identitas personal dan sosial dilakukan salah

satunya dengan mengkostruksi masa lalu di berbagai lingkungan sosial. Singkatnya,
pemanggilan (recalling) ke memori kultural dilakukan untuk mempertegas batasbatas kelompok budaya pada proses komunikasi.
Pada bagian ini penulis telah menunjukkan dua premis yaitu:
1) Setiap kelompok budaya mengkonstruksi memori kulturalnya masing-masing.
2) Memori kultural digunakan dalam komunikasi antar budaya.
Kedua premis tersebut menunjukkan perbedaan memori kultural yang digunakan dalam
berkomunikasi antar budaya namun konflik antarbudaya belum tentu terjadi. Oleh karena
itu, premis lain yang ditambahkan oleh penulis adalah:
3) Kelompok budaya yang berkomunikasi dengan memilih memori kultural tertentu
yang bernada negatif atas kelompok lain akan berkonflik dengan kelompok budaya
lain.
Komunikasi bukanlah resolusi konflik. Komunikasi hanyalah alat untuk
menyelesaikan konflik. Resolusi konflik yang sesungguhnya terletak pada substansi
konflik dan keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara memoderasi
ketidaksepakatan antara pihak-pihak yang terlibat (Krauss dan Morsella, 2006). Bisa
jadi, komunikasi justru digunakan untuk mempertajam konflik karena dengan begitu
musuh bersama (common foe) tercipta sehingga semakin memperkental identitas
kelompok dari pihak-pihak yang bermusuhan (Krauss dan Morsella, 2006).
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat menggunakan memori untuk
mempertajam konflik yang ada dan memperkuat keberpihakannya. Ronald J. Fisher

(2006:181-182) menyatakan bahwa sebagai bagian dari kerangka kognitif dan
persepsi manusia, memori menjadi sumber konflik karena memori menyimpan
stereotip-stereotip yang tidak akurat, serampangan, dan berlaku semena-mena
kepada semua anggota kelompok yang dimaksud. Ia menuturkan sebagai berikut:
Groups in conflict tend to develop negative stereotypes of each other—
oversimplified, inaccurate, rigid, and derogatory beliefs about the characteristics
of the other group that are applied indiscriminately to all the individuals in that
group. These come about partly through the processes of group categorization,
which exaggerate the differences between groups and the homogeneity of the outgroup. However, they also come about through selective perception and memory

6

2013
retrieval, by which qualities and behaviors that fit the stereotype are accepted and
retained, while those that do not are rejected.

Jadi, menurut Fisher (2006), tidak hanya stereotip itu tersimpan di memori individu
atau kolektif sehingga konflik semakin meruncing, melainkan individu atau kolektif
itu memilih untuk memanggil (retrieve) memori yang mengandung stereotip negatif
atas pihak lain untuk memperpanjang konflik, atau pihak tersebut memilih memori

yang mengandung stereotip positif atas pihak lain untuk mengakhiri konflik. Dengan
demikian, kontributor yang paling berpengaruh dalam eskalasi konflik adalah pilihanpilihan yang dibuat oleh para pihak yang terlibat, bukan pada pilihan-pilihan yang
tersedia.
Pada aspek bahwa memori kultural suatu kelompok budaya berpeluang
menjadi referensi bagi suatu kelompok untuk menyerang kelompok budaya lain,
penulis setuju. Namun penulis meragukan bahwa memori kultural tersebut selalu
mengandung dua pilihan yaitu bernada negatif atau positif ke kelompok budaya lain.
Bisa jadi, sosialisasi memori antar generasi yang berlangsung adalah sosialisasi
memori yang selalu bernada negatif ke kelompok budaya lain sehingga pilihan untuk
stereotip positif tidak tersedia. Ketika hal terakhir tersebut yang berlaku, kelompok
budaya yang membatasi diri untuk menggali memori kulturalnya untuk
berkomunikasi dengan kelompok budaya yang lain akan terus berkonflik dengan
kelo pok udaya ya g

e jadi

usuh ersa a .

Pada level etik, penulis menyarankan bahwa penyelesaian konflik hanya akan
tercapai apabila ada keinginan dari kelompok-kelompok yang bertikai sehingga
memori kultural apa pun yang membentuk komunitas tersebut terdekonstruksi
menjadi memori kultural yang mengarah ke perdamaian.

