Perpustakaan Digital dan Digital Natives

Perpustakaan Digital dan Digital Natives
Oleh Jonner Hasugian
1. Pendahuluan
Pada pertengahan tahun enampuluhan mulai terjadi perubahan dalam hal pengelolaan
informasi di perpustakaan. Kemapanan kertas sebagai media informasi yang sudah berlangsung
ratusan tahun ditantang oleh media elektronik yang menawarkan cara yang berbeda dalam
menyimpan dan menemubalikkan informasi. Format elekronik atau digital mulai mendampingi
format cetak, ketika database online tersedia pada sejumlah perpustakaan di Amerika Utara pada
masa tersebut.
Di Indonesia, semula perubahan itu berlangsung agak terlambat. Digitalisasi informasi
pada sejumlah perpustakaan dan pusat pengelola informasi lainnya dimulai pada akhir tahun
delapan puluhan ketika kegiatan otomasi mulai dilakukan di sejumlah perpustakaan tertentu.
Untuk Perpustakaan Perguruan Tinggi khususnya Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri,
kegiatan ini dimotori Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan (UKKP) yang dibentuk DIKTI dan
dibiayai melalui Bank Dunia pada akhir tahun 1988-an sampai dengan awal tahun 1990-an. Pada
saat itu beberapa perpustakaan perguruan tinggi tertentu mulai menggunakan komputer sebagai
sarana penyimpanan dan pengolahan informasi. Singkatnya, otomasi mulai diperkenalkan pada
sistem kerumahtanggaan perpustakaan (library house-keeping).
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, perubahan yang terjadi sangat fantastis.
Beranekaragam sumberdaya informasi elektronik banyak dikembangkan oleh para pustakawan
dan penerbit terutama di negara maju. Berbagai informasi yang berbasis cetak (paper-based) yang

selama ini merupakan primadona perpustakaan tradisional, sekarang telah banyak yang tersedia
dalam format elektronik. Bahkan sebagian dari produk informasi yang dihasilkan ada yang hanya
tersedia dalam bentuk elektronik. Terminologi baru untuk menyebut sumbedaya informasi atau
bahan perpustakaan itu pun muncul seperti, electronic journal (e-journal), electronic book (ebook) dan sebagainya.
Pertumbuhan informasi yang sangat dahsyat baik dalam format cetak terutama eletronik
menyebabkan sejumlah perpustakaan, terutama pada perpustakaan perguruan tinggi harus
menyediakan layanan digital yaitu dengan cara memberi akses terhadap berbagai sumberdaya
informasi elektronik baik yang tersedia di dalam perpustakaan (dimiliki) maupun yang berada di
luar perpustakaan. Akses informasi elektronik menjadi suatu paradigma baru pelayanan
perpustakaan.
Kemajuan pesat dalam teknologi telekomunikasi dan informasi menimbulkan peluang
sekaligus tantangan bagi berbagai pihak untuk menciptakan institusi penghimpun, pengelola, dan
penyedia informasi yang semakin lama semakin luas cakupannya, dan semakin beragam jenis
jasanya. Saat ini perpustakaan digital sebagai konsep dan aplikasi sudah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari Internet (Web), bersama-sama dengan berbagai aplikasi terbaru lainnya seperti elearning, e-research, e-commerce, blog dan sebagainya.
Ada pihak yang keliru memandang kehadiran perpustakaan digital. Ada yang menganggab
bahwa perpustakaan digital bukanlah bahagian dari perkembangan institusi perpustakaan, tetapi
bahagian dari ilmu komputer. Pandangan ini perlu diluruskan agar pemahaman tidak semata
hanya ke dalam tekologi informasi melainkan kepada konsep kepustakawan yang memanfaatkan
kemajuan teknologi. Perlu kita fahami bahwa penggunaan kata library (perpustakaan) dalam

upaya aplikasi teknologi digital menunjukkan kesinambungan konsep dari tradisi yang sudah
berabad-abad hadir dalam kehidupan umat manusia ke era baru yaitu era digital. Konsep dan
tradisi tersebut biasa disebut sebagai librarianships (kepustakawanan). Kepustakawanan adalah
bagian dari kebudayaan yang luas berbasis kegiatan membaca dan menulis atau kebudayaan
berbasis aksara (literacy). Oleh karena itu, pemanfaatan teknologi digital dalam kepustakawanan
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 1

melanjutkan keberaksaraan dalam kehidupan manusia. Namun di lain pihak, konsep dan aplikasi
perpustakaan digital juga mengandung upaya perubahan, baik yang mendasar maupun yang
sederhana. Perpustakaan digital bukan hanya merujuk ke perubahan teknologi, atau perubahan
teknis belaka, melainkan juga perubahan cara berpikir, pergeseran paradigma, perubahan tingkah
laku, penataan kembali tata nilai, sampai ke pergantian sistem pengupahan dan ruang kerja.
Dalam istilah perpustakaan digital terdapat dua kata yang mewakili dua masa yang sangat
jauh dipisahkan oleh waktu. Kata perpustakaan datang dari masa yang sudah terjadi berabad-abad
lamanya yaitu pada era ditemukannya tulisan dan era perbukuan. Era tersebut adalah sebuah era
yang berakar dan bermula jauh sekali di saat-saat awal peradaban umat manusia yang sudah
berusia ribuan tahun setelah adanya upaya mengumpulkan berbagai media yang merekam tulisan,
baik tulisan pada kulit kayu, kulit binatang, pada daun-daunan dan pada media lainnya. Oleh

karena itu, istilah perpustakaan sudah dikenal dalam perabadan manusia dari berbagai generasi.
Sedangkan kata digital baru populer sejak teknologi komputasi menghadirkan personal computer
dan teknologi telematika yang memungkinkan terciptanya jaringan global yang diberi nama
Internet. Oleh karena itu, penggabungan dua kata perpustakaan dan digital dapat diartikan sebagai
kesinambungan sekaligus perubahan dalam kehendak umat manusia untuk membangun sebuah
peradaban berbasis pengetahuan dan informasi yang turun-temurun. Kesinambungan bahan
perpustakaan non digital (buku dan sebagainya) dengan bahan digital merupakan aspek
kepustakawanan yang terus mengalami perkembangan. Perkembangan itu sangat dipengaruhi
oleh pertumbuhan informasi yang sangat pesat.
Selain pertumbuhan informasi yang sangat pesat, generasi pengguna perpustakaan juga
sangat mempengaruhi kehadirian perpustakaan digital. Generasi pengguna perpustakaan yang
lahir di era digital (digital natives) tentu sangat respek dan familier dengan bahan-bahan elektronik
atau digital.
2. Perpustakaan Digital
Ada dua terminologi yang sering disebut untuk menyatakan perpustakaan digital.
Penyebutan terminologi itu sebenarnya bermula dari munculnya bahan-bahan perpustakaan yang
berbeda dengan bahan yang tersedia di perpustakaan sebelumnya. Pertumbuhan pesat di bidang
produksi bahan-bahan berbasis elektronik (electronic-based) telah melahirkan ungkapan
electronic library atau digital library. Penggunaan terminologi electronic library atau digital
library sebenarnya tidak mempengaruhi perbedaan arti. Perpustakaan elektronik atau digital

