MUHAMMAD SANG REVOLUSIONER Eksplorasi Se (1)

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplor sejarah revolusi dakwah Nabi saw dalam perspektif filsafat sosial. Hal ini berangkat dari realitas sejarah yang menegaskan bahwa, sosok “muhammad” adalah pribadi yang kompleks. Selain sebagai Nabi, dia juga seorang manusia yang sejarah hidupnya begitu kaya dan beragam, banyak wilayah sosial yang diperankannya, ia juga tampil sebagai tokoh revolusi terpenting, yang membangun suatu ummat yang akan berada dalam “revolusi yang permanen” menegakkan keadilan sosial, persaudaraan kemanusiaan dan memperjuangkan suatu masyarakat tanpa kelas. Hal ini membawa perubahan radikal pada wilayah teologis, bahasa, politik, bahkan ekonomi dan budaya. Fragmen- fragmen kehidupan muhammad yang penuh ragam dan kaya dimensi itu akan selalu menimbulkan inspirasi untuk dikaji dari berbagai perspektif.

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab melalui tulisan ini adalah, pertama, bagaimana bentuk revolusi dakwah Nabi saw dalam mengkonstruksi tatanan masyarakat baru saat itu ?. Kedua, bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan social change sebagai implikasi dari revolusi dakwah Nabi saw ?. Ketiga, apa relevansi revolusi dakwah Nabi saw dalam konteks perubahan sosial di Indonesia ?.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah (heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi) yang di sajikan melalui perspektif filsafat sosial sebagai kacamata analisis, yang mencoba mengkaji secara komprehensif dan kritis fenomena sosial dan politik yang melingkupi perjalanan dakwah Nabi saw, sehingga menghasilkan sebuah kajian yang dinamis progresif atas sirah Nabawi, yang selama ini didominasi oleh nuansa normatif teologis.

Kata Kunci : Revolusi, Filsafat Sosial, Sejarah Sosial

A. Pendahuluan Sejarah sebuah tradisi agama merupakan dialog berkelanjutan antara realitas transenden dan peristiwa terkini di ranah duniawi. Orang yang beriman menyelidiki masa lalu (sejarah) yang disucikan, mencari pelajaran

yang dapat berbicara secara langsung kepada kondisi kehidupan mereka. 1 Sebagian besar agama memiliki figur utama, seorang individu yang menjelmakan nilai nilai keimanan dalam sosok manusia. Dalam agama Islam, sosok ideal sebagai figur utama tentu merujuk kepada Nabi Muhammad saw yang secara teologis mendapatkan legitimasi sebagai prototype (uswah hasanah) yang harus diteladani.

Profil Muhammad sebagai Nabi diyakini menjadi contoh ideal (par excellence) dalam menjalani kehidupan. Dari sini dapat difahami makna penting dari upaya Muhammad Ibn Ishaq (w.767) dalam menulis Sirah Nabawiyyah yang kemudian diedit dan direvisi oleh Ibn Hisyam (w.833). Dua karya inilah merupakan kitab tertua yang sampai kepada kita tentang sejarah perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Karya penting lainnya dan merupakan kitab yang tergolong tertua yang sampai kepada kita adalah al- Maghazi oleh Muhammad Ibn Umar al Waqidi (w.823), Muhammad Ibn sa’ad

(w.845) 2 serta Ibn Jarir Ath Thabari (w.923) melalui karyanya Tārīkh al-Rusūl

1 Sejarah merupakan serangkaian peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan dapat diambil sebagai pelajaran, sebagaimana yang diungkapkan oleh F.R Ankersmit,

bahwa sejarah sebagai guru kehidupan (historia magistra vitae). Oleh karena itu dengan mengetahui peristiwa masa silam, sejarah pada gilirannya bermakna sebagai pedoman bagi masa kini dan masa yang akan datang. Untuk mencapai hal tersebut, maka sejarah harus ditulis secara akurat dan lepas dari maksud tertentu kecuali untuk mencapai kebenaran sejarah. Lebih jauh lihat Dudung Abdurrahman "Pengantar Sejarah dan Peradaban Islam" dalam Siti Maryam dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: Jurusan SPI Fak. Adab IAIN Sunan Kalijaga &LESFI, 2002), hlm. 7. Nourouzzaman Shiddiqi, Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis (Yogyakarta: PLP2M, 1984), hlm. 8.

2 Penulisan sejarah Islam dimulai dengan menuliskan sejarah yang berkenaan dengan Sirah Nabawiyah dan al-Maghāzī. Bentuk penulisan selanjutnya berupa thabaqat

(kumpulan biografi singkat/bibliographical dictionary) para sahabat, para tabi'in, dan tabi'it tabi'in terutama yang merawikan hadiś serta biografi para tokoh yang didasarkan pada kesamaan profesi atau kesamaan bidang keilmuan, sebagaiman yang ditulis Muhammad Ibn Sa’ad, At-Thabaqat Al-Kubra, 9 Jilid (Beirut: Dar Shadir, t.t). untuk “thabaqat” dan karya karya dalam bidang itu, baca antara lain H.A.R Gibb, “Islamic (kumpulan biografi singkat/bibliographical dictionary) para sahabat, para tabi'in, dan tabi'it tabi'in terutama yang merawikan hadiś serta biografi para tokoh yang didasarkan pada kesamaan profesi atau kesamaan bidang keilmuan, sebagaiman yang ditulis Muhammad Ibn Sa’ad, At-Thabaqat Al-Kubra, 9 Jilid (Beirut: Dar Shadir, t.t). untuk “thabaqat” dan karya karya dalam bidang itu, baca antara lain H.A.R Gibb, “Islamic

Sebagai tokoh yang memiliki peran ganda menjadikannya sosok pribadi yang unik dan kompleks. Karena selain sebagai Nabi, dia juga seorang manusia yang ikut sepenuhnya dalam kehidupan sosial (sebagai seorang suami, ayah, kepala negara, hakim, panglima perang dll). Hal ini tidak jarang menjadikan kesulitan bagi kalangan non-Muslim untuk memahami peranan Nabi Muhammad saw sebagai prototipe kehidupan religius dan spiritual. Kesulitan ini disebabkan karena peranan spiritual Nabi yang paling murni tersembunyi di balik peranan manusiawi dan tugasnya sebagai pembimbing

manusia dan pemimpin masyarakat. 4 Kondisi ini menjadikan sejarah hidupnya begitu kaya dan beragam, banyak wilayah sosial yang diperankannya. Fragmen-fragmen kehidupan muhammad yang penuh ragam dan kaya dimensi itu selalu menimbulkan inspirasi untuk dikaji dari berbagai perspektif.

