T2 752016016 BAB VI

BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berangkat dari serangkaian kajian yang dilakukan, dimulai dari bagian
pendahuluan, tinjauan analistis, hingga desain pendekatan pastoral Tunjuitam
maka, ada beberapa hal yang kiranya dapat disimpulkan pada bagian akhir ini,
antara lain :
1. Tunjuitam merupakan konsensus nilai budaya yang berfungsi menyatukan
dan menjaga keutuhan keluarga. Di sisi yang lain Tunjuitam memiliki nilai
solidaritas sosial atas sebuah peristiwa kematian yang menimbulkan reaksi
kedukaan. Hal ini nampak dari proses belajar bersama dari kultur yang
diwujudkan lewat solidaritas dengan keluarga yang berduka dan proses
syukur mereka bersama komunitas jemaat. Kebersamaan saat kematian itu
terjadi, kaum keluarga/tetanggan bahkan jemaat datang ke rumah duka,
membantu secara material dan spiritual, di gereja tercipta rasa saling
menopang lewat doa dari semua orang, baik laki-laki, perempuan,
tua/muda, yang memiliki pekerjaan atau tidak, umat dan pelayan bahkan
dari strata sosial apapun.
2. Tunjuitam menyatakan nilai-nilai budaya melalui pola pikir dan tindakan.
Hal positif terlihat dari inisiatif jemaat sebagai bentuk persaudaraan, bahwa

walaupun gereja telah melakukan deregulasi terhadap peringatanperingatan kematian seperti 3,7,40 dan 100 kematian, Tunjuitam tetap
dijalankan dalam balutan kekeristenan sehingga deregulasi gereja terhadap
peringatan-peringatan kematian, yang sekaligus juga menghilangkan
berbagai “perangkat dan kebijaksanaan lokal” (cultural means and wisdom)
untuk membantu umat dalam menghadapi krisis situasional, dapat
digantikan lewat perjumpaan antara keluarga yang berduka dengan kaum
keluarga, pelayan dan komunitas jemaat. Orang yang berduka, butuh

128

ditemani, dikunjungi dan berbagi cerita. Tunjuitam secara langsung
memberi ruang itu.
3. Tunjuitam dinilai baik oleh orang di GATIK. Bukan Cuma karena sebuah
warisan yang dijalankan dari generasi ke generasi tetapi Tunjuitam
memiliki nilai-nilai yang luhur bagi orang di GATIK. Dengan melakukan
Tunjuitam, tidak lalu membuat orang yang berduka dengan cepat
menyelesaikan kedukaan mereka, butuh waktu dan proses untuk hal itu.
Namun, Tunjuitam memiliki hubungan dengan tindakan-tindakan pastoral,
misalnya, lewat nasihat, kata-kata penguatan, kehadiran sanak saudara/
tetangga /kerabat /pelayanan dan jemaat. Jika, sepuluh keluarga datang dan

memberi nasihat yang menguatkan, maka keluarga yang berduka
merasakan bahwa ada yang peduli dengannya, ada yang menemaninya saat
krisis kehidupan dialami dan Tunjuitam memberi ruang untuk siapa saja
untuk memberi dukungan.
4. Tunjuitam melibatkan banyak orang, baik keluarga, pelayan bahkan
komunitas jemaat. Dengan demikan Tunjuitam membuka ruang untuk siapa
saja menjadi konselor, entah keluarga dekat, tetangga, jemaat dan pelayan.
Walaupun, tugas pendampingan dan konseling tidak dipahami secara baik
dan bersifat normatif, tetapi doa, kebersamaan, nasihat adalah bagian dari
tindakan pastoral. Landasan filosofis Tunjuitam adalah falsafah yang
mengakar dalam hidup orang di GATIK. Oleh karena itu, nilai-nilai yang
terkandung dalam falsafah kumpul keluarga selanjutnya menjadi nilai-nilai
spiritual dari Tunjuitam, bisa dijadikan sebagai fungsi pastoral Tunjuitam
yang memiliki fungsi yang berbeda dengan lima fungsi yang disampaikan
oleh Clinbell yaitu : fungsi mendamaikan, fungsi menyembuhkan, fungsi
memperbaiki dan fungsi menyatuhkan. Inti dari fungsi-fungsi ini adalah
menyatukan yang terlihat dari hubungan kekerabatan secara genealogis
tetapi kemudian dalam hidup heterogen sekarang, Tunjuitam dipakai untuk
mengutuhkan kehidupan bersama, meniadakan sekat antara orang asli dan
pendatang, jabatan, serta tingkat sosial.


