Analisa Karakteristik Aggregat Kasar Sebagai Material Lapisan Pondasi dan Lapisan Permukaan Jalan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkerasan Lentur
Perkerasan lentur terdiri atas aggregat sebagai material utama dan aspal
sebagai bahan pengikat dengan atau tanpa bahan tambahan. Material–material
pembentuk beton aspal dicampur pada suatu suhu tertentu. Suhu pencampuran
ditentukan berdasarkan jenis aspal yang digunakan. Konstruksi perkerasan lentur
terdiri dari lapisan–lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang berfungsi
menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya.
Lapisan perkerasan terdiri atas 4 lapisan yaitu : lapisan tanah dasar
(Subgrade), lapisan pondasi bawah (Subbase), lapisan pondasi atas (Top Base),
dan lapisan permukaan (Surface).
Menurut Wright dan Dixon (2004) desain yang tepat dari perkerasan lentur
membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang karakteristik material dimana
perkerasan harus disusun dan didirikan secara sistematis. Berdasarkan dari sifat
desain prosedur, material yang dibutuhkan sangat beragam, tapi secara umum
dapat dibuat karakteristiknya sebagai berikut:
1. Lapisan permukaan aspal : Kekuatan atau stabilitas (Memungkinkan sifat
pengulangan beban).
2. Lapisan base dan subbase : Gradasi, kekuatan, atau stabilitas (kekuatan
geser dan sifat pengulangan beban).
5
Universitas Sumatera Utara
3. Lapisan modifikasi atau lapisan stabilisasi : Kekuatan (flextural,
compresive).
4. Subgrade : kekuatan atau stabilitas, klasifikasi tanah.
Di dalam tugas akhir ini lapisan yang akan diteliti materialnya hanya
lapisan pondasi atas dan lapisan permukaan karena dilapisan ini sering timbul
masalah pada lapis perkerasan jalan raya.
2.1.1 Lapisan Pondasi Atas ( Base Course )
Menurut Garber dan Hoel (2002) base course terletak langsung di atas
lapisan subbase. Dan terletak langsung di atas subgrade jika lapisan subbase
tidak digunakan. Lapisan ini biasanya terdiri dari material batuan seperti batu
pecah, batuan slag, batuan kerikil, dan pasir. Spesifikasi untuk material lapis
pondasi atas biasanya lebih ketat daripada spesifikasi untuk material subbase,
terutama pada plastisitas, gradasi, dan kekuatan materialnya. Material yang
tidak mempunyai persyaratan properties dapat digunakan sebagai base
material apabila dicampur dengan portland semen, aspal, dan kapur yang
distabilisasi dengan baik. Dalam beberapa kasus, lapisan pondasi atas yang
bagus dapat diolah dengan aspal atau portland semen untuk memperbaiki atau
menambah kekuatan kekakuan pada perkerasan heavy–duty.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) base course adalah lapisan yang
terletak tepat di bawah lapisan permukaan. Defenisi ini berlaku untuk lapisan
permukaan yang berbitumen ataupun beton semen setebal 8 inchi (20 cm) atau
lebih, atau bahkan lapisan tipis yang diawetkan dengan bahan bitumen.
Karena terletak tepat di bawah permukaan perkerasan, maka lapisan pondasi
6
Universitas Sumatera Utara
menerima pembebanan yang berat dan paling menderita akibat muatan. Oleh
karena itu, material di dalam lapisan pondasi harus berkualitas sangat tinggi
dan konstruksi harus dilakukan dengan cermat.
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat tegangan yang terjadi
langsung di bawah permukaan, lapisan pondasi atas harus terdiri atas bahan
bermutu tinggi. Apabila lapisan pondasi atas terdiri atas agregat, maka
aggregat tersebut harus bergradasi yang sesuai dengan gradasi yang
dicantumkan dalam spesifikasi. Untuk kondisi lalu lintas dan cuaca tertentu,
penentuan persyaratan gradasi harus mempertimbangkan berat isi dan
stabilitas.
Gambar 2.1. Struktur Lapisan Perkerasan Jalan Raya (Sumber: Google.com)
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Lapisan Permukaan (Surface Course)
Menurut Garber dan Hoel (2002) lapisan permukaan adalah lapisan
teratas pada perkerasan lentur dan dikonstruksi tepat diatas lapisan pondasi atas.
Lapisan permukaan pada perkerasan lentur biasanya terdiri dari campuran mineral
aggregat dan material aspal. Lapisan ini harusnya mampu untuk menahan tekanan
tinggi ban, menahan gaya abrasi lalu lintas, menahan skid–resistant yang
disebabkan oleh ban akibat gaya berkendara pengemudi, dan mencegah penetrasi
dari air permukaan kedalam lapisan perkerasan. Ketebalan lapisan permukaan
dapat bervariasi mulai dari 3 inci, hingga sampai lebih dari 6 inci, tergantung
kepada besarnya lalu lintas yang direncanakan dalam perencanaan perkerasan.
Kualitas dari lapisan permukaan pada perkerasan lentur tergantung kepada mix
design dari aspal yang akan digunakan.
Lapisan permukaan mempunyai fungsi antara lain :
Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda
Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari
kerusakan akibat cuaca
Sebagai lapisan aus (wearing coarse)
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya sama dengan bahan untuk
lapisan pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal
diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung
lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu
mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta tahapan konstruksi agar dicapai
manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
8
Universitas Sumatera Utara
2.2
Batuan
Batuan merupakan asal usul aggregat sebagai material yang bersifat keras
dan merupakan material yang tidak dapat dipecahkan dengan cara manual
(Atkins,1983).
Menurut Atkins (1983) batuan terbagi dalam tiga kelompok yaitu batuan beku
(igneous rock), batuan sedimen (sedimentary rock), dan batuan malihan
(metamorphic rock).
A. Batuan Beku
Batuan beku terbentuk dari magma (yang berasal jauh dibawah
permukaan), naik ke permukaan dan mengkristal sebagai batuan padat baik
dipermukaan atau di bawah permukaan di dalam kerak bumi jika
temperaturnya menurun. Yang termasuk dalam batuan beku adalah granit,
diorit, andesit, basal dan sebagainya.
Gambar 2.2. Contoh Batuan Beku (Sumber: Google.com)
B. Batuan Sedimen
Batuan sedimen secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari butiran sedimen mekanis yang dibawa ke daerah
pengendapan oleh air, angin atau aliran es/salju. Kelompok kedua terdiri dari
9
Universitas Sumatera Utara
mineral–mineral yang terbentuk oleh pengendapan secara kimia dari larutan
dalam air, atau oleh akumulasi sisa–sisa bahan organik.
Gambar 2.3. Contoh Batuan Sedimen (Sumber: Google.com)
C. Batuan Malihan (Metamorf)
Batuan metamorf terbentuk dari batuan lain akibat terjadinya panas dan
tekanan baik secara terpisah ataupun bersamaan. Ada dua kelompok batuan
metamorf yaitu batuan metamorfoliasi dimana mineral–mineralnya mempunyai
orientasi dalam arah tertentu, dan batuan metamorf masih yang mempunyai
tekstur yang acak. Batuan malihan terdiri dari gnesis, migmatit, sekis, filite, dan
batu sabak (slate).
Gambar 2.4. Contoh Batuan Metamorf (Sumber: Google.com)
10
Universitas Sumatera Utara
2.3
Aggregat
Menurut Sukirman (1999) aggregat adalah bahan keras yang apabila
dipadatkan sehingga bersatu kuat akan membentuk struktur pokok bangunan jalan
dengan atau tanpa penambahan bahan pengikat. Sedangkan menurut Wright dan
Dixon (2004) aggregat merujuk kepada partikel batuan mineral yang biasanya
digunakan untuk lapis base jalan raya, subbase, dan galian timbunan. Aggregat
juga digunakan dalam kombinasi adonan semen untuk membentuk beton sebagai
lapisan base, subbase, lapisan permukaan, dan struktur drainase. Sumber aggregat
meliputi galian alam seperti pasir dan kerikil, batuan kapur dan aspal, batuan
pecah, dan batuan mineral. Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan
aggregat daur ulang mulai menjadi pertimbangan di tengah semakin berkurangnya
sumber daya alam yang ada.
Menurut ukurannya, aggregat dibagi menjadi :
A. Aggregat kasar adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih besar dari
saringan No.8 (2,36mm).
B. Aggregat halus adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih kecil dari
saringan No.8 (2,36mm).
C. Bahan pengisi/filler adalah bagian dari aggregat halus yang minimal
75% lolos saringan No.200 (0,075mm).
Didalam tugas akhir ini aggregat yang diteliti hanya aggregat kasar.
11
Universitas Sumatera Utara
Aggregat kasar adalah aggregat yang ukurannya lebih besar dari 2,00 mm
(ayakan No.10) dan harus terdiri dari atas butiran-butiran atau pecahan-pecahan
batu, kerikil atau slag yang keras dan awet (SNI 03-6388-2000).
Menurut Atkins (1983) berdasarkan proses pengolahannya, aggregat dapat
dibedakan atas :
A. Aggregat alam/aggregat siap pakai
Aggregat alam adalah aggregat yang dapat digunakan sebagai material
perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di
lokasi asalnya. Aggregat jenis ini digunakan sesuai dengan bentuk aslinya
yang ada di alam atau sedikit mengalami pengolahan.
B. Aggregat yang mengalami proses pengolahan
Aggregat yang diproses adalah batuan yang telah dipecah dan disaring
sebelum digunakan. Pemecahan dilakukan karena tiga alasan yaitu : untuk
merubah tekstur permukaan partikel dari licin ke permukaan partikel
kasar, untuk merubah bentuk dari bulat (rounded) ke kubus (cubical), dan
untuk menambah distribusi dari rentang ukuran aggregat.
C. Aggregat buatan
Aggregat ini didapat dari proses kimia atau fisika dari beberapa material
sehingga menghasilkan suatu material baru yang sifatnya menyerupai
aggregat. Beberapa jenis aggregat ini merupakan hasil sampingan dari
proses industri dan proses material yang sengaja diproses agar bisa
digunakan sebagai aggregat atau sebagai material pengisi (filler). Slag
merupakan contoh aggregat yang di dapat dari hasil sampingan produksi.
12
Universitas Sumatera Utara
Batuan ini adalah substansi non metalik yang timbul ke permukaan dari
pencairan atau peleburan biji besi selama proses peleburan. Pada saat
menarik besi dari cetakan, slag ini akan pecah menjadi partikel yang lebih
kecil, baik melalui perendaman atau memecahkannya setelah dingin.
2.4
Karakteristik & Spesifikasi Aggregat
Menurut Wright dan Dixon (2004) karakteristik material terbagi menjadi
dua bagian yang menjelaskan tentang aggregat yaitu : basic properties of material
dan engineering properties of material. Basic properties of material adalah
properties yang mengacu kepada penelitian dasar-dasar aggregat seperti kadar air,
berat jenis, berat unit dan ketahanan geser. Engineering properties adalah
properties yang mengacu kepada penelitian pengembangan untuk menentukan
aggregat yang baik seperti ukuran partikel dan gradasi, kekerasan atau tahan
terhadap beban, daya tahan atau tahan terhadap cuaca, berat jenis dan penyerapan,
stabilitas kimia, bentuk partikel dan tekstur permukaan aggregat dan terbebas dari
partikel atau zat yang merugikan.
Menurut Hewes dan Oglesby (1960) karakteristik aggregat kasar adalah
stabilitas, tahan terhadap abrasi, tahan terhadap tekanan air dan harus kedap air.
Sedangkan menurut Oglesby dan Hicks (1982) syarat-syarat umum aggregat
untuk jalan beraspal adalah mempunyai unsur pokok 88%-96% dari berat atau
sesuatu yang lebih besar dari 75% volume. Aggregat harus berkualitas seragam,
dipecahkan keukuran seperlunya, dan harus terdiri dari batu kali yang liat, tahan
lama atau pecahan dari batuan atau terak dengan atau tanpa pasir atau aggregat
mineral yang lain yang terbagi secara halus. Adapun di dalam tugas akhir ini,
13
Universitas Sumatera Utara
karakteristik aggregat yang diteliti adalah karakteristik lapisan pondasi dan
lapisan permukaan.
Lapisan pondasi adalah lapisan yang sangat dibutuhkan dalam
perencanaan perkerasan jalan raya begitupun dengan lapisan permukaan. Oleh
karena itu, karakteristiknya sangat diperhatikan agar pada saat jalan digunakan
tidak timbul masalah pada kemudian hari.