Pada subbab ini penulis telah memaparkan bahwa komunikasi antarbudaya yang
terjebak pada penggalian memori kultural masing-masing kelompok budaya akan
menyebabkan konflik antarbudaya apabila memori kultural tersebut tidak menampilkan
stereotip positif atas kelompok budaya lain dan apabila kelompok budaya tersebut tidak
memilih untuk berdamai. Sebab, pada akhirnya memori kultural toh juga dikonstruksi secara

7

2013
sosio-politik meski tidak mudah pada era ekologi media yang tersaturasi ini memori kultural
akan terpelihara secara stabil dan terpusat pada wacana-wacana publik.
Media, Berita Internasional dan Memori kultural
Pada bagian ini penulis membangun basis-basis teoritik untuk menunjukkan bahwa:
Pertama, media massa Indonesia memiliki peran pada konflik Indonesia-Malaysia. Ko flik
dengan tanda kutip digunakan di sini karena secara formal dan objektif hubungan bilateral
antara Indonesia-Malaysia adalah damai (peace) sehingga peran yang diharapkan dilakukan
oleh media adalah memelihara perdamaian1. Pada konteks berita media atas tayangan iklan
E ig ati

Malaysia

uka lah

edia secara khusus melakukan rekonstruksi memori

kultural (karena media tidak menampilkan peristiwa yang sudah lalu sebagai fokus utama
beritanya), melainkan media menggali memori kultural untuk merekonstruksi peristiwa yang
terjadi di masa sekarang dengan merujuk atau didasari oleh memori kultural suatu
kelompok budaya.
Kedua, media baru menjadi ranah bagi warga Indonesia dan Malaysia untuk
menampilkan aspirasi dan opini yang berbeda (dissenting) maupun sama dengan mediamedia arus utama sehingga yang terjadi adalah keberagaman aspirasi pada ranah publik
maya. Pada konteks konflik antar budaya itu, media baru menjadi ruang untuk warga
Indonesia-Malaysia untuk turut serta dalam mengusahakan perdamaian atau memperparah
konflik .
Ketiga, ko flik ya g erla gsu g di ra ah ko u ikasi pu lik i ter al I do esia
maupun Indonesia-Malaysia tercipta dikarenakan wacana-wacana publik di media massa
(Indonesia) dan di dunia maya saling mempengaruhi. Hal itu bermula dari media massa
Indonesia menggunakan memori kultural Indonesia untuk menggali potensi konflik sehingga
meningkatkan sensasionalitas berita. Media baru kemudian menjadi ranah konflik antar
budaya yang sesungguhnya karena keterbukaan media baru bagi seluruh publik global untuk
berdebat.
Poin pertama dan poin kedua bertolak dari pemikiran Eytan Gilboa (2009) bahwa
peran media pada konflik harus mencermati perbedaan karakteristik antara media massa

1

Namun, peran memelihara perdamaian itu tampaknya tidak sedang dilakukan oleh media-media arus utama
(elektronik dan cetak) di Indonesia pada kurun waktu 2009 sehingga yang terjadi adalah media-media arus
uta a I do esia
e i u protes-protes publik dan kekerasan simbolik yang dilakukan oleh warga Indonesia
terhadap Malaysia.

8

2013
dan media baru. Perbedaan karakteristik tersebut menimbulkan peran unik media terhadap
prevensi, pengelolaan, resolusi, dan resolusi konflik meski secara umum fungsi-fungsi media
kurang lebih sama yaitu berita, interpretasi, transmisi budaya, hiburan, dan mobilisasi
(Gilboa, 2009). Gilboa menggambarkan bagaimana media konvensional dan media baru
dapat berperan fungsional dan disfungsional pada tipe konflik, tahapan konflik dan level
konflik ke dalam kerangka analisis sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka analisis peran media pada resolusi konflik menurut (Gilboa, 2009).

Poin ketiga bertolak dari pemikiran Simon Cottle (2006) mengenai ekologi media
kontemporer dan dampaknya pada mediasi konflik (conflict mediatised). Menurut Cottle
(2006:49-51), media baru terutama Internet saat ini telah berimplikasi pada terciptanya
ekologi

edia ya g tidak ha ya

ekologi media pra-I ter et
dispersed o

u i atio

e gako odir top-dow

elai ka

top-dow

o

o

u i atio

u i atio

seperti pada

sekaligus horizontal and

sehingga yang selanjutnya terjadi adalah difusi kepentingan dan

identitas dan terciptanya bentuk-bentuk baru pengorganisasian dan ekspresi politik. Hal itu
digambarkan Cottle dengan figur sebagai berikut:

9

2013

Gambar 2. Ranah media (ranah publik dan layar publik) (Simon Cottle, 2006).

