TUGAS SOSIOLOGI umum kelembagaan sosia (15)

TUGAS SOSIOLOGI
SUKU ADAT JAWA TENGAH

DI
S
U
S
U
N
OLEH :

NAMA : NADYA NOVITASARI
KELAS XR1

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Jawa.
Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah
Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah
utara. Luas wilayahnya 34.548 km², atau sekitar 28,94% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa
Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa
Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga mencakup wilayah Daerah

Istimewa Yogyakarta. Jawa Tengah dikenal sebagai "jantung" budaya Jawa. Meskipun demikian
di provinsi ini ada pula suku bangsa lain yang memiliki budaya yang berbeda dengan suku Jawa
seperti suku Sunda di daerah perbatasan dengan Jawa Barat. Selain ada pula warga TionghoaIndonesia, Arab-Indonesia dan India-Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi ini.
Sejak tahun 2008, provinsi Jawa Tengah memiliki hubungan kembar dengan provinsi Fujian di
China
Sejarah
Jawa Tengah sebagai provinsi dibentuk sejak zaman Hindia Belanda. Hingga tahun 1905, Jawa
Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang, Pati, Kedu, Banyumas, dan
Pekalongan. Surakarta masih merupakan daerah swapraja kerajaan (vorstenland) yang berdiri
sendiri dan terdiri dari dua wilayah, Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, sebagaimana
Yogyakarta. Masing-masing gewest terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Pati Gewest juga
meliputi Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi otonomi dan
dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente (kotapraja) yang otonom, yaitu
Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga memiliki Dewan
Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa karesidenan (residentie), yang
meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan dibagi lagi dalam beberapa kawedanan
(district). Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Pati, Semarang,
Banyumas, dan Kedu.

Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945 Pemerintah membentuk daerah swapraja
Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undangundang ditetapkan pembentukan kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29
kabupaten dan 6 kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai
Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.

Pemerintahan
Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6 kota. Administrasi
pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545 kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan.
Sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jawa
Tengah juga terdiri atas 3 kota administratif, yaitu Kota Purwokerto, Kota Cilacap, dan Kota
Klaten. Namun sejak diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 2001 kota-kota administratif
tersebut dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten.
Menyusul otonomi daerah, 3 kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke wilayahnya
sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid), Kabupaten Tegal (dari
Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari Kota Pekalongan ke Kajen)
KARAKTER KHAS SUKU JAWA DENGAN TRADISI TRADISINYA

Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negara
Indonesia. Sebagai buktinya, kemana pun Anda melangkah kan kaki ke
bagian pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-suku

Jawa yang mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnya
minorotas,dengan kata lain di mana ada kehidupan di seluruh Indonesia
Orang Jawa selalu ada.
Suku Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental. Adat
istiadat Suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatan
masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Di dalam hal ini
di manapun Suku Jawa berada akan selalu dilaksanakan dan di jadkan
Ugeman atau Pathokan dalam kehidupannya.
Banyak yang bisa di gali dari literatur literatur yang sdh ada bahwa suku
jawa punya banyak keaneka ragaman ciri khas dan budaya beserta tradisi
tradisinya

Dan bila kita seumpama sebagai suku lain yang ada di Indonesia akan
sangat dengan mudahnya berinteraksi dengan suku jawa di karenakan suku
ini mempunyai sifat dan
karakter yang sangat santun dalam bermasyarakat dengan di terimanya
suku Jawa sebagai bagian dari anggota masyarakat oleh suku lain di seluruh
Indonesia.

Sifat dan Karakter Orang Jawa

Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan,
menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjaga
etika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupun objek
yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadap yang
lebih tua akan lebih di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata,
memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak
bicara.
Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan.
Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap
yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas
seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi,
bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan
hati.
Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikap
maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya

menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang
usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda
hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap

orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawa Ngajeni
Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut
oleh Orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah
dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang
menyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat
ditentang begitu saja.
Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengan kehendak
sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua
itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan, nasib kehidupan
adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelak.
Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga mereka yakin bahwa
Tuhan telah mengatur segalanya.
Pola kehidupan orang jawa memang unik. Jika kita mencoba untuk
menelusuri pola hidup orang jawa, maka ada banyak nilai positif yang kita
dapatkan. Bagi orang jawa, Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi
semua makhluk hidupnya, termasuk manusia. Setiap hari kita melihat
banyak orang yang keluar rumah, seperti juga, banyak burung yang keluar
sarang untuk mencari penghidupan. Pagi mereka keluar rumah dan sore
pulang dengan kondisi yang lebih baik
Urip Ora Ngoyo

Konsep hidup nerimo ing pandum ( ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan
bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang
harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang
nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal
tersebut.
Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Kita boleh saja
mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis.
Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih
baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo.
Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa
hidup dengan tenagamu!
Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan
membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikan diri
sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka
menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan
tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan.

Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka
kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar,
maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa

memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo.
Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu.
Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan
besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan
sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan
sesungguhnya yang kita miliki.
Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royong atau
saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih
kentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di
mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi
kehidupannya baik itu suasana suka maupun duka.
Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang.
Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi
luhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana
eksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola
tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan.
Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyong
yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat
memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat
sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh

kesadaran dan tanggungjawab.
Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang begitu spesifik.
Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia,
orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara
berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan
lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut
membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau
sudah menjadi teman.
Ngajeni Pada Orang Yang Lebih Tua
Dan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang
menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar
personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan
perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain
sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin
orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh
perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri


soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari
lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaia

SUKU JAWA
Suku Jawa (Bahasa Jawa Ngoko: ꦮꦮꦮꦮꦮꦮ Wong Jawa, Krama: ꦮꦮꦮꦮꦮꦮꦮꦮTiyang Jawi) merupakan suku
bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [3] Selain di ketiga
provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Jakarta, Sumatera Utara, Riau,
Sumatera Selatan, Banten dan Kalimantan Timur. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon. Suku Jawa juga memiliki subsuku, seperti Suku Osing, Orang Samin, Suku Tengger, dan lain-lain. Selain itu, suku Jawa ada
pula yang berada di negara Suriname, Amerika Selatan karena pada masa kolonial Belanda suku
ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini suku Jawa di sana dikenal sebagai Jawa Suriname.

Bahasa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Bahasa Jawa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan Bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam
sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya
12% orang Jawa yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari,
sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya
menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara
pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini
memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya
sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Budaya Jawa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Budaya Jawa
Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya
di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Budaya Jawa secara garis besar dapat dibagi menjadi 3
yaitu budaya Banyumasan, budaya Jawa Tengah-DIY dan budaya Jawa Timur. Budaya Jawa
mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya
Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa
Tengah, DIY dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta,

Sumatera dan Suriname. Bahkan budaya Jawa termasuk salah satu budaya di Indonesia yang
paling banyak diminati di luar negeri. Beberapa budaya Jawa yang diminati di luar negeri adalah
Wayang Kulit, Keris, Batik dan Gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena
pengaruh Majapahit.[4] LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang
remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari AS tahun 2011.
Gamelan Jawa menjadi pelajaran wajib di Amerika Serikat, Singapura dan Selandia Baru.[5]

Gamelan Jawa rutin digelar di AS-Eropa atas permintaan warga AS-Eropa. Sastra Jawa
Negarakretagama menjadi satu satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai
Memori Dunia. Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara National University of Singapore
John N. Miksic jangkauan kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera dan Singapura bahkan
Thailand yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung dan seni.
[6]
Budaya Jawa termasuk unik karena membagi tingkat bahasa Jawa menjadi beberapa tingkat
yaitu Ngoko, Madya Krama.

Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar menganut agama Islam. Selain itu ada juga yang menganut agama
Kristen (Protestan dan Katolik), Buddha dan Hindu. Ada pula filsafat suku Jawa yang disebut
sebagai filsafat Kejawen.[7] Filsafat ini berbeda dengan Taoisme dan Konfusianisme yang tidak
memeluk agama tertentu, kejawen merupakan filsafat yang memperbolehkan bahkan
menganjurkan untuk memeluk agama. Ada pula kaum Abangan yang nominal menganut islam
namun dalam praktiknya masih banyak terpengaruh animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha
yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar
diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa dikarenakan memiliki filsafat kejawen yang
dianggap sebagai pengontrol dan melindungi jatidirinya sebagai Orang Jawa.
Profesi
Mayoritas masyarakat Jawa berprofesi sebagai petani. Sedangkan di perkotaan mereka berprofesi
sebagai pegawai negeri sipil, karyawan, pedagang, usahawan, dan lain-lain. Masyarakat Jawa
juga banyak yang bekerja di luar negeri, masyarakat Jawa mendominasi tenaga kerja Indonesia
di luar negeri terutama di negara Malaysia, Singapura, Filipina, Jepang, Arab Saudi, Kuwait,
Qatar, Uni Emirat Arab, Taiwan, Amerika Serikat, dan Eropa. Orang Jawa juga banyak yang
menjadi pengusaha Jawa terutama di Jateng, DIY dan Jatim. Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
jumlah orang Jawa mencapai 35% dari penduduk Jakarta. Orang Jawa perantauan di Jakarta
bekerja di berbagai bidang. Hal ini terlihat dari jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta
adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2104 ke Jawa Tengah
mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang
pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang
naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.[8] Bahkan menurut
data Kementerian Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61%
Jateng dan 39% Jatim. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah karyawan swasta, 27%
wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10% pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga dan 9%
profesi lainnya. Diperinci menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp. 3-5 Juta, 42%

berpendapatan Rp. 1-3 Juta, 10% berpendapatan Rp. 5-10 Juta, 3% berpendapatan dibawah Rp. 1
Juta dan 1% berpendapatan di atas Rp. 10 Juta.[9]
Stratifikasi sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi
Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi
tiga kelompok: kaum santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut
agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut
Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz
banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan.
Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan
orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa,
dan India.
Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama HinduBuddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar
berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan
Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris merupakan dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa.
Musik gamelan, yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya
dan tradisi Jawa.
Tokoh-tokoh Jawa
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar tokoh Jawa


Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia.



