Profit Equalization Reserves PER Jawaban
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
Profit Equalization Reserves (PER):
Jawaban Pro dan Kontra; Haruskah Diberlakukan Selamanya?
Istilah pencadangan keuntungan atau dana cadangan yang dikenal
dengan istilah Profit Equalization Reserve (PER) sudah menjadi trend di dunia
perbankan syariah baik di dalam maupun diluar negeri. Penerapannya di luar
negeri sudah dijalankan sejak lama, tetapi di Indonesia mulai muncul metode
tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Hingga tahun 2011 mulai ada bank yang
menerapkannya dan menekan DSN MUI untuk mengeluarkan peraturannya
(mendesak untuk memperbolehkan).
Sebenarnya pembahasan mengenai hal ini pun sudah lama dibahas.
DSN MUI pun akhirnya mengeluarkan fatwa mengenai Income Smoothing
(perataan pendapatan) sebagai jawaban atas tekanan tersebut. Dalam DSN MUI
No. 87/DSN-MUI/XII/2012, Income Smoothing diartikan sebagai pengaturan
pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan
cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada
periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil
antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah penyimpan dana (Dana
Pihak Ketiga/DPK). Salah satu cara atau metode yang dilakukan adalah dengan
membentuk dana cadangan atau yang disebut dengan PER. PER adalah dana
cadangan yang dibentuk oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS
yang melebihi tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi
hasil dana mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah
menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak,
pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari
penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang
diproyeksikan. Atau lebih singkatnya, PER adalah penyisihan pendapatan kotor
yang didapat bank syariah (khususnya dari transaksi mudharabah) sebelum
dibagikan kepada mudharib atau nasabah dengan tujuan pemerataan bagi hasil.
Karena PER ditujukan untuk masalah bagi hasil, maka dalam pembahasan ini,
penyebutannya lebih mengacu untuk transaksi mudharabah
Alasan didesaknya MUI untuk memperbolehkan PER banyak
disampaikan oleh bank syariah, hingga perlu waktu panjang bagi MUI untuk
menetapkan fatwa. Menurut saya, dari berbagai alasan yang dijelaskan di
banyak wacana, inti yang paling utama adalah mengindari Displayed
Commercial Risk (DCR) yang merupakan resiko yang terjadi ketika bank syariah
mendapat “paksaan” untuk memberikan bagi hasil melebihi dari kesepakatan
investasi di awal. Hal itu terjadi salah satunya karena ada efek interest rate dari
bank konvensonal yang fluktuatif dan mungkin dapat melebihi nisbah dari bank
syariah. Akibatnya membuat para investor untuk “memainkan” dananya demi
keuntungan yang tinggi.
Menurut saya, memang benar, motif utama dari investasi bagi masyarakat
umum adalah mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya (dalam hal ini
mengesampingkan nasabah yang sudah paham ilmu syariah). Oleh karena itu,
muncul anggapan dari pihak bank bahwa berbagai cara mungkin akan dilakukan
oleh mereka, termasuk harus berganti-ganti atau memindahkan dananya untuk
hal yang lebih menguntungkan. Selain itu, jika kembali pada substansi
mudharabah dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah dan kerugian ditanggung
oleh pemilik dana, apa mungkin nasabah dengan tipe diatas mau menanggung
jika terjadi kerugian? Bagi nasabah yang demikian, kemungkinan besar motif
1 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
investasi di bank syariah karena adanya nisbah yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan bunga bank. Ketika ada peningkatan bunga pada bank
konvensional, mereka juga akan tertarik untuk segera memindahkan dananya
(risiko imbal hasil). Jika kemudian penarikan besar-besaran terjadi secara tibatiba di bank syariah, pasti bank akan mengalami masalah likuiditas. Hal ini tentu
menjadi hal yang amat ditakutkan oleh semua bank. Oleh karena itu, bank
syariah pun mulai memikirkan manajemen resiko untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya hal tersebut. Dan jawabannya adalah dengan penerapan
PER di atas seperti negara-negara lain yang memiliki industry perbankan
syariah.
