TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2004 DAN HUKUM ISLAM

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Kewajiban dan Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum Islam

Disusun Oleh:

SRI MULYATI 21103006

JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL AHWAL AL SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2007

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga merupakan unit yang terkecil dari susunan kelompok masyarakat, rumah tangga juga merupakan sendi dasar dalam membina dan terwujudnya suatu negara. Indonesia sebagai negara yang berlandaskan pancasila yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa perkawinan. Karena perkawinan tidak lain adalah permulaan dari rumah tangga. Perkawinan merupakan aqad dengan upacara ijab qobul antara calon suami dan istri untuk hidup bersama sebagai pertalian suci (sacral), untuk menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita dengan tujuan membentuk keluarga dalam memakmurkan bumi Allah SWT yang luas ini. Dengan perkawinan terpeliharalah kehormatan, keturunan, kesehatan jasmani

dan rohani, jelasnya nasab seseorang. 1

Ada tiga hal mengapa perkawinan itu menjadi penting. Petama: perkawinan adalah cara untuk ikhtiyar manusia melestarikan dan mengembangbiakan keturunanya dalam rangka melanjutkan kehidupan manusia di muka bumi. Kedua: perkawinan menjadi cara manusia menyalurkan hasrat seksual. Yang dimaksud di sini adalah lebih pada kondisi terjaganya moralitas, dengan begitu perkawinan bukan semata-mata menyalurkan kebutuhan biologis secara seenaknya, melainkan juga menjaga alat reproduksi agar menjadi tetap sehat dan tidak disalurkan pada tempat

1 H. Bgd, M. Leter, Tuntutan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana, Angkasa Raya, Padang, 1985, hlm. 7.

yang salah. Ketiga: perkawinan merupakan wahana rekreasi dan tempat orang menumpahkan keresahan hati dan membebaskan diri dari kesulitan hidup

secara terbuka kepada pasanganya. 2

Pada dasarnya tujuan perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa 3 . Dari pengertian tersebut untuk mewujudkan keluarga yang bahagia landasan utama yang perlu

dibangun antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah adanya hak dan kewajiban di antara keduanya.

Al-Qur’an sendiri menyebutkan tujuan perkawinan dalam Surat Ar- Rum ayat 21:

“Diantara tanda-tanda kebesaran Tuhan adalah bahwa dia telah menciptakan pasangan bagi kamu dari bahan yang sama agar kamu menjadi tenteram bersamanya. Dia menjadikan kamu berdua saling menjalin cinta (mawadah warohmah) pelajaran yang berharga bagi

orang-orang yang berfikir.” (Q.S. Al Rum: 21) 4 .

Dalam ayat tersebut dikatakan sakinah, mawadah dan rahmah, mempunyai arti antara lain: diam sesudah bergerak, tetap, menetap, bertempat

2 Suara Rahima, No. 14 Th. 15 April 2005, hlm. 19 3 UU RI No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, Cet. I,

2004, hlm. 8. 4 Depertemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara

Penerjemah al-Qur’an, 1997, hlm. 407.

tinggal, tenang, dan tentram, ini menyebutkan bahwa perkawinan dimaksudkan sebagai wahana atau tempat dimana orang-orang yang ada didalamnya terlindungi dan dapat menjalani hidup dengan penuh kedamaian dan aman. Dengan ketiga arti ini perkawinan merupakan ikatan yang dapat melahirkan hubungan saling mencintai, saling menasehati, dan saling mengharapkan satu sama lain, ungkapan al-Qur’an dengan bahasa bainakum atau dengan kata lain satu sama lain. Tentu saja menunjukan bahwa cinta dan kasih sayang bukan hanya dimiliki oleh salah satu pihak. Yakni suami istri

konsekuensi logisnya mereka tidak boleh saling menyakiti dan menghianati. 5

Fenomena kadang berbicara lain, perkawinan yang diharapkan sakinah, mawadah , warahmah, ternyata harus kandas ditengah jalan karena permasalahan dalam keluarga, dan Islam menyikapi dengan memberi solusi perceraian bagi keluarga yang memang sudah tidak dapat dipertahankan.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu permasalahan dalam keluarga untuk mempertahankan sebuah keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja termasuk bapak, suami, istri, dan anak, namun secara umum pengertian dalam KDRT di sini dipersempit artinya penganiayaan terhadap istri oleh suami. Hal ini bisa dimengerti karena kebanyakan korban dalam KDRT adalah istri.