129

5. Pendampingan dan konseling pastoral kedukaan berlandaskan filosofi
kumpul keluarga memiliki kandungan nilai-nilai spiritual sebagai
pendekatan dan teknik: untuk mendamaikan, untuk menyembuhkan,
memperbaiki

relasi

horisontal

dan

vertikal,

dan

mengutuhkan


keluarga/jemaat. Keempat hal ini, bisa digunakan untuk mengatasi
masalah-masalah keluarga dan bersama (jemaat), yakni masalah konflik
internal, masalah luka batin, masalah lemahnya spiritualitas kristen dan
kesenjangan sosial.
6. Dengan asumsi bahwa kedukaan akibat kematian membutuhkan rasa
solidaritas bersama dan merupakan tanggung jawab kolektif sebagai ikatan
kekeluargaan/kekerabatan maka sasaran akhir dari pastoral Tunjuitam tidak
lain adalah mengarahkan keluarga/ kaum kerabat/ pelayan dan jemaat
untuk mampu menolong orang orang yang berduka agar tiba pada titik
penerimaan dan mampun menjadi agen pengutuhan bagi

hidup

kekeluargaan dan kekerabatan di jemaat GATIK. Hal ini, sangat terkait
dengan sebuah tugas luhur yang dijalankan oleh Gembala Agung, bahwa
setelah Yesus bangkit melawan kuasa maut dan dosa, Yesus tidak lalu pergi
dan mengasingkan diri. Dia memanfaatkan waktu 40 hari-nya selama
berada di dunia untuk “mendampingi” para muridNya. Ia menemui para
Muridnya (laki-laki/perempuan) satu per satu, sebab Dia tahu persis bahwa
para


MuridNya

merasakan

duka

yang

mendalam

dan

mereka

mengekpresikan perasaan duka mereka secara berbeda-beda, misalnya : ada
yang duduk berkelompok, ada mengasingkan diri karena takut, ada yang
melakukan perjalan kembali ke rumah dan ada yang sibuk dengan aktivitas
awal sebagai penjala ikan. Yesus mendampingi murid-muridNya dengan
berbagai cara sesuai dengan aktivitas dan konteks yang mereka alami.

Yesus betul-betul datang menjumpai mereka dengan berbagai cara,
diberbagai tempat dan di waktu yang berbeda. Yesus melakukannya tanpa
banyak bicara dan Ia mendampingi mereka berulang-ulang secara rutin dan
berkelanjutan.

Apa

yang

dilakukan Yesus

130

ini,

sebenarnya

mau

menyembuhkan luka batin (healing) para muridNya. Dia begitu peduli dan

peka terhadap masalah yang di alami oleh para muridNya.
7. Seseorang butuh waktu yang lama untuk menghilangkan perasaan duka.
Apalagi jika yang meninggal adalah orang yang sangat disayangi. Jadi,
perasaan duka yang bertahan lama itu wajar sebab setiap orang berduka
dengan cara yang berbeda-beda. Dari banyak pengalaman, menjelaskan
bahwa kebanyakan Pelayan Gereja dan komunitas orang percaya kepada
Yesus Kristus hanya terlibat sampai sampai pada upacara penguburan yang
dilanjutkan dengan ritualisasi syukur (Mahburek), setelah itu sama sekali
tidak ada pendampingan yang rutin dan berkelanjutan bagi orang
(umat/warga gereja) yang mengalami kedukaan. Memang, ada yang terlibat
dan melakukan ibadah syukur kematian di hari ke-3, 40,100 hari, namun itu
hanya sebagai sebuah ritualisasi dan tradisi belaka dan sama sekali tidak
dijadikan sebagai sebuah pendampingan yang rutin dan berkelanjutan dan
para pelayan Gereja lainnya. Apa yang menjadi realitas menunjukkan
bahwa kita sebagai pelayan Gereja belum mampu untuk melakukan tugas
pendampingan kepada orang berduka yang akhirnya membuka ruang yang
besar bagi orang berduka untuk terus merasakan kedukaannya. Yesus lewat
pola pelayananNya menawarkan banyak cara dalam mendampingi muridmuridNya dan cara-cara itu sesuai dengan konteks dan kebutuhan masingmasing. Ada yang Ia kunjungi sendiri. Ada yang Ia kunjungi ketika mereka
berdua. Ada yang Ia kunjungi ketika mereka bersama-sama. Ada yang Ia
kunjungi sambil makan pagi di pinggir danau, saat mereka berdoa,