Penerapan PER dalam perbankan Indonesia sebenarnya menuai banyak
pro dan kontra. Namun karena berbagai alasan dan utamanya desakan dari
bank-bank syariah dengan berbagai alasan yang diajukan, akhirnya DSN MUI
pun mem-fatwakan dan memperbolehkannya. Memang tidak serta merta bank
dapat menerapkan seenaknya, tetapi ada beberapa syarat yang harus dipatuhi
yaitu dalam Fatwa No. 87 di atas, Disebutkan bahwa PER boleh dilakukan jika
bagi hasil aktual Bank Syariah melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, serta
mendapatkan izin dari nasabah. Jika dalam praktek terjadi sebaliknya, yakni bagi
hasil actual kurang dari imbalan yang diproyeksikan, maka PER tidak
diperbolehkan. Syarat lainnya juga dijelaskan dalam fatwa tersebut. Bolehnya
perlakuan PER juga disampaikan oleh Agustianto. Menurut beliau, sebenarnya
PER tidak pernah ada dalam sistem dan praktik fikih muamalah, tetapi adanya
alasan bisnis dan kesetiaan nasabah di lembaga syariah, PER bisa diterapkan.
Bank syariah yang “masih kecil” memiliki tantangan yang besar dalam
pertumbuhannya terhadap Bank Konvensional yang sangat mendominasi,
seperti di Indonesia, sehingga perlu adanya cara untuk dapat menyainginya.
Intinya, Agustianto memperbolehkannya, tetapi dengan “keterpaksaan”.
Namun, di lain pihak, Wahyu Hidayat, pemerhati ekonomi islam, tidak
mendukung adanya penerapan PER di Indonesia karena beberapa hal, yaitu
PER cenderung mengurangi “ke-syariah-an” Bank Syariah (sharia risk) dan juga
kurang sesuai di Indonesia karena keadaan Indonesia sejatinya berbeda dengan
negara lain, seperti Malaysia yang sudah lama menerapkannya. Hal-hal
mengenai berbagai alasan penerapan PER yang intinya adalah “pengaturan”
untuk hal komersial dunia pasar uang sebenarnya dapat diatasi dengan cara dari
internal bank sendiri maupun pemanfaatan potensi nasabah di Indonesia. Dari
sisi bank sendiri dapat meningkatkan aksesabilitas, layanan, benefit dan variasi
produk, serta promosi dan sosialisasi. Dari sisi nasabah potensial, dalam hal ini
penduduk Indonesia, sebagian besar, yakni 205 juta penduduk merupakan
muslim (Pew Forun Demogrphic Study). Hal tersebut tentu sangat mendukung
perkembangan bank syariah, meskipun dalam kenyatannya saat ini jumlahnya
masih jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Selain hal tersebut,
pertumbuhan perbankan Syariah di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan
negara lain (seperti Malaysia) yang rata-rata pertumbuhannya hanya 10-15%,
sementara di Indonesia dapat mencapai kisaran 40%per tahun, menurut Halim
Alamsyah, Deputi Gubernur BI. Mengenai nisbah bagi hasil di Indonesia juga
cenderung lebih tinggi. Seharusnya bank syariah di Indonesia tidak perlu
khawatir mengenai kemungkinan “kekalahan” dalam bisnis perbankan.
Sementara itu, menurut saya pribadi penerapan PER memang sebaiknya
tidak dilakukan. Namun mengingat ketimpangan jumlah bank syariah dan bank
konvensional di Indonesia yang sangat lebar, maka PER memang perlu
2 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
dilakukan. Apalagi DSN MUI sudah memperbolehkannya, tetapi tidak untuk
diterapkan seterusnya dengan alasan sharia value. Bank syariah yang dinilai
sebagai bank yang berbeda dengan bank konvensional, khususnya masalah ‘‘kesyariah-an’’ harus tetap dipertahankan agar tidak membuat masyarakat yang
notabene-nya muslim berpersepsi bahwa keduanaya sama saja. Dari beberapa
wacana sudah dijelaskan mengenai pertumbuhan bank syariah yang sangat
bagus. Saya berfikir “tanpa PER saja sudah bagus, itu artinya pertumbuhannya
bukan karena PER kan?” Akan lebih baik jika penerapan ini juga dibarengi
dengan berbagai upaya lain seperti perbaikan manjemen aset dan pelayanan,
serta sosialisasi berbagai produk yang sesuai syariah.