adalah suatu lingkungan perpustakaan dimana berbagai objek informasi (dokumen, images, suara
dan video-clips) disimpan dan diakses dalam bentuk elektronik. Objek tersebut terekam dalam
berbagai jenis media komputer termasuk CD. Bahan-bahan jenis ini sebahagian besar tersedia
untuk diakses melalui internet, intranet atau dimuat pada komputer stand-alone atau jaringan
lokal.
Jika dilihat dari asal istilahnya bahwa perpustakaan digital sebenarnya adalah terjemahan
langsung dari digital libraries. Istilah ini pertama sekali muncul berkembang di Amerika Serikat
dan selanjutnya menyebar secara cepat ke seluruh dunia. Ketika istilah ini mulai populer di
Indonesia, muncul pendapat-pendapat yang jika dilihat secara umum memiliki dua titik pandangan
yang ekstrim. Pertama, ada pandangan yang menganggap bahwa perpustakaan digital semata-mata
adalah penggunaan komputer di perpustakaan. Kedua, ada pandangan yang menganggap bahwa
perpustakaan digital adalah sesuatu yang baru sama sekali dan tidak punya hubungan apa-apa
dengan perpustakaan biasa atau perpustakaan tradisional atau perpustakaan konvensional.
Kedua pandangan di atas biasanya mengakui pula bahwa perpustakaan digital adalah
aplikasi teknologi. Pandangan pertama mereduksi teknologi tersebut menjadi perangkat komputer
dan menganggap bahwa penerapan komputer pada perpustakaan sudah sertamerta menjadikan
perpustakaan tersebut adalah perpustakaan digital. Pandangan ini belum tentu benar, sebab
kalaupun sebuah perpustakaan telah menerapkan komputer dalam sistem pengelolaannya tetapi
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011


Page 2

tidak memiliki dan menyediakan akses ke dokumen elektronik (content), perpustakaan tersebut
belum dapat disebut perpustakaan digital. Jika sebuah perpustakaan hanya pada tahap aplikasi
komputer, itu disebut otomasi perpustakaan.
Pandangan kedua menganggap teknologi bisa hadir di kehidupan manusia tanpa preseden
(tanpa pendahulu), sehingga perpustakaan digital pun dianggap tak ada hubungannya dengan
perpustakaan non-digital yang telah hadir sebelumnya. Pandangan ini juga tidaklah benar. Perlu
diketahui bahwa dokumen elektronik yang dilayankan pada perpustakaan digital adalah
merupakan kesinambungan dari bahan-bahan non elektronik yang sudah ada sebelumnya. Oleh
karena itu, bahwa perpustakaan digital adalah merupakan bahagian dari dan/atau pengembangan
lanjutan dari perpustakaan kovensional. Pandangan inilah yang menyebabkan pada umumnya
perpustakaan memadukan layanan perpustakaan konvensional dengan perpustakaan digital
(hybrid library).
Sebelum istilah perpustakaan digital menjadi populer, kalangan pustakawan sudah
berbicara tentang perpustakaan elektronik (electronic library). Salah satu pendukung ide tentang
perpustakaan jenis ini adalah Kenneth Dowlin, yang menulis sebuah buku berjudul The Electronic
Library tahun 1984 dan menggambarkan ciri perpustakaan elektronik sebagai berikut:
• Memakai komputer untuk mengelola sumberdaya perpustakaan,
• Menggunakan saluran elektronik untuk menghubungkan penyedia informasi dengan

pengguna informasi,
• Memanfaatkan transaksi elektronik yang dapat dilakukan dengan bantuan staf jika diminta
oleh pengguna,
• Memakai sarana elektronik untuk menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi
kepada pengguna.
Jika diperhatikan bahwa konsep Dowlin di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak
ubahnya dengan penerjemahan prinsip-prinsip lama dari kepustakawanan ke dalam lingkungan
elektronik. Usaha untuk mewujudkan perpustakaan elektronik atau digital yang ideal itu bukanlah
pekerjaan mudah, karena pemanfaatan teknologi baru di perpustakaan bukanlah sekadar
mengganti buku dengan komputer. Selain itu, biaya yang diperlukannya pun sangat besar. Maka
muncul semacam kehati-hatian dalam program-program pengembangan perpustakaan elektronik
atau digital, mengingat dana dan sumberdaya yang sudah diinvestasikan untuk sumberdaya nondigital juga sudah sangat besar. Kalau proyek perpustakaan digital sampai melebihi dana yang
selama ini dihabiskan untuk perpustakaan konvensional, maka manfaat perpustakaan digital
seharusnya jauh lebih tinggi dibandingkan perpustakaan konvensional. Pada kenyataannya,
manfaat perpustakaan konvensional tidak dapat terhapus sama sekali, seberapa maju pun
teknologi informasi yang diterapkan di sebuah masyarakat.
Perpustakaan digital tidaklah harus berdiri sendiri secara fisik atau terpisah dari
perpustakaan yang koleksinya berbasis cetak. Perpustakaan digital dapat merupakan bahagian
integral dari sistem pelayanan perpustakaan secara keseluruhan. Layanan digital dapat berjalan
secara paralel bersama layanan perpustakaan lainnya yang bersifat konvensional. Konsep

perpustakaan digital menekankan pada lingkungan suatu perpustakaan dimana berbagai dokumen
tersimpan dalam format elektronik atau digital dan dapat diakses atau ditemu-balikkan juga dalam
format digital. Terjadinya layanan digital di perpustakaan melalui suatu proses panjang. Sejarah
mencatat, bahwa layanan digital pada berbagai perpustakaan besar didunia ini adalah melewati
berbagai tahapan atau fase. Pengembangan dan penyediaan fasilitas akses informasi digital
menyangkut berbagai aspek yang perlu mendapat perhatian kita, khususnya bagi pustakawan.
Perpustakaan digital memiliki bentuk awal (preseden) yaitu berupa sebuah institusi yang
memang sebelumnya sudah diberi nama perpustakaan. Perpustakaan digital bukan semata-mata
pemakaian perangkat komputer, melainkan sebuah upaya yang lebih luas untuk menjawab
kebutuhan dan persoalan di bidang informasi umumnya, dan bidang perpustakaan khususnya.
Pemahaman tentang perpustakaan digital tidak dapat dilepaskan dari kehidupan berbasis informasi
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 3

