BAB II KAJIAN PUSTAKA - Pemanfaatan Modal Sosial dan Kekuasan Dalam Strategi Pemenangan Kepala Desa (Studi Deskriptif : di Desa Bahapal Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Relativitas Kekuasaan dan Strategi Modal Sosial

  Perkembangan teori sosiologi melalui proses yang panjang sehingga sampai pada tahap postmodern. Dalam tahap ini postmodern menurut Argyo (2010: 9) menjadi berlandaskan relativistik, irrasioanal dan nihilistik. Berkaitan dengan landasan teori yang sering digunakan dalam teori postmodern maka erat kecenderungannya pada konsep teori relativistik. Teori ini lebih melihat bahwa tak ada sesuatu yang benar-benar sempurna atau ideal untuk semua hal tetapi perlu ada pandangan bahwa melihat segala hal itu dengan teori relativistik. Makna yang terkandung dalam teori ini adalah banyak dinamika yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, baik itu kehidupan sosial, ekonomi maupun politik dan kesemuanya itu tidak boleh diterjemahkan secara universal tetapi lebih kepada konsep relativitas.

  Seperti halnya kehidupan berpolitik baik dalam skala yang sangat kecil sekalipun yaitu perebutan kursi Kepala Desa maka perlu ada pandangan relativitas sehingga penafsiran akan makna yang terkandung dalam pertarungan politik tersebut tidak ambigu. Seperti halnya kekuasaan dan modal sosial yang bisa dimanfaatkan aktor terlihat akan kerelativitasannya karena aktor tidak akan pandang bulu untuk berpihak pada elit desa manapun asalkan pada saat pemilihan Kepala Desa nanti bisa dimenangkannya. Hal inilah tentunya yang akan membantu kita untuk melihat bahwa kerelativitasan itu memang akan selalu ada dalam masyarakat dan memiliki sumbangan penting juga.

  Pertarungan yang dilakukan oleh setiap aktor dalam setiap ranah politik tentunya relevan dengan kekuasaan yang harus dimiliki oleh aktor karena kemapanan ekonomi ataupun memiliki nama besar keluarga. Semuanya itu akan dipadukan akan membantu meraih sumber terbatas itu. Pergerakan setiap aktor yang lentur karena tidak lagi berdiri pada posisi tunggal melainkan bisa cepat beradapatasi dalam menghadapi berbagai situasi yang bisa saja terjadi dalam dinamika politik. Proses pengaruh mempengaruhi lawan politik maupun massa pendukung juga menjadikan si aktor dipaksa untuk selalu responsif karena caranya bertindak, berperilaku maupun membuat keputusan politik akan membantunya nanti dalam memenangkan pertarungan politik dengan aktor lain sebagai kompetitornya.

2.2 Habitus

  Habitus erat kaitannya dengan peran yang dimainkan aktor didalam memainkan perannya dalam arena pertarungan di pemilihan Kepala Desa. Berbicara tentang habitus lebih kepada perilaku, persepsi, merasakan, melakukan dan berpikir yang terinternalisasi dalam diri aktor saat aktif melakukan pergerakan untuk merebut hati ataupun otoritas dari massa pendukungnya. Konsep ini sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat, bukan merupakan konsep murni dari Pierre Bourdieu. Dalam bahasa latinnya, habitus berarti kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance) atau bisa juga lebih kepada cara pembawaan yang terkait dengan bahasa tubuh yang sering dilakukan. Bourdieu membuat defenisi tentang habitus ini cenderung kepada interaksi yang dilakukan manusia dengan habitus yang melekat pada dirinya karena dipengaruhi oleh kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan terinternalisasi terhadap dirinya sehingga habitus bukan lagi perilaku/sikap yang berada diluar diri aktor tetapi merupakan keniscayaan untuk tidak bisa dipisahkan, saling mempengaruhi, dan melebur pada diri aktor. dengan struktur ini manusia dapat berhubungan dengan dunia sosialnya, dengan kata lain habitus wujud hasil daripada kedudukan tetap aktor didalam dinia sosial dalam waktu yang lama. Menurut Bourdieu dalam Hussain (2013: 3) orientasi untuk tingkah laku dan struktur persepsi ini yang memastikan keintelektualan aktor dalam dunia sosial adalah sama, aktor ini merasakan dan berhadapan dengan pengalaman yang tidak sama dalam wujud dan aspek berhadapan dengan kenyataan yang dihadapi dalam dunia sosial. Bourdieu juga melihat aspek kemampuan sebagai hasil dari unsur modal budaya dan simbolik karena secara terus menerus diwenangkan melalui saling keterkaitan aspek struktur dan individu aktor. Istilah habitus ini sering digunakan dalam menerangkan norma-norma sosial atau sikap yang diarahkan oleh norma pembentuknya. Proses pembentukan habitus dalam diri aktor dilakukan secara terus menerus oleh tindakan, berpikir, mempersepsi dunia sosialnya yang nantinya akan memimpinya dalam menghadapi arena pertarungan yang selalu dihadapinya.

