Ex. LAS MMI Manusia dan Masyarakat Ind

LAPORAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH: MANUSIA DAN MASYARAKAT INDONESIA (MMI) DISUSUN OLEH:

KHIZBUL KURNIAWAN

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

STATEMENT OF AUTHORSHIP

Saya/kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya/kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya/kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya.

Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan dengan jelas bahwa saya/kami menyatakan menggunakannya.

Saya/kami memahami bahwa tugas yang saya/kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Nama

Khizbul Kurniawan

NPM

1506734973

Tanda tangan

Mata ajaran

Manusia dan Masyarakat Indonesia (MMI)

Judul makalah/tugas :

Laporan Akhir Semester

Tanggal

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis berikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir Semester mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia ini dengan lancar dan tepat waktu.

Terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulis menyelesaikan laporan ini, terutama kepada Ibu Nissa Ghulma sebagai dosen pembimbing, dan teman-teman mahasiswa kelas MMI. Dari kegiatan observasi dan penyusunan laporan ini, penulis tak hanya belajar mengobservasi, namun penulis juga belajar bagaimana cara mengatur waktu dan mempersiapkan diri untuk studi lebih lanjut. Kemudian dengan terselesaikannya laporan ini, penulis berharap agar hasil-hasil dari observasi ini dapat bermanfaat secara khusus bagi penulis sendiri untuk observasi mendatang, dan secara umum bagi pemegang kepentingan pada umumnya. Selain itu, penulis berharap agar laporan ini digunakan dengan semestinya.

Penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan ini.

Depok, Juni 2016

Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Tingginya ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi di antara masyarakat Indonesia menjadi concern utama saya pada saat pertama kali melakukan observasi lokasi hingga pada akhirnya menentukan untuk mengobservasi mengenai usaha gorengan yang masih kecil di lokasi observasi.

Subjek observasi Manusia dan Masyarakat Indonesia (MMI) saya adalah usaha gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi yang berada di sekitar wilayah stasiun Lenteng Agung. Banyak kejanggalan yang sebenarnya umum terjadi namun cukup menarik saya untuk observasi dan pelajari lebih mendalam.

Dalam observasi saya kali ini, saya membahas mengenai kehidupan dan dinamika- dinamika yang dihadapi oleh Ibu Suwati dan Pak Tasmawi. Dalam mencapai tujuan observasi, saya melakukan wawancara dengan beberapa responden untuk mendapatkan informasi. Dalam melakukan observasi, saya memiliki beberapa ketentuan yang rutin saya lakukan setiap kali observasi. Sebelum saya melakukan wawancara atau pengumpulan informasi, saya pertama- tama melakukan inisiasi dengan responden terkait agar lebih mencairkan suasana dan agar menjalin hubungan lebih akrab dengan responden.

1.1 Rumusan Masalah

a. Bagaimana bentuk usaha yang dijalani Ibu Suwati dan Pak Tasmawi?

b. Di mana letak usaha Ibu Suwati dan Pak Tasmawi?

c. Bagaimana gambaran setting subjek observasi?

d. Bagaimana fungsi dan peran pelaku dalam setting ?

e. Apa saja dinamika yang dihadapi oleh Ibu Suwati dan Pak Tasmawi, baik itu yang terlihat maupun tidak terlihat secara langsung?

f. Bagaimana aturan main yang digunakan dalam usaha Ibu Suwati dan Pak Tasmawi?

g. Bagaimana pemaknaan dari hasil observasi?

1.2 Batasan Masalah

a. Penjelasan bentuk usaha yang dijalani Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

b. Denah letak usaha Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

c. Deskripsi dan gambaran setting subjek observasi.

d. Paparan fungsi dan peran pelaku dalam setting.

e. Dinamika yang dihadapi oleh Ibu Suwati dan Pak Tasmawi, baik itu yang terlihat maupun tidak terlihat secara langsung.

f. Penjelasan aturan main yang digunakan dalamusaha Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

g. Justifikasi pemaknaan dari hasil observasi.

1.3 Tujuan Penulisan

a. Memenuhi tugas akhir mata kuliah MMI

b. Mengetahui informasi detail mengenai usaha gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi

c. Mengangkat fokus dinamika yang disoroti dalam usaha gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi

d. Mengaitkan fokus yang disoroti dengan pemaknaan penulis

1.4 Metodologi

a. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah melalui hasil observasi lapangan langsung berdasarkan pengamatan observer, inisiasi, hasil interaksi, dan wawancara dengan responden.

b. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu hasil wawancara lansgsung dengan responden, penggunaan kamera untuk mendokumentasikan gambar, alat tulis untuk mencatat hasil observasi, serta penggunaan data sekunder dari internet untuk menentukan lokasi setting.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap stakeholder yang berkaitan. Adapun manfaat tersebut adalah; Bagi Mahasiswa, yaitu agar dapat memberikan suatu motivasi dan referensi untuk mengetahui informasi secara tepat. Bagi Penulis, agar mendapatkan disiplin ilmu serta menjadi tambahan pengetahuan. Kemudian bagi Universitas, menjadi suatu referensi dan pertimbangan mengenai Penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap stakeholder yang berkaitan. Adapun manfaat tersebut adalah; Bagi Mahasiswa, yaitu agar dapat memberikan suatu motivasi dan referensi untuk mengetahui informasi secara tepat. Bagi Penulis, agar mendapatkan disiplin ilmu serta menjadi tambahan pengetahuan. Kemudian bagi Universitas, menjadi suatu referensi dan pertimbangan mengenai

1.6 Sistematika Penulisan

a. BAB I, sebagai pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan, metodologi, dan sistematika penulisan.

b. BAB II, berisi tentang penggambaran setting yang diangkat dan diobservasi oleh penulis sebagai fokus dalam penelitian.

c. BAB III, menggambarkan peran dan fungsi pelaku serta hubungan terhadap sekitarnya.

d. BAB IV, memaparkan dinamika yang terlihat secara langsung oleh penulis di dalam fokus penelitian.

e. BAB V, memaparkan dinamika yang terdengar atau tidak terlihat langsung oleh penulis di dalam fokus penelitian.

f. BAB VI, berisi tentang aturan main yang digunakan oleh subjek observasi dan kemudian dimaknai oleh observer.

g. BAB VII, memaparkan persepsi yang dimaknai oleh penulis terhadap focus setting selama melakukan observasi di setting.

h. BAB VIII, menjelaskan mengenai hubungan antara subjek observasi penulis dengan subjek observasi observer lain di dalam setting yang sama.

i. LAMPIRAN, berisi dokumentasi berupa foto dan fieldnote (catatan lapangan) yang diambil oleh penulis selama melakukan observasi.

