Model Pembangunan Identitas Negara-Bangsa (Building Nation-State Identity) Dalam Organisasi Masyarakat Berbasis Keagamaan di Sumatera Utara

BJDANG ILMU SOSIAL HUMANIORA

GJ

LAPORAN T AHUNAN
HIBAH BERSAING

I

1 セQ|ュヲ@

mセ|Q@

14001640

t

\

-= -""'··""'"-;.e:"セᄋMNャZ






MNォ

MODEL PEMBANGUNAN IDEN1fiTAS NEGARA-BANGSA
(BUILDING NATION-STATE IDENTITY) DALAI\1 ORGANISASI MASYARAKAT
BERBASIS KEAGAMAAN DI SUMATERA UT ARA

Tahun ke SATU (1) dari rencana DUA (2) tahun

Drs Muba Simanihuruk, M. Si (Ketua)
NIDN: 0017036704
Dra Sri Alem, M. Si (Anggota)
NIDN: il023086902
Husnul Isa Harahap S.Sos, M. Si (Anggota)
NIDN: 0031128205

Dibiayai oleh DIPA USU Tahun Anggaran 2013, Sesuai dengan Surat Pelaksanaan

Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor: 4267/UN.S.l.R/Keu/2013 Tanggal 03
Juni 2013

UNIVERSITAS SUI\JATERA UTARA
DESEMBER 2013

セイ セ

ᄋMLH@

HALAMAN PENGESAHAN
Judul Kegiatan

Model Pembangunan Identitas Negara-Bangsa (Building Nation-State
Identity) dalam Organisasi Masyarakat Berbasis Keagamaan di
Sumatera Utara

Peneliti I Pelaksana
Nama Lengkap
NJDN

Jabatan Fungsional
Program Studi
NomorHP
Surel (e-mail)
Anggota Peneliti (1)
Nama Lengkap
NIDN
Perguruan Tinggi
Institusi Mitra Gika ada)
Nama Institusi Mitra
Alamat
Penanggung Jawab
Tahun Pelaksanaan
Biaya Tahun Betjalan
Biaya Keseluruhan

IP

MUBA SIMANIHURUK
0017036704

Sosiologi
082366339986
mubasima@gmail.com
Dra. SRI ALEM BR SEMBIRING M.Si
0023086902
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Rp. 67.000.000,00
Rp. 139.470.000,00
Medan, 17- 12- 2013,
Ketua Peneliti,

RJNGKASAN

Laporan tahunan ini merupakan basil penelitian di tiga kota, yakill Medan, Stabat, dan
Pangururan. Pengumpulan data dilakukan dengan mengandalkan peneliti sebagai pengumpul
data melalui wawancara mendalam bersifat terbuka. Rekaman wawancara ini kemudian
dipindahkan ke transkrip dan selanjutnya dibuat dalam kategorisasi dan konsep-konsep
sosiologis. Ringkasannya adalah sebagai berikut.

Relasi negara (pemerintah kabupaten/kota) dan masyarakat madam (ormas keagamaan) di
negara, karena sebagian besar pendanaannya
tiga kota ini biasanya dihegemoni ッャセィ@
tergantung dari pemerintahan daerah. Relasi negara (state) dan ormas (civil society) diwarnai
patronase, dimana pemerintah Iflemberi..lom dana, sementara ormas sebagai klien, memberi
dukungan suara terutama saat menjelang dan masa-masa pilkada berlangsung. Termasuk
dukungan bagi elit lokal, ketika ia mendapat serangan dari lawan-lawan politik. Dalam relasi
demikian, relasi negare.-warga juga diwarnai ketegangan dan saling tidak percaya (mutual
distrust) karena praktik korupsi di level negara, termasuk dalam penetapan alokasi dana
anggaran pemerintah kepada ormas agama yang berbeda-beda tadi.
Sedangkan di tataran intra dan interormas sesama agama dan beda agama pada tingkatan
tertentu ditandai Jemahnya solidaritas internal intraonnas agama, apalagi interormas
keagamaan baik sesama agama, apalagi beda agama_ Lemahnya solidaritas ini ditandai tidak
adanya interaksi dan dialog baik intra ormas (sesama agama), apalagi antar ormas keagamaan
(beda agama) secara berkala, termasuk memupuk identitas kebangsaan. Hal yang sama juga
terjadi di kalangan mahasiswa di Medan, yat1g lebih dikenal dengan Kelompok Cipayung.
Pertemuan antarormas ini biasanya hanya bersifat insidentil dan soparadis dalam mengikuti
acara-acara pemerintahan daerah masing-masing. Relasi antarormas yang bersifat
kelembagaan terjadi dalam Forum Komunikasi Antarumat Beragama (FKUB) dan Forum
Kebangsaan yang mempertemukan kelompok etnis dan ras. Kehadiran FKUB, pada tingkatan

tertentu cukup signifikan terutama mengantisipasi ketegangan dalam pendirian rumah ibadah
(kelompok minoritas). Forum ini cukup berhasil sebagai lembaga sistem siaga dini. Kendati,
menurut informan yang lain, para pengurus FKUB ini juga belum tentu bertindak imparsial
dan memahami dan menerima perbedaan identitas kelompok (agama) di dalam tubuh internal
FKUB itu sendiri.
Bahkan, ketegangan antarormas 1m JUga kadang terpancar dalam percikan api konflik
identitas keagamaan. Konflik ini berakar dari pertarungan 'evangelisasi' dan 'syiar'
keagamaan dalam mempertahankan klaim kebenaran agama masing-masing, sekaligus
strategi menambah jumlah umat. Syiar atau misi keagamaan ini tampak dari aneksasi teritori
yang semakin terbatas seperti di Kota Medan dalam mendirikan rumah-rumah dan pusatpusat keagamaan, seperti Islamic Center dan Cristian Center.
Konflik identitas keagamaan (juga dibalut identitas etnis biasanya) juga terlihat dari
rekrutmen dan penetapan jabatan-jabatan strategis di pemerintahan daerah masing-masing.
Patronase primordial berbasis ikatan keagamaan dan marga dalam rekrutmen dan penempatan

jabatan strategis membenarkan pernyataan blood is Lhicker than waLer. Dengan kata lain,
ikatan darah kekeluargaan mengalahkan ikatan birokrasi meritokratik dalarn tatakelola
pemerintahan daerah. Perlu dicatat, ikatan primordial dan nepotisme ini juga terjadi jika di
daerah tersebut mayoritas satu agama. Di Pangururan misalnya, ketika pejabat dan staf
pemkab mayoritas Kristen, maka ikatan primordial seperti margaisme mengemuka, bukan
lagi ditautkan oleh agarna. Margaisme ini tampak dari jabatan-jabatan strategis yang diduduki

