terorisme dan kapitalisme global dalam

Global Terorisme dan Kapitalisme Global
It aims at the mass silence, the masses in their silence …; that of the terrorist act (Jean
Baudrillard)
Krisis finansial global, perang, kelaparan, pengangguran, bahkan suburnya aksi-aksi
terorisme, merupakan dampak destruktif dari kapitalisme global. Seorang pakar ekonomi
peraih Nobel, Joseph Stiglitz, yang dijuluki oleh majalah The Economist sebagai pahlawan
gerakan antiglobalisasi, menulis dalam bukunya The Roaring Nineties. Bahwa Peristiwa 11
September 2001 mempertontonkan sisi yang lebih kelam lagi dari globalisasi. Kendati akar
masalahnya kompleks, jelas bahwa keputusasaan dan tingginya tingkat pengangguran di
sebagian besar belahaan dunia menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme.
Terorisme bisa dipastikan hanyalah merupakan istilah yang hanya dibuat-buat. Ia menjadi
“symbol without referent” (Baudrillard, 1988a). Ia menjadi medan pertarungan kepentingan
idiologis, politis, maupun ekonomis. Wacana Terorisme dipolitisir sedemikian rupa demi
kepentingan kelompoknya (Baudrillard, 1988b): Tindakan militer dalam perang global
melawan terorisme menunjukkan bahwa imperialisme bukanlah sesuatu yang kuno –
melainkan adalah inti dari kapitalisme global saat ini.
1. Terorisme halusinasi
Perang terhadap global terorisme dimulai secara massif setelah peledakkan gedung World
Trade Center di Washington D.C, Amerika Serikat. Negara ini kemudian juga menjadi
panglima atas perang melawan global terorisme itu. Ada banyak kebijakan yang setelahnya
diluncurkan sebagai bahagian dari upaya tersebut. Jean Baudrillard menilai tragedi tersebut

sebagai a symbolic act of defiance … in response to globalization, which is itself immoral
(Baudrillard 2002, 15). Sebelumnya memang telah ada berbagai aksi terorisme, namun belum
memiliki efek global.
Jean Baudrillard melihat bahwa teror adalah bagian yang tidak terpisahkan dari politik.
Ketika politik berjalan menuju arah yang berlawanan dengan tujuan untuk mensejahterakan
masyarakatnya, maka seketika itu mesin politik menjadi mesin sosial,yang dijalankan dengan
penumbalan masyarakarnya. Inilah bentuk terror yang sesungguhnya menurutnya, teror bom
dan bentuk lainnya hanya simulacrum of terror. Menciptakan dunia realitas tanpa identitas,
yang secara berkala terus memproduksi teror-teror palsu. Simulacrum of terror, sebagaimana
yang dikatakan oleh Baudrillard adalah sebuah politik halusinasi, yang mempermainkan
realitas psikologi massa, citra dan untuk kepentingan politik. Inilah yang kemudian
menciptakan topeng-topeng teror yang menyembunyikan keadaan sesungguhnya, mendistorsi
realitas dan membelokkan kebenaran. Keadaan inilah yang dikenal sebagai hyperreality of
terror. Untuk melihat ini dalam perang global melawan terorisme, kita dapat meminjam dua
logika Jean Baudrillard, yaitu logic of image dan logic of nomadism.
Lalu apa sesungguhnya terorisme? Pengertian dalam definisi siapa yang harus kita maknai
sebagai the real teorism? Apakah versinya Amerika atau versinya Al-Qaida yang
menyimpulkan bahwa invasi Amerika lah yang menjadi awal dari mata rantai terorisme?

