Konstruksi Pemahaman Wartawan Terhadap UU KIP (Studi Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Wartawan Aliansi Jurnalis Independen Cabang Medan Dalam Memahami Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik)

  Panduan Wawancara

  1. Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ? 2.

  Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ? 3.

  Di media manakah anda bekerja saat ini ?

  4. Apa posisi atau jabatan anda di media tersebut ? 5.

  Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ?

  6. Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?)

  7. Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ?

  8. Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ?

  9. Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? 10.

  Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ? 11. Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ?

  12. Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ?

  13. Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ?

  14. Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?) 15. Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ?

  16. Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ?

  17. Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ?

  ? 19. Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ?

Transkrip Wawancara

  Nama : Herman Saleh Pekerjaan : Wartawan Harian Medan Bisnis Jabatan : Redaktur Perdagangan dan Politik Tempat wawancara : Kantor Medan Bisnis Jalan S Parman.

  Tanggal/waktu wawancara : 29 April 2015, Pukul 13:11 WIB T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ? J :

  “PJS (pejabat sementara ketua) ketuanyakan lagi pindah ke Pontianak. Kalau di AJI itu anggotanya harus berdomisili di Kota. Kan dia sudah pindah, otomatis dia tidak bisa lagi menjadi pengurus AJI Medan”.

  T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ? J :

  “Begini ya, kitakan orang dilapangan. Pasti adalah masalah, kendala dan pasti butuh perlindungan. Jadi, untuk meminimalisir kemungkinan buruk itu, kita harus berserikat. Intinya itu. Jadi setelah berproses, apa yang kita dapatkan setelah masuk organisasi ? jadi, mungkin disetiap organisasi itu punya program ‘capacity building’ (peningkatan kapasitas). Bagaimana sih menulis isu-isu itu. Di AJI itu kan isu yang diangkat isu lingkungan, jaminan sosial, isu perburuhan. Mulai tahun 2000, AJI itu menyatakan bahwa jurnalis itu adalah buruh”.

  T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ? J : “2007, awal”. T : Di media manakah anda bekerja saat ini ? J :

  “Medan Bisnis” T : Apa jabatan atau posisi anda di media tersebut ? J :

  “sekarang Redaktur Perdagangan sama Politik “ T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ? J : “aku gabung di AJI itukan 2007. Jadi, pembikinan (rancangan) untuk sebuah payung hukum agar informasi ini bisa diserap semua orang, tidak hanya jurnalis dengan Undang-Undang Persnya, Inikan sudah dimulai sejak 2005-an, tapi idenya itukan masih dari kawan-kawan di Jakarta. 2005-an inikan (UU KIP) sudah mulai digodok, didiskusikan, FGD (focus group discussion) kan. Inikan masuknya ke DPR tahun 2007-an lalu disahkan tahun 2008 d an berlaku tahun 2010”.

  T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?) J :

  “sudah” T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ? J :

  “begini, ketika Undang-Undang (UU KIP) ini ada, inikan kewajibannya membentuk di daerah, tahap awalnya di provinsi. Yang kami (AJI) lakukan itu membahas ini”.

  T : Apa yang dibahas ? J :

  “inikan Undang-Undang sudah ada nih, inikan kawan-kawan di Jakarta ‘concern’ terus, kewajibannya harus dibentuk di daerah dengan komisi informasi daerah. Jadi, dulukan namanya itu mau dibuat komisi informasi daerah, terakhir disederhanakan menjadi komisi informasi provinsi atau KI. Jadi, ketika itu yang saya lihat ini (UU KIP) bagus”.

  T : Maksudnya ? J :

  “jadikan, selama ini kewajiban (informasi) tidak kepada publik, itukan disampaikan secara satu arah. Misalkan ada program dari Pemko (Pemerintah Kota), Humas menyampaikan melalui media, sebelum ada KIP ini, informasi disampaikan kepada jurnalis, dan jurnalislah yang menyampaikannya kepada masyarakat. Artinya, tidak ada semacam interaksi ketika kita butuh informasi seperti dana BOS. Jadi dulunya ketika kita butuh informasi, kita harus nunggu koran, nunggu media. Jadi, kita tidak bisa meminta apa yang kita inginkan sebagai pembaca. Jadi, kita hanya menunggu apa yang diberikan media massa karena ketika itu belum ada kewajiban, payung hukum ketika kita meminta informasi itu caranya bagaimana ? be gitu”.

  T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ?

  J : “intinya yang aku tangkap ya, sebelum UU KIP ini ada, gak ada kewajiban mereka untuk menyampaikan informasi. Inikan wajib. Misalnya begini, ketika ada program bantuan Desa, sebelum ada UU KIP ini dia kan tersembunyi. Artinya begini, kita hanya bisa berharap bahwa jurnalislah yang bisa mengungkap itu karena dia punya otoritas. Tapi kalau sekarang, kita bisa minta dengan membuat surat ke dinas pendidikan misalnya atau langsung ke Wali Kota, kita bisa minta dengan menggunakan UU KIP”.

