T2 752016016 BAB IV

BAB IV
TUNJUITAM SEBAGAI BUDAYA KUMPUL KELUARGA
DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERISTIWA KEDUKAAN

Bab ini berisikan pembahasan yang meliputi kajian asal usul, tujuan, dan
pemaknaan Tunjuitam dari perspektif pastoral budaya, kajian kumpul keluarga
dalam tradisi Tunjuitam sebagai solidaritas sosial dalam kedukaan.
A. Tunjuitam Dari Perspektif Pastoral Budaya
Falsafah orang Maluku, ”ale rasa beta rasa” dan “potong di kuku
rasa di daging,” sebenarnya juga memiliki dasar refleksi suatu kultur
kedukaan, “ale pung susah, beta pung susah” (kamu rasa, saya juga rasa).
Falsafah ini membentuk pemahaman orang di Maluku dalam suka dan duka
sehingga terkait dengan kematian yang dialami oleh salah seorang anggota
keluarga atau kerabat dekat berarti ”kematian separuh tubuh mereka.”
Pemahaman ini muncul sebagai bentuk ikatan emosional orang basudara
(klan/marga) yang kemudian menimbulkan reaksi kepedulian, keprihatinan
terhadap suatu peristiwa yang tidak pernah diharapkan yaitu kematian. Ketika
keluarga yang berduka merasakan krisis, maka secara bersama-sama sedang
mengalami krisis. Hal ini terlihat lewat kebersamaan dengan keluarga yang
berduka, mulai ketika berita kematian itu terdengar, proses pemakaman hingga
pelaksanaan Tunjuitam.

Koenjaraningrat1 mengatakan bahwa nilai budaya memiliki nilai
paling tinggi dari adat istiadat, sebab nilai ini ada dalam hidup dan pikiran
manusia. Tunjuitam memiliki nilai budaya melalui sesuatu yang hidup dalam
pikiran manusia yang dilakukan saat ada kematian dan merupakan karya
manusia yang bernilai serta mengalami proses sampai kepada menghasilkan
suatu budaya, yang mencakup nilai, kultur, norma dan hasil cipta manusia.
Nilai budaya itu terlihat dalam asal usul Tunjuitam yang dipahami dalam
1

Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993),3

86

tujuan menyatukan “keluarga besar” yang terikat sistim kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah. Tunjuitam dipahami sebagai instrumen untuk
menjaga tradisi „kumpul keluarga” sehingga ada kesadaran terhadap tindakan
kolektif.
Ketika bangsa Barat menjajah Indonesia dengan misi Pekabaran Injil,
maka kekristenan memberikan nilai baru bagi orang-orang di GATIK. Dalam
penyebaran agama Kristen, para misionaris Barat memilih beberapa metode,

salah satunya yaitu dengan cara mengalkulturasikan agama Kristen dengan
dengan budaya yang ada. Hasil alkulturasi itu, salah satunya adalah peringatan
kematian seperti 3,7,40 dan 100 hari kematian, yang bertujuan mendoakan
arwah almarhum. Tunjuitam pun dimaknai dalam bingkai pemahaman agama
suku/lokal sebagai tujuh hari masa hitam. Angka tujuh dimaknai sebagai angka
kesempurnaan dan hari ketujuh dimaknai sebagai hari di mana Allah berhenti
bekerja dan beristirahat. Saat orang di GATIK melakukan Tunjuitam dihari
yang ketujuh, lewat akta syukur (doa), maka mereka yakin bahwa doa mereka
mengiring almarhum untuk berjumpa dengan Allah, PenciptaNya. Ketika GPM
melakukan deregulasi terhadap peringatan hari-hari kematian sebagai upaya
kristalisasi pemahaman agama lokal/suku maka GPM menciptakan sebuah
teologi baru bahwa “kematian orang Kristen adalah kematian bersama Kristus”
artinya, siapa yang percaya kepada Kristus, ketika ia mengalami kematian
maka di hari itu juga ia telah mati bersama Kristus. Teologi gereja ini
kemudian merubah cara pikir dan pelayanan gereja sehingga tidak ada lagi
peringatan-peringatan kematian tersebut dan kalaupun masih dilakukan hanya
sebuah syukur keluarga. Secara teologis, dengan adanya deregulasi GPM
terhadap peringatan hari-hari kematian ini, menyatakan bahwa GPM telah
menghilangkan pemahaman agama suku/lokal yang dibawah masuk dalam
teologi Kristen. Namun, pada sisi yang lain deregulasi GPM ini, serentak

menghilangkan hasil cipta manusia lewat para leluhur/orang totua yang belum
menerima kekristenan dan sekaligus juga menghilangkan berbagai “perangkat

87

dan kebijaksanaan lokal”2 (cultural means and wisdom) untuk membantu umat
dalam menghadapi setiap tahap dari siklus perkembangan manusia, yakni
kematian dan kedukaan.
Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal itu diharapkan bisa
menolong umat tertentu menjalani masa-masa sulit. Dengan perangkat dan
kebijaksanaan lokal, umat bisa ditolong secara kultural sehingga mereka yang
mengalami kehilangan dan kedukaan tidak merasa sendiri menjalani masamasa sulit itu. Peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian mungkin dianggap
“kafir” dan membawa beban komersial secara ekonomi tetapi dalam praktek
pastoral dapat dikatakan sebagai bentuk perjumpaan bukan hanya sekedar
perjumpaan yang bersifat hura-hura, tetapi perjumpaan atas dasar solidaritas
antar sesama dengan orang yang berduka, yang membawa topangan dan
pemulihan. Kenapa? Karena perjumpaan kita dengan keluarga yang berduka
hanya akan sampai saat jenazah dimakamkan, setelah itu keluarga yang
berduka akan dibiarkan seorang diri menjalani masa-masa krisisnya. Erick
Lindeman


dalam

artikelnya

yang

diterbitkan

pada

tahun

1944,

“Symptomatology and Management of Acute Grief”, menemukan berbagai
gejala gangguan kejiwaan yang dialami oleh orang yang mengalami kedukaan,
dan itu berlangsung 10-14 hari (shock awal). Setelah shock awal ini, datang
kesedihan yang intens yang menyebabkan orang yang berduka mengasingkan
diri dari kontak sosial.3 Pikiran Lideman ini, jika dikaji dalam realitas waktu,

maka shock awal itu akan muncul saat orang yang berduka kembali
ditinggalkan oleh kaum keluarga karena harus kembali ke tempat mereka
semula. Jika, peringatan 3,7,40 dan 100 hari masih diberlakukan, maka
perjumpaan ulang antara keluarga/tetangga/jemaat masih akan terjadi. Shock
awal seperti yang dikatakan oleh Lindeman pasca kematian tidak akan terjadi

2

Totot S. Wiryasyaputra, Mengapa Berduka; Kreatif Mengelolah Perasaan Duka,
(Yogyakarta: Kanisius,2003), 28-29.
3
Eric Lindeman, “Symptomatology and Management of Acute Grief”. (American Journal of
Psychiatry, 1944),2-3