2. Hegemoni Media

Salah satu hal yang dianggap sebagai bahagian dari kesuksesan globalisasi adalah kemajuan
teknologi media. Kemajuan yang membuah media menjadi ubiquitous, yang kemudian
dengan ini dapat menjadi alat bagi hegemoni tentang pemaknaan sesuatu. Hal ini kemudian
membuat media dengan mudah mengatur gambaran yang hendak digambarkan dalam picture
on our heads. Pengaturan ini juga berkaitan kemudian dengan sudut pandangn siapa yang
ingin digambarkan pada kita, siapa yang akan digambarkan sebagai protagonis dan kelompok
mana yang akan menjadi antagonism. Inilah yang disebut oleh McCombs dan Shaw sebagai
agenda setting media, para konsumer membuat gambaran tersebut akan tergambar secara
taken for granted. Agenda setting merupakan otoritas pemilik media, dan setidaknya tiga hal
yang menentukan faktor keberpihakan ini, yaitu faktor politik, ideologis dan ekonomi.
Faktor-faktor tersebut juga dikolborasikan oleh para kelompok yang oleh Baudrillard sebagai
active minority. Pada kelompok ini bersemayam semangat-semangat kapitalisme global, para
borjuasi yang terdiri dari birokrat yang ingin memanfaatkan isue terorisme atau para
pengusaha yang ingin mengeruk untuk dari fenomena terorisme. Namun, sebahagian besar
yang lainnya adalah silent majority, kelompok besar penduduk dunia yang terpengaruh dan
menjadi korban dari agitasi yang dilancarkan oleh minoritas aktif.
Baudrillard menggambarkan silent majority ;
“The mass absorbs all the social energy, but no longer refracts it. It absorbs every sign
and every meaning, but no longer reflects them... it never participates. It is a good
conductor of information, but of any information. It is without truth and without reason.

It is without conscience and without unconscious.” (Baudrillard, 1998)
3. Disparitas Ekonomi
...In conclusion, as long as social injustice still exists in Indonesia, I believe, those
who are willing to sacrifice their lives by carrying bombs and other high explosive
materials will always exist (Magda Safrina)
Mungkin akan ada banyak pihak yang akan mempertanyakan bagaimana pembangunan
ekonomi berkaitan dengan terorisme. Bagaimana kebijakan pembangunan berhubungan
dengan terorisme. Islam, sebagai agama yang kerap kali diasosiasikan dengan gerakan
terorisme menyatakan bahwa ketidakadaan teror hanya dapat diperolehn dengan keadilan
sosial yang menyeluruh dan didukung oleh para penegak hukum. Islam juga menolak
ketidakadilan, ketiadaan akses bagi peluang pertumbuhan ekonomi dan ketidaksejahteraan
secara ekonomi dan sosial. Islam juga mengajarkan jihad sebagai bentuk perlawanan atas
ketidakadilan. Jihad ini yang kemudian dipahami dengan berbagai tafsir oleh para pihak yang
menggunakan ini sebagai instrumen.
Disaat yang bersamaan keadaan ini semakin diperparah dengan mengguritanya pengaruh
globalisasi. Dampak dari globalisasi tidak hanya memperluas modus perdagangan legal, tapi

juga perdagangan illegal, yang dipermudah dengan kemajuan transportasi dan tekhnologi
komunikasi. Konsumerisme dan komersialisasi sebagi operasionalisasi dari kapitalisme juga
menjadi pendorong dari meningkatnya perdagangan illegal tersebut. Salah satu nya adalah

perdagangan senjata bagi para aktor non-negara. Perkembangan terorisme dan globalisasi
tampaknya berjalan beriringan. Menurut Jamal R. Nassar globalisasi dan terorisme bukanlah
hal yang baru, namun pertumbahannya yang cepat adalah fenomena yang baru. Krisis
keuangan global adalah teror global yang telah meneror banyak orang. Pada tahun yang sama
juga terjadi serangan teorisme di Mumbay, India dan serangan para perompak Somalia. Inilah
yang mendorong Nassar untuk menyimpulkan bahwa terorisme dan globalisasi adalah
fenomena yang saling terkait.
Namun, kita juga harus menyadari bahwa ketika ketimpangan telah hadir secara terstruktur.
Keluhan-keluhan akan ketidakadilan tidak lagi didengarkan, ketimpangan dibiarkan terus
berlangsung secara sistematis. Perjuangan untuk keadilan dan memperbaiki keadaan selalu
akan menemukan jalannya. Inilah yang kemudian membuat orang menemukan radikalisme
dan terorisme sebagai cara paling efektif untuk menyuarakan keadaan yang timpang ini.

Sumber ;
Baudrillard, J. (1998). In the Shadow of Silent Majority. Semiotext(e), New York.
Magda Safrina, The Jakarta bombing: A lesson in inequality, The Jakarta Post, 08/07/2009
Hizkia Y. S. Polimpung, Media, Kapitalisme, dan Terorisme: Sindikat Pembodohan Global,