Biographical Literature” dalam Historians of the Middle East, ed. Bernard Lewis dan P.M Holt (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 54-58.

3 Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed. Muhammad Abu Fadl Ibrahim, cet. Ke-4, 13 Jilid (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1382 H/1962) 4 Nabi Muhammad saw berperan bukan saja sebagai pembimbing spiritual, tetapi juga sebagai organisator dari tata masyarakat yang baru, dan peran inilah yang

menyembunyikan peranan spiritualnya dari mata kebanyakan non-Muslim. Orang orang non-Muslim mengakui kemampuannya sebagai seorang politikus, negarawan dan orator, tetapi jarang yang mengerti bagaimana ia dapat menjadi pembimbing manusia dalam kehidupan religius dan spiritual, serta mengapa kehidupannya ditiru oleh mereka yang menginginkan kesucian. Tokoh yang mempunyai peran ganda jarang dikenal dalam dunia Kristen Barat, terutama dizaman modern ini, dimana kehidupan sosial telah terpisah dari prinsip spiritual, dan kebanyakan orang tidak dapat membayangkan adanya tokoh spiritual yang juga terlibat dalam kegiatan politik dan sosial yang paling intens. Peran ganda seperti ini tampak sebagai sesuatu yang mustahil di mata orang Barat. Lebih lanjut lihat Sayyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, terj. Abdurrahman Wahid&Hasyim Wahid, edisi Indonesia Islam Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: Pusaka, 2001), hlm. 44-45.

Beragam karya sejarah dan puisi baik dari kalangan Muslim maupun orientalis dilahirkan untuk menghormati serta mengabadikan perjalanan hidupnya (Muhammad) sebagai pemimpin besar yang diakui oleh dunia. Visi dakwah yang dibawanya telah melahirkan revolusi besar terhadap tatanan masyarakat. Tak heran jika ia dianggap sebagai tokoh revolusi terpenting, yang membangun suatu ummat yang akan berada dalam “revolusi yang permanen” menegakkan keadilan sosial, persaudaraan kemanusiaan dan memperjuangkan suatu masyarakat tanpa kelas. Hal ini membawa perubahan radikal pada wilayah teologis, politik, bahkan ekonomi dan budaya.

Gerakan revolusioner yang dilakukannya menjadikan alasan kuat bagi Michael H. Hart ketika meletakan Nabi Muhammad saw pada rangking pertama di antara seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah kehidupan manusia :

My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influental persons may surprise some readers and may be questioned by others, but he was the only man in history who was suremely sucsessful on both the religious and secular

level. 5

Hal ini juga diakui Armstrong dalam salah satu karyanya, ia menyatakan bahwa “Muhammad” sebagai “The Perfect man of his Generation and a particularly effective symbol of the divine”. 6 Sosoknya menjadi teladan yang baik (good model) bagi ummatnya dalam seluruh totalitas kepribadiannya, baik sebagai pemimpin, pedagang, pendidik atau sebagai kepala rumah tangga. Dan dengan jujur Armstrong juga menyatakan bahwa “Muhammad” adalah

seorang yang sangat cerdas (a man of exceptional genius) 7 dan juga seorang spiritual-genius. 8

5 Michael H. Hart, 100: A Rangking of the Most Infuential Person in History (New York: Hart Publishing Company, 1978), hlm. 33 6 Karen Armstrong, A History of God (New York: Ballantine Book, 1994), hlm. 238. Sebagai seorang penulis produktif (khususnya kajian agama agama di dunia) dari Barat

dalam banyak karyanya menyiratkan simpatik yang mendalam terhadap Islam. 7 Ibid, hlm. 135.

8 Ibid, hlm. 392.

Berangkat dari hal tersebut, melalui tulisan ini penulis mencoba mengelaborasi lebih jauh perjalanan revolusi dakwah Nabi saw melalui perspektif filsafat sosial sebagai kacamata analisis, yakni mencoba mengkaji secara komprehensif dan kritis fenomena sosial dan politik yang melingkupi perjalanan dakwah Nabi saw, sehingga menghasilkan sebuah kajian yang dinamis progresif atas Sirah Nabawiyyah, yang selama ini didominasi oleh nuansa normatif teologis.

Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab melalui tulisan ini adalah, pertama, bagaimana bentuk revolusi dakwah Nabi saw dalam mengkonstruksi tatanan masyarakat baru saat itu ?. Kedua, bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan social change sebagai implikasi dari revolusi dakwah Nabi saw ?. Ketiga, apa relevansi revolusi dakwah Nabi saw dalam konteks perubahan sosial di Indonesia ?.

B. Pembahasan

1. Revolusi Dakwah Nabi Muhammad saw Analisis sejarah Islam menunjukkan bahwa Islam sendiri muncul sebagai agama revolusioner dan sejak itu pula telah bekerja sebagai suatu gerakan revolusioner yang berkesinambungan. Dalam konteks historis, kaum Muslim telah mencapai tingkat solidaritas sosial yang tinggi dalam kehidupan

bermasyarakat, sebagaimana diabadikan dalam kitab suci al-Qur’an. 9

Hubungan egaliter antara kelompok masyarakat yang terbagi menjadi suku suku terbangun setelah kehadiran Islam di Jazirah Arab. Peran Muhammad dalam mendamaikan antar kelompok sosial sangat signifikan karena ia dikenal oleh tiap tiap kelompok sosial yang ada sebagai manusia berkepribadian dan

9 Bentuk solidaritas ideal dalam masyarakat tersebut dinisbatkan pada kondisi masyarakat di Madinah ketika menyambut hijrah Nabi Muhammad dari Makkah,

“mereka lebih mengutamakan kepentingan bersama (Nabi bersama pengikutnya dan penduduk Madinah) dari pada kepentingan individu (penduduk Madinah) (QS. Al-Hasyr : 9)”. Lihat Mahmud Syaltut, “sosialisme dan Islam”, dalam John J. Donohue & John L. Esposito (ed), Islam dan Pembahuruan (Jakarta: Rajawali Press, 1995), hlm. 168. Lihat Juga A. Ezzati, Gerakan Islam Sebuah Analisis (Jakarta; Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 11.

tidak memiliki cacat moral, ia dipercaya oleh mereka sebagai manusia objektif, tidak memihak dan penganjur egalitarianisme.