Bila kita teliti lebih jauh banyak sekali keluarga yang tidak bahagia, rumah tangga yang selalu ditiup oleh badai pertengkaran dan percekcokan. Dengan keadaan yang semacam ini istri manapun tidak akan nyaman dalam

5 Suara Rahima, op cit, hlm. 30.

mejalani kehidupanya. Kasus seperti ini sangat banyak sekali terjadi dalam masyarakat. Akan tetapi mengapa masyarakat enggan melaporkan kasusnya pada pihak yang berwenang? Bahkan dari hasil observasi yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Salatiga, selama adanya Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga baru ada dua kasus yang diputuskan oleh Pengadilan yang diajukan oleh istri. Hal ini disebabkan karena dari pihak korban takut kasus dalam keluarganya diproses di Pengadilan karena itu merupakan aib dalam keluarganya ataukah kurang sadarnya dari pihak korban akan perlindungan hukum yang telah diberikan oleh negara.

Majlis Hakim dalam menetapkan sebuah keputusan tidak hanya berpedoman pada UU PKDRT saja, tetapi hakim juga mempertimbangkan dari beberapa keterangan saksi yang berbeda-beda dalam memutuskan suatu perkara.

Dalam dua putusan kekerasan dalam rumah tangga yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Salatiga terdapat beberapa hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan, yang diantara keduanya juga berbeda, putusan No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 yang diajukan pada tanggal: 21 Desember 2005 dan diputus pada hari Kamis tanggal 23 Februari 2006 terdapat hal-hal yang memberatkan diantaranya Terdakwa main hakim sendiri dan Terdakwa sebagai suami tidak melindungi istri. Sedangkan hal-hal yang meringankan Terdakwa mengaku bersalah dan minta maaf pada istrinya, Terdakwa dan Saksi masih berhubungan suami istri meskipun perkaranya sudah diproses di

Pengadilan, dan belum pernah dihukum. Sedangkan dalam putusan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006 yang diajukan pada 5 April 2006 dan diputus pada hari Senin Tanggal 5 Juni 2006, terdapat hal-hal yang memberatkan yaitu Terdakwa main hakim sendiri, Terdakwa sebagai suami tidak melindungi, dan Terdakwa tidak minta maaf pada korban, sedangkan hal-hal yang meringankan yaitu Terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa mengaku bersalah dan menyesalinya. Akan tetapi putusan yang dijatuhkan dalam perkara tersebut sangatlah jauh perbedaanya, untuk putusan No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dijatuhkan pidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun serta dibebankan biaya sebesar 1000 rupiah, sedangkan putusan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006 dijatuhkan pidana 6 bulan dan harus dijalani serta di bebankan biaya sebesar 500 rupiah.

Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan menelitian terhadap putusan-putusan hakim mengenai “KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No: 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006)”.

B. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pembahasan mengenai judul skripsi ini, terlebih dahulu penulis akan mengemukakan arti istilah yang terkandung dalam judul tersebut, sehingga tidak akan terjadi kerancauan pemahaman mengenai judul penelitian “KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH

TANGGA” (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No: 20/Pid.B/PN.Sal/2006).

1. Kekerasan : Serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. 6

2. Istri : Wanita (perempuan) yang telah menikah atau yang

bersuami 7

3. Rumah Tangga : Sering juga disebut dengan keluarga yang berasal dari bahasa sansekerta, yakni kula yang berarti famili dan warga yang berarti anggota. Jadi, keluarga adalah anggota famili yang dalam hal ini adalah terdiri dari

ibu (istri), bapak (suami), dan anak. 8

4. 9 Studi : Pemikiran untuk memperoleh ilmu pengetahuan.

5. Putusan : Putusan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan

hukum. 10

6. PN Salatiga : Pengadilan tingkat pertama bagi perkara perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri dibentuk oleh

6 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 17.

7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 341. 8

Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Lembaga Kajian Agama dan Gender, Jakarta, Cet. I, 1999, hlm. 2.

9 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 965.

10 UU RI No. 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana, PT. Karya Anda, Surabaya, tt, hlm. 5.

Menteri Kehakiman Agung. Daerah hukumnya

meliputi satu daerah tingkat dua. 11

C. Rumusan Masalah Dari beberapa permasalahan tersebut, dapat ditarik beberapa rumusan masalah yang merupakan central pembahasan ini:

1. Bagaimana konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang- undang No. 23 tahun 2004 dan fiqh?

2. Bagaimana putusan hakim dalam perkara kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.?

3. Bagaimana petimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga ditinjau dari UU No. 23 tahun 2004 dan hukum Islam?

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sesuai dengan pokok masalah di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep kekerasan dalam rumah tangga menurut peraturan perundang-undangan dan (fiqh)

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

11 JST. Simorangkir, et. al, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Cet. VI, 2000, hlm. 124.

3. Untuk mengetahui putusan hakim mengenai perkara kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

Adapun kegunaan dari penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum khususnya pertimbangan-pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang Hukum Islam (syari’ah)

E. Telaah Pustaka Kekerasan dalam sebuah rumah tangga akan dianggap tabu dipublikasikan atau diceritakan kepada orang lain, wajar jika kemudian masalah-masalah KDRT jarang sekali yang muncul ke muka persidangan.