Cottle (2006) menggunakan istilah layar publik (public screens) untuk menyebut ranah
komunikatif yang tercipta pada media arus utama seperti yang terlihat pada bagian atas
Gambar 1. Jejaring publik menjadi sumber pemberitaan sekaligus menjadi pihak yang
menandingi (counter) representasi pada media arus utama. Media alternatif, agensi berita
diasporis, dan media baru seperti Internet menjadi ranah lainnya untuk menciptakan pesan
tandingan itu.
Pada konteks konflik Indonesia-Malaysia, media massa (baca: media elektronik
Indonesia) menjadi media yang pertama kali membentuk opini publik atas tayangan iklan
E ig ati Malaysia yang kemudian mengarah pada kesalahpahaman antar budaya. Media
arus utama tersebut, mengikuti penjelasan Cottle (2006), me iptaka

ko flik a tar

budaya melalui framing yang dilakukannya yaitu fra i g kriminalisasi pe e pata salah
satu pihak sebagai penjahat/kriminal da

ikti isasi (penempatan salah satu pihak

sebagai korban). Akar dari framing kriminalisasi dan viktimisasi tersebut adalah penggalian
media pada memori kultural Indonesia atas Malaysia. Dengan kata lain, memori konflik

10

2013
Indonesia-Malaysia turut membentuk bagaimana media mengkonstruksi peristiwa yang saat
ini sedang terjadi.
Sebelum membahas studi kasus konflik antar budaya termediasi antara Indonesia
dan Malaysia, pada bab ini penulis akan memaparkan lebih lanjut hubungan memori konflik
suatu kelompok budaya dengan pemberitaan media arus utama pada berita internasional
dan bagaimana media baru menjadi media untuk memberi suara alternatif atas laporan
media arus utama, sekaligus menjadi ranah maya untuk konflik antar budaya.
1) Memori kultural pada berita internasional di media arus utama
Pada esai ini, penulis mengajukan gagasan bahwa memori kultural menjadi
sumber sensasionalitas berita internasional manakala pada memori kultural tersebut
telah menyimpan memori konflik antar budaya yang terjadi di masa lalu. Memori
kultural yang berada pada kerangka mental, material, maupun sosial, digali secara
mental maupun organisasional oleh para jurnalis dan redaksional untuk terlibat
dalam rekonstruksi peristiwa masa kini maupun perstiwa di masa lalu (Neiger, et.al.,
2011). Berdasarkan Teori Framing, sebagai bagian dari masyarakat, para jurnalis dan
redaksi media mengasumsikan, memenuhi, dan mengelola harapan-harapan audiens
ke dalam framing media (Entman, 1993). Ketika produser berita mengasumsikan apa
yang penting bagi audiens mereka dan strategi pengemasan apa yang akan
ditempilkan dalam berita, disadari atau tidak dramatisasi berita mungkin sedang
berlangsung. Ketika ya g pe ti g itu digali pada memori kultural suatu kelompok
budaya di mana media itu hidup, bukan tidak mungkin kerangka kolektif yang
berisikan konflik muncul dalam framing media.
Mengapa ingatan kolektif yang berisikan konflik itu muncul di media?
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa didasarkan pada dua teori, yaitu:
a. Teori it bleeds, it leads. Teori tersebut bertolak dari adagium bahwa berita yang
baik adalah berita yang menggambarkan sesuatu kejadian atau fenomena yang
buruk,

ad

ews is a good

ews , seperti kejahatan, terorisme, kelaparan,

kematian, kekerasan, dan termasuk di sini adalah konflik (Johnson, 1996).
Berdasarkan teori ini, ketika peristiwa yang terjadi adalah penggunaan tarian
Indonesia pada iklan wisata Malaysia, media mengungkit konflik IndonesiaMalaysia di masa lalu u tuk

