Sintesis Biodiesel Dari Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO) Menggunakan Co-Solvent Deep Eutectic Solvent (DES)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Industri Kimia
Banyak proses kimia yang melibatkan larutan homogen untuk meningkatkan
laju reaksi. Namun, sebagian besar pelarut yang digunakan untuk reaksi adalah
senyawa organik volatil yang mudah menguap ke atmosfer [15]. Pelarut organik
volatil yang digunakan dalam jumlah besar sebagai media reaksi dalam industri
kimia sehari-hari berkontribusi sebagai sumber utama pencemaran lingkungan,
sehingga pergantian pelarut berbahaya yang mudah menguap dengan pelarut yang
mimiliki karakteristik yang lebih baik terhadap lingkungan, kesehatan dan
keselamatan merupakan suatu keharusan pada semua industri, seperti peningkatan
biodegradabilitas. Polusi dalam ekologi sintetis kimia dapat dihasilkan melalui
produk samping atau bahan awal yang tidak bereaksi serta media reaksi seperti
pelarut dan katalis. Oleh karena hal tersebut, maka pengembangan teknologi hijau
dengan hasil yang tinggi menjadi sangat penting dan ditemukan bahwa cairan
ionik/ionic liquids (ILs) menarik untuk digunakan dalam banyak reaksi organik [16].
ILs didefinisikan sebagai garam yang memiliki wujud cair pada suhu di
bawah 100 °C [17]. ILs telah muncul sebagai pelarut baru yang sesuai untuk
sejumlah aplikasi dan baru-baru ini cairan ionik (ILs) telah mendapat perhatian
dalam kimia modern karena penggunaannya yang luas, termasuk dalam bidang
katalisis, sintesis, analisis dan penyerapan gas [18,19]. ILs memiliki sifat

fleksibilitas, tidak volatil, tidak korosif, immiscibility dengan banyak pelarut organik,
memiliki hasil reaksi yang lebih tinggi dan selektif pada berbagai aplikasi untuk
menggantikan katalis homogen asam atau katalis heterogen konvensional [19].
Penyiapan ILs sebagai pelarut bebas dalam suatu proses secara jelas muncul sebagai
alternatif yang unggul dan dalam beberapa kasus untuk melarutkan substrat yang
polaritasnya berbeda membuat ILs menjadi pilihan pelarut ionik yang lebih menarik
[18]. Akan tetapi, meskipun semua sifat ILs berharga, seperti tekanan uap yang
rendah, stabilitas kimia dan stabilitas termal yang luar biasa dan dapat di daur ulang,
ILs tetap tidak sehijau yang diharapkan [16]. ILs masih memiliki keterbatasan,
seperti dalam hal biaya, pemurnian dan toksisitas. Dimana saat ini hal tersebut tidak
5

Universitas Sumatera Utara

jelas (tergantung pada struktur spesies kationik) dan untuk mendapat ILs dengan
kemurnian yang tinggi tidak mudah karena adanya pengotor akan dapat
mempengaruhi sifat fisikokimia dan aktifitasnya [20]. Hal tersebut merupakan
rintangan penting untuk implementasi praktis lanjut dari ILs [18].
Selanjutnya, dalam beberapa tahun terakhir muncul deep eutectic solvent
(DES) yang dianggap sebagai calon alternatif untuk menggantikan ILs. DES telah

mencapai peningkatan karena menjadi perhatian penting, baik dalam bidang
akademik maupun dalam bidang industri karena aplikasi potensinya sebagai pelarut
ramah lingkungan [21].

2.2 Deep Eutectic Solvent (DES)
Istilah DES telah diciptakan sebagai alasan untuk membedakan DES dengan
ILs dan juga untuk mencerminkan depresi titik beku yang besar pada campuran
eutektik. Dimana telah diamati depresi titik beku pada campuran eutektik dapat
sebanyak beberapa ratusan 0C [22]. Deep eutectic solvent (DES) terbentuk ketika
garam halida organik (biasanya choline cloride/ChCl) dikombinasikan dengan bahan
yang mampu membentuk kompleks dengan halida (seperti urea) untuk membentuk
suatu material yang cair pada kondisi kamar [23]. DES adalah larutan ion yang
membentuk suatu eutektik dengan titik lebur lebih rendah daripada salah satu dari
komponen penyusunnya [24]. Alasan dinamakan DES adalah karena ketika dua
komponen ditambahkan bersama-sama dalam rasio yang tepat titik eutektik dapat
dilihat. Titik eutektik campuran dapat dilihat dari gambar dibawah ini yang
merupakan suatu rasio molar dua senyawa yang mengupayakan titik lebur serendah
mungkin [22].

