Pemikiran Politik Kalim Al-Siddiqui Tentang Nation-State (Negara-Bangsa)

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)

Oleh :

SAHARA BINTI ALI NIM: 1110045200032

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1435 H/2014M


(2)

(3)

(4)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 18 Februari2014 M 19 RabiulAkhir1435 H


(5)

iv ABSTRAK

Sahara Binti Ali. NIM 1110045200032. PEMIKIRAN POLITIK KALIM AL-SIDDIQUI TENTANG NATION-STATE (NEGARA-BANGSA). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah referensi pada pandangan Kalim al-Siddiqui mengenai nation-state (negara-bangsa) yang berhubungan dengan nasionalisme. Menurutnya nation-state (negara-bangsa) merupakan simbol kemunduran, kekalahan dan keterpecah-belah Umat Islam bahkan ia adalah produk ketundukan dari penjajahan bagi mendapat sebuah kemerdekaan.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis yang mana penulis menggunakan data primer dan sekunder, kemudian menganalisanya secara komprehensif yang berhubungan dengan nasion-state (negara-bangsa).

Hasil penelitian ini, menunjukkan Kalim al-Siddiqui menolak dan tidak setuju akan nation-state (negara-bangsa) yang berlaku di negara-negara Muslim.

Kata kunci: Pemikiran, Nation-State (negara-bangsa), Nasionalisme, Kemerdekaan, Kekuasaan, Kemunduran, Perubahan dan Kekuatan Korektif.


(6)

v





Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allahu Ahad, tuhan pencipta sekalian alam ini. Salawat serta salam buat junjungan besar Nabi Muhammad saw. sebagai penghulu bagi sekalian Nabi, Para Sahabat, Para Istri, ahli keluarga serta seluruh umat Islam yang tidak jemu-jemu memperjuangkan kalimah sakral“La ilaha illallah

Muhammadul Rasulullah” sehingga hembusan nafas terakhir.

Skripsi berjudul:PEMIKIRAN POLITIK KALIM AL-SIDDIQUI TENTANG NATION-STATE (NEGARA-BANGSA), ditulis untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat penulis persembahkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.


(7)

vi penulis dalam menyusun skripsi ini.

3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Dr. Asmawi M.Ag. dan Afwan Faizin, M.Ag. yang telah membantu penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini.

4. Prof.Dr.Masykuri Abdillah, selaku pembimbing I dan ibu Masyrofah, M. Ag, M. Si. sebagai pembimbing II yang sabar memberikan petunjuk ke arah perfeksi penulisan, meluang waktu dan banyak memberi masukan kepada penulis hingga tuntasnya skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Jakarta, terutama Prof. Dr. Amin Suma, SH, MA, MM, Prof. Dr. Yunasril Ali, Dr. Asep Saepudin Jahar, Arskal Salim GP, Drs. H.A. Basiq Djalil, Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, Iding Rosyidin, Alfitra AH., M, Hum, Dr. Atep Abdurofiq, Dr. Bambang Catur SP, Dr. Dedy Nursamsi, Dr. H. Supriyadi Ahmad, Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Khamami, MA, Dr. Moh. Ali, QosimArsadani, MA dan Dr. Rumadi.

6. Seluruh dosen serta semua staf di Kolej Universiti Darul Quran terutama almarhum Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ustaz Kamaruzaman, Ust. Soud Said, Ust. Rizki Ilyas, Ust. Asmadi, Ust. Ismail Osman, Ust.


(8)

vii

karyawati, Pustakaan Nasional Republik Indonesia, Perbadanan Perpustakaan Awam Negeri Terengganu yang banyak membantu memfasilitasi penyelesaian penulisan skripsi ini.

8. TYT. Dato’ Duta Malaysia di Indonesia, Tuan Pengarah JPMI, Atasan Agama serta seluruh staf Kedutaan Besar Malaysia atas pengawasan dan kebajikan yang diberikan.