Farha Ciciek dalam bukunya Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW . Mengemukakan panjang lebar tentang kekerasan domestik yang menimpa kaum perempuan. Dalam bahasanya yang singkat dan padat, dia menulis latar belakang dan segala sesuatu yang menyangkut masalah kekerasan dalam rumah tangga. Dia juga menyebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab masyarakat dan membutuhkan peran negara, sehingga dibutuhkan kolektif untuk Farha Ciciek dalam bukunya Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga Belajar dari Kehidupan Rasulullah SAW . Mengemukakan panjang lebar tentang kekerasan domestik yang menimpa kaum perempuan. Dalam bahasanya yang singkat dan padat, dia menulis latar belakang dan segala sesuatu yang menyangkut masalah kekerasan dalam rumah tangga. Dia juga menyebutkan bahwa masalah kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu permasalahan yang menjadi tanggung jawab masyarakat dan membutuhkan peran negara, sehingga dibutuhkan kolektif untuk

Faqihuddin Abdul Kodir dkk dalam bukunya Fiqh Anti Trafiking (Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam) menjelaskan pandangan keagamaan yang timbul dari teks-teks al Quran, Hadits Nabi, dan pendapat para Ulama’ mengenai berbagai persoalan menyangkut trafiking seperti persoalan buruh migran, penjualan organ tubuh, penjualan bayi, aborsi korban perkosaan dan bentuk-bentuk kekerasaan lain yang berbasis gender termasuk juga KDRT. Jawaban yang diberikan dalam buku tersebut tidak hanya terhenti pada penguatan etis moral dalam al Quran dan Hadits tetapi juga dikaitkan dengan potensi yuridis formal dari Undang-undang yang berlaku.

Sebenarnya sudah banyak peneliti yang mengkaji tentang kekerasan dalam rumah tangga seperti halnya Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga tahun 2004-2006), Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001), dan Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2004).

Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga tahun 2004-2006) merupakan skripsi yang dibahas oleh Eni Kusrini. Dalam skripsi Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga tahun 2004-2006) merupakan skripsi yang dibahas oleh Eni Kusrini. Dalam skripsi

a. Menerima laporan atau pengaduan;

b. Penyidikan terhadap pelaku tindak pidana;

c. Membuatkan surat keterangan atau pengantar untuk visum ke RSU sebagai bukti;

d. Mengamankan korban jika ada ancaman dari pelaku kekerasan;

e. Menerima konseling untuk menguatkan korban;

f. Melakukan penangkapan terhadap tersangka. 12 Kekerasan Terhadap Istri Sebagai Alasan Perceraian (Studi Kasus di

Pengadilan Agama Salatiga tahun 1999-2001) merupakan skripsi yang dibahas oleh Siti Nakiyah yang secara spesifik tidak ada kasus perceraian yang dikarenakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga. Sebetulnya ada perceraian yang dikarenakan tindak kekerasan dalam rumah tangga, akan tetapi setelah perkara dibawa kemuka Pengadilan kontek kekerasan dimasukan dalam koridor hukum yang lain, misalnya perceraian itu karena tidak ada keharmonisan, ada pihak ketiga, penelantaran, penganiayaan, cemburu, krisis

akhlak dan sebagainya. 13 Sedangkan Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga (Studi

Komparatif Terhadap Hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2004) yang

12 Eni Kusrini, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT (Studi Kasus di Polres Salatiga), Skripsi untuk memperoleh

gelar S-1 pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006, hlm. 52. 13 Siti Nakiyah, Kekerasan Terhadap Istri Dalam Rumah Tangga Sebagai Alasan Perceraian , (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga ) Skripsi untuk mempereh gelar S-1 pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2004, hlm. 61.

diteliti oleh Fithri Awwalin menjelaskan tentang Hukum Islam serta UU No.

23 tahun 2004 dalam memandang hukum yang terjadi dalam rumah tangga yang meliputi bentuk-bentuk kekerasan dilihat dari perspektif Islam dan UU No. 23 tahun 2004, dan akibat hukum dari tindak kekerasan yang dilakukan

serta permasalahan lainya yang menyangkut KDRT dalam perspektif lainya. 14 Dari paparan di atas maka penulis berupaya untuk seobyektif mungkin menampilkan pembahasan yang berbeda dalam meneliti dan menganalisa putusan yang masih berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga dengan mengambil judul “KEKERASAN TERHADAP ISTRI DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No. 20/Pid.B/PN.Sal/2006)”.