Untuk sifat-sifat Lapisan Pondasi akan ditampilkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.1 Sifat-Sifat Lapisan Pondasi
Sifat – Sifat
Kelas A
Kelas B
Abrasi dari Aggregat Kasar (SNI 2417 :
0 – 40%
0 – 40%
2008)
Indeks Plastisitas (SNI 1966 : 2008)
0-6
6 – 12
Hasil kali Indeks Plastisitas dengan %
Maks. 25
Lolos Ayakan No. 200
Batas Cair (SNI 1967 : 2008)
0 - 25
0 – 35
Bagian yang Lunak (SNI 03 – 4141 –
0 – 5%
0 – 5%
1996)
CBR (SNI 03 – 1744 – 1989)
Min. 90% Min. 60%
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
Kelas S
0 – 40%
4 – 15
0 – 35
0 – 5%
Min. 50%
Untuk sifat-sifat Lapisan Permukaan akan ditampilkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal
Sifat – Sifat
Nilai
Batas Cair (SNI 03-1967-1990)
Maks. 35
Indeks Plastisitas (SNI 03-1966-1990)
Min. 4 dan Maks. 15
Abrasi Aggregat Kasar (SNI 03-2417-1991)
Maks. 40%
CBR (SNI 03-1744-1989
Min. 60%
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
14
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Karakteristik Lapisan Pondasi dan Lapisan Permukaan
Karakteristik
Lapisan Pondasi
Lapisan Permukaan
Tebal Lapisan
15 – 25 cm
Ukuran Butiran Aggregat Kasar
4,75 – 37,5 mm
Angularitas
95/90
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
5 – 10 cm
4,75 – 19 mm
95/90
Sifat dan kualitas aggregat menentukan kemampuannya dalam memikul
beban lalu lintas. Aggregat dengan sifat dan kualitas yang baik dibutuhkan untuk
lapisan pondasi dan lapisan permukaan. Sifat aggregat sebagai bahan perkerasan
jalan dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Kekuatan, yang dipengaruhi oleh gradasi, ukuran maksimum, kadar
lempung, kekerasan dan ketahanan (toughness and durability), bentuk
butir serta tekstur permukaan.
2. Kemampuan yang baik untuk dilapisi aspal, yang dipengaruhi oleh
porositas, kemungkinan basah dan jenis aggregat yang digunakan.
3. Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang nyaman
dan aman, yang dipengaruhi oleh tahanan geser (skid resistance) serta
campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan.
Berdasarkan Spesifikasi Bina Marga 2010 Revisi 2, aggregat lapisan
pondasi dan lapisan permukaan perkerasan lentur yang akan digunakan harus
memenuhi persyaratan umum yang dijelaskan pada Tabel 2.5
15
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Karakteristik Agregat Kasar untuk Lapisan Pondasi dan Lapisan
Permukaan
No
Uraian Pemeriksaan Aggregat
1
Pemeriksaan Gradasi Agregat
2
3
4
5
6
7
8
Metode Pengujian
Spesifikasi
Divisi 5 Bina Marga
Tertahan
2010 Revisi 2
ayakan No.10
Pemeriksaan Berat Jenis
SNI 1969 - 2008
Min 2,5
Pemeriksaan Penyerapan Aggregat
SNI 1969 - 2008
Maks 3 %
SNI 2417 - 2008
Maks 40 %
SNI 2439 - 2011
> 95 %
RSNI T-01-2005
Maks 10 %
RSNI T-01-2005
Maks 10 %
SNI 3407 - 2008
Maks 12%
Pemeriksaan Keausan dengan
mengunakan mesin Los Angeles
Pemeriksaan Kelekatan Aggregat
terhadap Aspal
Pemeriksaan Indeks Kelonjongan
Aggregat
Pemeriksaan Indeks Kepipihan Aggregat
Kekekalan bentuk aggregat terhadap
larutan Natrium Sulfat
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
2.4.1 Gradasi Aggregat
Tujuan gradasi adalah untuk memperoleh distribusi besaran atau jumlah
presentase butiran aggregat kasar.
Menurut Hardiyatmo (2011) gradasi aggregat adalah aggregat yang
terdistribusi dari ukuran besar hingga ukuran kecil. Gradasi ditentukan oleh
material yang lolos dari berbagai macam ukuran saringan yang disusun bertahap.
Sedangkan menurut Wright dan Dixon (2004) gradasi aggregat adalah campuran
ukuran partikel aggregat yang mempengaruhi berat jenis, kekuatan, dan
keekonomisan dari struktur jalan. Menurut Oglesby dan Hicks (1982) untuk
gradasi aggregat, aggregat yang dipilih harus dikontrol setiap jenis dan ukurannya
16
Universitas Sumatera Utara
melalui ayakan standar. Dalam kasus campuran, perbedaan sifat dalam bahan,
kesalahan dalam sampling dan pengujian, dan penggumpalan baik di dalam
sampel dan dalam penanganan campuran dalam jumlah besar dapat berarti bahwa
analisis ayakan mungkin tidak betul-betul menggambarkan bahan yang
sesungguhnya digabungkan.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) gradasi aggregat dapat dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu :
1. Gradasi seragam (uniform graded)
Gradasi seragam adalah aggregat dengan ukuran yang hampir sama atau
sejenis atau mengandung aggregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga
tidak dapat mengisi rongga antar aggregat. Disebut juga dengan gradasi
terbuka.
2. Gradasi rapat (dense graded)
Gradasi rapat merupakan campuran aggregat kasar dan halus dalam porsi
yang berimbang sehingga dinamakan juga aggregat bergradasi baik
3. Gradasi Buruk (poorly graded)
Gradasi buruk adalah gradasi aggregat dimana campuran aggregat disini
tidak memenuhi dua kategori di atas. Aggregat bergradasi buruk yang
umum digunakan untuk lapisan perkerasan lentur adalah gradasi celah
(gap graded), yang merupakan campuran aggregat dengan satu fraksi
hilang yang sering juga disebut gradasi senjang.
Untuk analisa gradasi, aggregat dapat di plot menggunakan grafik analisa
yang terdiri atas ayakan 2½”, 2”, 1½”, 1”, ¾”, ½”, 3/8”, #4, #8, #16, #30, #40,
#50, #100 dan #200. Didalam analisa gradasi, ada persyaratan khusus yang harus
17
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan yaitu kurva Fuller dan daerah larangan (restricted zone). Kurva
Fuller
adalah kurva gradasi dimana kondisi campuran memiliki kepadatan
maksimum dengan rongga diantara mineral aggregat minimum. Suatu campuran
dikatakan bergradasi sangat rapat ditentukan bila presentase rumus dari masingmasing saringan memenuhi persamaan berikut :
P = 100
n
Dimana : d = Ukuran saringan yang ditinjau
D = Ukuran aggregat maksimum dari gradasi tertentu
n = 0,35 – 0,45
Gambar 2.5. Contoh Perhitungan Kurva Fuller (Sumber: Google.com)
18
Universitas Sumatera Utara
Dibawah ini akan ditampilkan syarat gradasi yang digunakan dalam
perencanaan perkerasan jalan raya :
Tabel 2.5 Gradasi Lapisan Pondasi Aggregat
Ukuran Ayakan
Persen Berat yang Lolos
ASTM
(mm)
Kelas A
Kelas B
Kelas S
2”
50
–
100
1 ½”
37,5
100
88 – 95
100
1
25
79 – 85
70 – 85
89 - 100
3/8”
9,5
44 – 58
30 – 65
55 – 90
No.4
4,75
29 – 44
25 – 55
40 – 75
No.10
2
17 – 30
15 – 40
26 – 59
No.40
0,425
7 – 17
8 – 20
12 – 33
No.200
0,0075
2–8
2–8
4 – 22
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
Tabel 2.6 Gradasi Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal
Ukuran Ayakan
Persen Berat yang Lolos
ASTM
(mm)
3/4”
19
100
No. 4
4,75
51-74
No. 40
0,425
18-36
N0. 200
0,075
10-22
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
2.4.2 Berat Jenis Aggregat
Tujuan penelitian berat jenis aggregat adalah untuk mengkalkulasi volume
yang terisi oleh aggregat dalam berbagai macam campuran yang terkandung di
dalam aggregat.
Menurut SNI 1969-2008, berat jenis adalah perbandingan antara berat dari
satuan volume dari suatu material terhadap berat air dengan volume yang sama
pada temperatur yang ditentukan. Nilai-nilainya adalah tanpa dimensi. Menurut
Wright dan Dixon (2004) berat jenis adalah rasio massa benda dengan volume
19
Universitas Sumatera Utara
yang sama dari air yang disuling pada temperatur tertentu. Sedangkan menurut
Atkins (1983) berat jenis adalah perbandingan berat sejumlah volume aggregat
tanpa mengandung rongga udara terhadap air pada volume yang sama.
Pengujian ini dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian untuk
menentukan berat jenis curah, berat jenis kering permukaan jenuh, berat jenis
semu dari aggregat kasar.
Pengujian dilakukan terhadap aggregat kasar, yaitu yang tertahan oleh
saringan berdiameter 4,75 mm (saringan no. 4); hasil pengujian ini dapat
digunakan dalam pekerjaan :
I.
II.
Penyelidikan Quarry Aggregat
Perencanaan campuran dan pengendalian mutu perkerasan jalan
Untuk perhitungan, persamaan yang digunakan adalah :
a) Berat Jenis Curah Kering (Bulk)
Berat Jenis Curah Kering =
Dimana :
A : adalah berat benda uji kering oven (gram).
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis curah kering ialah perbandingan antara berat aggregat kering
dan berat air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan jenuh
pada suhu 25o C
20
Universitas Sumatera Utara
b) Berat Jenis Jenuh Kering Permukaan (SSD).
Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan) =
Dimana :
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis kering permukaan jenuh yaitu perbandingan antara berat
aggregat kering permukaan jenuh dan berat air suling yang isinya sama dengan isi
aggregat dalam keadaan jenuh pada suhu 25o C.
c) Berat Jenis Semu (Apparent)
Berat jenis semu =
Dimana :
A : adalah berat benda uji kering oven (gram).
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis semu ialah perbandingan antara berat aggregat kering dan berat
air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan kering/tanpa
kandungan air pada suhu 25o C.
Adapun langkah kerja pengujian ini adalah :
1. Keringkan contoh uji dengan temperatur (110±5)0 C, dingin kan pada
temperatur kamar selama satu hingga tiga jam dengan ukuran
maksimum nominal 37,5 mm. Sesudah itu rendam aggregat didalam
air pada temperatur kamar selama (24±4) jam.
21
Universitas Sumatera Utara
2. Pindahkan contoh uji dari dalam air dan gulingkan pada suatu
lembaran penyerap air sampai semua lapisan air yang terlihat hilang.
Kerjakan hati-hati untuk menghindari penguapan air dari pori-pori
aggregat dalam mencapai kondisi jenih kering permukaan. Tentukan
nilainya.
3. Setelah ditentukan beratnya, segera tempatkan contoh uji di dalam
wadah lalu tentukan beratnya di dalam air yang mempunyai kerapatan
(997±2) kg/m3 pada temperatur (23±2)0 C.
4. Keringkan contoh uji tersebut sampai berat tetap pada temperatur
110±5)0 C, dinginkan pada temperatur kamar selama satu sampai tiga
jam, atau sampai aggregat telah dingin pada suatu temperatur 500 C
kemudian tentukan beratnya.
Untuk spesifikasi berat jenis, di dalam SNI 1969-2008 menjelaskan bahwa
nilai dari berat jenis curah kering, nilai berat jenis jenuh kering permukaan (SSD)
dan nilai berat jenis semu minimal 2,5.
2.4.3 Penyerapan Aggregat
Tujuan penyerapan aggregat adalah untuk menentukan nilai penyerapan
yang digunakan untuk menghitung perubahan massa aggregat karena air diserap
dalam ruang pori dalam partikel penyusun aggregat.
Menurut SNI 1969-2008, penyerapan aggregat adalah penambahan air dari
suatu aggregat akibat air yang meresap ke dalam pori-pori. Sedangkan menurut
Atkins (1983) penyerapan aggregat ialah perbandingan berat air yang dapat
diserap quarry terhadap berat aggregat kering, dinyatakan dalam persen.
22
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penyerapan yang
dilakukan oleh aggregat kasar. Pengujian ini dihitung setelah berat kering, berat
ssd, dan berat jenuh aggregat telah dihitung. Pengujian ini menggunakan satuan
persen.
Untuk perhitungannya, dapat dimasukkan kedalam persamaan berikut :
Penyerapan air =
[
] x100%
Dimana :
A : adalah benda berat uji kering oven (gram).