9. Teristimewa buat pemberi semangat nur kasihBonda tercinta Wan Melah binti Wan Musaanakanda mengucapkan ribuan terima kasih atas segala perhatian dan doa untuk keberhasilan anakanda. Kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas senantisa memberikan semangat dan motivasi tanpa jemu hingga anakanda dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa dan pengorbanan bonda senantiasa terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan. Al-fatihah buat almarhum ayahanda Ali Bin Mamat dan kakanda kedua Anuar Bin Ali yang sentiasa dalam ingatan dan doaku semoga di cucuri rahmat ke atas roh keduannya dan ditempatkan bersama orang-orang soleh. Buat saudarakuyang diingati dan dikasihi, Rusdi, Zalina, Latif, Muhammad Zulhilmi, Kak Tie dan Abang Ayub (ipar) ucapaan jutaan terima kasih yang telah banyak membantu dan mendoakankanku.Tidak lupa


(9)

viii

selamat, dan sempurna. Semoga amal kalian diganti ridha Al-Khaleed. 10.Sahabat seperjuangan, Khadijah, Ann, Halijah, Balqis, Sumaiyyah, Siti

Norjannah, Zuriah, Hilmi, Hapis, Muin,kakak-kakak, abang-abang, adik-adik dan teman-teman usrah ex-Kudqi, serta teman-temanIndonesia, antaranya, Fatimah, Fifka, Rinny, Messy, dan yang mengenali penulis yang tidak mampu penulis catatkan satu persatu disini. Yang banyak memberi motivasi demi keberhasilan penulisan karya ilmiah ini dan terima kasih juga atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

11.Kepada senior-senior UIN muslimin dan muslimat terutamanya K. Ain, K. Ngah, K. Faizah, Ann dan Hajar.Terima Kasih karena turut mendoakan penulis dan banyak memberi kritikan, semangat serta motivasi. Semoga kita tetap dalam perjuangan.

12.Pihak kedutaan besar Malaysia, Prof Juzhar, EncikLudi, Ust Aziz, Mr. Mix, Pak Warden, PuanYahurindan lain-lain.

13.Tidak lupa kepada Pak Osman yang banyak menolong dalam urusan imegrasi, juga kepada Pak Said serta ibu selaku tuan kosan tempat berteduhku dan Pak Fuad yang sering mengambil dan menghantarku ke Bandara Soekarno Hatta Internasional.


(10)

ix

telah diberikan kepada penulis hanya Allah yang selayaknya membalas. Dalam penulisan skripsi ini tentu tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, karenanya kritikan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dan akan diterima dengan baik.

-Amin Ya Rabbal A’lamin-

Jakarta, 18 Februari2014M 19 RabiulAkhir 1435 H


(11)

x

PERSETUJUAN PEMBIMBING………...i

PENGESAHAN PENITIA UJIAN………...ii

LEMBAR PERNYATAAN...iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka/ Kajian Terdahulu (Review) ... 7

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II BIOGRAFI KALIM AL-SIDDIQQUI ... 13

A. Riwayat Hidup Kalim al-Siddiqui ... 14


(12)

xi

BAB III KONSEP NATION-STATE (NEGARA-BANGSA) ... 24

A. Pengertian ... 25

B. Sejarah Munculnya Nation-state (negara-bangsa) ... 30

C. Negara yang Menganut Ideologi Nasionalisme Secara Umum ... 34

D. Faktor-faktorTerbangunnya Nasionalisme…….………..43

BAB IV PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALIM SIDDIQUI ... 50

A. Corak Pemikiran Politik ... 52

B. Pandangan Kalim al-Siddiqui Tentang Nation-state (negara-bangsa) ... 55

C. Implementasi Hubungan Nasionalisme dalam Nation-state (negara-bangsa) ... 61

BAB V PENUTUP ... 72

A.Kesimpulan ... 72

B.Saran-saran ... 73


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.1 Kontraktual muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar nation-state (negara-bangsa) dengan warganya.2

Telah terjadi perdebatan hebat di kalangan pemikir dan penguasa Muslim tentang konsep-konsep Barat semacam nation-state (negara-bangsa), nasionalisme, sovereignity (kedaulatan). Konsep nation-state (negara-bangsa) dengan demikian, yang menciptakan ketegangan historis dan konseptual.3 Ide negara yang berbasis nasionalisme sangat asing bagi orang Islam hinggakan setiap negara nasional ummah adalah tidak stabil dan lemah.4

1

Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. Ke-3, h. 42-43. 2

Guibernau, M., Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,

(Polity Press: London, 2005), h. 47. 3

Azra Azyumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta Selatan:Paramadina), Cet. Ke-1, h.10.

4

Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang PembentukanUmmah, (Pustaka Al-Alami, 1985), Cet. Ke-1, h.5.