F. Kerangka Teori Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini adalah salah satu bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan yang merugikan perempuan baik secara fisik dan nonfisik. Kebanyakan orang memahami kekerasan itu hanya sebagai tindakan fisik yang kasar saja, sehubungan bentuk perilaku menekan tidak pernah diperhitungkan sebagai kekerasan. Padahal yang disebut dengan

14 Fithri Awwalin, Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga (Studi Komparatif Hukum Islam dengan UU No. 23 Tahun 2004) , Skripsi untuk memperoleh gelar S-1 pada Ilmu Hukum Islam, STAIN Salatiga, 2006. hlm. 18.

kekerasan itu mencakup keseluruhanya 15 , termasuk kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran rumah tangga. Kebanyakan orang beranggapan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh suami adalah kekhilafan sesaat dan tidak banyak para pihak yang menyadari bahwa kekerasan terhadap rumah tangga itu merupakan suatu perilaku yang berulang, dan yang menjadi permasalahan di sini, banyak korban yang takut melaporkan kekerasan tersebut kepada pihak-pihak yang berwenang.

Di dalam rumah tangga, konflik merupakan hal yang biasa, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, tapi semua itu tidak serta merta disebut sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat pada seseorang 16 . Undang-undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk

mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan melindungi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang PKDRT ini juga tidak bertujuan untuk

15 “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Peket Informasi, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta, t.t, hlm 2.

16 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Pustaka fokusmedia, Bandung, Cet. II, Desember, 2006, hlm. 5.

mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. Undang-undang PKDRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan Rumah Tangga yang benar-benar harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung persoalan kekerasan terhadap perempuan menyangkut kekerasan fisik. Al-Qur’an berbicara mengenai pemukulan suami yang nunyuz hal ini dijelaskan dalam Q.S. An Nisa’ ayat 34.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka ( laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh, ialah taat kepada Allah lagi memelihara diri. Ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara (mereka) wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar ”

(Q.S. Surat an Nisa’Ayat 34). 17

Surat An-Nisa ayat 34 di atas merupakan salah satu ayat yang membahas kelebihan derajat pria dari wanita dalam hal kepemimpinan. Jadi kemudian beranggapan bahwa dengan dasar tersebut, kaum laki-laki berhak berbuat seenak hati terhadap kaum wanita. Sebab sebuah himbauan yang

17 Depertemen Agama RI, AlQuran dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah al Qur’an, 1997, hlm. 85.

tersurat maupun tersirat dalam ayat itu adalah bahwa kaum pria harus menjadi pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka bukanya untuk menguasai ataupun

memenopoli. 18 Di antara tugas kaum laki-laki adalah melindungi kaum perempuan. Ini sebabnya mengapa hanya diwajibkan kepada laki-laki, tidak kepada perempuan, begitu juga menafkahi keluarga. Inilah yang lebih banyak dalam harta warisan, tetapi di luar hak-hak yang disebutkan (hak mengendalikan, menuntut dan memimpin) maka dalam masalah hak ataupun kewajiban adalah

sama. 19 Ayat ini sebagai landasan bahwa kaum laki-laki berkewajiban

memelihara dan menjaga perempuan karena laki-laki diberi kelabihan jasmani, ayat ini juga sebagai pijakan bagi suami untuk membari pendidikan kepada istri mereka yang membangkang dengan cara menasehati. Dan jika dengan nasehat dia masih membangkang maka pukulah mereka. Akan tetapi pukulan itu tidak boleh terlalu menyakitkan dan melukai.

Selain al Qur’an yang jelas sudah melarang tindakan kekerasan juga ada hadits yang menjelaskan tentang larangan ini.

18 Salim Bahreisy, Tafsir Ibnu Kasir, Jilid II, PT, Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 387. 19 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Tafsir Al Qur’anul Majid An-Nuur, Jilid I,

PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, hlm. 843.

Abbas Al- Anbari menceritakan kepada kami, Abu Dawud Ath Thayalisi memberitahukan kepada kami dari Abdul Aziz bin Abdillah bin Abi Salamah dari Abdillah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW bersabda: “perbuatan aniaya adalah merupakan kegelapan-kegelapan di hari qiyamat” dalam bab ini terdapat dari Badillah bin Umar bin Amir, Aisyah, Musa dan

Abu Hurairah. Hadis ini adalah hadis hasan gharib dari hadis ibnu umar. 20

Demikianlah seharusnya hubungan suami istri dalam rumah tangga Islam, namun dalam kenyataan pasangan suami istri itu kadang-kadang lupa menerapkan petunjuk-petunjuk Allah tersebut, dan tergelincir dalam pertengkaran di antara mereka dan terjadilah apa yang tidak dikehendaki serta yang paling dibenci Allah SWT yaitu putusnya hubungan pernikahan.