BAB II GAMBARAN SETTING

Setting observasi MMI yang saya pilih adalah di daerah sekitar stasiun Lenteng Agung. Alasan utama pemilihan wilayah ini didasarkan pada kesepakatan bersama mahasiswa kelas

MMI dan Ibu Nissa Ghulma Sebagai dosen yang membimbing. Di wilayah stasiun Lenteng Agung, lokasi observasi mahasiswa dibagi dalam dua lokasi besar, yaitu di sebelah kanan stasiun (dari arah kampus UI) yang merupakan wilayah pasar, dan di sebelah kiri stasiun yang merupakan Jalan Raya Lenteng Agung dan perumahan penduduk. Saya memilih untuk mengambil lokasi di sebelah kiri karena saya cukup tertarik dengan hiruk pikuk aktivitas masyarakat pinggiran ibukota di sekitar Jalan Raya Lenteng Agung yang hampir selalu ramai dengan kendaraan yang lalu-lalang.

Lebih spesifik lagi, saya memilih untuk mengobservasi pedagang gorengan di seberang Jalan Raya Lenteng Agung. Saya memilih mengobservasi pengusaha gorengan ini karena lokasinya yang sangat strategis untuk menarik pelanggan namun seakan-akan cukup terancam untuk ke depannya. Usaha gorengan yang saya observasi berada di mulut gang Haji Naseh. Sebuah gang yang cukup kecil dan hanya bisa dilalui oleh sepeda motor. Jalanan di gang Haji Naseh ini cukup terjal menurun, menunjukkan daerah di dalam gang tersebut adalah wilayah yang datarannya rendah dibanding Jalan Raya Lenteng Agung. Saya mengambil sebuah hipotesa bahwa daerah di dalam gang tersebut merupakan daerah rawan banjir.

Lokasi usaha gorengan yang saya observasi cukup ramai dilalui orang, baik warga sipil maupun anak sekolah. Gang Haji Naseh juga merupakan jalan menuju suatu apartemen. Di dekat lokasi observasi terdapat ruko-ruko, dokter gigi, dan pangkalan ojek. Ruko-ruko di sekitar daerah tersebut dimanfaatkan pemiliknya untuk berbagai macam keperluan, namun mayoritas digunakan untuk usaha dagang, seperti rumah makan dan toko buah. Subjek yang terdekat dari lokasi usaha gorengan adalah ruko dokter gigi dan pangkalan ojek konvensional. Pangakalan ojek ini cukup ramai, setiap kali saya datang ada sekitar 5 hingga 8 orang tukang ojek yang sedang mangkal menunggu penumpang. Selain itu, tidak terlalu jauh dari lokasi observasi juga ditemui beberapa gerobak dan lapak pedagang makanan.

Di lokasi usaha gorengan ini menurut saya memang merupakan tempat yang pas untuk sekedar beristirahat meneduh dari teriknya panas matahari ibukota sambal menikmati gorengan hangat yang baru digoreng. Tepat di depan lokasi usaha gorengan ini terdapat semacam teras Di lokasi usaha gorengan ini menurut saya memang merupakan tempat yang pas untuk sekedar beristirahat meneduh dari teriknya panas matahari ibukota sambal menikmati gorengan hangat yang baru digoreng. Tepat di depan lokasi usaha gorengan ini terdapat semacam teras

Kebersihan lokasi usaha gorengan cukup terjaga karena sang pedagang senantiasa membersihkan sisa dan sampah gorengannya, selain itu mereka pun membayar uang kebersihan sebesar Rp50.000 tiap bulannya kepada pejabat daerah setempat.

BAKMI LENTENG

Fig 1. Denah lokasi

BAB III PERAN DAN FUNGSI PELAKU

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang saya lakukan, saya mendapatkan beberapa peran dan fungsi para pelaku yang berkaitan dengan observasi saya.

Ibu Suwati, 38 tahun, pedagang gorengan. Berasal dari Cirebon, dan telah menetap hampir 18 tahun di Jakarta. Dalam usahanya, beliau yang setiap pagi pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan dan keperluan lainnya untuk dagangan gorengannya. Beliau yang berhadapan langsung dengan pedagang di pasar, seperti menawar dan memilih bahan-bahan terbaik yang akan diolah. Setelah berbelanja di pasar, beliau akan mengolah bahan-bahan yang telah dibeli tadi untuk dijadikan bahan-bahan yang setengah jadi sehingga pada saat di lokasi usaha, bahan setengah jadi dapat langsung digoreng.

Dalam obeservasi ini, Ibu Suwati saya posisikan sebagai subjek utama penelitian. Kisah, latar belakang, dan kegiatan beliau akan menjadi fokus utama dalam pengamatan saya. Beliau akan menjadi sumber data primer sebagai narasumber utama. Dalam kunjungan ke lokasi observasi yang saya lakukan sebanyak tiga kali, saya selalu bertemu dengan Ibu Suwati. Ini disebabkan karena saya selalu datang pada jam ketika giliran Ibu Suwati yang menjaga dagangan.

Dalam wawancara dengan Ibu Suwati, saya mendapatkan cukup banyak informasi namun lebih mendetail mengenai informasi usaha gorengan, seperti aturan main, alasan pemilihan usaha, dan suka-duka yang pernah dialami selama berdagang.

Pak Tasmawi, 43 tahun, pedagang gorengan. Beliau merupakan kepala keluarga, suami dari Ibu Suwati. Dalam usaha gorengan, Pak Tasmawi memiliki peran untuk pergi ke pasar menemani istrinya berbelanja. Beliau yang akan membawa barang-barang belanjaan selama istrinya berbelanja di pasar. Setelah itu, beliau akan membantu Ibu Suwati menyiapkan dan mengolah bahan-bahan menjadi setengah jadi. Beliau kemudian yang akan membawa bahan-bahan setengah jadi tersebut pertama kali menuju lokasi usaha. Beliau membawa barang-barang tersebut menggunakan sepeda motor.