  Bagus Takwin menjelaskan dalam Fashri (2014: 98) masih terkait dengan defenisi habitus yang diatas bahwa Bourdieu mengatakan habitus sebagai alat kelengkapan dan postur dari posisi tubuh (body language), dan kualitas yang dimiliki dalam diri aktor menjadi sifat yang menetap dalam diri dan tak terpisah lag, bahkan keterkaitan antara peranan. Melalui habitus maka bourdieu mencoba mengkaji kehidupan sosial sehari-hari aktor dengan prinsip keteraturan sikap yang dimiliki oleh aktor. Habitus inilah yang dapat menghubungkan pola tekad dalam diri aktor dan tekad yang membentuk perilaku yang melekat pada diri individu. Cara kerja habitus inilah nantinya yang dapat melakukan bagaimana aktor bertindak dan berpikir dalam mengahadapi ranah pertarungan perebutan kursi Kepala Desa. proses dunia sosial yang dibatinkan melalui mekanisme dunia sosial.

  Habitus selalu dikaitkan dengan struktur mental atau kemampuan yang dimiliki oleh aktor dalam interaksinya dengan dunia sosial yang dihadapinya. Aktor akan dibekali dengan serangkaian kerangka yang terinternalisasi yang aktor gunakan dalam mempersepsi memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dalam mengahadapi arena politik di desa. Habitus juga hasil dari pembentukan internalisasi dunia sosial yang selalu dihadapinya karena aktor menempati posisinya dalam waktu yang panjang sehingga perilaku tersebut melekat dalam dirinya.

  Kleden dan Binawan dalam Adib (2012: 97) membuat tujuh elemen penting tentang habitus ini yakni:

  1. Produk sejarah, sebagai perangkat pengalaman yang bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang kali

  2. Lahir dari kondisi sosial tertentu dan karena menjadi susunan yang dibentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial dimana habitus itu dihasilkan

  3. Pengalaman yang dibentuk ini sekaligus berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang dan karena itu menjadi unsur pembentuknya.

4. Habitus menjadi fleksibel karena walaupun lahir dalam kondisi sosial tertentu tapi bisa diadaptasikan kepada kondisi sosial yang lain.

  5. Habitus bersifat pra-sadar karena ia bukan merupakan hasil dari cerminan dan pertimbangan rasional. Lebih kepada spontanitas yang tidak disadari dan tidak dikehendaki dengan sengaja tetapi bukan juga suatu gerakan suatu gerakan 6.

  Bersifat teratur dan berpola, tetapi bukan merupakan ketundukan kepada peraturan-peraturan tertentu.

  7. Habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu tetapi tanpa ada maksud secara sadar mencapai hasil-hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian yang bersifat khusus untuk mencapainya.

  Cara kerja habitus yang dapat membimbing aktor untuk mengenali, menilai, meraskan dan apresiasi yang ditunjukkan oleh dunia sosial karena menjadi cerminan bagi massa pendukung aktor. Sebagai kerangka klasifikatif, habitus dapat dapat menghasilkan perbedaan yang kontras gaya hidup dan praktik-praktik kehidupan dalam kehidupan diri aktor. Kerangka kerja habitus ini diperoleh berdasarkan pengalaman aktor dalam kaitannya berinteraksi dengan masyarakat ataupun lawan politiknya dalam perebutan kursi Kepala Desa. Pengalaman yang dirasakan aktor diandaikan sebagai sikap, kecenderungan mempersepsi, merasakan, berpikir yang kesemuanya itu sudah terinternalisasi dalam diri aktor berkat pengalaman objektif ataupun subjektif yang dirasakannya.

  Pengalaman dalam diri aktor sehingga tercipta habitus juga menjadikannya sesuatu yang fleksibel dalam kaitannya dengan arena yang dihadapinya sehingga terdapat pergerakan yang dapat membantu aktor untuk terus bisa beradapatasi. Dalam hal ini di beberapa kejadian dalam kehidupan bermasyarakat yang kaitanya masih pada diri aktor, maka sering terlihat secara gamblang kalau aktor dapat mengubah habitusnya dalam merespon sesuai dengan arena yang dihadapinya. Peran habitus yang juga dapat memberikan kelenturan dalam menyusun strategi pada diri aktor karena dengan situasi yang tak terduga dan berubah dengan cepat maka oleh aktor. Habitus ini juga nantinya akan mamberikan keleluasaan bagi aktor untuk melakukan kombinasi secara bebas dan mandiri sehingga berujung pada harapan dalam setiap diri aktor untuk menang dalam pemilihan Kepala Desa.