  T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J : “Pernah. Aku ‘concern’ bacanya itu tahun 2009”. T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ? J :

  “sebenarnya begini, setelah disahkan itu masih agak vakum, misalkan dia harus menunggu PP atau apa untuk meneruskan ini (UU KIP). Jadikan dia, Undang- Undang itukan ada turunannya misalkan bagaimana sih pembentukan komisi informasi daerah. Kalau aku sih begini, yang terdetak pertama kali, sebenarnya ada enam hal pengecualian di dalam UU KIP. Jadi, UU KIP ini mulai heboh lagi ketika masuk Undang-Undang Intelijen dan masuk lagi Undang-Undang ITE. Yang aku lihat, ada ketidak inginan sebenarnya ketika misalkan Undang-Undang KIP ini membuka informasi sebesar-besarnya masih ada pasal pengecualian. Ditambah lagi dengan UU ITE, UU Intelijen, UU Pornografi. Artinya begini, ada celah yang menutup. Yang aku pikir begitu”.

  T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Ya” T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ? J : “Keuangan, kebijakan strategis”. T : Pandangan Anda ? J :

  “Yang kami (internal AJI) perdebatkan itu. Semua sudah satu persepsi belum dengan pengecualian itu ? inikan sudah Undang-Undang nih, sudah ada nih pasal pengecualian. Begini, kalau semua sudah satu persepsi, pengecualian itu apa ?, mungkin ini bisa

  ‘clear’. Pertanyannya begini, PPID (Panitia Penyedia Informasi dan Data) inikan bukan orang profesional. Misalnya, di Humas ada orang yang tidak punya struktural, dialah yang jadi PPID- nya. Inikan ‘basic-nya’ apa ya ?. Artinya,

  kalau kepentingannya untuk si penyedia informasi sepertinya bisa ditutup. Jadi ketika nanti itu dibutuhkan dia punya alasan ini dikecualikan. Artinya, ada hal-hal yang ketika terbuka sendiri itu dikatakan terbuka. Dan ketika bisa ditutup, itu dikecualikan”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “ Kesiapan orang itu belum ada. Itukan harus ada PPID, bisa kita ceklah di Sumut berapa sih lembaga publik atau instansi pemerintah yang punya PPID ? belum semua. Di Pemko (Pemerintah Kota Medan) itu baru satu. harusnyakan begini, kalau kita lihat KPID, dia itukan sendiri, ada staf-stafnya. KI pun ada stafnya. Kayak yang aku bilang tadi, dia Humas, nganggur, gak ada kerja, karena ada UU KIP ini dibuatlah struktural, dia masuk PPID, ngerti gak dia dengan kewajiban dia, ngerti gak dia dengan tugas dia ? Jadi, pernah kami buat diskusi dengan Komisi Informasi, ternyata orang-orang yang ditugaskan di PPID itu pun belum tahu. Lebih parah lagi orang itu dari pada awak. Artinya, orang inikan (PPID) yang mengerjakan ini, tapi gimana sih caranya mendapatkan informasi ? mereka pun tak tahu. Tahunya orang itu, datang surat, dibalas, tanya atasan, tanya ke kabag Humas atau ke Sekda atau ke Wali Kota. Jadi, ini bisa gak di apa in ? Seharusnyakan orang ini tahu, diproses dulu, jadi tinggal mereka buat semacam permohonan untuk membuka informasi ini”.

  T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?) J :

  “Tidak. Jadi begini, di UU KIP ini memberikan tiga puluh hari kerja, ada yang empat belas hari kerja. Jadi ketika kita meminta itu, kita harus buat surat lagi. Bayangkan misalkan media yang terbitnya harian, kita itu (wartawan) kerja dari jam tujuh sampai sepuluh malam. PNS kerja jam berapa ? jam delapan sampai jam empat, kita masukkan surat, istirahat orang ini, nyari data lagi, gak bisa sehari dan di UU KIP pun gak dibilang sehari, gak segera datanya. Kalau aku pribadi, jurnalis ngapain pakai UU KIP. Jadikan begini, semangatnya inikan membuka informasi ke publik, apakah UU KIP ini harus dijadikan pegangan bagi jurnalis ? kalau aku bilang gak perlu, pakai UU Pers aja. Jadi, kalau misalkan masyarakat, kalian pakai apa coba ? Ya, harus pakai UU K

  IP”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ?

  J : “Kalau aku lihat sih sudah jalan. Masalahnya begini, selain masalah di organ penyelenggaranya misalkan KI, instansi pemerintah dan badan publik, masalahnya di publiknya. Misalnya begini, pernah gak kita membuka informasi ? Masalahnya disitu. Jadi, kita (publik) inikan punya hak untuk meminta informasi, pernah gak kita minta informasi itu ? KI (Komisi Informasi) ini hampir sama dengan pengadilan, diakan hakim. Ada nih yang gak mau kasih informasi, apakah KI-nya salah ? kita lihat dulu ada gak pengaduan, karena mereka itu bekerja berdasarkan pengaduan.

  Tapi, apakah UU KIP ini sudah berjalan ? sudah berjalan. Kalau kita lihat KI Sumut, sudah banyak putusan. Artinya mereka itu bekerja dengan TUPOKSI-nya. Tapi, ketika informasi ini masih tertutup, kita butuh analisis lagi, karena mereka itu (KI) pasif. Jadi, datang nih pengaduan, kita (KI) ambil, kita ajudikasi, mediasilah, gimana nih ? Nah, ketika keputusannya itu harus dibuka, mereka (KI) buat rekomendasi itu harus dibuka. Ketika tidak ada pengaduan, kita gak bisa nilai kinerja KI ini. Kalau bisa dibilang ini lembaga perdata. Tapi apakah itu sudah berjalan ? berjalan. Tapi yang gak jalan itu PPID- nya”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Itukan udah masuk ke teknis. Disitukan (UU KIP) ada katanya kalau tidak menyampaikan kewajibannya, itu dua tahun atau lima ratus juta. Jadikan semangatnya KIP itu bukan pidananya. Jadi, di keterbukaan informasi publiknya, makanya sebisa mungkin itu diselesaikan melalui persidangan di Komisi Informasi. Kalau menurut aku, kurang suka juga aku pidana-pidana ini. Lebih sukanya bagaimana di Komisi Informasi ini betul-betul final. Jadi, bisa memaksa karena itu sudah kewajiban, yang ada sanksi pidana dua tahun dan denda lima ratus juta. Lebih bagus sih di mediasi aja. Jadi kalau masuk pidana, bahaya juga itu”.