88

karena ada kaum keluarga/tetangga/jemaat yang mengunjungi dan menemani
orang yang berduka.
Pikiran ini, bukan berarti mau menolak apa yang sudah dilakukan oleh
gereja dan dijalankan selama bertahun tahun dalam pelayanan GPM. Namun,

deregulasi GPM terhadap peringatan 3,7,40 dan 100 hari kematian membuat
sempitnya ruang perjumpaan pelayanan gereja, melemahnya perjumpaan antara
keluarga dengan keluarga, pelayan dan umat padahal ini sangat dibutuhkan
oleh keluarga yang berduka. Kalau gereja melakukan deregulasi terhadap
ruang-ruang perjumpaan, berarti gereja harus memiliki alternatif yang lain bagi
pendampingan orang yang berduka supaya tidak terkesan bahwa mereka
diabaikan dan dibiarkan sendiri menjalani masa-masa krisis. Apakah orang
berduka tidak perlu mendapat pelayanan dari gereja? Apakah pelayanan gereja
hanya berakhir pada saat jenazah dimakamkan? Hal positif, justru muncul dari
kesadaran jemaat sebagai bentuk persaudaraan, bahwa walaupun gereja telah
melakukan deregulasi terhadap peringatan-peringatan kematian tetapi ada
inisiatif keluarga untuk melakukan ibadah syukur pada hari-hari kematian
tersebut. Di ibadah syukur ini, ada perjumpaan antara orang berduka dengan
kaum keluarga/tetangga/kerabat/ dan pelayan. Bagi saya, apa bedanya
peringatan syukur yang dilakukan oleh keluarga dengan peringatan 3,7,40 dan
100 hari yang dulu diberlakukan? Mungkin, namanya saja yang berbeda tetapi
isi/muatan dari syukur kematian itu, sama dengan peringatan 3,7,40 dan 100.
Begitu juga cara dan bentuk pelayanan gereja, sama seperti pelaksanaan proses
pemakaman jenazah. Ada nyanyian, ada khotbah, ada doa, ada nasihat dan
kalimat-kalimat penguatan. Normatif dan tradisonal.

GPM sebagai institusi keagamaan yang besar di Maluku bersama
dengan lembaga sosial masyarakat sudah melihat hal ini sebagai suatu upaya
untuk menjawab persoalan manusia atas persitiwa kematian dan kedukaan.
Alasan kemanusian dan menghadirkan syalom Allah memaksa untuk
menemukan solusi bagi orang yang mengalami kedukaan. Lembaga sosial
masyarakat, dalam hal ini memberikan solusi melalui “Muhabeth,” suatu
lembaga yang mengurusi aktivitas menyangkut kematian dalam suatu

89

kelompok masyarakat. Melalui kehadiran anggota masyarakat dalam kedukaan
suatu keluarga bertujuan untuk menghibur, menguatkan serta empati dan
solidaritas sosial bagi keluarga yang sedang berduka. Sementara itu, lembaga
agama dalam hal ini gereja telah memberikan sebuah anjuran lewat liturgi
pemakaman GPM untuk melanjutkan tindakan pastoral kepada keluarga yang
berduka. Ini bertujuan untuk melakukan pendampingan agar orang berduka
bisa menjalani masa kedukaannya dengan normal. Persoalannya, apakah
lembaga sosial masyarakat dan gereja sudah dengan sungguh melakukan peran
mereka untuk menjawab persoalan manusia terkait dengan krisis situasional
akibat kematian orang-orang kekasih mereka? Upaya gereja (GPM) mengarah

ke hal itu, tetapi selalu diperhadapkan dengan kemampuan pelayan, jumlah
pelayan yang tidak seimbang dengan jumlah warga jemaat dan tekniks
pelayanan gereja yang terfokus pada program pelayanan hasil sidang jemaat.
Tindakan pastoral yang umum terjadi di GPM, hanya dilakukan
berdasarkan program pelayanan hasil sidang, empat kali setahun, yaitu
perkunjungan awal tahun, menjelang Paskah, perkunjugan tengah tahun dan
perkunjungan akhir tahun. Perkunjungan cenderung dipahami sebatas
pemenuhan program pelayanan dan terbingkai dalam konsep ritual saja,
misalnya: ada ibadah bersama keluarga, memberi nasihat, lalu berdoa tanpa
disertai percakapan yang mendalam dengan jemaat seputar masalah-masalah
yang dihadapi. Ini menggambarkan bahwa perkunjungan pastoral gereja hanya
di kulit saja dan tidak menyentuh pergumulan riil jemaat. Kendala yang kedua,
yang dihadapi oleh GPM terkait dengan ketrampilan pelayan menggunakan
terkni-teknik pastoral. Ini disebabkan karena keterbatasan akademik dan
pelayan tidak diperlengkapi dengan pelatihan-pelatihan penunjang lainnya
seperti konseling, cara melakukan percakapan, psikologi, sosial, menajemen
dan lain-lain serta buku-buku pengembalaan yang dipakai cenderung
konvensional.
Hal lain juga bahwa, gereja cenderung melihat perkembangan
pelayanan terhadap seseorang melalui aspek fisik, yakni ketika orang itu

terlihat melakukan aktifitas sehari-hari, maka dikatakan bahwa ia sehat. Orang

90

disebut sehat bukan karena “tidak ada penyakit tertentu” atau terlihat secara
fisik baik adanya, melainkan mampu hidup sehat secara utuh: fisik, mental,
spiritual dan sosial, atau yang dikatakan Van Beek 4, melihat manusia secara
holistik, dan prespektif Integratis, seperti pendekatan Daan Engel 5, maka
manusia tidak bisa direduksi menjadi kasus dari satu aspek tertentu secara
parsialistik, misalnya hanya melihat aspek fisik tanpa melihat aspek kehidupan
yang lainnya seperti mental, spiritual dan sosial. Hal ini pun sama dengan
ukuran umum yang berlaku dalam penilaian keberhasilan pelayan gereja, yang
hanya dilihat dari kinerja pembangunan secara fisik. Memiliki gereja dan
pastori yang megah, memperoleh pendapatan jemaat yang lebih dari anggaran
yang dirancangkan, menjadi ukuran keberhasilan seorang pelayan. Tetapi,
cobalah untuk di verifikasi. Pendapatan terbesar jemaat ada dalam pos
pendapatan syukur jemaat. Syukur ini berupa syukur HUT pribadi, pernikahan
dan keberhasilan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa, orientasi pelayanan
Gereja lebih banyak di perayaan-perayaan ini dan mengabaikan unsur
pelayanan pendampingan dan konseling pastoral kepada umat. Pelayan gereja

(Pendeta/ Penatua/Diaken) lebih berenergi ada di pelayanan ini sebab
bernuansa sukacita, dijamu dengan makanan yang istimewa daripada
melakukan pendampingan kepada orang yang berduka.
Selanjutnya, warga jemaat bukan lagi dilihat sebagai objek pelayanan
gereja semata, melainkan sekaligus juga sebagai subjek dari pelayanan
sehingga

untuk

memperlihatkan

jumlah

jemaat

yang besar

ketidakseimbangan

jumlah


seperti

jemaat

GATIK

anggota

jemaat

dengan

ketersediaannya tenaga pendeta. Akhirnya pelayanan dinilai tidak efektif dan
efisien. Idealnya dalam sebuah jemaat 1 pendeta berbanding 500 jiwa jemaat.
Tetapi, kenyataan di GATIK menunjukkan sebuah angka yang tidak sesuai,
yakni seorang pendeta harus menjangkau tiga-empat unit pelayanan, dengan
1:1000 jiwa. Suatu kebijakan yang hasilnya tidak maksimal.

