BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelaksanaan Program Keselamatan Kerja - Hubungan Penerapan Program Keselamatan Kerja dengan Tindakan Tidak Aman oleh Karyawan PT Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Teh Bah Butong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelaksanaan Program Keselamatan Kerja

  Program keselamatan kerja merupakan suatu rencana kerja dan pelaksanaan prosedur yang memfasilitasi pelaksanaan keselamatan kerja dan proses pengendalian resiko dan paparan bahaya termasuk kesalahan manusia dalam tindakan tidak aman, meliputi :

  1. Membuat program untuk mendeteksi, mengkoreksi, mengontrol kondisi berbahaya, lingkungan beracun dan bahaya-bahaya kesehatan.

  2. Membuat prosedur keamanan.

  3. Menindaklanjuti program kesehatan untuk pembelian dan penyimpanan bahan berbahaya.

  4. Pemeliharaan sistem pencatatan kecelakaan agar tetap waspada.

  5. Pelatihan K3 untuk semua level manajemen.

  6. Rapat bulanan P2K3.

  7. Tetap menginformasikan perkembangan yang terjadi dibidang K3 seperti alat pelindung diri, standar keselamatan yang baru.

  8. Pembagian pernyataan kebijakan organisasi.

  10

2.1.1 Tujuan Program Keselamatan Kerja

  Tujuan program keselamatan kerja adalah memberdayakan keselamatan kerja guna mencapai kecelakaan nihil.

  Sasaran program keselamatan kerja antara lain : 1.

  Meningkatkan pengertian, kesadaran pemahaman dan penghayatan keselamatan kerja semua unsure pimpinan dan pekerja pada satu perusahaan.

  2. Meningkatkan fungsi manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dan panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja.

  3. Agar terbentuknya manajemen keselamatan kerja pada setiap perusahaan 4.

  Mendorong pembinaan keselamatan kerja pada sektor informal dan masyarakat umum.

2.1.2 Pengembangan Karyawan dan Program Pendidikan/ Pelatihan

  Adanya program tertulis tentang pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keselamatan kerja dan bahaya tindakan tidak aman, antara lain : 1.

  Adanya jadwal pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan bagi semua karyawan di pabrik.

2. Pengembangan metode keselamatan kerja dan bahaya tindakan tidak aman pada saat sedang bekerja.

  Menurut Sastrohadiwiryo (2002), pelatihan juga merupakan proses membantu tenaga kerja untuk memperoleh efektifitas dalam pekerjaan yang sekarang atau yang akan datang melalui pengembangan kebiasaan tentang pikiran, tindakan, kecakapan, pengetahuan dan sikap yng layak.

  Kemudian, Santoso (2002), juga mengungkapkan bahwa pelatihan keselamat kerja sangan penting mengingat kebanyakan kecelakaan pada karyawan yang belum terbiasa bekerja secara selamat. Penyebabnya adalah ketidaktahuan tentang bayaha atau cara mencegahbya meskipun tahu tentang adanya suatu resiko.

  Menurut Soehatman Ramli (2010), pengembangan pelatihan yang baik dan efektif dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain :

  1. Analisa jabatan atau pekerjaan Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi dan analisa semua pekerjaan atau jabatan yang ada dalam perusahaan kemudian akan dibuat daftar pekerjaan yang dilakukan oleh setiap pekerja.

  2. Identifikasi pekerjaan atau tugas kritis Melakukan identifikasi tentang pekerjaan yang tergolong berbahaya dan beresiko tinggi dari semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap pekerja.

  3. Mengkaji data-data kecelakaan Informasi kecelakaan yang pernah terjadi merupakan masukan penting dalam merancang suatu pelatihan, kecelakaan mengidentifikasikan adanya penyimpangan atau kelemahan dalam system menejemen keselamatan kerja dan ini dilakukan oleh panitia pembina pelatihan.