6


Universitas Sumatera Utara

Melting point of A

Liquid L

Solid A
doped
with B

Melting point of B

B+L

B+L

Eutectic Point

Solid B

doped
with A

A+B

Gambar 2.1 Diagram Representasi Teori Titik Eutektik Campuran [22]

2.3 Sintesis Deep Eutectic Solvent (DES)
Salah satu bidang terbesar DES adalah penggunaan garam amonium
kuaterner dan pengompleks donor ikatan hidrogen. Berbagai donor ikatan hidrogen
yang telah diamati melibatkan asam polikarboksilat, poliamida dan polyalkohol. DES
mudah untuk disintesis dalam keadaan murni karena tidak reaktif dengan air dan
sebagain besar biodegradable. Meskipun prinsip dasar cara DES bekerja sangat
mirip dengan ILs, DES tidak dianggap sebagai ILs karena DES tidak mengandung
anion dan kation sepenuhnya. DES mengandung kation dan anion dan lebih penting
lagi terdapat penyumbang spesies ikatan hidrogen juga. Hasil akhirnya sama, yaitu
terbentuk cairan yang terdiri atas kation dan anion, namun rute pengurangan energi
kisi dari sistem berbeda. Hal ini terjadi melalui donor ikatan hidrogen pengompleks
untuk anion dan dengan menggambar densitas elektron pada anion dari kation. Hasil
pemisahan dalam interaksi anion/kation yang lebih lemah merupakan saat ILs

mencapai suhu leleh rendahnya [22]. Selain itu, biaya yang rendah untuk mensintesis
DES membuat DES lebih diinginkan dari ILs untuk banyak aplikasi, seperti yang
membutuhkan sintesis skala besar suatu bahan fungsional baru atau yang berbasis
pada perangkat energi [24]. Pelarut ion DES juga telah digunakan untuk waktu yang
lama karena sifat pelarutnya yang menarik. DES pertama kali yang dilaporkan adalah
dari campuran choline cloride (ChCl) (garam organik) dan urea (donor hidrogen
ikatan) pada perbandingan 1:2 mol dan DES tersebut meleleh pada suhu terendah 13
7

Universitas Sumatera Utara

0

C. Campuran dari ZnCl2 dengan ChCl pada perbandingan molar 1:2 juga dilaporkan

memiliki titik beku dari 23 0C [15]
Sintesis DES dapat dibentuk dengan mengaduk secara perlahan garam dan
donor ikatan hidrogen pada suhu 100 0C sampai jernih dan cairan homogen terbentuk
(biasanya antara 0,5-2 jam). Rasio choline cloride/ChCl:donor ikatan hirogen yang
berbeda juga diuji (dari 1:0,5 mol s/d 1:2 mol) untuk mengetahui kombinasi yang

tepat yang akan mengarah pada depresi eutektik campuran dan hebatnya, semua DES
yang dibentuk menunjukkan titik leleh di bawah 100 0C [25].

2.4 Aplikasi Deep Eutectic Solvent (DES) dalam Bidang Biodiesel
Taubert, dkk.,(2014) telah melaporkan beberapa aplikasi dari DES sebagai
pengganti pelarut organik konvensional dalam reaksi biologis [26]. Selain itu, DES
dalam reaksi kimia juga telah banyak digunakan, seperti ekstraksi gliserol dari
biodiesel, elektrodeposisi dan ekstraksi logam, pemisahan dan pemurnian proses,
elektrokimia, sebagai bahan kimia, sebagai co-solvent dalam sintesis organik dan
anorganik dan sebagai biokatalisis [26,25].
Dari berbagai aplikasi penggunaan DES tersebut, Gu, dkk.,(2015)
melaporkan penggunaan DES berbasis choline chloride/gliserol (1:2) menjadi cosolvent dalam sintesis biodiesel menggunakan NaOH sebabagai katalis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa FAME dapat diperoleh hingga yield 98 % [11].
Selain itu, penggunaan DES sebagai co-solvent dalam sintesis biodiesel ini memiliki
kelebihan, seperti meminimalkan jumlah penggunaan pelarut volatil (metanol),
mempercepat dan memudahkan pemurnian biodiesel yang diperoleh.
Hayyan, dkk.,(2013) juga telah melaporkan penggunaan DES dalam
pengolahan minyak yang memiliki kandungan asam lemak bebas tinggi dan
melakukan sintesis biodiesel. Dalam penelitian digunakan low grade crude palm oil
(LGCPO) atau minyak sawit mentah kelas rendah yang memiliki kandungan asam