Kehadiran Nabi saw dengan membawa risalah Islam, sangat concern perhatiannya terhadap kaum tertindas, tertekan dan teraniaya. Karena itu misi dan perjuangan para Nabi memiliki tujuan yang sama, yaitu penegakkan

tauhid dan membebaskan kaum yang lemah tertindas 10 , memproklamasikan kebenaran, dan membangun orde orde sosial atas dasar kesamaan hak,

keadilan sosial dan persaudaraan. 11

Untuk memahami gerakan revolusioner, mengetahui kondisi sosial, politik religius, budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung sangatlah penting, karena gerakan perubahan (revolusioner) sebenarnya selalu berangkat dari kondisi ini. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengkaji kondisi sosio kultur masyarakat Arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Hanya dengan cara demikian kita dapat memahami signifikansi Muhammad sebagai sang revolusioner.

Kondisi dunia sekitarnya saat kelahiran “Muhammad” diilustrasikan sebagai masyarakat yang tidak bermoral. Dalam suasana alam yang gersang panas berpasir, kehidupan individu tidak pernah menemukan ketenangan dan kedamaian. Masyarakat badui, penghuni padang pasir Arabia, tercabut dari karakteristik kemanusiaannya. Kekurangan harta benda ditengah terik padang pasir menyuburkan kriminalitas dan penyakit sosial lain yang demikian kronis. Pembunuhan, perampasan, perkosaan dan perjudian menjadi warna dominan yang terlembaga dalam kehidupan masyarakat. Keramaian manusia selalu ditemukan di setiap sudut kota dalam pesta pesta minuman keras, lokalisasi wanita dan meja meja perjudian.

10 Dijelaskan bahwa Tuhan menjanjikan dalam kitab suci al-Qur’an bahwa perjuangan para Nabi akan dimenangkan untuk mewarisi bumi. Lihat al-Qashas ayat

5:”Dan kami hendak memberi karunia kepada orang orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikannya mewaris bumi”.

11 Lihat Ziaul Haque, Revolusi Islam di Bawah Bendera Laa Ilaa ha Illallah (t.tp: Darul Falah, 2000), hlm. 25. Bandingkan Ahmad Gabbas Salih, Al-Yamin wa Al-Yassar fi Al-Islam

(Beirut: al-Muassasa al-Arabiya li Dirasat wa al-Nasr, 1972), Dikutip dari Kazuo Simogaki, Kiri Islam (Yogyakarta: LkiS), hlm. 6.

Jauh sebelum kelahiran “Muhammad”, Makkah merupakan pusat keagamaan dan perdagangan, karena posisinya yang strategis dan sakral. Kondisi masyarakatnya waktu itu adalah masyarakat buta huruf, Ibnu Jarir Al-

Thabari memperkirakan hanya 17 orang yang mampu membaca dan menulis. 12

Mereka sangat menggemari syair sesuatu yang dibacakan dan didengarkan, bukannya ditulis. Kondisi ini tidak menjadi persoalan bagi masyarakat Makkah, karena pandangan sosial mereka sangat sempit. Hal ini menunjukan bahwa mereka sangat sulit memahamai orang lain di luar sukunya. Tata aturan mereka terbatas pada adat kesukuan yang tidak tertulis. Mereka sangat membanggakan nenek moyangnya. Jika perasaan kesukuan tersebut sampai tersinggung, maka akan terjadi pertumpahan darah dalam waktu yang panjang, bahkan berlangsung sampai beberapa generasi.

Saat itu struktur suku di Makkah mengalami perpecahan, dan proses individualisasi mulai berlangsung. Suku suku pecah, atau dalam proses menjadi kelompok keluarga yang lebih kecil, karena berkembangnya hubungan baru yang didasarkan pada harta kekayaan. Meskipun rasa kesukuan mulai memudar, namun masih tetap diperlukan oleh masyarakat, untuk menjaga ketertiban dan melaksanakan hukum lintas suku, hal ini dikarenakan tidak adanya institusi seperti negara formal yang mengatur

sistem masyarakat mereka, 13 sehingga rentan terjadi antagonisme. Kondisi

politik tidak kalah rumitnya. Bangsa Arab adalah bangsa yang merdeka namun ganas dan kemerdekaan itu mereka jaga dengan sangat hati hati. Dua bangsa besar saat itu, Romawi dan Sasanid tidak ada yang berhasil menundukkannya. Mereka hidup dengan bebas di jazirah Arab, dengan nilai nilai individualisme suku dan tidak ada konsep kemanusiaan di luar sukunya,

12 Dikutip dari Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essay on Liberative Elements in Islam. Edisi Indonsia, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 42. 13 Mekanisme pemerintahan diwakili dengan lembaga yang disebut Mala’a, semacam lembaga musyawarah antar suku, kesepakatan antar suku untuk membuat keputusan bulat, akan tetapi tidak memiliki hak untuk membuat peraturan dan melaksanakannya. Tentu saja masalah birokrasi dan keamanan tidak muncul. Lihat Asghar Ali Engineer, The Origin Development of Islam: An essay on its Socio Economic Growth. Terj. Imam Baehaqi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 74-75.

karena persatuan sesuatu yang hina bagi mereka. Hanya beberapa suku di Makkah yang mengadakan kerja sama (inter tribal corporations) untuk tujuan

perdagangan. 14 Masyarakat Arab padang pasir pada umumnya tidak memiliki agama formal atau doktrin tertentu. Berbeda dengan penduduk Makkah yang menyibukan diri dengan pekerjaan terutama perdagangan, mereka membutuhkan agama formal, terutama kelas paling bawah, dikarenakan kesulitan materi yang disebabkan oleh ketimpangan dalam distribusi kekayaan, sehingga mereka memerlukan ketenangan spiritual. Agama, sebagaimana di negara kota Yunani, juga difungsikan untuk tujuan ramalan. Kehidupan religius Makkah pada dasarnya secara umum percaya kepada Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, tetapi dari masa ke masa, sedikit demi sedikit ajaran itu begeser dan luntur. Memang mereka masih mengakui wujud Allah, dan bahwa Allah adalah pencipta alam raya ini, karena itu beberapa kali al-Qur’an menegaskan bahwa apabila mereka ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi mereka pasti berkata “Allah” dalam surat al-Zumar : 38 :

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.