Terlepas dari adanya pro dan kontra di atas, jika kita kali ini berfikir PER
itu harus dilakukan. Pertanyaan yang selanjutnya muncul ialah, sampai kapankah
PER itu dilakukan, akankah seterusnya yang pada akhirnya akan membuat bank
syariah tidak dapat tumbuh tanpa PER? Saya sendiri setuju dengan adanya
pendapat bahwa PER akan menghilangkan nilai syariah di bank syariah. Oleh
karena itu, besar harapan saya bahwa PER tidak seterunya dilakukan.
Dalam hal teknis, pembatasan diatur sesuai pernyataan dalam Fatwa
DSN No 87, yaitu bank tidak boleh mencadangkan dana ketika bagi hasil aktual
kurang dari proyeksi imbal hasil. Namun, jika melihat pertumbuhan bank syariah
yang mampu mencapai angka 40% maka tingkat bagi hasil yang didapat,
menurut saya juga besar kemungkinannya juga besar, sehingga tetap saja
pembatasan teknis saja tidak cukup. Sementara itu dalam peraturan perbankan
syariah di Malaysia, diatur bahwa PER tidak dapat diteruskan ketika aset
perbankan syariah sudah mencapai 40-50% dari total sert perbankan
konvensional. Artinya, Malaysia sudah menetapkan target yang jelas kapan
ditiadakannya PER. Bagaimanakah dengan Indonesia? Sampai saat ini belum
ada peraturan mengenai hal tersebut. Menurut saya karena masih adanya fokus
pada pro dan kontra di atas dan mungkin akan terlalu dini jika hal ini dibahas
sekarang. Namun hal itu ternyata juga sudah dipertanyakan oleh salah satu
pengamat Ekonomi Syariah, Agustianto. Menurut beliau PER tidak diperlukan
lagi jika masyarakat sudah benar-benar memahami konsep bagi hasil dan resiko
dalam perbankan syariah, tetapi belum tahu mengenai waktu riil pembatasan
pemberlakuan PER. Yang pasti, menurut beliau PER ini sifatnya sementara.
Merujuk dari pendapat tersebut, lagi-lagi membahas konsep syariah dalam bank
syariah seperti pendapat saya tentang sharia value.
Kesimpulan:
Banyaknya pro dan kontra pemberlakuan PER sudah terjawab dengan
dikeluarkannya peraturan dari Fatwa DSN MUI No 87 tahun 2012 dimana PER
boleh dilakukan oleh bank syariah dengan syarat-syarat tertentu. Karena adanya
alasan sharia value atau nilai ‘ke-syariah-an’ di mata masyarakat Indonesia yang
sebagian besar beragama islam yang akan menimbulkan sharia risk, maka akan
lebih baik jika PER ditiadakan atau jika memang itu harus tetap dilakukan maka
perlu adanya pembatasan waktu pemberlakuan. Terkait pembatasan waktu
pemberlakuan tersebut belum ada kejelasan yang pasti karena belum ada
peraturan yang mengatur. Namun dari sumber yang ada, dapat disimpulkan
bahwa PER seharusnya tidak diperlukan ketika bank syariah mencapai batas
aset tertentu (40-50% dari aset bank konvensional, untuk peraturan Malaysia)
serta ketika masyarakat atau nasabah sudah mampu memahami hakikat tujuan
dan penerapan bagi hasil serta resiko dalam bank syariah yang semestinya.