4

Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,2015),15-16.
Jacob D. Engel, Konseling Pastoral Dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta; BPK. Gunung Mulia,
2016), 18-19.
5

91

Di sisi yang lain, peristiwa kematian pada orang di GATIK yang
dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa kematian
dalam setiap budaya selalu disikapi dengan cara/ritualisasi tersendiri dengan
berbagai alasan. Tunjuitam adalah sebuah ritual dari kematian yang terlihat
pada akta syukur (doa) sehingga Tunjuitam dimaknai sebagai konsensus nilai
yang berfungsi sebagai “pengucapan syukur”. Cara mengucap syukur itu sudah
ada sejak para leluhur sehingga kesadaran untuk mengucap syukur sudah
menggenerasi di GATIK. Di era kemajuan dan globalisasi, cara mengucap
syukur ini tetap dipahami sebagai suatu bentuk kesadaran diri atas karya Allah,
yang telah membebaskan dari penderitaan tetapi dilain sisi pengucapan syyukr
ini dilihat sebagai cara menunjukkan kekayaan yang dimiliki. Sebab, orang di
GATIK merangkaikan cara mengucap syukur mereka dengan makan bersama
yang dipahami sebagai ungkapan terima kasih kepada kaum keluarga/
tetangga/kerabat yang telah bersama mereka melewati masa-masa krisisi. Cara
ini yang kemudian menjadi polimik di antara orang tua dan orang muda. Bagi
Clinbell,6 salah satu tugas dalam kedukaan adalah sentuhan fisik dan
pemberian makanan, yang merupakan sentuhan simbolik untuk berkomunikasi.
Hal inipun terjadi saat pelaksanaan Tunjuitam yakni makan sesudah suatu acara
(ibadah), menandakan adanya keberlangsungan hidup. Itu artinya, orang
GATIK tidak perlu mempersoalkan berat atau ringan memberi makan kaum
keluarga sebab makan adalah simbol keberlangsungan hidup yang bisa
diciptakan dalam hal yang sederhana. Terpenting adalah, di moment ini ada
sebuah

ruang

guna

terciptanya

suatu

komunikasi

antara

kaum

keluarga/tetangga/pelayan dengan orang yang berduka. Kalau Tunjuitam
dipahami sebagai moment “pengucapan syukur” yang dilakukan secara vertikal
maupun horisontal, maka soal memberi makan bukanlah sesuatu yang
diperdebatkan. Ini adalah bentuk pengucapan syukur kepada Allah yang
dibagikan kepada sesama.

6

Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:
Kanisius,2002),289

92

Terhadap fungsi-fungsi pastoral yang ditawarkan oleh para ahli,
sebetulnya menyatakan tanggung jawab pelayan dalam seluruh realitas
pelayanan. Persoalan dalam konteks di GATIK adalah apakah fungsi-fungsi itu
teraktualisasi secara konkrit di dalam dinamika pelayanan pastoral kedukaan?
Pertanyaan ini sangat penting, sebab dari sisi anggota jemaat, pelayan
(pendeta), hanya terlihat jelas ketika ia melakukan fungsi-fungsi pastoral itu
secara bertanggung jawab. Selain itu, usaha pelayan untuk memenuhi fungsi
pastoral dimaksud, sangat terkait dengan harapan dan kebutuhan warga jemaat.
Sering, warga jemaat menuntut pelayanan yang lebih dari seorang pelayan
tanpa memikirkan bahwa pelayan juga manusia biasa. Penghargaan yang
diberikan warga jemaat kepada pelayan dipengaruhi oleh persepsi jemaat
tentang pelayan yang “serba tahu”, tahu banyak hal dan pastinya juga
menguasai cara-cara melakukan pastoral. Hal ini menyebabkan, semua hal
harus dilakukan oleh pelayan (pendeta), akhirnya pelayan tidak dapat berfungsi
dengan baik, sesuai kemampuannya. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung
jawab yang merata di jemaat yang memiliki 2-3 pelayan (pendeta). Semua ini
karena pengaruh pola kepimpinan tradisional budaya Maluku sebagai warisan
pola kepemimpinan zending dan pandangan teologis yang hidup dalam jemaat.
Tunjuitam, memberi ruang untuk mensinergiskan warga jemaat
sebagai subjek dan objek pelayanan. Sudah waktunya, GPM berhenti
menerapkan pastoral ala barat yang individual, yang hanya menekankan
pelayan sebagai konselor. Saatnya GPM membuka diri untuk menerima budaya
sendiri sebagai konstruk individu dan sosial sehingga budaya bisa menjadi
otorisator dari pastoral lokal dengan melibatkan pelayan dan warga jemaat di
ruang

dan

waktu

kini

memberdayakan sesamanya.

untuk

sama-sama

produktif

menolong

dan

Dalam konteks Tunjuitam, semua orang baik

keluarga, tetangga, pelayan gereja maupun komunitas jemaat bisa menjadi
konselor. Bahkan, di zaman modern dengan kemajuan sarana berkomunikasi
melalui media sosial seperti facebook, Twiiter, BBM, Path, line, whatsap, dan
lain-lain membuka ruang bagi sesama untuk menyampai tanda bela sungkawa
maupun menyampaikan berita kematian kepada kaum keluarga dan kerabat. Di

93

sini, Tunjuitam mengalami perkembangan zaman, bahwa kehadiran kaum
keluarga/ kerabat adalah juga bagian dari informasi di media sosial.
Lebih lanjut, kumpul keluarga bukanlah persoalan yang muncul pada
saat ini. Sejak dahulu orang di GATIK sudah melihatnya sebagai proses hidup
dimana tiap individu dan keluarga berintekasi secara personal dengan orang
lain. Adanya Tunjuitam merupakan suatu upaya untuk menjawab persoalan
orang yang mengalami kedukaan akibat kematian anggota keluarga yang
dikasihi. Orang di GATIK melakukannya sebagai bagian dari pewarisan nilai
leluhur yang perlu dihormati, tetapi tanpa disadari bahwa Tunjuitam
menanamkan nilai-nilai luhur yang kalau dipraktekkan akan memunculkan
sebuah tanggungjawab bersama untuk menopang kehidupan orang yang
berduka.
Sanchez

mengatakan

bahwa

keluarga

yang melupakan

atau

meninggalkan budaya seperti kapal yang kehilangan kompas. Dalam
penyelesaian persoalan keluarga, jangan melepaskan budaya karena melalui
budaya termanisfestasi fungsi dari suatu perilaku manusia. Melalui perilaku
manusia yang dimunculkan, maka akan terlihat gambaran yang mengancam
keutuhan keluarga.7 Tunjuitam menjadi cara bagi orang GATIK untuk berelasi
dan menujukan sikap care community. Namun, seriring perkembangan zaman
menyebabkan jemaat ini dihadapkan dengan maraknya nilai-nilai baru secara
ekonomi, politik, budaya yang berakibat langsung bagi berubahnya orientasi
dan perilaku warga jemaat serta penilaian terhadap tradisi/kebiasaan. Dulu,
tradisi dipandang sebagai hal yang penting dan memiliki nilai untuk mengatur
manusia supaya hidup tertib dan baik. Dalam tradisi yang terus menerus
dilakukan dari satu generasi ke generasi yang lain, termuat nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur. Saat ini, nilai-nilai kemanusiaan, mengalami
pergeseran karena harta, jabatan sosial, pendidikan yang telah menjadi ukuran
bagi hidup yang baik dan sukses. Orang lebih suka menghabiskan waktu untuk
bekerja menghasilkan uang untuk meraih kehidupan yang dianggap baik dan
Arthur R.Sanchez, “Multicultural Family Counseling”, dalam buku Handbook Of
Multicultural Counseling, (Sage Publication,Inc,2001),674-676
7