Dalam surat al-Ankabut (29) ayat 63 juag dijelaskan, jika mereka ditanya tentang siapa yang menurunkan hujan atau bahkan yang menciptakan mereka,

W. Montgomery Watt, Islam and the Interpretation of Society (London: t.p, 1962), hlm. 12.

mereka pun akan menjawab “Allah”. Dalih mereka menyembah berhala adalah, karena Allah terlalu tinggi dan luhur sehingga perlu ada perantara perantara antara manusia dan Allah. Mereka kemudian menjadikan malaikat malaikat sebagai perantara dan untuk maksud tersebut mereka membuat

patung berhala untuk mereka sembah sambil menyatakan, bila dikecam 15 :                                  

  Ingatlah, Hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-

orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (az Zumar : 3)

Karena hal inilah para sejarawan Muslim tidak memberi predikat kepada penduduk Makkah dan sekitarnya dengan sebutan “penyembah berhala”

tetapi sebagai “orang orang yang mensekutukan” 16 , yaitu mensekutukan Allah

dengan patung dan berhala berhala. Tercatat ada 360 berhala yang diletakan di Ka’bah, yang paling terkenal adalah Hubbal (dianggap tuhan tertinggi), Latta,

Mannat, Uzza’. 17 Kondisi sosial ekonomi lebih suram lagi. Kaum wanita tidak dapat memainkan peran yang independen dalam bidang sosial ekonomi politik. Mereka harus hidup dengan suami yang rata rata memiliki istri lebih dari

15 Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis Hadis Shahih (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 130. 16 Masyarakat Makkah disebut dengan al-musyrikun yang diartikan orang musyrik. Orang yang profesi atau keahliannya melakukan penyekutuan. Lihat Al-Qurtubi, Al-

Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz. III (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1993), hlm. 80. 17 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabari, Tārīkh al-Rusūl wa al-Mulk, Ed.

Muhammad Abu Fadl Ibrahim, cet. Ke-4, 13 Jilid (Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1382 H/1962), hlm. 45. Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, hlm. 78. Bandingkan Tor Andrae, Mohammad, the Man and His Faith (London: t.p, 1956), hlm. 17- 18.

empat istri dan wanita dianggap sebagai beban hidup. Yang paling memprihatinkan adalah kondisi perekonomian, banyak terjadi ketimpangan, dimana struktur ekonomi kesukuan mengalami keruntuhan dangan tumbuhnya oligarki perdagangan dengan sistem kapitalistik eksploitatif. Hal ini menyuburkan keserakahan terhadap materi, bahkan aturan aturan kesukuan sudah mulai tidak lagi dihiraukan. Sebagian mereka menjadi kaya raya, sementara yang lain dalam keadaan miskin, tidak ada lagi tolong menolong meskipun dalam satu suku. Kesengsaraan tidak terlukiskan lagi. Anak anak yatim, janda janda, serta budak tak terhitung lagi jumlahnya. Mereka dipaksa bekerja dengan upah yang sangat minim. Mereka tidak lagi dianggap memiliki harkat dan martabat kemanusiaan. Kemudian muncullah solidaritas kelas berdasarkan harta, yang menggantikan solidaritas kesukuan.

Dalam kondisi chaos seperti itulah Muhammad saw sebagai nabi akhir zaman terlahir untuk membangun dimensi dimensi revolusioner bagi pembebasan dan perubahan. Kehadirannya dengan membawa risalah Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad telah berperan secara signifikan dalam panggung sejarah manusia. Tidak diragukan lagi, Islam telah menjadi penanda perubahan, bukan hanya dalam teologi, namun juga dalam sosial ekonomi. Revolusi dakwah Nabi saw menghendaki adanya transformasi struktural. Karena Islam selalu berupaya merombak struktur struktur ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat. Itulah sebabnya gerakan kelas dalam Islam bukanlah untuk mengantarkan kelas mustadz’afin untuk menegakan kediktatoran baru (dictactorship of proletariat) melainkan untuk melakukan transformasi dalam kerangka struktur struktur baru yang lebih adil.

Narasi sejarah sosial suku Arab di atas, memperlihatkan proses-proses sosial yang disebabkan oleh kompleksitas problematika manusia yang rumit dan dramatis, sehingga mendasari adanya kebutuhan dasariah yang mereka dambakan untuk menstabilkan keadaan. Semua proses-proses sosial tersebut memiliki tujuan yakni mendinamisasikan irama kehidupan antara cita-cita ideal dan kenyataan. Melalui perspektif filsafat sosial sebagai wacana yang membahas secara tuntas isu-isu fundamental yang menyangkut problematika Narasi sejarah sosial suku Arab di atas, memperlihatkan proses-proses sosial yang disebabkan oleh kompleksitas problematika manusia yang rumit dan dramatis, sehingga mendasari adanya kebutuhan dasariah yang mereka dambakan untuk menstabilkan keadaan. Semua proses-proses sosial tersebut memiliki tujuan yakni mendinamisasikan irama kehidupan antara cita-cita ideal dan kenyataan. Melalui perspektif filsafat sosial sebagai wacana yang membahas secara tuntas isu-isu fundamental yang menyangkut problematika

Semua pertanyaan ini muncul karena ada sebagian individu, sekelompok orang dan lembaga yang terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, khususnya dalam kondisi sosial politik yang tidak menentu. Filsafat sosial lahir untuk membangun konsep ideal tentang tatanan masyarakat sebagai panduan bagi individu dan pemerintah, karena semua orang, individu yang mengatasnamakan dirinya sendiri atau yang berhimpun dalam organisasi

sosial dan negara akan menagih kebebasan, pengakuan hak dan keadilan. 18 Dari perspektif filsafat sosial, bentuk revolusi dakwah Nabi Muhammad saw bermuara pada prinsip transendental, yakni teologi pembebasan, humanisme, persaudaraan universal, kesetaraan dan keadalian sosial ekonomi. Nilai nilai tersebut terlihat dalam perjalanan hidupnya (Sirah Nabawiyyah) dalam menyampaikan risalah Tuhan :

a) Teologi Pembebasan (liberation theology) Tauhid adalah basis utama dari perubahan yang digulirkan Nabi Muhammad saw. Pandangan tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain itu adalah kekuatan yang tidak mutlak. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakannya untuk semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakan manusia untuk melawan segala kekuatan, dominasi dan belenggu kenistaan oleh manusia atas manusia. Inilah esensi dari teologi pembebasan sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas dan kesetaraan.

