Makalah Asuransi - Makalah

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM ASURANSI
DI INDONESIA

2.1. Pengertian Dan Dasar Hukum Asuransi
Di Indonesia, pertanggungan adalah istilah asuransi sering digunakan,
istilah ini tampaknya mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu assurantie
(asuransi) danverzekering (pertanggungan). Secara yuridis pengertian Asuransi
atau pertanggungan menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD):
Asuransi mempunyai pengertian sebagai berikut: Asuransi atau
pertanggungan adalah suatu persetujuan, dimana penanggung kerugian diri
kepada tertanggung dengan mendapat premi, untuk mengganti kerugian
karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya suatu keuntungan yang
diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih
dahulu.
Pada tanggal 11 Februari 1992, pemerintah mengatur secara spesifik dan
mengundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian, dimana istilah Asuransi menurut Pasal 1 angka (1):
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dimana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan

menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang
diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
memungkinkan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggalnya atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan.
Perlu diketahui, bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian hanya mengatur mengenai usaha

19

perasuransian saja dan bukan mengatur mengenai substansi dari asuransi itu
sendiri. Oleh karenanya dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak menghapus ketentuanketentuan mengenai asuransi yang diatur dalam KUHD yang dibuat pada masa
kolonial Belanda.1
Dalam konteks asuransi erat kaitannya dengan risiko, evenemen dan ganti
kerugian.
a. Risiko
Risiko dapat diartikan juga sebagai beban kerugian yang diakibatkan

karena suatu peristiwa yang tidak diinginkan.Besarnya risiko tersebut dapat
diukur dengan nilai barang yang diserang dan merugikan pemiliknya. 2
Dalam hukum asuransi, bahaya yang menjadi beban penanggung
merupakan peristiwa penyebab timbulnya kerugian, cacat badan atau
kematian atas obyek asuransi.
Kriteria atau ciri risiko dalam asuransi adalah sebagai berikut3:
1) Bahaya yang mengancam benda atau obyek asuransi.
2) Berasal dari faktor ekonomi, alam atau manusia.
3) Diklarifikasikan menjadi risiko pribadi, kekayaan dan tanggung jawab.
4) Hanya berpeluang menimbulkan kerugian.
b. Evenemen Dalam Asuransi
Evenemen adalah istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda evenement
yang berarti peristiwa tidak pasti.Evenemen atau peristiwa tidak pasti adalah
1

M. Suparman Sastrawidjadja dan Endang, 1993, Hukum Asuransi, Perlindungan
Tertanggung Asuransi Deposito, Bandung, hal. 50.
2
Emmy Pangarimbuan Simanjuntak, 1975, Hukum Pertanggungan dan
Perkembangannya, FH-UGM, Yogyakarta, E.P.S I, hal. 79-81.

3
Ibid, hal. 82

peristiwa terhadap mana asuransi diadakan tidak dipastikan terjadi dan tidak
diharapkan terjadi. Adapun pengertian evenemen jika dirumuskan adalah:4
Evenemen adalah menurut pengalaman manusia normal tidak dapat
dipastikan terjadi, atau walaupun sudah pasti terjadi, saat terjadinya tidak
dapat ditentukan dan juga tidak dapat diharapkan akan terjadi, jika terjadi juga
akan menyebabkan kerugian.
Dalam hukum asuransi, evenemen yang menjadi beban penanggung
merupakan

peristiwa

penyebab

timbulnya

kerugian


atas

obyek

asuransi.Selama belum terjadi penyebab timbulnya kerugian, selama itu pula
bahaya yang mengancam obyek asuransi disebut risiko.5 Apabila risiko itu
sungguh-sungguh

menjadi

kenyataan,

maka

risiko

berubah

menjadi


evenement, yaitu peristiwa yang menimbulkan kerugian. Dalam hal ini risiko
menjadi beban ancaman penanggung. Oleh karena itu dapat kita pahami ciriciri evenemen adalah sebagai berikut:6
1. Peristiwa yang terjadi itu menimbulkan kerugian.
2. Terjadinya itu tidak diketahui, tidak dapat

diprediksi terlebih

dahulu.
3. Berasal dari faktor ekonomi, alam dan manusia.
4. Kerugian terhadap diri, kekayaan dan tanggung jawab seseorang.

4

Abdulkadir, 1999, Hukum Asuransi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 120.
Joko Waskito Dewantoro, 1996, Klaim Asuransi Jiwa atas Evenement yang Sengaja
Dilakukan oleh Tertanggung,( Skripsi ), Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin,
Makasar, hal. 10.
6
Abdulkadir, Op.Cit, hal. 121.
5


c. Kerugian dalam Asuransi
Evenemen erat sekali persoalannya dengan ganti kerugian. Akan tetapi
tidak setiap kerugian (loss) akibat evenemen harus mendapat ganti kerugian.
Antara evenemen yang terjadi dan kerugian yang timbul ada hubungan kausal.
Evenemen adalah sebab dan kerugian adalah akibat .jika sudah dipastikan
evenemen yang terjadi itu dijamin oleh polis dan karenanya menimbulkan
kerugian, penanggung terikat untuk membayar ganti kerugian.
Tujuan dari asuransi adalah untuk meringankan beban risiko yang dihadapi
oleh tertanggung dengan memperoleh ganti rugi dari penanggung sedemikian rupa
hingga7:
a) Tertanggung terhindar dari kebangkrutan sehingga dia masih mampu
berdiri seperti sebelum menderita kerugian.
b) Mengembalikan tertanggung kepada posisi semula seperti sebelum
menderita kerugian.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, asuransi dibedakan
atas:
a) Asuransi kebakaran (Pasal 287-298 KUHD)
b) Asuransi hasil pertanian (Pasal 299-301 KUHD)
c) Asuransi Jiwa (Pasal 302-308 KUHD)

d) Asuransi Pengangkutan Laut dan Perbudakan (Pasal 592-685 KUHD).
e) Asuransi pengangkutan darat, sungai dan perairan pedalaman (Pasal
686-695 KUHD).