lemak bebas yang tinggi kandungan (FFA) yang diperkenalkan sebagai kemungkinan
bahan baku alternatif dalam produksi biodiesel. Pengolahan awal LGCPO dilakukan
dengan menggunakan DES yang terdiri dari donor ikatan hidrogen berbasis
ammonium (yaitu p-toluenesulfonic acid monohydrate/PTSA) dan garam (yaitu N,Ndiethylenethanol ammonium chloride). Pada reaksi esterifikasi yang dilakukan,

8

Universitas Sumatera Utara

kandungan FFA dari LGCPO berkurang dari 9,5 % menjadi kurang dari 1%. Dari
hasil penelitian pada kandungan FFA 0.6±0.01% dan diperoleh konversi FFA
menjadi FAME 93,67 % dan diperoleh yield sebesar 93 % [27].

2.5 Sintesis Biodiesel
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh banyak peneliti, biodiesel
(metil ester) dapat dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewani atau minyak goreng
bekas. Secara global, ada lebih dari 350 tanaman yang diidentifikasi sebagai sumber
potensial untuk produksi biodiesel. Baru-baru ini, biodiesel dari minyak nabati yang
merupakan sumber daya terbarukan telah menjadi lebih menarik karena manfaatnya
terhadap lingkungan, terutama minyak kelapa sawit karena memiliki kandungan

minyak yang tinggi dan tingkat produksi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan
energi di masa depan. Di Asia, biodiesel dominan berasal dari minyak sawit, di
Amerika berasal dari minyak kedelai dan di Eropa dominan dari minyak kanola
Beragam bahan baku yang tersedia untuk produksi biodiesel tersebut merupakan
salah satu faktor yang paling signifikan untuk produksi biodiesel [28].
Biodiesel didefinisikan sebagai asam lemak metil ester (FAME) atau asam
lemak etil ester (FAEE) dari minyak nabati atau lemak hewani [29]. Saat ini,
biodiesel sangat diminati untuk dikembangkan karena emisinya yang lambat dan
sifat kimianya yang tidak beracun, biodegradable dan memiliki karbon yang netral
[30]. Kandungan oksigen yang tinggi
≈10wt%)
(
pada biodiesel memungkinkan
pembakaran sempurna pada mesin, sehingga menghasilkan emisi gas buang seperti
jumlah partikulat, hidrokarbon, gas CO, CO2 dan SOx yang lebih rendah dan
menjadikan bahan bakar biodiesel ramah lingkungan [13]. Keuntungan yang
signifikan antara biodiesel dan bahan bakar diesel konvensional berbasis fosil adalah
emisi mesin lebih bersih, merupakan sumber energi terbarukan dan dapat sebagai
properti pelumas superior, sehingga menjadikannya sebagai bahan bakar alternatif
yang sangat baik [29].

Biodiesel diproduksi melalui reaksi transesterifikasi minyak nabati atau
lemak hewani dengan metanol (etanol) untuk mendapatkan mono alkil ester, seperti
yang ditunjukkan dalam gambar 2.1 [31].

9

Universitas Sumatera Utara

CH2
HC
H2C

O
OC R1
O
OC R2
O
OC R3

Trigliserida


R1 COO
+ 3R’OH

Katalis

Alkohol

R’