18 Filsafat sosial juga melibatkan kajian sejarah dalam mengungkap kedalaman sosialitas manusia, karena sosialitas manusia akan menjadi misteri yang tidak terungkap

jika meninggalkan kajian sejarah. Kajian sejarah dalam filsafat sosial ini sebagai pijakan awal untuk melihat secara menyeluruh arah gerak sosial di masa depan. Filsafat sosial berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut dengan menelusuri fakta sejarah dan sosial untuk menemukan konsep sosial masyarakat yang ideal berdasarkan pertimbangan normativitas manusia sebagai makhluk yang merdeka.

Perubahan besar yang dilakukan Nabi Muhammad adalah reformasi sosial yang dilandasi pada solusi spiritual baru (tauhid), karena jika tidak perubahan itu akan tetap dangkal. Momentum besar ini bertepatan pada tahun 610 M ketika usianya mencapai empat puluh tahun, wahyu pertama turun kepadanya sebagai tanda kenabian, firman tersebut :

Dalam konteks wahyu pertama ini, masih sejalan dengan keyakinan suku Quraisy bahwa Allah telah menciptakan setiap mereka. 19 Ayat ini menegaskan

bahwa Dia bukanlah Tuhan yang jauh dan tak hadir melainkan ingin mengajarkan dan memandu makhluk-Nya. Sehingga mereka mesti “datang mendekat” kepada-Nya. Tetapi alih alih mendekati Tuhan dalam semangat istighna’ (rasa cukup diri), mereka mesti bersujud di hadapan-Nya seperti budak hina : “tundukan kepala mu ke tanah” sebagaimana perintah Tuhan. Sebuah postur yang menjijikan bagi masyarakat Arab yang tinggi hati. Sejak awal sekali, agama Muhammad secara diametris bertentangan dengan beberapa prinsip dasar muruwah masyarakat Arab.

Dari perspektif sosiologis, ayat ini juga ingin menyadarkan masyarakat Arab yang diliputi oleh kesombongan, membanggakan kekuasaan manusia dan pengrusakan terhadap segala sesuatu di dunia ini. Konsep teologis yang

19 Masyarakat jahiliyah secara umum percaya kepada Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, tetapi dari masa ke masa, sedikit demi sedikit ajaran itu

begeser dan luntur atau disalah fahami sehingga, kendati masyarakat Arab mengakui Nabi Ibrahim sebagai leluhur akan tetapi ajarannya direduksi. Mereka masih mengakui wujud allah, dan bahwa Allah adalah pencipta alam raya ini, akan tetapi berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim dalam substansi dan dalam rinciannya. Karena itu beberapa kali al-Qur’an menegaskan bahwa apabila mereka ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi mereka pasti berkata “Allah” dalam surat al-Zumar : 38 : “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah"..., dalam Surat al-Ankabut : 63 : “Dan Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah: "Segala puji bagi Allah", tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw..., hlm. 133.

dibawa Nabi Muhammad saw merupakan perubahan besar terhadap struktur soaial masyarakat Arab saat itu, hal inilah yang menjadikan dakwahnya ditentang begitu keras oleh masyarakatnya saat itu. Dr. Tohah Husain, cendekiawan Mesir terkemuka, menjelaskan hal tersebut :

“saya yakin bahwa jika (Nabi Muhammad) hanya mengajarkan keesaan Tuhan tanpa menyerang sistem sosial dan ekonomi, tidak memperdulikan perbedaan antara yang kaya dan miskin, yang kuat dan tertindas, budak dan majikan, dan tidak melarang riba, serta tidak menganjurkan orang orang kaya untuk mendermakan sebagain kekayaan mereka kepada orang miskin dan yang membutuhkan, mayoritas suku Quraisy akan menerima agamanya. Karena sebagian besar mereka itu tidak sungguh sungguh menyembah berhala dan tidak mempunyai hubungan emosional dengan berhala berhala tersebut. Sebenarnya mereka memanfaatkan berhala berhala itu untuk mempertahankan pengaruh

mereka terhadap bangsa Arab. 20

Hal senada juga dijelaskan oleh H.R Gibb : “perlawanan yang dilancarkan oleh masyarakat Makkah bukanlah disebabkan

sikap keras kepala mereka akan ajaran yang disampaiakan Nabi, namun karena alasan-alasan ekonomi politik. Mereka khawatir, ajaran yang disampaikan Nabi bisa mengancam kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya ajaran monoteisme murninya bisa menghancurkan aset ekonomi yang mereka kuasasi. Disamping itu, mereka juga sadar bahwa pengakuan mereka terhadap ajaran Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaan politik baru dalam masyarakat oligarki

yang mereka bentuk selama ini”. 21

Konsep keimanan yang terangkum dalam prinsip rukun iman merupakan arus balik dari kondisi sosial masyarakat Arab jahiliyyah. Adanya konsep tentang “hari pembalasan” contohnya, merupakan respon kondisi masyarakat Quraisy saat itu yang tidak lagi merasa bertanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka sibuk mengumpulkan harta kekayaan pribadi, tanpa memberi perhatian pada penderitaan kaum yang lemah. Mereka tidak menyadari bahwa tindakan mereka akan memiliki konsekuensi yang berjangka panjang (di akhirat kelak).

Prinsip tauhid (keesaan) menjadi pusat spiritualitas Islam. Ini bukan sekedar sebuah penegasan metafisik yang abstrak tentang kesatuan tuhan, melainkan, seperti seluruh ajaran al-Qur’an, merupakan seruan untuk berbuat.