beribadah, saat mereka menangis…dst.
8. Dari arti pelayanan, paparan fungsi pastoral dan cara pendampingan yang
ditampilkan oleh Yesus sebagai Gembala Agung, ternyata bahwa orang
berduka perlu untuk didampingi dan ini merupakan tugas dari komunitas
orang percaya, para Gereja lainnya. Ada banyak pola/model dan setting
yang bisa digunakan oleh Pelayan Gereja lainnya untuk melakukan
kunjungan kepada orang yang berduka. Sebab, memang betul kalau orang
yang berduka butuh kita sebagai Pelayan Gereja, butuh kehadiran kita

131

secara penuh dan utuh, sehingga Para Pelayan Gereja harus bersedia untuk
mengubah cara/model pendampingan dengan belajar dari Yesus, Gembala
Agung.

B. SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam rangka penulisan
tesis ini, maka ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait kajian
mengenai Tunjuitam sebagai pendekatan pastoral kedukaan, yang bisa
digunakan sebaga kontribusi bagi kehidupan bersama dan pelayanan GPM,

yakni antara lain:
1. Bagi Gereja (GPM), pembahasan tentang Tunjuitam sebagai pendampingan

dan konseling pastoral kedukaan dapat menjadi referensi, bahwa makna
kumpul keluarga dalam hubungan dengan persekutuan jemaat adalah
tanggung jawab bersama. Gereja bisa memanfaatkan budaya Tunjuitam
sebagai bentuk pendampingan dan konseling bagi individu/ keluarga yang
mengalami kedukaan akibat kehilangan orang yang dikasihi, tetapi juga bisa
menyelesaikan masalah-masalah internal dalam hubungan genealogis
maupun komunitas jemaat.
2. Bagi jemaat GATIK, berdasarkan pemahaman yang ada dalam Tunjuitam,

maka penting mengutamakan prinsip-prinsip yang mengutuhkan bukan lagi
mempersoalkan berapa lama harusnya proses Tunjuitam dilakukan. Sebab,
pendampingan dan konseling kepada orang yang berduka bukan terkait
dengan berapa lama waktu tetapi seberapa dalamnya proses bersama yang
dijalani, sehingga dalam proses ini, konselor bersifat komunal. Siapa saja
bisa menjadi konselor, entah keluarga, tetangga, pelayan maupun komunitas
jemaat. Tunjuitam akhirnya mau mengatakan bahwa budaya kita bisa
menjadi konselor untuk menolong orang lain dan ini merubah paradigma

berpikir Barat yang individual terhadap proses pendampingan dan konseling
pastoral.

132

3. Bagi keluarga, pelayanan dan jemaat yang sudah terlibat dalam proses

Tunjuitam, bisa memakai terus dan meningkatkan proses perjumpaan ini
sebab inilah ruang yang bermanfaat untuk menyatakan solidaritas hidup
sebagai manusia dan bermakna bagi keluarga yang berduka.
4. Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk mendalami konseling

kedukaan, ada baiknya melakukan penelitian terhadap budaya-budaya lokal
sendiri, sebab ternyata ada banyak kebudayaan sendiri yang bisa menolong
orang yang berduka untuk menyelesaikan masa-masa kedukaannya.
5. Kekurangan penelitian ini adalah pembuktian pendekatan pendampingan

dan konseling Tunjuitam sehingga perlu adanya penelitian lanjutan
berkaitan dengan hal ini.


133