pada umumnya, dan kepustakawanan pada khususnya. Disisi lain, fenomena perpustakaan digital
memperlihatkan perluasan upaya manusia di bidang informasi dan kepustakawanan dengan
melibatkan berbagai disiplin, seperti manajemen data, information retrieval, manajemen
dokumen, sistem informasi, teknologi Web, pengolahan citra (image processing), kecerdasan
buatan, interaksi manusia-komputer, dan preservasi digital (digitalisasi dokumen). Akibat dari

sifatnya yang multi-disipliner ini, konsep tentang perpustakaan digital juga disajikan dan dipahami
secara beragam pula. Ada yang melihatnya dari segi teknologi Web saja, dan ada juga yang
melihatnya dari segi preservasi digital saja. Sudut pandang spesifik seperti ini memang diperlukan
untuk menemukan solusi-solusi teknis yang juga spesifik. Tetapi untuk keperluan pemahaman
dasar, diperlukan sebuah payung pemahaman yang cukup mendasar.
Salah satu definisi perpustakaan digital yang dapat dikutip datang dari Digital Library
Federation menyatakan bahwa, perpustakaan digital adalah berbagai organisasi yang
menyediakan sumberdaya, termasuk pegawai yang terlatih khusus, untuk memilih, mengatur,
menawarkan akses, memahami, menyebarkan, menjaga integritas, dan memastikan keutuhan
karya digital, sedemikian rupa sehingga koleksi tersedia dan terjangkau secara ekonomis oleh
sebuah atau sekumpulan komunitas yang membutuhkannya. Definisi ini menegaskan bahwa
perpustakaan digital sesungguhnya merupakan upaya yang terorganisir dalam memanfaatkan
teknologi yang ada bagi keperluan masyarakat penggunanya. Jika diperiksa lebih dalam, dapat
dilihat bahwa perpustakaan digital masih mengandung konsep awal dari kepustakawanan
sebagaimana yang terkandung di dalam kata memilih, mengatur, menawarkan akses, memahami,
menyebarkan, menjaga integritas, dan memastikan keutuhan karya.
Kelahiran dan perkembangan teknologi informasi, terutama yang dimotori oleh teknologi
komputer, memang mempercepat dan mengubah berbagai praktik penting di dalam bidang
perpustakaan, informasi, dan dokumentasi. Secara sistemik telah terjadi perubahan dalam cara
kita memandang teknologi informasi, dari yang semata-mata hanya memusatkan perhatian pada

kemampuan mesin dalam mengolah informasi, menjadi perhatian pada peran teknologi dalam
hubungan antar manusia sebagai anggota masyarakat yang semakin lama semakin intensif
menggunakan informasi dalam berbagai aspek kehidupannya. Dari sudut pandang ini,
perpustakaan digital dapat dilihat sebagai sebuah sistem sosio-teknik yang memperlihatkan betapa
perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi umumnya, dan teknologi digital khususnya,
bersinggungan dengan aspek organisasional dan aspek sosial masyarakat yang menggunakannya.
3. Konsep Perpustakaan Digital
Terdapat berbagai konsep perpustakaan digital. Salah satu diantaranya adalah konsep yang
diusung oleh DELOS. DELOS adalah sebuah nama yang terkenal sebagai network of excellence
on digital libraries yaitu sebuah lembaga internasional yang didukung oleh komisi Eropa dan
sebagai bagian dari upaya Negara-negara di benua Eropa dalam pengembangan teknologi dan
masyarakat informasi (lihat http://www.delos.info). Konsep DELOS dapat dipakai untuk melihat
perpustakaan digital sebagai sistem sosio-teknis. Dalam sebuah manifestonya, lembaga ini
menggambarkan perpustakaan digital sebagai three-tier framework atau sebuah kerangka dengan
tiga pilar, yaitu:
• Digital Library (DL) sebagai sebuah organisasi (dapat berbentuk virtual, dapat juga tidak)
yang secara serius mengumpulkan, mengelola, dan melestarikan koleksi digital untuk
ditawarkan kepada masyarakat dalam bentuk yang fungsional, dengan kualitas yang terukur,
dan berdasarkan kebijakan yang jelas.
• Digital Library System (DLS) sebagai sebuah sistem perangkat lunak yang didasarkan pada

arsitektur informasi tertentu (diharapkan berbentuk arsitektur tersebar) untuk mendukung
semua fungsi DL di atas. Para pengguna akan berinteraksi dengan DL melalui DLS ini.
• Digital Library Management System (DLMS) sebagai sebuah sistem perangkat lunak generik
yang menyediakan infrastruktur baik untuk: (a) menghasilkan dan mengelola Digital Library
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 4

System yang fungsional untuk menjalankan fungsi Digital Libraries, maupun untuk (b)
mengintegrasikan berbagai perangkat tambahan agar dapat menawarkan fungsi lain yang lebih
spesifik bagi keperluan tertentu (Pendit,2008). Hubungan dari ketiga pilar tersebut dapat
digambarkan seperti pada diagram berikut.
DL