oleh marga bupati dan marga dari pihak istri bupati terutama di eksekutif, legislatif, termasuk
rekanan proyek yang dibiayai APBD.
Ketegangan itu juga mw1cul dalan1 alokasi anggaran bantuan sosial untuk ormas-onnas
keagarnaan yang parameternya dinilai kurang jelas yang pada akhimya dinilai tidak adil oleh
ormas yang lain. Kedekatan khusus (privilage) ormas-ormas tertentu dengan pihak penguasa
yang biasanya diikat oieh kesan1aan agarna dan etnis, juga menimbulkan ketegangan dan
kecemburuan bagi kelompok yang lain.
Pa.ngkal dari semua ini tidak terlepas dari politik minoritisasi. Secara konseptual minoritisasi
bisa diartikan sebagai proses diskriminasi, dan bahkan perkusi, terhadap kelompok minoritas
baik pada tataran hukum, politik, sosial, dan juga pada tataran intelek'tual. Berbeda dengan
kelompok mayoritas yang diandaikan bisa melakukan resistensi atau negosiasi terhadap
praktik diskrimim'!si karena jumlah orang dan sumber daya mereka yang cukup, kelompok
minoritas sulit melakukan hal yang sama. Di bawah !:>ayang-bayang hegemoni lireraHsme di
mana keputusa."l politik didasarkan betul-betul hanya pada suara terbanyak, kelompok
minoritas akan terus-menerus dikalahkan. Dapat dikatakan, demokrasi liberal akan
menghasilkan rezim yang cenderung anti minoritas. Sebagaimana juga terbukti dalam
penelitian ini, Islam yang minoritas di Kabupaten Samosir merasa didiskriminasi, begitu juga
kelompok ormas K.-i.sten di Kabupaten y2.11g mayoritas Islam sebag2.imana teljadi di
Kabupaten Langkat dan Kota Medan, mengalami hal yang sama.
Terutama di kebmpok Cipayung, Pancasila sebagai identitas dasar negara bukan lagi

merupakan persoalan. Sayangnya, ormas pengkader dan lwnbung stok pemimpin nasional ke
depan ini juga mulai kehilangan idealisme gerakan karena hegemoni pemerintah yang begitu
kuat. Lebih ironis lagi, kelompok Cipayung ini mendapat 'pukulan telak' dengan kehadiran
ormas kemahasiswaan di bawah payung organisasi kepemudaan yang pada tingkatan tertentu
diidentikkan dengan paramiliter dan kumpulan preman. Bahkan kelompok Cipayung ini
kadang-kadang harus berhadapan dengan ormas kepemudaan saat melakukan demonstrasi
menentang kebijakan pemerintah. Ormas-ormas kepemudaan ini lebih mendapat dukungan
(dana) dari lembaga pemerintah, bahkan ironisnya lebih mendapat dukungan dari pejabatpejabat di kampus.
Menarik dicatat, bahwa nasionalisme Indonesia sebenarnya tidak seragarn sebagaimana
dibayangkan banyak orang, tapi beragam, sesuai dengan kontkeks kultur lokal satuan
pemerintah (provinsi dan kabupaten!kota). Di Pangururan misalnya yang mayoritas Kristen,
tokoh agama berkeinginan sinkritisme agama Kristen dan adat Batak sebagai identitas yang
harus diacu dan diterapkan pemerintah daerah dalam menjalankan tatakelola pemerintahan.
Dengan kata lain, nilai dan nafas kekristenan diharapkan menjadi basis moral dalam
menjalankan pemerintahan daerah, tapi tetap dalarn bingkai dasar negara Pancasila, tentunya.
Karena itu, orang Batak lebih malu bila tidak menjalankan adat Bataknya, ketimbang
menjalankan dan menaati peraturan negara-bangsanya. Dapat disimpulkan, jalur trayek
dalam proyek membangun identitas bangsa harus memperhatikan keragaman daerah masingmasmg.

PR-\KATA


Selama dalam perjalanan ke tiga kota, yakni Medan, Stabat (Ibu Kota Kabupaten
Langkat) dan Pangururan (Ibu Kota Kabupaten Samosir) seolah menjadi pembuktian proses
'mer>Jadi. negara-bangsa Indonesia sesungguhnya.

Di Desa Bengkel Stabat, misalnya,

bangunan tua tapi megah warisan Belanda masih berdiri kokoh di gerbang hamparan
perkebunan tebu yang luas, sernentara jalan ke Desa Bengk:elnya masih 'proses' pengerasan
yang dibiayai APBD Kabupaten Langkat. Ironis, bangunan Belanda masih terus berdiri
kokoh, sementara bangunan yang dikerjakan bangsa sendiri 'compang-camping' karenil.
dibangun dengan cara tambal sulam.
Hamparan kebun tebu dan sawit terber.tang luas, tapi bentangan kemiskL11an juga
menghiasi pinggiran perkebunan itu. Sesatir ungkapan seorang responden di Stabat (beberapa
responden tidak ingin namanya dicantumkan dalam penelitian ini), yang mengatakan kalau
masa penjajahan Belanda dulu pembangunan infrastruktur kualitasnya janh lebih baik,
ketirnbang infrastruktur yang dibangun bangsa sendiri.
Pembangunan jalan selalu tambal sularn sekaligus rneninggikan badan jalan, padahal
cara ini akan menenggelarnkan rumah penduduk di sisi kiri-kanan bahu jalan ketika banjir
datang. Bahkan lebih parah dan perih lagi, seorang responden mengatakan mengapa

Pancasila perlu 'diganti' karena kenyataannya, sebagian warga belum merdeka karena 'tanah
masih nyewa, sementara air harus beli.'
Menyusuri petjalanan lebihjauh ke Pulau Samosir, Pangururan, dimana Danau Toba
yang eksotik terbentang bagai lukisan alam, kenyataannya juga tak jauh beda. Keindahan
danau ketiga terbesar di dunia ini, hanya berkah bagi sebagian kecil warga, tapi seolah
menjadi 'kutukan' (ecological suicide) bagi warga yang lain. Pulau ini, tutur seorang
responden, tinggal dihuni penduduk lansia dan anak-anak, sementara angkatan kerja yang
produktif merantau ke seantearo tanah air mengadu nasi b.
Perantau yang gagal di seberang yang dikenal sebagai orang-orang 'putar haluan'
kembali ke pulau tandus ini dan kemudian membawa gaya hidup kota yang negatif seperti
judi, prostitusi, dan tindakan kriminal lainnya. Sementara yang sukses di rantau pulang di
puncak liburan sekolah, dan kadang-kadang sekaligus membawa tulang belulang leluhumya

Terkakhir, terima kasih kepada LP USU Medan dan Dikti Jakarta yang membiayai
penelitian ini. Tak kalah penting terima kasih yang sama kepada tim peneliti (Sri Alem
Sembiring dan Husnul I sa Harahap) termasuk mahasiswa peneliti (Kristian dan Hening
Kinasih) yang telah ikut terlibat dalam penelitian ini.