20 Taha Husein, al-Ftnah al-Kubra (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), Jilid I, hlm. 11 21 H.R.Gibb, Muhammadanism (London: t.p, 1919), hlm. 18. Dikutip dari Aghar Ali

Engineer...,

Kaum Muslim tidak hanya harus menolak untuk menyembah berhala-berhala, tetapi juga harus memastikan bahwa realitas lain tidak mengalihkan mereka dari komitmen mereka kepada Tuhan semata, harta, negara, keluarga, kekayaan materi dan bahkan ide ide mulia seperti cinta harus dinomorduakan. Melangkah lebih dari itu Nabi Muhammad saw merangkul semua anggota komunitas dengan penghormatan yang sama. Dia (Muhammad) melepaskan etos aristokratis masyarakat Quraisy, karena misi yang dibawanya adalah

untuk yang kaya maupun yang miskin. 22

Dari sini tampaklah bahwa teologis pembebasan yang dicanangkan Nabi saw, merupakan pengembangan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam penghambaan dan perbedukan pada selaian Tuhan demi suatu cita cita eskatalogis yang sudah pasti. Oleh karena itu orientasi alturisnya yang berdasarkan pada etika transendental itu, juga harus diarahkan diarahkan kepada kehidupan yang objektif empiris. Dan karena kehidupan yang objektif empiris itu merupakan resultan dari kondisi sistem sosial ekonomi politik yang bersifat historis, maka perjuangan Islam adalah perjuangan untuk memperbaikinya.

Misi teologis monoteisme (tauhid) merupakan revolusi radikal dari misi kenabian guna menegakan kalimat “Laa Ilaaha Illallah”. Kalimat singkat itu, jika digali maknanya secara mendalam memiliki dampak sosial politik yang sangat dinamis dan progresif. Bahwa melalaui kalimat tauhid, semua kekuasaan dan kekuatan dimuka bumi haruslah dinegasikan. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, selebihnya hanyalah nisbi. Konsekuensinya, tidak seorang pun dimuka bumi ini, diizinkan untuk berkuasa secara lalim dan sewenang wenang. Seluruh penguasa otoritarian dan kediktatoran haruslah dimusnahkan, karena semua manusia memiliki posisi yang sama dihadapan- Nya.

22 Bahkan dalam satu kisah diceritakan bahwa, Rasulullah pernah mengabaikan orang buta yang mendekatinya untuk bertanya, dikarenakan saat itu Rasulullah sedang

diskusi dengan sebagian penguasa Makkah. Kemudian turunlah wahyu yang menegurnya, bahwasanya seorang Nabi tidak layak bersikap demikian, lihat QS. Abasa (80). 1-10.

b)Persaudaraan Universal ( universal brotherhood) Persaudaraan merupakan manifestasi dari konsep ukhuwwah (brotherhood)

yang memposisikan setiap muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. 23

Persaudaraan yang dibangun Oleh Nabi Muhammad disandarkan pada kesadaran humanistik bahwa tidak ada manusia yang mampu hidup sendiri tanpa kontribusi makhluk lain. Setiap manusia meniscayakan keterlibatan antar individu dalam kolektivitas untuk memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, keterikatan antar manusia adalah konsepsi yang melandasi hubungan timbal balik dalam solidaritas dan persaudaraan, ilustrasi metaforis yang menunjukkan konsep persaudaraan dalam Islam adalah sebagaimana sabda Nabi saw :”bahwa hubungan seorang individu Muslim dengan individu lainnya ibrat satu tubuh, jika sebagaian merasakan penderitaan maka bagian tubuh yang lain menunjukkan solidaritasnya”.

Hal ini tentu suatu hal yang tidak wajar bagi masyarkat Makkah saat itu, dimana persaudaraan hanya terkait dengan kesukuan yang fanatik. Dan menganggap acuh setiap penderitaan diluar golonganya. Konsep ini tentu membawa ketertarikan bagi golongan lemah (yang tidak punya prestise kesukuan dan financial). Terlihat bahwa pengikut Nabi saw, pada masa awal terdiri dari sekelompok orang yang dipandang lemah/kelas bawah. Pada tahap awal kenabian Muhammad hanya diakui segelintir orang, dari kalangan keluarga Khadijah dan putri-putri mereka, Ali, Zaid, sepupu Nabi, Ja’far ibn Abi Thalib, Abdullah dan Ubaidillah ibn Jahsy serta adik perempuan mereka, Zainab. Dari kalangan sahaya, ada Bilal ibn Rabbah, Abdullah ibn Mas’ud, Ammar ibn Yassar serta kedua orang tuanya. Pengikut Nabi saw yang paling semangat adalah sahabatnya, Attiq ibn Ustman yang lazim dikenal dengan kunyah-nya, Abu Bakr al-Shiddiq.

Konsep persaudaraan universal yang dibawa Nabi saw, tidak hanya berkisar pada komunitas Muslim. Dengan konsep yang berdasarkan firman Allah, “wahai manusia, sungguh kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,

23 Landasan persaudaraan dalam Islam termaktub dalam surat al-Hujurat yat 10 : “sesungguhnya orang orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua

saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat” saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”

yang pling bertaqwa. 24 Konsep ini secara jelas membantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang ditekankan bukan hanya kesalehan ritual.

Membangun persaudaraan universal adalah revolusi fundamental yang diperjuangkan Nabi saw, mengingat kondisi masyarakat Arab terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang biasa hidup secara badui, biadab, gemar berperang dan labil. Setiap hari mereka disibukan dengan masalah air dan rumput, karena memang itulah problem utama yang dihadapi.

Karakteristik ini terbentuk karena pengaruh alam yang sebagain besar berupa padang pasir. Watak alami pasir, pertama, tidak dapat disatukan. Pasir bagaimanapun, dimasukan kedalam karung kemudian diikat tetap tidak bisa bersatu, begitu juga watak orang Arab. Bangsa Arab, bersatu atau ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil. Kedua, pasir wataknya labil, mudah terbang kesana-kemari, kemana angin berhembus kesitu pasir mengarah. Demikian pula orang Arab, dimana mereka mendapat tempat perlindungan yang bisa menjamin atau membawa kebahagiaan, mereka akan segera mengikutinya dengan fanatisme dan semangat tinggi tanpa banyak pilihan.