  T : Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ? J : “Kalau sampai sekarang belum”. T : Menurut anda, bagaimana fungsi UU KIP dalam mendukung tugas jurnalistik ? J :

  “Untuk jurnalis, ya liputan ‘depth news’. Tapi lebih enak pakai UU Pers dan kode etik karena sudah mengatur liputan investigasi. Artinya begini, jurnalis itukan punya ‘deadline’ dan si penyedia ini pun punya tenggang waktu, jadi tinggal menyesuaikan, kalau misalnya harus menunggu tiga puluh hari, gak dapat itu”. T : Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ? J :

  “Ya, setuju. Jadi kalau misalkan ini (UU KIP) dimanfaatkan publik, pers inikan sekarang sudah jadi industri, UU Pers pun kadang sudah gak patuh lagi orang itu. Ini (UU KIP) bisa jadi kontrol atau semacam kritik untuk kebebasan pers, UU KIP ini bisa dipakai oleh masyarakat pembaca. Maksudnya begini, ketika misalkan berita yang disajikan itu tidak sesuai dengan yang kita harapkan atau ada bias disitu, kita bisa pakai UU KIP. Artinya begini, harapannya kalau semua orang baca UU KIP seperti itu, pers ini akan berfikir ulang kembali ke ‘khittah-nya’, baliklah dia, kalian itu bukan alat penguasa, kalian itu bukan industri, kalian itu alatnya massa, kalian itu media massa. Bisa balik kesitu. Bisa menjaga kehormatan pers bebas itulah jika UU KIP ini dimanfaatkan oleh yang punya hak. Saya pikir itu kaitannya”.

Transkrip Wawancara

  Nama : Agus Salim Perdana Pekerjaan : Wartawan Kabar Medan.com Jabatan : Pemimpin Redaksi Tempat wawancara : Dwi Kupe Uleekareng Jalan Ring Road Tanggal/waktu wawancara : Tanggal 1 Mei 2015 pukul 19:30 WIB.

  T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ? J : “Koordinator Divisi Advokasi”. T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ? J :

  “Yang pertama, dari sekian banyak organisasi pers yang ada di Indonesia memang saya memilih AJI karena beberapa hal; pertama, dipilih dari sejarah berdirinya AJI. AJI itukan berdiri awalnya karena pembredelan beberapa media di zaman rezim orde baru dan muncul disaat, waktu itu cuman ada satu organisasi pers di Indonesia. Nah, AJI muncul sebagai satu organisasi wartawan atau jurnalis yang baru di Indonesia dan dalam definisinya perjuangannyakan lebih kearah kebebasan pers, memperjuangkan hak-hak pekerja media dalam hal misalnya memperoleh upah layak, memperjuangkan jurnalis yang menjadi korban kekerasan termasuk juga jurnalis yang harus berhadapan dengan masalah-masalah ketenagakerjaan. Itu makanya selain punya divisi advokasi, tapi kita punya divisi serikat pekerja. Selain memang masalah independensi yang penting bagi seorang jurnalis untuk bisa menghasilkan suatu karya jurnalistik yang tinggi. Nah, alasan ikut bergabung karena aku melihat AJI ini berbeda dengan organisasi pers yang ada di dunia terutama misalnya dari masalah-masalah bagaimana roda organisasi ini berputar termasuk siapa- siapa orang yang ada dibelakangnya, ‘track record’ orang-orang yang ada di AJI dan itu menjadi salah satu pertimbangan. Artinya memang, aku memilih bukan karena dipaksa, diajak teman atau disuruh senior atau bagaimana gitu, tapi aku memang disini karena kemauanku sendiri, gitu”.

  T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ? J : “Seingatku dari tahun 2002”.

  T : Di media manakah anda bekerja saat ini ? J : “Kabar Medan.com”. T : Apa jabatan atau posisi anda di media tersebut ? J : “Editor in chief atau pemimpin redaksi”. T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ? J :

  “Sebenarnya sejak pertama kali undang-undang KIP disahkan tahun 2008, itu kita sudah tahu. Nah, memang untuk komisi informasi ditingkat provinsi itukan belum terbentuk disaat undang-undang itu keluar, belakangan baru ada di Sumatera Utara misalnya, cuman agak beberapa tahun belakangan ini ajakan ? Tapi, tahunya sih, dari awal sudah tahu”.

  T : Dari mana anda mengetahui UU KIP tersebut ? J :

  “Ya, kitakan orang wartawan. Artinya, info-info terbaru harus kita tahu terutama di AJI itu sendiri ketika awal undang-undang KIP itu masih berbe ntuk ‘draft’, belum disahkan jadi undang-undang kitakan (anggota AJI di Jakarta) sudah ikut memberikan masukan dan saran juga”.