Medan, Desember 2013


Ketua Peneliti,

Oセ@

Drs Muba Simanihuruk, M.Si

DAFTARISI

Lembar Pengesahan........................ :·······································································
Ringkasan .......................................................................................................... .i-iii
Prakata.............................................................................................................. .iv-v
Daftar lsi ....................................................................................................... ...... vi
Daftar Tabel ........................................................................................................ vii
Daftar Lampi ran ................................................................................................ viii
BAB l Pendahuluan .................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2. Permasalahan Penelitian ..................................................................... 5
1.3. Tujuan Khusus ........................................................................................ 6
Penelitian................................................................................... 6
1.4. lオセ。ョ@
BAB 11. KAJlAN PVSTAKA ............. ..................................................................... 7
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................ 19
3.1. Metode Penelitian................................................................................. 19
3 .2. Respond en Penelitian ........................................................................... 19
3.3. Alat Pengumpul Data........................................................................... 21
3.4. Analisis dan Interpre.tasi Data............................................................. 22
3.5. Pelaksanaan Penelitian Lapangan........... ,. .......................................... 25
BAB V. Hasil Capaian............................................................................................ 26
5 .1. Profil Ormas Keagamaan di Kota Medan ........................................... .26
5 .1.1. Sejarah Singkat Kota Medan ............................................................. 28
5 .1.2. !ntemalisas! Identitas Kebangsaan Ormas di Kota Medz.n ................ 31
5.1.3. Internalisasi Identitas Kebangsaan Kelompok Cipayung ................ .43
5.1.4. Potensi Konflik Antar Ormas Keagamaan di Kota Medan............... 55
5.1.5. Profil Organisasi Kemasyarakatan di Kota Pangurman ................... 62
5 .1.5 .1. Sejarah Singkat Kota Pangururan, Kab Sarno sir ...........................62
5.1.5.2. Potensi Konflik Ant::rr Ormas Keagamaan di Pangururan ............. 65
5.1.6. Kerjasama Antar Ormas di Kota Stabat, Kab Langkat .................... 68
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUJNYA .............................................. 74
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................. 75
7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 75
7.2. Saran................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79

DAFTAR TABEL
Tabel 5.1. Luas Kota Medan Menurut Kecamatan .............................................. 30
Tabel5.2. Jumlah Penduduk Kota Medan Menurut Kecamatan ......................... 31
Tabel 5.3 Intemalisasi Nilai-Nilai Kebangsaan Kelompok Cipayung Medan .. .42
Tabel 6.1 Rencana Tahun Kedua ........................................................................ 63

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Instrumen Penelitian
Lampiran 2. Personalia Penelitian
Lampiran3. Formulir Evaluasi Atas Capaian Luaran Kegiatan ........................... .
Lampiran 2. Draft Artikel Jurnal.. ........................................................... ............. .
Lampiran 3. Surat Undangan sebagai Pembicara Dialog Wawasan Kebangsaan
Kesbanglinmaspol Kota Medan .......................................................................... .
Lampiran 4. Surat Penugasan dari Dekan FISIP USU ......................................... .
Lampiran 5. Surat Undangan sebagai Pembicara Dialog Wawasan Kebangsaan
Kesbanglinmaspol Kab Samosir ........................................................................... .
Lampiran 6. Surat Penugasan dari Dekan FISIP USU .......................................... .
Lru!lpiran 7. Makalah di Kesbanglinmaspol Kota Medan .................................... .
Lampiran 8. Makalah Presentase di Kesbangiinmas Kab Samosir....................... .

BABI

PENDAHULUAN
1.1. Lalor Belalwng
Problema negara lernah (weak states) dan pentingnya pernbangunan identitas bangsanegara (nation-state building identity) telah rnenjadi perhatian sekaligus keprihatinan selarna
beberapa dekade, terutama setelah beral&.imya perang dingin, tapi serangan 11 September
2001 kian rnenegaskan hal ini. Serangan ini, bahkan rnenyadarkan negara sekuat At-nerika,
yang rnerasa identitas bangsanya bagai di persirnpangan jalan, sebagairnana dijelaskan
Francis Fukuyarna dalarn America At The Crosroads.
Serangun terburuk sepanjang abad ini yang kernudian rnendorong lahirnya legasi
kebijakan luar negeri A..merika yang dipengaruhi gagasan konservatif yang kemudian
melahirkan empat kebijakan. Pertama, mendirikan agen yang disebut Department of
Homeland Security, yang mernberikan otoritas lebih besar kepada (aparat) hukurn dalarn
negeri atas serangan teroris, lebih dikenal dengan Patriot Act. Kedua, melakukan invasi
Afghanistan yang dianggap sebagai sarang Taliban tempat persembunyian jaringan AlQaeda. Ketiga, mengurnumk:an doktrin strategi baru yang dikenal dengan preemptive action
dan keernpat menginvasi dan menjatuhk:an pemerintahan Saddam Husein yang dianggap
mernbangun senjata pemusnah massal

atau weapon of mass destruction atau \VMD

(Fukuyama, 2006:13).
Kita menggunakan politik tidak hanya untuk kepentingan-kepentingan kita semata,
tetapi juga untuk rnenyatakan identitas kita. Kita hanya akan tahu siapa kita ketika kita
rnengetahui siapa "yang bukan kita" dan itu hanya dapat diketahui melalui "dengan siapa kita
sedang berhadapan."

1

Kalau negara adidaya sekaliber Amerika dengan demokrasi yang telah de;vasa
merasa di persimpangan jalan dengan identitas pembangunan bangsanya, bagaimana pula
dengan Indonesia yang sedang (deepening democracy) atau membangun demokrasinya?
Karena begitu pentingnya pembangunan identitas bangsa, Soekamo sering mengutip
definisi Otto Bauer tentang bangsa sebagai "komunitas karakter yang berkembang dari
komunitas pengalaman bersama". Indonesia adalah komunitas pengalaman bersama. Orang
asing, dan tak jarang orang Indonesia sendiri, bertanya apa yang membuat keanekaan etnik,
budaya, ras dan agama yang menghuni wilayah kepu!auan nusantara antara Sabang dan
Merauke sampai menjadi negara?
Ja\vaban bahwa Indonesia adalah sekedar kelanjutan kesatuan administratif bekas
jajahan Bela.11da adalah terlalu dangka!. Di Indonesia, bangsa menda.hu!ui negara. Dalam
sumpah pemuda, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda seluruh Nusantara
suda.1 menyatakar1 tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-ba,1asa ibu mereka
berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Itulah yang
kemudian mempersatukan Indonesia.
Karena itu, Sokarno mengatakan bahwa Indonesia adalah komu..'litas karakter yang
berkembang dari pengalaman bersama. Yang mempersatukan Indonesia adalah pengalaman
ketertindasan, pengalaman ketidakadilan yang diderita bersarna, pengalaman pelbagai
kekejaman, pengalaman penghinaan bahwa orang asing menjadi tuan-tuan dan menghisap
tenaga kerja rakyat (Latif, 2011 :5).
Bahkan Soekarno lebih jauh menjelaskan,

mengutip Renan, apakah prasyarat-

prasyarat menjadi sebuah bangsa? Menurut Renan, prasyarat menjadi bangsa adalah
keinginan bersatu. Rakyat merasakan sendiri ingin dipersatukan dan keinginan bersatu dan
merasa bersatu (Tan 1997:37). Mengikuti penjelasan Otto Bauer, Harry Tcan Silalahi, lebih
lanjut menjelaskan bahwa konsep bangsa di Indonesia adalah sebagaimana dinyatakan oleh