2.3 Pengertian Modal Sosial

  Dalam banyak persepsi oleh masyarakat awam sering mengaitkan konsep modal hanya dalam batasan yang relatif kecil saja sehingga kurang mengindahkan konteks yang lebih luas akan defenisi modal karena dalam persepsi masyarakat awam sudah terbangun kalau modal itu hanya berupa harta, uang ataupun barang- barang yang dianggap berharga. Dalam kaitannya dengan penelitian ini maka perlu ada perluasan pengertian tentang konsep modal yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penjelasan yang akan diuraikan nantinya diharapkan akan memberikan cakrawala baru bahwa ada beberapa modal lain yang juga dapat menentukan aktor untuk bisa merebut kursi Kepala Desa.

  Modal yang dibutuhkan oleh aktor untuk bertarungan dalam setiap arena yang bukan hanya modal berupa uang atau benda berharga saja tetapi ada modal lain yang perlu dieksplorasi karena modal inilah yang juga menjadi faktor penentu untuk mendapat kekuasaan dan kemenangan dalam pemilihan Kapala Desa. modal yang saya maksudkan disini adalah modal sosial. Konsep modal sosial ini pertama sekali dicetuskan oleh Pierre Bourdieu, teori modal ini erat kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Bourdieu membangun teorinya melalui masalah dominasi yang hanya dimiliki oleh elit politik saja. Dalam kaitannya dengan dunia politik, dominasi yang hanya dimiliki segelintir orang saja menjadikan modal ini sangat terbatas. dan strategi perilaku aktor karena pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas modal yang dimiliki oleh aktor dan akumulasi dari beberapa modal.

  Konsep modal sosial dapat dikatakan lahir lahir sebagai kritik terhadap pendekatan individu secara otonom. Modal sosial dapat diterapkan untuk berbagai arena yang dihadapi oleh tiap aktor. Luas jangkauan konsep yang dikembangkan tentang modal sosial bervariasi menurut para ahli. Menurut Putnam dalam Syahyuti (2008, 2-3) yang memandang modal sosial sebagai perangkat hubungan horizontal antar individu. Perhatian yang vertikal disampaikan Coleman yang mendefinisikan modal sosial sebagai pluralitas dari perbedaan entitas dengan dua elemen umum, elemen ini terdiri dari beberapa aspek pembentuk kehidupan sosial dan elemen ini termasuk tindakan dari aktor dengan pribadinya atau keterkaitan dengan organisasi yang dinaungi oleh aktor.

  Istilah kapital lebih dikenal dalam kegitan ekonomi, pengertian ini membawa jangkauan dalam pemaknaan modal sosial. Modal sosial berperan dalam cara kerja pembagian sumberdaya yang bisa didapatkan oleh aktor. Dalam hal ini, modal sosial menjadi dasar bagi aktor yang bekerjasama untuk suatu tujuan dalam meraih keinginannya. Modal sosial terbentuk dari ratusan sampai ribuan interaksi antar orang setiap hari. Ia tidak berlokasi pada diri pribadi aktor atau struktur sosial tapi pada lingkungan dan kehidupan manusia sehari-hari. Modal sosial merupakan fenomena yang tumbuh dari bawah yang berasal dari orang-orang yang membentuk hubungan sosial dan jaringan yang didasarkan atas prinsip kepercayaan, resiprositas, dan nilai yang dianut bersama. Karena itu kepercayaan tidak bisa diciptakan oleh aktor saja, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat untuk membentuk

  Banyak batasan perbedaan antar ahli tentang modal sosial, beberapa penulis menekankan pentingnya trust, sebagian jaringan dan norma yang dianut bersama.

  Namun ada yang menekankan ketiganya sekaligus seperti Putnam. Pengertian trust dalam bahasa sederhananya interaksi yang didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi tanggapan sebagaimana diharapkan dan akan saling mendukung. Hal iti menjadikan timbul perasaan aman oleh aktor ketika berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal trust, kehidupan politik sangat tergantung kepada ikatan moral kepercayaan sosial yang memperlancar hubungan aktor dan masyarakat dan menjadikan aktor untuk kreatif dalam pertarungan politik.

  Menurut Putnam dalam Yuliarmi (2012: 10), bahwa modal sosial mengacu pada ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma dan keprcayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kinerja agar saling terhubung dan menguntungkan sehingga dapat memudahkan akses aktor. Putnam melihat modal sosial mengacu pada barang publik berbeda pengaruhnya dengan kinerja politik pada level kolektif. Dia menekankan bahwa partisipasi masyarakat akan membantu aktor dalam menghasilkan kepercayaan dan keterikatan antara aktor dan massa pendukungnya.