(14)

Negara-negara bangsa dunia Islam, khususnya negara-negara yang berada di Timur Tengah, tidak berkembang dari proses politik mobilisasi dan integrasi, maupun proses ekonomi pertumbuhan. Superstruktur-superstruktur yang terbentuk baru-baru ini lebih merupakan sebuah imposisi yang terletak setelah di sosolusi Barat terhadap tatanan Islam.5 Telah berlaku peristiwa revolusi, kericuhan dan pemberontakan telah menggungcangkan masyarakat Muslim. Semua itu bertentangan dengan konsep persaudaraan sesama Muslim. Terlebih lagi, kebanyakan negara Muslim dipimpin oleh para pemimpin sipil atau militer yang otoriter dan seringkali menggunakan ungkapan Islam untuk menunjang pemerintahan mereka. Etnisitas dan nasionalisme justru menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Semua itu tentu saja merusak nilai persaudaraan sesama Muslim.6

Nasionalisme yang menjadi ruh dari nation-state (negara-bangsa) bukanlah

merupakan gagasan yang datang “bertamu” secara ilmiah dan terhormat, tetapi

melalui penanaman nilai dan gagasan dalam proses kolonialisasi yang buas yang menjadi ide asing. Berikut petikan yang menggambarkan nasionalisme dalam pikiran

Islamist”;

Tidak muncul di dunia Islam secara ilmiah, juga tidak muncul karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi rakyat, juga bukan karena perasaan prustasi kaum Muslimin ketika orang Eropa mulai mendominasi dunia setelah terjadinya

5

Tibi Bassam, Ancaman furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan Kekacauan Dunia Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. Ke-1, h. 12.

6

Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1990), Cet. Ke-1, h. 14.


(15)

revolusi industri.Akan tetapi karena nasionalisme dihujankan ke dalam benak kaum Muslimin melalui rekayasa yang tersusun rapi dan dilakukan dengan hati-hati oleh kekuatan fisik (perang salib)”.7

Sehingga, nasionalisme merupakan sesuatu yang menonjol selama berlangsungnya perjuangan untuk meraih kemerdekaan khususnya dikalangan golongan-golongan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi di Eropa. Contoh yang paling sederhana, seperti yang dialami oleh Iran atau Persia, di mana dasar nasionalisme terbentuk oleh pengambilan Syi‟ah Imamiyah sebagai agama kantor yang dipermulaan pada abad keenam-belas.

Telah terjadi konvergensi dari bagian-bagian yang terpisah tersebut menuju terbentuknya negara Islam yang dalam ketentuan yuridis tersebut menuju terbentuknya negara Islam yang dalam istilah yuridis teologis Islam dikenal dengan istilah khalifah atau imamah.8 Sejumlah partai politik movement (gerakan) dan kelompok-kelompok gerilyawan Islam telah menyatakan diri untuk merestorasi kekhalifahan dengan menyatukan bangsa-bangsa Muslim baik melalui aksi-aksi politik damai seperti Hizbut ut-Tahrir atau melalui kekuatan fisik seperti al-Qaeda.Islamist movement telah mengambil tujuan akhir yaitu pendirian Kekhalifahan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi bersamaan mereka mengkritik gagasan nation-state (negara-bangsa) Muslim sebagai penghalang penyatuan

7

Shabir Ahmed dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Penerjemah: Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, (Bangil, al-Izzah, 1997), h. 3.

8

The Institute of Contemporaray Islamic Thought (ICIT), Obituary. Dr. Kalim Siddiqui, 1931-1996, Artikek diakses pada16 Maret 2013 dari hht:www islamicthought.org/ks.htm.


(16)

Ummah.9 Misalnya, pembentukan Pakistan tidak mengarah pada penderian negara Islam. Sebaliknya yang menjadi justru membangun nation-state (negara-bangsa) sekuler yang sebagian besar pemimpinnya korup dan secara politis tunduk terhadap Barat.Para pemimpin pada awal, sebagaimana pemimpin di nation-state (negara-bangsa) Muslim lainnya dengan segera belajar menggunakan yang Kalim al-Siddiqui

sebut sebagai “Islam Amerika”.10

Melalui cara pandang tersebut para resim penguasa negeri-negeri Muslim membungkus keterasingan mereka dari Islam dalam mengokohkan paham nation-state (negara- bangsa).11

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa lebih mendalam pemikiran Kalim al-Siddiqui tentang nation-state (negara-bangsa).

Oleh karena itu, penulis mengangkat penelitian ini dengan judul: “PEMIKIRAN

POLITIK KALIM AL-SIDDIQUI TENTANG NATION-STATE

(NEGARA-BANGSA)”.

9

Lingkar Studi Islam Kebudyaan, Studi: Kritik Atas Negara Bangsa, Artikel diakses pada 20 Augustus dari http://lingkarstudiislamdankebudayaan.blogspot.com.html.

