Pandangan Gus Dur tentang Pancasila dan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan seorang presiden
keempat di Indonesia. Selain itu, beliau lebih dikenal sebagai bapak
bangsa yang memberikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai
demokrasi dan pluralisme dalam kebersamaan. Atau dalam istilahnya
Adam Schwartz, penulis buku A Nation in Waiting bahwa Gus Dur adalah
adalah Figur Neo Modernis Indonesia.
Pandangannya yang selalu menjadi perdebatan dan mengundang
kontroversi, perlu kita kaji lebih mendalam untuk memahaminya secara
komprehensif.
Banyak pemikiran Gus Dur, mulai dari pendidikan, kebangsaan,
persatuan, pluralitas, keagamaan, hingga hal-hal kecil seperti guyonan
nyeleneh yang beliau lontarkan sebagai sarana kritik, yang perlu kita
pelajari dan melanjutkannya.
Oleh sebab itu, dalam makalah ini, kami sangat tertarik untuk
membahas tentang pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?
2. Bagaimana genealogi pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)?

3. Apa dan bagaimana pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang
berbagai persoalan agama hingga kebangsaan?
C. Tujuan Pembahasan
1. Menceritakan biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
2. Menjelaskan genealogi pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
3. Menyebutkan dan menjelaskan tentang berbagai bentuk pemikiran
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terhadap berbagai persoalan agama
hingga kebangsaan.

1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Nama Abdurrahman pada awalnya disandingkan dengan nama Addakhil
(sang penakluk), yakni seorang pejuang pada masa Dinasti Umayyah. Namun,
kata Addakhil tidak cukup dikenal sehingga diganti dengan nama Wahid. Yang
kemudian nama Abdurrahman Wahid lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur.1
Abdurrahman Wahid lahir di Jombang pada tahun 1940. Dia adalah putra
pasangan Abdul Wahid Hasyim dengan Salikha. Dari garis ayah, dia adalah cucu

Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, sedangkan dari garis ibu, dia adalah cucu Kiai
Bisri Syamsuri. Dengan demikian, nasabnya dari keturunan para ulama besar dan
sekaligus pendiri NU.2
Walau demikian Gus Dur pernah memberi pernyataan bahwa ia memiliki
darah Tionghoa. Mengaku keturunan Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A
Lok, saudara Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri kesultanan Demak.3
Sejak tinggal di Jakarta sejak tahun 1944, KH. Wahid Hasyim dan Gus
Dur disibukkan dengan menerima tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh dengan
berbagai bidang profesi, khususnya politikus. Yang mana tradisi ini memberikan
pengalaman tersendiri bagi Gus Dur yang secara tidak langsung, mengenalkannya
dengan dunia politik.
Riwayat pendidikan. Gus Dur pernah masuk Sekolah Dasar KRIS yang
sebelumnya pernah pindah dari SD Matraman. Untuk menambah khazanah
pengetahuan formal, ayahnya menyarankan untuk privat Bahasa Belanda. Guru
lesnya bernama Willem Buhl (Jerman) atau dikenal dengan nama Iskandar. Dari
Buhl inilah Gus Dur mulai tertarik dan mencintai musik klasik.4
1 "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak laki-laki kiai
yang berati "abang" atau "mas". Lihat dalam, Muhammad Zaki, Gus Dur Presiden Akhirat,
(Sidoarjo: Masmedia Buana, 2010), hlm. 1.
2 Mujamil Qomar, NU Liberal, (Bandung: Mizan, 2002), 164.

3 Tan Kim Han sendiri berdasarkan penelitian seorang peneliti perancis, Louis Charles, di
identifikasi sebagai syekh Abdul Qadir Al Shini yang makamnya di daerah Trowulan, Jawa Timur.
Lihat, Muhammad Zakki, Gus Dur Presiden Akhirat, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2010),
hlm. 2
4 Muhammad Mirza, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang: Pustaka Warisan, 2010), hlm.
3.