R2

COO

R’ +

R3

COO R’
Ester


CH2

OH

HC

OH

H2C

OH

Gliserol

Gambar 2.2 Reaksi Transesterifikasi [32]
Alkohol dengan rantai pendek seperti metanol, etanol, dan butanol adalah
alkohol yang banyak digunakan dalam sintesis biodiesel. Pemilihan alkohol
didasarkan pada beberapa faktor termasuk pertimbangan biaya dan kinerjanya. Dari
beberapa jenis alkohol yang banyak digunakan, metanol dan etanol jauh lebih
disukai. Hal tersebut dikarenakan metanol lebih murah dan menguntungkan dari segi
sifat fisika maupun sifat kimia dan etanol merupakan alkohol yang ramah lingkungan
karena dihasilkan dari sumber daya terbarukan [32].
Namun, terdapat setidaknya dua hambatan terkait dengan sintesis biodiesel
dengan proses konvensional, yaitu: (1) adanya keterbatasan perpindahan massa dan
laju reaksi yang rendah karena sistem biphasic antara campuran minyak dengan
metanol dan (2) terjadi kesulitan dalam pemurnian produk (menghapus pengotor,
seperti sabun, residu katalis, sisa metanol, gliserol dan air) [11].
Sejumlah proses telah dikembangkan untuk sintesis biodiesel, diantaranya
melibatkan katalis kimia, katalis enzim dan bahkan menggunakan reaksi nonkatalitik superkritis, microwave dan ultrasonik [30,29]. Katalis kimia basa seperti
alkali (NaOH, KOH, dan NaOCH3) telah banyak digunakan karena menghasilkan
konversi yang tinggi dari trigliserida menjadi metil ester [34,33]. Katalis alkali juga
telah terbukti lebih praktis diterapkan dalam industri karena waktu reaksi yang
singkat dan bersifat non-korosif, sedangkan katalis asam menimbulkan korosi pada
peralatan dan laju reaksi yang relatif lambat [32,34]. Selain itu, katalis alkali juga
lebih murah bila dibandingkan dengan enzim [32]. Akan tetapi, katalis alkali juga
memiliki kekurangan, yaitu dapat terjadi saponifikasi pada produk, terutama terjadi
pada minyak atau lemak dengan kadar asam lemak bebas yang lebih dari 0,5% (b/b)
atau kadar air di atas 2% (v/v) [31]. Selain itu, transesterifikasi menggunakan katalis
kimia memiliki beberapa kelemahan

yang tidak dapat dihindari, seperti

10

Universitas Sumatera Utara

membutuhkan energi dan konsumsi metanol yang tinggi, menghasilkan sejumlah
besar limbah pada saat pemurnian biodiesel dan kesulitan dalam pemulihan gliserol
[33]. Sedangkan gliserol masih dapat digunakan untuk industri sabun dan kosmetik
[32].
Saat ini, sintesis biodiesel dengan reaksi proses yang baru dan reaktor yang
baru juga semakin diteliti, seperti reaksi non-katalitik superkritis, ultrasonik dan
microwave, reaktor baru dan sebagainya [11]. Sintesis biodiesel menggunakan reaksi
non-katalitik superkritis memiliki kelebihan, yaitu merupakan metode alternatif yang
memecahkan masalah saponifikasi dalam sintesis biodiesel serta menghasilkan
tingkat reaksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan transesterifikasi
konvensional. Namun, persyaratan suhu tinggi, tekanan tinggi dan rasio molar tinggi
antara alkohol dan minyak membuat proses ini mahal untuk skala industri [33,31].
Selain itu, penggunaan co-solvents seperti n-heksana, benzena, tetrahidrofuran (THF)
dan cairan ionik juga diperkenalkan sebagai co-solvents untuk meningkatkan
miscibility minyak dan metanol serta untuk meningkatkan aktivitas katalis. Akan
tetapi, meskipun banyak upaya penelitian tersebut, banyak dari metode baru masih
memiliki masalah, seperti hasil produk yang rendah, proses canggih, konsumsi energi
yang tinggi, biaya tinggi dan bahaya lingkungan [11].
Deep eutectic solvent (DES) baru-baru ini muncul sebagai generasi baru
dalam pelarut ionik dengan biaya rendah. Beberapa penulis juga manyatakan DES
sebagai ILs yang baik karena DES memiliki sifat fisik dan sifat pelarut yang
sebanding dengan ILs, seperti densitas, viskositas, indeks bias, konduktivitas dan
tegangan permukaan [35,36]. Akan tetapi, DES memiliki kelebihan, yaitu tidak
beracun, tidak reaktif dengan air dan biodegradable, sehingga berpotensi sebagai
pelarut ramah lingkungan yang dapat menggantikan ILs dalam berbagai aplikasi
industri karena karakteristik yang sama tersebut [37,3].

11

Universitas Sumatera Utara