  4. Survei kebutuhan pelatihan Melakukan survei mengenai kebutukan pelatihan dan jenis pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan keterampilan pekerja sehingga pekerja dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan selamat dimasing-masing tempat kerja.

  5. Analisa kebutuhan pelatihan Melakukan analisa keselamatan kerja untuk mengetahui apa saja potensi bahaya yang ada dalam suatu pekerjaan. Dari analisa keselamatan kerja dapat diidentifikasi jenis bahaya dan tingkat resiko dari setiappekerjaan.

  6. Menentukan sasaran dan target pelatiahn Pelatihan diharapkan akan memperbaiki atau meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dari masing-masing pekerja. Sasaran dan target pelatihan harus ditetapkan dengan tepat sebagai masukan untuk merancang format dan silabus pelatihan.

  7. Mengembangkan objektif pembelajaran Pelatihan harus dapat menjangkau semua tingkat dan perbedaan pekerja yang ada dalam suatu perusahaan.

  8. Melaksanakan pelatihan Pelatihan keselamatan kerja dapat dilakukan secara eksternal melalui lembaga pelatihan atau secara internal yang dirancang sesuai dengan kebutuhan.

  9. Melakukan evaluasi Hasil pelatihan harus dievaluasi untuk menentukan efektifitasnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh aspek pelatihan seperti materi pelatihan dan dampak terhadap pekerja setelah kembali ketempat kerja masing-masing.

  10. Melakukan perbaikan Langkah terakhir dalam proses pelatihan adalah melakukan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan.

  Dalam melaksanakan pelatihan keselamatan kerja terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan ( Ridley, 2008), antara lain :

1. Perkuliahan dan percakapan 2.

  Video dan film 3. Peran yang langsung dimainkan oleh peserta pelatihan 4. Studi kasus 5. Diskusi kelompok 6. Latihan dan praktek diluar kelas 7. Pelatihan langsung ditempat kerja

2.1.3 Manfaat Pelatihan Keselamatan Kerja

  Menurut Widuri (1992) setiap program pelatihan keselamatan kerja ada manfaatnya, demikian juga dengan pelatihan keselamatan kerja, yaitu :

1. Meningkatkan ilmu dan keterampilan pekerja 2.

  Mengurangi kecelakaan kerja

3. Mengurangi absensi dan penggantian pekerja 4.

  Mengurangi beban pengawasan 5. Mengurangi waktu yang terbuang 6. Mengurangi biaya lembur 7. Mengurangi biaya pemeliharaan mesin 8. Mengurangi keluhan-keluhan 9. Meningkatkan kepuasan pekerja 10.

  Meningkatkan produksi 11. Komunikasi yang baik 12. Kerjasama yang baik

2.1.4 Indikator Keberhasilan Pelatihan Keselamatan Kerja

  Untuk mengetahui efektifitas dari suatu pelatihan keselamatan kerja dapat diukur dengan memperhatikan indicator keberhasilan pelatihan ( Widuri, 1992), yaitu : 1.

  Prestasi kerja karyawan 2. Kedisiplinan keryawan 3. Absensi karyawan 4. Tingkat kerusakan produksi, alat-alat dan mesin 5. Tingkat kecelakaan karyawan 6. Tingkat pemborosan bahan baku, tenaga dan waktu 7. Tingkat kerjasama karyawan

8. Tingkat upah karyawan 9.

  Prakarsa karyawan 10.

  Kepemimpinan dan kepuasan manajerial.

2.2. Prosedur Keselamatan Kerja

  Prosedur, peraturan dan pedoman tertulis harus diterapkan ditiap unit kerja di pabrik pengolahan teh dan berlaku bagi setiap orang dalam upaya mencapai keselamatan kerja untuk menanggulangi tindakan tidak aman pekerja.

  1. Prosedur keselamatan kerja tertulis pada masing-masing unit kerja 2.

  Peraturan khusus dibuat untuk tempat-tempat beresiko, disesuaikan dengan kondisi lokal dan standard nasional riset kesehatan. Perhatian diberikan kepada : a.

