Kelompok Model Pengajaran Sosial dan

KELOMPOK MODEL PENGAJARAN SOSIAL

Disusun Untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Model-model Pembelajaran
yang diampu oleh Bapak Sihkabuden

Disusun Oleh:
Dwi Soca Baskara
Cici Meilindia Anggraeni

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Dalam seluruh segi
kehidupannya manusia memerlukan interaksi sosial. Tidak terkecuali dalam hal

pembelajaran, manusia memerlukan interaksi sosial dalam rangka mempertinggi
hasil pencapaian belajarnya. Beberapa ahli telah menggagas pembelajaran sosial,
diantaranya adalah Alber Bandura dengan Teori Belajar Sosial. Teori tersebut
kemudian mengilhami Lev Siminovich Vygotsky dengan Teori kognitif sosial
yang juga merupakan gabungan dari teori kognitif milik Jean Piaget.
Dalam pandangan pembelajaran sosial, usaha yang dilakukan bersama-sama
tidak hanya mendorong peningkatan aspek sosial, namun juga aspek intelektual.
Seperti halnya teori Zone-Proximal Development milik Vygotsky bahwa setiap
individu memerlukan interaksi sosial untuk mengembangkan potensi dalam
dirinya yang meliputi tingkah laku, skill akademik, dan pengetahuan. Sekolah
lebih dianggap sebagai lingkungan masysarakat kecil yang produktif daripada
hanya sekedar sekumpulan individu yang belajar sendiri-sendiri.
Beberapa ahli percaya bahwa pola-pola pendidikan indivualistik merupakan
hal kontraproduktif baik dalam hal individual dan sosial. Hal tersebut disebabkan
interaksi yang tercipta tidaklah alamiah dan justru akan menciptakan sifat antisosial. Yang terburuk adalah kegagalan dalam memaksimalkan potensi yang
dimilikinya dan melatih kemampuannya untuk bekerja sama. Dalam makalah ini
akan disajikan pembahasan mengenai kelompok model pengajaran sosial yang
meliputi mitra-mitra dalam pembelajaran dan kajian tentang nilai-nilai.
B.
1.

2.
3.

Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan mitra dalam pembelajaran?
Bagaimana penerapan demokrasi dalam pembelajaran?
Apa yang dimaksud kajian tentang nilai-nilai?

4. Bagaimana penerapan kajian tentang nilai-nilai dalam pembelajaran?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Mitra dalam Pembelajaran
1. Asumsi-asumsi
Asumsi yang melatar belakangi pengembangan pembelajaran kooperatif
adalah sebagai berikut:
1. Bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar dari
pada dalam bentuk lingkungan kompetitif individual. Perasaan-perasaan saling
berhubungan menghasilkan energi positif.

2. Anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain.
3. Kerja sama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain,
menghilangkan keterasingan, membangun hubungan.
4. Kerja sama meningkatkan penghargaan diri.
5. Siswa semakin mahir bekerja sama.
Kerja sama benar-benar meningkatkan energi yang kemudian menghasilkan
peningkatan hasil pembelajaran. Bukti tersebut sudah jelas, dalam sebuah
kelompok yang lebih besar, saling mengajari, saling menghargai akan
meningkatkan

penguasaan

pada

subjek

pembelajaran

dibanding


pola

pembelajaran tunggal. Sebagai contoh sering kita mengalami ketika teman yang
menjelaskan akan lebih mudah dipahami daripada dengan penjelasan guru
ataupun membaca sendiri.
Ciri menarik lain dari strategi pengelompokan adalah posisinya yang memihak
pada siswa dengan prestasi akademik rendah. Siswa merasa nyaman dalam model
belajar pengelompokan sebab mereka dapat meningkatkan perasaan positif
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Siswa dapat belajar dengan cara
menyenangkan dan bersama-sama mengembangkan skill bersosial serta berempati
terhadap orang lain.