  T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?) J : “Sudah”. T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ? J :

  “Ya, tentunya kita menyambut baik munculnya undang-undang KIP itu. Artinya, selama ini aktifitas informasi yang tidak bisa diketahui masyarakat, itu siapa saja boleh mengetahui apalagi itu berkaitan dengan kepentingan publik dan aku pikir itu sejalan juga dengan perjuangan kebebasan pers. Bukan cuma media saja sekarang yang butuh keterbukaan informasi publik, tapi masyarakat juga bisa mengakses. Artinya, masyarakat yang ingin mendapatkan suatu informasi dari lembaga publik atau lembaga pemerintahan, mereka berhak untuk meminta dan lembaga itu berhak untuk memberikan sepanjang apa yang diminta itu tidak termasuk kategori rahasia negara. Misalnya, masalah penggunaan anggaran, kita masih bisa meminta dan bagi kita itu jadi salah satu kemajuan dari hak atas informasi yang dulunya ketika di rezim orde baru kita (publik) seperti ‘katak dalam tempurung’ sekarang kita sudah

  keluar tempurung. Artinya, undang-undang itu menjadi kekuasaan negara, berhak untuk bisa mendapatkan informasi yang termasuk kategori publik”.

  T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ? J :

  “Ya, memang sebelum munculnya undang-undang KIP ini sendiri, kita (publik) agak susah untuk mendapatkan akses ke informasi publik termasuk misalnya data- data pemberitaan. Terutama lembaga-lembaga negara, cenderung mereka berbentuk sifat tertutup. Bahkan sekarang pun sebenarnya masih banyak juga lembaga- lembaga pemerintahan yang mereka sebenarnya tahu ada undang-undang KIP itu. Tapi, ketika kita meminta informasi mereka enggan untuk memberikannya. Akhirnya, kita terpaksa mengadu ke Komisi Informasi provinsi untuk mengeluarkan rekomendasi supaya dokumen itu di buka”.

  T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J : “Sudah”. T : Kapan ? J : “awal undang-undang itu keluar (2008)”. T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ? J :

  “Ya, sekarang lembaga-lembaga publik lebih terbuka. Cuman aku gak tahu, terbukanya karena memang suka atau terpaksa membuka. Jadi, kita pun, kalau seandainya mereka tidak memberikan informasi itu, kita bisa menempuh jalur-jalur mediasi dengan Komisi Informasi. Jadi, mau gak mau mereka harus buka”.

  T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ? J : “Ya”. T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ? J :

  “Seperti rahasia negara”. Ya, itukan ada undang-undangnya lagi. Nah, kalau misalkan informasinya dibuka ke publik bisa membahayakan kedaulatan negara, contoh; ada agen-agen intelijen, kitakan gak tahu siapa mereka, bisa jadi diantara kita ini ada agen BIN misalnya. Kalau itu informasi terbuka bagi dia sendiri, kita gak mungkin minta daftar agen BIN di Indonesia, atau misalnya; katakanlah strategi

  militer. Ada kategori-kategori seperti itu yang dikecualikan dalam keterbukaan informasi publik”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap hal tersebut ? J : “Aku tergiur untuk memilih posisi ditengah. Artinya, dibilang setuju, ya setuju.

  Tapi, dibilang gak setuju, ya gak setuju karena kalau misalnya ada kategori informasi yang dikecualikan tadi dibuka, kita harus tahu efeknya apa. Sepanjang efeknya tidak merusak ketatanegaraan atau mengganggu kedaulatan negara, aku pikir gak masalah. Jadi, harus ‘di-setting’ lagi dia. Rahasia negara itu seperti apa, begitu”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Mekanismekan sudah jelas. Artinya begini, ketika misalnya kita sebagai jurnalis atau sebagai warga masyarakat ingin mendapatkan informasi dari sebuah lembaga publik, kitakan menyampaikan itu harus kepada mereka, menyampaikan surat bahwasanya kita atas nama siapa, kita minta informasi untuk apa. Nantikan itu ada jangka waktu, kalau gak ditanggapi kita bisa melapor ke Komisi Informasi (KI) provinsi. Tapi, baiasanya KI akan memanggil lembaga publik tadi sebagai termohon, ya nantinya KI akan mengeluarkan rekomendasi. Kalau misalnya nanti KI menilai bahwasanya informasi itu penting untuk dibuka mereka akan buat rekomendasi untuk lembaga itu untuk membuka informasi dan kalau misalnya mereka gak buka, kan ada pidananya”.

  T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?) J : “Tidak. Menurutku itu (UU KIP) terlalu lama. Artinya, butuh beberapa hari kerja.