  Unit- unit dengan curahan kaustik dan bahan kimia lainnya yang banyak.

  b.

  Tempat penyimpanan cairan yang mudah terbakar.

  c.

  Tempat penyimpanan bahan-bahan yang mudah menguap dan mudah terbakar.

  d.

  Perizinan penyimpanan, penggunaan dan pengamanan benda-benda radioaktif.

  3. Adanya prosedur penganggulangan terjadinya kontaminasi, misalnya oleh bahan- bahan radioaktif.

  4. Semua peralatan berbahaya untuk pengolahan daun teh disimpan di tempat yang aman.

  5. Cara pemakaian alat kerja/ mesin pengolahan harus sesuai dengan peraturan dan prosedur yang telah ditetapkan.

  6. Tempat penyimpanan semua peralatan berbahaya diberi tanda secukupnya sesuai dengan peraturan.

  7. Tersedia alat-alat keadaan gawat darurat pada setiap unit pengolahan teh.

  8. Perlengkapan keamanan karyawan, antara lain : a.

  Pegangan pada setiap tangga ataupun jalan yang licin b.

  Toilet dan kamar mandi karyawan yang dilengkapi dengan sabun, gayung, dan air yang bersih.

  c.

  Tempat beristirahat karyawan d.

  Tersedianya poliklinik 9. Rambu-rambu/ tanda-tanda dipasang diseluruh pabrik pengolahan dengan jelas dan mudah dimengerti/ diikuti, misalnya: arah, tanda pengaman, pintu keluar, toilet, mesin-yang sedang rusak atau sedang dalam perbaikan, tanda larangan bercanda didaerah berbahaya pada saat bekerja dan tanda larangan merokok.

  10. Inspeksi keamanan diseluruh pabrik pengolahan dilakukan secara teratur dan hasil yang diperoleh didokumentasikan pada unit keselamatan.

  11. Semua pekerja paham dengan program keselamatan.

  12. Ada bukti hasil inspeksi pencegahan bahaya tindakan tidak aman oleh P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Inspeksi ini harus dilakukan secara teratur pada saat karyawan sedang mengerjakan pekerjaannya.

  13. Adanya contoh-contoh kejadian kecelakaan akibat tindakan tidak aman yang diperlihatkan kepada pekerja melalui gambar yang ditempelkan di tempat-tempat yang srtategis dan biasa dilalui oleh para karyawan.

14. Adanya alat-alat pengaman dan pelindung diri yang digunakan karyawan pada saat bekerja.

  Alat pelindung diri (APD) adalah peralatan keselamatan yang harus digunakan oleh personil apabilaberada pada suatu tempat kerja yang berbahaya (Cahyono, 2004). Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat dipakai untuk melindungi diri terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja.

  Alat-alat pelindung diri beraneka ragam macamnya. Jika digolongkan berdasarkan bagian- bagian tubuh yang dilindunginya, makan jenis-jenis alat pelindung diri adalah sebagai berikut: a.

  Alat Pelindung Kepala Alai ini terdiri dari alat pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai bahan. Tujuan pemakai alat pelindung kepala adalah untuk melindungi kepala dari bahaya terbentur dengan benda tajam atau benda keras, baik yang sifatnya jatuh, melayang atau meluncur termasuk melindungi diri dari panas radiasi bahan-bahan kimia korosif. Jenis pekerjaan yang memerlukan alat pelindung kepala misalnya pekerjaan dibawah mesin-masin maupun pekerjaan disekitar konduktor energi terbuka. Contoh alat pelindung kepala adalah topi plastic, topi plastikberlapis abses, topi aluminium dan topi logam. b.