DLS
Mendukung

DLMS
Mendukung


DLMS tergolong sebagai “perangkat lunak system” ("system software"). Seperti halnya
sistem operasi, sistem pangkalan data dan sistem antarmuka, DLMS merupakan sarana dasar atau
platform untuk mengembangkan DLS.
Perpustakaan digital dikaitkan dengan isi, kegunaan, dan kualitas dan juga mengandung
hubungan sosial yang melibatkan empat pelaku utama, yaitu:
1) DL end-users atau pengguna perpustakaan digital sebagai pihak yang memanfaatkan fungsifungsi perpustakaan digital. Para pengguna akan melihat perpustakaan digital sebagai entitas
dalam keadaan siap yang menjalankan fungsi-fungsi sesuai kebutuhan mereka. Gerak dan hasil
kerja fungsi-fungsi ini diaktifkan oleh para pengguna serta sangat bergantung kepada keadaan
perpustakaan digital sewaktu dikontak oleh penggunanya. Termasuk dalam keadaan
perpustakaan digital ini adalah keadaan koleksinya dan kondisi aksesnya.
2) DL Designers adalah para perancang yang menggunakan pengetahuan mereka, merancang,
menyesuaikan, dan memelihara sistem perpustakaan digital berdasarkan kebutuhan fungsional
maupun kebutuhan informasi para pengguna. Agar dapat melakukan tugasnya, para perancang
ini berinteraksi dengan Digital Library Management System.
3) DL System Administrators atau administrator sistem perpustakaan digital merupakan pihak
yang memilih dan menetapkan komponen-komponen perangkat lunak yang diperlukan untuk
melaksanakan fungsi-fungsi perpustakaan digital. Para administrator juga berinteraksi dengan
DLMS dengan jalan merancang parameter dan konfigurasi sistem. Tugasnya adalah mengenali
konfigurasi apa yang paling tepat untuk sistem perpustakaan digital yang dikelolanya agar
dapat menghasilkan luaran (output) yang berkualitas.
4. DL Application Developers adalah pihak yang secara teknis mengembangkan komponenkomponen pembentuk DLMS. Mereka menggunakan berbagai perangkat lunak dan aplikasi
yang sesuai untuk mengembangkan fungsi sebagaimana dikehendaki pengguna dan dirancang
oleh administrator dan perancang di atas.
Kerjasama antara keempat pihak sangat menentukan keberhasilan pengembangan
perpustakaan digital. Perlu diketahui bahwa dalam konteks yang lebih luas, perpustakaan digital
sebenarnya adalah wujud dari kerjasama yang melibatkan berbagai pihak, dan itulah sebabnya di
dalam definisi dari Digital Library Federation yang dikutip di awal bagian ini terdapat kata-kata
digital libraries (bentuk jamak). Banyak pihak yang terlibat baik dari kalangan pustakawan, analis
dan desain sistem, programer, ahli jaringan, ahli web desain atau web portal dan sebagainya.
Sejarah perkembangan perpustakaan digital juga membuktikan bahwa sejak awal pengembangan
perpustakaan digital cenderung berlandaskan kerjasama yang meluas dan terus menerus.
Kerjasama itu pada umumnya melibatkan ahli perpustakaan, pustakawan dan ahli dalam bidang
teknologi informasi dan komunikasi.
Tahun 1990-an dianggap sebagai era ketika orang (terutama di negara-negara Barat dan
negara maju lainnya) mulai secara serius mengembangkan impian-impian lama manusia tentang
sebuah himpunan pengetahuan raksasa dalam bentuk digital. Artinya, pada era ini berbagai
pengetahuan tersedia dalam format digital. Boleh dikatakan, era 1990-an lah yang melahirkan
perpustakaan digital, walaupun konsep dan pemikirannya sudah ada sejak lama. Perkembangan
yang terjadi pada tahun 1990-an ini menjadi penentu ciri awal dari perpustakaan digital yang
sekarang berkembang.
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 5

4. Evolusi Perpustakaan Digital
Perpustakaan digital mengalami perkembangan yang dinamis, baik dari sisi teknologi
yang digunakan maupun dari format muatan informasi yang disediakan. Perkembangan teknologi
yang digunakan terus berubah baik dari sudut perangkat keras maupun perangkat lunak yang
digunakan. Aspek teknologi komunikasi juga mengalami perkembangan yang pesat, misalnya
peningkatan kapasitas bandwidth, penggunaan teknologi gelombang radio atau wireless LAN
(WLAN), dan wireless (WiFi) sebagai koneksi alternatif maupun sebagai jaringan back-up.
Format muatan informasi juga mengalami perkembangan yang dinamis, misalnya format HTML,
PDF, image. Sistem temu balik pun mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke
waktu. Perubahan-perubahan ini merupakan evolusi dari perpustakaan digital yang diperkirankan
akan terus berkembangan untuk tujuan kemudahan mendapatkan informasi bagi masyarakat.
Pada masa-masa awal perkembangannya ada perbedaan konsep dan penyebutan atau
istilah berkaitan dengan perpustakaan digital. Di Inggris misalnya lebih menyukai konsep dan
istilah perpustakaan elektronik, Amerika Serikat yang langsung dengan istilah perpustakaan
digital. Sebagaimana diuraikan oleh Rusbridge (1998), terdapat perbedaan antara Electronic
Libraries Programme (e-Lib) di Inggris dengan Digital Library Initiatives (DLI) di Amerika
Serikat. Terlepas dari perbedaan antara E-Lib dan D-Lib, namun yang paling penting adalah
persamaan yang juga menyolok dari keduanya, yakni bermula di lingkungan perguruan tinggi dan
keduanya langsung memikirkan persoalan pemanfaatan sumberdaya secara bersama-sama dalam
skala besar. Persoalan-persoalan pertama yang dihadapi oleh proyek E-Lib maupun D-Lib adalah
persoalan menyediakan sumberdaya digital kepada sebanyak mungkin pemakai sehingga
perpustakaan tetap dapat memenuhi prasyarat skala ekonomi (economic scale), alias "hemat tapi
efektif atau mungkin juga bisa dikatakan “murah dan meriah”.
Sebelum ada digital libraries initiative (DLI) di Amerika Serikat, ada tiga proyek yang
boleh dikatakan mengawali upaya digitalisasi perpustakaan. Pertama, proyek Mercury Electronic
Library di Carnegie Mellon, University of Pittsburgh antara tahun 1989 sampai 1992. Pada saat
itu istilah yang digunakan adalah electronic library. Proyek ini mengupayakan digitalisasi semua
jurnal tentang ilmu komputer. Kedua, proyek Chemistry Online Retrieval Experience yang
merupakan kerjasama antara Cornell University, OCLC, dan The American Chemical Association.
Ketiga, proyek Elsevier Science yang mengupayakan digitalisasi semua jurnal di 9 universitas
ternama Amerika Serikat, dari tahun 1991 sampai 1995. Proyek-proyek inilah yang kemudian
mendorong kelahiran DLI tahun 1994 yang langsung melibatkan tiga departemen pemerintah
(National Science Foundation, NASA, dan Defense Advance Research Project Agency).
Proyek E-Lib di Inggris juga memiliki ciri khas serupa pada masa-masa awalnya. Ada tiga
proyek handalan mereka. Pertama, proyek riset tentang bagaimana cara paling efektif melakukan
digitalisasi bahan-bahan non digital untuk keperluan preservasi. Kedua, proyek digitalisasi bahanbahan yang diperlukan bagi pendidikan di perguruan tinggi dengan orientasi ke layanan
berdasarkan permintaaan (on demand publishing). Ketiga, proyek Electronic Journals yang
berkonsentrasi pada upaya peningkatan penggunaan jurnal elektronik di kalangan perguruan
tinggi.
Sejak tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi perkembangan penting yang akhirnya
menentukan arah pertumbuhan perpustakaan digital baik sebagai konsep maupun sebagai
implementasi. Tahun itulah dimulainya upaya sungguh-sungguh untuk menggabungkan semua
potensi, pemikiran, dan inovasi teknologi, dalam bentuk DLI fase 1 (dikenal juga dengan mana
DLI-1, dan sekarang sudah dilanjutkan dengan DLI-2). Selain melibatkan badan riset pemerintah,
upaya ini juga melibatkan berbagai perpustakaan besar dari berbagai bidang, seperti bidan
kedokteran (National Library of Medicine), kesehatan (National Institutes of Health), politik dan
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 6