2

"Founding Fathers" bahwa " .... bangsa Indonesia tidak didasarkan pada bahasa ibu yang sama,
etnik, budaya dan agama yang sama dan satu. Apa yang mempersatukan Indonesia adalah
sejarah yang sama, penderitaan dan penindasan yang dialami bersama, perjuangan
memperebutkan kemerdekaan yang dilakukan bersama. Dari nasib yang dialan1i dan dimiliki
bersama ini membangkitkan lahimya keinginan untuk bersatu (Tan, 1997:35).
Pemhangunan identitas ini begitu penting, karena ia senantiasa menghadapi tantangan
yang kompleks dan mulitidimensional. Ignas Kleden menyatakan bahwa ancaman terhadap
negara bangsa bisa dari atas dan luar (from above andfrom outside) termasuk dari bawah dan
ctalam negeri itu sendiri (from below and from within nation-state). Ancaman dari atas dan
dari luar itu adalah globalisasi yang mengarah kepada m1iversalisasi, unifikasi, dan bahkan
homogenisasi.
Sedangkan ancaman dari bawah dan dari dalam negeri adalah perubahan politik pasca
ambruk.'1ya rejim sosialis, dan sebagian disebabkan peruba.han konsepsi bangsa dan
kebangsaan (nation and nationhood) yang mengarah kepada bkalitas. Ini tampak dalam
kebangkitan etnisitas, fundamentalisme agama, parokial kedaerahan, dan tradisionalis agresif
(Kleden, 2004:19).
Etnisitas, nasionalisme, negara-bangsa adalah konsep yang telah tua dan berlaku di
hampir semua negara, namun konsep-konsep ini sangat kompleks dan kabur. Mengapa
sebuah kelompok etnik, yang telah hidup beberapa abad, tidak didefenisikan sebagai bangsa
hanya karena kelompok etnik ini mengintegrasikan diri dalam sebuah negara bangsa yang
baru? Apakah orang Jawa, Sunda, atau Melayu dianggap sebagai bangsa atau kelompok
etnik? Pertanyaan ini rumit dan sulit. Karena 'bangsa' dan 'etn.is' bukanlah apa-apa, tapi
semata merupakan konstruksi dan imajinasi sosial.
Orang-orang Dayak di Kalimantan, lanjut Ignas Kleden, yang telah masuk Islam
tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai Dayak lagi, tapi menjadi Melayu. Identitas,

3

apakah etnis atau bangsa senantiasa dan selalu dikonstruksi dan direkonstruksi ulang. Karena
itu, kita menghadapi ancaman nyata yang berbahaya jika identitas dipandang sebagai sesuatu
yang final, tidak berubah, dan bahkan tidak bisa dinegosiasi ulang (Kleden, 2004: 17).
Proses pembentukan negara-bangsa adalah proses yang menjadi dan dibentuk terusmenerus. Karena itu, kebangsaan indonesia bukan sesuatu yang alami, sehingga Soekamo
begitu menekankan perlunya nation building. Indonesia sudah menjadi bangsa, tetapi proses
menjadi bangsa mempakan proses panjang yang hams diusal1akan tems menerus.
Kebangsaan Indonesia di abad ke-21 ini ini bukan sesuatu yang terberi, melainkan hasil
sebuah proses nation building terns rr.enerus. Kalau tidak dipelihara mal::a dapat juga
menguap.
Proses menjadi sebua.h ba.'1gsa itu ditentukan oleh masyara.kat ya.11g sayangnya
memiliki imaji tersendiri tentang bangsa yang sedang dibangun

jtu.

Inilah dilema yang

dihadapi masyarakat plural di seluruh dunia akhir-akhir ini, termasuk Indonesia. Indonesia
dikenal dengan masyarakat yang terbelah dan

エ・イウ。ゥヲォセ@

secara sosial (divided societies

and stratified racially social order) baik secara vertikal (lapisan sosial ekonorni) maupun
horizontal (keragaman etnis, agama, budaya dan sebagainya).
Karena itu, peran masyarakat madani dalam melakukan upaya-upaya (re)formasi
identitas bangsa

dan kebangsaan sangat penting. Bahkan Ignas Kleden dengan tegas

menyatakan, bahwa peran masyarakat lebih penting ketimbang negara dalam mengelola
bangsa. Karena masyarakat bisa survive tanpa kebangsaan, tapi tidak ada bangsa atau negarabangsa dapat bertahan tanpa masyarakat. Keberlangsungan negara-bangsa sangat ditentukan
oleh kedewasan dan perkembangan masyarakat sipil. Jika kekuasaan adalah domain dalam
negara, maka kesetaraan dan keadilan adalah domain dalam masyarakat madani (Kleden,
2004:27).

4

Jadi sangat penting dan mendesak tmtuk mengeksplorasi bagaimana sestmggulmya
identitas kebangsaan sekarang ini terutama dalam masyarakat terbelah dan terstratifikasi di
Sumut. Sedangkan tujuan khusus riset ini adalah untuk memetakan identitas kebangsaan
dalam masyarakat plural sehingga diketahui kondisi identitas bangsa yang pada gilirannya
memahami simpul integrasi kebangsaan. Akhirnya, riset ini juga diharapkan akan mampu
melahirkan model bagaimana pembentukan identitas bangsa sebaiknya dilakukan sehingga
simpul NKRI tetap utuh sebagaimana diimpikan dan dipe1juangkan Bapak Pendiri bangsa
Indonesia.

1.2. Permasalahan Penelitian
Riset ini berupaya mengeksplorasi pembangunan identitas bangsa dala.rn masyara.lcat terbelah
dan terstratifikasi (divided atau racially stratified social order) di Sumatera Utara.
Pembangtman identitas ini akan dieksplorasi dari
keagamaan di Kota Medan. Pemilihan organisasi

ュ。Nセウゥキ@

ッイァセウゥ@

mahasiswa da,'1 om1as
ini dianggap penting, karena

mereka yang akan menentukan arah dan jalur pembangunan identitas bangsa ke depan. Di
samping organisasi mahasiswa, penelitian ini juga akan mengeksplorasi iderititas kebangsaan
dalam organisasi masyarakat berbasis keagamaan di Kab Sarno sir (

、ッュゥョ。セウエ・@

dan

Batak) dan Kab Langkat (dominan Islam dan Melayu).

Pertanyaan penelitian (research questions) yang ingin digali dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah visi dan misi, rencana strategis dan implementasi kegiatan ormas
berbasis keagamaan baik di kalangan mahasiswa (kota Medan) dan otmas keagamaan
Kota Medan, Kab Langkat dan Kab Samosir (Tahun Pertama).

5

2. Bagaimanakah (re)formasi identitas kebangsaan dalam organisasi mahasiswa (kaum
muda di Kota Medan) dibandingkan dengan identitas kebangsaan onnas keagamaan
kaum tua di Kab Langkat yang mayoritas Islam dan Kab Samosir yang mayoritas
Kristen (Tahun Pertama).
3. Bagaimanakah relasi dan kompetisi, bahkan konflik intra dan interonnas berbasis
keagamaan ini (Tahun Pertama).
4. Bagaima.nakah jarak sosial dan budaya antara onnas berbasis keagamaa.n di ketiga
kota lokasi penelitian berlan6sung (Tahun Kedua).
5. Bagaimanakah model pembangunan identitas bangsa (building of nation identity)
ya..'lg tepat untuk merekat simpul integrasi bangsa Indonesia yang lebih lcuat dan sehat
ke depa..Tl (Tahu..Tl Kedua).

1.3. Luaran Penelitian
Penelitian ini pada akhimya diharapkan akan mebhirkan luaran sebagai berikut:
1. Model (re)formasi identitas negara ban gsa.
2. Publikasi buku setidaknya oleh USU Press.
3. Publikasijurnal akreditasi nasional, yakni Jumal Antropologi Indonesia.

6

セ@

....

f
セN⦅

セ[NZ⦅

;, l

I
イtセN

BAB II
tinjaupsD

エイ P セ

M[セ

イNMセZ^

ᄋM セ M ]ᄋセ⦅[

'('.tl Mfセ@ ' "·"'''
..-!<
J

ゥ セ

セB@





t=•lNャGセ@



N@

M セイ

MZ[ッセB@

.