10“Islam Amerika” merupakan

istilah yang digunakan oleh Syyid Qutb untuk

menggambarkan model keislaman Muslim didikan Barat yang melakukan distori atau penyimpangan dari jalan Islam. Istilah ini dilontarkan Sayid Qutb dalam tulisannya pada Juni 1952. Kalim mengutip pernyertaan Sayyid Qutb di dalam Dirasat Islamiyyah: The Islam that the Americans and their aliens in the Middles East, want is not the Islam resists communism. They do not want for Islam to rule: the cannot bear in to rule, because it will give a new life the people when is rules…the American and their

aliens want for the Middle East an American Islam.” Lihat: Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam, h. 219.

11

Kalim Siddique, Issue in the Islamic Movement 1980-1981(1400-1401), (London:Toronto-Pretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 4.


(17)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka penulis membatasi permasalahan menjadi lebih praktis dan terfokus sehingga para pembaca mendapat manfaat mengenai seseorang tokoh politik Islam Kalim al-Siddiqui yang juga bertumpu pada pemikiran-pemikiran tentang nation-state (negara-bangsa) dan juga dikenali sebagai nasionalisme.

2. Perumusan Masalah

Supaya tidak menjadi pembahasan yang panjang penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah corak pemikiran politik Kalim al-Siddiqui?

2. Apakah pandangan dan argumentasi Kalim al-Siddiqui tentang nation-state (negara-bangsa)?

3. Bagaimana implementasi dan praktek pandangan Kalim al-Siddiqui dalam konteks Negara India?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan di atas penelitian ini, penulis memiliki beberapa tujuan, antaranya:


(18)

2. Untuk menjelaskan pandangan Kalim al-Siddiqui tentang nasionalisme dalam hubungan nasion-state (negara-bangsa).

3. Untuk menjelaskan implementasi pandangan Kalim al-Siddiqui negara India.

Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan terkait dengan nation-state (negara-bangsa) pada pemikiran Kalim al-Siddiqui. 2. Memberi pengetahuan dan informasi tentang nasionalisme dalam hubungan

nation-state (negara-bangsa).

3. Membuka tabir perseteruan antara gerakan Islam dan nasionalisme dalam pembentukan ideologi negara.

4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran di ketatanegaraan Islam dan sekaligus pengembangan khazanah keilmuan di dunia ini.

4. Tinjauan Pustaka

Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang pemikiran politik telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik maupun mengkaji secara umum yang sejalan dengan pembahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum


(19)

atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya:

Skripsi yang ditulis oleh Iwan Marwan yang berjudul “Nasionalisme Ahmad

Hassan, Studi Pemikiran Ahmad Hassan Tentang Paham Kebangsaan” tahun 2007. Skripsi ini di antaranya membahaskan tentang pemikiran Ahmad Hasan tentang nasionalisme di Indonesia.

Sedangkan dalam bentuk tesis ada yang penulis temukan, diantarannya: Tesis Moh. Asror Yusuf, “Antara Islam dan Barat, Studi Respon Badiuzzam Said Nursi”, 2001 intinya tesis ini tentang anutan kefahaman yang di pakai Nasionalisme ( nation-state) supaya penulis lebih memahami lagi.

Di samping itu terdapat beberapa sumber-sumber yang penulis rasakan relevan untuk dijadikan rujukan penulis, di antaranya adalah:

Buku pertama, “50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia”. Buku ini adalah hasil karya Zainal Adnan, Ahmad Amri dan Nurasyikin Ahmad. Di dalam buku ini menyingkapi secara umum tentang Kalim al-Siddiqui, dimulai sejarah kehidupan beliau, karir beliau, keterlibatan beliau dalam bidang politik dan menyatakan pemikirannya mengenai neo-kolonialisme.

Buku kedua, “Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban

Menegakkan Syariat”. Buku ini adalah hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini banyak membicarakan tentang pandangan-pandangan Kalim Siddiqui tentang nasion-state


(20)

(negara-bangsa) di negara Muslim serta mengkritik ideologi nasionalisme sekuler yang tersebar di Pakistan.

Buku ketiga, “Issue in the Islamic Movement 1980-1981”. Buku ini adalah

hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini salah satu sub babnya menguraikan tentang isu-isu dan gerakan-gerakan yang terjadi di dalam negara Islam.

Buku keempat, Shabir Ahmed dan Abid Karim, “Akar Nasionalisme di Dunia

Islam”, asal judulnya adalah “The Roots of Nationalism in the Muslim World”. Di dalam buku ini menyajikan putusan Islam tentang nasionalisme dan langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk memberantas penyakit nasionalisme yang berlaku di dalam dunia Islam.