Kegersangan gurun juga membentuk suku-suku dan kabilah jazirah Arab memiliki solidaritas internal yang kokoh disatu sisi, sekaligus ganas terhadap suku atau kabilah lain. Itulah sebabnya bangsa Arab juga dikenal sebagai bangsa yang antara suku dengan suku lainnya mudah untuk bermusuhan. Hanya karena tamunya diganggu bisa memicu perang saudara selama 40

tahun, ini kemudian dikenal dengan perang Fujjar. 25 Rasulullah saw sendiri juga pernah terlibat dalam permusuhan kabilah. Yang ketika itu membantu

24 QS. Al-Hujurat : 13. 25 Menurut Ibnu Hisyam waktu perang Fijjar, Nabi saw berusia 14 atau 15 tahun,

perseteruan tersebut antara Quraisy yang didukung Kinanah dengan Qais ‘Ailan. Lihat Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz I, hlm. 184.

pamannya Abu Thalib membawakan panah dalam perang tersebut. Itulah gambaran bangsa Arab ketika itu.

Di tengah bangsa yang demikian, Rasulullah saw diutus Allah membawa misi Islam yang sangat menekankan ukhuwwah, persaudaraan manusia atas dasar keimanan. Untuk tujuannya itu rasulullah memanfaatkan kefanatikan dan sifat indifa’ (emitional) yang menjadi watak bangsa Arab. Fanatisme yang semula digunakan utnuk membela kabilahnya, setelah Rasulullahg datang, digunakan untuk membela Islam, dan ternyata watak emotional yang tinggi dari bangsa Arab ini menjadi salah satu faktor yang mempercepat penyebaran Islam.

Selama 23 tahun, dengan segala kehebatan serta kebesaran dan kharisma yang dimilikinya, Rasulullah saw mampu meredam kefanatikan kabilah, menjadi kefanatikan agma, ghirah Islam, yang semula bangga dengan sebutan al-Taimi, al-Adiy, al-Zahri, di masa Rasulullah saw menjadi bangga dengan sebutan al-Siddiq, al-faruq, Al-mutadlo, tegasnya membuang kebanggaan suku dan kabilahnya.

Dengan status yang disandangnya sebagai “rahmatan lil alamin”, sebagaimana dijelaskan al-Qur’an :”Dan aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta” 26 . Cakupan rahmat bagi alam semesta memberi ruang gerak bagi tumbuhnya masyarakat plural (majemuk) yang senantiasa cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan peradaban. Melalui revolusi dakwahnya, Nabi saw mampu membawa masyarakat menapaki kehidupan yang semakin cemerlang dari hari ke hari. Diawali periode Makkah yang masih mengedepankan paradigma “ukhuwwah islmiyyah” persaudaraan internal Muslim. Kemudian berlanjut periode Madinah yang menekankan “ukhuwwah wathaniyyah” persaudaraan lintas agama dan dipungkasi dengan peristiwa haji wada’ yang menjunjung tinggi “ukhuwwah basyariyyah” persaudaraan lintas etnis.

26 QS. Al-Anbiya : 107

c) Humanisme Bentuk revolusi Nabi saw berikutnya adalah, Visi kemanusiaan sebagai perubahan transendental. Visi ini didorong oleh problematika manusia yang dihadapkan kepada kegelisahan yang tidak pernah selesai dijawab yakni mengapa semua manusia harus diperlakukan secara adil dan bermoral? Pertanyaan ini memiliki jawaban yang juga tidak pernah selesai yakni karena semua manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang sama derajat, sama hak dan kewajiban-kewajiban asasinya. Harkat dan martabat manusia bersumber pada hakikat manusia sebagai manusia bukan hadiah dari orang lain, masyarakat atau negara. Hakikat manusia merupakan keutuhan baik dalam diri sendiri maupun dalam hubungannya dengan sesama sebagai makhluk sosial. Dimensi totalitas manusia bukanlah totalitas statis melainkan suatu totalitas dinamis, oleh karena itu, manusia adalah dinamika yang harus digerakkan, suatu potensialitas yang harus diaktualisasikan.

Perbincangan tentang manusia tidak boleh berhenti hanya kepada hak- hak yang melekat sejak lahir, juga perlu dikembangkan dalam wacana universal yakni kemanusiaan, ide kemanusiaan lebih luas daripada manusia. Paradigma besar kemanusiaan berpijak kepada pandangan bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan dalam kesamaannya ini setiap orang sebagai manusia memiliki hak-hak asasi yakni hak hidup dan berkehidupan yang damai dan sejahtera. Paradigma besar kemanusiaan mendorong masing-masing individu untuk secara bijaksana menemukan jalan tengah antara hidup perorangan dan hidup kemasyarakatan. Setiap manusia harus mampu mengembangkan bakat- bakat sosial dan perorangan secara seimbang, kesadaran individu berdampingan dan selaras dengan kesadaran sosial. Paradigma besar kemanusiaan mengharuskan negara untuk menjamin derajat kemanusiaan dalam segala lapangan kehidupan dan memberikan kesempatan yang sama kepada para warganya untuk berkembang menjadi pribadi manusia yang Perbincangan tentang manusia tidak boleh berhenti hanya kepada hak- hak yang melekat sejak lahir, juga perlu dikembangkan dalam wacana universal yakni kemanusiaan, ide kemanusiaan lebih luas daripada manusia. Paradigma besar kemanusiaan berpijak kepada pandangan bahwa setiap manusia harus diperlakukan sama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan dalam kesamaannya ini setiap orang sebagai manusia memiliki hak-hak asasi yakni hak hidup dan berkehidupan yang damai dan sejahtera. Paradigma besar kemanusiaan mendorong masing-masing individu untuk secara bijaksana menemukan jalan tengah antara hidup perorangan dan hidup kemasyarakatan. Setiap manusia harus mampu mengembangkan bakat- bakat sosial dan perorangan secara seimbang, kesadaran individu berdampingan dan selaras dengan kesadaran sosial. Paradigma besar kemanusiaan mengharuskan negara untuk menjamin derajat kemanusiaan dalam segala lapangan kehidupan dan memberikan kesempatan yang sama kepada para warganya untuk berkembang menjadi pribadi manusia yang

Visi kemanusiaan dalam revolusi transenden berpijak kepada revolusi autentik yang berbeda dengan wacana revolusi sosial yang bermakna perubahan dahsyat struktural yang fokus utamanya perubahan dari akar- akarnya dengan kekerasan dan perjuangan berdarah. Revolusi transenden fokus pada radikalisme proses sadar diri, artinya proses untuk membuang semua bentuk kesadaran palsu yang ditanamkan oleh penjajah dan penguasa yang mau memaksakan citra, bahasa dan wacana sang penguasa pada cara pikir yang dikuasai.