Mセ@

L.,:2 セMZNj

___ ,

··':'0-

. .... ,.....

セg



I-' t: ;:j T q K A P:,f';l

,...,..

-.._..w.,...,.

」Nエュセ。@

IjSRPセNゥ」Z@
:セ@

ᄋセ セ
セ@

.::!£:.

エN lZMN@

セ@

q,q"J 9
オ セ@

lO lYJ



..... -

...セ@

Sejarah lahimya bangsa. bisa ditelusuri 10.000 nbu tahun ke belakang セ@

I⦅。@

dan

Swedia.

Lahirnya bangsa-bangsa 1m

dimungkinkan seiring dengan t'Jmbuhnya ekonomi dunia modem (Fukuyama, 2006:1 ).
Max Weber mendefenisikan bangsa sebagai "sebuah komunitas manusia (rang
berhasil) memonopoli legitimasi penggunaan kekuatan fisik dalam teritori tertentu. Esensi
kebangsaan, dengan kata lain !anjut Weber, adalah penegaka.t1 hukum, instrumen tera!dlir
sebuah bangsa memaksa seseorang tmtuk tunduk taat dan menggunakan senjata

オョエNセ@

'memaksa masyarakat bertindak sesuai dengan hukum negara."
Sedangkan menurut enskJopedia Sosiologi, nation (bangsa) merupakan keJompok
etnis yang (1) memiliki satu atau lebih karakter identitas seperti bahasa, agarna, ras, hudaya,
dan teritori dan (2) dan dimobilisasi secara politis. Karena itu, nasionalisme harus dibedakan
dari partriotisme. Identiftkasi loyalitas
atau

「。イセァウ@

ケ。イセァ@

pertama berhubungan dengan kelompok etnis

atau nation, sedangkan yang terakhir terkait

、・ョァ。イセ@

negara atau state (Borgotta,

1992:1333).
Perkembangan bangsa tidak terlepas dari jalur perkembangan ekonomi masyarakat itu
sendiri. Tatatan ekonomi dan teknologi baru ke.mudian memperlemah ikatan-ikatan jaringan
hubungan di kalangan penduduk perdesaan berciri feodalistik, keluarga patriarkat, agama,
dan lokalitas. Wawasan kian luas di satu sisi, tapi juga makin menyempit di sisi lain; individu
kian berperan tapi kian merasa kehilangan arah akibat bias perkotaan, yang pada akl>Jmya
melahirkan masyarakat sekular yang masif.

7

LNZ@

l'h


--

セ@

-

_,

yang luas telah ditemukan 4 atau 5 ribu tahun yang lalu yang kemudian diik-uti lahirnya

Spanyol



i.

c

tr.-; -- ,

yang sentralistis dan ditopang dukungan militer yang kuat yang memiliki jangkauan otoritas

monarki Prancis,

..

;;;,_j

-

masyarakat agrans dt Mesopotamia. Dt Cma, bangsa yang dtkelola dengan btrokrast canggih

konsolidasi

キセ@

• .,..

u S}.J -

j

Dampak ikutan kebingungan kultural ini kemudian melahirkan gagasan ideologi
masyarakat

bersama

(common people)

sebagai

sumber

legitimasi

terakhir,

dan

mentransformasikan "Rakyat" (People) menjadijiwa bangsa (transformed the People into the

soul of the state). Gagasan lama bangsa sebagai sebuah komunitas kultural kemudian berubah
menjadi sebuah prinsip mistis: negara merupakan tubuh yang meliputi jiwa bangsa (the state

was the body that contained the soul of nation). lni mengekspresikan personalitas kolektif
yang tidak bisa disubordinasikan kepada kekuasaan yang lain. Bangsa menyimbolkan hati,
rurnah, dan nilai tertingg!; bangsa itu harus dibela oleh setiap orang sepanjang hidupnya
(MacVey, 2003:3).
Secara historis asal muasal bangsa bisa ditelusuri dari lll1ifikasi gradual teritori
kerajaan Saxon dan Prancis, yang kemudian dikenal menjadi negara 'England' da..11 'France'
pada masa Abad Pertengahan. Kendati begitu, penyatuan administrasi teritori yang
berlangsung secara bertahap melalui penakJukan, aliansi, dan perkawinan itu sendiri tidak
bisa langsung menjadi dasar pembente.kan bangsa. Proses ini akan menjadi tempurung dan
kerangka terbentuknya negara. Apa yang membuat formasi negara begitu diinginkan adalah
karena impak tripel Revolusi Barat atau tepatnya, tiga tipe Revolusi Barat, y:ikni pembagian
kerja, kontrol administrasi dan koordinasi budaya dan pendidikan.
Diskontuinitas ketiga revolusi ini, perbedaan dampaknya dalam kurun waktu tertentu
dan di tempat tertentu, dan karena kebangkitan revolusi itu berlangslli1g dalan1 berbagai
variasi lingk:ungan budaya dan sosial, 'bangsa' yang 'dibentuk' secara bertahap tadi
menimbulkan perbedaan baik dalam isi maupun bentuk. Kita tidak hanya mengenal negara
agama, negara sekuler, negara borjuis, negara aristokratik, dan negara proletar, tapi juga
mengenal dua negara yang berbeda, yang disebut Smith negara tentorial dan negara etnis.
Negara 'teritoria' didasarkan pada batas-batas teritori yang jelas tegas. Negara (state)
dipahami sebagai entitas teritori dengan batas kekuasaan Gurisdiksi) yang berdaulat sekaligus

8

mengikat kuat. Perasaan mengikat ini, inklusi dan eksklusi, sangat penting dalam defenisi
komunitas warga (community of citizen): sebagaimana ditegaskan Anderson, bahwa bangsa
adalah sebuah komunitas politik imajiner atau an imagined political community (Ann kumar,
2003:47).
Selanjutnya, nasionalisme merupakan sebuah koin dengan dua sisi: satu sisi politik,
sisi lain bernuansa etnis. Kedua sisi koin ini dijelaskan dengan dua wajah, satu yang "baik"
dan satu 1agi "buruk". Tapi ini hanya tipe ideal, dalam realitas sosial, nasionalisme senantiasa
bersifat politis dan etnis, kendati salah satu aspek mungkin mendominasi pada tingkatan
tertentu. Gagasan kebangsaan selalu politis, dan tidak ada nasianalisme tanpa elemen politik.
Hublillgannya mungkin bisa digambarkan bahwa salah satu sisi merupakan jiwa
politik (pclitical soul) dan sisi lainnya adalah tubuh etnis (ethnic body). Keba.nggaa..11 etnis
terhadap leluhur yang sama, keagungan sejarah, tradisi besar, bahasa yang sama, budaya
luhur, dapat disublimasikan ke dalan1 perasaan patriotis untlLlc lembaga dan prestasi ya..r:Jg
diciptakan melalui sebuah nilai demokrasi yang dipersatukan dalam kata "Kita." Amerika
menghadirkan pola sublimasi ini: kebanggaan bangsa disemboyankan dengan kata
"American way of life," negara dengan institusi yang stabil dan be bas, can perannya sebagai
"pemimpin dunia yang bebas merdeka."
Pada tingkatan empiris ini tarnpak dari temuan re(formasi) identitas etnis Tionghoa
sebagain1ana dijelaskan oleh Melly G. Tan. Ia menyimpulkan bahwa etnis Tionghoa di
Indonesia memiliki kategori identitas ganda (double identity), karena di samping mengadopsi
identitas sebagai bangsa Indonesia, mereka masih memiliki kesadaran akan identitas dari
negeri asalnya, yakni Cina (Tan, 1997: 39).
Huntington dalam buku Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia,
bahkan menyatakan bahwa setiap masyarakat memiliki pelbagai tingkatan identitas: seorang
penduduk: Roma barangkali akan mengidentifikasikan diri sebagai orang Roma, orang Italia,