7

Radiks Purba, 1997, loc,cit, Jakarta, hal. 3.

Asuransi dibedakan dalam 3 jenis, berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, yaitu:
a) Asuransi Kerugian
Tujuan asuransi atau pertanggungan kerugian adalah untuk mengganti
kerugian yang timbul pada harta kekayaan tertanggung, dalam hal ini tertanggung
ingin mengamankan kepentingan

yang melekat pada harta kekayaan.8

Kepentingannya atas harta kekayaan yang dapat dipertanggungkan mempunyai
sifat bahwa orang yang berkepentingan akan menderita kerugian apabila terjadi
sesuatu peristiwa yang menimpa kepentingan tersebut.9Jadi, ganti kerugiannya

ditujukan pada kemungkinan risiko yang timbul pada harta benda atau harta
kekayaan tersebut.

Dapat pula dikatakan pemberian ganti kerugian oleh

penanggung pada tertanggung berdasarkan suatu tafsiran kejadian nyata yang
diderita oleh tertanggung, jadi secara tegas jumlah kerugiannya belum bisa
ditentukan sebelum peristiwa terjadi. 10
b) Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa atau dapat pula disebut asuransi sejumlah uang.11 Pada
asuransi ini sejak permulaan perjanjian telah ditentukan sejumlah uang ganti
kerugian yang akan diberikan kepada tertanggung ketika risiko terjadi. 12Yang
dipertanggungkan

8

dalam

asuransi


ini

adalah

yang

disebabkan

oleh

H.M. N. Purwosutjipto, 1986, Pengertian Pokok Hukum Dagnag Indonesia (hukum
Pertanggungan), Penerbit Djambatan, Jakarta, hal. 16.
9
Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Op.Cit, hal. 46.
10
Sri Redjeki, 1985, Asuransi dan Hukum Asuransi, IKIP Semarang Press, Semarang,
hal. 164
11
Ibid, hal. 27
12

M. Suparman Sastrawidjaja, 2004, Hukum Asuransi, PT. Alumni Bandung, M.
Suparman Sastrawidjaja II, hal. 41

kematian.13Kematian dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan seseorang atau
suatu keluarga tertentu.14
c) Asuransi Sosial
Asuransi sosial yang dapat mewajibkan ialah pemerintah.Oleh karena itu,
seluruhnya diselenggarakan oleh pemerintah, dalam hal ini perusahaanperusahaan negara, atas dasar undang-undang atau peraturan lainnya.Hal ini dapat
dimengerti karena penyelenggaraan asuransi sosial memang diperuntukkan bagi
kesejahteraan dan kepentingan masyarakat luas.15
Adapun pembagian jenis-jenis asuransi atau pertanggungan yang
berorientasi pada pembagian menurut para sarjana dari negeri Belanda.16
1) asuransi kerugian (schade verzekering).
2) asuransi sejumlah uang (sommen verzekering).
Pembagian jenis lainnya, yaitu:17
1) Asuransi dengan premi, antara lain:
a) Asuransi kerugian terdiri dari:
a. Asuransi pengangkutan
b. Asuransi kebakaran
b) Asuransi sejumlah uang


13

A.Abbas Salim, 1989, Dasar-dasar Asuransi, (Principle of Insurance). Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 25.
14
Ibid.
15
Sri Redjeki Hartono, Op.Cit, hal. 26.
16
Samiadji, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan Ganti Kerugian, hal.10, dikutip dari Sri
Redjeki Hartono, 1985, Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia, IKIP Semarang Press,
Semarang, hal. 23
17
ibid.

c) Asuransi campuran antara asuransi ganti kerugian dan asuransi
sejumlah uang (asuransi varia)
2) Asuransi tanpa premi, antara lain:
Asuransi saling tanggung menanggung.
Sedangkan Sri Redjeki berpendapat bahwa jenis-jenis asuransi terbagi atas
sebagai berikut:18
a) Asuransi komersil, diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, terdiri dari
1) Asuransi kerugian
Yang termasuk asuransi ini, yakni:
a. Asuransi pengangkutan
b. Asuransi kebakaran
c. Asuransi kredit
d. Asuransi kendaraan bermotor
2) Asuransi sejumlah uang (asuransi jiwa)
a. Asuransi hari tua
b. Asuransi beasiswa
c. Asuransi dwiguna
b) Asuransi sosial diselenggarakan oleh pemerintah, terdiri dari:
1) Asuransi kecelakaan penumpang
2) Asuransi kesehatan pegawai
3) Asuransi sosial tenaga kerja

18

Ibid, hal. 25-28

2.2 Subyek dan Obyek Asuransi
Subyek dalam perjanjian asuransi adalah pihak-pihak yang bertindak aktif
mengamalkan perjanjian itu, yaitu pihak tertanggung, pihak penanggung dan
pihak-pihak yang berperan sebagai penunjang perusahaan asuransi.19
a. Penanggung
Pengertian penanggung secara umum adalah pihak yang menerima
risiko di mana dengan mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau
membayar sejumlah uang yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak
dapat diduga sebelumnya, yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. 20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian menyebutkan bahwa penyelenggara usaha perasuransian
atau pihak yang bertindak sebagai pihak penangung hanya boleh dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perusahaan perseroan (persero), koperasi,
perseroan terbatas dan usaha bersama (mutual).21
Badan hukum penyelenggara perasuransian dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian, disebut
perusahaan perasuransian, yaitu:
a) Perusahaan asuransi kerugian, yaitu perusahaan atau usaha asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan
manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti.