3 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. PROFIT EQUALIZATION RESERVE (PER). (Online)
(http://myviewpoint2u.blogspot.com/2009/07/profit-equalization-reserveper.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)
Anonim. 2011. Profit Equalisation Reserves (PER). (Online),
(http://www.islamicbankingway.com/2011/01/27-profit-equalisationreserves-per.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 9:16 WIB)
BNI Syariah. 2011. Bank Tunggu Fatwa Pencadangan Keuntungan. (Online),
Bisnis Indonesia, Page: 5, (http://www.bnisyariah.co.id/bank-tunggufatwa-pencadangan-keuntungan, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014)
Cecep Maskanulhakim. 2013. Profit Equalization Reserve: Mestikah?. (Online),
(http://cecepmh.blogspot.com/2013/11/profit-equalization-reservemestikah.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 8:57 WIB)
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 Tentang
Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga.
(http://dsnmui.or.id/index.php?
mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=96&cntnt01origid=15&cntnt
01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=59, diakses pada Selasa, 24
Juni 2014)
Hidayat, Wahyudi. 2012. Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk
Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah. (Online), Sebuah
ringkasan (Artikel Sundararajan),
(http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/13/profit-equalizationreserve-per-dan-investment-risk-reserve-irr-dan-idealisme-ber-banksyariah-454257.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)
Pohan, Rizky Andriati. 2011. Mengatur Serep di Kala Seret. (Online),
(http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186137, diakses pada
Selasa, 24 Juni 2014)
Pohan, Rizky Andriati.2011. Wakil Sekretaris Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia, Hasanudin, Bulan Depan MUI dan BI Mulai Berembuk.
(Online), (http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186045, diakses
pada Selasa, 24 Juni 2014)
Purnomo, Herdaru. 2011. BI Perjuangkan Aturan Pencadangan Laba Bank
Syariah. (Online),
(http://finance.detik.com/read/2011/11/18/165525/1770509/5/biperjuangkan-aturan-pencadangan-laba-bank-syariah, diakses pada
Selasa, Sabtu, 21 Juni 2014)
4 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Profit Equalization Reserves (PER):
Jawaban Pro dan Kontra; Haruskah Diberlakukan Selamanya?
Istilah pencadangan keuntungan atau dana cadangan yang dikenal
dengan istilah Profit Equalization Reserve (PER) sudah menjadi trend di dunia
perbankan syariah baik di dalam maupun diluar negeri. Penerapannya di luar
negeri sudah dijalankan sejak lama, tetapi di Indonesia mulai muncul metode
tersebut dalam beberapa tahun terakhir. Hingga tahun 2011 mulai ada bank yang
menerapkannya dan menekan DSN MUI untuk mengeluarkan peraturannya
(mendesak untuk memperbolehkan).
Sebenarnya pembahasan mengenai hal ini pun sudah lama dibahas.
DSN MUI pun akhirnya mengeluarkan fatwa mengenai Income Smoothing
(perataan pendapatan) sebagai jawaban atas tekanan tersebut. Dalam DSN MUI
No. 87/DSN-MUI/XII/2012, Income Smoothing diartikan sebagai pengaturan
pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan
cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada
periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil
antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah penyimpan dana (Dana
Pihak Ketiga/DPK). Salah satu cara atau metode yang dilakukan adalah dengan
membentuk dana cadangan atau yang disebut dengan PER. PER adalah dana
cadangan yang dibentuk oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS
yang melebihi tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi
hasil dana mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah
menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak,
pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari
penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang
diproyeksikan. Atau lebih singkatnya, PER adalah penyisihan pendapatan kotor
yang didapat bank syariah (khususnya dari transaksi mudharabah) sebelum
dibagikan kepada mudharib atau nasabah dengan tujuan pemerataan bagi hasil.
Karena PER ditujukan untuk masalah bagi hasil, maka dalam pembahasan ini,
penyebutannya lebih mengacu untuk transaksi mudharabah
Alasan didesaknya MUI untuk memperbolehkan PER banyak
disampaikan oleh bank syariah, hingga perlu waktu panjang bagi MUI untuk
menetapkan fatwa. Menurut saya, dari berbagai alasan yang dijelaskan di
banyak wacana, inti yang paling utama adalah mengindari Displayed
Commercial Risk (DCR) yang merupakan resiko yang terjadi ketika bank syariah
mendapat “paksaan” untuk memberikan bagi hasil melebihi dari kesepakatan
investasi di awal. Hal itu terjadi salah satunya karena ada efek interest rate dari
bank konvensonal yang fluktuatif dan mungkin dapat melebihi nisbah dari bank
syariah. Akibatnya membuat para investor untuk “memainkan” dananya demi
keuntungan yang tinggi.