kenegaraan (Library of Congress), ilmu budaya (National Endowment for the Humanities), dan
ilmu museum dan perpustakaan (Institute of Museum and Library Studies)
Selain di Amerika Serikat dan Inggris, di Eropa juga berkembang pola serupa. Di antara
tahun 1990 sampai 1994, Parlemen Eropa yang merupakan parlemen gabungan negara-negara di
benua itu, membentuk program penerapan telematika untuk perpustakaan yang melibatkan
pemerintahan berbagai negara. Ada empat proyek besar mereka, yaitu komputerisasi data
bibliografi seluruh Eropa, pengembangan sistem interkoneksi dan jaringan antar perpustakaan
Eropa, inovasi pelayanan perpustakaan, dan pengembangan alat kerja perpustakaan berbasis
telematika. Pada tahun 1994 sampai 1998, program perpustakaan ini memasuki masa konsolidasi
untuk menyiapkan infrastruktur jaringan antar berbagai perpustakaan di berbagai negara.
Uraian di atas menggambarkan bahwa perkembangan di dua benua di atas yaitu Amerika
dan Eropa menunjukkan persamaan menyolok dalam dua hal, yaitu:
(a) Pembangunan perpustakaan digital merupakan upaya besar yang melibatkan sekaligus
banyak pihak, dengan dukungan formal dari negara.
(b) Sejak awal, perpustakaan digital dikembangkan sebagai sebuah jaringan raksasa yang
berupaya menghimpun keragaman sumberdaya informasi, dengan mengandalkan
interkoneksi telekomunikasi dan Internet.
Kedua ciri ini terus melekat selama masa perkembangan konsep maupun teknologi
perpustakaan digital. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara
Eropa Barat mendukung berbagai program penelitian dan pengembangan perpustakaan digital.
Akumulasi penelitian, pengembangan, dan pengalaman menjalankan perpustakaan digital
akhirnya ’mendewasakan’ konsep perpustakaan digital. Sebagaimana diulas Tedd dan Large
(2005), National Science Foundation akhirnya mendaftar tiga karakteristik utama perpustakaan
digital, yaitu:
(a) Memakai teknologi yang mengintegrasikan kemampuan menciptakan, mencari, dan
menggunakan informasi dalam berbagai bentuk di dalam sebuah jaringan digital yang
tersebar luas.
(b) Memiliki koleksi yang mencakup data dan metadata yang saling mengaitkan berbagai data,
baik di lingkungan internal maupun eksternal.
(c) Merupakan kegiatan mengoleksi dan mengatur sumberdaya digital yang dikembangkan
bersama-sama komunitas pemakai jasa untuk memenuhi kebutuhan informasi komunitas
tersebut. Oleh sebab itu, perpustakaan digital merupakan integrasi berbagai institusi,
seperti perpustakaan, museum, arsip, dan sekolah yang memilih, mengoleksi, mengelola,
merawat, dan menyediakan informasi secara meluas ke berbagai komunitas.
Ketiga karakteristik di atas akhirnya melengkapi pengertian dasar tentang perpustakaan
digital sebagai sebuah sistem yang melibatkan infrastruktur dalam pengertian lebih luas daripada
sekedar penggunaan teknologi informasi.

5. Layanan Digital
Untuk dapat menyediakan layanan digital diperlukan beberapa persyaratan. Persyaratan
yang dibutuhkan tergantung kepada bentuk dan jenis layanan digital yang disediakan. Adapun
persyaratan utama yang diperlukan adalah menyangkut dokumen elektronik dan infrastruktur
layanan.
(a) Dokumen Elektronik (e-document)
Salah satu syarat untuk dapat menyediakan layanan digital adalah tersedianya dokumen
elektonik (e-document). Dokumen elektronik dapat berupa buku elektronik (e-book), jurnal
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 7

elektronik (e-journal), atau dokumen lain dalam format eletronik. Buku elekronik adalah buku
yang diterbitkan dalam format elektronik. Pada prinsipnya muatan isi (content) buku elektronik
sama dengan versi cetaknya. Hanya karena formatnya berbeda maka cara penggunaannya pun
berbeda. Buku elektronik dapat dibeli secara utuh seperti halnya dengan buku biasa, terutama yang
tersedia terekam dalam CD atau media rekam elektronik lainya, tetapi ada yang dilanggan secara
online.
Journal elektronik (e-Journal) pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan buku elektronik,
muatan isi dalam jurnal elektronik sama dengan versi cetaknya. Akan tetapi pada umumnya jurnal
elektronik dilanggan secara online apakah per judul atau dalam bentuk paket. Biasanya bila
perpustakaan melanggan jurnal elektronik selalu disertai back issue. Dokumen lain yang tersedia
dalam format elektronik adalah seperti kamus elektronik, ensiklopedia elektronik dan sebagainya.
Beberapa perbedaan diantara dokumen cetak dengan elektronik dapat dilihat pada
perbandingan berikut:
Tabel: Perbedaan Dokumen Tercetak dengan Elektronik
Dokumen tercetak
Dokumen elektronik
Dapat dibaca di sembarang tempat
Hanya dapat dibaca bila tersedia
fasilitas pendukung, khususnya
komputer
Hanya dapat dibaca dengan fisik dokumen Dapat diakses dan dibaca dari jarak
jauh
Harus dimiliki secara fisik
Dapat dilanggan sesuai kebutuhan
Memerlukan tempat penyimpanan yang Penyimpanan tidak perlu permanen
permanen
Pemeliharaannya lebih sulit
Mudah memeliharanya
Harganya lebih mahal, dsb.
Biasanya harganya lebih murah
dari versi cetak
Informasi yang diperoleh tidak dapat Informasi yang diperoleh tidak
dimanipulasi sesuai keperluan
dapat
dimanipulasi
sesuai
keperluan
Pemesanan membutuhkan waktu dan Waktu pemesanan cepat
proses yang lama
Khusus jurnal tercetak, sering terjadi Melanggan jurnal online, perolehan
keterlambatan perolehan informasi
informasi sangat cepat
(b) Infrastruktur Layanan Digital
Untuk melakukan layanan elektronik di Perpustakaan dibutuhkan ketersediaan
infrastruktur layanan. Adapun infrastruktur yang dibutuhkan untuk layanan elektronik pada
dasarnya mencakup komputer server, komputer personal (PC), software (program aplikasi) dan
jaringan. Ketersediaan infrastruktur ini juga ditentukan oleh bentuk/sifat dan jenis layanan
elektronik yang disediakan. Ada dua bentuk layanan digital yaitu:
(1) Layanan digital yang off-line
Layanan elektronik yang sifatnya off-line (tidak terhubung dengan komputer lain)
memerlukan infrastruktur yang tidak terlalu rumit. Layanan elektronik ini dapat dilakukan
apabila tersedia komputer personal dan dokumen elektronik.
(2) Layanan digital yang Online
Layanan elektronik yang sifatnya online (terhubung dengan komputer lain) dapat
dikategorikan atas dua bentuk yaitu intranet (terhubung dengan komputer lain dalam
jaringan lokal) dan internet (terhung dengan jaringan global atau internasional). Untuk
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 8