19

Neo Yesi Pandansari, 2007,Op.Cit , Tesis, Magister Kenotariatan Pasca Sarjana,
Universitas DIponegoro, Semarang, hal.36
20
M. Suparman Sastrawidjadja, Endang, Op.Cit, hal. 21.
21
Neo Yesi pandansari, Loc.Cit, hal. 39.

b) Perusahaan asuransi jiwa, yaitu perusahaan atau usaha asuransi yang
memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan
hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
c) Perusahaan reasuransi, yaitu perusahaan atau usaha asuransi yang
memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atau perusahaan asuransi
jiwa.
b. Tertanggung
Pengertian tertanggung secara umum adalah pihak yang megalihkan
risiko kepada pihak lain dengan membayarkan sejumlah premi.22
Berdasarkan Pasal 250 KUHD yang dapat bertindak sebagai
tertanggung adalah sebagai berikut:
Bilamana seseorang yang mempertangggungkan untuk diri sendiri,
atau seseorang, untuk tanggungan siapa diadakan pertanggungan oleh
seorang pertanggungan tidak mempunyai kepentingan atas benda tidak
berkewajiban mengganti kerugian.
Berdasarkan Pasal 250 KUHD tersebut yang berhak bertindak sebagai
tertanggung adalah pihak yang mempunyai interest (kepentingan) terhadap
obyek yang dipertanggungkan. Apabila kepentingan tersebut tidak ada, maka
pihak penanggung tidak berkewajiban memberikan ganti kerugian yang
diderita pihak tertanggung.
Pasal 264 KUHD menentukan, selain mengadakan perjanjian asuransi
untuk kepentingan diri sendiri, juga diperbolehkan mengadakan perjanjian
asuransi untuk kepentingan pihak ketiga, baik berdasarkan pemberian kuasa
22

Neo Yesi Pandansari, Loc.Cit, hal. 39

dari pihak ketiga itu sendiri ataupun di luar pengetahuan pihak ketiga yang
berkepentingan.Tertanggung

dalam

pelaksanaan

perjanjian

asuransi

mempunyai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan, sehingga apabila
terjadi peristiwa yang tidak diharapkan yang terjamin kondisi polis maka
penangung dapat melaksanakan kewajibannya.
c. Obyek Pertanggungan
Pasal 268 KUHD mengatur:
Pertanggungan dapat berpokok semua kepentingan, yang dapat dinilai
dengan uang, diancam oleh suatu bahaya dan oleh undang-undang tidak
terkecualikan”.
Kepentingan sebagaimana yang diatur dalam pasal tersebut tidak berlaku
bagi asuransi sejumlah uang (jiwa), dimana terdapat hal-hal tertentu yang tidak
dapat dinilai dengan uang atau bersifat hubungan material, yang bersifat
kekeluargaan dan hubungan cinta kasih antara keluarga.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1992 menyatakan obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan
manusia, tanggungjawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat
hilang, rusak, rugi atau berkurang nilainya.
Asuransi sebagai suatu perjanjian pengalihan risiko menganut prinsipprinsip atau asas yang sangat penting mengingat transaksi asuransi melibatkan
keuangan masyarakat secara umum yang secara tidak langsung juga karena

membawa pengaruh terhadap perekonomian sebuah negara. Prinsip-prinsip dalam
asuransi tersebut adalah:23
1) Prinsip kepentingan (insurable interest)
Prinsip kepentingan sangat erat dengan prinsip indemnity.Prinsip kepentingan
adalah hak yang sah untuk mempertanggungkan atau adanya hubungan antara
tertanggung dengan obyek pertanggungan sedemikian rupa sehingga
tertanggung yang menderita kerugian keuangan sebagai akibat terjadinya
kerusakan, kerugian atau kehancuran pada objek pertanggungan.Insurable
interest atau kepentingan yang dapat dipertanggungkan, artinya tertanggung
mempunyai kepentingan keuangan yang legal objek yang dipertanggungkan.
Pasal 250 KUHD mengatur bahwa:
Apabila seorang yang telah mengadakan pertanggungan untuk dirinya
sendiri, atau apabila seorang yang untuknya telah diadakan suatu
pertanggungan, pada saat diadakannya pertanggungan itu tidak
mempunyai kepentingan terhadap barang yang dipertanggungkan itu,
maka penangung tidaklah diwajibkan memberikan ganti rugi.
Ketentuan di atas mensyaratkan adanya kepentingan dalam mengadakan
perjanjian asuransi dengan akibat penanggung tidak diwajibkan untuk
memberikan ganti rugi jika tidak ada kepentingan tertanggung.
2) Prinsip Itikad Baik atau Prinsip Kejujuran yang Sempurna (Utmost Good
Faith)
Dalam perjanjian asuransi seperti juga pada perjanjian pada umumnya,
unsur saling percaya antara penanggung dan tertanggung itu sangat penting.
Penanggung percaya bahwa apabila terjadi risiko yang dipertanggungkan
23

hal. 62-70.