Buku kelima, “Pergolakan Pemikiran Politik Islam”. Buku ini adalah hasil karya W.Montgomery Wat. Di dalam karya ini adalah sebuah studi sejarah tentang kehidupan dan situasi negara-negara Islam masa pasca Barat yang ikut berpartisipasi dalam urusan pemerintahan.

Buku keenam, “Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah”. Buku ini adalah hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini membahaskan tentang gerakan-gerakan Islam dan pefahaman nasional (nasionalisme) modern yang berusaha membentuk sebuah negara menyebabkan keterpecah-belah di negara-negara Islam.


(21)

5. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian normative dan kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematik dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.

2. Obyek Penelitian

Yang menjadi obyek dalam penelitian penulisan skripsi ini adalah pemikiran politik Kalim al-Siddiqui, khususnya pandangan-pandangannya tentang nation-state (negara-bangsa) di negara Muslim akan tetapi fokus utama apa yang berlaku di Negara India.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis, adalah melalui studi dokumentasi dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta memiliki relevansi dengan obyek penelitian.


(22)

4. Jenis Data

Karena penelitian ini studi pustaka, maka sumber yang diambil pun sepenuhnya adalah data-data kepustakaan yang dipandang mewakili (representative) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian yaitu yang terbagi ke dalam data primer, data sekunder dan data tertier. Adapun rincian masing-masing sumber adalah: a) Data Primer adalah disandarkan secara lansung yang diperolehi dari sumber asli dari obyek penelitian, yaitu dari buku-buku yang ditulis sendiri oleh Kalim al-Siddiqui, “Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah

diterjemah dari “Nation-States as Obstacles in the Total Transformation of the

Ummah”.

b) Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada relevansinya dengan judul penulisan ini.

c) Data tertier adalah merupakan data pelengkap yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia, ensiklopedi, artikel dari halaman web dan lain-lain.

5. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif dan analisis, yaitu data-data yang (primer dan sekunder), kemudian menganalisanya secara komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan nation-state (negara-bangsa).


(23)

Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012, buku ini diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Sistematika Pembahasan

Materi laporan penelitian ini dibagi menjadi 6 (enam) bab. Bab Pertama

bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang

melatarbelakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) penelitian terdahulu yang relevan, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika pembahasan.

Bab Kedua berjudul, akan membahaskan tentang “Biografi (riwayat hidup)

Kalim al-Siddiqui” adalah pendidikan dan perjalanan intelektualnya, karir di dalam politik serta karya-karya yang telah dibukukan. Bertujuan untuk memberikan gambaran secara ringkas tentang karya-karya.

Bab Ketiga berjudul “Konsep nation-state (negara-bangsa)” akan

membahaskan tentang pengertian dan definisi nation-state (negara-bangsa), sejarah kemunculannya, negara yang menganut ideologi nasionalisme dan faktor-faktor terbangunnya nasionalisme. Bab ini bertujuan untuk memberikan pengenalan lebih mendalam tentang nasion-state (negara-bangsa) dan memahami tentang ideologi nasionalisme.


(24)

Bab Keempat akan menguraikan tentang inti penelitian, yaitu dengan mengemukakan pemikiran politik seterusnya pandangan-pandangan Kalim al-Siddiqui menurutnya, corak pemikiran poltik tokoh dan implementasi hubungan nasionalisme dalam nation-state. Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pemikiran politik Kalim al-Siddiqui.

Bab Kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari apa yang menjadi persoalan dalam pembatasan masalah, perumusan masalah dan juga rekomendasi. Di samping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.


(25)

BAB II

BIOGRAFI KALIM AL-SIDDIQUI

Kalim al-Siddiqui adalah salah satu intelektual terkemuka dan aktivis gerakan Islam di era modern. Sebagai Pendiri dan Direktur Muslim Institute, London, ia memainkan peran utama dalam mengembangkan pemahaman politik dan pemikiran Islam kontemporer gerakan, dan dalam globalisasi gerakan setelah Revolusi Islam di Iran. Dia juga berjasa dalam menjembatani kesenjangan perbedaan pemikiran Muslim Sunni dan Syiah. Buku terakhirnya yang terkenal dan yang terakhir adalah Stages of Islamic Revolution. Ini diluncurkan di konferensi internasional yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin Muslim di seluruh dunia.12

Kalim al-Siddiqui juga dikombinasikan dengan wawasan intelektual dan pemahaman dengan gerakan aktivisme dan kepemimpinan politik. Intelektual, kontribusi besar adalah pemikiran politik gerakan Islam, dalam serangkaian makalah yang diterbitkan pada 1970-an dan 1980-an, yang disajikan ide-ide radikal dan revolusioner dengan cara yang Muslim biasa ditemukan diakses dan mudah dimengerti.13 Ide-idenya yang dihormati dikalangan aktivis Islam di seluruh pelosok dunia termasuk juga Afrika Selatan, Sudan dan Malaysia di mana dia terakhir kali mengunjungi pada bulan April 1994.