Menurut saya, memang benar, motif utama dari investasi bagi masyarakat
umum adalah mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya (dalam hal ini
mengesampingkan nasabah yang sudah paham ilmu syariah). Oleh karena itu,
muncul anggapan dari pihak bank bahwa berbagai cara mungkin akan dilakukan
oleh mereka, termasuk harus berganti-ganti atau memindahkan dananya untuk
hal yang lebih menguntungkan. Selain itu, jika kembali pada substansi
mudharabah dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah dan kerugian ditanggung
oleh pemilik dana, apa mungkin nasabah dengan tipe diatas mau menanggung
jika terjadi kerugian? Bagi nasabah yang demikian, kemungkinan besar motif
1 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
investasi di bank syariah karena adanya nisbah yang cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan bunga bank. Ketika ada peningkatan bunga pada bank
konvensional, mereka juga akan tertarik untuk segera memindahkan dananya
(risiko imbal hasil). Jika kemudian penarikan besar-besaran terjadi secara tibatiba di bank syariah, pasti bank akan mengalami masalah likuiditas. Hal ini tentu
menjadi hal yang amat ditakutkan oleh semua bank. Oleh karena itu, bank
syariah pun mulai memikirkan manajemen resiko untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya hal tersebut. Dan jawabannya adalah dengan penerapan
PER di atas seperti negara-negara lain yang memiliki industry perbankan
syariah.
Penerapan PER dalam perbankan Indonesia sebenarnya menuai banyak
pro dan kontra. Namun karena berbagai alasan dan utamanya desakan dari
bank-bank syariah dengan berbagai alasan yang diajukan, akhirnya DSN MUI
pun mem-fatwakan dan memperbolehkannya. Memang tidak serta merta bank
dapat menerapkan seenaknya, tetapi ada beberapa syarat yang harus dipatuhi
yaitu dalam Fatwa No. 87 di atas, Disebutkan bahwa PER boleh dilakukan jika
bagi hasil aktual Bank Syariah melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, serta
mendapatkan izin dari nasabah. Jika dalam praktek terjadi sebaliknya, yakni bagi
hasil actual kurang dari imbalan yang diproyeksikan, maka PER tidak
diperbolehkan. Syarat lainnya juga dijelaskan dalam fatwa tersebut. Bolehnya
perlakuan PER juga disampaikan oleh Agustianto. Menurut beliau, sebenarnya
PER tidak pernah ada dalam sistem dan praktik fikih muamalah, tetapi adanya
alasan bisnis dan kesetiaan nasabah di lembaga syariah, PER bisa diterapkan.
Bank syariah yang “masih kecil” memiliki tantangan yang besar dalam
pertumbuhannya terhadap Bank Konvensional yang sangat mendominasi,
seperti di Indonesia, sehingga perlu adanya cara untuk dapat menyainginya.
Intinya, Agustianto memperbolehkannya, tetapi dengan “keterpaksaan”.