9

seorang Katolik, seorang Kristen, sebagai orang Eropa, dan sebagai orang Barat (Huntington,
1996:43). Ini menegaskan penjelasan bahwa nasionalisme itu ibarat satu koin dua wajah,
wajah yang satu melebur ke dalam jiwa bangsa, sedangkan sisi yang lain terikat kepada
identitas dasar seperti agama dan etnisitas.
Anthony D. Smith (dalam Uli Kozak, 2010:51) menyebut empat keyakinan yang
menandai seseorang penganut

paham nasionalisme. Pertama, keyakinan bahwa umat

manusia secara alamiah dibagi atas bangsa-ba11gsa atau kelompok-kelompok etnik, yang
masing-masing memiliki karakter nasional, sejarah nasional serta takdir sendiri-sendiri.
Perdamaian dan keadilan global menuntut adanya dunia yang terdiri atas hangsa-bangsa yang
otonom. Kedua, keyakinan bahwa individu untuk bisa menjadi bebas harus menjadi bagian
dari suatu bangsa da..r1 mengidentifikasika..r1 diri denga..r1 ba.Dgsa.11ya. Hal itu menyebabka11
seorang individu menjadi setia pada bangsanya dan kesetiaan pada bangsa adalah prioritas
utama baginya. Ketiga, keyakinan bahwa sebuah bangsa hanya dapat berkembang apabila
memiliki negara dan pemerintahannya sendiri. Keempat, keyakinan bahwa bangsa itu
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan politik.
Mobilisasi politik dan arah pergerakan nasionalis sebagian besar dipengaruhi faktor
internal dan ekstemal. Faktor internal yang utama adalah ketimpangan ekonomi dan
disparitas budaya dalam mengontrol sumberdaya, akses terhadap barang-barang, dan
distribusi struktur okupasi dan posisi. Persepsi kolektif kelompok etnis yang merasa
dieksploitasi tidak hanya akan mengancam legitimasi rejim, tapi juga legitimasi negara.
Gerakan perlawanan etno-religius inilah yang memberi dasar munculnya kesadaran
"nasionalisme purba" (archaic nationalism). Suatu bentuk kesadaran nasionalisme "negatif'
(defensif) dalam skala terbatas yang pada umumnya dibangkitkan dengan menggunakan
simbolisme dan jaringan keagamaan yang berimpitan dengan etnisitas.

10

Komunitarianisme menjadi antitesis utama terhadap gagasan demokrasi liberal, yang
mengacu pada keyakinan lama, bahwa setiap orang sama di hadapan hukum dan memiliki
hak-hak dasar politik yang sama. Sebaliknya, komunitarianisme menekankan bahwa
seseorang merupakan anggota komunitasnya dan bukan seorang ind;vidu. Konsekuensinya,
seseorang harus memberi prioritas dan kewajiban terhadap komunitasnya sebelum seseora.'1g
berbicara mengenai hak-hak invidunya.
Pada tingkatan tertentu, sentimen komw1al ini dapat berubah mpa me11jadi
chauvinisrr.e budaya, dimana pemerintah dan rakyatnya percaya bahwa seluruh problema dan
penya!cit yang dialami bangsa itu dikaitkar. dari pengamh buruk budaya luar dan nilai-nilai
global. Lebih jauh lagi, ini terkait dengan infantilisme negara bangsa, dimana seseorang
percaya bahwa budayanya yang paling sempuma, karena itu, masalah dan problema yang
dihadapi bangsa dianggap berasal dari luar bangsa itu sendiri.
Bar..kan roh api yang lebih ''ekstrim" dijelaskan Huntington denga..n mengutip novel
Michael Dibdin, Dead Lagoon, "tidak ada kawan sejati tanpa musuh sejati. Jika kita tidak
mampu membenci apa yang kita benci, kita tidak akan mampu mencintai apa yang kita cintai.
Itulah kebenaran-kebenaran masa lalu, yang secara menyedihkan kembali kita bangkitkan
setelah terpendam selama satu abad dan bahkan dalam bentuk yang lebih sentimental. Barang
siapa yang mengingkari semua itu, berarti mengingkari nenek moyang, warisan, kebudayaan,
dan bahkan kelahiran mereka sendiri! Semua itu tak mungkin terlupakan (HW1tington,

1996:5).
Tesis utama Ghia Nodia, menyimpulkan bahwa "gagasan nasionalisme (nationalism)
adalah tidak mungkin - tentu saja tak terpikirkan - tanpa gagasan demokrasi, dan demokrasi
tidak pemah eksis tanpa nasionalisme. Ide utama demokrasi adalah gagasan kedaulatan
populis - bahwa kehendak rakyat akan menang. Demokrasi menemukan rumahnya dalam
komunitas partikulir (particular),

yang dalam era modem kemudian melahirkan

11

\セ@

nasionalisme. Ban gsa, jelas Nadia, adalah «nama lain untuk "Kami Rakyat/BaDgsa." Gagasa.n
kebangsaan adalah gagasan keanggotaan dalam kemanusiaan (humanity), dan ide tentang
kemanusiaan sebagai 'keluarga bangsa-bangsa (family of nations) telah lama menjadi gagasan
nasionalisme liberal (Nodia, 1994:24).
Alvin Rabushka dan Kenneth Shepsle menyimpulkan bahwa "demokrasi .... tidak
tumbuh subur dalam lingkungan segregasi etnis yang tajarn." Dalam "masyarakat plural"
dimana perbedaan etnis dipertajam oleh kohesi orga.nisasi politik, koalisi multi etnik akru1
sulit, lembaga pengaman akan hilang, dan moderasi etnik tidak akan terwujud. Karena itu,
perkembangan demokrasi di negara··negara Afrika dan Asia kerap terbentur nilai-nilai
patrimonial, sehi.ngga seorang antropolog Afrika pernah berkata, 'our hardware is democracy

but our software is patrimonialism." A tau ungkapa.t1lain ya.r1g mengatakan 'blood is thicker
than water.' Kalau pernyataan yang pertama menegaskan betapa nilai-nilai mengutamakan
kelompok atau kekerabatan Jebih dominan kendati lembaga-lembaga demokrasi telah
dibangun, pernyataan terakhir menegaskan, betapa seseorang lebih nyaman merekrut orangorang yang 'sedarah' atau kerabat daripada mengangkat orang Jain yang kualitasnya lebih
baik. lni yang disebut Edward Banfield sebagai 'amoral :!:'amilism.' Sebuah nilai yang kurang
baik dalam hubungan kekerabatan, tapi senantiasa memperkuat ikatan kekerabatan. Dalam
masyarakat demikian, seseorang akan kurang mendukung kepentingan umum atau
kepenti.ngan masyarakat, kecuali ikatan kerabat atau keluarganya. Seseorang aka11 dibebani
kewajiban moral (moral obligaton) untuk mementi.ngkan keluarga atau kelompoknya,
ketimbang membela kepentingan umum yang lebih luas (Huntington, 2000:119).
Ini misalnya tampak dalam patronase rekrutmen jabatan-jabatan strategis di kantor
pemerintahan Sumut (Pemprovsu) sebagaimana di jelaskan Usman Pelly (1994) dimana jika
seorang Bata.k Toba menduduki posisi strategis di sebuah kantor, ia akan merekrut sanak
keluarga menduduki berbagai jabatan. Kelompok-kelornpok etnik lain yang ada di kantor itu