Bapak Tasmawi dan Ibu Suwati menikah pada tahun 2000. Mereka dikaruniai dua orang putri, yang bernama Aisyah berusia 10 tahun, dan Najwa berusia 5 tahun. Mereka tinggal dengan menyewa rumah di sekitar wilayah pasar Lenteng Agung. Sebelum mereka menikah, Pak Tasmawi telah memiliki usaha gorengan namun masih berupa pedagang keliling, tidak Bapak Tasmawi dan Ibu Suwati menikah pada tahun 2000. Mereka dikaruniai dua orang putri, yang bernama Aisyah berusia 10 tahun, dan Najwa berusia 5 tahun. Mereka tinggal dengan menyewa rumah di sekitar wilayah pasar Lenteng Agung. Sebelum mereka menikah, Pak Tasmawi telah memiliki usaha gorengan namun masih berupa pedagang keliling, tidak

Pertemuan pertama Ibu Suwati dan Pak Tasmawi adalah ketika Pak Tasmawi memutuskan untuk berdagang di satu tempat yang tetap, yaitu di lokasinya saat ini. Saat itu Ibu Suwati bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga. Kebetulan mereka berdua sama-sama berasal dari Cirebon, pendekatan pun mulai mereka lakukan hingga akhirnya mereka memutuskan untuk naik ke pelaminan. Pernikahan Pak Tasmawi dengan Ibu Suwati sebenarnya merupakan pernikahan kedua beliau. Dari pernikahan sebelumnya, Pak Tasmawi telah dikaruniai dua orang anak, namun kedua anak Pak Tasmawi itu memilih untuk ikut ke pihak Ibu mereka pasca perceraian.

Dalam observasi ini, saya menempatkan Pak Tasmawi sebagai sumber informasi primer kedua di samping Ibu Suwati. Saya menganalisis pandangan dari sosok seorang suami yang mungkin saja bisa berbeda dengan pandangan istrinya agar saya mendapat informasi dari berbagai perspektif.

Aisyah, 10 tahun, putri sulung Ibu Suwati. Aisyah saat ini bersekolah jenjang sekolah dasar di Madrasah Ibtidayah Al-Islamiyah Lenteng Agung. Aisyah setiap harinya berangkat menuju sekolah tidak diantar lagi oleh kedua orang tuanya karena dia sudah cukup mampu untuk berangkat sendiri, dan lokasi sekolahnya juga cukup dekat dengan rumah tempat tinggalnya.

Najwa, 5 tahun, putri kedua Ibu Suwati. Najwa masih sangat bergantung kepada kedua orang tuanya. Ia belum bisa ditinggalkan sendirian, sehingga Ibu Suwati dan Pak Tasmawi harus secara bergantian menjaga Najwa ketika salah satu dari mereka harus berada di lokasi usaha gorengan.

Dalam observasi ini, saya menempatkan Aisyah dan Najwa sebagai subjek pengamatan secara visual dan tingkah laku mereka. Mengenai latar belakang dan aktivitas mereka saya tanyakan langsung kepada narasumber primer.

Pak Kat, pedagang di pasar lenteng agung. Beliau merupakan langganan Ibu Suwati dalam membeli bahan baku untuk usaha gorengan. Terkadang Ibu Suwati mendapatkan harga spesial, bahkan bonus semacam THR ketika hari raya. Ini membuktikan bahwa ikatan-ikatan yang erat antara pedagang dan pembeli di pasar yang masih m emiliki sifat “pasar tradisional” dapat membawa keuntungan bagi pengusaha kecil seperti Ibu Suwati.

Bu Uni, penduduk setempat. Rumah beliau digunakan untuk tempat penyimpanan peralatan-peralatan Pak Tasmawi sehingga tidak perlu repot lagi membawa alat-alat besar seperti wajan, tabung LPG, kompor, dan kursi untuk usaha gorengan.

Pak Boyon dan Pa’E tukang ojek. Pelanggan setia gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi. Beliau sudah cukup dekat dengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi karena intensitas pertemuan mereka yang hampir terjadi setiap hari. Pangkalan ojek tempat beliau menunggu penumpang sangat dekat dengan lokasi dagangan gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

Pak Joko dan Pak Trisna, tukang ojek yang kami wawancarai pada observasi keempat. Pelanggan gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi. Beliau juga sering mangkal di pangkalan ojek di dekat lokasi dagangan gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

Ibu Kokom, penjual tahu goreng, tempatnya berjualan tidaklah jauh, hanya sekitar 500 meter dari lokasi Ibu Suwati berjualan. Jika dilihat keduanya sama-sama menjual gorengan akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Ibu Suwati hanya berjualan di sebuah gerobak gendong yang terbilang kecil sedangkan saingannya, Ibu Kokom, menggunakan gerobak beroda yang terbilang cukup bersih dan rapih bagi seorang penjual gorengan. Gerobak putih yang dikelilingi kaca memberikan kesan bahwa Ibu Kokom adalah penjual gorengan yang juga sangat mementingkan kebersihan tempat berjualannya. Perbedaan kedua yang terlihat adalah Ibu Kokom hanya menjual tahu dan bakwan goreng saja, varian gorengan yang dijajakan terlihat lebih sedikit dibanding gorengan Ibu Suwati yang menjual berbagai macam gorengan.

Pak Yayat, ketua RT setempat. Melakukan wawancara dengan pejabat setempat, menurut kami merupakan langkah yang paling tepat untuk mengetahui legalitas dan informasi resmi yang berhubungan dengan usaha subjek observasi kami.

Pelaku-pelaku tambahan di atas saya tempatkan sebagai peran-peran pendukung dalam observasi. Sekedar keberadaan atau bahkan pengakuan dari mereka akan memberikan sudut pandang yang lebih luas bagi saya dalam mengidentifikasi dinamika yang terjadi.

Fig 2. Hubungan antar pelaku

BAB IV DINAMIKA YANG TERLIHAT LANGSUNG OLEH PENGAMAT

Sejak pertama kali tiba di daerah Stasiun Lenteng Agung dan mencari-cari subjek untuk diobservasi, saya telah melakukan observasi secara visual yang dikolaborasikan dengan pengetahuan umum, logika, dan asumsi sehingga menghasilkan hipotesa dan hasil observasi yang cukup menarik.

Persaingan Antar Pedagang

Di sekitar wilayah Stasiun Lenteng Agung banyak saya temui lapak-lapak pedagang, baik yang saya asumsikan memiliki izin lokasi yang legal, atau yang berbentuk kaki lima. Bermacam-macam produk ditawarkan di wilayah ini, seperti tahu gejrot, jamur goreng, jus buah, rujak buah, asinan, hingga buah-buahan. Persaingan pedagang dalam segi lokasi di sini cukup tinggi mengingat banyaknya jumlah pedagang, namun lokasi yang strategis hanya ada beberapa. Bermacam-macam pilihan akan membuat konsumen memiliki banyak pilihan untuk membeli makanan ringan jenis apa tentunya dengan pilihan yang terdiferensiasi. Ibu Suwati dan Pak Tasmawi bisa sedikit lega karena hanya merekalah yang menjual gorengan dengan macam-macam pilihan. Sejauh ini, belum ada pedagang gorengan berjenis sama yang saya temui di sekitar wilayah ini.