  Menurutku terlalu lama prosesnya. Walaupun KI sudah mengeluarkan rekomendasi untuk lembaga publik itu untuk mengeluarkan informasinya, kita menunggu waktu juga dari mereka. Mereka taat gak dengan rekomendasi KI itu. Kalau sudah sampai di lapangan, kita semua ke pengadilan, panjang lagi ceritanyakan. Bayangkan kita mau buat ‘deadline’ besoknya, terlalu lama menurutku”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ? J :

  “Memang KI (Sumut) secara garis besar, kinerja mereka masih baiklah. Artinya, mereka juga ‘intens’ dan laporan aduan masyarakat yang masuk ke KI itu banyak jumlahnya. Bisa jadi kita memohon sekarang, bulan depan baru disidangkan karena

  antrian banyaknya itu (pengaduan) tadi. Lalu, KI itukan Cuma ada di ibu kota provinsi dan itu jadi masalah ketika ada masyarakat yang mengadu misalnya dari Sibolga atau Mandailing Natal, mereka harus kesana. Jadi, itu proses lamanya waktu. Tapi, kalau kinerjanya (KI) sudah cukup baiklah. Artinya, rekomendasi- rekomendasi yang mereka keluarkan juga, sedikit banyak berpengaruh terhadap realisasi UU KIP itu sendiri”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Sampai sekarang, di Sumatera Utara sendiri belum ada kasusnya yang sampai ke pengadilan. Jadi aku gak bisa mengatakan efektif atau tidak. Katakanlah kemarin Wali Kota Medan dipanggil misalnya, emang iya, Wali Kota Medan mau dipenjara gara- gara gak buka informasi ?”.

  T : Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ? J : “Belum, tapi rencana ada”. T : Menurut anda, bagaimana fungsi UU KIP dalam mendukung tugas jurnalistik ? J :

  “Ada tiga lembaga negara independen, dimana anggota AJI bisa masuk di dalamnya tanpa melepas keanggotaannya. Dewan Pers, Komisi Penyiaran, Komisi Informasi Publik. Artinya apa, dari situkan kita bisa melihat bahwa ini sejalan dengan kepentingan media, masih sejalan dengan tugas jurnalistik kita sehari-hari. Beda dengan anggota AJI yang masuk ke KPU misalnya. Dia harus non-akt if”.

  T : Lebih spesifiknya UU KIP seharusnya dimana letaknya dalam kegiatan jurnalistik ? J :

  “Aku pikir di ‘straigt news dia gak dapat ya. Mungkin lebih masuk ke ‘indepth news’ dimana kita punya banyak waktu untuk mengerjakannya dan laporan lebih mendalam lebih baik kan ? dan berita yang disampaikan lebih mendalam”.

  T : Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ? J :

  “Setuju. Indonesia ini unik. Unik dalam artian Indonesia adalah salah satu negara persnya yang paling bebas di Asia Tenggara. Dan cuma Indonesia yang punya undang-undang keterbukaan informasi publik, negara-negara lain di Aisa Tenggara gak punya. Artinya apa, semangat reformasi itu dibukanya kebebasan pers. Dengan adanya undang-undang KIP, semangat kebebsan pers itu juga sesuai dengan

  undang-undang. Artinya, apa yang mau didapatkan yang tidak masuk dalam kategori pengecualian, bisa dapat. Kebebaan pers, UU KIP gak bisa disampingkan, berjalan seiringan. UU KIP itu terlambat ya. Dia keluar sejak sembilan tahun UU Pers keluar, kan UU KIP dibuat tahun 2008. Menurutku ini sedikit terlambat keluarnya. Artinya, ada masa dimana kita tidak terlalu bebas untuk mendapatkan informasi”.

Transkrip Wawancara

  Nama : Liston Aqurat Damanik Pekerjaan : Wartawan Tribun Medan Jabatan : Reporter Tempat wawancara : Uleekareng jalan Dr Mansyur Padang Bulan Tanggal/waktu wawancara : Tanggal 2 Mei 2015 pukul 14:39 WIB T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ? J :

  “Anggota. Aku masuk tahun 2011 di Siantar. Orang itu (AJI) buka rekrutmen, pengurus AJI Medan datang kesana. Jadi, di Siantar itu ada beberapa wartawan yang masuk AJI. Nah, AJI Siantar inikan tidak ada itu sebenarnya. Dia (AJI Medan) mau membikin AJI di Siantar tapi, wartawannya gak pernah cukup karena bikin AJI itukan disatu kota harus ada syarat jumlah anggotanya. Aku gak tahu sekarang, kayaknya belum terbentuk juga. Nah disitu, enam bulan kemudian aku dapat surat lulus dan kebetulan juga aku pindah, ditarik lagi ke Medan. Satu tahun itu aku jadi anggota, setahun kemudian terpilihlah pengurus AJI Medan baru. Aku dimasukkan ke divisi advokasi sebagai anggota. Ketuanya itukan bang Agus Perdana”.

  T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ? J :

  “Waktu itukan aku masih baru anggota AJI, wartawan baru. Jadi, mungkin ada perasaan kurang ‘confident’ begitu. Jadi, aku mikirnya kita butuh dukungan teman- teman yang kita anggap satu pandanganlah, karena sejak awal aku sudah lihat wartawan ini ada keluarga besarnya. Wartawan ini bermacam-macam, orientasinya berbeda-beda. Ada dia yang dari organisasi wartawan yang sudah lama, sangkin besarnya tidak terurus, integritas anggotanya tidak diurusi lagi, ada (organisasi wartawan) yang baru, lebih bagus dari AJI. Dilihat dari sejarah AJI, aku suka orang-orangnya yang ditingkat nasional, Goenawan Mohamad, Ayu Utami. Ya, sebenarnya gak terlalu sulit sih untuk menentukan itu kalau kita mau bergabung di organisasi wartawan, pastinya aku milih AJI. Nah, belakangan harus aku akui sebenarnya agak antara kecewa, atau mungkin aku berpikirnya terlalu polos atau gimana ya. AJI ini kurang sesuai ekspektasiku, begitu”.

