Arkeoastronomi Jawa membuka Pandangan Ba
Arkeoastronomi Jawa Membuka Pandangan Bangsa Terhadap Peradaban
Dunia
Oleh : Vika Vernanda
Cakrawala gulita dengan taburan bintang bak lautan permata telah berhasil
menggugah jiwa setiap insan yang menatapnya. Perlahan tapi pasti, jiwa yang
telah tergugah mengakibatkan meningkatnya rasa penasaran dan berdampak pada
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang telah
berkembang sedari dulu adalah astronomi, hal itu menjadikan astronomi sebagai
ilmu pengetahuan tertua. Astronomi mempelajari semua hal tentang alam semesta.
Karena terlalu luasnya cakupan, ilmu astronomi dapat dibagi menjadi beberapa
sub bahasan, diantaranya adalah arkeoastronomi. Arkeoastronomi merupakan
cabang ilmu astronomi yang membahas mengenai kaitan antara ilmu arkeologi
dengan astronomi.
Arkeoastronomi di Indonesia belum terlalu dikenal namun, dapat dirasakan
keberadaannya. Terbukti dari setiap artefak kuno yang ditemukan oleh para
arkeolog di Indonesia, beberapa diantaranya memiliki unsur astronomi, salah
satunya adalah pada candi. Masyarakat tentunya mengetahui bahwa candi
merupakan tempat ibadah umat Hindu dan Buddha, tetapi tidak semua masyarakat
mengetahui bagaimana proses pembangunan candi. Candi yang notabene
merupakan tempat suci tentunya memiliki aturan-aturan tertentu dalam proses
pembangunannya. Salah satunya adalah Candi Borobudur.
Candi Borobudur merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit yang
diperkirakan dibangun pada tahun 800 M. Kompleks Candi Borobudur terdiri dari
stupa-stupa kecil yang disusun berundak membentuk formasi melingkar dengan
sebuah stupa induk di tingkat teratas undakannya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh seorang epigraf bernama Trigangga, didapati bahwa orientasi candi
bertepatan dengan posisi Matahari saat itu. Dengan melakukan perhitungan yang
akurat mengenai hal tersebut dapat diketahui tahun pembuatan candi. Selain itu,
susunan stupa juga memiliki arti tersendiri. Berdasarkan penelitian yang juga
dilakukan oleh Trigangga, diketahui bahwa ternyata stupa induk pada undakan
teratas candi merupakan jam matahari. Perhitungan waktu didasarkan pada
jatuhnya bayangan Matahari pada stupa tersebut, sedangkan struktur stupa lainnya
yang disusun berundak dan melingkar mengelilingi stupa utama juga memiliki arti
tersendiri. Stupa kecil dapat digunakan sebagai waktu penanda awal sebuah
musim bagi masyarakat jawa. Sistem perhitungan musim ini dibuat menurut
jatuhnya bayangan stupa induk pada stupa kecil di sekelilingnya. Selanjutnya,
berdasarkan pengamatan pada berbagai candi di Pulau Jawa, didapati bahwa jika
dilihat dari udara semuanya tampak sejajar. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa
campur tangan ilmu astronomi yang sudah dimengerti pada zaman pembangunan
candi tersebut. Pada zaman sekarang, kesejajaran suatu bangunan dengan
bangunan yang lain dapat dengan mudah diciptakan hanya dengan menyesuaikan
koordinat. Konon, sistem koordinat yang mereka gunakan saat itu berasal dari
pengamatan Matahari. Mereka mencatat setiap pergerakan Matahari dan dapat
menyimpulkan suatu koordinat tempat mereka berada. Hal ini merupakan contoh
pengaplikasian ilmu astronomi dalam peradaban masyarakat jawa.
Astronomi dalam masyarakat jawa juga mengakar pada legenda daerahnya.