Namun, saya menemukan usaha gorengan lain namun dengan beberapa perbedaan. Kami pun menemukan tempat berjualan seorang ibu penjual tahu Goreng yang bernama Ibu Kokom. Tempatnya berjualan tidaklah jauh, hanya sekitar 500 meter dari lokasi Ibu Suwati berjualan. Jika dilihat keduanya sama-sama menjual gorengan akan tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Ibu Suwati hanya berjualan di sebuah gerobak gendong yang terbilang kecil sedangkan saingannya, Ibu Kokom, menggunakan gerobak beroda yang terbilang cukup bersih dan rapih bagi seorang penjual gorengan. Gerobak putih yang dikelilingi kaca memberikan kesan bahwa Ibu Kokom adalah penjual gorengan yang juga sangat mementingkan kebersihan tempat berjualannya. Perbedaan kedua yang terlihat adalah Ibu Kokom hanya menjual tahu dan bakwan goreng saja, varian gorengan yang dijajakan terlihat lebih sedikit dibanding gorengan Ibu Suwati yang menjual berbagai macam gorengan.

Harga yang ditawarkan oleh Ibu Kokom juga lebih mahal yaitu Rp. 5000 per 4 buah sedangkan Ibu Suwati hanya Rp. 1000 per buahnya. Memang perbedaannya tidak signifikan. Beliau mengaku mengenal Ibu Suwati dan juga Bapak Tasmawi dengan baik. Ibu Kokom lebih menganggapnya ‘teman senasib’ daripada seorang saingan. Ibu Kokom mengaku mereka Harga yang ditawarkan oleh Ibu Kokom juga lebih mahal yaitu Rp. 5000 per 4 buah sedangkan Ibu Suwati hanya Rp. 1000 per buahnya. Memang perbedaannya tidak signifikan. Beliau mengaku mengenal Ibu Suwati dan juga Bapak Tasmawi dengan baik. Ibu Kokom lebih menganggapnya ‘teman senasib’ daripada seorang saingan. Ibu Kokom mengaku mereka

Untuk mengetahui apakah ada saingan lain yang berjualan gorengan saya pun menanyakannya kepada Ibu Kokom. Ia menyebutkan ada sebuah rumah makan kecil yang di dalamnya menjual gorengan berupa tahu bulat. Memang sedikit berbeda antara gorengan Ibu Suwati dan tahu bulat. Usaha ini cukup unik, karena jika biasanya tahu bulat di temukan di pinggir jalan dengan mobil bak terbuka, di sini tahu bulat dijual di semacam warung nasi. Dapat dilihat bahwa tahu bulat merupakan camilan yang digemari banyak orang karena harganya yang murah yaitu Rp. 500. Memang tidak terlihat adanya koneksi antara penjual tahu bulat ini dengan Ibu Suwati akan tetapi popularitas tahu bulat ini juga dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi penjualan gorengan Ibu Suwati karena berdampak pada selera konsumen dan pilihan yang semakin beragam.

Lokasi yang Terancam

Ketika kegiatan observasi berlangsung, saya sempat berjalan-jalan mengamati keadaan di sepanjang Jalan Raya Lenteng Agung. Satu hal yang membuat saya cukup tercengang adalah saya mendapati bangunan ruko-ruko yang telah diratakan dengan tanah tidak jauh dari lokasi dagangan gorengan Ibu Suwati. Kemudian kecurigaan saya semakin kuat kala saya berjalan lebih jauh dan mendapati jejeran ruko yang berada di pinggir jalan tampak kosong dan tidak dipergunakan lagi. Saya pun melihat ke jalanan raya dan tersadarkan oleh kemacetan kendaraan yang terjadi. Logika saya terhampar ketika mengingat tren kebijakan pemerintah dalam mengatasi kemacetan, yaitu melebarkan jalan raya.

Saya berhipotesa dengan fakta-fakta yang saya temui bahwa Jalan Raya Lenteng Agung akan diperlebar, sehingga notabene para pedagang di pinggir jalan tersebut akan kehilangan lokasi usaha mereka, termasuk juga usaha gorengan Ibu Suwati. Selain itu, saya juga meragukan keberlanjutan lokasi usaha gorengan Ibu Suwati saat ini dikarenakan ketidakjelasan status hak milik lokasi yang mereka tempati saat ini. Lokasi usaha gorengan Ibu Suwati ini berada di bagian jalan gang Haji Naseh yang notabene merupakan jalan milik bersama warga gang Haji Naseh. Ibu Suwati dan Pak Tasmawi memang membayar sejumlah setiap bulannya, namun iuran itu adalah murni biaya kebersihan yang dibayarkan untuk semata-mata menjaga lingkungan di wilayah tersebut.

BAB V DINAMIKA YANG DIDENGAR/TIDAK TERLIHAT LANGSUNG OLEH PENGAMAT

Banyak dinamika yang saya temukan setelah melakukan wawancara dengan beberapa pelaku yang terlibat. Pelaku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan secara terbuka, bahkan dengan bercerita panjang lebar dan cukup mendetail mengenai dinamika yang mereka alami.

Kependudukan dan Ekonomi (diceritakan oleh Bapak Tasmawi) Bapak Tasmawi mengungkapkan ia dan keluarganya cukup sulit mendapatkan

pelayanan dan fasilitas di Jakarta, berhubung beliau dan istrinya masih terdaftar sebagai warga Cirebon, dan saat ini KTP mereka masih berdomisili Cirebon. Salah satu fasilitas yang sulit mereka dapatkan adalah akses pendidikan bagi anak-anak mereka. Pak Tasmawi bercerita mengenai anak pertamanya, Aisyah yang saat ini bersekolah jenjang sekolah dasar di Madrasah Ibtidayah Al-Islamiyah Lenteng Agung. Menurut Pak Tasmawi, biaya sekolah di Madrasah ini cukup mahal bagi mereka, karena harus membayar biaya operasional sebesar Rp80.000 per bulannya. Belum lagi untuk biaya buku pelajaran yang bisa mencapai Rp600.000, dan biaya pendaftaran di awal masa sekolah. Mereka merasa cukup berat dalam membiayai ini, karena mereka merasa akan lebih murah bahkan gratis apabila Aisyah bersekolah di SD Negeri.

Namun, pemilihan madrasah sebagai pilihan sekolah dasar Aisyah ini bukan atas ketidakmampuan Aisyah atau mutlak keinginan dari keluarga Pak Tasmawi, namun terjadi karena faktor eksternal, yaitu masalah administrasi. Status KTP Pak Tasmawi dan keluarganya yang berdomisili Cirebon membuat mereka sulit atau mungkin disulitkan dalam mengurus administrasi Aisyah ke Sekolah Dasar Negeri. Sebelum mendaftar di Madrasah Ibtidayah, awalnya Pak Tasmawi telah mencoba mendaftarkan Aisah ke Sekolah Dasar Negeri di sekitar Lenteng Agung. Di antara lain adalah di SDN 07 Lenteng Agung, dan SDN 06 Lenteng Agung, dan SDN 011 Srengseng, namun tidak satu pun dari Sekolah Dasar Negeri itu menerima Aisyah. Saya sempat berasumsi mungkin hal ini tidak hanya semata-mata atas KTP keluarga Aisyah yang berdomisili Cirebon, namun karena diskriminasi ekonomi yang terjadi, karena notabene keluarga Aisyah adalah yang kurang mampu.