2

Pada bulan April 1953, Gus Dur meneruskan sekolah di SMEP (Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama). Gowongan sambil mondok di Krapyak Jogjakarta.5
Bersamaan dengan belajar bahasa arab di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak
Yogyakarta di bawah bimbingan KH. Ali Maksum. Pada 1959 Gus Dur pindah ke
Pesantren Tambak Beras Jombang, kesibukannya mengajar dan aktifis jurnalis di
majalah Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Setamat dari SMEP Gus Dur
melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang Jawa Tengah.6
Pada tahun 1964, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar University Kairo
Mesir dengan mengambil jurusan Departement of Higher Islamic and Arabic
studies. Selama tiga tahun di Mesir, ia lebih banyak meluangkan waktunya untuk
mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Mesir. Setelah beberapa lama

tinggal di Mesir, Gus Dur memutuskan untuk menghentikan studi ditengah jalan
sewaktu beranggapan bahwa Kairo sudah tidak sesuai lagi dengan keinginannya.
Ia pindah ke Baghdad Irak pada tahun 1966 dan mengambil fakultas sastra.7
Selepas belajar di Baghdad Gus Dur bermaksud melanjutkan studi ke Eropa,
namun karena persyaratan yang ketat ia putus asa. Akhirnya Gus Dur menjadi
pelajar keliling dari satu universitas ke universitas lainnya. Pada akhirnya ia
menetap di Belanda selama enam bulan.
Dalam karier politiknya, Gus Dur menjabat sebagai ketua umum PBNU
(Nahdlatul Ulama) selama tiga masa jabatan mulai dari periode 1984 hingga
periode 1994. Dan pada tahun 1999 beliau mengundurkan diri dari kepemimpinan
NU karena terpilih sebagai presiden RI ke-IV.8 Disamping itu, Gus Dur pernah
menjadi anggota legeslatif dan eksekutif, bahkan menjadi anggota MPR dari
utusan Golkar.
Dengan jatuhnya Soeharto, partai-partai politik islam mulai terbentuk, dan
pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU meminta Gus Dur membentuk
partai politik baru. Pada Juli 1998 Gus Dur menyetujui pembentukan PKB dan
menjadi Ketua Dewan Penasehat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai.
5 Muhammad Zakki, Gus..., hlm. 3.
6 Ibid, hlm. 4.
7 Ma’mun Murod, Menyingkap Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara,

(Jakarta: Raja Grafindo, 1999), hlm. 99-100.
8 Muhammad Mirza, Gus..., hlm. 24.

3

Pada Juni 1999, partai PKB ikut serta dalam arena pemilu legislatif. PKB
memenangkan 12% suara dengan PDI-P memenangkan 33% suara. Pada 20
Oktober 1999, Abdurrahman Wahid kemudian terpilih sebagai Presiden Indonesia
ke-4. Dan selama 22 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden.
Selain sebagai politikus dan Presiden, Gus Dur juga merupakan seorang
mistikus sejati. Terbukti dengan ungkapan-ungkapan syairnya yang menyentuh
kalbu bagi setiap orang yang mendalaminya. Dan seringnya beliau mengunjungi
makam Syaikh Abdul Qadir Jailani, pendiri Thariqat Qadariyah. Dan beliau juga
menggeluti ajaran Thariqat Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang pendiri aliran
tasawuf yang diikuti oleh jemaah NU.9
Selain itu, Gus Dur adalah penggemar berat (maniak) kesenian, olahraga
(sepak bola dan catur), dan dunia film. Sehingga tak heran jika Gus Dur pernah
diminta menjadi komentator bola di stasiun televisi dan pernah pula diangkat
menjadi ketua juri Festifal Film Indonesia tahun 1986-1987.10
B. Sanad Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Gus Dur memiliki pemahaman yang luas, Pengetahuan yang luas itu
disebabkan karena Gus Dur hidup dari berbagai latar belakang keilmuan, sosial,
dan budaya.11 Pertama, ia berasal dari kalangan pesantren yang toleran (moderat),
kedua, ia sudah mengenyam pendidikan di Timur Tengah yang radikal dan
terbuka. Ketiga, ia banyak membaca buku-buku orientalis yang liberal dan
rasional. Oleh karen itulah pernyataan Gus Dur sulit untuk dipahami dan diterima
secara mentah-mentah.12
Bahkan ia tak segan-segan belajar kepada para buruh galangan kapal di
Jerman. Sejak kecil, Gus Dur hidup di pesantren. Ketika di pesantren ia sudah
menghadapi berbagai masyarakat. Di NU dia telah banyak mempelajari kitabkitab klasik bahkan yang fundamentalis.