Misalnya saja legenda yang berjudul “Jaka Tarub”. Pada legenda ini dikisahkan
bahwa Jaka Tarub melihat tujuh bidadari dari kahyangan yang sedang mandi di
sungai. Ia mencuri salah satu selendang dari bidadari tersebut. Bidadari yang
selendangnya dicuri itu kemudian tetap di Bumi dan berkeluarga bersama Jaka
Tarub. Namun, suatu saat bidadari itu mengetahui bahwa Jaka Tarub yang
mengambil selendangnya. Bidadari itupun marah dan kembali ke kahyangan
meninggalkan Jaka Tarub beserta anaknya. Tujuh bidadari pada legenda ini
merupakan representasi dari tujuh bintang pada gugus bintang Pleiades. Salah satu
sumber menyebutkan bahwa jika salah satu bintang pada gugus bintang Pleiades
tidak terlihat di langit, itu berarti sang bidadari sedang turun ke Bumi untuk
menyusui anaknya. Hal ini tentunya menunjukkan pengetahuan masyarakat Jawa
yang sudah baik mengenai ilmu astronomi.
Dalam masyarakat jawa, gugus bintang Pleiades juga dikaitkan dengan Tari
Bedhaya Ketawang. Tarian ini merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan
pada acara khusus seperti penobatan raja dan acara penting lainnya. Penarinya
juga harus masih perawan. “Bedhaya Ketawang” memiliki arti “Tarian dari
Langit”. Tarian ini dianggap sakral karena diturunkan dari nirwana secara
langsung. Hubungan tarian ini dengan Pleiades didapat melalui fakta bahwa salah
satu pola lantainya mengikuti letak bintang pada gugus Pleiades.
Beralih dari peradaban masa lalu dan sebuah cerita rekaan, Astronomi dalam
budaya jawa juga diaplikasikan pada zaman maju seperti ini. Gugus bintang
Pleiades juga mempengaruhi bidang pertanian di Pulau Jawa. Bagi masyarakat
jawa, posisi Pleiades sangat membantu dalam proses pertanian. Apabila jarak
zenith Pleiades mencapai 40o , itu berarti musim ketujuh dalam kalender pertanian
telah dimulai. Pada masa ini, petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan
pembibitan ke lahan utama. Proses ini sebenarnya menggunakan rasi bintang
Orion atau yang lebih dikenal dengan nama Waluku sebagai panduan utama.
Keterkaitan budaya jawa dengan ilmu astronomi juga diperlihatkan pada ornamen
di setiap bangunannya. Seperti pada langit-langit Keraton Mangkunegaraan
Pendopo Dalem. Ornamen pada langit-langit pendopo yang berwarna terang
menggambarkan sejumlah rasi bintang. Hal ini dikarenakan masyarakat jawa pada
tahun pembangunan Mangkunegaraan Pendopo Dalem, 1757 melihat langit
malam dengan pola yang sama seperti ornamen pada langit-langit pendopo.
Masyarakat pada zaman itu ingin membuat suatu bangunan yang menyatu dengan
alam, sehingga ketika mereka berada di bangunan itu mereka serasa menatap
langit sebenarnya.
Perkembangan peradaban masyarakat jawa tidak luput dari adanya fakta
mengenai arkeoastronomi. Astronomi modern yang berkembang di seluruh dunia
salah satunya juga dipelopori oleh kenyataan tentang keberadaan situs-situs
mengenai arkeoastronomi. Contohnya adalah berbagai sistem penanggalan yang
telah ada jauh sebelum perkembangan astronomi modern. Misalnya sistem
penanggalan suku Maya yang menjadikan penampakan Venus sebagai dasar
dibuatnya kalender dan masih digunakan bangsa Maya hingga saat ini.
Paparan diatas menunjukkan bahwa ilmu astronomi tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan peradaban manusia. Hal ini memberikan arti bahwa setiap segmen
perkembangan astronomi modern merupakan satu kesatuan dengan
arkeoastronomi yang telah dipelajari dan diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari
oleh nenek moyang kita.
Salah satu aspek yang menyebabkan berkembangnya ilmu astronomi dari
arkeoastronomi hingga astronomi modern adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Arkeoastronomi dapat dijadikan acuan dalam
mengembangkan teknologi untuk penelitian astronomi di masa depan. Seperti
telah dibahas diatas bahwa sistem koordinat yang digunakan pada zaman
pembangunan candi didasarkan pada pergerakan Matahari. Hal itu menjadi cikal
bakal dibuatnya sistem koordinat yang digunakan saat ini. Selain itu, penunjuk
arah yang awalnya menggunakan bintang atau rasi bintang kini menjadi
menggunakan kompas. Hal ini dikarenakan penentuan arah mata angin
menggunakan bintang atau rasi bintang belum sepenuhnya akurat mengingat
adanya gerak presesi Bumi yang mengakibatkan perubahan Kutub Ekliptika setiap
26000 tahun sekali. Belakangan ini bahkan ditemukan fakta bahwa kutub-kutub
magnet Bumi berubah yang menyebabkan berkembangnya keakuratan kompas.