G. Metode Penelitian Untuk memperolah data yang akurat penulis menggunakan Metode penelitian yang diantaranyan adalah:

1. Pengumpulan Data

a. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-

fenomena yang diselidiki 21 ;

b. Wawancara yaitu:“Sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(interviewer)” 22 ;

20 Muh Zuhri Dipl. Talf dkk, Tarjamah Sunan at-Tirmidzi, Jilid III, CV. Asy Syifa, Semarang, tt, hal. 533.

21 Erna Widodo Mukhtar, Konstruksi Ke Arah Penelitian Diskriftif, Avyrouz, Yogjakarta, 2000, hlm.79.

c. Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal yang variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, agenda dan sebagainya. 23 Dokumentasi yang dimaksud di sini adalah mengambil sejumlah data mengenai putusan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga di Pengadilan Negeri Salatiga yaitu putusan Nomor 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan Nomor 20/Pid.B/PN.Sal/2006.

d. Studi Pustaka yaitu penelitian yang mengambil data dari bahan-bahan tertulis (khususnya berupa teori-teori). 24

e. Subyek Penelitian dalam mengumpulkan data Penulis wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Salatiga yaitu Edi Pengaribuan, SH.MH., Viktor Togi Rumahorbo, SH.MH., Hariyadi, SH. Dan Sutiyono, SH. untuk memberikan informasi khususnya berupa pertimbangan dan dasar putusan Hakim mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga.

2. Metode Analisis data Analisis data yaitu analisis pada teknik pengolahan datanya dan

melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen. 25 Analisis yang dimaksud disini adalah menganalisis informasi yang menitik beratkan

pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan:

22 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktrek, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm.145.

23 Ibid, hlm. 236. 24 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Rajawali, Jakarta, Cet. III, 1990, hlm.

135. 25 Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, PT. Bumi Aksara, Jakarta, Cet.

1, 2004, hlm. 30.

a. Pendekatan Analisis (Analicical Appoach) yaitu mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui

penerapanya dalam praktik dan putusan-putusan hukum 26 .

b. Pendekatan kasus yaitu mempelajari pendekatan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum 27 . Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian.

H. Sistematika Pembahasan BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belekang Masalah

B. Penegasan Istilah

C. Rumusan Masalah

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

E. Telaah Pustaka

F. Kerangka Teori

G. Metodologi Penelitian

H. Sistematika Pembahasan

26 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Jakarta, Cet II, 2006, hlm. 310 27

Ibid, 321.

BAB

II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Konsep Kekerasan Menurut Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya KDRT

4. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga

B. Konsep Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam

1. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

2. Faktor-faktor Kekerasan dalam Rumah Tangga

3. Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga BAB III PUTUSAN DAN PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP KDRT

DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. Gambaran Umum tentang Pengadilan Negeri Salatiga.

1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga

2. Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga.

3. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga

B. Putusan Hakim Terhadap Kekerasan DALAM Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

1. Putusan Nomor : 116/Pid.B/PN.Sal/2005.

2. Putusan Nomor : 20/Pid.B/PN.Sal/2006.

C. Pertimbangan dan Dasar Putusan Hakim Mengenai Perkara Kekerasan Terhadap Istri dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KDRT DI PENGADILAN NEGERI SALATIGA

A. Analisis Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 116/Pid.B/PN.Sal/2005 dan No. 20/Pid.B/PN.Sal/2006.

B. Analisis Putusan dan Pertimbangan Hakim Terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga di Pengadilan Negeri Salatiga.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKERASAN DALAM RUMA TANGGA

A. Konsep Kekerasan Menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

1. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan terhadap wanita telah tumbuh sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan manusia. Namun hal tersebut baru menjadi perhatian dunia internasional sejak 1975.

Kekerasan terhadap perempuan menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan pasal 1 kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik, seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang

terjadi di area publik atau domestik 28 . Menurut Herkutanto, kekerasan terhadap perempuan adalah

tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis.

Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian yang bersifat kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan walaupun menimbulkan kerugian pada perempuan.

28 “Kekerasan Terhadap Perempuan Berbasis Gender (KTPBG)”, Peket Informasi, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Jogyakarta, t.t, hlm. 2

Pengertian di atas tidak menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan hanya kaum pria saja, sehingga kaum perempuanpun

dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan 29 .

Kekerasa dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan terhadap istri, merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan seorang istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup rumah tangga dan

selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita 30. Menurut Mansour Fakih, Kekerasan adalah serangan atau invasi

terhadap fisik maupun integritas keutuhan mental psikologi seseorang 31 . Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga khususnya terhadap istri

sering didapati, bahkan tidak sedikit jumlahnya. Dari banyaknya kekerasan yang terjadi hanya sedikit saja yang dapat diselesaikan secara adil, hal ini terjadi karena dalam masyarakat masih berkembang pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga tetap menjadi rahasia atau aib rumah tangga yang sangat tidak pantas jika diangkat dalam permukaan atau tidak layak di konsumsi oleh publik.