Chairul Huda, dkk, 2006, Tindak Pidana dalam Bisnis Asuransi, Citra Aditya Bakti,

maka penanggung akan membayar ganti rugi. Saling percaya ini dasarnya
adalah itikad baik.
Mengenai itikad baik ini, Pasal 251 KUHD mengatur bahwa:
Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung.
Betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga
seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya,
perjanjian itu tidak akan ditutup atau tidak ditutup dengan syarat-syarat
yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
Dari ketentuan tersebut di atas, asuransi menjadi batal apabila
tertanggung memberikan keterangan yang keliru atau tidak benar atau sama
sekali tidak memberikan keterangan. Di samping itu tidak dipersoalkan
apakah tertanggung beritikad baik atau buruk, karena tujuan utamanya adalah
melindungi penanggung.
3) Prinsip Keseimbangan (Indemnity)
Perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti rugi terhadap kerugian
yang diderita oleh tertanggung disebabkan oleh risiko sebagaimana
diperjanjikan dalam polis.Besarnya nilai ganti rugi adalah seimbang dengan
kerugian yang diderita oleh tertanggung.Prinsip keseimbangan diatur secara
tegas dalam Pasal 253 KUHD, “kerugian/kerusakan yang diderita oleh
tertanggung akan diganti oleh penanggung secara seimbang sesuai dengan
kerugian riil yang diderita.
Tujuan pemberian ganti rugi adalah untuk mengembalikan posisi
keuangan tertanggung atas obyek pertanggungan yang mengalami kerugian
kepada posisi semula sesaat sebelum terjadinya kerugian.24

24

Chairul Huda, Ibid,

4) Prinsip Subrogasi
Prinsip ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari prinsip
indemnity, bahwa penanggung hanya wajib memberikan ganti rugi kepada
tertanggung sebesar kerugian yang dideritanya. Apabila tertanggung setelah
menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan pada pihak lain,

yang

karena kesalahannya pihak ketiga itu menimbulkan kerugian maka
tertanggung tidak berhak menerimanya, dan hak itu beralih kepada
penanggung.
Prinsip subrogasi diatur secara tegas dalam Pasal 284 KUHD:
Seseorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang
yang dipertanggungkan, menggantikan si penanggung dalam segala
hak yang diperolehnya terhadap orang-orang ketiga berhubungan
dengan penerbitan kerugian tersebut, dan si tertanggung itu adalah
bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat merugikan hak
si penanggung terhadap orang-orang ketiga itu.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa subrogasi adalah
penggantian kedudukan tertanggung oleh penanggung yang telah membayar
ganti kerugian, dalam melaksanakan hak-hak tertanggung kepada pihak ketiga
yang menyebabkan terjadinya kerugian.25
5) Prinsip Kontribusi/Saling Menanggung
Apabila atas suatu obyek asuransi yang dijamin oleh beberapa penanggung
pada waktu yang bersamaan, maka masing-masing penanggung itu menurut
imbalan dari jumlah untuk mana mereka menandatangani polis, hanya akan
memikul harga yang sebenarnya dari kerugian yang diderita oleh tertanggung.
Pasal 278 KUHD mengatur:
25

Chairul Huda, Ibid,

Apabila dalam satu-satunya polis, meskipun pada hari-hari yang berlainan
oleh berbagai penangugng telah diadakan penanggungan yang melebihi
harga, maka mereka itu bersama-sama, menurut keseimbangan daripada
jumlah-jumlah untuk mana mereka telah menandatangani polis tadi
memikul hanya harga sebenarnya yang dipertanggungkan. Ketentuan yang
sama berlakunya, apabila pada hari yang bersamaan, mengenai satusatunya barang, telah diadakan berbagai penanggungan.

6) Prinsip Sebab Akibat
Dalam prinsip sebab akibat, bahwa kerugian yang terjadi, haruslah
oleh suatu sebab atas risiko yang merupakan tanggungan penanggung.Jika
tidak maka penanggung dibebaskan dari kewajibannya membayar ganti rugi. 26
Salah satu prinsip-prinsip tersebut ada hak subrogasi dimana penanggung
menggantikan tertanggung dalam hak penuntutan terhadap pihak ketiga.Hal ini
telah diperjanjikan terlebih dahulu dalam bentuk perjanjian tertulis antara
penanggung dan tertanggung.Perjanjian tertulis disebut dengan polis.27
Polis adalah ikatan persetujuan antara penanggung dengan tertanggung
sebagaimana yang ditetapkan dalam KUHD Pasal 225 yang menyatakan bahwa:
Pertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi
nama polis.
Dalam asuransi kendaraan bermotor Indonesia dikenal adanya polis
standar kendaraan bermotor yang dikeluarkan Dewan Asuransi Indonesia atau
Polis Standar Kendaraan Bermotor-Dewan Asuransi Indonesia (PSKB-DAI).Pada
umumnya semua perusahaan asuransi menggunakan PSKB dan melakukan

26

Chairul huda, Ibid.
Chairul Huda, Ibid.