layanan elektronik yang bersifat online-intranet diperlukan infrastruktur berupa komputer
server, komputer personal, jaringan lokal, software dan dokumen elektronik. Sedangkan
untuk layanan elektronik secara online-internet diperlukan infrastruktur berupa komputer
server, komputer personal, jaringan internet yang terhubung dengan jasa salah satu
provider (Telkom, Indosat, dsb) dan dokumen elektronik.
Ketersediaan infrastruktur layanan elektronik tersebut masih ditentukan oleh jenis layanan
elektronik yang disediakan. Jenis layanan elektronik pada dasarnya terdiri atas: layanan dengan
menyediakan dokumen elektronik, layanan dengan berlangganan, layanan dengan hanya
menyediakan fasilitas akses dan kobinasi.
(a) Layanan dengan menyediakan dokumen elektronik
Layanan elektronik dalam bentuk ini dilakukan dimana perpustakaan menyediakan
infratruktur berupa komputer personal dan dokumen elektronik. Dokumen elektronik yang
disediakan dapat berupa dokumen yang dibeli misalnya berupa CR-ROM atau berupa
dokumen elektronik yang dibuat sendiri oleh perpustakaan (digitalisasi). Saat ini banyak
perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia mendigitalisasi (alih media) dokumen cetak
menjadi dokumen elektronik, khususnya dokumen berupa karya ilmiah (skripsi, tesis,
disertasi, laporan penelitian, tulisan ilmiah dsb) yang belum dipublikasi (un-published) dengan
cara men-scan (menggunakan scanner). Ada juga yang melakukankannya dengan
mengeluarkan kebijakan melalui SK Rektor agar setiap penyerahan dokumen berupa karya
ilmiah ke Perpustakaan harus menyertakan file elektroniknya. Dengan kebijakan ini,
penyediaan dokumen elektronik dipermudah.
(b) Layanan dengan hanya menyediakan akses
Apabila Perpustakaan belum atau tidak memiliki dokumen elektronik, atau belum melanggan
salah satu dokumen elektronik, bukan berarti tidak boleh menyediakan layanan elektronik.
Perpustakaan yang tidak memiliki atau tidak melanggan dokumen elektronik dapat
menyediakan layanan elektronik. Sebab dokumen elektronik yang terdiri dari berbagai tipe,
apakah informasi ilmiah atau non ilmiah banyak yang tersedia secara gratis pada berbagai situs
web. Untuk hal ini, perpustakaan cukup menjadi penyedia layanan elektronik berupa akses
atau menyediakan fasilitas akses terhadap informasi elektronik.
Untuk layanan ini, internet menjadi fokus utama untuk melakuan pencarian informasi. Akses
ke internet menjadi sangat penting. Secara umum terdapat tiga jenis akses ke internet yaitu
hubungan dial-up, dan leased-line. Hubungan dial-up merupakan pilihan pertama untuk
organisasi kecil yang tertarik untuk mengenal internet. Organisasi yang lebih besar seperti
universitas biasanya dapat memperoleh akses melalui jaringan kampus yang telah terhubung
melalui leased-line. Untuk menjadi perpustakaan penyedia akses ke informasi elektronik
diperlukan infrastruktur berupa computer personal (PC) + Modem, Wifi, langganan ke salah
satu provider seperti Indosatnet, Telkomnet, Nusanet dsb., atau tidak berlangganan melainkan
menggunakan sambungan yang sudah tersedia seperti menggunakan Telkomnet instant, Smart
dsb.
(c) Layanan dengan melanggan dokumen elektronik
Layanan elektronik dengan cara ini dilakukan dengan melanggan salah satu atau beberapa atau
paket dokumen elektronik yang dimiliki oleh vendor tertentu. Perpustakaan mengikat
perjanjian (kontrak) berlangganan dengan salah satu vendor dokumen elektronik apakah ebook atau e-journal. Langganan biasanya per tahun. Misalnya, Kluwer Academik Publisher
menawarkan langganan e-book secara online. Perpustakaan dapat memilih judul-judul buku
yang akan dilanggan dari ribuan judul buku yang tersedia dalam database mereka.

Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 9

Dokumen elektronik yang paling umum dilanggan oleh perpustakaan adalah e-journal, seperti
ProQest, Ebsco dan sebagainya yang menawarkan langganan dalam bentuk paket yang terdiri
dari ratusan bahkan ribuan judul jurnal per paket. Misalnya, paket ProQuest Medical Library
(PML) memuat sekitar 400 judul jurnal bidang kedokteran dalam bentuk full text (image), atau
Academic Researh Library (ARL) memuat 1.900 judul jurnal fulltext (image).
Infrastruktur yang diperlukan untuk layanan elektronik ini adalah berupa komputer server,
komputer personal (PC), jaringan internet yang terhubung ke salah satu provider (Telkom,
Indosat, dsb) dan kontrak dengan vendor penyedia dokumen elektronik tertentu. Bentuk
layanan ini merupakan bentuk layanan elektronik yang paling variatif karena dengan bentuk
ini telah mencakup layanan elektronik seperti pada butir 1 dan 2.
6. Generasi dan Informasi
Salah satu pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah mengapa perpustakaan digital
harus tersedia?. Selain uraian pendahuluan di atas, salah satu faktor penting yang mendorong
bahkan mungkin mengharuskan ketersediaan perpustakaan digital adalah generasi pengguna
perpustakaan.
Marc Prensky (2001) seorang pakar pendidikan terkemuka dewasa ini, mengelompokkan
siswa/mahasiswa ke dalam dua golongan yaitu digital natives dan digital immigrants. Kelompok
digital natives adalah kelompok siswa/mahasiwa yang lahir di era digital, sedangkan kelompok
digital immigrants adalah kelompok yang bukan lahir di era digital tetapi mereka migrasi atau
masuk ke era digital. Lebih jelas Prensky (2001a) menefinisikan, has defined “digital natives”
as: the first generations to grow up with . . . new technology. They have spent their entire lives
surrounded by and using computers, videogames, digital music players, video cams, cell phones,
and all the other tools and toys of the digital age . . . Computer games, email, the Internet, cell
phones and instant messaging are integral parts of their lives. They have been conditioned by the
digital technological environment to expect immediate responses to information inquiries.
Sedangkan digital immigrant dinyatakan sebagai... Those not born into the digital world but later
became fascinated by the technology.
Untuk perpustakaan, pendapat Prensky di atas dapat diadopsi untuk menyatakan bahwa
pengguna perpustakaan sekarang ini adalah digital natives dan digital immigrants dan pada masa
mendatang dipastikan bahwa pengguna perpustakaan akan didominasi oleh generasi digital
natives. Seperti disebut di atas bahwa generasi digital native ini adalah generasi pengguna yang
lahir di era digital, dimana semenjak mereka lahir telah berada dalam lingkungan yang disertai
oleh teknologi digital.
Terkait dengan hubungan dan interaksi manusia dengan teknologi informasi, beberapa ahli
pendidikan diantaranya Jim Marteney (2010) membagi generasi manusia atas 6 (enam) generasi
yaitu:
a. GI’s (WW II)
Generasi ini adalah manusia yang lahir diantara tahun 1901 – 1924. Generai ini di Amerika
disebut sebagai generasi pejuang (The greatest generation) karena pada saat perang dunia kedua
(world war II) kebanyakan dari mereka menjadi pejuang. Singkatan GI adakalanya disebut
“galvanized iron” merujuk kepada peralatan metal militer pasukan Amerika yang digunakan pada
saat perang dunia pertama. GI juga disingkat sebagai “general infantry” yang merujuk kepada
artian bahwa generasi ini kebanyakan menjadi pejuang militer dan ada yang menyebutnya
“government issue” karena isu yang diperjuangkan pada masa itu adalah menyangkut isu
kenegaraan. Generasi yang lahir di era ini, boleh dikatakan belum bersentuhan dengan teknologi
informasi.
b. The Silent Generation
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 10