Menurut UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah

29 Herkutanto, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Sistem Hukum Pidana, dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita, PT. Alumni, Bandung, 2000, hlm. 267-268.

30 Ciciek Farha, Ikhtiar Mengatasi Kekerasan dalam Rumah Tangga belajar dari kehidupan Rasulullah SAW , PT. Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, Cet. I, Desember

1999, hlm. 22 31 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Cet. I, 1996, hlm. 17.

setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis

berat pada seseorang 32 .

Dua tahun setelah diterbitkanya UU No 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan masih cukup tinggi. LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk keadilan (APIK) Semarang mencatat sepanjang Januari – Juni 2007 terjadi 44 kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Akan tetapi dari 44 kasus itu hanya sembilan korban yang menempuh upaya hukum. Lima korban lapor ke Polisi, tiga korban mengajukan gugatan cerai, dan seorang melapor kepada instansi dimana

pelaku bekerja. 33

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Istri

A. Bentuk-bentuk Kekeraan Terhadap Istri Bentuk-bentuk kekeraan terhadap istri dapat berupa fisik, atau psikis, hal ini dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif (menelantarkan) dan pelanggaran seksual.

32 UU RI No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pustaka fokusmedia, Bandung, Cet. II, Desember, 2006, hlm. 5 33 Suara Merdeka, 7 Agustus 2007.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan menurut undang- undang PKDRT untuk lebih jelasnya penulis akan mencantumkan pasal demi pasal yang tertuang dalam pasal 5-9. Pasal 5. “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a. Kekerasan fisik

b. Kerasan psikis

c. Kekerasan seksual, atau

d. Penelantaran rumah tangga” Pasal 6 “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat” Pasal 7 “Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Pasal 8 “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut

Pasal 9 (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali

orang tersebut. 34

B. Ketentuan Pidananya diatur dalam Pasal 44 sampai dengan pasal 53. Pasal 44 (1) Setiap orang yang malakukan perbuatan kekerasan fisik dalam

lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf

a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15. 000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

34 op cit , hlm. 5-6 34 op cit , hlm. 5-6

(3) Dalam Hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)

(4) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)

Pasal 45 (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam

lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf b dipidana dengan penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah)

(2) Dalam hal perbuatan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)

Pasal 46 “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada pasal 8 huruf a dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)” Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)” Pasal 48 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksdud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)”

Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1).

b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) Pasal 50 Selain dipidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku

b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu

Pasal 51 “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan”. Pasal 52 “Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal

46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan”.

Pasal 53 “Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya

merupakan delik aduan” 35 .

Kekerasan dalam Rumah Tangga bukanlah persoalan domestik (privat) yang tidak boleh diketahui orang lain. KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. UU ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT

Undang-undang ini juga tidak bertujuan untuk mendorong perceraian, sebagaimana sering dituduhkan orang. UU PKDRT ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang (benar-benar) harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Harkutanto bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa Kekerasan Psikis, bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensifitas emosi seseorang sangat berfariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosionalnya. Hal ini penting untuk

35 op cit, hlm. 16-19.

perkembangan jiwa seseorang identifikasi yang timbul pada kekerasan psikis lebih sulit diukur dari pada kekerasan fisik.

Kekerasan Fisik, bila didapati perlakuan bukan karena kecelakaan pada perempuan. Perlakuan itu dapat diakibatkan oleh suatu episode kekerasan yang tunggal atau berulang, dari yang ringan hingga yang fatal.

Penelantaran perempuan, penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan pada pihak lain khususnya pada lingkungan rumah tangga.

Pelanggaran seksual, setiap aktifitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa atau perempuan. Pelanggaran seksual ini dapat dilakukan dengan pemaksaan atau dengan tanpa pemaksaan. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan akan mengakibatkan perlukaan yang berkaitan

36 dengan trauma yang dalam bagi perempuan .

3. Faktor Terjadinya Kekerasan Terhadap Perempuan

Secara garis besar faktor-faktor yang menjadikan kekerasan dalam rumah tangga dapat dirumuskan menjadi dua, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekternal ini berkaitan erat hubunganya dengan kekuasaan suami dan diskriminasi dikalangan masyarakat. Di antaranya:

a. Budaya patriarkhi yang menempatkan pada posisi laki-laki dianggap lebih unggul dari pada perempuan dan berlaku tanpa perubahan, seolah-olah itulah kodrati.

36 op cit, hlm. 268-270.

b. Interpretasi agama, yang tidak sesuai dengan universal agama, misalnya seperti Nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan alasan mendidik atau istri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami, maka suami berhak memukul dan istri dilaknat malaikat.

c. Kekerasan berlangsung justru tumpang tindih dengan legitimasi dan menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara dan praktik di masyarakat sehingga menjadi bagian kehidupan.