94

mapan. Seiring waktu pula, kebiasaan sebagai tradisi turun temurun
ditinggalkan diganti dengan nilai material. Misalnya, kebiasaan menyuguhkan
snack (roti dan teh) sewaktu selesai proses pemakaman di gantikan dengan
snack yang di hidangkan di dalam kotak snack. Dengan langsung
menyuguhkan snack, berarti menciptakan ruang dan waktu yang lama antar
kaum pelayat dengan keluarga yang berduka, dibandingkan dengan pemberian
snack di kotak. Secara perlahan kebiasaan ini ditinggalkan dengan alasan tidak
mau repot dan tidak mengikuti perkembangan zaman atau kuno.
Jemaat GATIK cenderung berpikir bahwa tindakan mereka dalam
peristiwa kedukaan merupakan suatu rutinitas sebagai tradisi yang dilakukan
secara turun temurun dari orang totua/ leluhur sehingga makna dan nilai luhur
dalam tiap-tiap aktifitas kedukaan tidak disadari oleh mereka. Tunjuitam bukan
hanya mengandung makna religius karena dilakukan pada hari ketujuh,
diaktakan dalam kebaktian bersama di gereja pada hari minggu, ada simbol
natzar sebagai bentuk spiritualitas umat, berpakaian hitam sebagai tanda
berkabung yang diindetikkan dengan pemahaman GPM yang bercorak
Calvinis, tetapi juga mengandung makna sebagai bentuk solidaritas sosial yang
mampu mengintegrasikan jemaat GATIK dalam berbagai lapisan, sehingga
solidaritas ini bekerja sebagai perekat sosial, dalam hal ini berupa nilai dan
kepercayaan yang dianut bersama oleh jemaat dalam ikatan kolektif. Sehingga,
betul apa yang dikatakan Durkheim, bahwa solidaritas sosial pada dasarnya
merujuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang
didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.8 Perekat sosial ini bersifat
personal dan kolektif. Personal, yakni terkait dengan mengumpulkan “keluarga
besar” yang terikat sistim kekeluargaan berdasarkan hubungan darah (ayah/ibu)
dan secara kolektif menyatukan komunitas jemaat.
Orang yang berduka di GATIK selalu memakai baju hitam ke manapun
ia pergi dan dalam aktifitas apapun. Ini merupakan isyarat atau tanda suatu

8

Doyle Paul Jahnson, Teori Sosiologi Klasisk Dan Modern (Jakarta: Gramedia,1986),181

95

masa perkabungan, situasi sulit yang sementara dijalani. Konseptuliasasi
kematian lewat tindakan ini mengarahkan orang GATIK bukan hanya
mengungkapan bentuk kehilangan mereka tetapi juga suatu realitas kematian
sehingga mereka mencarinya lewat konteks sosial dan budaya mereka. Berbeda
dengan orang di Barat, yang memandang kematian hanya sebagai pengalaman
pribadi. Orang-orang di GATIK melihat kedukaan sebagai pengalaman
komunal yang tidak hanya melibatkan keluarga inti, tetapi juga keluarga besar
dan komunitas jemaat. Wolfelt,9 menyatakan bahwa salah satu tugas dalam
kedukaan adalah menerima dukungan orang lain. Dengan arti harafia
Tunjuitam,

yang

diidentikan

dengan

masa

hitam/perkabungan,

telah

menyatakan bahwa orang di GATIK harus menerima dukungan orang lain
lewat kehadiran kaum keluarga dan komunitas jemaat guna sebuah
penyembuhan.
Gejala-gejala kedukaan seperti yang disampaikan Wiryasaputra,10
seperti: air mata dan kepedihan hati, stress, penolakan, marah, depresi,marah
dan tertekan batin, putus asa, rasa bersalah dan menerima kenyataan bukanlah
merupakan sebuah gejala yang mutlak teralami oleh orang yang mengalami
kedukaan akibat kematian orang yang dikasihi di Maluku, sebab iklim Maluku
yang keras membuat orang sulit melihat gejala-gejala ini. Berbeda dengan
mereka yang berduka di GATIK, gejala kedukaan terlihat ketika keluarga
menggunakan pakaian hitam dalam aktifitas apapun, menggumpulkan keluarga
dekat/kaum kerabat, berjalan beriringan ke gereja di hari minggu dan bersama
jemaat membawa natzar

mereka sebagai tanda pergumulan dan syukur

bersama. Hal ini memiliki makna bahwa kedukaan yang sebenarnya terjadi di
GATIK sementara di go publik oleh orang di GATIK sendiri untuk meminta
perhatian dari kaum keluarga dan komunitas hidup bersama. Apa yang terlihat
adalah gejolak dari rasa kehilangan yang tidak mau untuk disembunyikan,

Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare Nurse,
29.No.2.
10
Wiryasyaputra, Mengapa Berduka; Kreatif Mengelolah Perasaan Duka, (Yogyakarta:
Kanisius,2003),107-110.
9

96

sehingga orang yang melihat bentuk kedukaan keluarga yang berduka ini,
harus menunjukkan kepeduliaan bersama.
Konseptualisasi

kematian

lewat

tindakan

yang

beragam

atas

pelaksanaan Tunjuitam menunjukkan bahwa ada pergeseran pola pemikiran
orang di GATIK terhadap makna Tunjuitam. Tunjuitam tidak lagi dipahami
sebagai “kumpul keluarga” tetapi lebih kepada makna religius, yakni
mengucap syukur. Hal ini, berakar pada pengalaman iman orang di GATIK
atas bukti penyertaan Allah tetapi juga pada soal ekonomi. Kumpul keluarga
dianggap memberatkan, karena harus menggumpulkan kaum keluarga, kecil besar, laki-laki, perempuan, tua – muda, generasi satu ke generasi yang lain,
dan harus dilakukan setelah tujuh hari kematian seseorang seperti pemaknaan
arti harafia ”tujuh hari masa hitam.” Ini waktu yang lama. Hal ini menyatakan
bahwa orang GATIK hanya menangkap kulit luar dari tradisi Tunjuitam yang
telah menggenerasi yakni dibuat untuk menghormati orang mati tanpa
menangkap nilai dan makna yang hakiki untuk mendampingi, menemani,
menolong orang yang berduka sehingga sebenarnya, bukan soal Tunjuitam
dilakukan waktu kapan, dihitung berapa lama dari terjadi kematian seseorang
tetapi apakah Tunjuitam telah dilakukan sesuai dengan nilai dan maknanya?
Kalau seseorang yang adalah keluarga dekat dari individu/orang yang berduka
baru tunju muka/ hadir pada saat pelaksanaan Tunjuitam di hari minggu,
apakah ini adalah wujud kebersamaan sebagai keluarga dalam sebuah
kedukaan? Tunjuitam sebenarnya adalah wujud kehadiran manusia dalam
kebersamaan dengan orang yang berduka mulai dari saat kematian itu terjadi.
Karl dan Evelin11, dalam ulasannya menggenai buku Petter Vierch yang
berjudul “The Unadjusted Man: A New Hero For Americans”, berpendapat
bahwa zaman kita adalah zaman yatim piatu, zaman yang penuh dengan
realitas kemiskinan, penderitaan, ketidakadilan akibat perubahan zaman yang
begitu dinamis. Oleh karena itu, pada zaman ini setiap individu yang berada