Namun, di lain pihak, Wahyu Hidayat, pemerhati ekonomi islam, tidak
mendukung adanya penerapan PER di Indonesia karena beberapa hal, yaitu
PER cenderung mengurangi “ke-syariah-an” Bank Syariah (sharia risk) dan juga
kurang sesuai di Indonesia karena keadaan Indonesia sejatinya berbeda dengan
negara lain, seperti Malaysia yang sudah lama menerapkannya. Hal-hal
mengenai berbagai alasan penerapan PER yang intinya adalah “pengaturan”
untuk hal komersial dunia pasar uang sebenarnya dapat diatasi dengan cara dari
internal bank sendiri maupun pemanfaatan potensi nasabah di Indonesia. Dari
sisi bank sendiri dapat meningkatkan aksesabilitas, layanan, benefit dan variasi
produk, serta promosi dan sosialisasi. Dari sisi nasabah potensial, dalam hal ini
penduduk Indonesia, sebagian besar, yakni 205 juta penduduk merupakan
muslim (Pew Forun Demogrphic Study). Hal tersebut tentu sangat mendukung
perkembangan bank syariah, meskipun dalam kenyatannya saat ini jumlahnya
masih jauh dibandingkan dengan bank konvensional. Selain hal tersebut,
pertumbuhan perbankan Syariah di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan
negara lain (seperti Malaysia) yang rata-rata pertumbuhannya hanya 10-15%,
sementara di Indonesia dapat mencapai kisaran 40%per tahun, menurut Halim
Alamsyah, Deputi Gubernur BI. Mengenai nisbah bagi hasil di Indonesia juga
cenderung lebih tinggi. Seharusnya bank syariah di Indonesia tidak perlu
khawatir mengenai kemungkinan “kekalahan” dalam bisnis perbankan.
Sementara itu, menurut saya pribadi penerapan PER memang sebaiknya
tidak dilakukan. Namun mengingat ketimpangan jumlah bank syariah dan bank
konvensional di Indonesia yang sangat lebar, maka PER memang perlu
2 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
dilakukan. Apalagi DSN MUI sudah memperbolehkannya, tetapi tidak untuk
diterapkan seterusnya dengan alasan sharia value. Bank syariah yang dinilai
sebagai bank yang berbeda dengan bank konvensional, khususnya masalah ‘‘kesyariah-an’’ harus tetap dipertahankan agar tidak membuat masyarakat yang
notabene-nya muslim berpersepsi bahwa keduanaya sama saja. Dari beberapa
wacana sudah dijelaskan mengenai pertumbuhan bank syariah yang sangat
bagus. Saya berfikir “tanpa PER saja sudah bagus, itu artinya pertumbuhannya
bukan karena PER kan?” Akan lebih baik jika penerapan ini juga dibarengi
dengan berbagai upaya lain seperti perbaikan manjemen aset dan pelayanan,
serta sosialisasi berbagai produk yang sesuai syariah.
Terlepas dari adanya pro dan kontra di atas, jika kita kali ini berfikir PER
itu harus dilakukan. Pertanyaan yang selanjutnya muncul ialah, sampai kapankah
PER itu dilakukan, akankah seterusnya yang pada akhirnya akan membuat bank
syariah tidak dapat tumbuh tanpa PER? Saya sendiri setuju dengan adanya
pendapat bahwa PER akan menghilangkan nilai syariah di bank syariah. Oleh
karena itu, besar harapan saya bahwa PER tidak seterunya dilakukan.
Dalam hal teknis, pembatasan diatur sesuai pernyataan dalam Fatwa
DSN No 87, yaitu bank tidak boleh mencadangkan dana ketika bagi hasil aktual
kurang dari proyeksi imbal hasil. Namun, jika melihat pertumbuhan bank syariah
yang mampu mencapai angka 40% maka tingkat bagi hasil yang didapat,
menurut saya juga besar kemungkinannya juga besar, sehingga tetap saja
pembatasan teknis saja tidak cukup. Sementara itu dalam peraturan perbankan
syariah di Malaysia, diatur bahwa PER tidak dapat diteruskan ketika aset
perbankan syariah sudah mencapai 40-50% dari total sert perbankan
konvensional. Artinya, Malaysia sudah menetapkan target yang jelas kapan
ditiadakannya PER. Bagaimanakah dengan Indonesia? Sampai saat ini belum
ada peraturan mengenai hal tersebut. Menurut saya karena masih adanya fokus
pada pro dan kontra di atas dan mungkin akan terlalu dini jika hal ini dibahas
sekarang. Namun hal itu ternyata juga sudah dipertanyakan oleh salah satu
pengamat Ekonomi Syariah, Agustianto. Menurut beliau PER tidak diperlukan
lagi jika masyarakat sudah benar-benar memahami konsep bagi hasil dan resiko
dalam perbankan syariah, tetapi belum tahu mengenai waktu riil pembatasan
pemberlakuan PER. Yang pasti, menurut beliau PER ini sifatnya sementara.