  Dalam menjalankan modal sosial dengan baik menuntut partisipasi dalam jaringan, kepercayaan, resiprositas, nilai bersama, dan sikap masyarakat yang aktif terhadap aktor. Modal sosial hanya akan tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya, interaksi bukan hanya semata-mata keuntungan bagi aktor saja tetapi sebagai keuntungan yang didapatkan aktor untuk waktu yang sangat lama. Suatu kebaikan yang saat ini dipercaya akan dibalas pada waktu yang tak terduga nanti dalam bentuk yang lain. Ada delapan elemen yang berbeda yang harus ada untuk konteks sosial, perasan percaya dan aman, hubungan ketetanggaan, hubungan kekeluargaan dan pertemanan, toleransi terhadap perbedaan, berkembang nilai kehidupan, dan adanya ikatan pekerjaan.

  Modal menurut Bourdieu dalam halim (2014: 108-111) mendefinisikan secara kompleks dan mencakup hal-hal yang material (yang dapat memiliki nilai simbolik) maupun atribut-atribut yang tak tersentuh namun memiliki signifikasi secara budaya misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk pada modal simbolik), serta modal budaya yang didefinisikan sebagai selera budaya dan pola- pola konsumsi. Fungsi modal bagi Bourdieu adalah sebagai hubungan sosial dengan kaitannya dalam sistem pertukaran dan menjadikannya sebagai sesuatu yang langka, yang layak dicari dalam bentuk sosial tertentu. Modal-modal tadi yang telah disebutkan dapat saling dipertukarkan sehingga bisa terakumulasi dan menjadikan aktor lebih leluasa dalam bertindak ataupun bergerak untuk melakukan manuver ataupun mempengaruhi massa pendukungnya.

  Mengakumulasi semua berbagai modal yang digunakan dalam kaitannya dengan kekuasaan akan membuat pengklasifikasian tentang modal itu sendiri seperti: modal ekonomi, modal kultural, dan modal simbolik. Modal-modal inilah nantinya akan dikombinasikan yang membantu pelegitimasian kekuasaan. Dimulai dengan modal ekonomi yang dengan mudahnya digunakan dalam mendapatkan modal lainnya. Jenis modal kedua adalah modal budaya yaitu, keseluruhan kualifikasi yang dimiliki oleh aktor yang dimilikinya melalui pendidikan formal maupun informal dalam keluarga inti seperti kemampuan menampilkan diri depan publik, pengetahuan dan keahlian tertentu, gelar sarjana. Beralih kepada modal ketiga yaitu modal mobil mewah, kantor, gelar, status tinggi, dan keluarga ternama. Hal inilah yang harus dimiliki oleh setiap aktor yang akan maju kedalam kancah arena pertarungan politik.

  Modal yang telah disebutkan diatas akan membantu aktor dalam membentuk bangunan modal sosialnya. Modal sosial yang selalu terkait dengan nilai-nilai dari suatu jaringan (network) yang mengikat orang-orang tertentu (yang biasanya memiliki kesamaan tertentu seperti: kesamaan pekerjaan, kesamaan tempat tinggal, suku, agama dll), serta bersifat menjembatani antar orang-orang yang berbeda sehingga memudahkan aktor mengintegrasi semua unsur yang berbeda tersebut.

  Unsur lain yang terkandung dalam modal sosial adalah hubungan timbal balik (reciprocity) karena adanya interaksi langsung oleh aktor dengan masyarakat maka menjadikan ada keterikatan dalam diri masing-masing. Banyak potensi yang terkandung dalam modal sosial termasuk potensi kelompok, dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan, norma, nilai, dan kepercayaan kepada aktor agar bisa mendapatkan dukungan yang lebih lagi dalam pemilihan Kepala Desa. Manfaat yang sangat signifikan dalam modal sosial yaitu cara kerja modal sosial yang dapat membangun jaringan masyarkat sehingga unsur-unsur yang sebelumnya terpisah bisa disatukan dengan adanya jaringan sosial sehingga tujuan aktor untuk mendapatkan kursi Kepala Desa bisa tercapai.

  Hasbullah dalam Inayah (2012: 44) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang telah ada, yaitu:

  Participation in network, kemampuan aktor untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaan, kesamaan, kebebasan dan keadaban.

  2. Reciprocity, kecenderungan saling tukar kebaikan antara aktor dan masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan sosial. Pola pertukaran terjadi di dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altrusime tanpa mengaharapkan imbalan.

  3. Trust, suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung.

  4. Social norms, sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya terinstitusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku baik dalam lingkup hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial bagi yang melanggar.

5. Values, sesuatu ide yang telah turun-temurun dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat.

  6. Proactive action, keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat.

  Hicks dalam Hasibuan dan Wahono (2004: 9-11) bahwa modal sosial sebagai kerangka konseptual untuk mengembangkan alat ukur tingkat keberadaan aktor dalam arena pertarungan politik. Konsep odal mencakup dua dimensi kognitif dan dimensi struktural.