Visi kemanusiaan yang dipromosikan revolusi transenden adalah suksesi kesadaran yakni dari kesadaran palsu menuju kesadaran sejati yakni penggunaan akal sehat dan penjernihan nurani untuk transformasi dan pemerdekaan yang berani tidak hanya melakukan dekonstruksi pada sistem- sistem berpikir sampai sosial yang membelenggu, tetapi juga berani berpikir kritis untuk mengkritisi pendapat wacana yang mencuci otak dan merepresi kebebasan berpikir apalagi kebebasan berpendapat dan bersuara.

Dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi element dari pasar, dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja manusia dan bahkan kualitas manusia sendiri ditentukan oleh pasar, jika mereka ingin bekerja, maka mereka harus menawarkan jasanya ke pasar. kondisi inilah yang dialami oleh masyarakat Makkah saat dakwah Nabi saw digulirkan. Masyarakat kapitalis Makkah menjadikan manusia sebagai bulan bulanan dari kekuatan pasar, malapetaka kemanusiaan dalam sistem kapitalistik ini ternyata tak lebih ringan dari malapetaka yang dihadapi manusia dalam sisten komunis, karena dalam sistem komunis, manusia tidak menjadi element pasar melainkan menjadi elemen birokrasi. Kedua sistem sosial tersebut hanya menempatkan

manusia sebagai element. 28

27 Babari, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sebagai Dasar Negara, dalam “Jurnal Analisa” Jakarta, 1983, hlm. 861. 28 Dalam konteks ini, maka kedudukan manusia mengalami degradasi. Manusia yang tadinya dianggap sebagai pusat alam semesta, kini telah berubah sekedar sebagai

Hal ini tentu bukanlah tujuan dari risalah Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Dalam Islam, manusia digambarkan sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusia menduduki tempat yang sangat terhormat. Dalam banyak sekali ayat al-Qur’an diserukan agar manusia menemukan esensi dirinya, memikirkan kedudukannya dalam struktur realitas, den dengan demikian mampu menempatkan dirinya sesuai dengan keberadaan kemanusiannya. Karena itu dalam perjalanan dakwahnya, Nabi saw begitu amat memuliakan niali nilai kemanusiaan, penghargaannya yang tulus terhadap siapapun dan dari agama manapun. Hal ini tercermin dari sabda sabdanya, “perlakukan seseorang sebagaimana engkau ingin diperlakukan”. Konsep sederhana ini sebenarnya merupakan suatu konsepsi yang sangat revolusioner jika diingat bahwa pada konteks kelahiran Islam sekitar abad ke-7 berada dalam kondisi amoral, bangsa Arab khususnya masyarakat badui telah tercabut dari karakteristik kemanusiannya.

Ibnu Khaldun, sejarahwan abad keempat belas, dalam karyanya Muqaddimah menggambarkan karakter suku Arab Badui secara lugas : “bahwa suku Badui adalah bangsa yang tak beradab yang terbiasa melakukan

tindakan-tindakan yang tak bermoral. Kebiadaban telah menjadi watak dan sifat mereka. Mereka menikmatinya, karena hal ini berarti terbebas dari kekuasaan dan tiadanya ketundukan pada kepemimpinan. Watak alamiah ini merupakan pengingkaran dan anti tesis dari peradaban. Semua aktifitas keseharian mereka adalah mengembara dan berpindah-pindah. Ini adalah anti tesis dari kehidupan menetap, yang menghasilkan peradaban.... mereka tidak mempunyai bangunan yang permanen, yang menjadi pondasi peradaban.

Lebih dari itu, sudah menjadi sifat mereka untuk merampas apa saja yang memiliki orang lain. Makanan mereka didapat dengan melemparkan tombak ke musuh mereka. Mereka menganggap tak ada batas dalam mengambil milik orang lain. Kapan saja pandangan mereka melihat harta benda, peralatan atau barang-

barang berharga lain, mereka mengambilnya.... 29

unsur unsur suatu sistem ekonomi atau sistem politik. Dalam beberapa aliran filsafat Barat, kedudukan manusia digambarkan secara absurd. Pada zaman Renaisans digambarkan sebagai pusat alam semesta, sedangkan pada zaman modern ini telah tereduksi hanya sebagai unsur kecil di dalam sistem raksasa, bahkan telah terbelenggu oleh mekanisme-mekanisme sistem itu. Posisi manusia semcam ini, celakanya, justru dijustifikasi oleh banyak aliran filsafat kontemporer.

29 Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn al-Hasan Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Alamiyah , 2003). Edisi Inggris The Muqaddimah diterjemahkan dari bahasa Arab oleh F. Roshental dan diringkas oleh N.J Dawood (London: t.p, 1958), hlm. 83.

Ibnu khaldun juga mengemukakan beberapa karakter khas kaum Badui lainnya, Ia berkata: Bangsa Badui juga tidak peduli dengan hukum atau berusaha mencegah tindakan-

tindakan yang tidak bermoral atau melindungi suatu suku dari penyerbuan suku lainnya. Hidup mereka hanya untuk mendapatkan harta benda yang mereka ambil melalui perampokan dan penyerbuan....

Dalam hukum Badui, kehidupan mereka mirip dengan negara anarki yang tanpa hukum. Anarki menghancurkan umat manusia dan merusak peradaban, karena, seperti yang sudah kami katakan, eksistensi kekuasaan kerajaan adalah kualitas alamiah manusia. Ini saja sudah menjamin eksisitensi manusia serta organisasi