Hal itu menunjukkan bahwa manusia memerlukan alat navigasi yang lebih akurat.
Seperti pada pembuatan ornamen di langit-langit Keraton Mangkunegaraan
Pendopo Dalem yang didasarkan pada hasil pengamatan terhadap langit bagi
masyarakat zaman itu. Pengamatan terhadap langit menggugah rasa ingin tahu
sehingga manusia berbondong-bondong menciptakan alat untuk menyingkap tirai
yang selama ini menutupi langit dari kebenarannya. Dimulai dari penemuan
teknologi sederhana seperti teleskop Galileo hingga teknologi tercanggih saat ini,
Hubble Space Telescope.
Kemajuan IPTEK di bidang Astronomi semakin menggugah rasa penasaran
manusia untuk melakukan berbagai penelitian. Diantaranya penelitian mengenai
keberadaan makhluk hidup di luar Bumi. Penelitian tersebut bertujuan untuk
menemukan “tetangga” Bumi dan juga untuk menemukan tempat “pengungsian”
jika tiba saat dimana Bumi sudah tidak dapat ditinggali lagi. Umat manusia
tentunya ingin memiliki kehidupan yang jauh lebih baik di masa mendatang. Oleh
karenanya, umat manusia terus mengembangkan IPTEK termasuk juga yang
berkaitan dengan astronomi yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup
manusia. Fakta tersebut semakin memperkuat argumen bahwa astronomi bukan
hanya mengenai bintang yang jauh di langit dan tidak dapat dijangkau, tetapi
astronomi bisa menjadi sedekat waktu yang tiap detik bisa kita amati. Astronomi
adalah ilmu yang dinamis dan terus mengalir sejak awal hingga saat ini, bahkan
masa mendatang. Astronomi ada di setiap segmen kehidupan dan tidak bisa
dilepaskan dari kelangsungan hidup kita.
Dunia
Oleh : Vika Vernanda
Cakrawala gulita dengan taburan bintang bak lautan permata telah berhasil
menggugah jiwa setiap insan yang menatapnya. Perlahan tapi pasti, jiwa yang
telah tergugah mengakibatkan meningkatnya rasa penasaran dan berdampak pada
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang telah
berkembang sedari dulu adalah astronomi, hal itu menjadikan astronomi sebagai
ilmu pengetahuan tertua. Astronomi mempelajari semua hal tentang alam semesta.
Karena terlalu luasnya cakupan, ilmu astronomi dapat dibagi menjadi beberapa
sub bahasan, diantaranya adalah arkeoastronomi. Arkeoastronomi merupakan
cabang ilmu astronomi yang membahas mengenai kaitan antara ilmu arkeologi
dengan astronomi.
Arkeoastronomi di Indonesia belum terlalu dikenal namun, dapat dirasakan
keberadaannya. Terbukti dari setiap artefak kuno yang ditemukan oleh para
arkeolog di Indonesia, beberapa diantaranya memiliki unsur astronomi, salah
satunya adalah pada candi. Masyarakat tentunya mengetahui bahwa candi
merupakan tempat ibadah umat Hindu dan Buddha, tetapi tidak semua masyarakat
mengetahui bagaimana proses pembangunan candi. Candi yang notabene
merupakan tempat suci tentunya memiliki aturan-aturan tertentu dalam proses
pembangunannya. Salah satunya adalah Candi Borobudur.