Pak Tasmawi juga menambahkan bahwa mereka sempat mengambil pinjaman berupa Kredit Usaha Rakyat di Bank BRI sebesar Rp10.000.000. Keluarga Pak Tasmawi membayar Pak Tasmawi juga menambahkan bahwa mereka sempat mengambil pinjaman berupa Kredit Usaha Rakyat di Bank BRI sebesar Rp10.000.000. Keluarga Pak Tasmawi membayar

Konsumen yang Tidak Membayar (Diceritakan oleh Ibu Suwati) Selama sekitar 16 tahun menjalankan usaha gorengan, Bu Suwati dan Pak Tasmawi

telah melalui banyak tantangan di tengah berbagai masalah yang datang setiap harinya. Dinamika yang menurut beliau sering terjadi dan ke depannya memiliki kemungkinan besar untuk terjadi kembali adalah masalah konsumen yang tidak membayar. Terkadang, ada beberapa orang yang membeli gorengan Ibu Suwati dengan berhutang. Karena berbagai alasan, Ibu Suwati dan Pak Tasmawi tidak dapat menolak hal ini. Akhirnya mereka pun setuju menerima kas-bon, namun sering kali pembeli yang berhutang itu tidak kunjung membayar hingga bahkan hutang yang tercatat oleh Ibu Suwati menumpuk cukup banyak.

Dalam suatu waktu ketika wawancara, saya juga sempat mewawancarai tukang ojek yang bernama Pak Boyon. Beliau mengaku sebagai langganan gorengan Ibu Suwati. Beliau mengakui bahwa ketika tidak memiliki uang dengan nominal kecil, beliau tetap mengambil gorengan Ibu Suwati dengan membelinya secara hutang. Namun terkadang ia menjadi lupa dengan hutang tersebut, dan Pak Tasmawi maupun Ibu Suwati juga tidak pernah ingat untuk menagih beliau, hingga akhirnya hutang tersebut terlupakan. Demikian pula dengan pengakuan

tukang ojek lainnya, bernama Pa’E yang sering mencomoti gorengan Ibu Suwati dengan niat dibayar nanti, namun pada akhirnya sering terlupakan juga.

Uang Kembalian (Diceritakan oleh Ibu Suwati) Selain itu, masalah ‘uang kembalian’ juga sering dialami Ibu Suwati. “Terkadang ada

pembeli yang kalau lagi rame, dia ambil banyak gorengan, trus salah ngasih duit, harusnya 10 ribu, tapi cuma dikasih 5 ribu. Kadang-kadang juga ada yang beli 2 gorengan trus dibayar 20 ribu, dia kira uangnya 2 ribuan. Saya selalu kejar kalau ada yang ngasih duit kelebihan

begini, tapi biasanya udah pergi jauh orangnya.” ujar Ibu Suwati. Perlakuan Semena- Mena ‘Jagoan’ Setempat (Diceritakan oleh Ibu Suwati)

Aksi semena-mena yang dilakukan beberapa orang sering dialami Ibu Suwati. Sangat sering terjadi orang yang berlagak seperti “jagoan” mengambil gorengan mereka secara terang- terangan tanpa membayar. Di dalam hati, Ibu Suwati dan Pak Tasmawi tidak setuju dengan hal tersebut, namun mereka cenderung tidak berdaya karena apabila mereka melawan, masalah yang terjadi akan semakin besar.

Ibu Suwati kemudian menceritakan sebuah kisah yang cukup menyedihkan kepada saya. Beliau bercerita bahwa beberapa tahun lalu, beliau memiliki teman asal Cirebon yang juga berjualan gorengan di sekitar Pasar Lenteng Agung. Kala itu, ketika yang bersangkutan

menjajakan gorengannya, datanglah seorang “jagoan” yang dengan semena-mena mengambil tiga buah gorengan tanpa membayar. Tidak terima dengan perlakuan “jagoan” ini, teman Ibu

Suwati itu pun melakukan perlawanan dengan meminta bayaran secara baik-baik. Namun, karena “jagoan” ini terlalu “hebat”, ia pun marah dan mengobrak-abrik lapak usaha gorengan

teman Ibu Suwati. Akhirnya, teman Ibu Suwati pun tidak memiliki modal lagi hingga akhirnya bangkrut dan memutuskan untuk kembali ke Cirebon.

Karena kejadian tersebut, Ibu Suwati dan Pak Tasmawi terpaksa harus bijak untuk menghadapi “jagoan” dengan mengikhlaskan dan selalu menjaga sikap terhadap orang-orang

di sekitar usaha gorengannya. Ibu Suwati dan Pak Tasmawi menganggap bahwa rezeki akan selalu datang dan tidak akan diambil orang lain. “Saya sih ikhlas aja, mau diambil atau gimana, soalnya saya percaya setiap orang udah punya rezekinya masing-masing dari Yang Di- Atas” ujar Ibu Suwati.

Kualitas Barang Dagangan (Diceritakan oleh konsumen) Para konsumen telah melihat banyak perkembangan dari usaha gorengan ini, mulai dari variasi gorengan yang semakin banyak dan cita rasa dari gorengan yang konsisten enak, bahkan semakin baik. Porsi dari gorengan menurut mereka cukup bagus. Ukuran gorengan yang pas, ukurannya cukup besar, tidak membuat konsumen kecewa. Layout penyajian yang disusun rapi berdasarkan jenis-jenis gorengan memudahkan konsumen untuk memilih.

Penetapan Harga Barang Dagangan (Diceritakan oleh konsumen)

Dari segi harga, menurut konsumen seribu rupiah adalah harga yang cukup pantas untuk gorengan ini. Harga mungkin dibuat sama untuk memudahkan transaksi dan penghitungan dari Ibu Suwati sendiri. Sebenarnya, harga gorengan Ibu Suwati dulu cukup murah, yaitu seribu rupiah untuk tiga gorengan, kemudian naik lagi menjadi lima ratus rupiah per satuannya, hingga menjadi seribu rupiah seperti saat ini. Saya kemudian beropini bahwa hal itu sedikit banyak terjadi karena inflasi yang membuat harga barang-barang naik secara umum.

