Penganku Mengimplementasikan Literasi di Sekolah

Pengalamanku Mengimplementasikan Literasi di Sekolah
Oleh: Kusdiyono

Literasi dua bulan terakhir menjadi bahan perbincangan di dunia pendidikan, terutama di DKI
Jakarta. Kenapa? Sebab sejak 27 Januari 2016 DKI Jakarta menjadi salah satu provinsi yang
dicanangkan sebagai provinsi literasi di Indonesia.
Berdasarkan survei lembaga internasional, kemampuan literasi siswa Indonesia menempati urutan
64 dari 65 negara. Sungguh sesuatu yang memprihatinkan kalau melihat dari urutan, yakni nomor
2 dari bawah.
Namun, sampai saat tulisan ini dibuat, saya sebagai seorang guru belum memahami 100% apa itu
“literasi” dan apa pula yang namanya “gerakan literasi”. Saya juga belum pernah mengikuti
diklat/pelatihan/seminar tentang gerakan literasi. Saya baru sedikit memahami setelah sehari
sebelum tulisan ini dibuat, tepatnya hari Jumat tanggal 15 April 2016, usai menunaikan salat
Jumat, saya membuka lamat Direktorat Pembinaan SMK Kemendikbud. Di sana tertulis “Pedoman
Gerakan Literasi Sekolah di SMK”.
Akhirnya saya mengunduh dan mencetaknya untuk saya baca dan pelajari. Namun karena
kesibukan, saya hanya membaca secara sepintas Pedoman tersebut. Dari buku itu, ternyata apa
yang saya lakukan di sekolah dalam kapasitas sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan
ternyata merupakan gerakan literasi di sekolah. Apa yang saya lakukan?
Pertama, saya berkoordinasi dengan wakil kepala sekolah bidang kurikulum untuk melakukan
kegiatan “15 menit membaca” sebelum memulai pelajaran jam pertama. Awalnya memang sulit

sebab memerlukan persetujuan semua guru, terutama guru yang jam pertamanya terambil selama
15 menit.
Namun dengan dukungan Kepala Sekolah secara penuh, hal tersebut bisa terlaksana sampai saat
ini. Kendala yang dihadapi saat awal adalah koleksi buku fiksi ataupun nonfiksi yang dimiliki
perpustakaan sangat terbatas. Sementara jumlah siswa jauh melebihi jumlah buku yang dimiliki.
Akhirnya saya menerapkan aturan bahwa setiap siswa wajib membawa buku bacaan—selain
komik, cergam—sebaiknya yang bermanfaat/motovatif, seperti novel, sejarah perjuangan,
biografi, dan pengetahuan umum/praktis.
Setiap guru di akhir sesi 15 menit membaca diminta menunjuk satu atau dua siswa secara acak
untuk menceritakan buku yang dibacanya. Guru bisa menanyakan halaman mana, atau bab/bagian
mana yang tadi dibaca. Kemudian ia meminta siswa untuk menceritakan kembali isi buku di depan
kelas.

Dengan pola ini, siswa yang tidak membaca buku akan ketahuan. Cirinya, ia tidak akan bisa
menceritakan apa saja yang telah dibaca. Dengan kata lain, siswa tersebut melakukan
ketidakjujuran alias berbohong. Sanksi yang diberikan kepada siswa tersebut yaitu menulis
resume/kesimpulan ataupun jika perlu menulis ulang konten yang seharusnya dia baca di buku
tulis khusus tentang “15 menit membaca” di rumah.
Buku tersebut harus ditandatangani oleh orang tua siswa. Kemudian buku itu esoknya diserahkan
kepada wali kelas serta diketahui oleh guru yang memberikan sangki ataupun guru yang mengajar

pada esok hari.
Ditahap awal pelaksanaan gerakan 15 menit membaca buku nonteks pelajaran, masih banyak siswa
yang tidak membawa buku bacaan. Seminggu pertama masih diberikan toleransi karena masih
dianggap sebagai tahap sosialisasi. Namun pada minggu kedua, jika ada siswa yang masih tidak
membawa bahan bacaan, aktivitas mereka digolongkan sebagai pelanggaran siswa, dengan poin
pelanggaran 5. Alhamdulillah, perlahan tapi pasti, siswa mulai menikmati kegiatan/gerakan 15
menit membaca.
Untuk mengantisipasi siswa yang tidak membawa buku bacaan, baik karena sengaja ataupun
tertinggal, saya meminta petugas perpustakaan untuk menurunkan koleksi bacaan sesuai dengan
yang saya minta. Kemudian buku tersebut diletakkan dalam sebuah lemari yang terkunci.
Pelaksanaannya adalah saya meminta guru piket untuk membuka lemari, meminta siswa mencatat
buku yang dipinjam.
Saya menyediakan format buku peminjaman yang berisi antara lain: Nomor, hari, tanggal, nama
siswa, kelas, alasan tidak membawa buku, judul buku, resume buku, tanda tangan siswa, dan tanda
tangan guru piket.
Setiap siswa di kelas juga saya minta menyediakan satu buku tulis yang khusus berisi tentang judul
yang dibaca, penerbit, pengarang dan bab/bagian yang dibacanya. Wali kelas dan orang tua juga
harus tanda tangan di setiap akhir pekan di buku tulis tersebut.

Kusdiyono. Guru SMK Negeri 38 Jakarta Pusat. Lahir di Pekalongan, 26 Maret 1972. E-mail:

kusdiyono@gmail.com. Blog: https://kusdiyono.wordpress.com