Ahmad Dahlan, Ulama (Kyai) dan pendiri organisasi Muhammadiyah.



Boediono, Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia (2009-2014).



Hasyim Asyari, Pendiri Nahdatul Ulama.



H.M. Soeharto, Mantan Presiden Republik Indonesia.



Joko Widodo, Mantan Walikota Solo, Mantan Gubernur DKI, Presiden Republik
Indonesia.



Julius Darmaatmadja, Uskup Agung Jakarta dan Mantan Ketua KWI (Konferensi
Waligereja Indonesia) 2000-2006.



Khofifah Indar Parawansa, Politikus dan Mantan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan, Menteri Sosial Kabinet Kerja.



Megawati Soekarno Poetri, Mantan presiden republik indonesia dan sekaligus presiden
wanita pertama di Indonesia



Nurcholish Madjid, Cendekiawan dan budayawan.



Paul Salam Soemohardjo, Ketua Parlemen Suriname dan Ketua Partai Pertjaja Luhur di
Suriname.



Purnomo Yusgiantoro, Mantan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral.



R.A. Kartini, Pahlawan Nasional.



Saifullah Yusuf, Mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
Sekarang menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur.



Soekarno, Proklamator dan mantan Presiden Republik Indonesia.



Susilo Bambang Yudhoyono, Mantan Presiden Republik Indonesia.



Wage Rudolf Supratman, Pencipta lagu "Indonesia Raya".



Wahid Hasjim, Pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama
Indonesia.



Hidayat Nur Wahid, Mantan Ketua MPR RI periode tahun 2004-2009, Wakil Ketua MPR
(2014-sekarang).

JOGLO RUMAH TRADISIONAL SUKU JAWA

Joglo merupakan rumah adat tradisional suku jawa. Ada bermacam-macam jenis rumah jonglo
diantaranya joglo limas, joglo sinom, joglo pangrawit dan sebagainya. Rumah jenis joglo
memiliki struktur bangunan yang unik dimana biasanya rumah tersebut memiliki dua bagian
utama yaitu bagian pendapa yang biasanya ukuranya sangat luas, ruangan ini biasanya
dipergunakan sebagai tempat meneriam tamu maupun tempat untuk musyawarah. Sedangkan
bagian kedua adalah bagian dalam dari rumah joglo yang biasanya bersifat tertutup untuk orang
luar karena merupakan ruang privasi yang berupa kamar dapur dan sebagainya. Rumah joglo
pada masa lampau biasanya hanya dimiliki oleh para pembesar atau orang-orang kaya saja.
Susunan Bangunan dan Ruangan dari Rumah Joglo
Pada dasarnya rumah jenis ini memiiki bentuk dasar berupa persegi panjang atau bujur sangkar.
Pembangunan rumah joglo ini sama sekali tidak menggunakan paku, hal ini berbeda dengan
pembangunan joglo yang kita jumpai pada jaman modern sekarang ini. Pembangunan rumah ini
dulunya hanya menggunakan system knock down, sehingga setiap bagian bisa saling berkait dan
menguatkan. Kita dapat menjumpai system ini pada rumah-rumah yang memiliki struktur
bangunan lama.
Pada setiap rumah joglo selalu memiliki empat pilar pada ruangan utama atau pendoponya
yang biasanya disebut dengan nama soko guru, inilah yang merupakan sebuah ciri unik dari
pembangunan rumah tersebut yang tidak dimiliki oleh rumah jenis yang lain.
Pada arsitektur yang terdapat pada bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan hanya sekadar
sebagai pemahaman seni konstruksi rumah, namun juga merupakan refleksi atau pencerminan
dari nilai dan norma yang ada dalam masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita

rasa sebuah keindahan, bahkan sikap religiusitasnya ikut terefleksikan dalam seni arsitektur
rumah dengan gaya seperti ini.
Pada bagian pintu masuk rumah joglo memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di bagian
tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan disamping kanan pintu utama. Ketiga
bagian pintu tersebut memiliki makna atau arti simbolis bahwa kupu tarung yang berada di
bagian tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di bagian samping kanan dan samping
kiri untuk besan.

Pada ruang bagian dalam dari rumah joglo yang disebut gedongan pada umumnya dijadikan
sebagai mihrab, tempat Imam untuk memimpin salat yang umumnya dikaitkan dengan makna
simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan oleh pemilik rumah joglo
tersebut. Selain itu gedongan biasanya juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang
dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dan dijadikan sebagai ruang tidur pengantin serta
bagi anak-anaknya.
Ruang depan dari rumah joglo yang biasanya disebut juga dengan nama jaga satru disediakan
untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, pada bagian sebelah kiri untuk jamaah wanita dan
sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk rumah
tersebut terdapat satu tiang di bagian tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko
geder. Selain merupakan simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga memiliki fungsi sebagai
pertanda atau tonggak untuk mengingatkan para penghuni rumah joglo tersebut tentang
keesaan Tuhan.