27

modifikasi polis tersebut untuk memenuhi permintaan pasar, disebut sebagai
tailormade policy.
Berdasarkan PSKB-DAI dikaitkan dengan luas jaminan meliputi
kelompok besar yakni polis gabungan.
a. Pertanggungan gabungan
Luas jaminan pertanggungan ini di pasar asuransi dikenal dengan all risk,
meliputi pertanggungan;
1) Kerugian dan kerusakan atas casco atau fisik kendaraan tersebut (physical
damage or material damage) akibat kecelakaan, niat jahat orang lain
(malicious damage).
2) Kerusakan dan kerugian karena pencurian.
3) Kerusakan dan kerugian karena kebakaran.
4) Biaya Derek/penarikan kendaraan di jalan raya atau tempat kejadian.
5) Tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
b. Pertanggungan kerugian total semata atau TLO (Total Lost Only)
Penanggung hanya mengganti kerugian keseluruhan atau TLO
terhadap kerangka kendaraan (casco), kerugian dapat berupa teknis total loos
maupun constructive total loss, sesuai persyaratan polis.
c. Polis pertanggungan tanggungjawab hukum terhadap pihak ketiga semata
kerugian dan kerusakan yang dialami pihak ketiga atau orang lain, meliputi:
1. Harta benda.
2. Luka badan dan jiwa meninggal dunia.
3. Biaya perkara dan ongkos bantuan ahli hukum (lawyersatau advokat).

Tujuan dari asuransi adalah untuk meringankan beban risiko yang dihadapi
oleh tertanggung dengan memperoleh ganti rugi dari penanggung sedemikian rupa
hingga:28
a) Tertanggung terhindar dari kebangkrutan sehingga dia masih mampu
berdiri seperti sebelum menderita kerugian.
b) Mengembalikan tertanggung kepada posisi semula seperti sebelum
menderia kerugian.
2.3.Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi
Pasal 247 KUHD menyebutkan beberapa jenis asuransi yaitu
asuransi kebakaran, asuransi hasil pertanian, asuransi jiwa dan asuransi
pengangkutan.Akan tetapi dalam praktek jenis-jenis asuransi tersebut lebih
banyak dibandingkan dengan jenis-jenis yang disebutkan dalam Pasal 247
KUHD.
Di dalam Pasal 247 KUHD tersebut terdapat kata-kata antara lain,
menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak 29 bahwa:
“Pasal 247 KUHD itu secara yuridis adalah tidak membatasi atau
menghalangi timbulnya jenis-jenis pertanggungan lain menurut kebutuhan
masyarakat. Hal ini dapat kita dasarkan pada kata-kata “antara lain” yang
terdapat di dalam Pasal 247 KUHD.Dengan demikian sifat dari Pasal 247
KUHD hanyalah menyebutkan beberapa contoh saja atau numeratif.

28

Chairul Huda, Ibid.
Simanjuntak,Emmy Pangaribuan II,
Perkembangannya, FH-UGM, Yogyakarta, hal. 43.
29

1990,

Hukum

Pertanggungan

dan

Dengan

demikian

para

pihak

dapat

juga

memperjanjikan

adanya

pertanggungan dalam bentuk lain”.
Jadi tumbuhnya jenis-jenis baru di bidang asuransi memang tidak
dilarang oleh undang-undang.Hal ini karena berdasarkan Pasal 247 KUHD
tersebut di atas, dibuka kemungkinan untuk lahirnya asuransi -asuransi
baru selain yang disebutkan di atas.
Seperti yang dikemukakan oleh R. Subekti, 30 bahwa hukum
perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat
untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
Dengan demikian adanya jenis-jenis baru di bidang asuransi yang
menjadi dasar hukumnya adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya”.Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata di atas disebutkan perjanjian yang syah. Syahnya suatu perjanjian
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang menentukan bahwa:
“Untuk syahnya perjanjian-perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal”

30

R.Subekti, 1987, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 13.

Jadi perjanjian asuransi supaya syah harus memenuhi syarat -syarat
syahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata.
H.M.N. Purwosutjipto, 31
“Syarat-syarat sebagai yang ditentukan dalam Pasal 1320 dan Pasal
1321 KUH Perdata itu bagi perjanjian pertanggungan masih belum
memuaskan, karena itu ditambah lagi dengan ketentuan Pasal 251 KUHD,
yang mengharuskan adanya pemberitahuan tentang semua mengenai
keadaan yang diketahui oleh tertanggung mengenai benda pertanggungan”.
Jadi untuk perjanjian asuransi selain Pasal 1320 KUH Perdata juga
ditambah dengan Pasal 251 KUH Dagang dalam sub c dari Pasal 1320
KUH Perdata mengenai obyek tertentu dalam perjanjian asuransi adalah
kepentingan yang diasuransikan. Kepentingan dalam perjanjian asuransi
mutlak harus ada.Apabila tidak ada maka perjanjian asuransi itu batal
(Pasal 250 KUH Dagang).
Sehubungan dengan timbulnya jenis baru dalam bidang asuransi,
kepentingan itu dapat diasuransikan asal memenuhi syarat yang ditentukan
dalam Pasal 268 KUHD yaitu:
a. Dapat dinilai dengan uang.
b. Dapat diancam oleh suatu bahaya.
c. Tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Apabila melihat Pasal 268 KUHD, maka semua yang merupakan
kepentingan

31

yang

memenuhi

syarat-syarat

di

atas

dapat

H.M.N. Purwosutjipto, 1986, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku ke 6
tentang Hukum Pertanggungan, Djambatan, Jakarta, hal.34.