BAB VI ATURAN MAIN YANG DIANUT PELAKU

Dalam usaha gorengan ini, Pak Tasmawi dan Ibu Suwati memiliki metode sendiri dalam menjalankan usahanya. Aturan main yang digunakan bersifat informal, artinya tidak tertulis namun tetap dijalankan secara berkelanjutan oleh para pelaku.

Pembagian Tugas

Pada pagi hari, sekitar pukul 5 mereka menuju ke pasar Lenteng Agung bersama-sama untuk membeli bahan-bahan baku. Di pasar, Ibu Suwati lah yang berinteraksi langsung dan berbelanja bahan-bahan yang dibutuhkan, sedangkan Pak Tasmawi yang membawa barang- barang belanjaan tersebut kala Ibu Suwati memilih bahan baku yang baik. Di pasar Lenteng Agung, Ibu Suwati telah memiliki langganan sendiri untuk beberapa bahan bakunya, yaitu di lapak Pak Kat. Terkadang Ibu Suwati mendapatkan harga spesial, bahkan bonus semacam THR ketika hari raya.

Setelah berbelanja di pasar, mereka akan membagi tugas untuk proses selanjutnya. Biasanya Ibu Suwati yang akan mengolah bahan baku untuk dijadikan bahan-bahan setengah jadi sehingga pada saat di lokasi usaha, bahan setengah jadi dapat langsung digoreng. Sedangkan, Pak Tasmawi akan membawa barang-barang setengah jadi tersebut menuju lokasi usaha kemudian akan menjaga lapak jualan dari pagi hari hingga siang hari. Setelah mengurus anak-anak dan berbagai macam pekerjaan rumah tangga di rumah, pada siang hari, sekitar pukul 12, Ibu Suwati akan datang membawa Najwa, untuk kemudian bertukar peran. Pak Tasmawi akan mengurus Najwa, sedangkan Ibu Suwati akan melanjutkan usaha gorengan.

Pengolahan Bahan-Bahan Gorengan

Untuk satu hari biasanya Pak Tasmawi dan Ibu Suwati berbelanja sebesar Rp200.000 dengan rincian; singkong 4kg, ubi 5kg, tahu tempe masing-masing 150 potong, terigu, minyak goring, dan bumbu & rempah lainnya. Dengan menggunakan bahan-bahan ini, mereka dapat membuat 10 macam variasi gorengan. Rata-rata Ibu Suwati dan Pak Tasmawi akan mendapatkan pemasukan dua kali lipat dari modal mereka. Setelah membeli bahan-bahan di pasar, mereka pun kembali dan membuat adonan, memotong singkong, dan mempersiapkan banyak hal di rumah. Setelah segalanya siap, biasanya yang akan membawa bahan setengah jadi menuju tempat mereka berjualan adalah Pak Tasmawi. Pak Tasmawi tidak repot lagi membawa alat-alat besar seperti wajan, tabung LPG, kompor, dan kursi untuk usaha mereka karena barang-barang tersebut dititipkan di rumah seorang warga bernama Bu Uni.

Dalam mengolah singkong, Ibu Suwati dan Pak Tasmawi memiliki metode pengolahannya sendiri. Awalnya, normal saja yaitu minyak goreng dipanaskan hingga cukup panas, kemudian singkong yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam minyak panas. Setelah itu, kemudian Ibu Suwati meniriskan singkong-singkong tersebut lalu di rendam di dalam wadah berisi air. Air yang di dalam wadah tersebut bukanlah air biasa, namun merupakan air garam. Setelah proses tersebut selesai, barulah singkong digoreng kembali hingga matang dan berwarna keemasan. Hasil dari metode ini hampir dengan cara merebus singkong terlebih dahulu sebelum digoreng, namun menurut mereka metode ini lebih efektif, efisien, dan murah.

Kebersihan Lokasi

Kebersihan lokasinya usaha gorengan Pak Tasmawi dan Ibu Suwati sangat diperhatikan demi menjaga minat pembeli. Selain itu, mereka juga mempunyai tanggung jawab terhadap lingkungan, khususnya perumahan penduduk yang tidak jauh dari lokasi mereka untuk menjaganya tetap bersih. Pak Tasmawi senantiasa membersihkan sisa dan sampah hasil dagang gorengannya, selain itu beliau pun diwajibkan untuk membayar uang kebersihan sebesar Rp50.000 per bulannya.

Packaging

Ibu Suwati yang sudah tidak menggunakan kantong plastik lagi seperti yang umum digunakan meningkatkan tingkat higienis dari gorengan itu sendiri. Menurutnya, kantong plastik sangat tidak sehat untuk digunakan sebagai wadah gorengan yang panas dan berminyak. Packaging dari Ibu Suwati yang menggunakan kertas yang dibentuk seperti kantong kecil sedemikian rupa. Penggunaan kertas ini cukup brilian, mengingat kertas dapat menyerap minyak yang berlebih dari gorengan. Menurut saya sendiri, penggunaan kertas ini juga secara langsung membantu menjaga lingkungan, dengan mengurangi penggunaan kantong plastik yang sangat sulit terurai.

BAB VII PEMAKNAAN HASIL OBSERVASI

Persepsi terhadap legalitas lokasi yang masih dipertanyakan

Pemaknaan yang dilakukan adalah murni hasil pemikiran dan persepsi sendiri setelah melakukan observasi di lokasi yang bersangkutan. Untuk keseluruhan hasil observasi saya, pemaknaan yang paling menonjol dan menarik bagi saya adalah banyaknya ironi yang terjadi di lingkup yang bisa dibilang kecil ini. Dimulai dari masalah lokasi, ironi ketika melihat usaha gorengan Ibu Suwati yang telah dijalaninya sejak belasan tahun lalu berdiri di atas tanah yang diragukan kepemilikannya. Kita bisa sedikit memaklumi hal ini dengan asumsi bahwa warga gang Haji Naseh dengan senang hati menerima keberadaan usaha gorengan tersebut, namun muncul satu dinamika baru lagi ketika hipotesa Jalan Raya Lenteng Agung akan diperlebar. Tidak hanya lapak gorengan Ibu Suwati yang akan terkena dampaknya, namun juga puluhan atau bahkan ratusan pedagang dan ruko-ruko di sepanjang Jalan Raya Lenteng Agung akan terkena dampaknya.

Mengenai tempat, menurut mereka cukup strategis untuk usaha gorengan kecil seperti ini. Lokasi yang dekat dengan pangkalan ojek meningkatkan chance untuk para tukang ojek lebih sering membeli gorengan Ibu Suwati. Memang benar juga banyak pejalan kaki dan anak sekolahan yang mampir membeli gorengan Ibu Suwati. Namun, belum terlalu jelas tentang legalitas izin lokasi usaha gorengan Ibu Suwati. Keberadaannya masih berdasarkan perjanjian yang bersifat kekeluargaan dan belum tentu terjamin kelangsungan karena legalitasnya yang belum terlalu kuat.