  T : Apa ekspektasi anda tersebut ?

  J : “Ini (AJI) aku lihat organisasi yang solid. Tapi, waktu pertama masuk sudah aku lihat nih, yang aktif itu sedikit dan itu sebenarnya cukup melemahkan semangat orang-orang yang ingin aktif disitu karena tugas organisasi profesional semacam AJI ini berat. Target-target AJI itukan cukup besar, misalnya meningkatkan kesejahteraan wartawan, kalau gak salah minimal empat setengah juta mereka (AJI) target kemarin setahuku. Itukan butuh usaha yang sangat kuat sebenarnya. Advokasi misalnya; advokasi itu sulit kali karena tiap tahun pasti ada kasus kekerasan terhadap wartawan. Aku pernah sekali ngurusin. Ada satu wartawan yang rumahnya hampir mau dibakar. Jadi, aku bantu kawan-kawan wartawan nyari media yang bersangkutan tempat dia bekerja dan wartawan-wartawan yang tergabung dari aliansi dia, dan organisasi wartawan yang lain juga ketemu sama Kapolda. Ngatur pertemuan itu sulit dan ternyata menurutku kurang berhasil. Jadi, lama-lama aku mundur, aku sebenarnya kurang enak juga sama Herman karena Herman yang ngajak aku sebenarnya. Aku salah satu pendukung mereka waktu mencalonkan diri dan aku merasa bertanggung jawab juga waktu dia (Herman) menang dan ngajak aku jadi pengurus. Dia sering SMS aku, ajak makan segala macam. Terakhir sampai pindah kantor AJI, itu aku masih bantu-bantu. Tapi, disitu saja sudah mulai ketua itu sudah gak pernah ‘nongol’ (terlihat) lagi. Aku tanya kenapa, gak pernah alasannya jelas. Jadi, agak kompleks juga. Bisa sedikit juga, kerjaanku sangat menyita waktu.

  Aku reporter Tribun, dan reporter Tribun itu punya target berita yang menurutku jauh lebih tinggi dari wartawan- wartawan tempat lain, kami kerja untuk ‘online’, kami kerja untuk cetak juga. Sekarang kami bikin video. Sebenarnya aku mau keluar, cuma aku nunggu nyaman aja mungkin ya ”.

  T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ? J : “Tahun 2007”. T : Di media manakah anda bekerja saat ini ? J : “Tribun Medan”. T : Apa jabatan atau posisi anda di media tersebut ? J : “Reporter”. T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ? J :

  “Aku kurang tahu tahunnya. Pastinya sebelum tahun 2008, karena rancangannya (UU KIP) aku sudah dengar dari kawan- kawan”. T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?) J : “Ya, sudah”. T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ? J :

  “Undang-undang KIP ini seingatku membawa konsekuensi, dia melahirkan komisi keterbukaan informasi publik. Aku lebih memandang itu karena aku percaya sebenarnya transparansi ini pasti akan mengalami banyak penolakan dari orang - orang yang memegang informasi dan wartawan memerlukan komisi ini (Komisi Informasi). Komisi ini setahuku dilengkapi juga dengan kewenangan membawa orang-orang yang tidak menjalankan amanat undang-undang ini ke meja hukum. Setahuku itu”.

  T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ? J :

  “Sebatas BIREK (Biro Rektor USU) sangat sulit. Karena mungkin kita sebagai mahasiswa merasa subordinat. Maksudnya, tidak setara dengan pejabat-pejabat itu dalam artian mereka sepele. Aku gak tahu kalau sama wartawan profesional. Aku sih ngerasainnya begitu”.

  T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J : “Baca belum. Tapi, semangatnya aja yang saya tahu”. T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ? J :

  “Bagus, kemudian menggambarkan semangat zaman, semangat reformasi, era keterbukaan, begitu”.

  T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ? J : “Ya”. T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ? J : “Ya, Rahasia Negara”. T : Pandangan anda bagaimana ?

  J : “Kalau aku sih jujur merasa memang perlu ada yang dirahasiakan. Karena kita gak punya preseden mengenai sejarah dimana negara itu semurninya membuka rahasia ke masyarakat. Kita tidak punya pengalaman bagaimana masyarakat menjalankan itu semua, menyikapi informasi-informasi rahasia. Jadi, aku gak tahu gimana itu jadinya karena publik inikan beragam dan informasi itu digunakan untuk sekian banyak hal kepentingan bukan cuma untuk kebutuhan kognisimu, pemahamanmu aja. Tapi, bisa untuk kepentingan-kepentingan yang mengerikanlah kalau kubilang”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Menurutku itu mempertimbangkan, mungkin karena kompleksnya birokrasi karena pejabat yang berwewenang itu Humas. Aku sih inginnya lebih cepat lebih bagus. Cuma, yang membuat undang-undang itu memperhatikan itu, bahwa kalau wartawan minta informasi yang lebih detail, dia perlu diskusi”.