e jadika peristi a ki i terse ut er itarasa bad

11

2013
ews . Teori ini berhubungan erat dengan teori sensasionalitas berita. Pada
diskursus sensasionalisme berita, para sarjana berdebat apakah sensasionalitas
berita hadir secara inheren sebagai konsekuensi dari berita yang sejak semula
merangsang emosi (Vettehen 2006), atau sensasionalitas itu adalah hasil dari
fabrikasi media (Millburn and McGrail, 1992; Plasser, 2005; Uribe and Gunter,
2007).
b. Teori familiaritas. Secara umum, media menggunakan masa lalu untuk
membantu memahami masa sekarang (Neiger, et.al.2011:5). Secara lebih
spesifik, masa lalu diungkit untuk menambah kadar familiaritas. (Berkowitz:
2011). Peristiwa yang sulit dipahami oleh publik seperti penembakan massal di
Virginia Tech mendorong media untuk menggiring audiens untuk mengingat
Holocaust (Berkowitz, 2011). Budaya media menuntut media menampilkan
sesuatu yang tidak akrab (unfamiliar) dengan sesuatu yang lebih akrab dalam
hal ini adalah Holocaust. Dengan kata lain, kapan Holocaust itu muncul
tergantung pada apakah konteks peristiwa-peristiwa kekinian yang terjadi
tepat untuk mengingat Holocaust (Berkowitz, 2011).
c. Teori sensasionalitas dan etnosenstrisme berita internasional. Pada beritaberita internasional, sensasionalisme seakan telah menjadi resep dasar untuk
mensukseskan berita atau tayangan. Ostgaard (1965) memaparkan bahwa
sensasionalisme secara inheren mempengaruhi arus berita internasional. Ia
menemukan di banyak hasil penelitian di Eropa dan Amerika bahwa banyak
media berita melebih-lebihkan berita luar negeri dan menggunakan interpretasi
yang tidak moderat, berpihak pada nasionalisme dalam negeri, atau mengalami
penafsiran yang tersimplifikasi berlebihan terhadap berita-berita hubunganhubungan luar negeri dan peristiwa-peristiwa internasional (Ostgaard 1965).
Prinsip-prinsip jurnalistik seperti keberimbangan dan edukasi publik seringkali
absen dari praktek penyusunan berita-berita internasional sehingga berita-berita
tersebut kekurangan penjelasan yang proporsional dan akhirnya dekontekstual
(Moeller, 1999). Sama halnya dengan yang terjadi pada berita-berita umumnya,
faktor

determinan

dalam

sensasionalitas

berita

internasional

adalah

pertimbangan ekonomi bahwa media berita dan agensi berita memilih peristiwa

12

2013
dan topik hubungan-hubungan internasional yang dianggap dapat merangsang
emosi pembaca dan bersaing di pasar sehingga meraih efisiensi finansial dan
profit maksimum (Moeller, 1999). Selain itu, etnosentrisme di ruang redaksi
memperkental sensasionalisme itu. Menurut Novais (2007), bias pada berita
internasional sulit dihindari karena bias yang bermula dari nation-centrism dan
ethnocentrism yang berlangsung selama proses editorial.
Ketiga teori tersebut dipadukan untuk menjawab mengapa memori kultural
yang negatif atas budaya lain digunakan oleh pemberitaan media. Jawaban
pertanyaan tersebut adalah karena media membutuhkan sesuatu yang akrab pada
skema interpretif audiens media bersangkutan sehingga media mengungkit masa
lalu untuk memframing peristiwa internasional. Dengan demikian, tak hanya berita
i ter asio al terse ut

e jadi le ih akra

pada ske a i terpretif audie s,

melainkan juga lebih menguntungkan media arus utama karena bernilai sensasional.
2) Media baru dan konflik antar budaya.
Internet memiliki karakteristik yang unik. Berbeda dari media konvensional,
Internet hampir tidak memiliki batas penyimpanan (space), merupakan moda
komunikasi yang sangat cepat, memungkinkan penggunaan fungsi-fungsi multimedia
dan interaktivitas, mencapai audiens yang sangat luas dari seluruh dunia, tidak
dibatasi oleh regulasi dan kendali terpusat, dan secara relatif lebih murah untuk
dipelihara (Gilboa, 2009: 98). Selain itu, situs web dan jejaring sosial telah menjadi
sumber informasi untuk media tradisional maupun untuk agensi-agensi berita global
(Gilboa, ibid).
Internet memberi peluang bagi para aktor negara dan non negara terutama
para aktor yang lemah dan miskin untuk bersuara (to voice the voiceless). Melalui
situs-situs web, negara-negara, kelompok-kelompok, gerakan-gerakan, organisasiorganisasi, dan individu dapat secara langsung menghadirkan diri mereka dan posisi
mereka di dunia maya, dan dapat menggali potensi dukungan dari berbagai macam
komunitas virtual untuk menyebarluaskan pesan-pesan mereka ke seluruh dunia
(Gilboa, 2009).