Merujuk dari pendapat tersebut, lagi-lagi membahas konsep syariah dalam bank
syariah seperti pendapat saya tentang sharia value.
Kesimpulan:
Banyaknya pro dan kontra pemberlakuan PER sudah terjawab dengan
dikeluarkannya peraturan dari Fatwa DSN MUI No 87 tahun 2012 dimana PER
boleh dilakukan oleh bank syariah dengan syarat-syarat tertentu. Karena adanya
alasan sharia value atau nilai ‘ke-syariah-an’ di mata masyarakat Indonesia yang
sebagian besar beragama islam yang akan menimbulkan sharia risk, maka akan
lebih baik jika PER ditiadakan atau jika memang itu harus tetap dilakukan maka
perlu adanya pembatasan waktu pemberlakuan. Terkait pembatasan waktu
pemberlakuan tersebut belum ada kejelasan yang pasti karena belum ada
peraturan yang mengatur. Namun dari sumber yang ada, dapat disimpulkan
bahwa PER seharusnya tidak diperlukan ketika bank syariah mencapai batas
aset tertentu (40-50% dari aset bank konvensional, untuk peraturan Malaysia)
serta ketika masyarakat atau nasabah sudah mampu memahami hakikat tujuan
dan penerapan bagi hasil serta resiko dalam bank syariah yang semestinya.
3 Fita Ishfah Aini/125020301111007
Fita Ishfah Aini/125020301111007 2014
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. PROFIT EQUALIZATION RESERVE (PER). (Online)
(http://myviewpoint2u.blogspot.com/2009/07/profit-equalization-reserveper.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)
Anonim. 2011. Profit Equalisation Reserves (PER). (Online),
(http://www.islamicbankingway.com/2011/01/27-profit-equalisationreserves-per.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 9:16 WIB)
BNI Syariah. 2011. Bank Tunggu Fatwa Pencadangan Keuntungan. (Online),
Bisnis Indonesia, Page: 5, (http://www.bnisyariah.co.id/bank-tunggufatwa-pencadangan-keuntungan, diakses pada Selasa, 24 Juni 2014)
Cecep Maskanulhakim. 2013. Profit Equalization Reserve: Mestikah?. (Online),
(http://cecepmh.blogspot.com/2013/11/profit-equalization-reservemestikah.html, diakses pada, Sabtu, 21 juni 2014, pukul 8:57 WIB)
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 87/DSN-MUI/XII/2012 Tentang
Metode Perataan Penghasilan (Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga.
(http://dsnmui.or.id/index.php?
mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=96&cntnt01origid=15&cntnt
01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=59, diakses pada Selasa, 24
Juni 2014)
Hidayat, Wahyudi. 2012. Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk
Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah. (Online), Sebuah
ringkasan (Artikel Sundararajan),
(http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/13/profit-equalizationreserve-per-dan-investment-risk-reserve-irr-dan-idealisme-ber-banksyariah-454257.html, diakses pada Sabtu, 21 Juni 2014)
Pohan, Rizky Andriati. 2011. Mengatur Serep di Kala Seret. (Online),
(http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186137, diakses pada
Selasa, 24 Juni 2014)
Pohan, Rizky Andriati.2011. Wakil Sekretaris Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia, Hasanudin, Bulan Depan MUI dan BI Mulai Berembuk.
(Online), (http://www.jurnas.com/halaman/5/2011-10-21/186045, diakses
pada Selasa, 24 Juni 2014)
Purnomo, Herdaru. 2011. BI Perjuangkan Aturan Pencadangan Laba Bank
Syariah. (Online),
(http://finance.detik.com/read/2011/11/18/165525/1770509/5/biperjuangkan-aturan-pencadangan-laba-bank-syariah, diakses pada
Selasa, Sabtu, 21 Juni 2014)
4 Fita Ishfah Aini/125020301111007