12

akan berubah menjadi kelompok minoritas, dan merasa tertekan oleh dominasi Batak Toba.
Kebanyakan dari mereka tidak betah dan akhimya mengundurkan diri atau minta
dipindahkan ke kantor lain yang kelompok etnik mereka masih mendominasi posisi yang
baik. Realitas ini menggambarkan kesulitan-kesulitan kerjasama antar etnis dalam birokrasi,
sehingga pemerintah pusat sering mengirimkan pejabat dari Jawa sebagai 'stab:lator' dalam
rivalitas etnis ini. Nyatanya, pejabat yang didatangkan dari Jawa ini juga merasa tertekan oleh
rivalitas dan intrik antar etnis ini, dengan menyatakan ''jika saya bertugas di sini lebih dari
empat tahun, bisa-bisa saya kena penyakit jiwa atau jantung." (Pelly, 1994: 128).

Ini bukan fenomena nasinnal saja, tapi juga realitas globaL Rivalitas etnis hampir
mewarna1 seluruh aspek kehidupan manusia. Di Filippina, terjadi perebutan di bidang
pengelo!aa.11 hutan dan listrik berdasarkan gar1s-gar1s etfljs. Di Guyana, ketegangan etnis
antara etnis India Timur dan Afrika untuk memperebutkan lahan-lahan perkebunan tebu.
Etnis Melayu di bagian Selatan Thailand menentang pembangunail permukiman ora..ng-ora..'lg
Thailand yang beragama Buddha. Orang-orang Kurdi di Irak menentang pembangunan
permukiman di kawasan mereka. Pembangunan irigasi di Srilanka yang dibangun donor
intemasional menuai protes karena dianggap akan mendatangkan etnis Sinhala yang dianggap
kolonialis. Di Ethiopia, dampak ikutan reformasi agraria dianggap akan merampas tanahtanah etnis Amhara dan memberikannya kepada etnis Gala (Horowitz, 1985:8).
Smith menjelasakan bahwa pengikut 'modernis' memandang bahwa bangsa
merupakan elemen alamiah dan penting dalam fabrikasi masyarakat dan sejarah, bahwa
bangsa adalah fenomena modem, produk dari pembangunan modem seperti juga kapitalisme,
birokrasi, dan sekularisme. Aliran pengikut modernis bervariasi seperti Wallerstein, Gellner,
dan Anderson, yag menjelaskan bagaimana modemitas menciptakan identitas bangsa, kendati
semua sepakat, bahwa bangsa adalah produk modemitas.

13

Pemikir lain menganggap penjelasan kaum modernis tidak bisa menjelaskan bangsa
kuno pada era Romawi dan Yunani terkait dengan identitas dan karakter kedua bangsa
tersebut, yang menganggap bahwa bangsa mereka berbeda dengan bangsa yang lain. Bahkan
pada abad ke-13 muncul pemikiran bahwa yang m;;mbentuk bangsa itu bisa dilihat dari
perbedaan bahasa saja.
Selanjutnya pendukung 'perennial' atau primordial membantah bangsa merupakan
ーイッ、オNセ@

modernitas atau basil pembangungan. Didier Maupas menjdaskan kebangkit:w

kembali sifat alamiah komunitas, dimana seseorang bisa menemukan dirinya dalam
bertetangga. Dia menekankan pentingnya revitalisasi sifat alamiah komunitas, seperti gotong
royong (communily of work) atau pelayanan sosial, dan patriotisme pada tingkat lokal,
regional, dan bangsa.
Posisi pendukung perennialis juga terjebak problema, dan Smith ada di sini, yang
pemikirannya berada di an tara kalangan 'modernis · dan 'perennial ' . Ia menje1askan be tapa
banyaknya ethnie yang berserak melintasi benua dan menyebar sepanjang sejarah manusia.
Banyak bangsa dan nasionalisme berkembang di atas basis pra-eksjstensi ethnie dan
etnosentrisme. Karakter etnis atau politik etnis (ethnie polity), jelas Smith, mengacu pada
makna yang diyakini bersama dan pengalaman individual, dan kristalisasinya dari generasi ke
generasi dalam berbagai variasi fenomena seperti teks bahasa yang suci, rumah ibadah dan
makam suci, cara berpakaian, seni dan arsitektur, musik, sastra dan tari-tarian, aturan hukum,
perencanaan kota, bentuk-bentuk hirearki (sipil, rniliter, dan agama) cara-cara berperang dan
memproduksi teknologi, termasuk kerajinan tangan' (Kumar, 2003:47).
Christian Drake (dalam Ju Lan, 2006) menjelaskan perbedaan mendasar antara
nasionalisme dan integrasi nasional. Jika nasionalisme terkait dengan 'kebangkitan nilai-nilai
patriotisme, emosi kebangsaan, perasaan yang penting dalam mengatasi regionalisme dan
menekankan pada hubungan vertikal ke pusat" sebaliknya, integrasi nasional fokus dalam

14

"fungsi interaksi dan saling ketergantungan dari bagian-bagian kemajemukan bangsa, ikatan
keberlanjutannya sebagian besar tergantung pada kekuatan emosi kebangsaan. Dengan kata
lain, integrasi nasional adalah "konsep yang lebih luas dan lebih

ゥョォャオウエセ@

terkait dengan

hubungan lateral dan vertikal."
Kendati literatur tentang keberhasilan dan kegagalan seja;ah integrasi nasional
melimpah, sejauh ini belum ada teori yang menjelaskan integrasi nasional dilihat dari
kebijakan negara terhadap kelompok minoritas (non core group). Berbagai jalur integrasi
nasional telah dijelaskan dan diusulkan. Teori modemisasi menjelaskan pentingnya
transformasi ekonomi seperti iadustrialisasi dan urbanisasi yang pada akhimya merubah
identitas individu dan menyatakan bahwa integrasi nasional kurang lebih merupakan prG.:!uk
modemisasi itu sendiri.

Sebagaimana dinyatakan oleh Anthony Smit.lJ., ba."IJ.wa teori

modemisasi menjelaskan "the role of the state is simply to act as a handmaid of history,

1vhose goal is a ·world of large-scale nation-slates or regions" (Mylonas, 1986: 232).
Sejauh ini, peneliti telah melakukan penelitian tentang interaksi antara m1gran
pendatang (Tionghoa dan Batak) dan penduduk Jokal (Melayu) di Pangkalan Brandan yang
dibiayai oleh DPM Dikti Jakarta. Studi ini menunjukkan, migran pendatang (Batak dan
Tionghoa) lebih agresif dan progresif menguasai sumber daya ekonomi dan 'meminggirkan'
penduduk setempat (host population), dalam hal ini etnis Melayu. Dampak ikutannya adalah
bangkitnya prasangka dan streotipe di kedua kubu yang menjadi benih-benih sekarn konflik
antargolongan di kota minyak tersebut.
Peneliti juga terlibat dalam penelitian potensi konflik bersama CERIC FISIP-USU
medaャセ@

(Centre on Research Inter-Group-Relation and Conflict Resolution) dengan FISIP

Universitas Indonesia dalam merancang sistem siaga dini konflik antargolongan. Sayangnya,
riset ini tidak berkelanjutan karena kendala dana. Dari segi praksis, peneliti juga pernah
mengik:uti lokakarya Pendidik:an Perdamaian di Filippina dibiayai oleh lembaga yang sama.