13

2013
Dengan karakteristiknya yang unik tersebut, Internet memiliki peran yang
unik pula terhadap konflik antar budaya, yaitu sebaga media konflik, dan alat
berkonflik antar budaya serta konservator konflik antar budaya.
a. Internet sebagai media dan alat konflik antar budaya.
Internet telah menjadi alat untuk berkomunikasi antar individu dan kelompok
dari berbagai latar belakang budaya di seluruh dunia (Pedersen, 2006) sehingga
konflik antar budaya terjadi di Internet (Walther, 2012). Walther (2012:138)
menyebut teori yang berkonsentrasi pada kurangnya petunjuk konteks sosial pada
komunikasi online. Teori tersebut mengklaim bahwa pengguna komunikasi
termediasi komputer (CMC) tidak memiliki petunjuk budaya dan norma-norma yang
berlaku tidaklah jelas sehingga orang cenderung berpusat pada dirinya sendiri dan
mengabaikan pihak lain (Walther, ibid). Hasil dari kecenderungan tersebut adalah
pemanasan (flaming) hubungan di antara kedua pihak, misalnya bahasa yang kasar
yang mendorong terciptanya iklim yang beracun pada relasi yang tumbuh di
Internet.
Internet sebagai sebuah media dan alat konflik antar budaya dibahas dalam
satu bagian yang sama karena kedua dimensi tersebut berhubungan. Internet
sebagai media konflik tidak hanya diartikan sebagai sebuah ruang atau kanal
(channel) komunikasi pada suatu konflik, melainkan juga sebagai alat dalam konotasi
senjata (weapon) dalam berkonflik, misalnya seperti yang dilakukan oleh oknumoknum netizen Indonesia yang meng-hack situs kementerian pariwisata Malaysia
beberapa waktu yang lalu (lihat lampiran 1 dan 2).
b. Internet sebagai konservator konflik antar budaya dan memori kultural konflik
Intenet menjadi konservator konflik antar budaya karena teknologi yang ada
di Internet memungkinkan hal itu. Konservator yang dimaksud adalah Internet
memungkinkan bagi pengguna untuk menyimpan (storing) dan mengarsipkan
(archiving) data dan karenanya memungkinkan pengguna untuk mengakses atau
mendaparkan kembali (retrieve) data tersebut. Oleh karena itu, tak mudah bagi
seseora g u tuk

e ghapus jejak ya di du ia

aya.

Cantoni dan Tardini (2006:57) menyebutkan bahwa teks elektronik pada
komunikasi termediasi komputer (CMC) bersifat persistent atau kekal. Persistensi ini

14

2013
dipahami dengan tiga cara, yaitu: (i) meninggalkan jejak karena teks elektronik
terekam dan terbaca kembali, (ii) suatu percakapan dapat bertahan dari segi durasi
dan dari segi percakapan tersebut bisa dirujuk atau merujuk ke percakapan yang lain
di hari yang lain, dan (iii) percakapan tersebut tersituasikan meliatkan individuindividu yang sama pada waktu dan kesempatan yang berbeda yang mampu terlibat
pada percakapan yang berlangsung pada kontinum yang panjang, mulai dari
percakapan basa-basi hingga percakapan yang sangat intim.
Sebagai medium yang persisten, Internet memungkinkan bagi suatu konflik
antar budaya yang berlangsung di dunia maya untuk terekam, selalu hadir, dan bisa
diungkit kapan pun, di mana pun (mobile) dan oleh siapa pun (dispersed) (Hebert,
2008) dikarenakan digitisasi telah menyebabkan temporalitas, spasialitas dan
mobilitas memori kultural bertransformasi menjadi sesuatu yang tidak stabil, bisa
ditulis dan ditulis ulang (write and rewrite) (Hoskins, 2009:93-95). Persistensi
komunikasi di Internet tersebut menjadikan Internet menjadi material dari memori
kultural itu sendiri

(Pentzold dan Sommer, 2011) dikarenakan persistensi juga

menjadi salah satu ciri pada memori (Olick dan Robbins, 2008: 113).

Pada subbab ini, penulis telah memaparkan media baru memiliki kontribusi pada
konflik antar budaya yaitu sebagai media konflik, alat berkonflik, konservator konflik, dan
material dari memori kultural konflik itu sendiri. Berbeda dari konflik yang termediasi media
massa, konflik antar budaya di Internet berlangsung tidak terpusat dan terjadi setiap saat
dan di mana saja.
Studi Kasus: Pertikaian Indonesia-Malaysia atas Iklan E ig atic Malaysia
Pada Agustus-Okto er

, ideo pro osi Wisata Malaysia E ig ati Malaysia

yang disiarkan secara internasional di Discovery Channel membangkitkan kembali sentimen
ga ya g Malaysia di

a a a

edia

assa I do esia teruta a di media elektronik.

Beberapa pejabat publik Indonesia bahkan berpendapat bahwa laporan media massa telah
memanaskan hubungan Indonesia dan Malaysia dan laporan sensasional itu telah
mendorong publik untuk melakukan protes di ruang publik seperti melempar telur busuk ke
Konsulat Jenderal Malaysia di Medan dan membakar bendera Malaysia pada September
2009 seperti yang terlihat di gambar 3.