2. Meningkatkan efiesiensi dalam kelompok

Ada beberapa panduan untuk membantu siswa agar mampu menciptakan
iklim pengelompokan yang lebih efisien dan lebih praktis. Bimbingan dan
langkah-langkah tersebut berkait erat dengan jumlah siswa dalam masing-masing
kelompok, kompleksitas, dan praktik. Salah satu cara unutk merangsang
kemampuan siswa bekerja sama adalah menyediakan sebuah wadah dalam aturan
sederhana, di mana satu kelompok terdiri dari dua atau tiga orang. Pada intinya,

guru memberi aturan kompleksitas melalui tugas yang diberikan dan jumlah
anggota yang ditentukan dalam tiap kelompok.
Jika para siswa belum bisa bekerjasama, ada baiknya guru menggunakan
kelompok terkecil dengan tugas sederhana, agar para siswa memiliki pengalaman
awal yang dibutuhkan untuk menjalani pengelompokan dengan jumlah yang lebih
besar pada masa selanjutnya. Sebuah kelompok yang disuguhi tugas dan memiliki
lebih dari enam anggota akan menjadikan para anggota kagok.Kelompok besar
membutuhkan skill kepemimpinan yang tidak dimiliki kecuali dengan
pengalaman atau latihan. Berikut merupakan beberapa latihan untuk membiasakan
siswa untuk berkelompok dan bekerjasama.
a. Latihan Efisiensi
Suatu rangkaian tugas latihan dapat membantu siswa belajar berpasangan
dengan lebih efektif, untuk meningkatkan perannya satu sama lain. Rangkaian
tugas merupakan peran yang disampaikan pada setiap siswa, sehingga siswa
selalu terbiasa memiliki disiplin terhadap kelompoknya.
b. Latihan Interpendensi
Selain praktik dan latihan untuk memiliki perilaku kerja sama yang lebih
efisien, beberapa prosedur untuk membantu siswa memiliki rasa ketergantungan
satu sama lain sangatlah dibutuhkan. Kompleksitas yang paling sederhana
sekalipun melibatkan refleksi dalam proses kelompok serta diskusi mengenai cara

bekerja sama yang paling efektif.

c. Pembagian Kerja

Salah satu ragam prosedur yang telah dikembangkan untuk membantu siswa
mempelajari cara saling membantu adalah teknik pembagian tugas. Pada intinya,
tugas yang diberikan dalam beberapa kesempatan dapat meningkatkan efisiensi
pembagian kerja.
d. Struktur tujuan yang Kooperatif dan Kompetitif
Kompetisi antar kelompok dapat menguntungkan pembelajaran dengan
menitikberatkan tujuan kooperatif dan meminimalisir kompetisi tim.
e. Motivasi
Sharan

(1990)

mengatakan

bahwa


pembelajaran

dengan

sistem

pengelompokan dapat meningkatkan sebagian proses pembelajaran, sebab
pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternal
menuju internal. Motivasi internal akan menghasilkan ingatan yang kuat terhadap
informasi dan keterampilan.
3. Investigasi Kelompok
Gagasan John Dewey muncul dan menjadi sebuah model pengajaran yang
kuat dan menyebar luas serta dikenal dengan istilah investigasi kelompok. DI
dalam investigasi tersebut, beberapa siswa diatur dalam sebuah kelompok dengan
pemecahan masalah yang demokratis untuk membendung dan mengatasi semua
masalah akademik. Siswa juga mendapat pengetahuan tentang prosedur akademik
dan metode saintifik penelitian saat mereka menempuh proses-proses ini. Gaya
pembelajaran tersebut bertujuan untuk mengembangkan gagasan mengenai warga
negara ideal yang hidup dalam sebuah negara, memajukan masyarakat yang akan
melaksanakan segenap keawjibannya.

a. Pondasi Filosofis
Figur utama dalam usaha pengembangan gaya pembelajaran dengan proses
demokrasi adalah John Dewey, yang menuliskan How We Think tahun 1910.
Namun, orang-orang yang mengembangkan dan menjadikan proses demokrasi ini
sebagai acuan utama tidaklah memiliki teknik yang sama. Misalkan saja, tahun
1920-an, Charles Hubbard Judd menitikberatkan pada aspek beasiswa akademik.
Sedangkan William Heard Kilpatrick (1919), menekankan pada aspek pemecahan