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
2.4.4 Abrasi Aggregat Kasar
Tujuan pengujian abrasi adalah untuk mengetahui ketahanan aggregat
yang dapat dicapai bilamana kekuatan aggregat tersebut kurang akibat keausan.
Menurut Wright dan Dixon (2004) aggregat yang digunakan di dalam
perkerasan jalan harus keras dan tahan terhadap beban yang berulang. Dan untuk
menentukan kekerasan aggregat digunakan tes Los Angeles Abrasion.
Pengujian Los angeles dapat disebut juga pengujian Rattler. Pengujian
Rattler adalah pengujian ketahanan aggregat terhadap abrasi. Pengujian Rattler
sebagian besar telah menggantikan Pengujian Deval untuk Abrasi. (Oglesby dan
Hicks, 1982)
Menurut SNI 2417-2008 Pengujian ini sangat penting sebagai pegangan
untuk
menentukan
kekuatan
aggregat
kasar
terhadap
keausan
dengan
menggunakan mesin abrasi Los Angeles. Tujuannya untuk mengetahui angka
23
Universitas Sumatera Utara
keausan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan aus terhadap
berat semula dalam persen
Umumnya ketika dilapangan pengujian ini menentukan apakah aggregat
yang digunakan layak atau tidak. Karena pengujian ini berguna untuk mengetahui
seberapa besar kekuatan material aggregat kasar itu sendiri.
Tata cara pengujian abrasi ini adalah :
1. Pengujian ketahanan aggregat kasar terhadap keausan dapat dilakukan
dengan salah satu dari tujuh cara berikut ini :
Tabel 2.7 Daftar Gradasi dan Berat Uji Abrasi
Ukuran Saringan
Lolos
Tertahan
Saringan
Saringan
mm
inchi mm inchi
75
3,0
63
2½
63
2½
50
2
50
2
37,5
1½
37,5
1½
25
1
25
1
19
¾
19
¾
12,5
½
12,5
½
9,5
3/8
9,5
3/8
6,3
¼
6,3
¼
4,75 No.4
4,75
No.4 2,36 No.8
Gradasi dan berat benda uji (gram)
A
B
C
D
E
F
G
1250±25
1250±25
1250±10
1250±10
-
2500±10
2500±10
-
2500±10
2500±10
-
2500±10
2500±10
2500±50
2500±50
5000±50
-
5000±50
5000±25
-
Total
5000±10
5000±10
5000±10
5000±10
10000±10
10000±10
Jumlah Bola
Berat Bola (Gram)
12
5000±25
11
4584±25
8
3330±20
6
2500±15
12
5000±25
12
5000±25
5000±25
5000±25
10000±1
0
12
5000±25
Sumber : SNI 2417-2008
2. Benda uji dan bola dimasukkan ke dalam mesnin abrasi Los Angeles
3. Putaran mesin dengan kecepatan 30-33 rpm; jumlah putaran gradasi A
hingga D adalah 500 putaran dan untuk gradasi E hingga G adalah
1000 putaran
4. Setelah selesai pemutaran, keluarkan benda uji lalu disaring dengan
saringan NO. 12 (1,70 mm); butiran yang tertahan dicuci bersih lalu
24
Universitas Sumatera Utara
dikeringkan di dalam oven bertemperatur 1100 C ± 50 C sampai berat
tetap.
5. Jika material contoh uji homogen, pengujian cukup dilakukan dengan
100 putaran, dan setelah selesai pengujian disaring dengan saringan
No.12 (1,70 mm) tanpa pencucian. Perbandingan hasil pengujian
antara 100 putaran dan 500 putaran agregat tertahan di atas saringan
No. 12 (1,70 mm) tanpa pencucican tidak boleh lebih besar dari 0,20
6. Metode pada butir 5. Tidak berlaku untuk pengujian material dengan
metode ASTM C 535-96.
Karena pengujian ini menggunakan Gradasi A (Sesuai SNI 2417-2008)
maka, diperlukan 12 buah bola baja berdiameter ±4,68 cm dan berat masingmasing bola baja berkisar antara 390 gram sampai dengan 445 gram.
Gambar 2.6 Bola Baja
Mesin yang digunakan bernama mesin Los Angeles yang terdiri dari
silinder baja tertutup pada kedua sisinya dengan diameter dalam 711 mm (28 inci)
panjang dalam 508 mm (20 inci); silinder bertumpu pada dua poros pendek yang
tak menerus berputar pada poros mendatar; silinder berlubang untuk memasukkan
sampel; penutup lubang terpasang rapat sehingga permukaan dalam silinder tidak
25
Universitas Sumatera Utara
terganggu; di bagian dalam silinder terdapat bilah baja melintang penuh setinggi
89 mm (3,5 inci).
Gambar 2.7 Mesin Los Angeles
Prosedur perhitungan pengujian ini dapat digunakan persamaan :
Keausan =
x 100%
Dimana :
a : adalah berat benda uji semula, dinyatakan dalam gram.
b : adalah berat benda uji tertahan No. 12 (1,70 mm), dinyatakan dalam gram.
2.4.5 Kelekatan Aggregat terhadap Aspal
Jika suatu lantai jalan harus kuat dan tahan lama, bahan pengikat harus
melekat kuat pada partikel-partikel aggregat. Jika bahan pengikat terpisah atau
mengupas dari aggregat, lantai jalan dapat berdisintegrasi karena lalu lintas.
Sering kali permukaan lantai menjadi berlubang, seperti aggregat yang didorong
lepas oleh ban-ban kendaraan. Lebih lanjut, jika campuran pengerasan jalan
mengembang, interlock dan gesekan dalam dihancurkan akibatnya stabilitas jalan
akan hilang (Oglesby dan Hicks, 1982).
26
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan di atas, maka dilakukanlah
pengujian ini. Pengujian ini melihat karakteristik dari aggregat terhadap
kelekatannya dengan aspal. Salah satu karakteristik yang dapat ditinjau dari
pengujian ini adalah adhesi dari aggregat. Menurut Garber dan Hoel (2002) aspal
yang melapisi seluruh permukaan aggregat tidak boleh terdegradasi terhadap air
dan ini merupakan sifat adhesi.
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui dilapangan apakah aspal
yang digunakan benar-benar murni aspal pen 60/70 atau sudah dicampur dengan
kerosin atau solar.
Menurut SNI 2439-2011 tata cara pengujiannya adalah aggregat yang
telah dipilih dan disiapkan dilapisi dengan aspal pada temperatur yang telah
ditentukan, sesuai dengan kelas aspal yang digunakan. Bila digunakan aspal cair,
aggregat yang diselimuti aspal dibiarkan pada temperatur 600 C. Bila digunakan
aspal emulsi, aggregat yang diselimuti aspal dibiarkan pada temperatur 1350 C.
Setelah penyelimutan, bila digunakan aspal semi padat, atau setelah mengikat
untuk aspal cair, aspal emulsi, aggregat yang terselimuti direndam dalam air
suling selama 16 jam sampai dengan 18 jam. Pada akhir periode perendaman
dilihat secara visual dengan nilai dibawah 95% atau diatas 95% .
27
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Contoh Pengujian Kelekatan Aggregat terhadap Aspal.
2.4.6 Indeks Kepipihan dan Kelonjongan Aggregat
Menurut RSNI T 01-2005, aggregat berbentuk lonjong adalah butiran
aggregat yang mempunyai rasio panjang terhadap lebar lebih besar dari nilai yang
ditentukan dalam spesifikasi. Aggregat berbentuk pipih adalah butiran aggregat
yang mempunyai rasio lebar terhadap tebal lebih besar dari nilai yang ditentukan
dalam spesifikasi.
Pengujian ini meliputi penentuan presentasi partikel pipih, partikel
lonjong, atau partikel pipih lonjong pada aggregat kasar.
Aggregat yang pipih memiliki kelemahan yaitu kurang bisa menerima
beban kejut dari kendaraan serta lemah dalam interlocking satu sama lain. Ketika
aggregat yang pipih menerima beban kejut, kemungkinan aggregat itu untuk
menahan beban dibandingkan dengan aggregat tersebut akan lebih besar
kemungkinan aggregat tersebut patah terlebih dahulu (Wright dan Dixon, 2004).
Pengujian ini digunakan untuk menetapkan kaidah dan tata cara penentuan
presentase dari butiran aggregat kasar berbentuk pipih, lonjong, atau tidak pipih
dan tidak lonjong.
28
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini membutuhkan aggregat yang tertahan pada ayakan 1”, 3/4”,
1/2", dan 3/8”. Pengujian ini menggunakan alat yang bernama Alat Jangkar Ukur
Rasio. Alat ini terdiri dari plat dasar dengan dua tonggak tetap dan sebuah lengan
yang dapat diatur bukaannya dengan perbandingan yang konstan. Posisi sumbu
dapat disesuaikan dengan perbandingan ukuran bukaannya. Alat ini bisa diatur
dengan perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:5. Fungsi dari alat ini adalah untuk
mengukur aggregat yang telah di ayak untuk mendapatkan rasio lebar terhadap
tebal, panjang terhadap lebar, atau panjang terhadap tebal.
Gambar 2.9 Alat Jangkar Ukur Rasio
Prosedur perhitungan pengujian ini digunakan persamaan :
a. Kepipihan :
Kepipihan (F) =
Dimana :
F
: adalah nilai rata-rata kepipihan, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn : adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
29
Universitas Sumatera Utara
Pt
: adalah total presentase butiran aggregat yang tertahan pada
ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
f1...fn : adalah persentase butiran aggregat yang pipih pada masingmasing ukuran saringan.
b. Kelonjongan :
Kelonjongan (E) =
Dimana :
E
: adalah nilai rata-rata kelonjongan, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn : adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
Pt
: adalah total persentase butiran aggregat yang tertahan pada
ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
e1...en : adalah persentase butiran aggregat yang lonjong pada masingmasing ukuran saringan.
c. Tidak Pipih dan Tidak Lonjong :
NFNE =
Dimana :
NFNE
: adalah nilai rata-rata butiran yang tidak pipih dan tidak
lonjong, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn
: adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
30
Universitas Sumatera Utara
Pt
: adalah total persentase butiran aggregat yang tertahan
pada ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
NfNe1...NfNen
: adalah persentase butiran aggregat yang lonjong pada
masing-masing ukuran saringan.
2.4.7 Kekekalan Aggregat
Kekekalan aggregat terhadap cuaca dapat disebut juga dengan Soundness.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) kekekalan aggregat adalah ketahanan aggregat
terhadap kerusakan akibat aksi-aksi seperti pembekuan dan pencairan. Dalam hal
ini pembekuan dan pencairan adalah cuaca ekstrim seperti cuaca salju dan cuaca
yang panas terik.
Menurut SNI 3407-2008, kekekalan aggregat adalah aggregat yang
bentuknya tidak bereaksi atau sangat sedikit terdisintegrasi terhadap larutan
Natrium Sulfat.
Kekekalan aggregat merupakan salah satu karakteristik yang penting
dikarenakan aggregat dikondisikan seperti menerima perubahan cuaca ekstrim,
sehingga karakteristik dari kekekalan ini tidak bisa diabaikan. Aggregat diberi
larutan asam yang mensimulsikan perubahan cuaca yang bisa membuat lapisan
permukaan tergerus apabila aggregat memiliki nilai kekekalan yang tinggi.
Pengujian ini merupakan salah satu pengujian yang penting dikarenakan
aggregat akan dikondisikan seperti menerima perubahan cuaca yang ekstrim,
sehingga pengujian ini tidak bisa diabaikan. Tetapi, dilapangan jarang dilakukan
pengujian ini dikarenakan bahan larutan yang sulit didapat dan pengujian abrasi
dapat mewakili pengujian ini.
31
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini merupakan pengujian yang menggunakan larutan kimiawi
yang berbahaya sehingga diharapkan ketika melakukan penelitian harus dilakukan
secara hati-hati dan mengutamakan keselamatan kerja.
Pengujian ini dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama adalah gabungan antara
ayakan tertahan pada 1” & 3/4", dan ayakan 1/2" & 3/8”. Untuk ayakan 1”
diperlukan aggregat kasar seberat 1012±20 gram, untuk ayakan 3/4" diperlukan
aggregat kasar seberat 513±20 gram, untuk ayakan 1/2" diperlukan aggregat kasar
seberat 675±20 gram, dan untuk ayakan 3/8” diperlukan aggregat kasar seberat
333±20 gram. Untuk larutan natrium sulfat dibutuhkan 150 gram per 1 liter air
suling pada temperatur 220 C.
Prosedur perhitungan Pengujian ini dapat digunakan persamaan :
X (%)
=
x 100%
Dimana :
X : adalah persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%).
B : adalah berat contoh uji awal (gram).