11

Karl dan Evelin Sang Terluka Yang Menyembuhkan; Stress Dan Trauma Healing (Semarang:
Pustaka Maria, 2005),81

97

dalam “kesepian dan keramaian”, sering dihantui oleh perasaan yang
ditinggalkan dan merasa kesepian tanpa teman. Untuk itu berjuta juta manusia
tidak mendapat sumber untuk menghadapi pengalaman hidup manusia pada
umumnya. Penyataan ini ingin menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia
membutuhkan sumber-sumber yang bisa dipakai sebagai referensi untuk
menghadapi persoalan-persoalan hidup. Sumber-sumber itu berupa orang lain
untuk mengisi kehidupannya, mendengar keluhan-keluhan batinnya. Sama
halnya dengan keluarga yang berduka. Mereka merasakan kesepian dan
kehilangan arah ketika orang yang mereka kasihi (suami/istri/orang
tua/anak/saudara) tidak lagi ada bersama dengan mereka.
Manusia tidak bisa berdiri sendiri sebagai individu yang bebas terlepas
dari aspek-aspek lain yang mempengaruhi kehidupan individunya. Jika
manusia mengalami krisis, seperti kehilangan akibat kematian orang yang
dikasihi, maka krisis kedukaan harus dilihat dari berbagai aspek yang turut
mempengaruhi terciptanya krisis tersebut. Dalam kaitan dengan hal ini, maka
perspektif pastoral kedukaan harus bersifat holistik (menyeluruh). Holistik
yang

berusaha

untuk

memungkinkan

terjadinya

penyembuhan

dan

pertumbuhan keutuhan manusia dalam dimensinya. Manusia harus dilihat
secara utuh, mencangkup keseluruhan aspek kehidupannya, begitu pun dengan
individu/keluarga yang berduka dalam krisis hidupnya, dan dalam pertolongan
kepada mereka, maka pendekatan holistik adalah pendekatan yang dilihat
sangat relevan. Keutuhan meliputi kesatuan atas seluruh dimensi manusia,
yakni tubuh, roh dan jiwa. Dalam sudut pandang holistik, gambaran Alkitab
sebagai tubuh adalah Bait Allah (I Kor. 6:19-20). Hal ini merefleksikan
pentingnya tubuh rohani. Ini merupakan dimensi pertama dari keutuhan.
Untuk menolong individu/ keluarga yang berduka, maka pendekatan
awal yang dilakukan adalah memperhatikan tubuh. Dalam konteks analisis
dibahas sebagai aspek fisik. Jika tubuh adalah alat untuk memuliakan Tuhan,
maka aspek fisik berupa kesehatan, kebutuhan makan, istirahat harus menjadi
fokus yang penting untuk diperhatikan sebab dengan keadaan fisik yang kurang

98

baik, akan mempengaruhi kesehatan tubuh (seperti, tidak dapat tidur, tidak ada
nafsu makan, menangis). Dengan demikian pertolongan dari keluarga/
tetangga/ kerabat maupun komunitas jemaat, harus juga bermuara pada
kebutuhan fisiologi dari individu/ keluarga yang berduka. Untuk aspek
psikologi, sangat berkaitan dengan kognitif,emosi dan tindakan manusia
(motivasi). Dalam konteks menolong dampak psikologi dari individu/ keluarga
yang mengalami kedukaan, maka tiga dimensi (kognitif, emosi dan motivasi),
harus diperhatikan. Perintah di Markus 12: 30, yang menyatakan bahwa
“kasihilah Allah dengan segenap jiwamu” (hati, roh dan kekuatan),
menegaskan bahwa dalam konteks psikologi makna intelektul/pikiran
(kognitif) sama seperti emosi dan jiwa. Dalam pengertian kontemporer tentang
mengasihi Allah dengan segenap jiwa dapat direflesikan bahwa kognitif, emosi
dan tindakan manusia harus dijadikan sebagai alat untuk mengasihi Allah
sehingga keinginan untuk menolong individu/keluarga yang berduka harus
dihantar ke arah yang baik supaya keluarga/tetangga, komunitas umat dan
pelayan gereja dapat mengintegrasikan ketiga fungsi ini sebagai alat pendorong
upaya menyembuhkan luka batin, akibat tidak dapat konsentrasi, emosi yang
tidak terkontrol secara baik, misalnya suka marah-marah dan suka
mengasingkan diri.
Aspek berikutnya adalah aspek sosial (persekutuan/komunitas).
Dalam Perjanjian Baru, kata koinonia digunakan untuk menggambarkan Gereja
sebagai suatu komunitas/persekutuan yang saling memelihara dalam sebuah
komitment religius yang berintegrasi dalam konsep “satu tubuh dengan benyak
anggota (Roma 12:5). Terkait dengan hal ini, maka individu/ keluarga yang
berduka adalah bagian dari komunitas bersama yang semestinya dihantar untuk
saling menopang, menyembuhkan, menguatkan dan sama-sama mengalami
transformasi iman. Ketiga aspek di atas akan terlihat lewat aspek spiritual.
Aspek Spiritual merupakan aspek yang paling penting dan menjadi aspek
penyatu bagi ketika aspek lainnya. Pengalaman-pengalaman yang dilewati oleh
orang yang berduka adalah salah satu cara Tuhan mentransformasikan
kehidupan mereka, yang secara teologis dipahami bahwa Yesus tidak akan
99

meninggalkan orang yang menderita itu mengalami penderitaannya sendiri,
melainkan akan turut bekerja dalam penderitaan itu, dan menjadikan
penderitaan itu sebagai sarana pernyataan kasih Allah kepada manusia. Dalam
kepentingan inilah maka, pastoral kedukaan terhadap individu/keluarga yang
berduka adalah salah satu sarana menuju transformasi itu. Budaya GATIK
yakni Tunjuitam menyediakan dukungan sosial oleh keluarga dan jemaat lewat
lembaga sosial, dengan cara-cara ritual-spiritual membantu untuk memfasilitasi
ekspresi kedukaan. Keluarga/tetangga dan jemaat berkumpul memberikan
dukungan. Orang yang berdukapun bisa dengan sendiri keluar dari masa
kedukaannya.

B. Tunjuitam diKaji Dari Fungsi Pastoral
Dalam

Tunjuitam,

terdapat

nilai

moral

dari

semua

proses

pelaksanaanya, sehingga keluarga dan jemaat terikat dalam satu rasa emosional
yang kemudian membawa mereka secara sadar berempati terhadap individu/
keluarga yang mengalami kehilangan atas kematian salah satu anggota
keluarga. Empati tersebut, mereka tunjukkan dengan membantu, memberikan
sumbangan (material), menemani, menguatkan dan bersama-sama menghadiri
proses Tunjuitam.