Menurut Pak Yayat, ketua RT setempat, sebenarnya izin lokasi dari usaha gorengan ini tidak legal, artinya tidak ada perjanjian tertulis yang diatur secara hukum mengenai penggunaan lokasi tersebut. Namun, tidak ada pula masalah dari penggunaan lokasi tersebut, karena notabene-nya usaha gorengan Ibu Suwati tidak permanen di lokasi tersebut, karena lapak tersebut hanya akan dijumpai sejak pagi hingga sesaat setelah langit mulai gelap. Bahkan untuk hari-hari tertentu usaha gorengan tersebut tidak akan dijumpai, mungkin karena Ibu Suwati dan Pak Tasmawi sengaja untuk tidak berjualan atau karena sedang liburan.

Selain itu, ditambah lagi dengan Ibu Tasmawi yang selalu menjaga kebersihan sendiri, dan bahkan rutin membayar biaya kebersihan sebesar lima puluh ribu rupiah setiap bulannya. Hal ini menyebabkan tidak terjadinya dampak buruk (eksternalitas negatif) terhadap kemasyarakatan sekitar, sehingga tidak ada masalah dengan usaha gorengan tersebut.

Untuk menghadapi dinamika ini, saya rasa Ibu Suwati dan Pak Tasmawi sebaiknya segera mencari kejelasan dan membuat izin yang terjamin agar usaha mereka tidak terancam suatu saat nanti. Selain itu, pihak pemerintah setempat, seperti ketua RT juga membantu dalam penyelesaian dinamika ini dengan memberi petunjuk dalam birokrasi dan administrasi kepada Ibu Suwati dan Pak Tasmawi.

Persepsi terhadap isu pelebaran jalan

Isu jalan raya Lenteng Agung yang akan diperlebar masih merupakan isu dan belum ada pemberitahuan yang pasti dari pejabat daerah yang lebih tinggi. Namun, hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat kondisi jalan raya saat ini. Pemaknaan saya, yang paling penting bahwa apabila perluasan jalan tersebut benar-benar dilakukan, maka dampak terhadap usaha gorengan Ibu Suwati hanya merupakan sebagian kecil, karena pasti akan sangat banyak pihak yang terkena dampak dari perluasan jalan tersebut.

Persepsi terhadap dinamika kependudukan yang dihadapi

Kemudian mengenai dinamika kependudukan dan ekonomi yang dialami oleh Ibu Suwati dan Pak Tasmawi, adalah sebuah ironi mengetahui fakta bahwa terjadi diskriminasi dalam proses penerimaan peserta belajar di sekolah-sekolah. Pak Tasmawi merasa masih ragu untuk melepaskan status kependudukannya sebagai warga Cirebon dan mengubahnya menjadi warga Jakarta. Kota Jakarta tidak dapat disalahkan sepenuhnya mengenai diskriminasi ini mengingat tingginya jumlah penduduk di Jakarta yang mayoritas disebabkan karena tingginya arus urbanisasi kedatangan orang-orang dari daerah lain ke ibukota. Diskriminasi semacam ini mungkin saja bisa terjadi akibat dari upaya pemerintah daerah untuk mendahulukan warga daerahnya sendiri untuk mendapatkan fasilitas terlebih dahulu sebelum warga dari daerah lain. Namun, dari sisi lain keluarga Pak Tasmawi juga tidak dapat disalahkan sepenuhnya mengingat mereka datang ke ibukota dengan tujuan untuk bertahan hidup dengan membuka usaha di daerah dengan jumlah konsumen potensial yang tinggi. Solusi dari dinamika ini adalah Ibu Suwati dan Pak Tasmawi harus dengan menentukan sikap dalam memilih kependudukan yang disertai analisis cost and benefit yang akan mereka peroleh setelah menentukan pilihan.

Persepsi terhadap dinamika dalam usaha

Selain itu, ironi juga melihat banyaknya konsumen dagangan gorengan Ibu Suwati yang tidak membayar, karena berbagai macam alasan seperti lupa, hingga bahkan sengaja untuk tidak membayar. Di tengah dinamika tersebut, Ibu Suwati yang sangat membutuhkan pemasukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari didorong untuk ikhlas saja dalam Selain itu, ironi juga melihat banyaknya konsumen dagangan gorengan Ibu Suwati yang tidak membayar, karena berbagai macam alasan seperti lupa, hingga bahkan sengaja untuk tidak membayar. Di tengah dinamika tersebut, Ibu Suwati yang sangat membutuhkan pemasukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari didorong untuk ikhlas saja dalam

Persepsi terhadap pelayanan di dalam usaha

Pelayanan Ibu Suwati sudah cukup bagus. Beliau dan suami sangat ramah terhadap para pelanggan. Beliau seperti membuat pelanggan sebagai raja. Beliau juga tidak segan untuk mengobrol dan bercerita kepada pelanggannya. Ibu Suwati dan suaminya sangat cair terhadap pelanggan. Kerap kali juga mereka memberikan bonus kepada pelanggan yang membeli gorengan dalam jumlah yang cukup banyak. Tidak ada ketentuan khusus seperti pembelian minimal mengenai pemberian bonus ini, hanya berdasar kepada inisiatif dan keinginan beliau sendiri. Mungkin hal ini merupakan salah satu trik promosi untuk menarik konsumen menjadi pelanggan tetap.

Dapat disimpulkan bahwa mayoritas dinamika yang terjadi dalam observasi saya kali ini adalah hasil dari hal-hal ironi yang mungkin luput dari pengamatan awam.

BAB VIII HUBUNGAN ANTARA SUBJEK OBSERVASI

Pada bagian ini, penulis memaparkan hubungan antara subjek observasi penulis dengan subjek observer lain di dalam setting yang sama. Di dalam setting yang dipilih oleh observer , terdapat subjek observasi lain yang juga diamati oleh pengamat lain yaitu oleh Sekar S.K. Joewono dan Pramesti Dyavi Tamara, mahasiswi FEB UI. Subjek penelitan yang mereka amati adalah usaha Bakmi Lenteng.

Lokasi usaha Bakmi Lenteng ini berada di seberang jalan dari usaha gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi, lokasi lebih detail bisa merujuk ke denah pada bagian penjelasan setting. Menurut hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, tidak terdapat interaksi antara subjek Bakmi Lenteng dengan usaha gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi. Hal ini disebabkan karena lokasi yang bisa dibilang tidak terlalu dekat. Selain itu, perbedaan jenis usaha yang cukup signifikan membuat adanya perbedaan referensi dari konsumen yang cukup besar. Oleh karena itu, kedua subjek observasi ini tidak dapat dibandingkan, dan tidak ditemukan relevansi di antaranya.