9 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur; Siapa Sih Sampeyan?, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 25.
10 Muhammad Mirza, Gus Dur..., hlm. 7-8.
11 Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”
dalam Greg Fealy & Greg Barton, Ed., Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NU-Negara, terj.
Tim LkiS, (Yogyakarta: LkiS, 1997), hlm. 167.
12 Zastrauw Ng, Gus Dur..., hlm. 27.

4


Semenjak remaja, Gus Dur sudah ‘melahap’ karya Karl Marx yakni What
To Be Vladimir Lenin, karya Adam Schwartz, A Nation in Waiting, Kitab-kitab
klasik, serta lainnya, dan hal ini merupakan fase internalisasi keilmuan Gus Dur.
Saat di Mesir ia bertemu dengan pemikir Islam liberal sampai yang
fundamentalis kanan. Di Irak, Gus Dur bertemu dengan Saddam Husein dan
menjadi salah satu Steering Committe partai Ba’ath.
Dalam pemikirannya, Gus Dur lebih bercorak progresif, sebab komitmennya terhadap adaptasi tiada henti dalam penerapan nilai-nilai keagamaan untuk
secara tepat mempertemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di
masyarakat. Ia tidak takut di cap liberal, bahkan ia berpendapat bahwa nilai-nilai
inti Islam adalah liberal.13
Kendati ia tidak belajar formal di Barat, ia sudah membaca secara
mendalam pemikiran Barat sejak usia muda. Selain itu, studi-studinya di Bagdad
telah memberinya dasar-dasar yang baik mengenai pendidikna bercorak liberal,
bergaya Barat dan sekular.
Sejak pertengahan tahun 70-an ia secara teratur melakukan kontak dengan
beberapa intelektual muslim progresif lainnya, seperti Nurcholish Majid (Cak
Nur) dan Djohan Effendi. Terdapat beberapa kemiripan pemikiran Gus Dur
dengan Cak Nur dalam pandangannya mengenai pemikiran Barat, pendidikan
Islam, dan kemaslahatan umat muslim.
Fazlur Rahman memang adalah guru Cak Nur dan mempunyai hubungan

dengan kaum pemikir Islam Indonesia termasuk Gus Dur didalamnya. Sedangkan
embrio keilmuan Rahman sendiri telah dibentuk atau dipengaruhi oleh pemikiran
Muhammad Iqbal sebagai giant pemikirnya. Disamping Ahmad Khan dari India,
Al-Afghani di Timur Tengah, dan Muhammad Abduh di Mesir.
Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran
Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutik untuk
memahamai Al-Qura adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dari sinilah tertadap
ketersambungan sanad keilmuan liberalisme pemikiran di Indoensia.

13 Ibid, hlm. 167.

5

Dalam masalah politik, Gus Dur lebih mengerucut pada pemikiran AlAfghani yakni tentang konsep “masyarakat ideal” yang secara konsisten
dirumuskan oleh para pemikir Muslim modern sejak al-Afghani hingga Sayid
Qutb dan al-Maududi.
Tampaknya pemikiran Cak Nur lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman,
gurunya di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Sedangkan pemikiran neo
modernisme Gus Dur telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur
ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, kalangan NU.

Pengaruh pemikiran liberal ini nampaknya semakin mewabah di
Indoensia. Terbukti sejak akhr tahun 1990-an muncul kelompok anak muda yang
menamakan diri kelompok “Islam Liberal” yang mencoba memberi respon
terhadap berbagai permasalahan yang muncul pada akhir abad ke-20. Diantara
mereka seperti: Taufiq Adnan Amal, Rizal Malarangeng, Denny JA, Syaifullah
Fatah, Hadi Mulyo, Ulil Abshar Abdallah, dll.
Dalam analisa kami, Gus Dur yang dilahirkan dari keluarga pesantren
yang seharusnya memiliki corak pemikiran tradisionalisme konservatif
keagamaan, namun malah keluar dari kekangan dogma, yakni dengan corak
pemikirannya yang liberalis progresif. Itulah salah satu keunikan pemikiran Gus
Dur yakni sebagai pemikir ‘bebas’ yang tidak terkekang oleh dogmatisme
pemikiran konservatif.
C. Berbagai Pemikiran Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Gagasan-gagasannya yang segar dan pikiran-pikirannya yang jauh kadang
membuat masyarakat sulit mengikuti dan memahaminya. Demikian pula
prilakunya yang melampaui kelaziman membuat berbagai kalangan mengkhawatirkan dirinya.14
Melihat apa yang terjadi, Gus Dur tidak sekedar menjadi sosok individu
seorang manusia, lebih dari itu Gus Dur telah menjadi teks dalam kehidupan
kebangsaan di Indonesia. Apa yang dilakukan, dibicarakan, dan dipikirkannya
menjadi bahan perbincangan masyarakat diberbagai kalangan.15