diasuransikan.Akan tetapi mengenai syarat dapat dinilai dengan uang
kurang cocok untuk asuransi sejumlah uang, misalnya asuransi jiwa.Sebab
kepentingan disitu tidak dapat dinilai dengan uang, seperti hubungan
kekeluargaan, jiwa dan lain-lain.Oleh karena itu Pasal 268 KUHD itu
hanya

berlaku

untuk

asuransi

kerugian

saja,

misalnya

asuransi

deposito.Jadi walaupun kepentingan yang dapat diasuransikan itu belum
ada pengaturannya yang berhubungan dengan adanya ketentuan asur ansi,
maka berdasarkan kebutuhan dalam praktek untuk mengatasi risiko -risiko
baru boleh saja diantara mereka diadakan perjanjian asuransi (Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata) di atas, karena hal ini juga dimungkinkan oleh
ketentuan dalam Pasal 247 KUHD.
Dengan demikian, maka ketentuan KUHD maupun KUH Perdata
yang mendorong tumbuhnya jenis-jenis baru dalam bidang asuransi antara
lain Pasal 1338 ayat (1) Jo 1320 KUH Perdata, Pasal 246, 247, 248 Jo 250
KUHD.
Mengingatkan arti pentingnya perjanjian asuransi sesuai dengan
tujuannya sebagai suatu perjanjian yang memberikan proteksi, maka
perjanjian ini sebenarnya menawarkan suatu ketidakpastian mengenai
kerugian-kerugian ekonomis karena suatu peristiwa yang belum pasti.
Perjanjian asuransi/pertanggungan sebagaimana h alnya dengan
perjanjian lain akan melahirkan hak dan kewajiban tertentu kepada pihak pihak yang terlibat. Oleh karena itu, perlu terdapat kepastian mengenai
kapan mulai berlakunya perjanjian asuransi tersebut.

Untuk terjadinya perjanjian pertanggungan atau supaya perjanjian
pertanggungan itu sah, haruslah memenuhi syarat -syarat yang disebut
untuk suatu perjanjian. Secara umum sahnya suatu perjanjian diatur dalam
Pasal 1320 KUH Perdata beserta pasal-pasal yang melindungi pasal
tersebut yaitu pasal 1321 sampai dengan Pasal 1329 KUH Perdata.
Walaupun telah dipenuhinya ketentuan tersebut, pasal itu masih
kurang cukup memberikan perlindungan bagi penanggung, sehingga diatur
lagi

dalam

Pasal

251

KUHD,

yaitu

tentang

keharusan

adanya

pemberitahuan dari semua keadaan yang diketahui oleh tertanggung
mengenai benda yang dipertanggungkan.
Sementara itu, Pasal 255 KUH Dagang, menyebutkan, bahwa suatu
pertanggungan harus dibuat secara tertulis dalam suatu akta yang disebut
polis.Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa p asal tersebut seolaholah menggambarkan bahwa perjanjian pertanggungan itu baru berlaku sah
kalau terjadinya dengan suatu polis.Tetapi apabila menyima k ketentuan
Pasal 257 KUHD.Terjadinya perjanjian pertanggungan itu adalah setelah
adanya persesuaian kehendak diantara para pihak.
Dengan demikian jelaslah bahwa polis belum merupakan syarat
untuk adanya perjanjian pertanggungan, akan tetapi hanya merupakan
suatu alat pembuktian saja. Keadaan ini dipertegas lagi dalam Pasal 258
KUHD yang menyebutkan, bahwa untuk membuktikan hal ditutupnya
perjanjian tersebut, diperlukan pembuktian dengan tulisan, namun
demikian bolehlah lain-lain alat pembuktian dipergunakan juga, manakala

sudah ada suatu permulaan pembuktian dengan tulisan seperti yang telah
disebutkan di atas.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa polis tetap mempunyai
arti besar bagi tertanggung, sebab polis merupakan bukti yang sempurna
tentang apa yang mereka perjanjikan dalam perjanjian pertanggungan.
Dalam

hubungan

ini,

Emmy

Pangaribuan

Simanjuntak. 32Mengarahkan bahwa adalah bijaksana apabila dibuat suatu
akta, sedang perjanjian demikian adalah mengenai nilai keuangan yang
jumlahnya sangat besar, sehingga adalah sangat baik dan bijaksana,
apabila pihak-pihak dapat membuktikan secara tertulis, bahwa telah ada
perjanjian pertanggungan pada saat timbulnya kerugian.
Setelah penulis menguraikan atau membahas ketentuan Pasal 257
KUHD di muka, penulis berkesimpulan bahwa polis itu bukan merupakan
syarat mutlak, akan tetapi masing-masing pihak dapat memperjanjikan
lain. Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal
1338 sub (1) KUH Perdata, dapat saja kedua belah pihak memperjanjikan
bahwa polis merupakan syarat mutlak dalam perjanjian pertanggungan
yang diadakan.Hal ini berarti bahwa apabila polis belum dibuat, maka
perjanjian pertanggungan dapat dikatakan belum terbentuk.Kesimpulan ini
hendaknya tidak diartikan bahwa polis bukan merupakan syarat mutlak,
juga jangan diartikan bahwa adanya polis tersebut tidak penting. Oleh
karena

itu,

32

apa

yang

dikemukakan

oleh

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, 1998, Op.Cit, hal. 19.