  Alat Pelindung Mata Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari kemungkinan kontak dengan bahaya karena percikan atau kemasukan debu-debu, gas- gas, uap, cairan korosif, partikel-partikel melayang atau terkena radiasi gelombang elektromagnetik. Alat pelindung mata terdiri dari 3 macam, yaitu : i.

  Kacamata biasa ii.

  Kacamata googles yaitu kacamata yang tertutup semua, tetapi terdapat lubang lubang kecil sebagai ventilasi iii.

  Tameng muka c. Alat Pelindung Telinga (Hearing Protection)

  Alat pelindung telingan bekerja sebagai penghalang antara bising dan telinga dalam. Alat ini diperlukan apabila tingkat kebisingan ditempat kerja sudah mencapai 85dB diatas 8 jam sehari. Alat pelindung telinga terdiri dari 4 macam, yaitu : i. Kapas ii.

  Sumbat telinga (Ear Plugs) mempunyai daya atenuasi suara sebesar 25-30dB. iii.

  Tutup telinga (Ear Muff) mempunyai daya atenuasi suara sebesar 10-15 dB lebih besar dari sumbat telinga. iv.

  Canal Caps d.

  Alat pelindung pernapasan (Respiratory Protection) Alat pelindung pernapasan diperlukan ditempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Secara umum ada 2 macam alat pelindung pernapasan, yaitu : i.

   Respirator atau Purifying Respirator

  Alat ini berfungsi untuk membersihkan udara yang dihirup oleh pekerja. Alat ini digunakan untuk melindungi pekerja dari bahaya pernapaan debu, kabut, asap, gas dan uap. ii.

  Breathing Apparatus atau Air Supply Respirator Alat ini berfungsi untuk memberikan udara bersih atau oksigen kepada pekerja yang menggunakannya.

  e.

  Alat pelindung tangan dan Jari-jari (Hand Gloves) Alat pelindung tangan ini paling banyak digunakan, karena kecelakaan yang paling banyak terjadi pada tangan dari keseluruhan kecelakaan yang ada. Menurut bentuknya, sarubg tangan dapat dibedakan menjadi : i. Sarung tangan biasa (Gloves) ii. Sarung tangan yang dilapisi dengan plat logam (Grantlet) yang digunakan dilengan. iii. Mitth , sarung tangan untuk 4 jari yang terbungkus.

  f.

  Alat pelindung kaki (Foot Cover) Sepatu keselamatan kerja dipakai untuk melindungi kaki dari kejatuhan benda berat, percikan asam dan basa yang korosif, cairan panas dan terinjak benda-benda tajam. Contoh alat pelindung kaki seperti sepatu kulit, sepatu karet, sepatu bot karet, sepatu anti slip, sepatu dilapisi baja, sepatu plastic, sepatu dengan sol kayu/ gabus, pelindung betis, tungkai dan mata kaki.

  g.

  Alat pelindung tubuh Alat pelindung tubuh berupa pakaian dapat berbentuk apron yaitu pakaian pelindung tubuh yang menutupi sebagian tubuh, mulai dari dada sampai lutut dan berbentuk overalls yaitu pakaian pelindung tubuh yang menutupi seluruh bagian tubuh.

  Pemakaian APD bertujuan untuk melindungi tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dn penyakit akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan.

2.3 Tindakan Tidak aman

2.3.1 Pengertian Tindakan Tidak Aman

  Menurut Heinrich (1931) tindakan tidak aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja.

  Tindakan tidak aman yang sering dijumpai, diantaranya adalah : a.

  Menjalankan yang bukan tugasnya, gagal memberikan peringatan b. Menjalankan pesawat lebih dari kecepatan c.

  Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi d. Menggunakan alat yang rusak e. Tidak memakai APD f. Memuat sesuatu secara berlebihan g.

  Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya h. Mengangkat berlebihan i. Posisi kerja yang tidak tepat j. Melakukan perbaikan pada waktu mesin sedang berjalan k.

  Bersenda gurau l. Bertengkar m.