Berikut ini beberapa pemikiran Gus Dur:
14 Al-Zastrauw Ng, Gus Dur..., hlm. 1.
15 Ibid, hlm. 2

6

1. Tidak Ada Sistem Negara Islam
Dalam artikel berjudul “Negara Islam, adakah konsepnya?”, Gus Dur
mengajukan sejumlah pertanyaan terkait dengan negara Islam, yakni sebagai
berikut.
Ada pertanyaan amat menarik untuk diketahui jawabannya, apakah
sebenarnya konsep Islam tentang negara? Sampai seberapa jauh hal
ini dirasakan kalangan pemikir Islam sendiri? Apakah konsekuensi
konsep ini bila memang ada? Lalu apakah konsekuensi dari konsep
itu sendiri? Rangkaian pertanyaan itu perlu diajukan di sini, karena
dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran
tentang negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak
menggunakan pemikiran itu, telah meninggalkan Islam.16
Karena itu Gus Dur berpendapat, dalam pandangan Islam tidak diwajibkan
adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak ada keharusan untuk mendirikan

sebuah negara Islam. Ini penting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih
ada pihak-pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam UUD
(Undang-Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan negara untuk
kepentingan Islam jelas bertentangan dengan demokrasi. Karena paham itu
berintikan kedaulatan hukum di satu pihak dan perlakuan sama pada semua warga
negara di hadapan Undang-Undang (UU) di pihak lain.17 Dengan kata lain beliau
menyatakan bahwa Islam adalah jalan hidup (syariah), tidak memiliki konsep
yang jelas tentang negara.
2. Pribumisasi Islam
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial budaya, menarik
kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai
“Arabisasi”.
Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan
penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan
bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang
untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk
sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk
penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat
di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan
16 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), hlm. 81.
17 Abdurrahman Wahid, Islamku..., hlm. 7.

7

kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya.
Seolaholah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab
tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang
akan berkurang karenanya.18
Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa
kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka
jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk
Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi.
Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi. Sebenarnya kritik Gus Dur
terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia
mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar Wahyu
Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–faktor kontekstual, termasuk
kesadaran hukum dan rasa keadilan nya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir
apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan
“rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya
lokal itu tidak hilang.19 Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya
sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat.
Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya
lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya.
Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme,
sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di
dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. oleh
karena itu, unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sebagai
sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
sedangkan yang bertentangan harus dihilangkan atau diganti.20
3. Pendidikan Islam
Gus Dur pernah menulis disalah satu artikelnya bahwa;
Pendidikan Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaranajaran formal Islam di sekolah-sekolah agama/madrasah belaka,
melainkan juga melalui sekolah-sekolah non-agama yang
18 Ibid, hlm. 245.
19 Pengantar M Syafi’i Anwar dalam buku Abdurrahman Wahid, Islamku..., hlm. xxix.
20 Abdul Hamid dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2010), hlm. 437.

8

berserak-serak di seluruh penjuru dunia... Pendidikan Islam, tentu
saja harus sanggup “meluruskan” responsi terhadap tantangan
modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum ada
dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yang
merisaukan hati para pengamat seperti penulis, karena ujungnya
adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan berikut:
bagaimanakah caranya membuat kesadaran struktural sebagai
bagian alamiah dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan
ungkapan lain, kita harus menyimak perkembangan pendidikan
Islam di berbagai tempat, dan membuat peta yang jelas tentang
konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri.21
Terkesan selama bahwa pendidikan Islam hanyalah mengajarkan tentang
berbagaimacam hukum-hukum agama dan banyak hal didalamnya. Padahal, tugas
dari pendidikan Islam bukan hanyalah itu saja, namun yakni pendidikan Islam
harus mampu memberi jawaban atas segala persoalan kehidupan utamanya dalam
tantangan arus modernisasi.
Pendidikan Islam memiliki begitu banyak model pengajaran, baik yang
berupa pendidikan sekolah, maupun “pendidikan non-formal” seperti pengajian,
‘arisan’ dan sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak
pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa ini.
Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya melihat lembaga
pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah
institusi pendidikan Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang
pendidikan Islam itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka
dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan Islam itu
sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat para perencana pendidikan Islam.
Kenyataan ini menunjukkan di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan
Islam.