C : adalah berat contoh uji tertahan saringan setelah pengujian (gram).
2.5
Cara Pengambilan Aggregat
Tata cara pengambilan contoh aggregat dijelaskan didalam SNI 03-68892002 meliputi sumber aggregat, penentuan jumlah contoh dan cara pengambilan
contoh. Sumber aggregat ditentukan menjadi 6 macam yaitu :
32
Universitas Sumatera Utara
1. Sumber aggregat potensial : contoh aggregat yang akan diambil di dapat dari
sumber alam potensial seperti sisi sungai, daratan, gunung dan sebagainya.
2. Sumber Batuan Kompak (massive) : contoh batuan kompak yang akan diambil
di dapat dari sumber alam potensial.
3. Tumpukan aggregat bentuk kerucut : contoh aggregat yang akan diambil
didapat dari tumpukan curahan ban berjalan.
4. Tumpukan aggregat berbentuk trapesium : contoh aggregat yang akan diambil
didapat dari tumpukan, yang ditimbun dengan menggunakan dump-truck dan
sebagainya.
5. Aggregat Pengangkutan : contoh aggregat yang akan didambil didapat dari
pengangkutan seperti truk, kereta api, kapal dan sebagainya
6. Aggregat dari hamparan lapangan : contoh aggregat yang akan diambil didapat
dari pengangkutan seperti truk, kereta api, kapal dan sebagainya.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini termasuk sumber aggregat
potensial.
Berat contoh pengambilan sampel diperkirakan berdasarkan ukuran
nominal aggregat maksimum sebagaimana yang dijelaskan di dalam Tabel 2.1.
Dalam penelitian ini aggregat kasar yang akan digunakan sebagai sampel lapisan
pondasi adalah aggregat berukuran 1 ½” maka perkiraan jumlah minimum sampel
dari lapangan diambil sebanyak ±75 kg. Sedangkan aggregat kasar yang akan
digunakan sebagai sampel lapisan permukaan adalah aggregat berukuran ¾” maka
perkiraan jumlah minimum sampel dari lapangan diambil sebanyak ±25 kg.
33
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Berat Contoh Pengambilan Sampel
Ukuran nominal Aggregat
Perkiraan jumlah minimum
Maksimum
contoh dari lapangan (kg)
Aggregat Halus
No.8 (2,36 mm)
1010
No.4 (4,75 mm)
1010
Aggregat Kasar
3/8 Inchi (9,5 mm)
10
½ Inchi (12,5 mm)
15
3/4 Inchi (19,0 mm)
25
1 Inchi (25,0 mm)
50
1 ½ Inchi (37,5 mm)
75
2 Inchi (50,0 mm)
100
2 ½ Inchi (63 mm)
125
3 Inchi (75 mm)
150
3 ½ Inchi (90 mm)
175
Keterangan :
Untuk Aggregat yang diolah, ukuran nominal maksimum dari partikel adalah ukuran
terbesar yang ada daam tabel spesifikasi yang dapat diterapkan pada bahan material
tertahan.
Untuk kombinasi aggregat kasar dan halus berat minimum adalah berat aggregat kasar
ditambah 10 kg.
Sumber : SNI 03-6889-2002
Adapun cara pengambilan contoh aggregat kasar dari sumber aggregat
potensial adalah sebagai berikut :
1. Tentukan lapisan kedalaman yang akan diambil contoh aggregat, pada
umumnya diketahui setelah dilakukan penggalian.
2. Lakukan pengupasan tanah permukaan hingga bersih dari kotoran dan lakukan
penggalian dengan ukuran (0,8 x 0,8 m).
3. Pada kedalaman yang ditentukan, lakukan pengukuran aggregat nominal
dengan saringan.
4. Ambil contoh aggregat sesuai dengan jumlah berat minimum yang
dipersyaratkan.
34
Universitas Sumatera Utara
2.6
Penelitian Terkait
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dan yang telah dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. “Perbandingan Karakteristik Aggregat Kasar Pulau Jawa dengan
Aggregat Luar Pulau Jawa Ditinjau Dari Kekuatan Campuran Perkerasan
Lentur” Michael K. Setyawan, Paravita Sri Wulandari, Harry Patmadjaja.
Jurnal ini membahas tentang spesifikasi aggregat yang ada di pulau jawa
yang berasal dari Pandaan dan Pacitan dan dibandingkan dengan aggregat diluar
pulau jawa yang berasal dari daerah Bali dan daerah Kalimantan lalu ditinjau
kekuatan campurannya tetapi tidak dijelaskan jenis aggregat yang digunakan.
Hasilnya aggregat Bali memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,20; berat
jenis lapisan permukaan 2,24; penyerapan lapisan pondasi 5,25%; penyerapan
lapisan permukaan 5,98%; keausan aggregat 36,39%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 9,97% dan kekekalan aggregat 0,59%. Aggregat Kalimantan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,55; berat jenis lapisan
permukaan 2,54; penyerapan lapisan pondasi 2,19%; penyerapan lapisan
permukaan 2,19%; keausan aggregat 22,54%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 33,43% dan kekekalan aggregat 0,29%. Aggregat Pacitan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,52; berat jenis lapisan
permukaan 2,50; penyerapan lapisan pondasi 2,01%; penyerapan lapisan
permukaan 3,20%; keausan aggregat 30,48%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 24,75% dan kekekalan aggregat 14,22%. Aggregat Pandaan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,72; berat jenis lapisan
35
Universitas Sumatera Utara
permukaan 2,65; penyerapan lapisan pondasi 1,69%; penyerapan lapisan
permukaan 1,14%; keausan aggregat 28,76%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 28,88% dan kekekalan aggregat 1,16%.
2. “Pengaruh Kepipihan dan Kelonjongan Aggregat Terhadap Perkerasan
Lentur Jalan Raya” M. Aminsyah.
Jurnal ini membahas pengaruh bentuk butiran pipih dan bentuk butiran
lonjong terhadap perkerasan lentur jalan raya dengan membandingkan campuran
standar yang sesuai dengan spesifikasi dengan beberapa kombinasi pemakaian
aggregat kasar pipih/lonjong untuk campuran perkerasan. Adapun sumber
aggregat yang digunakan tidak diterangkan di dalam jurnal. Hasil pemeriksaan
aggregat menunjukkan bahwa semua pengujian memenuhi spesifikasi (Berat
Jenis: 2,595; Penyerapan: 1,23%; Keausan Aggregat: 29,686%; Kelekatan
terhadap Aspal: 95%; Kepipihan dan Kelonjongan: 15,30% dan 20,72%). Di
dalam jurnal ini, pengujian kekekalan bentuk aggregat tidak dilakukan.
3. “Evaluation of the Influence of Parent Rock, Crushing, and Abrasion on
Aggregate Morphology Characteristics” Wenjuan Sun.
Jurnal ini membahas tentang karakteristik morpologi dan komposisi
mineral yang terdapat di dalam aggregat kasar. Aggregat yang digunakan adalah
aggregat untuk lapisan permukaan yaitu ukuran 3/4” hingga No.4. Karakteristik
yang diuji adalah berat jenis aggregat, penyerapan aggregat, dan keausan
aggregat. Ada 5 daerah di bagian Michigan yang diteliti yaitu : Aggregat dari
Mackinak,MI termasuk jenis batuan dolomit yang berwarna coklat muda hingga
abu-abu muda dimana berat jenisnya 2,78; penyerapan: 0,52%; keausan : 27%.
Aggregat dari Monroe,MI termasuk jenis batuan dolomit yang berwarna coklat
36
Universitas Sumatera Utara
dimana berat jenisnya: 2,45; penyerapan: 4,16%; keausan: 45%. Aggregat dari
Kent,MI termasuk jenis batuan kerikil glasial bulat berbagai warna dengan tekstur
sangat lembut dimana berat jenisnya: 2,68; penyerapan: 1,10%; keausan: 19%.
Aggregat dari Schoolcraft,MI termasuk jenis batuan sedimen yaitu batu kapur
berwarna coklat muda dengan tekstur yang padat dimana berat jenisnya: 2,65;
penyerapan: 0,64%; keausan: 25%. Aggregat dari Arenac,MI termasuk jenis
batuan sedimen batu kapur berwarna abu-abu muda teksturnya sangat padat
dengan banyak butiran pasir kuarsa di dalamnya dimana berat jenisnya: 2,56;
penyerapan: 2,13%; keausan: 42%.
4. “Kajian Campuran Aggregat Kasar yang Berbeda Abrasi Terhadap
Parameter Marshall Menggunakan Aspal Pen 60/70 untuk Laston AC-WC
(Studi Kasus: Aggregat Kab. Gayo Lues dan Aggregat Kab. Aceh Utara)”
Suhery, Sofyan M. Saleh, Yuhanis Yunus.
Jurnal ini membahas tentang material aggregat kasar yang diambil dari
kab. Gayo Lues dan dari Kab. Aceh utara untuk dicari nilai abrasinya terhadap
parameter marshall menggunakan aspal pen 60/70 untuk Laston AC – WC tetapi
tidak diketahui jenis aggregat yang digunakan. Untuk Aggregat Rikit Gaib hasil
pengujian aggregat kasarnya adalah: (Berat Jenis: 2,624; Penyerapan: 0,813%;
Kekerasan: 8,71%; Keausan: 33,53%; Kepipihan dan Kelonjongan: 3,215% dan
8,804%; Kelekatan Aggregat: 108%). Untuk Aggregat Cot Girek hasil pengujian
aggregat kasarnya adalah: (Berat Jenis: 2,824; Penyerapan: 1,261%; Kekerasan:
16,1%; Keausan: 22,89%; Kepipihan dan Kelonjongan: 6,363% dan 7,92%;
Kelekatan Aggregat: 108%).
37
Universitas Sumatera Utara
5. “Evaluasi Karakteristik Aggregat untuk Dipergunakan Sebagai Lapis
Pondasi Berbutir” Yully Yanette, Tan Lie Ing, Samun Haris.
Penelitian ini membahas tentang aggregat yang dipergunakan untuk
lapisan pondasi berbutir yang diambil dari kota bandung.jenis aggregat tidak
diketahui dan untuk aggregat kasar, pengujian yang dilakukan hanya berat jenis
aggregat: 2,75; keausan aggregat : 19,6% dan penyerapan aggregat: 2,54%.
6. “Tinjauan Sifat – Sifat Aggregat untuk Campuran Aspal Panas (Studi
Kasus: Beberapa Quarry di Gorontalo)” Fadly Achmad.
Penelitian ini membahas tentang sifat- sifat fisik aggregat yang ada di
daerah Provinsi Gorontalo. Penelitian ini mengambil 3 Quarry di daerah
gorontalo yaitu Quarry Pilolalenga, Quarry Tangkobu, Quarry Molintogopu.
Hasilnya aggregat yang berasal dari Quarry Pilolalenga memenuhi spesifikasi
(berat jenis lapisan pondasi: 2,733; berat jenis lapisan permukaan: 2,744;
penyerapan aggregat lapisan pondasi: 1,034%; penyerapan aggregat lapisan
permukaan: 1,585% dan Abrasi: 15%). Quarry Tangkobu memenuhi spesifikasi
(berat jenis lapisan pondasi: 2,69; berat jenis lapisan permukaan: 2,68; penyerapan
aggregat lapisan pondasi: 1,55%; penyerapan aggregat lapisan permukaan: 1,52%
dan Abrasi: 14,37%). Quarry Molintogopu memenuhi spesifikasi (berat jenis
lapisan pondasi: 2,67; berat jenis lapisan permukaan: 2,622; penyerapan aggregat
lapisan pondasi: 1,251%; penyerapan aggregat lapisan permukaan: 1,818% dan
Abrasi: 23%). Di dalam jurnal ini pengujian kelekatan aggregat terhadap aspal,
pengujian indeks kepipihan dan kelonjongan, dan pengujian kekekalan bentuk
aggregat tidak dilaksanakan.
38
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Perkerasan Lentur
Perkerasan lentur terdiri atas aggregat sebagai material utama dan aspal
sebagai bahan pengikat dengan atau tanpa bahan tambahan. Material–material
pembentuk beton aspal dicampur pada suatu suhu tertentu. Suhu pencampuran
ditentukan berdasarkan jenis aspal yang digunakan. Konstruksi perkerasan lentur
terdiri dari lapisan–lapisan yang diletakkan di atas tanah dasar yang berfungsi
menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya.
Lapisan perkerasan terdiri atas 4 lapisan yaitu : lapisan tanah dasar
(Subgrade), lapisan pondasi bawah (Subbase), lapisan pondasi atas (Top Base),
dan lapisan permukaan (Surface).