Candi Borobudur merupakan candi peninggalan kerajaan Majapahit yang
diperkirakan dibangun pada tahun 800 M. Kompleks Candi Borobudur terdiri dari
stupa-stupa kecil yang disusun berundak membentuk formasi melingkar dengan
sebuah stupa induk di tingkat teratas undakannya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh seorang epigraf bernama Trigangga, didapati bahwa orientasi candi
bertepatan dengan posisi Matahari saat itu. Dengan melakukan perhitungan yang
akurat mengenai hal tersebut dapat diketahui tahun pembuatan candi. Selain itu,
susunan stupa juga memiliki arti tersendiri. Berdasarkan penelitian yang juga
dilakukan oleh Trigangga, diketahui bahwa ternyata stupa induk pada undakan
teratas candi merupakan jam matahari. Perhitungan waktu didasarkan pada
jatuhnya bayangan Matahari pada stupa tersebut, sedangkan struktur stupa lainnya
yang disusun berundak dan melingkar mengelilingi stupa utama juga memiliki arti
tersendiri. Stupa kecil dapat digunakan sebagai waktu penanda awal sebuah
musim bagi masyarakat jawa. Sistem perhitungan musim ini dibuat menurut
jatuhnya bayangan stupa induk pada stupa kecil di sekelilingnya. Selanjutnya,
berdasarkan pengamatan pada berbagai candi di Pulau Jawa, didapati bahwa jika
dilihat dari udara semuanya tampak sejajar. Hal ini tidak mungkin terjadi tanpa
campur tangan ilmu astronomi yang sudah dimengerti pada zaman pembangunan
candi tersebut. Pada zaman sekarang, kesejajaran suatu bangunan dengan
bangunan yang lain dapat dengan mudah diciptakan hanya dengan menyesuaikan
koordinat. Konon, sistem koordinat yang mereka gunakan saat itu berasal dari
pengamatan Matahari. Mereka mencatat setiap pergerakan Matahari dan dapat
menyimpulkan suatu koordinat tempat mereka berada. Hal ini merupakan contoh
pengaplikasian ilmu astronomi dalam peradaban masyarakat jawa.
Astronomi dalam masyarakat jawa juga mengakar pada legenda daerahnya.
Misalnya saja legenda yang berjudul “Jaka Tarub”. Pada legenda ini dikisahkan
bahwa Jaka Tarub melihat tujuh bidadari dari kahyangan yang sedang mandi di
sungai. Ia mencuri salah satu selendang dari bidadari tersebut. Bidadari yang
selendangnya dicuri itu kemudian tetap di Bumi dan berkeluarga bersama Jaka
Tarub. Namun, suatu saat bidadari itu mengetahui bahwa Jaka Tarub yang
mengambil selendangnya. Bidadari itupun marah dan kembali ke kahyangan
meninggalkan Jaka Tarub beserta anaknya. Tujuh bidadari pada legenda ini
merupakan representasi dari tujuh bintang pada gugus bintang Pleiades. Salah satu
sumber menyebutkan bahwa jika salah satu bintang pada gugus bintang Pleiades
tidak terlihat di langit, itu berarti sang bidadari sedang turun ke Bumi untuk
menyusui anaknya. Hal ini tentunya menunjukkan pengetahuan masyarakat Jawa
yang sudah baik mengenai ilmu astronomi.
Dalam masyarakat jawa, gugus bintang Pleiades juga dikaitkan dengan Tari
Bedhaya Ketawang. Tarian ini merupakan tarian sakral yang hanya ditampilkan
pada acara khusus seperti penobatan raja dan acara penting lainnya. Penarinya
juga harus masih perawan. “Bedhaya Ketawang” memiliki arti “Tarian dari
Langit”. Tarian ini dianggap sakral karena diturunkan dari nirwana secara
langsung. Hubungan tarian ini dengan Pleiades didapat melalui fakta bahwa salah
satu pola lantainya mengikuti letak bintang pada gugus Pleiades.
Beralih dari peradaban masa lalu dan sebuah cerita rekaan, Astronomi dalam
budaya jawa juga diaplikasikan pada zaman maju seperti ini. Gugus bintang
Pleiades juga mempengaruhi bidang pertanian di Pulau Jawa. Bagi masyarakat
jawa, posisi Pleiades sangat membantu dalam proses pertanian. Apabila jarak
zenith Pleiades mencapai 40o , itu berarti musim ketujuh dalam kalender pertanian
telah dimulai. Pada masa ini, petani mulai memindahkan bibit padi dari lahan
pembibitan ke lahan utama. Proses ini sebenarnya menggunakan rasi bintang
Orion atau yang lebih dikenal dengan nama Waluku sebagai panduan utama.