  Berada dalam pengaruh obat-obatan ataupun alkohol Heinrich (1931), kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan :

  1. Kondisi kerja

  2. Kelalaian manusia

  3. Tindakan tidak aman

  4. Kecelakaan

  5. Cedera Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika salah satu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek domino yang telah kita kenal sebelumnya, jika satu bangunan roboh maka kejadian ini akan memicu kejadian beruntun yang menyebabkan runtuhnya bangunan lainnya. Menurut Henrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman ( poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan ). Menurut penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab kecelakaan. Kemudian, bagaimana penjelasan dengan menghilangkan tindakan tidak aman ini dapat mencegah kecelakaan kerja ? kembali lagi ke analogi tindakan tidak aman sebelumnya, jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 pun jatuh, ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya jarak antara kartu kedua dan keempat, dan jika pun kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai menimpa kartu nomor 4. Akhirnya kecelakaan nomor 4 dan cidera nomor 5 dapat dicegah. Dengan penjelasan Teori Domino ini, maka kecelakaan kerja dapat dijelaskan dengan logis dan bukan menganggap bahwa kecelakaan kerja akibat bernasib sial ataupun keberuntungan.

  Penyebab utama terjadinya kecelakaan akibat tindakan tidak aman ini, antara lain karena sikap dan perilaku karyawan yang bersangkutan, yaitu :

  1. Tidak tahu adanya bahaya : karena tidak pernah diberitahu oleh pimpinan tentang bahaya dan resiko ditempat kerjanya sehingga tidak tanggap terhadap bahaya dan juga tidak mempunyai keterampilan menghindari bahaya tersebut.

  2. Tidak mau tahu akan adanya ancaman bahaya : karena tidak mempunyai perhatian pada K3 sehingga berperilaku sembrono mungkin juga karena pengaruh lemahnya pengawasan.

  Tidak mampu menghadapi bahaya karena tidak pernah dilatih K3 sehingga tidak berpengalaman melaksanakan pekerjaan dengan cara aman dan selamat yang akhirnya menimbulkan tindakan-tindakan tidak aman. Tindakan tidak aman menimbulkan resiko kecelakaan kerja, kerusakan material bahkan kematian. Matriks penilaian resiko digunakan untuk menilai tindakan tidak aman.

2.3.2. Matriks Penilaian Resiko

  Menurut Ramli. S. (2010), Penilaian resiko kecelakaan kerja berdasarkan panduan matriks penilaian resiko terbagi atas 3, yaitu peluang, akibat dan kriteria penilaian. Peluang dibagi atas 5 kriteria, yaitu : A.

  Almost Certain/ Hampir pasti terjadi Suatu kejadian yang akan terjadi pada semua kondisi. Misalnya kejadian yang berulang kali terjadi setiap tahun.

  B.

  Likely/ Mungkin terjadi Suatu kejadian mungkin akan terjadi pada hampir semua kondisi. Misalnya terjadi sekali dalam satu tahun sampai tiga tahun.

  C.

  Moderate/ sedang Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi tertentu. Misalnya terjadi sekali dalam lima tahun. D.

  Unlikely/ Kecil Kemungkinan Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi tertentu namun kecil kemungkinannya. Misalnya terjadi sekali dalam sepuluh tahun.

  E.

  Rerely/ Jarang Sekali Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi yang khusus/ luar biasa/ setelah bertahun-tahun. M.isalnya terjadi paling tidak sekali dalam sejarah perusahaan. Penilaian akibat terbagi atas 5 kriteria, yaitu : 1. Insicnifikan/ Tidak Signifikan Tidak ada cidera, kerugian material sangat kecil.

  2. Minor Memerlukan perawatan P3K, on-site release langsung dapat ditangani, kerugian materi sedang.

  3. Moderate/ Sedang Memerlukan perawatan medis, on-site release langsung dapat ditangani dengan bantuan pihak luar, kerugian materi cukup besar.