Menurut Wright dan Dixon (2004) desain yang tepat dari perkerasan lentur
membutuhkan pemahaman menyeluruh tentang karakteristik material dimana
perkerasan harus disusun dan didirikan secara sistematis. Berdasarkan dari sifat
desain prosedur, material yang dibutuhkan sangat beragam, tapi secara umum
dapat dibuat karakteristiknya sebagai berikut:
1. Lapisan permukaan aspal : Kekuatan atau stabilitas (Memungkinkan sifat
pengulangan beban).
2. Lapisan base dan subbase : Gradasi, kekuatan, atau stabilitas (kekuatan
geser dan sifat pengulangan beban).
5
Universitas Sumatera Utara
3. Lapisan modifikasi atau lapisan stabilisasi : Kekuatan (flextural,
compresive).
4. Subgrade : kekuatan atau stabilitas, klasifikasi tanah.
Di dalam tugas akhir ini lapisan yang akan diteliti materialnya hanya
lapisan pondasi atas dan lapisan permukaan karena dilapisan ini sering timbul
masalah pada lapis perkerasan jalan raya.
2.1.1 Lapisan Pondasi Atas ( Base Course )
Menurut Garber dan Hoel (2002) base course terletak langsung di atas
lapisan subbase. Dan terletak langsung di atas subgrade jika lapisan subbase
tidak digunakan. Lapisan ini biasanya terdiri dari material batuan seperti batu
pecah, batuan slag, batuan kerikil, dan pasir. Spesifikasi untuk material lapis
pondasi atas biasanya lebih ketat daripada spesifikasi untuk material subbase,
terutama pada plastisitas, gradasi, dan kekuatan materialnya. Material yang
tidak mempunyai persyaratan properties dapat digunakan sebagai base
material apabila dicampur dengan portland semen, aspal, dan kapur yang
distabilisasi dengan baik. Dalam beberapa kasus, lapisan pondasi atas yang
bagus dapat diolah dengan aspal atau portland semen untuk memperbaiki atau
menambah kekuatan kekakuan pada perkerasan heavy–duty.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) base course adalah lapisan yang
terletak tepat di bawah lapisan permukaan. Defenisi ini berlaku untuk lapisan
permukaan yang berbitumen ataupun beton semen setebal 8 inchi (20 cm) atau
lebih, atau bahkan lapisan tipis yang diawetkan dengan bahan bitumen.
Karena terletak tepat di bawah permukaan perkerasan, maka lapisan pondasi
6
Universitas Sumatera Utara
menerima pembebanan yang berat dan paling menderita akibat muatan. Oleh
karena itu, material di dalam lapisan pondasi harus berkualitas sangat tinggi
dan konstruksi harus dilakukan dengan cermat.
Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat tegangan yang terjadi
langsung di bawah permukaan, lapisan pondasi atas harus terdiri atas bahan
bermutu tinggi. Apabila lapisan pondasi atas terdiri atas agregat, maka
aggregat tersebut harus bergradasi yang sesuai dengan gradasi yang
dicantumkan dalam spesifikasi. Untuk kondisi lalu lintas dan cuaca tertentu,
penentuan persyaratan gradasi harus mempertimbangkan berat isi dan
stabilitas.
Gambar 2.1. Struktur Lapisan Perkerasan Jalan Raya (Sumber: Google.com)
7
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Lapisan Permukaan (Surface Course)
Menurut Garber dan Hoel (2002) lapisan permukaan adalah lapisan
teratas pada perkerasan lentur dan dikonstruksi tepat diatas lapisan pondasi atas.
Lapisan permukaan pada perkerasan lentur biasanya terdiri dari campuran mineral
aggregat dan material aspal. Lapisan ini harusnya mampu untuk menahan tekanan
tinggi ban, menahan gaya abrasi lalu lintas, menahan skid–resistant yang
disebabkan oleh ban akibat gaya berkendara pengemudi, dan mencegah penetrasi
dari air permukaan kedalam lapisan perkerasan. Ketebalan lapisan permukaan
dapat bervariasi mulai dari 3 inci, hingga sampai lebih dari 6 inci, tergantung
kepada besarnya lalu lintas yang direncanakan dalam perencanaan perkerasan.
Kualitas dari lapisan permukaan pada perkerasan lentur tergantung kepada mix
design dari aspal yang akan digunakan.
Lapisan permukaan mempunyai fungsi antara lain :
Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda
Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari
kerusakan akibat cuaca
Sebagai lapisan aus (wearing coarse)
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya sama dengan bahan untuk
lapisan pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal
diperlukan agar lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri
memberikan bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung
lapisan terhadap beban roda. Pemilihan bahan untuk lapisan permukaan perlu
mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta tahapan konstruksi agar dicapai
manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.
8
Universitas Sumatera Utara
2.2
Batuan
Batuan merupakan asal usul aggregat sebagai material yang bersifat keras
dan merupakan material yang tidak dapat dipecahkan dengan cara manual
(Atkins,1983).
Menurut Atkins (1983) batuan terbagi dalam tiga kelompok yaitu batuan beku
(igneous rock), batuan sedimen (sedimentary rock), dan batuan malihan
(metamorphic rock).
A. Batuan Beku
Batuan beku terbentuk dari magma (yang berasal jauh dibawah
permukaan), naik ke permukaan dan mengkristal sebagai batuan padat baik
dipermukaan atau di bawah permukaan di dalam kerak bumi jika
temperaturnya menurun. Yang termasuk dalam batuan beku adalah granit,
diorit, andesit, basal dan sebagainya.
Gambar 2.2. Contoh Batuan Beku (Sumber: Google.com)
B. Batuan Sedimen
Batuan sedimen secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama terdiri dari butiran sedimen mekanis yang dibawa ke daerah
pengendapan oleh air, angin atau aliran es/salju. Kelompok kedua terdiri dari
9
Universitas Sumatera Utara
mineral–mineral yang terbentuk oleh pengendapan secara kimia dari larutan
dalam air, atau oleh akumulasi sisa–sisa bahan organik.
Gambar 2.3. Contoh Batuan Sedimen (Sumber: Google.com)
C. Batuan Malihan (Metamorf)
Batuan metamorf terbentuk dari batuan lain akibat terjadinya panas dan
tekanan baik secara terpisah ataupun bersamaan. Ada dua kelompok batuan
metamorf yaitu batuan metamorfoliasi dimana mineral–mineralnya mempunyai
orientasi dalam arah tertentu, dan batuan metamorf masih yang mempunyai
tekstur yang acak. Batuan malihan terdiri dari gnesis, migmatit, sekis, filite, dan
batu sabak (slate).
Gambar 2.4. Contoh Batuan Metamorf (Sumber: Google.com)
10
Universitas Sumatera Utara
2.3
Aggregat
Menurut Sukirman (1999) aggregat adalah bahan keras yang apabila
dipadatkan sehingga bersatu kuat akan membentuk struktur pokok bangunan jalan
dengan atau tanpa penambahan bahan pengikat. Sedangkan menurut Wright dan
Dixon (2004) aggregat merujuk kepada partikel batuan mineral yang biasanya
digunakan untuk lapis base jalan raya, subbase, dan galian timbunan. Aggregat
juga digunakan dalam kombinasi adonan semen untuk membentuk beton sebagai
lapisan base, subbase, lapisan permukaan, dan struktur drainase. Sumber aggregat
meliputi galian alam seperti pasir dan kerikil, batuan kapur dan aspal, batuan
pecah, dan batuan mineral. Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan
aggregat daur ulang mulai menjadi pertimbangan di tengah semakin berkurangnya
sumber daya alam yang ada.
Menurut ukurannya, aggregat dibagi menjadi :
A. Aggregat kasar adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih besar dari
saringan No.8 (2,36mm).
B. Aggregat halus adalah aggregat dengan ukuran butiran lebih kecil dari
saringan No.8 (2,36mm).
C. Bahan pengisi/filler adalah bagian dari aggregat halus yang minimal
75% lolos saringan No.200 (0,075mm).
Didalam tugas akhir ini aggregat yang diteliti hanya aggregat kasar.
11
Universitas Sumatera Utara
Aggregat kasar adalah aggregat yang ukurannya lebih besar dari 2,00 mm
(ayakan No.10) dan harus terdiri dari atas butiran-butiran atau pecahan-pecahan
batu, kerikil atau slag yang keras dan awet (SNI 03-6388-2000).
Menurut Atkins (1983) berdasarkan proses pengolahannya, aggregat dapat
dibedakan atas :
A. Aggregat alam/aggregat siap pakai
Aggregat alam adalah aggregat yang dapat digunakan sebagai material
perkerasan jalan dengan bentuk dan ukuran sebagaimana diperoleh di
lokasi asalnya. Aggregat jenis ini digunakan sesuai dengan bentuk aslinya
yang ada di alam atau sedikit mengalami pengolahan.
B. Aggregat yang mengalami proses pengolahan
Aggregat yang diproses adalah batuan yang telah dipecah dan disaring
sebelum digunakan. Pemecahan dilakukan karena tiga alasan yaitu : untuk
merubah tekstur permukaan partikel dari licin ke permukaan partikel
kasar, untuk merubah bentuk dari bulat (rounded) ke kubus (cubical), dan
untuk menambah distribusi dari rentang ukuran aggregat.
C. Aggregat buatan
Aggregat ini didapat dari proses kimia atau fisika dari beberapa material
sehingga menghasilkan suatu material baru yang sifatnya menyerupai
aggregat. Beberapa jenis aggregat ini merupakan hasil sampingan dari
proses industri dan proses material yang sengaja diproses agar bisa
digunakan sebagai aggregat atau sebagai material pengisi (filler). Slag
merupakan contoh aggregat yang di dapat dari hasil sampingan produksi.
12
Universitas Sumatera Utara
Batuan ini adalah substansi non metalik yang timbul ke permukaan dari
pencairan atau peleburan biji besi selama proses peleburan. Pada saat
menarik besi dari cetakan, slag ini akan pecah menjadi partikel yang lebih
kecil, baik melalui perendaman atau memecahkannya setelah dingin.
2.4
Karakteristik & Spesifikasi Aggregat
Menurut Wright dan Dixon (2004) karakteristik material terbagi menjadi
dua bagian yang menjelaskan tentang aggregat yaitu : basic properties of material
dan engineering properties of material. Basic properties of material adalah
properties yang mengacu kepada penelitian dasar-dasar aggregat seperti kadar air,
berat jenis, berat unit dan ketahanan geser. Engineering properties adalah
properties yang mengacu kepada penelitian pengembangan untuk menentukan
aggregat yang baik seperti ukuran partikel dan gradasi, kekerasan atau tahan
terhadap beban, daya tahan atau tahan terhadap cuaca, berat jenis dan penyerapan,
stabilitas kimia, bentuk partikel dan tekstur permukaan aggregat dan terbebas dari
partikel atau zat yang merugikan.
Menurut Hewes dan Oglesby (1960) karakteristik aggregat kasar adalah
stabilitas, tahan terhadap abrasi, tahan terhadap tekanan air dan harus kedap air.
Sedangkan menurut Oglesby dan Hicks (1982) syarat-syarat umum aggregat
untuk jalan beraspal adalah mempunyai unsur pokok 88%-96% dari berat atau
sesuatu yang lebih besar dari 75% volume. Aggregat harus berkualitas seragam,
dipecahkan keukuran seperlunya, dan harus terdiri dari batu kali yang liat, tahan
lama atau pecahan dari batuan atau terak dengan atau tanpa pasir atau aggregat
mineral yang lain yang terbagi secara halus. Adapun di dalam tugas akhir ini,
13
Universitas Sumatera Utara
karakteristik aggregat yang diteliti adalah karakteristik lapisan pondasi dan
lapisan permukaan.
Lapisan pondasi adalah lapisan yang sangat dibutuhkan dalam
perencanaan perkerasan jalan raya begitupun dengan lapisan permukaan. Oleh
karena itu, karakteristiknya sangat diperhatikan agar pada saat jalan digunakan
tidak timbul masalah pada kemudian hari.