  1. Dimensi kognitif Dimensi ini berkaitan dengan nilai-nilai, sikap dan keyakinan yang mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap aktor tersebut dan resiprositas yang dapat mengarahkan kepada hubungan baik antara aktor dan masyarakat agar tercapainya tujuan aktor dalam meraih kursi Kepala Desa. setiap masyarakat maupun aktor tentu memiliki perbedaan dimensi kognitif karean ada aktor yang akan nilai-nilai budaya sebagai modal sosialnya sehingga tercipta hubungan-hubungan dinamis baik antara aktor maupun masyarakat pendukungnya. Sementara mungkin bagi aktor lain yang juga ikut dalam perebutan kursi kepala desa lebih menekankan dimensi kognitifnya kepada nilai-nilai solidaritas dan kerjasama dalam membangun hubungan dengan massa pendukungnnya.

  2. Dimensi struktural Dimensi struktural yang dimaksudkan dalam modal sosial ini berupa susunan, ruang lingkup organisasi dan lembaga masyarakat pada desa tersebut yang dapat mewadahi dan mendorong terjadinya hubungan dan kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama sehingga lebih meningkatkan solidaritas antara aktor dan massa pendukungnnya.

  Selain habitus, perkakas teoritik Bourdieu lainnya yang tak kalah penting yaitu ranah (arena, field). Disatu sisi, habitus mendasari terbentuknya ranah, sementara di pihak lain, ranah menjadi lokus bagi kinerja habitus. Berbeda halnya dengan habitus, ranah berada terpisah dari kesadaran individu yang secara objektif berperan menata hubungan individu-individu. Ranah bukanlah interaksi intersubjektif antar individu, melainkan hubungan yang terstruktur dan secara tak sadar mengatur posisi individu, kelompok atau lembaga dalam tatanan masyarakat yang terbentuk sacara spontan.

  Bourdieu dalam Fashri (2014, 105-106) mendefinisikan ranah sebagai arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal) dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Ranah juga merupakan arena pertarungan dimana mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau mengubah wujud kekuasaan yang ada. Struktur ranahlah yang membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi, baik individu maupun kelompok, untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam kaitanya dengan jenjang pencapaian sosial. Apa yang mereka lakukan berdasarkan pada tujuan yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri.

  Strategi-strategi agen tersebut bergantung pada posisi-posisi mereka dalam ranah.

  Konsep ranah tak bisa dilepaskan dari ruang sosial (social space) yang mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini memandang realitas sosial sebagai suatu topologi (ruang). Artinya, pemahaman ruang sosial mencakup banyak ranah di dalamnya yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan terdapat titik-titik kontak yang saling berhubungan. Dengan kata lain, setap ranah ranah yang lebih besar yang juga memiliki kekuatan, strukturnya sendiri dan seterusnya.

2.5 Ranah dan Modal

  Dalam sebuah wawancara dengan Cheelan Mahar, Bourdieu menjelaskan lebih lanjut kontruksi teoritiknya tentang ranah. Mari kita lihat uraian Bourdieu dalam Fashri (2014, 107-111) yaitu: “mengenai bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk sari relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah, yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu ranah, terdapat suatu pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang yang memiliki modal besar dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah intelektual, anda harus memiliki sebuah modal istimewa dan spesifik yaitu otoritas, prestise dan sebagainya. Ini semua adalah hal-hal yang tidak dapat anda beli, tapi seringkali dianugerahkan oleh modal ekonomi dalam ranah-ranah tertentu. Ranah ini merupakan ranah kekuatan, tapi pada saat yang sama ia adalah ranah dimana orang- orang berjuang untuk mengubah struktur. Misalnya, ketika melihat ranah, mereka memiliki opini-opini dan berkata ‘ia terkenal tapi ia tidak pantas mendapatkan itu’. Demikianlah ranah kekuatan pada saat yang sama adalah ranah perjuangan”.

  Konsep ranah mengandaikan hadirnya berbagai macam potensi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam posisinya masing-masing. Tidak saja sebagai arena kekuatan-kekuatan, ranah juga merupakan domain perjuangan demi ditentukan oleh alokasi modal atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. Dari sinilah kita memandang bahwa hierarki dalam ruang sosial bergantung pada mekanisme distribusi dan diferensiasi modal, yaitu seberapa besar modal yang dimiliki (volume modal) dan struktur modal mereka.

  Memahami konsep ranah berarti mengaitkannya dengan modal. Istilah modal digunakan oleh Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal memuat beberapa cirri penting, yaitu: (1) modal terakumulasi melalui investasi (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan (3) modal dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.

  Merujuk Bourdieu, modal bisa digolongkan kedalam empat jenis yaitu:

  

pertama , modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, buruh, tanah), materi

  (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal modal sosial menujuk jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa. Dan keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.