12

Zainal Adnan, dkk,50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, (Malaysia: PTS Millennia SDN.BHD, 2011), Cet. Ke-IV, h. 37.

13

Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/.


(26)

Kalim al-Siddiqui adalah seorang tokoh senior dan dihormati dalam gerakan Islam global. Namun, di Inggris ia tetap relatif sedikit dikenal di luar kalangan aktivis Islam14 dan merupakan salah seorang pemikir Islam yang terkemuka di akhir abad ke-20.15

A.Riwayat Hidup Kalim al-Siddiqui

Kalim al-Siddiqui dilahirkan di desa Dondi Lohara, Sultanpur India pada tanggal 15 September 1931.16 Referensi lain menyebutkan ia lahir pada 2 Juli 1933. Tanggal ini merupakan tanggal yang tercatat ketika dia mulai sekolah dan juga terdapat dalam paspor dan dokumen resmi lainnya.17 Keluarganya yang kecil memiliki lahan Provinsi Serikat (sekarang Uttar Pradesh), tapi18 ayahnya bekerja sebagai inspektur sub-polisi. Kalim al-Siddiqui mengalami berbagai pengalaman buruk semasa berada di bawah pemerintahan Inggris-India. Malah, dia pernah ditembak oleh seorang tentera Inggris ketika berusia 11 tahun selama nasionalis di Azamgarh di utara timur India. Sebagian besar remaja dihabiskan dalam suasana yang sangat tidak menyenangkan dari tahun-tahun menjelang partisi, dan melarikan diri ke Pakistan pada berusia 17 tahun. Kalim menghabiskan waktu enam tahun di Pakistan

14

Kalim Siddiqui, In Pursuit of the power of Islam, (1996), Diedit oleh Zafar Bangash.Edisi ke-2 buku ini diterbitkan oleh Institute for Contemporary Islamic Thought, London.

15

Jalaluddin Rakhmat, Minda Rakyat, Artikel diakses pada 13 April 2013 darihttp://mindarakyat0.tripod.com.htm .

16

Kalim Siddiqui, Functions of International Conflict - A Socio-economic Study of Pakistan, (Karachi: The RoyalBook Company, 1975), h. 2.

17

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 175.

18

Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic.


(27)

karena rasa tidak puas sebelum tiba di Inggris pada tahun 1954 dengan berencana menjadi seorang jurnalis.

Setelah beranjak dewasa, yaitu pada tahun 1960 Kalim al-Siddiqui menikah dan pada saat yang sama, dia mulai merintis pendidikannya. Hasil pernikahan Kalim al-Siddiqui dengan istri, mereka telah dikarunia dengan tiga orang anak, salah satu putranya bernama Iqbal Siddiqui.19

Namun demikian, Kalim al-Siddiqui adalah seorang yang sangat percaya diri dan kreatif. Alih-alih berkompromi dengan prinsip-prinsip fundamental. Dia segera terjun untuk mengorganisir Seminar Internasional di London di mana para sarjana Muslim, ulama dari semua mazhad, akademis, mahasiswa, aktivis dan lain-lainnya diundang mengikuti anjuran seminarnya. Dari tahun 1982 hingga 1988, Muslim Institute mengorganisir sejumlah seminar.20

Kalim meninggal dunia pada 18 April 1996 di Pretoria, Afrika Selatan setelah menghadiri satu konferensi tiga hari yang berkaitan tentang peradaban baru Islam, beliau mengalami serangan jantung, setelah tiga kali mengalami penyakit yang sama.21 Kalim al- Siddiqui pernah menderita serangan jantung pertama pada waktu itu sudah mengalami sakit parah selama berbulan-bulan bahkan pada tahun 1974,

19

Jorgen S. Nielsen, News People Obituary Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 25 December 2013 dari http://www.independent.co.uk/-1305799.html.

20

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 18-19.

21


(28)

dokter menyarankan dia untuk pensiun dari pekerjaannya hingga ia disuruh berhenti bekerja. Dua serangan jantung berikutnya dia dioperasi pada tahun 1981 dan 1995.22 B.Latar Belakang Pendidikan.