1. Mendamaikan
Setiap pribadi/keluarga pasti pernah mengalami konflik yang
mengakibatkan keretakan bahkan renggangnya hubungan antara satu dengan
yang lain. Ada konflik antara anak dengan anak, konflik orang tua dan anak,
konflik adik dan kakak bahkan konflik orang basudara dalam klan/marga.
Konflik ini dapat diselesaikan dengan cepat karena ada upaya berdamai, bisa
juga berlangsung lama bahkan sampai tahunan, tetapi juga sampai akhir hidup
seseorang tetap dalam kondisi konflik yang tidak terselesaikan. Konflik
mengakibatkan tidak adanya komunikasi yang baik, renggang hubungan
kekeluargaan bahkan lumpuhnya kerjasama dan saling mendukung antara

100

sesama dalam suka dan duka. Konflik dapat mengganggu kesehatan yang
mengakibatkan tubuh mengalami sakit karena terjadinya disfungsi tubuh.
Satu hal penting yang termuat dalam tujuan Tunjuitam adalah bikin
bae orang sodara/ mendamaikan dari konflik internal. Saat konflik masih ada
maka kebutuhan fisik dan psikologi tidak akan terpenuhi dalam relasi
kekeluargaan dan sesama lainnya. Oleh sebab itu, konflik individu/keluarga
harus diselesaikan oleh keluarga itu sendiri karena pelaku konflik adalah
anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus terlibat
dalam penyelesaiannya. Tunjuitam dilakukan oleh keluarga yang berduka
karena keinginan untuk menyatakan “syukur” dengan cara berbagi bersama
kaum keluarga /kerabat/ tetangga yang bersama dengan mereka saat
kedukaaan. Secara spiritual, jika hidup dijalani dengan konflik maka
ketentraman batin tidak dirasakan.

Fokus utama untuk mengumpul kaum

keluarga memberi kesempatan untuk semua anggota keluarga guna berdamai.
Inipun menjadi aspek penting dalam proses pendampingan dan konseling
pastoral. Sebab, dalam proses pendampingan dan konseling hal yang penting
ditekankan adalah kesediaan konselor dan klien, yakni keduanya harus terbuka
untuk mengubah diri. Dalam menyelesaikan konflik ini, siapakah yang menjadi
konselor? Konselor adalah anggota keluarga yang memiliki keinginan dan
memulai dalam membuka komunikasi keluarga antara mereka yang berkonflik.
Gerkin12 mengatakan konseling pastoral sebagai suatu seni pengenalan.
Dengan demikian, konseling pastoral mempunyai tugas utama yaitu
menimbulkan kepekaan. Disebut sebagai konselor, karena menaruh perhatian
pada

masalah,

peka

dan terbuka

terhadap tindakan

masing-masing

individu/keluarga yang berkonflik serta menghayati nilai-nilai kebersamaan.
Konselor yang memulai sebagai upaya pengutuhan keluarga. Konselor dalam
Tunjuitam bisa dimulai dari orang tua, anak, pelayan gereja. Inilah saat proses
konseling pastoral dalam Tunjuitam dilakukan.
Dengan melakukan proses konseling dalam Tunjuitam atas konflik
internal, maka Tunjuitam menjadi fungsi menyembuhkan
12

kaum keluarga.

Charles V. Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi, (Jakarta: Kanisius, 1992),96.

101

Clebsch dan Clinbell13 mangatakan bahwa fungsi menyembuhkan sangat
penting bagi mereka yang berduka atau terbuang, sebab akan melahirkan
tekanan mental yang kuat. Konflik yang berkepanjangan menimbulkan
keterasingan dan luka batin yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Dengan menyampaikan undangan dari pihak yang berkonflik kepada orang
yang berkonflik dengannya, maka secara otomatis menimbulkan rasa dihargai
dan diterima kembali. Sebuah cara yang sederhana untuk menyembuhkan luka
batin dan cara penyembuhan ini bersifat alami dan pribadi, artinya
dikembalikan pada masing-masing individu/keluarga, berjuang menerima
kekurangan diri sendiri, belajar memahami dan menerima orang lain dengan
kekurangannya. Jika ada kemarahan, sakit hati dan luka hati karena
dipermalukan atau dikecewakan akan mengalami penurunan menuju kepada
penyembuhan. Penyembuhan merupakan upaya

yang dilakukan oleh

individu/keluarga untuk kebaikan individu/keluarga bahkan jemaat. Hal ini,
tidak sulit dilakukan pada jemaat GATIK, sebab salah satu ciri jemaat kota
adalah tingkat

pendidikan jemaat cukup baik, cenderung kristis terhadap

persoalan, bersikap terbuka. Ini akan menolong sebuah perkembangan dan
perubahan pemaham terhadap kondisi konflik jemaat.
Secara sosial, hal itu teralami tetapi luka-luka batin akibat konflik
apakah terselesaikan? Sebelumnya, telah dikatakan bahwa budaya sudah
menyediakan ruang untuk berdamai dan yang harus menolong menyelesaikan
konflik guna mendamaikan adalah keluarga itu sendiri karena pelaku konflik
adalah anggota keluarga, sehingga anggota keluarga yang berkonflik harus
terlibat dalam penyelesaiannya. Tetapi, bukan berarti upaya mendamaikan ini
terhindar dari pandangan gereja. Pelayan gereja bisa berperan menjadi
konselor.
Apa peran gereja terhadap konflik internal ini? Kita harus melihat
peran gereja dalam upaya “mendamaikan”. Mengutip pikiran John Titaley 14,
13

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive
(Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964),33-36.
14
John A.Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga, (Salatiga: Satya Wacana Universitty Press,
2013), 98

102

dalam buku Religiositas di Aline Tiga, Gereja merupakan organisasi
keagamaan “universal” yang bermakna dalam konteks sosial tertentu. Dalam
hal ini, gereja bukan sebagai “tubuh Kristus” yang menyebabkan gereja tidak
menyadari kedudukannya sebagai bagian dari suatu kehidupan tertentu dengan
kebudayaan tertentu juga. Jemaat GPM GATIK merupakan organisasi yang
mampu memberikan solusi demi perdamaian individu/keluarga, sebab,
tanggung jawab gereja bukan hanya sebagai pemberitaan firman melalui
mimbar-mimbar gereja semata tetapi juga sebagai perdamian umat manusia
dan ini juga merupakan bagian dari tanggung jawa dan panggilan gereja yang
sebenarnya. Jika gereja tidak dalam menyelesaikan konflik keluarga/individu,
maka konflik dapat meledak sewaktu-waktu dan tindakan kekerasan akan
kembali terjadi ke generasi selanjutnya. Dalam konsep ini, gereja pun sangat
berperang dalam pelaksanaan Tunjuitam keluarga. Tunjuitam akan dilakukan
oleh keluarga yang berduka tetapi, jika ada konflik antar keluarga yang
berduka, gereja bisa menjadi otorisator atas budaya dengan cara menyelesaikan
dulu konflik internal, baru dilanjutkan dengan pelaksanaan Tunjuitam. Oleh
karena itu, syarat utama dalam pelaksanaan

Tunjuitam, adalah melakukan

perdamaian semua anggota keluarga.