Faktor-faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga antara lain:

a. Labelisasi perempuan dengan kondisi fisik yang lemah cenderung menjadi anggapan objek pelaku kekerasan sehingga pengkondisian lemah ini dianggap sebagai pihak yang kalah dan dikalahkan. Hal ini sering kali dimanfaatkan laki-laki untuk mendiskriminasikan perempuan sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam berbagai peran strategis. Akibat dari labeling ini, sering kali laki-laki memanfaatkan kekuatannya untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, psikis, maupun seksual.

b. Kekuasaan yang berlindung dibawah kekuatan jabatan juga menjadi sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakekat kekuasaan sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi pihak yang lemah, namun sering kali kebalikannya bahwa dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa sering kali melakukan kekerasan terhadap warga atau b. Kekuasaan yang berlindung dibawah kekuatan jabatan juga menjadi sarana untuk melakukan kekerasan. Jika hakekat kekuasaan sesungguhnya merupakan kewajiban untuk mengatur, bertanggung jawab dan melindungi pihak yang lemah, namun sering kali kebalikannya bahwa dengan sarana kekuasaan yang legitimate, penguasa sering kali melakukan kekerasan terhadap warga atau

c. Sistem Ekonomi kapitalis juga menjadi sebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dalam sistem ekonomi kapitalis dengan prinsip ekonomi cara mengeluarkan modal sedikit untuk mencapai keuntungan sebanyak-banyaknya, maka memanfaatkan perempuan sebagai alat dan tujuan ekonomi akan menciptakan pola eksploitasi terhadap perempuan dan berbagai perangkat tubuhnya. Oleh karena itu perempuan menjadi komoditas yang dapat diberi gaji rendah atau

murah 37 . Sedangkan faktor internal timbulnya kekerasan terhadap istri adalah

kondisi psikis dan kepribadian suami sebagai pelaku tindak kekerasan yaitu: a) sakit mental, b) pecandu alkohol, c) penerimaan masyarakat terhadap kekerasan, d) kurangnya komunikasi, e) penyelewengan seks, f) citra diri yang rendah, g), frustasi, h) perubahan situasi dan kondisi, i) kekerasan sebagai sumber daya untuk menyelesaikan masalah (pola

kebiasaan keturunan dari keluarga atau orang tua) 38 Salah satu indikasi permasalahan sosial yang berdampak negatif

pada keluarga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga keluarga, hampir semua bentuk kekerasan dalam keluarga oleh laki-laki misalnya

37 Mufidah et al, Haruskah Perempuan dan Anak Dikorbankan? Panduan Pemula Untuk Pendampingan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, PT. PSG dan Pilar Media,

2006, hlm. 8-10. 38 Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Patriarkhis; Refleksi atas Keterbelengguan

Perempuan dalam Rumah Tangga, STAIN Press, Cet.I, 2006, hlm. 103.

pemukulan terhadap istri pemerkosaan dalam keluarga dan lain sebagainya semua itu jarang menjadi bahan pemberitaan masyarakat karena dianggap tidak ada masalah, sesuatu yang tabu atau tidak pantas dibicarakan korban, dari berbagai bentuk kekerasan yang umumnya adalah perempuan lebih khususnya lagi adalah istri cenderung diam karena merasa sia-sia. Para korban biasanya malu bahkan tidak berani menceritakan keadaanya kepada orang lain

4. Dampak Kekerasan Terhadap Perempuan

Dampak kekerasan yang dialami oleh istri dapat menimbulkan akibat secara kejiwaan seperti kecemasan, murung, setres, minder, kehilangan percaya kepada suami, menyalahkan diri sendiri dan sebagainya. Akibat secara fisik seperti memar, patah tulang, cacat fisik, ganggungan menstruasi, kerusakan rahim, keguguran, terjangkit penyakit menular, penyakit-penyakit psikomatis bahkan kematian.

Dampak psikologis lainya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (ia akan melihat diri negatif banyak menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dan bertumpuknya tekanan, kekecewaan dan

kemarahan yang tidak dapat diungkapkan 39 . Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas

pada istri saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa

39 Kristi Poerwandari, Kekerasan Terdahap Perempuan Tinjauan Psikologis dalam buku Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita , Alumni, Bandung, 2000, hlm. 283.

mengalami penganiayaan secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun seksual.

Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiaya istrinya. Bahkan banyak kasus, lelaki penganiaya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya. Sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan untuk menyiksa dan menghina pasangannya.

Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghetikan tindakan sang ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa membantu ibunya yang diperlakan kejam.