Kemudian untuk kesamaan dari subjek observasi, kami menemukan empat kemiripan, pertama yaitu subjek observasi kami sama-sama merupakan usaha menawarkan makanan, akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara usaha gorengan dan bakmi. Kedua, yaitu kedua usaha ini dijalankan oleh hierarki keluarga. Ibu Suwati dan Pak Tasmawi merupakan pasangan suami istri, dan usaha Bakmi Lenteng dijalankan oleh Pak Yusuf dan kerabatnya. Ketiga, yaitu kedua usaha ini cenderung lebih menaruh kualitas selangkah di depan daripada profit yang akan didapat, bisa dilihat dari metode kerja dan bahan-bahan yang digunakan seperti minyak goreng yang rutin diganti, dan lain-lain. Terakhir, yaitu jam operasional, hampir mirip kedua usaha ini beroperasi dari siang hari hingga hari gelap, perbedaannya hanya terdapat secara detail yaitu usaha gorengan beroperasi dari pukul 06.00 hingga 18.00, sedangkan Bakmi Lenteng beroperasi dari pukul 12.30 hingga 21.30.

LAMPIRAN I

Jalan Raya Lenteng Agung

Ibu Suwati dan Dagangannya

Keluarga Pak Tasmawi S

Gang Haji Naseh

Gorengan Ibu Suwati dan Pak Tasmawi

LAMPIRAN II

Fieldnote #1

3 Maret 2016

Hiruk pikuk keramaian jalan raya Lenteng Agung di pinggiran perbatasan Jakarta- Depok menggambarkan aktivitas tipikal metropolitan yang keras. Di pinggir jalan raya ini, terdapat banyak gang-gang yang menyimpan banyak cerita. Salah satunya adalah gang Haji Naseh. Di gang ini ada seorang pedagang gorengan yang cukup menarik perhatian untuk diketahui lebih dalam kisahnya. Pada hari umat tanggal 26 Februari lalu, saya bersama kelompok tugas mata kuliah Manusia & Masyarakat Indonesia (MMI) berkunjung ke daerah stasiun Lenteng Agung. Kami awalnya melakukan survey hingga akhirnya menemukan gang kecil, yaitu gang Haji Naseh yang terletak di seberang stasiun Lenteng Agung. Tepat di depan gang Haji Naseh kami bertemu dengan penjual gorengan bernama Ibu Suwati. Untuk mencairkan suasana, awalnya kami membeli gorengan Ibu Suwati. Kemudian, sembari menikmati gorengan hangat yang baru digoreng ol eh Ibu Suwati, kami mulai menginisiasi percakapan dengan berbincang singkat mengenai kehidupan Ibu Suwati.

Bu Suwati bercerita tentang kesehariannya, ia telah menjadi penjual gorengan sejak tahun 2000, awal mulanya ia mengikuti pekerjaan suaminya yang telah menjual gorengan sebelumnya. Pekerjaan ini telah dilakukan Ibu Suwati dan Suaminya selama lebih dari 15 tahun. Biasanya, pada saat pagi hari giliran Ibu Suwati yang menjual gorengan, sedangkan suaminya bertugas pada sore hari. Suami Ibu Suwati sebenarnya telah menjadi pedagang gorengan sebelum menikah dengan Ibu Suwati, kemudian pekerjaan inilah yang menjadi sumber penghidupan keluarga mereka. Dari pernikahan ini, saat ini mereka dikaruniai dengan

dua orang anak. Anak beliau yang pertama berumur 10 tahun dan anak yang kedua berumur 4 tahun. Ibu Suwati tinggal di daerah Pasar PAL yang terletak di sebelah stasiun Lenteng Agung. Ibu Suwati bercerita walaupun ia dan suaminya telah bekerja keras menjual gorengan setiap hari tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik. Beliau merasa masih sering kesulitan walaupun hanya memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Masalah yang ditemui Ibu Suwati dalam menjalankan usahanya adalah sulitnya mengembangkan

usaha tersebut dikarenakan berbagai alasan, seperti modal dan keuntungan penjualan yang sulit ditingkatkan.

Fieldnote #2

17 Maret 2016

Di cuaca yang panas dan cukup terik, pada hari Rabu tanggal 16 Maret Pembuka 2016, sekitar pukul 12 siang saya dan partner kelompok MMI saya melakukan perjalanan menuju stasiun Lenteng Agung untuk melanjutkan kegiatan observasi MMI yang telah saya lakukan sebelumnya. Namun, sesampainya di sana saya dipertemukan dengan kenyataan bahwa Ibu Suwati yang biasanya berjualan gorengan di daerah tersebut tidak terlihat keberadaannya. Akhirnya, pada hari itu pun kami kembali ke Depok dengan tangan hampa. Tanpa rasa putus asa, pada keesokan harinya kami pun kembali lagi ke lokasi tersebut di pagi hari dan syukurnya dapat menemui lapak gorengan Ibu Suwati. Namun, ada berbeda dengan hari ini, karena yang menjaga lapak tersebut adalah seorang laki-laki berbadan sedikit gempal dengan memakai topi hitam. Alhasil, saya pun berasumsi bahwa ia adalah suami dari Ibu Suwati. Tanpa pikir panjang, saya pun langsung menginisiasi percakapan dengan membeli gorengan dan memulai percakapan dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya menjelaskan bahwa sebelumnya saya telah bertemu dengan Ibu Suwati dan telah berbincang-

bincang sekilas mengenai kehidupan dan problematika kehidupan mereka. Di tengah desisan singkong yang digoreng dengan panas, suami Bu Suwati memperkenalkan dirinya. Beliau bernama Bapak Tasmawi. Kemudian, pertanyaan yang pertama kali terlintas di pikiran saya adalah mengapa mereka tidak berjualan kemarin. Dengan penuh rasa prihatin, saya pun mendapat jawaban bahwa rumah yang mereka sewa kemarin digenangi

air banjir sehingga menghalangi mereka untuk berjualan. Mencoba mengakrabkan diri, saya mulai menanyakan pertanyaan- Pengenalan pertanyaan lanjutan dari pertanyaan yang sebelumnya sudah saya tanyakan kepada Ibu Suwati. Observasi di sesi kali ini saya fokuskan terlebih dahulu terhadap kehidupan sosial dan aturan main dalam usaha mereka. Bapak Tasmawi pun menceritakan tentang asal-usul dan cerita mengenai keluarganya. Bapak Tasmawi dan Ibu Suwati menikah pada tahun 2000. Mereka saat dikaruniai dua orang putri, yang bernama Aisyah berusia 10 tahun, dan Najwa