masalah. Ada juga George Counts (1932) yang tidak hanya pada aspek pemecahan
masalah namun juga pembentukan (kembali) masyarakat. Body Bode (1927)
adalah tokoh yang menekankan sebuah proses intelektual.
Esensi dari sebuah demokrasi dalam pembelajaran adalah menciptakan iklim
sedemikian rupa untuk membuat para siswa memiliki sensitivitas yang tinggi
terhadap beberapa aspek fisik dan lingkungan sosial demi meningkatkan kapasitas
individu dalam merefleksikan lingkungan sekitar. Semakin sering individu belajar
bertanggung jawab dalam merefleksikan pengalaman yang dimilikinya, maka ia
akan semakin mampu menghasilkan jaringan informasi, konsep, dan ciri khas
yang akan menjadi karakteristik individunya.
b. Asumsi dalam pembelajaran
Thelen (1960) memulai teorinya dengan memaparkan konsep makhluk sosial,

yakni “kumpulan orang, lelaki atau perempuan yang melakukan aktivitas
perumusan beberapa peraturan dan kesepakatan yang kemudian membentuk
realitas sosial”. Makhluk sosial tidak bisa bertindak tanpa adanya contoh atau
rujukan dari makhluk sejenisnya, sebab jika tidak, tindakannya tersebut akan
bertentangan dengan tindakan yang biasa dilakukan.
Kesepakatan sosial diperoleh dari proses negosiasi sosial. Dapat dikatakan
bahwa negosiasi merupakan esensi dari proses sosial itu sendiri. Sehingga tata
kelola kelas seharusnya tidak menuntut siswa untuk membrikan sikap sopan dan
ramah pada guru saja. Namun tata kelas sebaiknya mendukung anggota kelas
bersama-sama mengembangkan tata sosial. Kelas seharusnya menjadi miniatur
demokrasi yang dapat mengatasi masalah melalui pemecahan masalah
berdasarkan pengetahuan yang didapat.
c. Model Pengajaran
Langkah awal dalam investigasi kelompok adalah menyajikan sebuah masalah
yang memancing perhatian dan kehebohan siswa. Saat siswa mulai teretarik, guru
lalu menggiring pada langkah selanjuutnya, yakni merumuskan serta menyusun
masalah-masalah bagi diri mereka sendiri. Kemudian, siswa menganalisis
beberapa peran yang dibutuhkan, mengatur diri mereka sendiri, bertindak, dan
melaporkan hasil yang mereka dapatkan. Akhirnya, masing-masing kelompok


mengevaluasi solusi permasalahan yang dicocokkan dengan maksud dan tujuan
utama. Tahapan tersebut terus berelanjut, baik dengan penyajian masalah yang
sama atau memunculkan masalah baru yang merangasang adanya investigasi.
Peran Guru dalam investigasi keompok terkadang menjadi konselor,
konsultan, dan pemberi kritik yang ramah. Dia harus membimbing serta
merefleksikan pengalaman keompok dalam tigkat berikut: pertama pemecahan
masalah, kedua memanajemen kelompok, ketiga meminta makna dari siswa.
Secara umum struktur model pengajaran dan pembelajaran investigasi kelompok
adalah seperti berikut:
Fase Pertama
Siswa dihadapkan pada keadaan yang

Fase Kedua
Siswa mengeksplorasi reaksi terhadap

penuh dengan teka-teki dan

situasi

membingungkan

Fase Ketiga
Siswa merumuskan tugas dan

Fase Keempat
Kemandirian dan kelompok belajar

mengatur pelajaran (masalah, definisi,
pran, tugas, dll)
Fase Kelima
Siswa menganalisis kemajuan dan

Fase Keenam
Mendaur ulang aktivitas

proses

Agar model investigasi kelompok berjalan dengan baik diperlukan dukungan
sistem yang baik. Sebuah sistem pendukung haruslah ekstensif dan responsif
terhadap semua kebutuhan siswa. Ha tersebut dapat diccapai dengan melengkapi
sekolah dengan sumber pustaka dari berbagai mdia. Sekolah juga harus
memberikan akses terhadap referensi luar, misalnya orang-orang diluar sekolah
yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

d. Dampak Instruksional dan pengiring
Model investigasi sangatlah menarik dan bermanfaat, serta komprehensif,
model ini memadukan tujuan peneltian akademik, integrasi sosial, dan