15

2013

Gambar 3. Protes dari er agai daerah atas klai

Hu u ga

I do esia da

Malaysia

Malaysia, sela atka “iti Nurhaliza. “loga

Malaysia terhadap seni tradisi Indonesia.

isa diga

arka

se ara parodi

ga ya g

Ga ya g Malaysia perta a kali dipopulerka

oleh Presiden Soekarno pada 1960-an ketika Soekarno mendeklarasikan konfrontasi politik
terhadap Malaysia (Green, 1965; Sodhy, 1966; Brown, 2005). Hubungan mutualistik antara
Indonesia dan Malaysia mungkin bisa digambarkan denga

sloga

sela atka

“iti

Nurhaliza , pe ya yi Melayu Malaysia ya g dige ari di I do esia.
Untuk menganalisis konflik antar budaya yang dimediasi oleh media massa (televisi)
dan Internet, penulis melakukan dua strategi. Pertama, sebagai orang Indonesia penulis
akan lebih banyak menggali memori kultural bangsa Indonesia untuk melihat apa saja yang
menjadi dasar ko struksi

edia atas digu aka

Malaysia da dasar ke araha da ke e ia

ya Tari Pe det pada ikla

E ig ati

netizen Indonesia atas Malaysia. Kedua,

penulis akan mencermati memori kultural yang terkandung dalam konstruksi tayangan iklan
E ig ati Malaysia di

erita Metro TV dan komunikasi antar netizen Indonesia dan

Malaysia pada kolom comment di video berita TV One yang diunggah di Youtube Dotcom.
1) Memori Metro TV : Kriminalisasi Malaysia, Viktimisasi Indonesia
Pada tayangan berita Metro TV selama Agustus-Oktober 2009, Metro TV
e e patka Malaysia se agai pihak ya g ersalah kare a telah

e gklai

se i

tradisi Indonesia ke dalam iklan pariwisata Malaysia. Indonesia menjadi pihak yang
dirugikan dan dikorbankan atas tindakan Malaysia tersebut. Untuk menegaskan
kriminalisasi Malaysia dan viktimisasi Indonesia, Metro TV mengungkit memori
kultural Indonesia sebagai berikut:
-

Pada masa lalu, Malaysia selalu

e uri se i tradisi I do esia, egitu juga

halnya terhadap Tari Pendet. Metro TV mengungkit bagaimana batik Indonesia

16

2013
dan lagu Rasa Sayange pernah di diklaim juga oleh Malaysia. Berikut ini narasi
voice over pada berita di Metro TV
.....
// Klaim Malaysia terhadap produk seni tradisional Indonesia semakin memburuk/
Sekarang giliran Tari Pendet yang mereka klaim sebagai warisan budaya Malaysia//
.....
//Ya pemirsa/ tidak hanya batik dan lagu Rasa Sayange tetapi beberapa produk busana
hasil kreativitas bangsa Indonesia diklaim sebagai produk budaya Malaysia//

....
//Lihat dan dengarkan lagu ini/ Lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah kita kenals
ejak kita kecil/ karena lagu ini sering dinyanyikan oleh nenek moyang kita di sekolah//
.....
//Tak hanya lagu/melainkan Kerajaan Malaysia juga mengklaim batik sebagai produk
mereka//

Hal yang diungkit oleh Metro TV tidak sama dengan kasus yang terjadi terhadap
Tari Pendet. Berbeda dari batik dan Rasa Sayange, penggunaan rekaman Tari
Pendet pada iklan wisata Malaysia tidak dilakukan oleh Malaysia, melainkan oleh
Discovery Channel. Pihak Kementrian Pariwisata Malaysia telah menegaskan hal
tersebut namun pernyataan tersebut tidak mengubah konstruksi pencurian seni
tradisi oleh Malaysia.
-

Malaysia adalah bangsa Melayu, sedangkan Indonesia bukan Melayu
Memori kultural tersebut digunakan untuk menegaskan Tari Pendet yang bukan
tarian Melayu tidak semestinya hadir di iklan wisata Malaysia. Tari Pendet
seharusnya hadir di iklan wisata Indonesia sebab Indonesia bukan Melayu.

Tari Pendet bukan budaya Melayu
//Aktivis kebudayaan Riau menyatakan klaim bahwa Tari Pendet sebagai budaya
Malaysia adalah ekspresi kebohongan/ kebohongan itu tidak terpisah dari ambisi negara
tersebut untuk menempatkan diri mereka sebagai Truly Asia//
....