Untuk sifat-sifat Lapisan Pondasi akan ditampilkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.1 Sifat-Sifat Lapisan Pondasi
Sifat – Sifat
Kelas A
Kelas B
Abrasi dari Aggregat Kasar (SNI 2417 :
0 – 40%
0 – 40%
2008)
Indeks Plastisitas (SNI 1966 : 2008)
0-6
6 – 12
Hasil kali Indeks Plastisitas dengan %
Maks. 25
Lolos Ayakan No. 200
Batas Cair (SNI 1967 : 2008)
0 - 25
0 – 35
Bagian yang Lunak (SNI 03 – 4141 –
0 – 5%
0 – 5%
1996)
CBR (SNI 03 – 1744 – 1989)
Min. 90% Min. 60%
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
Kelas S
0 – 40%
4 – 15
0 – 35
0 – 5%
Min. 50%
Untuk sifat-sifat Lapisan Permukaan akan ditampilkan pada Tabel 2.3
Tabel 2.2 Sifat-Sifat Bahan Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal
Sifat – Sifat
Nilai
Batas Cair (SNI 03-1967-1990)
Maks. 35
Indeks Plastisitas (SNI 03-1966-1990)
Min. 4 dan Maks. 15
Abrasi Aggregat Kasar (SNI 03-2417-1991)
Maks. 40%
CBR (SNI 03-1744-1989
Min. 60%
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
14
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Karakteristik Lapisan Pondasi dan Lapisan Permukaan
Karakteristik
Lapisan Pondasi
Lapisan Permukaan
Tebal Lapisan
15 – 25 cm
Ukuran Butiran Aggregat Kasar
4,75 – 37,5 mm
Angularitas
95/90
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
5 – 10 cm
4,75 – 19 mm
95/90
Sifat dan kualitas aggregat menentukan kemampuannya dalam memikul
beban lalu lintas. Aggregat dengan sifat dan kualitas yang baik dibutuhkan untuk
lapisan pondasi dan lapisan permukaan. Sifat aggregat sebagai bahan perkerasan
jalan dapat dikategorikan menjadi 3 kelompok yaitu :
1. Kekuatan, yang dipengaruhi oleh gradasi, ukuran maksimum, kadar
lempung, kekerasan dan ketahanan (toughness and durability), bentuk
butir serta tekstur permukaan.
2. Kemampuan yang baik untuk dilapisi aspal, yang dipengaruhi oleh
porositas, kemungkinan basah dan jenis aggregat yang digunakan.
3. Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang nyaman
dan aman, yang dipengaruhi oleh tahanan geser (skid resistance) serta
campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan.
Berdasarkan Spesifikasi Bina Marga 2010 Revisi 2, aggregat lapisan
pondasi dan lapisan permukaan perkerasan lentur yang akan digunakan harus
memenuhi persyaratan umum yang dijelaskan pada Tabel 2.5
15
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.4 Karakteristik Agregat Kasar untuk Lapisan Pondasi dan Lapisan
Permukaan
No
Uraian Pemeriksaan Aggregat
1
Pemeriksaan Gradasi Agregat
2
3
4
5
6
7
8
Metode Pengujian
Spesifikasi
Divisi 5 Bina Marga
Tertahan
2010 Revisi 2
ayakan No.10
Pemeriksaan Berat Jenis
SNI 1969 - 2008
Min 2,5
Pemeriksaan Penyerapan Aggregat
SNI 1969 - 2008
Maks 3 %
SNI 2417 - 2008
Maks 40 %
SNI 2439 - 2011
> 95 %
RSNI T-01-2005
Maks 10 %
RSNI T-01-2005
Maks 10 %
SNI 3407 - 2008
Maks 12%
Pemeriksaan Keausan dengan
mengunakan mesin Los Angeles
Pemeriksaan Kelekatan Aggregat
terhadap Aspal
Pemeriksaan Indeks Kelonjongan
Aggregat
Pemeriksaan Indeks Kepipihan Aggregat
Kekekalan bentuk aggregat terhadap
larutan Natrium Sulfat
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
2.4.1 Gradasi Aggregat
Tujuan gradasi adalah untuk memperoleh distribusi besaran atau jumlah
presentase butiran aggregat kasar.
Menurut Hardiyatmo (2011) gradasi aggregat adalah aggregat yang
terdistribusi dari ukuran besar hingga ukuran kecil. Gradasi ditentukan oleh
material yang lolos dari berbagai macam ukuran saringan yang disusun bertahap.
Sedangkan menurut Wright dan Dixon (2004) gradasi aggregat adalah campuran
ukuran partikel aggregat yang mempengaruhi berat jenis, kekuatan, dan
keekonomisan dari struktur jalan. Menurut Oglesby dan Hicks (1982) untuk
gradasi aggregat, aggregat yang dipilih harus dikontrol setiap jenis dan ukurannya
16
Universitas Sumatera Utara
melalui ayakan standar. Dalam kasus campuran, perbedaan sifat dalam bahan,
kesalahan dalam sampling dan pengujian, dan penggumpalan baik di dalam
sampel dan dalam penanganan campuran dalam jumlah besar dapat berarti bahwa
analisis ayakan mungkin tidak betul-betul menggambarkan bahan yang
sesungguhnya digabungkan.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) gradasi aggregat dapat dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu :
1. Gradasi seragam (uniform graded)
Gradasi seragam adalah aggregat dengan ukuran yang hampir sama atau
sejenis atau mengandung aggregat halus yang sedikit jumlahnya sehingga
tidak dapat mengisi rongga antar aggregat. Disebut juga dengan gradasi
terbuka.
2. Gradasi rapat (dense graded)
Gradasi rapat merupakan campuran aggregat kasar dan halus dalam porsi
yang berimbang sehingga dinamakan juga aggregat bergradasi baik
3. Gradasi Buruk (poorly graded)
Gradasi buruk adalah gradasi aggregat dimana campuran aggregat disini
tidak memenuhi dua kategori di atas. Aggregat bergradasi buruk yang
umum digunakan untuk lapisan perkerasan lentur adalah gradasi celah
(gap graded), yang merupakan campuran aggregat dengan satu fraksi
hilang yang sering juga disebut gradasi senjang.
Untuk analisa gradasi, aggregat dapat di plot menggunakan grafik analisa
yang terdiri atas ayakan 2½”, 2”, 1½”, 1”, ¾”, ½”, 3/8”, #4, #8, #16, #30, #40,
#50, #100 dan #200. Didalam analisa gradasi, ada persyaratan khusus yang harus
17
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan yaitu kurva Fuller dan daerah larangan (restricted zone). Kurva
Fuller
adalah kurva gradasi dimana kondisi campuran memiliki kepadatan
maksimum dengan rongga diantara mineral aggregat minimum. Suatu campuran
dikatakan bergradasi sangat rapat ditentukan bila presentase rumus dari masingmasing saringan memenuhi persamaan berikut :
P = 100
n
Dimana : d = Ukuran saringan yang ditinjau
D = Ukuran aggregat maksimum dari gradasi tertentu
n = 0,35 – 0,45
Gambar 2.5. Contoh Perhitungan Kurva Fuller (Sumber: Google.com)
18
Universitas Sumatera Utara
Dibawah ini akan ditampilkan syarat gradasi yang digunakan dalam
perencanaan perkerasan jalan raya :
Tabel 2.5 Gradasi Lapisan Pondasi Aggregat
Ukuran Ayakan
Persen Berat yang Lolos
ASTM
(mm)
Kelas A
Kelas B
Kelas S
2”
50
–
100
1 ½”
37,5
100
88 – 95
100
1
25
79 – 85
70 – 85
89 - 100
3/8”
9,5
44 – 58
30 – 65
55 – 90
No.4
4,75
29 – 44
25 – 55
40 – 75
No.10
2
17 – 30
15 – 40
26 – 59
No.40
0,425
7 – 17
8 – 20
12 – 33
No.200
0,0075
2–8
2–8
4 – 22
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
Tabel 2.6 Gradasi Lapisan Permukaan Jalan Tanpa Penutup Aspal
Ukuran Ayakan
Persen Berat yang Lolos
ASTM
(mm)
3/4”
19
100
No. 4
4,75
51-74
No. 40
0,425
18-36
N0. 200
0,075
10-22
Sumber : Bina Marga 2010 Revisi 2
2.4.2 Berat Jenis Aggregat
Tujuan penelitian berat jenis aggregat adalah untuk mengkalkulasi volume
yang terisi oleh aggregat dalam berbagai macam campuran yang terkandung di
dalam aggregat.
Menurut SNI 1969-2008, berat jenis adalah perbandingan antara berat dari
satuan volume dari suatu material terhadap berat air dengan volume yang sama
pada temperatur yang ditentukan. Nilai-nilainya adalah tanpa dimensi. Menurut
Wright dan Dixon (2004) berat jenis adalah rasio massa benda dengan volume
19
Universitas Sumatera Utara
yang sama dari air yang disuling pada temperatur tertentu. Sedangkan menurut
Atkins (1983) berat jenis adalah perbandingan berat sejumlah volume aggregat
tanpa mengandung rongga udara terhadap air pada volume yang sama.
Pengujian ini dimaksudkan sebagai pegangan dalam pengujian untuk
menentukan berat jenis curah, berat jenis kering permukaan jenuh, berat jenis
semu dari aggregat kasar.
Pengujian dilakukan terhadap aggregat kasar, yaitu yang tertahan oleh
saringan berdiameter 4,75 mm (saringan no. 4); hasil pengujian ini dapat
digunakan dalam pekerjaan :
I.
II.
Penyelidikan Quarry Aggregat
Perencanaan campuran dan pengendalian mutu perkerasan jalan
Untuk perhitungan, persamaan yang digunakan adalah :
a) Berat Jenis Curah Kering (Bulk)
Berat Jenis Curah Kering =
Dimana :
A : adalah berat benda uji kering oven (gram).
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis curah kering ialah perbandingan antara berat aggregat kering
dan berat air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan jenuh
pada suhu 25o C
20
Universitas Sumatera Utara
b) Berat Jenis Jenuh Kering Permukaan (SSD).
Berat Jenis Curah (Jenuh Kering Permukaan) =
Dimana :
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis kering permukaan jenuh yaitu perbandingan antara berat
aggregat kering permukaan jenuh dan berat air suling yang isinya sama dengan isi
aggregat dalam keadaan jenuh pada suhu 25o C.
c) Berat Jenis Semu (Apparent)
Berat jenis semu =
Dimana :
A : adalah berat benda uji kering oven (gram).
C : adalah berat benda uji di dalam air (gram).
Berat jenis semu ialah perbandingan antara berat aggregat kering dan berat
air suling yang isinya sama dengan isi aggregat dalam keadaan kering/tanpa
kandungan air pada suhu 25o C.
Adapun langkah kerja pengujian ini adalah :
1. Keringkan contoh uji dengan temperatur (110±5)0 C, dingin kan pada
temperatur kamar selama satu hingga tiga jam dengan ukuran
maksimum nominal 37,5 mm. Sesudah itu rendam aggregat didalam
air pada temperatur kamar selama (24±4) jam.
21
Universitas Sumatera Utara
2. Pindahkan contoh uji dari dalam air dan gulingkan pada suatu
lembaran penyerap air sampai semua lapisan air yang terlihat hilang.
Kerjakan hati-hati untuk menghindari penguapan air dari pori-pori
aggregat dalam mencapai kondisi jenih kering permukaan. Tentukan
nilainya.
3. Setelah ditentukan beratnya, segera tempatkan contoh uji di dalam
wadah lalu tentukan beratnya di dalam air yang mempunyai kerapatan
(997±2) kg/m3 pada temperatur (23±2)0 C.
4. Keringkan contoh uji tersebut sampai berat tetap pada temperatur
110±5)0 C, dinginkan pada temperatur kamar selama satu sampai tiga
jam, atau sampai aggregat telah dingin pada suatu temperatur 500 C
kemudian tentukan beratnya.
Untuk spesifikasi berat jenis, di dalam SNI 1969-2008 menjelaskan bahwa
nilai dari berat jenis curah kering, nilai berat jenis jenuh kering permukaan (SSD)
dan nilai berat jenis semu minimal 2,5.
2.4.3 Penyerapan Aggregat
Tujuan penyerapan aggregat adalah untuk menentukan nilai penyerapan
yang digunakan untuk menghitung perubahan massa aggregat karena air diserap
dalam ruang pori dalam partikel penyusun aggregat.
Menurut SNI 1969-2008, penyerapan aggregat adalah penambahan air dari
suatu aggregat akibat air yang meresap ke dalam pori-pori. Sedangkan menurut
Atkins (1983) penyerapan aggregat ialah perbandingan berat air yang dapat
diserap quarry terhadap berat aggregat kering, dinyatakan dalam persen.
22
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar penyerapan yang
dilakukan oleh aggregat kasar. Pengujian ini dihitung setelah berat kering, berat
ssd, dan berat jenuh aggregat telah dihitung. Pengujian ini menggunakan satuan
persen.
Untuk perhitungannya, dapat dimasukkan kedalam persamaan berikut :
Penyerapan air =
[
] x100%
Dimana :
A : adalah benda berat uji kering oven (gram).
B : adalah berat benda uji kondisi jenuh kering permukaan di udara (gram)
2.4.4 Abrasi Aggregat Kasar
Tujuan pengujian abrasi adalah untuk mengetahui ketahanan aggregat
yang dapat dicapai bilamana kekuatan aggregat tersebut kurang akibat keausan.