Emmy

Pangaribuan

Simanjuntak, 33adalah tepat, bahwa polis merupakan alat bukti yang
sempurna tentang apa yang mereka perjanjikan, dan tanpa polis
pembuktian akan menjadi sulit dan terbatas.
Dalam
pertanggungan

praktik
dibuat

pertanggungan,
tanpa

hampir

dibuatnya

tidak

polis.Polis

ada

perjanjian

ini

hanyalah

merumuskan isi dari perjanjian antara para pihak, sehingga polis
merupakan alat bukti tentang isi perjanjian.
Dengan

maksud

untuk

mempermudah

pembuktian

adanya

pertanggungan itu, maka beberapa perusahaan telah mempunyai polis
standard.Di dalam polis standar ini, isi polis telah diberikan rumusan
secara spesifik dan sepihak oleh penanggung, sehingga menyerupai
perjanjian standard.
Pasal 256 KUHD memberi ketentuan tentang syarat-syarat suatu
akta dapat disebut sebagai polis merupakan syarat-syarat umum terjadinya
perjanjian asuransi, sudah penulis uraikan di atas.Oleh karena itu,
timbullah kebutuhan untuk menambah syarat-syarat lain yang khusus
berlaku bagi para pihak.Poin delapan dari Pasal 256 KUHD, memberi
kesempatan kepada para pihak untuk mengatur sendiri hal -hal yang
kiranya dianggap penting untuk diatur.

33

Simanjuntak, Emmy Pangaribuan, 1998, Op.Cit, hal 20

Syarat-syarat lain yang khusus ini adalah syarat-syarat yang belum
diatur dalam polis, tetapi oleh para pihak dianggap penting baginya.
Syarat-syarat ini dibagi dalam dua jenis, yaitu: 34
a. Syarat-syarat yang bersifat larangan
Yaitu syarat-syarat dimana dinyatakan bahwa pihak tertanggung
dilarang melakukan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman bilamana
larangan termaksud dilanggar oleh tertanggung, maka perjanjian
pertanggungan itu menjadi batal.
b. Syarat-syarat lain, yaitu semua syarat-syarat yang tidak mengandung
ancaman batalnya perjanjian pertanggungan, syarat untuk melanjutkan
perjanjian pertanggungan dan sebagainya. Misalnya, selesai nya jangka
waktu yang tersebut dalam polis itu dan sehabisnya tiap -tiap jangka
waktu yang berikut, maka perjanjian pertanggungan ini dianggap
menurut hukum telah diperpanjang untuk jangka waktu yang sama,
bilamana sekurang-kurangnya satu bulan di muka tidak menyatakan
penghentian

pertanggungan

ini

oleh

salah

satu

pihak

yang

bersangkutan kepada pihak lain dengan surat tercatat.
Dengan syarat ini diberi kesempatan kepada pihak tertanggung atau
penanggung untuk melanjutkan pertanggungan secara otomatis, dengan
kelonggaran membatalkan pertanggungan itu pada tanggal tersebut dalam
polis dengan suatu pemberitahuan maksud tersebut oleh pihak yang
menghendaki kepada pihak lain.
48

hal. 47.

Sri Redjeki Hartono I, 1985, Asuransi dan Hukum Asuransi, IKIP Press, Semarang,

Jadi, dalam hal ini adanya syarat lanjutan pertanggungan, apabila
tertanggung tidak berminat untuk melanjutkan pertanggungan atau ia lalai
melakukan

kewajibannya

seperti

tersebut

dalam

syarat

lanjutan

pertanggungan, maka penanggung berhak menuntut dari tertangung premi
yang bersangkutan dengan lanjutan pertanggungan. Sebaliknya bila
penanggung

bermaksud

untuk

menghentikan

atau

membatalkan

pertanggungan pada saat jangka waktu perjanjian pertanggungan habis
masa berlakunya, maka ia diwajibkan memberitahukan tersebut pada pihak
tertanggung.
2.4.Perusahaan Asuransi Sebagai Suatu Lembaga Peralihan R isiko
Suatu lembaga atau suatu institusi pada hakekatnya berada dan ada
di tengah-tengah masyarakat.Berbagai jenis lembaga ada dan dikenalkan
dalam masyarakat yang masing-masing mempunyai tugas sendiri.sesuai
dengan maksud dan tujuan dari tiap lembaga yang bersangkutan. Lembaga
yang

merupakan

organ

masyarakat

merupakan

“sesuatu”

yang

keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas sosial dan kebutuhan khusus
masyarakat. Jadi keberadaan suatu lembaga itu sebenarnya tidak untuk
memenuhi kepentingan dari lembaga itu sendiri atau kelompok orang
tertentu dan apalagi untuk kepentingan perorangan.
Karena pada hakekatnya lembaga itu bukan merupakan tugas akhir,
melainkan hanyalah suatu sarana belaka untuk suatu tujuan tertentu yang
ingin dicapai. Dengan demikian perbedaan antara lembaga yang satu
dengan yang lain, terletak pada tujuan dan tugas-tugas khusus serta

fungsi-fungsi yang khas yang melekat pada lembaga itu sendiri masingmasing.
Perusahaan, sebagai suatu lembaga ekonomi mempunyai ciri yang
lebih

khusus,

yaitu

membuat

karya

ekonomi

sebagai

tugas

dan

tujuannya. 35Sebagai lembaga ekonomi, maka perusahaan mempunyai tugas
dan tanggung jawab ekonomi yang bersumber pada dan harus dimulai dari
tujuan perusahaan itu sendiri.
Karena tujuan perusahaan itu selalu berada di luar perusahaan,
maka sebenarnya tujuan perusahaan itu tidak lain adalah