Generasi ini adalah generasi dari manusia yang lahir dari tahun 1925 sampai dengan tahun
1942. Di Indonesia, adalah mereka yang lahir di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Rata-rata
mereka menikah di usia sangat muda. Generasi ini suka bekerja keras, penuh dedikasi, sabar,
selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, menghargai, hormat kepada orang tua dan patuh
pada aturan serta norma masyarakat yang berlaku. Masa muda mereka kurang bahagia karena
harus berjuang dan juga karena cepat menikah. Sarana komunikasi saat itu adalah radio. Di hari
tua generasi ini, teknologi informasi mulai muncul, pada umumnya mereka menyaksikan,
merasakan manfaatnya akan tetapi hanya sebahagian kecil dari mereka yang dapat
menggunakannya. Sekarang ini generasi ini masih ada (69 – 86 tahun) dan mungkin perlu
dipertanyakan apakah mereka masih pengguna potensial perpustakaan? termasuk perpustakaan
digital?
c. Baby Boomers
Generasi manusia yang disebut The Baby Boomers adalah mereka yang lahir diantara
tahun 1943 sampai dengan tahun 1960. Istilah Baby Boomers diambil dari peristiwa yang terjasi
setelah perang dunia kedua dimana dibeberapa negara seperti Australia, Kanada, Inggris, Amerika
dsb., muncul fenomena dalam keluarga untuk berlomba memiliki anak (sebagai akibat perang
dunia II yang menyebabkan kekurangan manusia) sehingga angka kelahiran meningkat. Kelahiran
bayi meningkat sampai 3,5 juta dari sebelumnya 2,5 juta pertahun. Angka tersebut terus meningkat
dari tahun ke tahun hingga mencapai 4,5 juta setahun pada tahun 1960 (the baby boomers) dan
kemudian perlahan menurun.
Baby boomers yang saat ini berusia 51- 68 tahun menduduki posisi-posisi penting dalam
organisasi dan perusahaan. Sebagian mereka menduduki posisi puncak, bahkan banyak pula yang
sudah pensiun. Generasi ini telah mengalami pertumbuhan teknologi digital. Mereka melihat dan
merasakan dampak dari kecanggihan dari teknologi digital dalam lingkungannya. Sebahagian dari
generasi ini adalah orang yang menjadi pelaku dari teknologi itu (sekalipun mereka lahir bukan di
era itu), akan tetapi sebahagian ada yang masih penonton dari teknologi itu. Akan tetapi dalam
kenyataan sekarang ini, sebahagian besar generasi ini dipaksa masuk ke era teknologi digital
(digital immigrations).
d. Generasi X
Penggunaan X dalam penyebutan generasi ini adalah karena identitas yang tidak begitu
jelas perbedaannya dengan generasi sebelumnya (baby boomers) (hanya karena penggolongan
kurun waktu 20 tahunan untuk suatu generasi). Generasi X adalah manusia yang lahir tahun 1961
sampai dengan tahun 1981. Sekarang ini mereka berusia sekitar 31 sampai dengan 50 tahun.
Hampir sama dengan generasi sebelumnya bahwa generasi ini telah melihat petumbuhan
teknologi informasi dan mengalami dampaknya. Bedanya, sebahagian besar dari generasi ini
mulai mengenal teknologi informasi dari masa anak-anak. Akan tetapi belum mengenal
permainan game digital. Padda masa kecilnya, mereka masih menggunakan mainan tradisional
dan mulai mengenal mainan dari plastik. Sebagian besar orang pada generasi ini sudah mengenal
generasi awal komputer. Generasi ini mengenal tiga macam layar yaitu layar bisokop, layar TV
dan layar komputer. Sebahagian dari generasi ini menjadi pelaku dari teknologi itu (sekalipun
mereka lahir bukan di era itu), akan tetapi sebahagian ada yang masih penonton dari teknologi itu.
Akan tetapi dalam kenyataan sekarang ini, sebahagian besar generasi ini dipaksakan masuk ke era
teknologi digital (digital immigrations).
e. Generasi Milenial
Generasi milenial atau generasi milenium (genap seribu tahun) adalah generasi manusia
yang lahir pada tahun 1982 sampai dengan tahun 2002. Ada juga yang membagi generasi ini atas
generasi Echo Boomers yaitu generasi yang lahir 1982 s.d 1992, generasi Y yaitu mereka yang
lahir pada tahun 1993. Generasi Y ini pada tahun sekarang ini sudah tumbuh dewasa dan sudah
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 11