Memori kultural ini terkait erat dengan pencarian identitas sebagai
bangsa di awal kemerdekaan Indonesia dan Malaysia. Bagi Indonesia, identitas
ke-Indonesia-an melampaui identitas etnis dan agama. Sebaliknya, bagi
Malaysia, identitas etnis menjadi identitas bangsanya. Identitas nasional kedua
negara tersebut bisa dilacak pada era 1960-an ketika Soekarno berkonfrontasi
dengan Malaysia (Sodhy, 1966; Green, 1965). Pada sisi lain, Malaysia

17

2013
mengeluarkan politik konsosialisme yaitu menempatan etnis Melayu lebih
istimewa pada posisi politik dan ekonomi daripada etnis lainnya melalui
Kebijakan Ekonomi Baru (Liouw, 2005).
2) Komentar di Youtube
Perang komentar di YouTube menggunakan memori kultural yang tidak hanya
mempertanyakan

identitas kebudayaan Indonesia dan Melayu, melainkan

kedaulatan sebagai bangsa dan menunjukkan persaingan bangsa manakah yang lebih
besar dan lebih mulia.
Sebagaimana yang nampak pada memori kultural yang menjadi dasar
konstruksi di Metro TV bahwa Tari Pendet tidak berasal dai tradisi Melayu, perang
komentar atas video “etelah Pe det, Kuda Lu pi g Pu Diklai

erita “CTV ya g

diunggah ke Youtube pada 23 Agustus 2009):
Muhammad Rizal 2 years ago
tak mengapa sebahagian atau seluruh budaya Indonesia di amalkan dimalaysia,... tapi tak
patutlah jika budaya tersebut diklaim sebagai bagian dari budaya asli negara malaysia...
(bagaimana mungkin negara yang berbudaya malay punya budaya macam tu????)

Pada perang komentar atas video- ideo erita klai
Sayange misalnya

‘asa “aya ge is I do esia

Malaysia atas ‘asa

a d Al ays I do esian Song ),

memori kultural yang nampak diungkap oleh netizen Malaysia dan Indonesia
berbeda. Netizen Malaysia mengungkit bahwa Indonesia itu juga terdiri dari Jawa
dan Melayu, jika Indonesia sekarang adalah Jawa, rendang seharusnya tidak juga
boleh diklaim oleh Indonesia. Berikut kutipannya:
Noor Azaman 1 month ago
Indonesia hanya menjadi negara mulai tahun 1945... sebelumnya bukan Indonesia hanya
tanah jawa dan kepulauan melayu...negeri-negeri di tanah melayu dan sebahagian sumatera
asalnya adalah satu...
Reply ·

Noor Azaman 1 month ago
Indonesia tu hanya tanah jawa..... yang lain adalah kepulauan melayu.... Orang jawa jangan
berangan mengatakan rendang itu asli Indonesia... rendang kepunyaan orang melayu
diserata kepulauan melayu....
Reply ·

18

2013
Memori kultural ke persoalan kedaulatan bangsa juga diungkit oleh netien
I do esia dala

ko e tar ya atas ideo Malaysia tidak per ah klaim budaya

I do esia!!!Part

se agai erikut:

ht park 4 months ago
LIHAT YOUTUBE
Sabah Sarawak Keluar Malaysia (SSKM)
Sabah Sarawak Keluar Malaysia (SSKM): Doris Jones Part 1
melayu malingsia anjing2 british....mereka cuma sedikit tapi liciknya lebih dari ular....cuma
satu caranya menyelesaikan masalah dgn melayu malingsia...tebas kepala mereka buang
kelaut...selesai...pengkhianat¬, anjing2 penjajah halal darahnya...kalo mereka bener2 islam
gak mungkin jadi pengkhianat dan jadi anjing2 british...SS dah bangunlah...Melayu malingsia
kan dibunoh oleh semua..
Reply ·

Kesimpulan

Pada makalah ini penulis telah memaparkan gagasan bahwa memori kultural yang
mengandung negativitas ke kelompok budaya yang lain bisa menjadi sumber konflik antar
budaya ketika dikomunikasikan baik melalui media massa maupun Internet. Media massa
mendasarkan pada memori kultural yang negatif tersebut untuk mengkonstruksi peristiwa
kekinian demi kepentingan sensasionalitas berita. Polemik di media massa tersebut
e ular di ra ah

aya

a akala berita-berita media tersebut diunggah di Youtube dan

dikomentari oleh para netizen Indonesia dan Malaysia. Pada komentar-komentar tersebut
terlihat bahwa terjadi perbedaan memori kultural antara netien Indonesia dan Malaysia.

Daftar Pustaka:
Assman, J.
. Co
u i ati e a d Cultural Me ory , dala Erll, A. da Nu i g, A., Cultural
Memory Studies: An International and Interdisciplinary Handbook, Walter de Gruyter: New
York.
Berko itz, D.
, Telli g the U k o
through the Fa iliar: Colle ti e Memory as Journalistic
De i e i a Cha gi g Media E iro e t , dala Neiger, M., Meyers, O., & Zandberg, E.
(Eds.). (2011). On media memory: Collective memory in a new media age. New York: Palgrave
Macmillan.