  Dari semua bentuk modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang Mereka yang memiliki keempat modal tadi dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula dan menepati posisi hierarki tertinggi.

  Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitus, ranah, dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktik sosial. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikitari oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

2.6 Kekuasaan

  Kekuasaan adalah konsep abstrak tapi sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Moore dan Hendry dalam Thomas dan Waering (2007:18) mendefinisikan kekuasaan sebagai kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa. Salah satu cara memahami cara kerja dari kekuasaan dalam masyarakat adalah dengan melihat pada dunia politik. Kekuasaan (authority) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemhaman. Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman kekuasaan (authority) secara umum adalah berkenaan dengan pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan menerima tekanan pada sisi lain. dalam lingkup kepemilikan oleh suatu kelompok lembaga sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan masyarakat terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam hubungan yang mendominasi dengan didominasi atau yang powerful dan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau lembaga hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu dan kelompok.

  Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk hubungan kekuatan yang tidak tetap dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuatan itu, yang membentuk rantai hubungan yang justru memisahkan dari yang lain dari hubungan suatu kekuatan. Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam lingkup menguasai dan yang dikuasai. Kekuasaan itu tersebar, berada dimana-mana terdapat dalam setiap hubungan sosial. Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan menggabungkan segala sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, tetapi karena kekuasaan selalu dihasilkan dalam setiap kejadian dan setiap hubungan.

  Kekuasaan itu ada dimana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia bisa berasal dari manapun. Foucault menunjukkan ada empat proposisi mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan, yakni:

  1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari hubungan yang terus bergerak. Hubungan kekuasaan bukanlah hubungan susunan hierarki yang mengandaikan ada yang menguasai dan yang dikuasai.

3. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

  4. Dimana ada kekuasaan, disitu pula ada anti kekuasaan. Resistensi tidak berada diluar hubungan kekuasaan, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.

  Didalam kehidupan kita sehari-hari maka kekuasaan itu terdapat dalam berbagai lini kehidupan kita, baik dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat ataupun sebagai individu. Keabsahan atas kekuasaan merupakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif tidak demikian. Artinya tanpa adanya legitimasi kekuasaan,kekuasaan seseorang baik secara pribadi apalagi secara kelembagaan tidak akan dapat dilakasanakan. Legitiamasi ini begitu penting maknanya sebagai dasar dari kekuasaan. Hal demikian berlaku dalam semua kehidupan masyarakat tidak terkecuali aktor calon Kepala Desa mereka harus memiliki legitimasi yang diserahkan masyarakat kepada sosok pemimpin yang akan pilih sehingga calon Kepala Desa dapat mempengaruhi masyarakat agar bisa memilihNYA dalam pertarungan pilkades tersebut. Hal demikianlah yang mendasari terbentuknya kepercayaan dan legitimasi yang bisa memenangkan calon Kepala Desa.

2.7 Demokrasi

  Demokrasi pada awalnya dalam pemikiran orang yunani merupakan bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik sehingga menjadikan suara rakyat adalah suara tuhan. Secara garis besar demokrasi maupun ideologi yang ada sekarang ini. Menurut Mahfud MD dalam Riyanto (2010: 15) ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental sehingga menjadi pegangan bagi setiap individu dalam kehidupannya bernegara. Kedua, demokrasi sebagai harapan kenegaraan secara intin yang telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya.

  Ruang lingkup demokrasi adalah kewarganegaraan, hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan- pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat. Kebebasan dalam memilih inilah nantinya akan memberikan kelenturan bagi massa pendukung dalam memilih aktor yang benar-benar dianggap bisa memberikan pengaruh positip kepadanya karena para aktor yang bertarung dalam ranah politik desa ini tidak bisa melakukan pemaksaan agar memilihnya nanti di pemilihan Kepala Desa. ruang lingkup kebebasan memilih inilah yang harus dimanfaatkan oleh setiap aktor yang bertarung karena setiap aktor juga tidak bisa dihalangi oleh aktor lain untuk mendapatkan massa pendukungnya karena semua aktor memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut konstitusi yang diakui di Negara ini.

  Ada banyak defenisi tentang demokrasi yang banyak di artikan oleh banyak ahli politik, namun yang paling populer adalah defenisi demokrasi menurut Abraham Lincoln dalam Riyanto (2010: 19) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari dari beberapa sisi. Pertama, sisi substansial (nilai hakiki), dimana kalau demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Misalnya adanya kebebasan, toleransi, pluralisme dan anti kekerasan. Kedua, sisi dimensi prosedural (aturan atau tata cara), dimana demokrasi hanya bisa tegak jika ada prosedural formal yang memungkinkan nilai dan budaya demokrasi ada dan berjalan.