2. Menyembuhkan
Kehilangan menimbulkan kedukaan tentu membawa luka batin yang
mendalam. Secara psikologis hal ini sangat menggangu individu/keluarga yang
berduka dalam kehidupan secara religius dan sosial. Dengan kehadiran
keluarga bersama lainnya di pelaksanaan Tunjuitam, ada nilai menyembuhan
bagi orang berduka, dihibur karena ada yang menemani dalam kedukaan.
Tunjuitam menawarkan fungsi menyembuhkan lewat kata-kata penguatan
keluarga/ tetangga/ kerabat yang melayat, khotbah pelayan gereja sehingga
memberikan motivasi untuk terus melanjutkan hidup karena kematian telah
melepaskan ketergantungan terhadap orang yang sudah meninggal. Keluarga/
tetangga/kaum kerabat yang hadir dalam pelaksanaan Tunjuitam bertujuan
untuk menghibur sekaligus mendampingi keluarga.

103

Tunjuitam menawarkan sharing keluarga sebagai percakapan atas
kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut
dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang
meninggal

adalah

tulang

punggung

keluarga,

percakapan

tentang

sakit/penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa
diatasi soal genetiknya kepada generasi penerus. Percakapan keluarga yang
terjadi merupakan proses dari penyembuhan luka batin akibat kematian orang
yang dikasihi sehingga percakapan menjadi media atau alat penyambung
sebuah komunikasi yang sempat terputus karena konflik sekaligus juga proses
penyembuhan dan pemulihan dari kedukaan sehingga menjadikan mereka
yang berduka sebagai manusia dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk
bertumbuh. Ketika percakapan keluarga terjadi dalam Tunjuitam adalah sebuah
proses penyembuhan, sebab dalam percakapan itu ada keterlibatan keluarga
besar, ada keluarga yang menemani, mendengar, memberikan solusi terhadap
beban individu/keluarga yang berduka untuk secara bersama di atasi.
Percakapan keluarga memberi ruang bagi orang yang berduka untuk berbagi
cerita tentang penderitaanya, menangis jika ingin meluapkan tangisan yang
tertunda akibat kehadiran banyak pelayat. Dengan menceritakan ulang tentang
sakit, penderitaan almarhum, tentang rencana ke depan bersama almarhum,
tentang harapan keluarga terhadap anak-anak yang ditinggalkan, menjadi
sebuah tugas dalam kedukaan (tasks of grief). Di sini orang yang berduka bisa
berbagi tentang penderitaan dan kesakitan almarhum, bahkan sebaliknya,
keluarga/kerabat lainnya bisa berbagi kenangan bersama almarhum kepada
individu/keluarga yang berduka. Semakin kita mampu menceritakan kisah
kematian tersebut sebagai sebuah kenangan, maka semakin besar pula
kemungkinan kita menyembuhkan kesedihan.
Telah dikatakan sebelumnya, bahwa menurut Clebsch dan Clinbell15,
fungsi menyembuhkan sangat penting bagi mereka yang mengalami dukacita
karena kehilangan. Percakapan keluarga menjawab beban situasional orang
yang berduka. Percakapan yang bersifat terbuka dan saling mendukung untuk
15

William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive,33-36.

104

kebaikan bersama akan pula menghasilkan proses membimbing untuk
menentukan apa yang baik bagi masa depan indivudu/keluarga yang berduka.
Ini juga yang dikatakan Wolfelt16, bahwa dengan percakapan keluarga, yakni
sebagai upaya untuk mengingat almarhum. Ingatan ini timbal balik, antara
keluarga yang berduka bersama dengan kaum keluarga. masing-masing
menceritakan sebagai hubungan emosional. Semakin kuat mereka mengingat,
maka kesembuhan cepat terjadi.
Dalam ruang percakapan keluarga juga ada istilah laeng kasih nasihat
laeng/ saling menasihati adalah ruang unik yang tercipta dari Tunjuitam guna
menjalani hidup yang lebih baik. Pemikiran radikal orang Maluku bahwa
penderitaan, kesusahan bahkan kematian itu karena dosa. Hal ini bisa
mengakibatkan individu/keluarga yang berduka mengalami keterpurukan
akibat tekanan batin. Kehidupan baru harus ditata dengan baik agar
mendatangakan kebaikan bersama. Dalam hal ini, Clinbell, memberikan fungsi
menasihati dan membimbing supaya tahu dalam menentukan sikap dan pilihan
serta akibat dari sikapnya.17 Tunjuitam memiliki otoritas untuk membimbing
anak-cucu/keluarga dan jemaat dalam menentukan sikap dan pilihan bagi
kehidupan masa depan supaya proses kedukaan tidak mengorbankan hal-hal
penting lain dalam hidup. Tindakan menasihati dan membimbing senada
dengan pendapat Clinbell bahwa dalam tindakan membimbing ada upaya
menyingkapi masalah batiniah dan hikmat konseli, sehingga terjadilah
perjumpaan diantara kedua unsur ini, yaitu masalah dan hikmat konseli dengan
pengetahuan dan pemahaman konseli. Hal ini akan mengurangi kelemaham
emosional dan konflik batin sehingga individu dituntut untuk menerima
serangkaian nilai dan kriteria yang sudah ditentukan terlebih dahulu dalam
rangka pengambilan keputusan. Agen membimbing dan menasihati ini
merupakan significant other (orang yang paling dekat) dengan manusia
tersebut seperti orang tua, kakak adik, saudara, teman, guru, pelayan dan lain
sebagainya. Mereka bertindak juga sebagai konselor yang membimbing dan
Alan D.Wolfelt, “Undersatand The Six Needs Of Mourning,” Journal Home Healthcare
Nurse, 29.No.2.1-2
17
Clinebel, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,54
16

105

menasihati untuk menjalani hidup yang lebih baik. Pemahaman konselor, di
point ini berasal dari tradisi, studi dan pengalaman spiritual, yang dimanfaatkan
untuk mengambil keputusan. Konselor adalah orang tua, yang menjadi soko
guru dan pelayan gereja.
Dalam study kedukaan, perjumpaan orang berduka secara emosional
merangsang

terjadinya

komunikasi

yang

terbuka.

Keterbukaan

atas

kelangsungan hidup ke depan, entah itu terkait dengan kehidupan lebih lanjut
dari keluarga yang berduka, misalnya pendidikan anak-anak jika yang
meninggal adalah tulang punggung keluarga, percakapan tentang sakit/
penderitaan orang yang meninggal, apa penyebabnya sehingga bisa diatasi soal
genetiknya

kepada

generasi

penerus.