  4. Major Cidera yang mengakibatkan cacat/ hilang fungsi tubuh secara total, off side release tanpa efek merusak, kerugian materi besar.

  5. Catastropic/ Bencana Menyebabkan kematian, off-side release bahan toksik dan efeknya merusak, kerugian materi sangat besar.

  Matriks penilaian akhir dari resiko kecelakaan kerja terdiri dari 4 kriteria, yaitu :

  1. E (Extreme Risk)/ Resiko Ekstrim Memerlukan penanganan segera atau penghentian kegiatan atau keterlibatan manajemen puncak, perbaikan ancaman sebab akibat peluang (ASAP).

  2. H (High Risk)/ Resiko Tinggi Memerlukan pihak manajemen, penjadwalan perbaikan secepatnya.

  3. M (Moderate Risk)/ Resiko Sedang Penanganan oleh manajemen area terkait, penjadwalan sesiau resiko.

  4. L (Low Risk)/ Resiko Rendah Kendalikan dengan prosedur rutin.

  Menurut Rasmussen, ada tiga jenjang ketegori kesalahan yang dapat terjadi pada manusia, yaitu :

  1. Salah sebab kemampuan (skill-based error) Adalah kesalahan manusia yang disebabkan oleh karena ketidak mampuan seseorang secara fisik atau tidak memilki keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu tugas tertentu. Seseorang bisa saja tahu apa saja yang seharusnya dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

  2. Salah sebab aturan (rule-based error) Adalah suatu kesalahan manusia kerena tidak melakukan aktifitas yang seharusnya dilakukan atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

  3. Salah sebab pengetahuan (knowledge-based error) Adalah kesalahan manusia yang disebabkan karena ia tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan suatu aktivitas.

  Menurut Reason (1990), kesalahan manusia (human error) dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :

  1. Mistakes

  Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan atau tidak lengkapnya proses penilaian atau proses menyimpulkan suatu pilihan sasaran atau merinci cara mencapai sesuatu, terlepas dari apakan tindakan yang dilakukan itu sesuai atau tidak dengan kerangka keputusan yang telah direncanakan.

  2. Lapse

  Adalah kesalahan dalam mengingat dan tidak selalu harus tampil dalam perilaku aktual dan kadangkala hanya dirasakan oleh pribadi yang bersangkutan.

  3. Slips

  Adalah kesalahan akibat penerapan yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ditentukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, terlepas dari apakah rencana tersebut benar atau tidak.

2.2.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman pekerja

1. Pelatihan

  Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan ditempat kerja adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus menjadi bagian proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik, dan lebih dalam serta memperbaharui pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996).

  Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan amandan mengapa hal itu penting. Kedua pelatihan menunjukkan bahwa manajemen memiliki komitmen terhadap keselamatan ( Goestsch, 1991).

  Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan kerja. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman pekerja terhadap hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman (Leamon, 1990)

  1. Peraturan Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar, norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001a). peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan tidak dapat diterima (Roughton, 2002).

  Notoatmodjo (1993) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekutan atau kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama kerena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.

  Secara umum, kewajiban manajeman dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut : a. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan dan kesehatan ditempat kerja. b. Manajeman harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami peraturan tersebut.

  c. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan secara objektif dan konsisten.

  (Goestsch, 1996). Manajemen yang tidak memenuhi kriteria diatas dianggap teledor. Memiliki peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus memutuskan peraturan yang sesuai, mengkonsumsi peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat kerja. Penegakan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan (Goestsch, 1996).

  Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. Hubungan antara peraturan keselamatan dengan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran dapat didiskusikan dengan para pekerja. Pekerja kemudian diminta untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja dilibatkan dalan perumusan peraturan, maka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut (Roughton, 2002).

  Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan : a.

  Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan menyebabkan overload.

  b.

  Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang memiliki makna ambigu atau sulit dipahami.

  c.