Menurut Wright dan Dixon (2004) aggregat yang digunakan di dalam
perkerasan jalan harus keras dan tahan terhadap beban yang berulang. Dan untuk
menentukan kekerasan aggregat digunakan tes Los Angeles Abrasion.
Pengujian Los angeles dapat disebut juga pengujian Rattler. Pengujian
Rattler adalah pengujian ketahanan aggregat terhadap abrasi. Pengujian Rattler
sebagian besar telah menggantikan Pengujian Deval untuk Abrasi. (Oglesby dan
Hicks, 1982)
Menurut SNI 2417-2008 Pengujian ini sangat penting sebagai pegangan
untuk
menentukan
kekuatan
aggregat
kasar
terhadap
keausan
dengan
menggunakan mesin abrasi Los Angeles. Tujuannya untuk mengetahui angka
23
Universitas Sumatera Utara
keausan yang dinyatakan dengan perbandingan antara berat bahan aus terhadap
berat semula dalam persen
Umumnya ketika dilapangan pengujian ini menentukan apakah aggregat
yang digunakan layak atau tidak. Karena pengujian ini berguna untuk mengetahui
seberapa besar kekuatan material aggregat kasar itu sendiri.
Tata cara pengujian abrasi ini adalah :
1. Pengujian ketahanan aggregat kasar terhadap keausan dapat dilakukan
dengan salah satu dari tujuh cara berikut ini :
Tabel 2.7 Daftar Gradasi dan Berat Uji Abrasi
Ukuran Saringan
Lolos
Tertahan
Saringan
Saringan
mm
inchi mm inchi
75
3,0
63
2½
63
2½
50
2
50
2
37,5
1½
37,5
1½
25
1
25
1
19
¾
19
¾
12,5
½
12,5
½
9,5
3/8
9,5
3/8
6,3
¼
6,3
¼
4,75 No.4
4,75
No.4 2,36 No.8
Gradasi dan berat benda uji (gram)
A
B
C
D
E
F
G
1250±25
1250±25
1250±10
1250±10
-
2500±10
2500±10
-
2500±10
2500±10
-
2500±10
2500±10
2500±50
2500±50
5000±50
-
5000±50
5000±25
-
Total
5000±10
5000±10
5000±10
5000±10
10000±10
10000±10
Jumlah Bola
Berat Bola (Gram)
12
5000±25
11
4584±25
8
3330±20
6
2500±15
12
5000±25
12
5000±25
5000±25
5000±25
10000±1
0
12
5000±25
Sumber : SNI 2417-2008
2. Benda uji dan bola dimasukkan ke dalam mesnin abrasi Los Angeles
3. Putaran mesin dengan kecepatan 30-33 rpm; jumlah putaran gradasi A
hingga D adalah 500 putaran dan untuk gradasi E hingga G adalah
1000 putaran
4. Setelah selesai pemutaran, keluarkan benda uji lalu disaring dengan
saringan NO. 12 (1,70 mm); butiran yang tertahan dicuci bersih lalu
24
Universitas Sumatera Utara
dikeringkan di dalam oven bertemperatur 1100 C ± 50 C sampai berat
tetap.
5. Jika material contoh uji homogen, pengujian cukup dilakukan dengan
100 putaran, dan setelah selesai pengujian disaring dengan saringan
No.12 (1,70 mm) tanpa pencucian. Perbandingan hasil pengujian
antara 100 putaran dan 500 putaran agregat tertahan di atas saringan
No. 12 (1,70 mm) tanpa pencucican tidak boleh lebih besar dari 0,20
6. Metode pada butir 5. Tidak berlaku untuk pengujian material dengan
metode ASTM C 535-96.
Karena pengujian ini menggunakan Gradasi A (Sesuai SNI 2417-2008)
maka, diperlukan 12 buah bola baja berdiameter ±4,68 cm dan berat masingmasing bola baja berkisar antara 390 gram sampai dengan 445 gram.
Gambar 2.6 Bola Baja
Mesin yang digunakan bernama mesin Los Angeles yang terdiri dari
silinder baja tertutup pada kedua sisinya dengan diameter dalam 711 mm (28 inci)
panjang dalam 508 mm (20 inci); silinder bertumpu pada dua poros pendek yang
tak menerus berputar pada poros mendatar; silinder berlubang untuk memasukkan
sampel; penutup lubang terpasang rapat sehingga permukaan dalam silinder tidak
25
Universitas Sumatera Utara
terganggu; di bagian dalam silinder terdapat bilah baja melintang penuh setinggi
89 mm (3,5 inci).
Gambar 2.7 Mesin Los Angeles
Prosedur perhitungan pengujian ini dapat digunakan persamaan :
Keausan =
x 100%
Dimana :
a : adalah berat benda uji semula, dinyatakan dalam gram.
b : adalah berat benda uji tertahan No. 12 (1,70 mm), dinyatakan dalam gram.
2.4.5 Kelekatan Aggregat terhadap Aspal
Jika suatu lantai jalan harus kuat dan tahan lama, bahan pengikat harus
melekat kuat pada partikel-partikel aggregat. Jika bahan pengikat terpisah atau
mengupas dari aggregat, lantai jalan dapat berdisintegrasi karena lalu lintas.
Sering kali permukaan lantai menjadi berlubang, seperti aggregat yang didorong
lepas oleh ban-ban kendaraan. Lebih lanjut, jika campuran pengerasan jalan
mengembang, interlock dan gesekan dalam dihancurkan akibatnya stabilitas jalan
akan hilang (Oglesby dan Hicks, 1982).
26
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, berdasarkan pernyataan di atas, maka dilakukanlah
pengujian ini. Pengujian ini melihat karakteristik dari aggregat terhadap
kelekatannya dengan aspal. Salah satu karakteristik yang dapat ditinjau dari
pengujian ini adalah adhesi dari aggregat. Menurut Garber dan Hoel (2002) aspal
yang melapisi seluruh permukaan aggregat tidak boleh terdegradasi terhadap air
dan ini merupakan sifat adhesi.
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui dilapangan apakah aspal
yang digunakan benar-benar murni aspal pen 60/70 atau sudah dicampur dengan
kerosin atau solar.
Menurut SNI 2439-2011 tata cara pengujiannya adalah aggregat yang
telah dipilih dan disiapkan dilapisi dengan aspal pada temperatur yang telah
ditentukan, sesuai dengan kelas aspal yang digunakan. Bila digunakan aspal cair,
aggregat yang diselimuti aspal dibiarkan pada temperatur 600 C. Bila digunakan
aspal emulsi, aggregat yang diselimuti aspal dibiarkan pada temperatur 1350 C.
Setelah penyelimutan, bila digunakan aspal semi padat, atau setelah mengikat
untuk aspal cair, aspal emulsi, aggregat yang terselimuti direndam dalam air
suling selama 16 jam sampai dengan 18 jam. Pada akhir periode perendaman
dilihat secara visual dengan nilai dibawah 95% atau diatas 95% .
27
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.8 Contoh Pengujian Kelekatan Aggregat terhadap Aspal.
2.4.6 Indeks Kepipihan dan Kelonjongan Aggregat
Menurut RSNI T 01-2005, aggregat berbentuk lonjong adalah butiran
aggregat yang mempunyai rasio panjang terhadap lebar lebih besar dari nilai yang
ditentukan dalam spesifikasi. Aggregat berbentuk pipih adalah butiran aggregat
yang mempunyai rasio lebar terhadap tebal lebih besar dari nilai yang ditentukan
dalam spesifikasi.
Pengujian ini meliputi penentuan presentasi partikel pipih, partikel
lonjong, atau partikel pipih lonjong pada aggregat kasar.
Aggregat yang pipih memiliki kelemahan yaitu kurang bisa menerima
beban kejut dari kendaraan serta lemah dalam interlocking satu sama lain. Ketika
aggregat yang pipih menerima beban kejut, kemungkinan aggregat itu untuk
menahan beban dibandingkan dengan aggregat tersebut akan lebih besar
kemungkinan aggregat tersebut patah terlebih dahulu (Wright dan Dixon, 2004).
Pengujian ini digunakan untuk menetapkan kaidah dan tata cara penentuan
presentase dari butiran aggregat kasar berbentuk pipih, lonjong, atau tidak pipih
dan tidak lonjong.
28
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini membutuhkan aggregat yang tertahan pada ayakan 1”, 3/4”,
1/2", dan 3/8”. Pengujian ini menggunakan alat yang bernama Alat Jangkar Ukur
Rasio. Alat ini terdiri dari plat dasar dengan dua tonggak tetap dan sebuah lengan
yang dapat diatur bukaannya dengan perbandingan yang konstan. Posisi sumbu
dapat disesuaikan dengan perbandingan ukuran bukaannya. Alat ini bisa diatur
dengan perbandingan 1:2, 1:3, dan 1:5. Fungsi dari alat ini adalah untuk
mengukur aggregat yang telah di ayak untuk mendapatkan rasio lebar terhadap
tebal, panjang terhadap lebar, atau panjang terhadap tebal.
Gambar 2.9 Alat Jangkar Ukur Rasio
Prosedur perhitungan pengujian ini digunakan persamaan :
a. Kepipihan :
Kepipihan (F) =
Dimana :
F
: adalah nilai rata-rata kepipihan, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn : adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
29
Universitas Sumatera Utara
Pt
: adalah total presentase butiran aggregat yang tertahan pada
ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
f1...fn : adalah persentase butiran aggregat yang pipih pada masingmasing ukuran saringan.
b. Kelonjongan :
Kelonjongan (E) =
Dimana :
E
: adalah nilai rata-rata kelonjongan, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn : adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
Pt
: adalah total persentase butiran aggregat yang tertahan pada
ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
e1...en : adalah persentase butiran aggregat yang lonjong pada masingmasing ukuran saringan.
c. Tidak Pipih dan Tidak Lonjong :
NFNE =
Dimana :
NFNE
: adalah nilai rata-rata butiran yang tidak pipih dan tidak
lonjong, dinyatakan dalam persen (%).
P1..Pn
: adalah persentase butiran aggregat yang tertahan pada
masing-masing ukuran saringan.
30
Universitas Sumatera Utara
Pt
: adalah total persentase butiran aggregat yang tertahan
pada ukuran ayakan lebih besar dari 3/8”.
NfNe1...NfNen
: adalah persentase butiran aggregat yang lonjong pada
masing-masing ukuran saringan.
2.4.7 Kekekalan Aggregat
Kekekalan aggregat terhadap cuaca dapat disebut juga dengan Soundness.
Menurut Oglesby dan Hicks (1982) kekekalan aggregat adalah ketahanan aggregat
terhadap kerusakan akibat aksi-aksi seperti pembekuan dan pencairan. Dalam hal
ini pembekuan dan pencairan adalah cuaca ekstrim seperti cuaca salju dan cuaca
yang panas terik.
Menurut SNI 3407-2008, kekekalan aggregat adalah aggregat yang
bentuknya tidak bereaksi atau sangat sedikit terdisintegrasi terhadap larutan
Natrium Sulfat.
Kekekalan aggregat merupakan salah satu karakteristik yang penting
dikarenakan aggregat dikondisikan seperti menerima perubahan cuaca ekstrim,
sehingga karakteristik dari kekekalan ini tidak bisa diabaikan. Aggregat diberi
larutan asam yang mensimulsikan perubahan cuaca yang bisa membuat lapisan
permukaan tergerus apabila aggregat memiliki nilai kekekalan yang tinggi.
Pengujian ini merupakan salah satu pengujian yang penting dikarenakan
aggregat akan dikondisikan seperti menerima perubahan cuaca yang ekstrim,
sehingga pengujian ini tidak bisa diabaikan. Tetapi, dilapangan jarang dilakukan
pengujian ini dikarenakan bahan larutan yang sulit didapat dan pengujian abrasi
dapat mewakili pengujian ini.
31
Universitas Sumatera Utara
Pengujian ini merupakan pengujian yang menggunakan larutan kimiawi
yang berbahaya sehingga diharapkan ketika melakukan penelitian harus dilakukan
secara hati-hati dan mengutamakan keselamatan kerja.
Pengujian ini dibagi atas 2 bagian. Bagian pertama adalah gabungan antara
ayakan tertahan pada 1” & 3/4", dan ayakan 1/2" & 3/8”. Untuk ayakan 1”
diperlukan aggregat kasar seberat 1012±20 gram, untuk ayakan 3/4" diperlukan
aggregat kasar seberat 513±20 gram, untuk ayakan 1/2" diperlukan aggregat kasar
seberat 675±20 gram, dan untuk ayakan 3/8” diperlukan aggregat kasar seberat
333±20 gram. Untuk larutan natrium sulfat dibutuhkan 150 gram per 1 liter air
suling pada temperatur 220 C.