Kalim al-Siddiqui mendapat pendidikan awal di sekolah asrama di Faizabad pada tahun 1944 sampai 1945. Ketika masih kecil, dia sudah sadar tentang politik dan mengikut aktif bersama Liga Muslim, yaitu sebuah organisasi yang menggerakan masyarakat Muslim di India. Pada usia 17 tahun, beliau berpindah ke Kerachi, India pada tahun 1948, beberapa bulan setelah partisi dari Inggris-India dan pembentukan Pakistan. Di sekolah, dia menjadi seorang pemimpin pelajar dan menunjukkan bakat yang dimilikinya dalam bidang penulisan bahkan telah mendapat kepercayaan penuh dan di lantik sebagai editor surat kabar masyarakat setempat, yang di beri nama The Leader.23

Sambil bekerja, Kalim melanjut pengajian ke tingkat sarjana di College Universitas, London dalam jurusan Hubungan Antarabangsa. Pada pertengahan 1960-an ia menempatk1960-an dirinya melalui perguru1960-an tinggi d1960-an universitas, mengambil gelar di bidang Ekonomi dan kemudian, pada tahun 1972, meraihkan gelar Phd dalam Hubungan Internasional dari Universitas College, London24 dan juga mengajar paruh waktu di kampus sebuah Universitas Southern California, Amerika di dekat

22

Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic.

23

Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 34.

24

Wikipedia, Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.


(29)

rumahnya di Slough.25 Pada masa itu, dia sudah menganggotai Gerakan Khilafat yang berbasis di London.Kalim juga sering bolak-balik ke Paris untuk memprotes kebijakan Perancis di Aljazair.26 Sepanjang periode ini, bagaimanapun, ia juga tetap terlibat dalam kedua urusan Islam pada umumnya dan urusan Pakistan pada khususnya, dan pemikiran yang membentuk dasar dari pekerjaan masa depannya dikembangkan. Dan dia menjadi menonjol di antara para aktivis Islam yang paling awal di Inggris. Suez melihatnya berdemonstrasi di Hyde Park, perang Aljazair melihatnya mengemudi teman-teman ke Paris untuk menunjukkan di Champs-Elysees.

C.Perjalanan Karir dan Karya-Karya Yang Telah Di Bukukan

Kalim al- Siddiqui mengambil keputusan untuk berhijrah ke Inggris pada tahun 1954 untuk merambah jurnalisme. Selama 10 tahun, dia bekerja sebagai reporter bagi beberapa surat kabar lokal. Pada tahun 1964, tak lama kemudian pindah ke Slough, dia mula bekerja dengan majalah The Guardian, London. Kalim mula mencipta nama sebagai reporter ketika menjawab jawatan sub-editor dengan majalah The Guardian.27

Pada tahun 1973, Kalim mendirikan Muslim Institute forResearch and Planningberbasis di London, yaitu sebuah gerakan Muslim antarabangsa yang

25

Kalim Siddiqui, Beyond the Muslim Nation-State, (London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977).

26

Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia,h. 35. 27

Wikipedia,Kalim Siddiqui, Artikel diiakses pada 24 April 2013 dari, http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.


(30)

terkenal dengan penyelenggaraan seminar28dan selama beberapa tahun pertemuan mingguan di Endsleigh Street dekat Euston menjadi titik fokus untuk diskusi dan perdebatan tentang isu-isu epistemologis dan konseptual dalam berbagai mata pelajaran yang luar biasa. Institute ini juga meluncurkan bahasa Arab sekolah musim panas tahunan di Universitas City, London, selama pertengahan 1970-an bekerja sama dengan University of Riyadh. Kolaborator awal di Institute termasuk Dr. Ghias Siddiqui, Sarwar Rija, Iqbal Asaria, Ziauddin Sardar, Ajmal Ahmed, Dawud Rosser-Owen, Mufti Barkatulla, Dr. Maqsood Siddiqui, Dr. Zafar Bangash, Dr. Zaki Badawi dan Dr. Yaqub Zaki. Selama periode ini Kalim al-Siddiqui bahkan mengembangkan hubungan dengan Shaikh Jamjoum Arab Saudi dan berpartisipasi dalam pertemuan Liga Anti-Komunis Dunia atas suruhannya. Koneksi ini memungkinkan Kalim untuk mencapai kemandirian finansial untuk Institute.29