15

Road map penelitian ini, selama dua tahun (2013-2014) ke depan diharapkan akan
memetakan; (1) visi-misi dan praksis ormas kemahasiswaan dan ormas keagamaan di ketiga
kota (Medan, Pangururan, dan Stabat); (2) memetakan keijasama dan kompetisi intra-ormas
di ketiga kota tersebut; (3) memetakan pola relasi politik antara ormas dengan penguasa
politik lokal dan (4) melahirkan model identitas bangsa yar.g dihasilkan dari observasi
partisipasi dan wawancara mendaiam, termasuk dari Diskusi Kelompok Terarah (FGD) dan
Diskusi Ahli.
Karena konsep identitas kebangsaan ini luas dan abstrak, dm hasil studi ini
diharapkan akan dilakukan penelitian lanjutan (201 5 dan selanjutnya) untuk mencari model
pembangunan atau (re)formasi identitas bangsa yang lebih spesifik dalam berbagllilembaga
dan beraga..rn jalur (multiple track). Misalnya, perlu dira11cang bagaima..'1a pembentuk&I1
identitas bangsa dalam berbagai jenjang pendidikan (TK sampai PT) atau bagaimana
pembenhtkan identitas bangsa dalam partai politik.

Im penting, karena pendidikan merupakan

lembaga terdepan dalam mengintemalisasikan nillai-nilai kebangsaan dan dari pa:rpol akan
melahirkan pemimpin bangsa yang rnenentukan konstruksi identitas kebangsaan Indonesia ke
depan.
MATRIKS ROAD MAP PENELITIAN

Pe11elitiat1 Terdahulu
ROAD MAP
PENELITlAN
TERDAHULU

JUDUULEMBAGA
Interaksi Migran Pendatang dan Penduduk
Setempat (Host Population) di Pangkalan
Brandan: DPMJDIKTI
Potensi Konflik dan Sistem Siaga Dini
Konflik Antargolongan: CERIC FISIP USU
DAN CERIC FISIP Ul (Riset tidak berlanjut
karen a kendala dana)

Kegiatan

Inform an

Eksplorasi Profil
Ormas
Mahasiswa di Kota Medan,

-Pen gurus teras
Ormas

Basil
-Laporan Penelitian ke Dikti

-Peta Konflik di Indonesia

TAHUN PERTAMA (2013)
Data Sk:under
Pengumpul Data
-AD/ART
-Notulensi Rapat

16

Wawancara
Mendalam

HASIL
Peta Profil Ormas di 3 Kota

Pangururan dan Stabat
Pembangunan
Eksplorasi
ldentitas
Kebangsaan
Onnas Kemahasiswaan di
Medan dan di
Kota
Pangururan dan Stabat
Eksplorasi
Kerjasama,
Kompetisi, Bahkan Konflik
Intra-Ormas

-Pengurus Teras
Ormas

Pen gurus
Ormas

Inti

Kegiatan
Eksplorasi
Relasi
Politik Ormas dan
Elit Lokal

In forman
-Pengurus lnti Ormas
-Pejabat Teras Lokal

Survey Jarak Sosial
danBudaya
Mendisain
Model
Pembangunan
NegaraIdentitas
Ban gsa

Anggota Ormas
-Ormas
-Elit Lokal
-Pejabat Pernda

-Korespondensi
-Penelusuran
dokumentasi
-Kegiatan Ormas

-Wawancara
Mendalam
-Observasi
Partisipasi

Pola-Pola Identitas Kebangsaa
Kaum Muda dan Kaum Tua c
Tiga Kota

-Kegiatan Ormas
-Penelusuran
Dokumen

-Wawancara
Mendalam
-Observasi
Partisipasi
TAHUN KEDUA (2014)
Data Skunder
Pengumpul Data
-Observasi
-Kegiatan
Kerjasama
Partisipasi
an tara
Ormas · Wawancara
Mendalam
dan Pemda
Kuesioner
-PerundangUndangan

Pola-Po\a
Kerjasama
da1
Kompetisi
lntra-Orma
termasuk Potensi Konflik Antar
Onnas
Hasil
Pola-Pola Relasi Politik Ormas
Eiit Lokal

Tndeks Jarak Sosial dan Budaya
Ormas
Model Pembangunan Identitas

-Diskusi Kelompok
Terarah
-Diskusi Ahli

Negam-Bang"

1

Road _A,fap Peneliti.an 2 (Du.a) Tahun (2013-2014) ke Depan

Road j1fap Penelitian LANJUTAN (2015 dan sesudahnya)
Kegiatan
Model Pembelajaran
(Re)formasi ldentitas
Negara Ban gsa di
Bidang Pendidikan
Model Pembelajaran
(Re)formasi Identitas
Negara Bangs a di
Bidang Pendidikan

Inform an
-Pakar
Pendidikan
-Negarawan
-DPRJDPRD
-Pakar kurikulum
Pakar Politik.
-Negarawan
-DPR!DPRD
-Pakar kurikulurn
-Ketua Parpol

Data Skunder
-Kurikulum
Pendidikan
-Perundang1mdangan
-Perundangundangan

17

Pengum)J_ulan Data
-Desk study
Negara
-Komparasi
Lain
-Wawancara
mendalam
-Desk studi
-Komparasi
Negara
Lain
-Wawancara
mendalam

Hasil

! -Kurikulum Pembelajaran identitas
negara bangsa
-Model Pembelajaran (Re )formasi
Identitas Negara Bangsa di Bidang
Pendidikan
Model Pembelajaran (Re)fortllasi
Identitas Negara Bangsa di Bidang
Partai Politik

BABIU
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. TujmL'1 Penelitian
Penelitian ini berupaya mengeksplorasi pennasalahan-permasalahan berikut ini:
1. Untuk mengetahui visi dan misi dan implementasi kegiatan ormas berbasis
keagamaan terkait dengan identitas bangsa.
2. Untuk mengetahui identitas kebangsaan baik di kalangan muda maupun di kalangan
tua dalam organisasi berbasis keagamaan.
3. Untuk mengetahui relasi, kompetisi, bahkan koni1ik intra-ormas berbasis keagarnaan.
4. Untuk mengukur jarak sosial dan budaya antargolongan di tiga kota lokasi penelitian
berlangsung.

5. Untuk mengetahui model pembangunan identitas bangsa dalam ormas berbasis
keagamaan.

3.2. Manfaat Penelitia.'1

Dari sek.ruh rangkaian proses penelitian ini, diharapkan akan mengha.silkan manfaat sebagai
berikut:
1. Mengeksplorasi intemalisasi (penyemaian) identitas kebangsaan dalam ormas.

keagamaan dan Kelompok Cipayung.
2. Mendeskripsikan relasi intra onnas keagamaan dan interormas keagamaan.
3. Mendeskripsikan relasi ormas keagamaan dan elit pemerintah daerah.
4. Mengukur jarak sosial dan budaya di tiga kota penelitian ini berlangsung.
5. Mendisain model intemalisasi identitas