4. Pluralisme Agama
Gus Dur merupakan salah satu dari sekian tokoh di Indonesia yang
menjunjung pluralisme agama. Yang mengakui keberagaman agama harus
21 Abdurrahman Wahid, Islamku..., hlm. 226.

9

dihormati tanpa adanya intimidasi dan menganaktirikan. Salah satu contoh konkrit
pembelaan Gus Dur terhadap paham Konghuchu di Indonesia.
Sebagian orang Tiong Hoa yang datang ke Indonesia memandang bahwa
paham Konfusianisme sebagai agama. Mereka membawa serta budaya-agama
yang diwariskan nenek moyang mereka sebagai tradisi yang harus diikuti.
Disinilah letak persoalannya, paham Konghuchu itu dianggap sebagai agama atau
bukan.
Lalu pertanyaanya apa pendapat penulis tentang ini?
Mudah saja. Bahwa para pemeluk paham Konghuchu-lah yang
seharusnya menentukan bukan pihak pemerintah. Kalau mereka
menganggap itu sebagai agama maka hal itu harus diterima oleh
pemerintah. Kalau ada pejabat pemerintah tidak menghargai hal
itu, mereka menentang Undang-Undang Dasar 1945.22
Disitulah letak pluralisme agama yang mengakui kemajemukan agama
didunia apalagi lingkup lokal yang harus diakui dan dihargai. Karena hal ini
sesuia dengan sila Pancasila pertama bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa yang
secara implisit mengajarkan kita untuk bersifat plural.
Dari seluruh pemikiran Gus Dur sebenarnya satu hal yang tersirat dibalik
semua itu, yakni sesungguhnya Gus Dur menginginkan adanya respon balik
kritisisasi atas pemikirannya, karena beliau meyakini bahwa tidak ada konsep
pemikiran yang sempurna. Disitulah makna tersirat dibalik Gus Dur sebagai
seorang kritikus.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
22 Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LkiS, 2002), hlm. 215.

10

Dari seluruh uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa Gus Dur
merupakan tokoh pemikir Islam modern di Indonesia yang pandangannya banyak
mengundang kontroversial namun dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pandangannya yang maju mulai dari kehidupan sosia, budaya, pendidikan, hingga
keagamaan yang pelik dapat dijawab jengan lugas ala nyeleneh Gus Dur. Dari
itulah kita sebagai generasi penerus haruslah banyak belajar atas segala aspek
kehidupan Gus Dur, mulai dari pemikiran, kesederhanaan, dan lainnya.
B. Kritik dan Saran
Saran kami ialah tirulah dan dalamilah pemikiran Gus Dur tentang
menjawab segala persoalan kehidupan. Serta kami berharap agar pembaca yang
budiman memberikan saran atau kritik kepada kami, tim penulis untuk
kedepannya dalam penyampaian materi lebih baik lagi.

11

DAFTAR PUSTAKA
Al-Zastrauw Ng, Gus Dur; Siapa Sih Sampeyan?, (Jakarta: Erlangga, 1999)
Fealy, Greg & Greg Barton, Ed., Tradisionalisme Radikal: Persinggungan NUNegara, terj. Tim LkiS, (Yogyakarta: LkiS, 1997)
Hamid, Abdul dan Yaya, Pemikiran Modern dalam Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010)
Mirza, Muhammad, Gus Dur Sang Penakluk, (Jombang: Pustaka Warisan, 2010)
Murod, Ma’mun, Menyingkap Pemikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang
Negara, (Jakarta: Raja Grafindo, 1999)
Qomar, Mujamil, NU Liberal, (Bandung: Mizan, 2002)
Wahid, Abdurrahman, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2006)
Wahid, Abdurrahman, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid,
(Yogyakarta: LkiS, 2002)
Zaki, Muhammad, Gus Dur Presiden Akhirat, (Sidoarjo: Masmedia Buana,
2010)

12