Brown, G.K. (2005). The formation and management of political identities: Indonesia and
Malaysia compared . Working Paper 10, CRISE.
Cantoni, L. dan Tardini, S. (2006), Internet, New York: Routledge.
Cottle, S. (2006). Mediatized Conflict. Berkshire: Open University Press.
Entman, R.M. (1993). Framing: toward clarification of a fractured paradigm. Journal of
Communication, 43, 51-58.
Erll, A.
. Cultural Me ory “tudies: a I trodu tio , dala Erll, A. da Nu i g, A., Cultural
Memory Studies: An International and Interdisciplinary Handbook, Walter de Gruyter: New
York.

19

2013
Fisher, ‘.J..
. I tergroup Co fli t , M. Deutsch & P. Coleman, (Eds.), The handbook of
constructive conflict resolution: Theory and practice (131-143). San Francisco: Jossey-Bass.
Gilboa, E. 2009 . “Media and Conflict Resolution: A Framework for Analysis , dala Market Law
Review, Vol.93.
Green, L.C. (1965). Indonesia, the United Nations and Malaysia Journal of Southeast Asian History
2, 71-86.
Griffin, E. (2012). A First Look at Communication Theory, Eighth Edition. New York: McGraw Hill.
He ert, “.
. Digital Me orializatio : Colle ti e Me ory, Tragedy, a d Parti ipatory “pa es ,
A Thesis Presented to the Faculty of Arts and Humanities, University of Denver, Denver:
University of Denver.
Hoski s, A.
, Digital Net ork Me ory , dala A. Erll da A. ‘ig ey eds.), Mediation,
Remediation, and the Dynamics of Cultural Memory, Berlin: Walter de Gruyter.
Joh so , ‘.N.
. Bad Ne s‘e isited: The portrayal of iole e, o fli t, a d sufferi g o
television news , dala Peace and Conflict: Journal of Peace Psychology, 2(3) 201-206.
Krauss, ‘.M. da E. Morsella
. Co
u i atio a d Co fli t , dala M. Deutsch & P.
Coleman, (Eds.), The handbook of constructive conflict resolution: Theory and practice (131143). San Francisco: Jossey-Bass.
Millburn, M.A. and McGrail, A.B.(1992). The dramatic presentation of news and its effect on
cognitive compexity. Political Psychology 4, 613-632.
Moeller, S.D. (1999). Compassion Fatigue: How Media Sell Disease, Famine, War, and Death. London:
Royledge.
Novais, R.A. (2007). National influences in foreign news: British and Portuguese press coverage of
the Dili massacre in East Timor. International Communication Gazette 69, 669.
Neiger, M., Meyers, O., & Zandberg, E. (Eds.). (2011). "Introduction" dalam On media memory:
Collective memory in a new media age. New York: Palgrave Macmillan.
Oli k, J.O. da ‘o i s, J.
, Fro Colle ti e Me ory to the Histori al “o iology of M e o i
Pra ti es , dalam Annual Review of Sociology, Vol. 24, 105-140.
Pederse , P.
. Multi ultural Co fli t ‘esolutio , dala M. Deutsch & P. Coleman, (Eds.), The
handbook of constructive conflict resolution: Theory and practice (131-143). San Francisco:
Jossey-Bass.
Pentzold, C. dan Sommer, V.
. Digital et orked edia a d so ial e ory: theoreti al
fou datio s a d i pli atio s , Institute for Media Research Chemnitz University of
Technology.
Plasser, F. (2005). From hard to soft news standards: how political journalists in different media
systems evaluate the shifting quality of news. The Harvard International Journal of
Press/Politics 10, 407.

Sodhy, P. (1988). Malaysian-A eri a relatio s duri g I do esia s o fro tatio agai st
Malaysia, 1963-1966, Journal of Southeast Asian Studies 19, 111-136.
Ting-Toomey, S., & Chung, L. C. (2012). Understanding Intercultural Communication, Second Edition.
New York: Oxford University Press.
Uri e ‘., a d Gu ter, B.
. Are se satio al e s stories ore likely to trigger ie er s
emotions than non-sensational news stories?: a content analysis of British TV news. European
Journal of Communication, 22, 207.
Vettehen, P.H., Nuijten, K., Beentjes, JWJ. (2006). Research note: sesationalism in Dutch current
affairs programmes 1992-2001. European Journal of Communication, 21, 221.
Walther, J.
, “o ial I for atio Pro essi g Theory , dala E. Griffi
. A First Look at
Communication Theory, Eighth Edition. New York: McGraw Hill.
Widiastuti, T.
. A alisis Fra i g “e uah Ko flik A tar Budaya di Media , dala Journal
Communication Spectrum, Vol. 1., No. 2.

20