pembelajaran serta proses sosial. Berikut merupakan dampak dari penerapan
model investigasi kelompok. Dampak instruksional: Proses dan pengelolaan
Kelompok efektif, Pandangan konstruktivis tentang pengetahuan, Disisplin dalam
penelitian Kolaboratif. Sedangkan dampak pengiringnya adalah Kemandirian
sebagai Pembelajar, Penghargaan pada orang lain, Penelitian Sosial sebagai
pandangan hidup, dan Kehangatan dan interpretasi Interpersonal.
B. Kajian Tentang Nilai-nilai
Pembelajaran nilai merupakan puncak dari pembelajaran berbasis nilai-nilai
sosial. Terdapat dua cara dalam pembelajaran nilai, yang pertama adalah role
playing atau bermain peran dan yang ke dua adalah penelitian hokum.
1. Role Playing
Asumsi:
1. Penerapan pembelajaran berbasis pengalaman
2. Role playing dianggap mampu menggambarkan perasaan siswa. Baik
perasaan yang hanya dipikirkan maupun perasaan yang diekspresikan.
3. Reaksi kolektif dari sesama angggota dapat memunculkan gagasan baru
4. Proses psikologi secara tersebunyi pada model ini dapat menumbuhkan
semangat siswa.
Tujuan:
1. Mengeksplorasi perasaan siswa
2. Mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan
persepsi siswa
3. Mengembangkan kemampuan dalam memecahkan masalah
4. Mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda
a. Model Pengajaran
Shaftels berpendapat bahwa role playing terdiri dari sembilan langkah,
sebagai berikut:
Tahap Pertama:
Memanaskan Suasana
Kelompok
Mengidentifikasi dan

Tahap kedua:
Memilih Partisipan
Menganalisis peran, memilih

memaparkan masalah,
menjelaskan masalah,
menafsirkan masalah,
menjelaskan role playing

pemain yang akan melakukan
peran

Tahap ketiga
Mengatur Setting
Mengatur sesi-sesi tindakan,
kembali menegaskan peran,
lebih mendekat pada situasi
yang bermasalah

Tahap Keempat:
Mempersiapkan Peneliti
Memutuskan apa yang akan
dicari, memberikan tugas
pengamatan
Tahap keenam:
Berdiskusi dan
Mengevaluasi
Mereview pemeranan (kejadian,
posisi, kenyataan),
Mendiskusikan fokus-fokus
utama, Mengembangkan
pemeranan selanjutnya

Tahap kelima:
Pemeranan
Memulai role play,
mengukuhkan role play,
menyudahi role play

Tahap ketujuh:
Memerankan Kembali
Memainkan peran yang diubah,
Memberikan masukan atau
alternatif perilaku dalam
langkah selanjutnya

Tahap kedelapan:
Diskusi dan Evaluasi
Sebagaimana dalam tahap
keenam

Tahap kesembilan:
Berbagi dan Menggeneralisasikan Pengalaman
Menghubungkan situasi yang bermasalah dengan kehidupan di
dunia nyata serta masalah-masalah yang baru muncul.
Menjelaskan prinsip umum dalam tingkah laku

b. Penerapan role playing
Model role playing adalah model yang sangat berguna dan dapat diterapkan
dalam beberapa sasaran pembelajaran. Melalui role playing siswa dapat
meningkatkan

kemampuannya

dalam

mengenali

dan

memperhitungkan

perasaannya sendiri dan perasaan orang lain, mereka dapat memiliki perilaku baru
dalam mengadapi situasi sulit yang dihadapai, serta bisa meningkatkan
kemampuan memecahkan masalah.
Beberapa ciri khas masalah sosial yang dapat ditelusuri dengan menggunakan
bantuan model ini, diantaranya:
1. Konflik interpersonal

2. Relasi antar kelompok
3. Dilema individu
4. Masalah historis atau Kontemporer
c. Dampak Instruksional dan Pengiring
Role Playing diatur secara khusus untuk mendidik siswa dalam menganalisis
nilai dan perilaku masing-masing individu, pengembangan strategi-srategi dalam
memecahkan masalah interpersonal ataupun personal, pengembangan rasa empati
terhadap orang lain. Adapun dampak instruksional dan pengiring yang terjadi
dalam penerapan model role playing, sebagai berikut:
Instruksional

Pengiring

Empati dan hormat

Keterpaduan

Analisis tentang nilai dan
perilaku personal
Strategi-strategi dalam
memecahkan masalah
interpersonal