Selain terjadi dampak pada istri, bisa juga kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dialami oleh anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah:

a. Sering gugup

b. Suka menyendiri b. Suka menyendiri

d. Sering ngompol

e. Gelisah

f. Gagap

g. Sering menderita gangguan perut

h. Sakit kepala dan asma

i. Kejam pada binatang j. Ketika bermain meniru bahasa dan prilaku kejam k. 40 Suka memukul teman .

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan pelajaran pada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa cara menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan anak sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. KDRT memberikan pelajaran pada anak laki-laki untuk tidak menghormati kaum perempuan.

B. Konsep Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Hukum Islam.

1. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena umumya terjadi di lingkungan domestik yang mencakup hubungan perkawinan seperti poligami, kekerasan seksual, wali mujbir, belanja keluarga (ekonomi) talak, dan lain sebagainya.

40 op cit, Farha Ciciek, hlm. 35-37.

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam memang tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan terhadap perempuan, namun banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Adapun kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga perspektif hukum Islam sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik Al-Qur’an dan hadits diyakini semua umat Islam sebagai sumber acuan utama dalam semua tindakan. Kedua sumber tersebut dipelajari dan dikaji di lembaga pendidikan dan lapisan masyarakat, sehingga lumrah jika terjadi banyak penafsiran.

Al-Qur’an memberi perhatian bagi istri yang Nusyuz hal ini dijadikan dasar pemikiran Surat an-Nisa’ ayat 34. Dalam ayat ini yang dijadikan dasar memberi pelajaran bagi istri yang Nusyuz yaitu terdapat pada ayat

“wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkanya”.

Dalam tafsif al Azhar dijelaskan tindakan-tindakan yang patut dilakukan suami terhadap istri yang Nusyuz yaitu dengan cara “maka Dalam tafsif al Azhar dijelaskan tindakan-tindakan yang patut dilakukan suami terhadap istri yang Nusyuz yaitu dengan cara “maka

perempuan yang sudah memang patut dipukul 41 . Dari pemahaman surat an Nisa’ inilah banyak suami yang melakukan kekerasan

terhadap istri dalam segala bentuknya. Sebagian Ulama’ menafsirkan al-Qur’an tentang pemukulan ini, pertama , pemukulan tidak boleh di arahkan ke wajah, kedua, pemukulan tidak boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang paling ringan, seperti sapu tangan. Ketiga pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik. Keempat, pemukulan dilakukan dalam rangka sepanjang memberikan efek manfaat bagi keutuhan dan keharmonisan

kembali relasi suami istri 42 . Nabi Muhammad melarang seseorang melakukan kekejaman

dan penyiksaan. Beliau bersabda, “ tidak seorangpun boleh di jatuhi hukuman dengan api” dan juga memperingatkan agar tidak memukul siapapun pada wajahnya. Dalam hukum pidana, beberapa hukuman

41 Hamka , Tafsir al-Azhar , Juz V, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983. hlm. 48-49. 42 Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, LKiS,

Yogjakarta, Cet. I, 2004, hlm. 242.

mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Hukuman berat di ancam bagi beberapa kejahatan seperti perzinaan. Islam memandang kejahatan tersebut adalah perbuatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh lainnya adalah pencurian yang dikategorikan dalam hukuman hudud, Hukuman bagi kejahatan ini

adalah potong tangan. 43

2. Kekerasan Psikis Selain kekerasan fisik Islam juga memperhatikan kekerasan psikis, sebagaimana kisah Khaulah binti Tsalabah mengadu kepada Rasulullah karena selalu dicaci maki oleh suaminya Aus bin Samit, Khaulah seorang muslimah yang taat beribadah dan taat pada suami. Sehingga walaupun dicaci ia tetap bersabar, tetapi pada suatu hari hilanglah kesabaranya karena dizhihar suaminya, lantaran marah hanya karena pulang tidak ada makanan. Malam harinya Khaulah menolak dicampuri suaminya. Peristiwa ini diajukan pada Rasulullah lalu turunlah surat al Mujadalah ayat 1-6 tentang zhihar ayat ini mengandung makna agar para suami tidak mudah menzhihar

istrinya 44 . Ada sebuah hadits yang menjelaskan apabila seseorang telah

mengilla’ istrinya, mereka harus membayar kafarah ketika ia akan mengauli istrinya.

44 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm. 73. op cit, Siti Zumrotun, hlm. 111.

Artinya: dari Aisyah ra. Mengatakan “Rasulullah saw bersumpah illa’ terhadap istri-istrinya dan mengharamkan mereka, kemudian menjadikan yang haram menjadi halal dan menyebar kafarah tebusan sumpahnya”. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa illa’ itu merupakan sumpah untuk suami terhadap istrinya untuk tidak menggauli istrinya hingga waktu yang ditentukan.