  Jelas sekali dalam pengertian demokrasi diatas dan berdasarkan sisi substansial dan prosedural maka jelas pemilihan Kepala Desa mengharuskan adanya kebebasan dalam memilih dan toleransi antar sesama massa pendukung maupun sesama aktor yang bertarung dalam ranah politik desa. Dalam sisi substansial demokrasi perlu adanya pembelajaran oleh setiap elit desa yang bertarung dalam pemilihan Kepala Desa agar tetap menjunjung nilai yang luhur yang telah lama dimiliki oleh Negara ini sehingga tidak ada lagi kecurangan maupun konflik setelah berahirnya pemilihan desa karena hal itu bisa menjadi contoh oleh bagi elit desa tingkat daerah maupun nasional. Begitu juga dengan sisi dimensi prosedural demokrasi maka akan bisa terinternalisasi dalam setiap indiviu aktor maupun massa pendukung kalau melihat lembaga resmi pemerintah menjalankan sistem demokrasi dengan adanya kebebasan bagi rakyat untuk berinspirasi dan aturan yang telah ditetapkan oleh konstitusi benar-benar berjalan semestinya oleh institusi resmi. Harapan dari masyarakat akan keindahan dari keikutsertaan dalam pesta politik walaupun hanya dalam tingkat desa atau yang lebih besar benar-benar menjadi kegembiraan bersama yang pantas untuk dirayakan karena akan terpilih sosok pemimipin yang dinginkan rakyat.

2.8 Keterkaitan Habitus, Modal Sosial dan Kekuasaan

  Aktor menjadi sosok sentral yang akan memainkan peranannya dalam ranah politiknya. Cara aktor bertindak, berperilaku dan berbicara akan merepresentasikan presentasi aktor akan sebagai sosok yang terlihat di masyarakat. Perlunya ada cara untuk menjaga sikap aktor dalam menghadapi segala situasi yang dapat terjadi dalam dinamika petarungan politik maka aktor harus membentuk habitusnya. Proses pembentukan habitus tersebut tentu harus melalui proses internalisasi nilai, cara bersikap, berbicara dan bertindak. Kemudian proses itu dilakukan secara terus menerus sehingga pada saat dilakukan maka akan terlihat alamiah dan tidak di buat- buat. Faktor pembentukan habitus ini tentu erat kaitannya dalam mendorong mengubah persepsi masyarakat bahwa aktor ini memang pantas dan layak untuk dipilih dalam pemilihan Kepala Desa nanti.

  Pembentukan habitus yang sudah melekat dalam diri aktor akan membantunya dalam meraih modal sosial yang ada di masyarakat. Karena sikap aktor yang sudah sesuai dengan harapan dari masyarakat maka proses pelobian untuk merekrut elit desa sebagai jaringan sosial akan menjadikan akses bagi Kepala Desa menjadi lebih mudah. Tentu nantinya elit desa yang terdiri dari tokoh adat, agama dan aparatur desa dan lain-lain akan menjadikan aktor memiliki pengaruh yang lebih besar karena walaubagaimanapun sosok elit desa tadi merupakan faktor penting bagi masyarakat dalam memilih pilihannya dalam PILKADES nanti. Dalam modal sosial juga terkandung tiga unsur yang membuat masyarakat lebih memilih aktor ini. Unsur yang terkandung dalam modal sosial itu adalah rasa percaya akan masyarakat terhadap aktor, hubungan timbal balik yang sering dilakukan antara aktor dan unsur tersebut dipadukan dan akan membentuk keselarasan antara aktor dan masyarakat desa pendukungnya.

  Modal sosial yang sudah dikumpulkan oleh aktor tentu memudahkan mendapat akses legitimasi dari masyarakat karena melihat banyaknya tokoh masyarakat yang mendukung siaktor maka akan mempengaruhi pilihan masyarakat pada aktor. Modal uang, kekayaan, pendidikan tinggi serta nama naik keluarga aktor ikut memberikan sumbangan besar dalam mendapatkan kekuasaan bagi aktor untuk masyarakat desa. melalui kekayaan maka aktor akan mudah memobilisasi masyarakat pendukungnya dan pendidikan tinggi serta nama besar keluarga juga menjadikan sosok aktor akan disegani karena faktor tersebut menjadi hal yang dianggap masyarakat desa sebagai barang berharga. Setelah aktor mendapatkan legitimasi langsung dari masyarakat desa maka tentunya akan lebih mudah mendapatkan suara pada saat pemilihan kepala desa nanti.

  Hubungan antara habitus, modal sosial, dan kekuasaan semua relevan dan saling bersinergi. Apabila ada salah satu dari ketiga hal ini hilang atau tidak dimiliki oleh aktor maka akan sulit bertarung dalam ranah politik desa. Perlu ada usaha yang keras yang dilakukan oleh aktor dan tim strategi pemenangannya agar bisa memenangkan aktor dalam PILKADES nanti. Perebutan sumber ini akan menjadi pertarungan abadi antar aktor dalam setiap adanya pemilihan kursi di pemerintahan walupun itu dalam tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional. Hal itu tetap yang menjadi faktor yang esensial dan penggabungan tiga unsur tadi akan lebih memudahkan aktor untuk menang dalam setiap pemilihan.