Kenyamanan dalam
mengeluarkan pendapat
Keterampilan bernegosiasi

2. Penelitian Hukum: Belajar Merespon Kebijakan Sosial
Model ini didasarkan pada sebuah konsep mengenai masyarakat yang
memiliki pandangan serta prioritas yang berbeda. Memecahkan isu yang terbialng
rumit dan kontroversial dalam konteks sosial membutuhkan sosok warga Negara
yang bisa berbicara di depan masing-masing pihak dan mampu mengkompromikan perbedaan-perbedaan yang ada.
a. Model Pengajaran
Model dasar dalam penelitian hokum ini meliputi enam tahap, berikut
penjelasan dlaam table:
Tahap Pertama:
Mengarahkan Siswa pada
Kasus
Guru memperkenalkan materi
kasus, Guru mereview fakta

Tahap kedua:
Mengidentfikasi Isu
Siswa membuat sitesis antara
fakta dengan isu kebijakan

Tahap ketiga
Memilih Posisi
Siswa mengartikulasikan
posisinya, Siswa mengungkapkan
psisi dasar dari nilai sosial atau
konsekuensi sebuah keputusan
Tahap kelima:
Menegaskan dan
Mengkualifikasi Posisi
Siswa menegaskan posisinya
serta alasan memilih posisi
tersebut, menguji beberapa
situasi yang sama, Siswa
mengkualifikasi posisi

publik, Siswa memilih satu isu
kebijakan publik untuk
didiskusikan, Siswa
Tahap Keempat:
Mengeksplorasi Sikap atau
Pendirian serta Bentuk
Argumentasi
Menetapkan poin-poin nilai yang
dilanggar, Membuktikan
konsekuensi posisi yang
diinginkan atau yang tidak
diinginkan, Membuat prioritas
Tahap keenam:
Menguji Asumsi Faktual di
Balik Posisi yang sudah
Qualified
Mengidentifikasi asumsi faktual
dan mennetukan apakah asumsi
tersebut relevan atu tidak,
Mennetukan konsekuensi yang
diperkirakan serta menguji
validitas faktualnya (apakah
benar-benar terjadi?)

b. Penerapan
Model ini dirancang dan ditujukan untuk siswa yang sudah cukup dewasa dan
dimodifikasi sedemikian rupa supaya dapat digunakan secara proporsional pada
siswa Sekolah Menengah Pertama dan Atas. Dalam penerapan model ini, dialog
yang muncul adalah yang berhubungan dengan isu sosial, biasanya pada tahapan
pertama akan menjadi momok atau ketakutan tersendiri bagi siswa yang kurang
memiliki kemampuan verbal.
Pemaparan materi-materi berupa kasus pertama kali harusrelatif sederhana dan
sebelumnya telah diperkenalkan latar belakangnya. Jadi contoh permaslahan aau
kasus yang diangkat adalah materi yang sudah dipahami oleh siswa, berangkat
dari pengalamannya baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan sekitarnya.
Model penelitian hokum dapat meningkatkan taraf hidup dan intensitas dengan
beberapa kasus yang tengah dipelajari.

Ketika siswa telah mampu dalam penggunaan model penelitian hokum, maka
mereka dapat menerapkannya pada konflik yang terjadi di lingkungannya. Oleh
karena itu, penerapan model ini dapat berlangsung dengan baik dan mencapai
tujuannya jika permasalahan yang diangkat tidak jauh dari jangkauannya.
c. Dampak Instruksional dan Pengiring
Instruksional
Kerangka kerja dalam
menganalisis isu-isu sosial

Pengiring
Empati/Pluarisme

Kemampuan dalam mengambil
peran "orang lain"

Fakta-fakta tentang masalahmasalah sosial

Kompetensi dalam dialog sosial

Kapasitas dalam perbaikan sosial
dan keinginan dalam aksi sosial

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kelompok model pengajaran sosial merupakan model yang dapat digunakan
dalam mengembangkan kemampuan sosial siswa, terutama dalam hal bagaimana
memecahkan suatu permasalahan dengan melibatkan elemen-elemen sosial di
sekitarnya. Kerjasama merupakan titik focus pada penerapan model pengajaran
sosial. Bagaimana siswa melakukan peranannya dan mampu bekerja sama,
mengembangkan rasa empati, dan kesadaran akan situasi sosial, akan
menghasilkan pengalaman dan peningkatan pembelajaran yang baik.