Prosedur perhitungan Pengujian ini dapat digunakan persamaan :
X (%)
=
x 100%
Dimana :
X : adalah persentase bahan yang lolos saringan setelah pengujian (%).
B : adalah berat contoh uji awal (gram).
C : adalah berat contoh uji tertahan saringan setelah pengujian (gram).
2.5
Cara Pengambilan Aggregat
Tata cara pengambilan contoh aggregat dijelaskan didalam SNI 03-68892002 meliputi sumber aggregat, penentuan jumlah contoh dan cara pengambilan
contoh. Sumber aggregat ditentukan menjadi 6 macam yaitu :
32
Universitas Sumatera Utara
1. Sumber aggregat potensial : contoh aggregat yang akan diambil di dapat dari
sumber alam potensial seperti sisi sungai, daratan, gunung dan sebagainya.
2. Sumber Batuan Kompak (massive) : contoh batuan kompak yang akan diambil
di dapat dari sumber alam potensial.
3. Tumpukan aggregat bentuk kerucut : contoh aggregat yang akan diambil
didapat dari tumpukan curahan ban berjalan.
4. Tumpukan aggregat berbentuk trapesium : contoh aggregat yang akan diambil
didapat dari tumpukan, yang ditimbun dengan menggunakan dump-truck dan
sebagainya.
5. Aggregat Pengangkutan : contoh aggregat yang akan didambil didapat dari
pengangkutan seperti truk, kereta api, kapal dan sebagainya
6. Aggregat dari hamparan lapangan : contoh aggregat yang akan diambil didapat
dari pengangkutan seperti truk, kereta api, kapal dan sebagainya.
Sampel yang digunakan pada penelitian ini termasuk sumber aggregat
potensial.
Berat contoh pengambilan sampel diperkirakan berdasarkan ukuran
nominal aggregat maksimum sebagaimana yang dijelaskan di dalam Tabel 2.1.
Dalam penelitian ini aggregat kasar yang akan digunakan sebagai sampel lapisan
pondasi adalah aggregat berukuran 1 ½” maka perkiraan jumlah minimum sampel
dari lapangan diambil sebanyak ±75 kg. Sedangkan aggregat kasar yang akan
digunakan sebagai sampel lapisan permukaan adalah aggregat berukuran ¾” maka
perkiraan jumlah minimum sampel dari lapangan diambil sebanyak ±25 kg.
33
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.8 Berat Contoh Pengambilan Sampel
Ukuran nominal Aggregat
Perkiraan jumlah minimum
Maksimum
contoh dari lapangan (kg)
Aggregat Halus
No.8 (2,36 mm)
1010
No.4 (4,75 mm)
1010
Aggregat Kasar
3/8 Inchi (9,5 mm)
10
½ Inchi (12,5 mm)
15
3/4 Inchi (19,0 mm)
25
1 Inchi (25,0 mm)
50
1 ½ Inchi (37,5 mm)
75
2 Inchi (50,0 mm)
100
2 ½ Inchi (63 mm)
125
3 Inchi (75 mm)
150
3 ½ Inchi (90 mm)
175
Keterangan :
Untuk Aggregat yang diolah, ukuran nominal maksimum dari partikel adalah ukuran
terbesar yang ada daam tabel spesifikasi yang dapat diterapkan pada bahan material
tertahan.
Untuk kombinasi aggregat kasar dan halus berat minimum adalah berat aggregat kasar
ditambah 10 kg.
Sumber : SNI 03-6889-2002
Adapun cara pengambilan contoh aggregat kasar dari sumber aggregat
potensial adalah sebagai berikut :
1. Tentukan lapisan kedalaman yang akan diambil contoh aggregat, pada
umumnya diketahui setelah dilakukan penggalian.
2. Lakukan pengupasan tanah permukaan hingga bersih dari kotoran dan lakukan
penggalian dengan ukuran (0,8 x 0,8 m).
3. Pada kedalaman yang ditentukan, lakukan pengukuran aggregat nominal
dengan saringan.
4. Ambil contoh aggregat sesuai dengan jumlah berat minimum yang
dipersyaratkan.
34
Universitas Sumatera Utara
2.6
Penelitian Terkait
Adapun penelitian terdahulu yang terkait dan yang telah dilakukan adalah
sebagai berikut:
1. “Perbandingan Karakteristik Aggregat Kasar Pulau Jawa dengan
Aggregat Luar Pulau Jawa Ditinjau Dari Kekuatan Campuran Perkerasan
Lentur” Michael K. Setyawan, Paravita Sri Wulandari, Harry Patmadjaja.
Jurnal ini membahas tentang spesifikasi aggregat yang ada di pulau jawa
yang berasal dari Pandaan dan Pacitan dan dibandingkan dengan aggregat diluar
pulau jawa yang berasal dari daerah Bali dan daerah Kalimantan lalu ditinjau
kekuatan campurannya tetapi tidak dijelaskan jenis aggregat yang digunakan.
Hasilnya aggregat Bali memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,20; berat
jenis lapisan permukaan 2,24; penyerapan lapisan pondasi 5,25%; penyerapan
lapisan permukaan 5,98%; keausan aggregat 36,39%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 9,97% dan kekekalan aggregat 0,59%. Aggregat Kalimantan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,55; berat jenis lapisan
permukaan 2,54; penyerapan lapisan pondasi 2,19%; penyerapan lapisan
permukaan 2,19%; keausan aggregat 22,54%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 33,43% dan kekekalan aggregat 0,29%. Aggregat Pacitan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,52; berat jenis lapisan
permukaan 2,50; penyerapan lapisan pondasi 2,01%; penyerapan lapisan
permukaan 3,20%; keausan aggregat 30,48%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 24,75% dan kekekalan aggregat 14,22%. Aggregat Pandaan
memiliki spesifikasi berat jenis lapisan pondasi 2,72; berat jenis lapisan
35
Universitas Sumatera Utara
permukaan 2,65; penyerapan lapisan pondasi 1,69%; penyerapan lapisan
permukaan 1,14%; keausan aggregat 28,76%; kelekatan aggregat >95%;
kepipihan aggregat 28,88% dan kekekalan aggregat 1,16%.
2. “Pengaruh Kepipihan dan Kelonjongan Aggregat Terhadap Perkerasan
Lentur Jalan Raya” M. Aminsyah.
Jurnal ini membahas pengaruh bentuk butiran pipih dan bentuk butiran
lonjong terhadap perkerasan lentur jalan raya dengan membandingkan campuran
standar yang sesuai dengan spesifikasi dengan beberapa kombinasi pemakaian
aggregat kasar pipih/lonjong untuk campuran perkerasan. Adapun sumber
aggregat yang digunakan tidak diterangkan di dalam jurnal. Hasil pemeriksaan
aggregat menunjukkan bahwa semua pengujian memenuhi spesifikasi (Berat
Jenis: 2,595; Penyerapan: 1,23%; Keausan Aggregat: 29,686%; Kelekatan
terhadap Aspal: 95%; Kepipihan dan Kelonjongan: 15,30% dan 20,72%). Di
dalam jurnal ini, pengujian kekekalan bentuk aggregat tidak dilakukan.
3. “Evaluation of the Influence of Parent Rock, Crushing, and Abrasion on
Aggregate Morphology Characteristics” Wenjuan Sun.
Jurnal ini membahas tentang karakteristik morpologi dan komposisi
mineral yang terdapat di dalam aggregat kasar. Aggregat yang digunakan adalah
aggregat untuk lapisan permukaan yaitu ukuran 3/4” hingga No.4. Karakteristik
yang diuji adalah berat jenis aggregat, penyerapan aggregat, dan keausan
aggregat. Ada 5 daerah di bagian Michigan yang diteliti yaitu : Aggregat dari
Mackinak,MI termasuk jenis batuan dolomit yang berwarna coklat muda hingga
abu-abu muda dimana berat jenisnya 2,78; penyerapan: 0,52%; keausan : 27%.
Aggregat dari Monroe,MI termasuk jenis batuan dolomit yang berwarna coklat
36
Universitas Sumatera Utara
dimana berat jenisnya: 2,45; penyerapan: 4,16%; keausan: 45%. Aggregat dari
Kent,MI termasuk jenis batuan kerikil glasial bulat berbagai warna dengan tekstur
sangat lembut dimana berat jenisnya: 2,68; penyerapan: 1,10%; keausan: 19%.
Aggregat dari Schoolcraft,MI termasuk jenis batuan sedimen yaitu batu kapur
berwarna coklat muda dengan tekstur yang padat dimana berat jenisnya: 2,65;
penyerapan: 0,64%; keausan: 25%. Aggregat dari Arenac,MI termasuk jenis
batuan sedimen batu kapur berwarna abu-abu muda teksturnya sangat padat
dengan banyak butiran pasir kuarsa di dalamnya dimana berat jenisnya: 2,56;
penyerapan: 2,13%; keausan: 42%.
4. “Kajian Campuran Aggregat Kasar yang Berbeda Abrasi Terhadap
Parameter Marshall Menggunakan Aspal Pen 60/70 untuk Laston AC-WC
(Studi Kasus: Aggregat Kab. Gayo Lues dan Aggregat Kab. Aceh Utara)”
Suhery, Sofyan M. Saleh, Yuhanis Yunus.
Jurnal ini membahas tentang material aggregat kasar yang diambil dari
kab. Gayo Lues dan dari Kab. Aceh utara untuk dicari nilai abrasinya terhadap
parameter marshall menggunakan aspal pen 60/70 untuk Laston AC – WC tetapi
tidak diketahui jenis aggregat yang digunakan. Untuk Aggregat Rikit Gaib hasil
pengujian aggregat kasarnya adalah: (Berat Jenis: 2,624; Penyerapan: 0,813%;
Kekerasan: 8,71%; Keausan: 33,53%; Kepipihan dan Kelonjongan: 3,215% dan
8,804%; Kelekatan Aggregat: 108%). Untuk Aggregat Cot Girek hasil pengujian
aggregat kasarnya adalah: (Berat Jenis: 2,824; Penyerapan: 1,261%; Kekerasan:
16,1%; Keausan: 22,89%; Kepipihan dan Kelonjongan: 6,363% dan 7,92%;
Kelekatan Aggregat: 108%).
37
Universitas Sumatera Utara
5. “Evaluasi Karakteristik Aggregat untuk Dipergunakan Sebagai Lapis
Pondasi Berbutir” Yully Yanette, Tan Lie Ing, Samun Haris.
Penelitian ini membahas tentang aggregat yang dipergunakan untuk
lapisan pondasi berbutir yang diambil dari kota bandung.jenis aggregat tidak
diketahui dan untuk aggregat kasar, pengujian yang dilakukan hanya berat jenis
aggregat: 2,75; keausan aggregat : 19,6% dan penyerapan aggregat: 2,54%.
6. “Tinjauan Sifat – Sifat Aggregat untuk Campuran Aspal Panas (Studi
Kasus: Beberapa Quarry di Gorontalo)” Fadly Achmad.
Penelitian ini membahas tentang sifat- sifat fisik aggregat yang ada di
daerah Provinsi Gorontalo. Penelitian ini mengambil 3 Quarry di daerah
gorontalo yaitu Quarry Pilolalenga, Quarry Tangkobu, Quarry Molintogopu.
Hasilnya aggregat yang berasal dari Quarry Pilolalenga memenuhi spesifikasi
(berat jenis lapisan pondasi: 2,733; berat jenis lapisan permukaan: 2,744;
penyerapan aggregat lapisan pondasi: 1,034%; penyerapan aggregat lapisan
permukaan: 1,585% dan Abrasi: 15%). Quarry Tangkobu memenuhi spesifikasi
(berat jenis lapisan pondasi: 2,69; berat jenis lapisan permukaan: 2,68; penyerapan
aggregat lapisan pondasi: 1,55%; penyerapan aggregat lapisan permukaan: 1,52%
dan Abrasi: 14,37%). Quarry Molintogopu memenuhi spesifikasi (berat jenis
lapisan pondasi: 2,67; berat jenis lapisan permukaan: 2,622; penyerapan aggregat
lapisan pondasi: 1,251%; penyerapan aggregat lapisan permukaan: 1,818% dan
Abrasi: 23%). Di dalam jurnal ini pengujian kelekatan aggregat terhadap aspal,
pengujian indeks kepipihan dan kelonjongan, dan pengujian kekekalan bentuk
aggregat tidak dilaksanakan.
38
Universitas Sumatera Utara