  Tulis hanya peraturan penting untuk memastikan keselamatan di tempat kerja.

  d.

  Libatkan pekerja dalam merumuskan peraturan yang berlaku bagi area operasi tertentu.

  e.

  Rumuskan hanya peraturan yang hanya dan akan ditegakkan.

  f.

  Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan. (Goestsch, 1996).

  2. Pengawasan Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan untuk menegakkan peraturan ditempat kerja.

  Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam mengawasi tempat kerja, yaitu : a.

  Pengawas (Supervisor) Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui juga pengendaliannya.

  b.

  Pekerja Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka yang terlibat dalam pengawasan menumbuhkan pelatihan dalam mengenali dan mengendalikan potensi hazard.

  c.

   Safety Professional Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang

  metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program penegahan dan pengendalian bahaya.

3. Safety Promotion

  Membuat Safety Promotion secara visual merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan keselamatan. Sebagai contoh, rambu keselamatan yang tampak secara visual bagi operator mesin dapat mengingatkannya untuk menggunakan pengaman mesin. Rambu diletakkan di dekat mesin tersebut, jika operator tidak dapat mengaktifkan mesin tanpa membaca rambu-rambu ini, maka operator tersebut akan selalu diingatkan untuk menggunakan cara aman setiap kali mengoperasikan mesin (Goestsch, 1996).

  Hal-hal yang dapat meningkatkan efektifitas Safety Sign adalah : a.

  Ganti rambu, poster, dn alat batu visual lainnya secara periodic. Pesan visual yang terlalu lama digunakan, lama kelamaan akan menyatu dengan latar dan tidak dikenali lagi.

  b.

  Libatkan pekerja dalam membuat pesan yang akan ditampilkan pada pesan atau poster.

  c.

  Buat pesan visual yang sederhana dan dengan pesan yang jelas.

  d.

  Buat pesan-pesan visual yang cukup besar agar mudah dilihat dalam jarak tertentu.

  e.

  Tempatkan pesan-pesan visual pada tempat-tempat tertentu yang akan menghasilkan efek maximum.

  f.

  Gunakan permainan warna agar pesan visual dapat menarik perhatian. (Goestsch, 1996).

  4. Hukuman dan Penghargaan Hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan atau melemahkan perilaku (Geller, 2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindungi dari insiden (Roughton, 2002).

  Penghargaan adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan mengembangan, mendukung dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimism, dan rasa memiliki (Geller, 2001).

  Menurut Groeneweg (2007), meskipun hukuman dan penghargaan memiliki pengaruh yang kuat dalam mengendalikan perilaku manusia, tetapi bukanlah tanpa masalah. Penghargaan hanya jika penerimanya menganggap bahwa penghargaan tersebut bernilai pada saat diterima. Menghukum perilaku yang diluar kendali pekerja (slip) juga tidak efektif. Bahkan kemungkinan pelanggaran diketahui atau dilaporkan kurang efektif dalam mengubah perilaku, karena masih ada kesempatan pelanggaran tidak diketahui atau dilaporkan. Jika ditempat kerja terdapat kesempatan ini, orang akan secara otomatis memilih perilaku yang tidak diharapkan tanpa memperdulikan hukuman atau penghargaan yang akan mereka terima. Keefektifan pendekatan ini biasanya hanya untuk jangka pendek.

  Menurut widle, penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari keefektifitasnya tidak diketahui dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah : a.

  Efek atribusi Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak diharapkan dapat merangsang seseorang untuk berperilaku seperti mereka benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.

  b.

  Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai contoh, menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi batas kecepatan kerja daripada menekan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didisain dan diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.

  c.

  Hukuman membawa efek samping negatif, hukuman menimbulkan disfungsi iklim organisasi yang ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak diharapkan mungkin akan muncul.

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

  Penerapan program keselamatan Tindakan tidak aman pekerja kerja