menciptakan

pelanggan. Dan pelanggan merupakan dasar dari perusahaan dan ialah
yang melestarikan adanya keberadaan suatu perusahaan, karena ia pulalah
yang memberikan pekerjaan bagi perusahaan. Sedangkan pelanggan selalu
membutuhkan adanya keputusan tertentu guna memenuhi kebutuhannya.
Dengan demikian dapatlah dimengerti pendapat P.F.Drucker, 36 yang
menyatakan bahwa pada hakekatnya perusahaan itu mempunyai 2 (dua)
fungsi pokok saja, yaitu:
1. Pemasaran pada suatu perusahaan menghasilkan pemasukan, sedangkan
kegiatan lainnya hanya menghasilkan pengeluaran sebagai pembiayaan.
Pemasaran yang mempunyai fungsi unik dari suatu perusahaan,
merupakan ciri yang dapat membedakannya dengan lembaga yan g lain
dalam masyarakat. Perusahaan itu selalu memasarkan sesuatu, baik

35

Peter F.Drucker, 1981, Tugas dan Tanggung Jawab Praktek, PT. Gramedia, Jakarta,

hal. 40.
36

Ibid, hal. 63.

produk tertentu atau jasa tertentu, sedangkan lembaga dan organisasi
lain sama sekali tidak mengenal pemasaran. Jadi perusahaan sebagai
organ

pertumbuhan

dan

perkembangan

ekonomi

harus

mampu

mengadakan pembaharuan yang merupakan fungsi pokok perusahaan.
2. Pembaharuan harus dapat terwujud sampai pada suatu taraf bagi
pencapaian kepuasan ekonomi tertentu. Lebih lanjut lagi perusahaan
harus lebih dapat menghasilkan produk dan jasa yang berbeda, yang
dapat menciptakan kepuasan baru. Misalnya dalam suatu perusahaan
asuransi, perlu ada suatu departemen khusus yang diberi tugas dan
tanggung jawab untuk mengembangkan pelayanan jenis risiko baru
yang

sesuai

dengan

kebutuhan

masyarakat

atau

pelanggan.

Pembaharuan organisasi penjualan, administrasi polis dan pengurusan
tuntutan klaim. Di samping itu harus ada departemen lain yang
bertanggung jawab untuk memperbaharui kebijaksanaan penanaman
perusahaan, sehingga tujuan akhir perusahaan asuransi dapat d icapai
dengan seksama.
Dalam tata pergaulan masyarakat khususnya masyarakat modern
seperti sekarang ini, membutuhkan suatu institusi atau lembaga yang
bersedia mengambil alih risiko-risiko masyarakat baik risiko individual
ataupun risiko kelompok.Masyarakat modern sampai saat in i mempunyai
kandungan risiko yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan waktu waktu yang lampau karena kemajuan teknologi di segala bidang.Kemajuan

teknologi yang sudah sedemikian rupa mempengaruhi kehidupan manusia,
dapat menimbulkan risiko yang semakin luas.
Lembaga

atau

institusi

yang

mempunyai

kemampuan

untuk

mengambil alih risiko pihak lain ialah lembaga asuransi, dalam hal ini
adalah perusahaan-perusahaan asuransi. Dalam masyarakat modern seperti
sekarang ini, perusahaan asuransi mempunyai peranan dan jangkauan yang
sangat luas, baik risiko individu maupun risiko-risiko kolektif.
Pada dasarnya perusahaan asuransi dalam kegiatannya, secara terbuka
mengadakan penawaran atau menawarkan suatu perlindungan atau proteksi
serta harapan pada masa yang akan datang kepada individu atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat atau institusi-institusi lain, atau
kemungkinan menderita kerugian lebih lanjut karena terjadinya suatu
peristiwa yang tidak tertentu atau belum pasti.
Jadi jelaslah bahwa usaha-usaha dalam kegiatan asuransi yang
dilakukan oleh perusahaan asuransi memberikan suatu dampak positif
yang luas baik secara terbatas pada antar individu usaha anggota
masyarakat, juga pada masyarakat luas.Secara lebih luas lagi, perusahaan
asuransi sesungguhnya juga memberikan lapangan pekerjaan dan sumber
pekerjaan bagi anggota masyarakat.Di samping itu perusahaan asuransi
dapat pula memberikan jaminan atas kelangsungan kehidupan perusahaan perusahaan dari kerugian ekonomi.Di samping itu perusahaan asuransi
juga memberikan jaminan atas terpenuhinya pendapatan seseorang, karena
tempat dimana yang bersangkutan bekerja tetap terjamin kelangsungan
kehidupannya.Dengan

demikian

perusahaan

asuransi

dapat

pula

memberikan rasa aman dan pasti atas suatu pendapatan yang pasti dan
tetap

bagi

anggota

masyarakat.Dengan

demikian

dapat

dikatakan

kehadiran perusahaan asuransi dalam masyarakat itu jauh lebih bermanfaat
bagi semua pihak dibandingkan dengan ketidakhadirannya.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari JWH. Van Oostveen, 37 yang
menyatakan bahwa sesungguhnya perusahaan asuransi itu secara langsung
atau tidak langsung mempunyai peranan yang penting dan besar dalam
bidang sosial maupun ekonomi.

37

hal. 21.

Van Oostveen J.W.H., 1946, Theorie en Praktijk der Bedrifs, Martinuss, Gravenhage,