ada diantara mereka yang mulai masuk ke perguruan tinggi.
Generasi ini dipastikan akan menjadi pengguna potensial perpustakaan. Mereka tumbuh di
tengah perkembangan komunikasi internet, telepon seluler, dan industri media teknologi
informasi, salah satunya industri games online dan mereka merupakan generasi teknologi.
Pemunculan generasi milenial ini juga ditandai dengan peningkatan penggunaan alat komunikasi,
media dan teknologi informasi. Pada masa ini juga muncul teknologi komunikasi instan seperti
email, SMS, IM dan media baru yang mereka gunakan adalah melalui website. Generasi milenial
ini sangat akrab dengan situs jejaring sosial antara lain: Facebook, Myspace, Twitter. Mereka ingin
selalu terhubung dengan barang elektronik sepanjang waktu.
Generasi milenial ini memiliki istilah yang lebih populer dengan jargon “double-click”
untuk upaya menyelesaikan berbagai problema. Mereka yang telah kuliah di universitas memiliki
kemampuan dalam teknologi, mampu kerja paruh waktu, ambisius dan memahami aturan kampus
dan kebenaran politik, tetapi melihatnya sebagai tantangan. Generasi milenial merupakan
negosiator ulung dan memiliki keterampilan decision-making di usia muda. Mereka bisa
melakukan negosiasi dengan siapapun termasuk orang tua, dosen, bagian administrasi, jika diam
dianggap salah atau tidak setuju.
f. Digital Native (Generasi Z)
Digital native adalah generasi manusia yang lahir pada tahun 1994 sampai dengan akhir
sekarang. Ada juga yang menggolongkan bahwa mereka yang lahir tahun 1993 (generasi Y)
termasuk digital native. Digital native disebut juga sebagai the Internet generation yaitu suatu
istilah yang digunakan untuk merepresentasikan generasi yang lahir di tengah pertumbuhan
komputer dan internet yang sangat pesat. Mereka tumbuh dalam dunia World Wide Web.
Ada yang menyebut generasi Z dengan generasi platinum atau the native gadget. Mereka
ini sangat paham berinteraksi dengan gadget (peralatan) komunikasi informasi. Generasi platinum
memiliki karakter unik yang lebih eksploratif selaras arah perkembangan teknologi. Mereka
memiliki gaya yang mewakili bagian langkah global berbasis jejaring sosial dan pertumbuhan
teknologi baru.
Perbedaan yang sangat kelihatan dari generasi ini dengan generasi sebelumnya dapat
dilihat dari kemampuan memanfaatkan peralatan teknologi informasi. Kelihatannya kehidupan
mereka seperti dikendalikan oleh industri teknologi informasi bahkan banyak diantara mereka
yang dengan sangat mudah menerima dan menggunakan produk teknologi informasi tanpa sensor.
Mereka tidak mengetahui bagaimana kehidupan tanpa internet. Sekarang ini dapat kita lihat dari
penggunaan handphone misalnya, dimana mereka lebih memilih fasilitas WiFi, kamera 5
megapixel, 3G dan fasilitas lain yang memudahkan akses ke informasi. Di kota-kota besar terlihat
bahwa mereka ini akrab dengan suasana kafe, sambil menikati makanan dan minuman jari-jari
mereka lincah memainkan peralatan IT (laptop, handphon, Ipad, Tablet dsb.) untuk membuka
berbagai situs web. Chatting dan menulis di jejaring sosial facebook dan BB menjadi kegiatan
yang sering dilakukan. Generasi yang lahir di era ini juga terbiasa dengan memainkan game
online. Generasi inilah yang disebut dengan digital native. Ada juga yang menyebut generasi ini
dengan The World’s first 21st Century generation-the digital natives, the dot com kids, Generation
Media.
Seperti telah dipaparkan sebelumnya, generasi ini sangat paham dengan internet,
multitasking, dan technologically literate. Mereka ingin cepat dalam menelusur informasi dan
selalu tersambung dengan internet. Mereka sangat menyukai sumber-sumber informasi dalam
bentuk digital. Mereka ini suka secara sembarangan mengakses informasi (random acces to
information) dan menyukai fun learning. Secara umum, sebahagian dari karakteristik dari digital
native adalah:
• Mereka berada dalam dunia media dan peralatan (gadgets) terkait teknologi informasi
• Teknologi yang mereka gunakan mobile
• Internet menjadi bagian dari dunia mereka
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 12






Mereka adalah multitaskers
Mereka siap dengan perubahan besar teknologi bahkan untuk 10 tahun mendatang.
Cara belajar dan meneliti terbentuk oleh techno-world mereka
Selalu on, selalu connected

7. Digital Natives dan Perlunya Perpustakaan Digital
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa generasi Z atau digital native adalah
mereka yang lahir pada tahun 1994 sampai dengan tahun sekarang. Sebahagian dari mereka ini
berusia sekitar 17 tahun. Oleh karena itu, diperkirakan pada tahun 2012, sebahagian dari mereka
akan datang menjadi mahasiswa di perguruan tinggi. Mereka akan menjadi mahasiswa di
perguruan tinggi yang secara otomatis akan menjadi pemakai perpustakaan perguruan tinggi.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, Generasi Z ini akan mendominasi pemakai
perpustakaan perguruan tinggi.
Apa yang harus dilakukan? Perpustakaan perguruan tinggi harus mengubah paradigma
layanannya untuk memenuhi kebutuhan akan informasi generasi digital native ini; salah satu
diantarnya adalah membangun perpustakaan digital.
Berhadapan dengan fenomena perubahan yang terjadi, pustakawan harus memiliki
kemampuan untuk melihat dengan jelas apa sesungguhnya yang berubah dan apa yang tetap sama.
Nilai-nilai yang menjadi dasar profesi pustakawan kelihatannya akan tetap sama, tetapi cara nilainilai tersebut diterjemahkan kedalam kegiatan dan operasi akan mengalami perubahan secara
mendasar. Misi perpustakaan untuk mengumpulkan, mengorganisasikan dan menyediakan akses
terhadap sumberdaya informasi tetap relevan, tetapi teknologi dan cara untuk melakukannya
mengalami perubahan. Penyediaan sumberdaya informasi berbasis cetak tidak lagi cukup
memadai, tetapi harus dilengkapi dengan sumberdaya berbasis elektronik/digital yang yang
jumlah dan kecepatan penyebarannya terus meningkat.
Pustakawan harus melibatkan diri dalam pengembangan bahan-bahan elektronik, jika
perlu bekerjasama dengan pihak lain. Organisasi perpustakaan dapat direstrukturisasi untuk guna
mencapai visi dan peran baru sesuai dengan tantangan dan peluang yang timbul dari lingkungan
jaringan informasi elektronik.

Daftar Bacaan:
Andrews, Judith; Derek G. Law. Digital libraries: policy, planning, and practice. Aldershot,
England: Ashgate Publishing.
Alvarez, Bryan Anthony. 2009. Digital natives in the information age: How Student Study
Habits Reflect the Need for Change at a University Library.
http://aberdeen.academia.edu/BryanAnthonyAlvarez/Papers/326890/
Chowdhury, Gobinda G.; Sudatta Chowdhury. 2003. Introduction to digital libraries: Part 12.
New York: Library Assn Pub Ltd
Marteney, Jim. 2010. Generations and Their Learning. Los Angeles: Valley College
Pendit, Putu Laxman. 2007. Perpustakaan Digital: Perspektif Perpustakaan Perguruan Tinggi.
Jakarta: Sagung Seto
Disampaikan pada seminar dan workshop nasional Pemberdayaan Repository... di U.H. Nommensen Medan, 1-12- 2011

Page 13

Prensky, Marc. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants. On the Horizon.(MCB University
Press, Vol. 9 No. 5, October.
Robinson, Michael. 2007. Digital natur