Komunikasi

dalam

Tunjuitam

menunjukkan ada rasa kepercayaan satu dengan yang lain, ada yang
mendengar, ada yang memberikan solusi, ada tempat untuk mengungkapkan
ekspresi verbal dan non verbal lewat kata-kata, ekspresi wajah, gerakan tubuh,
kualitas suara dan respon psikologi yang mungkin dipikirkan dalam keluarga
dan ditindak lanjuti. Jika kematian akibat penyakit, maka di ruang ini akan
dicari solusi genetik. Sebab masalah keturunan adalah masalah yang berulangulang terjadi dari satu generasi ke generasi berikut. Tunjuitam sebagai
penyatuan keluarga besar secara genealogis (ayah/ibu), bisa menggambarkan
suatu pohon keluarga (genogram), mencatat keterangan atau asal usul tentang
anggota-anggota keluarga, relasi antar mereka, paling tidak untuk tiga generasi.
Hal ini bisa dikomunikasikan dalam kumpul keluarga di pelaksanaan
Tunjuitam sehingga dengan cepat dapat melihat pola-pola kekerabatan dan
penyakit yang kompleks dalam kurun waktu tertentu.
Kepedulian berdampak pada peluang penyembuhan/ menyembuhkan
sehingga semua yang terikat dalam kekeluargaan karena genealogis masuk
dalam relasi yang baru. Clements, dalam tulisannya Care and Caunseling Of
The Aging, mengatakan bahwa pada titik krisis, manusia memiliki kesempatan
untuk bergerak kearah pemulihan dan keutuhan, atau krisis sering menjadi
penghambat dalam pertumbuhan di sisa hidup. Oleh karena itu, krisis jangan
dihindari karena memberi kesempatan untuk pertumbuhan dan peningkatan

106

pribadi. Krisis adalah tahapan perkembangan emosional yang terkait dengan
psikologi dan usia.18 Dalam kematian orang yang dikasihi mengakibatkan
kedukaan. Ini titik krisis manusia yang berat. Individu/keluarga yang berduka
tidak bisa menghindar dari krisis ini, sebab kematian adalah universal 19. Kapan
saja, di mana saja dan dalam bentuk apapun kematian bisa datang. Gejalagejala kedukaan normal bagi orang yang berduka, jika krisis ini dilalui dengan
baik. Dengan cara yang bagaimana, seseorang menghadapi krisis hidupnya
hingga mengalami pertumbuhan dan peningkatan dalam hidup?
Tunjuitam menawarkan cara untuk membantu individu/keluarga yang
berduka. Dalam kepedulian bersama menjadi penyembuhan bagi krisis hidup
itu. Jika kerena kematian orang yang dikasihi individu/keluarga mengalami
kedukaan, untuk apa lagi kesedihan, tekanan batin ditambah dengan konflik
internal yang tidak terselesaikan. Kedukaan bertumpuk akan teralami.
Tunjuitam memiliki kesempatan mengalami kesembuhan dan pemulihan dari
tekanan batin, sehingga bagi individu/keluarga yang berduka memiliki cara
pandang yang baru terhadap krisis hidup dan konflik yang terjadi bukan lagi
sebagai hal yang memisahkan tetapi harus dipandang sebagai adanya gangguan
pada relasi yang harus segera dikelola secara bersama. Dalam relasi seperti ini,
tiap anggota keluarga menjadi pendamping dan yang didampingi. Peran
pendamping dan yang didampingi dimiliki oleh anggota keluarga besar dan
jemaat untuk proses penyembuhan. Tanpa melupakan peran dari orang yang
berduka.

3. Memperbaiki
Pengucapan syukur keluarga, bukan hanya soal bersyukur kepada
Tuhan, Pencipta atas hidup yang dianugerahkan bagi almarhum dan berkenan
menggambil kembali hidupnya dari dunia. Tunjuitam mempembaiki relasi
18

William M.Clemets, Care And Caunseling Of The Aging (Philadelpia : Fortress
Press,1979),29
19
Emmanuel Chrysanctus Nyong, Post-Bereavement Grief And Depression Following The
Death Of A Family Member Among Ibibio People Of Nigeria, (PhD,Diss.,Indiana State University
Terre Haute,2016),1-2.

107

vertikal

dan

horisontal

dari

kehidupan

spiritual

individu/kaum

keluarga/kerabat dalam hal hubungan sosial maupun keterlibatan bersama
dalam persekutuan yang berdoa dan bernyanyi. Ketika Tunjuitam dilakukan di
gereja pada hari Minggu, secara tidak langsung melibatkan kaum keluarga
yang tidak pernah/ jarang beribadah, pelayan dan umat sebagai bagian dari
persekutun jemaat. Terlihat bahwa pelayan dan umat memberikan topangan
dan dukungan secara bersama lewat sebuah akta (doa) atau saling mendoakan
kepada Tuhan untuk kehidupan individu/kaum keluarga yang berduka. Fungsi
mendukung ala Clinbell20, dinyatakan melalui kehadiran dan sapaan yang
terbuka. Di Tunjuitam fungsi mendukung terlihat ketika jemaat menopang
hidup orang yang berduka dalam persekutuan yang berdoa secara bersama. Hal
ini nyata dan dirasakan oleh orang yang berduka, lewat nyanyian, doa, jabatan
tangan dan khotbah dari pelayan. Dukungan bersama dari orang banyak
menjadikan individu/kaum keluarga bersemangat menjalani hidup ke depan
tanpa orang yang mereka kasihi, melalui pekerjaan, pendidikan dan hubungan
sosial lainnya.
Tunjuitam

telah

memainkan

perannya

dalam

pastoral,

yang

mencangkup dua pendekatan yakni pendampingan dan konseling pastoral. Hal
ini terlupakan karena kita hanya menangkap kulit luar dari sebuah warisan
budaya leluhur, yang sering dipakai sebagai sebuah

seremonial

budaya

sehingga budaya tidak dipandang sebagai bentuk dari kecerdasan leluhur dalam
mengelolah kedukaan secara kreatif dan efektif. Akibatnya adalah tradisi/
budaya sering dilaksanakan tanpa menangkap nilai dan makna yang hakiki.
Sebelumnya, telah dikatakan bahwa Tunjuitam memiliki seperangkat nilai yang
bisa dipakai oleh seorang pendamping untuk mendampingi yang didampingi
(klien) dan Tunjuitam juga bisa digunakan oleh sang penduka untuk
mengelolah kedukaannya dan membantunya mengatasi persoalan hidup.
Pemahaman yang ada selama ini dikalangan masyarakat kita, bahwa semua
tradisi yang terkait dengan soal kematian entah dilakukan sebelum atau
sesudah jenazah dimakamkan seolah-olah hanya ditujukan untuk menghormati
20

Clinebel, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,54

108

orang mati, orang yang hidup terabaikan. Ini perlu diperbaharui. Sebab, tradisi
tidak semata-mata ditujukan untuk orang mati, melaikan juga untuk keluarga
yang masih hidup. Dalam pengertian bahwa

tradisi tersebut dilaksanakan

sebagai sarana bagi individu/keluarga yang berduka untuk melewati dan
mengatasi kedukaan mereka. Ibadah/spiritual dapat memberi hiburan yang
menenangkan batin bagi orang yang mengalami kehilangan.
Praktek Tunjuitam di GATIK menunjukkan ada sarana pelaksanaan
pastoral konseling bagi individu/keluarga yang berduka akibat kematian orang
yang dikasihi. Kapan proses pendampingan dan proses konseling pastoral itu
berjalan dalam Tunjuitam di GATIK? Sejak berita kematian didengar oleh
keluarga atau komunitas jemaat dan rumah duka dipenuhi dengan
keluarga/tetangga bahkan anggota jemaat. Proses pendampingan kepada orang
yang berduka telah terjadi. Pendampingan ini, berjalan tanpa melihat waktuwaktu tertentu (long time) sebab pendampingan pastoral sangat membutuhkan
proses. Dengan kehadiran dan keterlibatan dari kaum keluarga serta jemaat
dalam kedukaan seseorang, maka proses pendampingan terjadi lewat dukungan
moril. Ini membantu individu/keluarga yang berduka untuk dengan cepat
mengakhiri masa kedukaan. Sedangkan, konseling pastoral terjadi, j