  T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?) J :

  “Ya gaklah, orang kerjanya perhari. Bayangkanlah, aku saja sering telepon orang jam sebelas malam supaya bisa informasinya naik besok, ini mau nunggu lima belas hari kerja terpaksalah kita pakai strategi lain. Undang-undang ini mungkin bukan untuk wartawan saja. Tapi, buat LSM, pegiat transparansi, informasi, kalau wartawan, gak praktis undang-undang ini. Cuman kalau kita memang sangat butuh, mau gak mau harus kita ikutin juga itu. Tapi, aku pribadi dan setahuku belum ada yang pernah menggunakan ini”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ? J :

  “Menurutku, dibandingkan semua komisi, inilah yang paling belum kelihatan manfaatnya. Setahuku dia baru cuma sosialisasi.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ? J :

  “Itu wajar kalau menurutku. Setiap undang-undang dia ada pidananya jugalah kalau tidak dipatuhi, perintah negara tidak dijalankan ya, pasti ada konsekuensinya”. T : Pernahkah anda memakai UU KIP dalam kegiatan jurnalistik ? (Jika pernah, kapan anda lakukan ? J : “Sejauh ini belum pernah”. T : Menurut anda, bagaimana fungsi UU KIP dalam mendukung tugas jurnalistik ? J :

  “Untuk semua jenis beritalah, dan bahkan belum tentu kita mau bikin berita kita masih observasi”.

  T : Apakah anda setuju bahwa UU KIP berperan dalam mendukung kebebasan pers ? Dan bagaimana anda memandang hal ini ? J :

  “Ya, setuju. Seperti tadi yang kubilang. Jadi, wartawan punya landasan untuk pekerjaannya itu dalam menggali informasi ada payung hukumnya”.

Transkrip Wawancara

  Nama : Tikwan Raya Siregar Pekerjaan : Wartawan Sumatera Beyond.com Jabatan : Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi Tempat wawancara : Komplek Bumi Serdang Damai Jl Mambang Diawan No. 1 pasar 3 Mariendal.

  Tanggal/waktu wawancara : Tanggal 5 Mei 2015 pukul 16:56 WIB T : Apa posisi atau jabatan anda di AJI cabang Medan ? J : “Koordinator BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) AJI”. T : Apa alasan anda bergabung dengan AJI cabang Medan ? J :

  “Pertama, AJI-kan produk dari reformasi dalam hal jurnalisme maka, yang lahir saat itu adalah AJI. Kebetulan saya juga, kalau boleh dibilang ikut terlibat juga dalam aksi-aksi reformasi. Jadi, memang ada dua organisasi yang menonjol saat itu. Satu, AJI. Kedua adalah PWI Reformasi. PWI Reformasi ini menganggap bahwa PWI yang ada perlu di reformasi. Kemudian ada AJI. Kalau AJI sama sekali ingin membuat suatu tatanan baru atau pun suatu nilai-nilai baru dalam hal jurnalisme terutama dalam hal keindependenannya. Itu makanya saya masuk AJI, terutama ingin mendapatkan pers yang independen”.

  T : Sejak kapan anda menjadi wartawan ? J : “Tahun 2000”. T : Di media manakah anda bekerja saat ini ? J : “Sumatera Beyond.com”. T : Apa posisi atau jabatan di media tersebut ? J : “Pendiri”. T : Kapan anda pertama kali mengetahui adanya undang-undang keterbukaan informasi publik (UU KIP) ? Dan dari mana anda mengetahuiya ?

  J : “Sebenarnyakan ini salah satu undang-undang yang diperjuangkan. Itu dimulai ketika undang-undang pers tahun 1999 disahkan. Itu sebenarnya sudah dibuat juga sebagai salah satu paket walaupun belum dapat direalisasikan. Kita sudah membicarakan hal-hal seperti ini. Tapi, tidak tahu dengan adanya undang-undang pers kalau tanpa dibarengi dengan keterbukaan informasi publik terutama untuk media/pers itu agak sedih juga. Jadi, kita melakukan kontrol agak sulit juga terutama dalam hal mendapatkan informasi yang objektif dan resmi. Saya tahunya ini (UU KIP) dari media”.

  T : Apakah anda sudah menggeluti dunia jurnalistik semenjak UU KIP disahkan pertama kalinya ? (kalau tidak, apa profesi anda saat itu ?) J : “Sudah”. T : Bagaimana pandangan anda saat pertama kali mengetahui adanya UU KIP tersebut ? J :

  “Kemungkinan adalah kemudahan untuk mendapatkan informasi resmi yang tentunya dari lembaga pemerintah. Itulah bagi saya yang salah satu memudahkan pekerjaan bagi wartawan. Jadi, bagi saya ini sangat membantu pekerjaan jurnalistik”.

  T : Bagaimana menurut anda keadaan informasi disetiap badan publik sebelum hadirnya UU KIP ? J :

  “Sangat sulit, terutama informasi yang sifatnya sensitif. Misalnya kalau menuntut kepentingan publik soal anggaranlah terutama, itukan kebijakan fiskal pemerintah. Itu dulu tertutup semua. Anggaran ini mulai digodok dari Dewan (DPR) sampai kemudian pengelolaannya di dinas- dinas, implementasinya itu semua tertutup”.

  T : Sudah pernahkah anda membaca UU KIP ? Dan kapan itu dilakukan ? J :

  “Sudah, tapi sebagian saja. Pas ketika kita pengajuan, sebagai bagian dari untuk mendukung transparansi informasi publik yang salah satu agendanya reformasi”.