Keterkaitan budaya jawa dengan ilmu astronomi juga diperlihatkan pada ornamen
di setiap bangunannya. Seperti pada langit-langit Keraton Mangkunegaraan
Pendopo Dalem. Ornamen pada langit-langit pendopo yang berwarna terang
menggambarkan sejumlah rasi bintang. Hal ini dikarenakan masyarakat jawa pada
tahun pembangunan Mangkunegaraan Pendopo Dalem, 1757 melihat langit
malam dengan pola yang sama seperti ornamen pada langit-langit pendopo.
Masyarakat pada zaman itu ingin membuat suatu bangunan yang menyatu dengan
alam, sehingga ketika mereka berada di bangunan itu mereka serasa menatap
langit sebenarnya.
Perkembangan peradaban masyarakat jawa tidak luput dari adanya fakta
mengenai arkeoastronomi. Astronomi modern yang berkembang di seluruh dunia
salah satunya juga dipelopori oleh kenyataan tentang keberadaan situs-situs
mengenai arkeoastronomi. Contohnya adalah berbagai sistem penanggalan yang
telah ada jauh sebelum perkembangan astronomi modern. Misalnya sistem
penanggalan suku Maya yang menjadikan penampakan Venus sebagai dasar
dibuatnya kalender dan masih digunakan bangsa Maya hingga saat ini.
Paparan diatas menunjukkan bahwa ilmu astronomi tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan peradaban manusia. Hal ini memberikan arti bahwa setiap segmen
perkembangan astronomi modern merupakan satu kesatuan dengan
arkeoastronomi yang telah dipelajari dan diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari
oleh nenek moyang kita.
Salah satu aspek yang menyebabkan berkembangnya ilmu astronomi dari
arkeoastronomi hingga astronomi modern adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK). Arkeoastronomi dapat dijadikan acuan dalam
mengembangkan teknologi untuk penelitian astronomi di masa depan. Seperti
telah dibahas diatas bahwa sistem koordinat yang digunakan pada zaman
pembangunan candi didasarkan pada pergerakan Matahari. Hal itu menjadi cikal
bakal dibuatnya sistem koordinat yang digunakan saat ini. Selain itu, penunjuk
arah yang awalnya menggunakan bintang atau rasi bintang kini menjadi
menggunakan kompas. Hal ini dikarenakan penentuan arah mata angin
menggunakan bintang atau rasi bintang belum sepenuhnya akurat mengingat
adanya gerak presesi Bumi yang mengakibatkan perubahan Kutub Ekliptika setiap
26000 tahun sekali. Belakangan ini bahkan ditemukan fakta bahwa kutub-kutub
magnet Bumi berubah yang menyebabkan berkembangnya keakuratan kompas.
Hal itu menunjukkan bahwa manusia memerlukan alat navigasi yang lebih akurat.
Seperti pada pembuatan ornamen di langit-langit Keraton Mangkunegaraan
Pendopo Dalem yang didasarkan pada hasil pengamatan terhadap langit bagi
masyarakat zaman itu. Pengamatan terhadap langit menggugah rasa ingin tahu
sehingga manusia berbondong-bondong menciptakan alat untuk menyingkap tirai
yang selama ini menutupi langit dari kebenarannya. Dimulai dari penemuan
teknologi sederhana seperti teleskop Galileo hingga teknologi tercanggih saat ini,
Hubble Space Telescope.
Kemajuan IPTEK di bidang Astronomi semakin menggugah rasa penasaran
manusia untuk melakukan berbagai penelitian. Diantaranya penelitian mengenai
keberadaan makhluk hidup di luar Bumi. Penelitian tersebut bertujuan untuk
menemukan “tetangga” Bumi dan juga untuk menemukan tempat “pengungsian”
jika tiba saat dimana Bumi sudah tidak dapat ditinggali lagi. Umat manusia
tentunya ingin memiliki kehidupan yang jauh lebih baik di masa mendatang. Oleh
karenanya, umat manusia terus mengembangkan IPTEK termasuk juga yang
berkaitan dengan astronomi yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup
manusia. Fakta tersebut semakin memperkuat argumen bahwa astronomi bukan
hanya mengenai bintang yang jauh di langit dan tidak dapat dijangkau, tetapi
astronomi bisa menjadi sedekat waktu yang tiap detik bisa kita amati. Astronomi
adalah ilmu yang dinamis dan terus mengalir sejak awal hingga saat ini, bahkan
masa mendatang. Astronomi ada di setiap segmen kehidupan dan tidak bisa
dilepaskan dari kelangsungan hidup kita.