  Defenisi konsep pada penelitian ilmiah digunakan agar mempermudah dan memfokuskan penelitian. Supaya tidak ada kesalahpahaman konsep yang digunakan, maka diberikan batasan-batasan makna dan arti konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Pada penelitian ini yang menjadi konsep-konsep penelitian adalah:

  1. Modal terdiri dari beberapa macam seperti modal budaya yang termasuk kedalam ilmu pengetahuan/kemampuan yang dimiliki oleh aktor. Kemudian modal simbolik yang lebih kepada makna simbol seperti nama baik keluarga, prestise dan nama besar keluarga. Berlanjut kepada kepada modal sosial yang menjadi prioritas dalam penelitian ini karena adanya kepercayaan masyarakat pada aktor dan mengedepankan jaringan sosial sebagai cara untuk meraih galangan dukungan dari masyarakat. Tentu modal sosial ini tidak seperti modal lain yang bisa dimiliki oleh individu tetapi modal ini berada dalam masyarakat dan hanya bisauntuk direbut karena bukan sesuatu yang bisa dimiliki selamanya.

  2. Habitus sering dikaitkan dengan perilaku yang melekat pada diri aktor namun perlu dikaji lebih dalam bagaimana sebenarnya proses terbentuk habitus pada diri aktor. Habitus lebih kepada peran yang diharapakan oleh masyarakat terhadap diri aktor sehingga bagaimana aktor berpikir, merasakan berperilaku, bersikap harus menunjukkan kapasitas yang pantas untuk menjadi sosok Kepala Desa. kesemuanya tadi dilakukan secara berulang-ulang sehingga terinternalisasi dalam diri aktor dan menjadi melekat menjadi sifat alamiah dalam dirinya.

  3. Ranah tempat terjadinya pertarungan maupun manuver yang sering dilakukan oleh aktor dalam perebutan kursi kekuasaan Kepala Desa maka sering adu kekuatan baik dalam mempengaruhi persepsi masyarakat pada setiap diri si aktor sehingga ranah/arena hanya dalam tingkat desa tetapi diperlukan strategi yang fleksibel agar bisa menghadapi setiap kemungkinan kondisi yang terjadi dalam arena sehingga perlu ada kemampuan dengan kualifikasi yang tinggi agar dapat bergerak dengan lebih leluasa dalam perebutan kursi Kepala Desa.

  4. Kekuasaan (authority) memang menjadi faktor penting yang harus dimiliki oleh setiap aktor yang ingin bertarung dalam pemilihan Kepala Desa. kekuasaan yang dimiliki oleh aktor ini nantinya diharapkan akan bisa mempengaruhi persepsi dari masyarakat yang akan mendukungnya. Pada konteks kekuasaan tentunya merupakan aspek yang signifikan dalam meraih kursi Kepala Desa. Kekuasaan aktor terbentuk melalui proses pengakumulasian berbagai modal sehingga memudahkan dalam mobilisasi massa pendukung agar bisa memenangkan aktor dalam pemilihan Kepala Desa.

5. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

  Diharapkan hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat. Kebebasan dalam memilih inilah nantinya akan memberikan kelenturan bagi massa pendukung dalam memilih aktor yang benar-benar dianggap bisa memberikan pengaruh positip kepadanya karena para aktor yang bertarung dalam ranah politik desa ini tidak bisa melakukan pemaksaan agar memilihnya nanti di pemilihan Kepala Desa.

Dokumen yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI - Rancangan Animasi Pengenalan Bendera Negara Menggunakan Macromedia Flash 8.0

0 0 13

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian Komputer - Aplikasi Pemesanan Tiket Bus Menggunakan Visual Basic 6.0

0 1 24

BAB II LANDASAN TEORI 2. 1 Augmented Reality Augmented reality adalah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan - Implementasi Augmented Reality untuk Pembelajaran Huruf Hijaiyah bagi Anak-anak

0 1 19

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PETERNAKAN DI KOTA MEDAN A. Pengertian Usaha Peternakan - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan

0 0 7

BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang - Prosedur Pemberian Izin Usaha Peternakan Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2004 Ditinjau dari Perspektif Hukum Administrasi Negara (Studi Pemerintah Kota Medan)

0 3 21

Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah pada Beberapa Varietas dan Pemberian Pupuk NPK

0 0 31

Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah pada Beberapa Varietas dan Pemberian Pupuk NPK

0 0 14

Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vitamin - Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 16

Faktor-faktor yang Memengaruhi Bidan dalam Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Simpang Limun Medan Tahun 2013

0 0 16