  T : Bagaimana pendapat anda terhadap UU KIP ini ? J :

  “Yang terfikir waktu itu adalah ketika sudah disahkan, pelaksanaannya seperti apa. Yang pertama waktu itu sebenarnya berat bagi pemerintah makanya setahun setelah disahkan belum juga dibentuk-bentuk komisinya. Mungkin yang pertama kesiapan pemerintah, mereka tidak sanggup memenuhi itu (pelaksanaan UU KIP) karena mereka juga harus menyediakan suatu prangkat prasarana yang bisa mensuplai informasi tersebut apabila diminta orang karena nanti akan ada persoalan

  persidangan. Yang kedua mungkin kepentingan. Mereka tidak benar-benar ingin ini (UU KIP) ada. Jadi, pelaksanaannya sangat dihambat. Bahkan ketika komisionernya pun sudah dibentuk, proses untuk mendapatkan keadilan, hak informasi publik ini juga, seperti di Sumatera Utara wilayah jangkauannya luas sekali. Bagaimana mereka bisa mendapatkan kalau harus lewat pengadilan ? banyak masyarakat ini malas sebenarnya berurusan dengan Komisi Informasi Publik karena tidak mudah dijangkau. Disinikan (Sumut) komisionernya cuma lima, di Medan kedudukannya.

  Nah, kalau misalkan wartawan yang di Sibolga bagaimana ? sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini salah satunya akses. Yang kedua, wilayah rentang kendali dari komisi ini. Sebenarnya banyak masalah lagi yang harus dipercepat atau diperbaiki terutama dari pelaksanaan. Undang- undangnya ini okelah, sudah bagus”.

  T : Apakah anda mengetahui hak anda sebagai warga negara seperti yang diatur dalam UU KIP ? J : “Ya”. T : Apa yang anda ketahui tentang informasi yang dikecualikan ? Dan bagaimana padangan anda terhadap hal tersebut ? J : “Rahasia negara, dokumen negara’. T : Bagaimana pandangan anda terhadap pengecualian tersebut ? J :

  “Saya kira seluruh negara memiliki undang-undang kerahasiaan negara terutama soal persenjataan. Persenjataan inikan urusan intelijen. Jadi, saya kira pada beberapa hal, iya silahkan saja. Tapi, kembali ke jurnalisme, tugas wartawan adalah memang mencari rahasia itu. Jadi, ada konflik disini. Rahasia negara dengan pers. Undang-undang pers itu tidak menganut adanya kerahasiaan negara. Dia justru, titik pencapaian yang paling tinggi adalah mendapatkan informasi yang akurat dan benar. Sementara ada rahasia negara. Ini berlaga, sementara belum ada titik tengahnya. Jadi, kemampuan seorang wartawan menurut undang-undang pers bahkan mendapatkan satu rahasia apabila itu menyangkut kehidupan orang banyak adalah baik. Menurut undang-undang rahasia negara itu tidak baik. Disini ada unsur independensi yang sifatnya universal yang dianut oleh AJI. Independensi ini sangat universal, sangat bebas, mungkin dengan PWI tidak sama pandangan mereka tentang dua hal ini. Bagi kita di AJI, tidak ada rahasia negara bagi pers. Konflik d ia disitu”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP ?

  J : “Bagi pers tidak ada gunanya itu. Seperti tadi, aktualitas kemudian faktualitas.

  Siapa yang menunggu berita kita lagi kalau menunggu lima belas hari lagi ? justru menghambat, perlu dipercepat dan kalau bisa harus ada tempat bertanya di lembaga yang menyediakan data. Itu lembaga publik pada saat itu juga mestinya kalau mereka menggunakan pendataan yang baik untuk ‘me-record’ data itu. Tidak perlu harus lima belas hari, wah, itu kurang kerjaan”.

  T : Apakah anda setuju bahwa mekanisme memperoleh informasi yang diatur dalam UU KIP sesuai dengan tuntutan deadline berita wartawan ? (Jika tidak, mengapa demikian ?) J :

  “Ya, itu bermasalah (tidak) bagi media terutama wartawan. Wartawan ini dia tidak bersandar pada data, dia bersandar isu. Isu yang muncul sudah diikuti dengan data. Bukan kita yang menunggu data”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap peran komisi informasi (pusat atau daerah) ? J :

  “Kalau di Sumut, menurut apa yang mereka kerjakan dengan kedudukan mereka, mereka sudah mengerjakannya dengan baik. Masalahnyakan sistem pelaksanaannya ini memang tidak memenuhi syarat, kalau mereka melaksanakan itu sudah oke. Di Sumut saya lihat beberapa kali persidangan, tetapi wartawan tidak ada. Tapi, yang ada itu masyarakat yang terutama terdidik sebenarnya. Karena yang menggunakan ini (UU KIP) kebanyakan masyarakat-masyarakat terdidik terutama dari lembaga- lembaga NGO”.

  T : Bagaimana pandangan anda terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU KIP ? J :

Dokumen yang terkait

Analisis Perbedaan Profitabilitas dan Pengelolaan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi yang Mewujudkan Good Corporate Governance (Studi Empiris Pada BUMN Sektor Telekomunikasi di Indonesia)

0 1 10

Tahun 2011 No Nama Perusahaan Peringkat Obligasi

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 2 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 3 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Homoseksual - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

0 1 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon 2.1.1 Pengertian Respon - Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara Medan)

0 0 9

Respon Siswa Dalam Pelaksanaan Program Bina Keluarga Remaja oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Kota Medan (Studi di Yayasan Fajar Dinul Islam SMK Namira Technology Nusantara Medan)

0 0 13