Sebagai pendiri dan Direktur Institute Muslim, di Bloomsbury, London, ia memainkan peran utama dalam mengembangkan pemahaman politik dan memikirkan gerakan Islam kontemporer, dan dalam globalisasi gerakan setelah Revolusi Islam di Iran. Melalui institute ini, Kalim dan rakan-rakan berusaha membebaskan masyarakat Muslim daripada kerangka sistem pemikiran Barat, terutamanya daripada segi politik. Kalim serta bersama teman-teman yaitu Ismail Kalla dan Dr. Muhammmad Ghayasuddin mempromosi visi institute ini ke serata dunia.30 Di bawah kepimpinan

28

Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h.35. 29

Kalim Siddiqui, Beyond the Muslim Nation-State, (London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977)

30


(31)

Kalim al-Siddiqui Institute Muslim menjadi pusat jaringan global dan referensi serta menyebarkan segala maklumat mengenai perkembangan dunia Islam kini dengan berbagai cara. Di antaranya melalui media massa, internet, penerbitan buku dan majalah, penyelenggaraan konferensi dan seminar, pendidikan dan syarahan serta penyelidikan. Institute didanai oleh ahli anggota dan sumbangan dari Umat Islam di seluruh dunia.31

Kalim al-Siddiqui juga salah seorang editor surat kabar Crecent Internasional yang terbit di Toronto, Kanada. Dia juga menulis berbagai buku, terutama yang berhubungan dengan gerakan revolusioner. Diantara bukunya yang banyak mendapat perhatian dunia pergerakan adalah Issues on Islamic Movements yang berisikan suntingan terhadap makalah-makalah tokoh pergerakan revolusioner dari berbagai penjuri Dunia Islam.32 Kontribusi yang terbesar disignifikan dengan aktivitas bersama masyarakat Muslim di Inggris. Kalim juga bertanggung jawab mendirikan Parlemen Muslim Inggris yang diresmikan pada tanggal 4 Januari1992, ia merupakan simbol pada solidaritas umat Islam.33 Seiring dengan Institute Muslim, Parlemen Muslim adalah salah satu dari dua lembaga utama yang didirikan oleh Kalim al-Siddiqui untuk mengejar visi dan dia juga telah meninggalkan ia sebagai warisan untuk umat Islam.

31

Mohd Saiful Mohd Sahak, Bicara Agama: ICIT Kumpul Intelek Islam Global, Artikel diakses pada 25 September 2013 dari, www.utusan.com.my/utusan/info.asp?2006=Utusan-Malaysia,.01.htm.

32

Kalim Siddiqui, Pergerakan Islam: Sebuah Analisa Pendahuluan, (Jakarta: Minaret, 1988), Cet. Ke-III, h. 16.

33


(32)

Pada tahun 1993, Parlemen Muslim mendirikan sebuah badan amal berdaftar, Bait al-Mal al-Islami, untuk membiayai mereka yang menderita kesulitan, skema bantuan bagi siswa yang memiliki latar belakang miskin dan mengelola bagian-bagian dari pekerjaannya yang amal di bawah hukum Inggris. Lembaga ketiga dari jaringan Parlemen Muslim yaitu Otaritas Makanan Halal yang didirikan pada tahun 1994 untuk memantau dan mengatur perdagangan daging halal di Inggris, yang sebelum itu terjadi penipuan. Pada saat yang sama, Parlemen Muslim bekerja untuk membantu umat Islam dan gerakan Islam global di luar negeri dalam perjuangan mereka.34

Kalim al-Siddiqui menulis beberapa buah karya dan artikel sepanjang hidupnya. Buku pertama yaitu, Conflict, Crisis and War in Pakistan, yang diterbitkan pada tahun 1972. Ia adalah hasil permerhatian Kalim semasa Pakistan Timur berpecah menjadi Bangladesh akibat perang saudara35 dan di dalamnya berisi kutukan yang sangat hebat terhadap elit pemimpin Pakistan dan ketundakan total terhadap Barat.36 Kalim al-Siddiqui dalam tulisan-tulisannya selama tahun 1970-an sebagian besar tulisan awalnya bersifat intelektual. Tulisan-tulisan tersebut sering dipresentasikan dalam jargon ilmu politik pada waktu itu, karena tulisan-tulisan itu lebih ditujukan kepada para intelektual Muslim ketimbang masyarakat Muslim biasa.

34

Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/.

35

Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 36. 36

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 4.


(33)

Selama awal pertengahan 80-an beralih arah yang lebih banyak ditujukan kepada masyarakat Muslim. Akan tetapi pada saat kesamaan, dia sedang merefleksikan peristiwa-peristiwa periode itu dan memahami signifikansi historisnya khusus dalam paper finalnya, Proceses of error, deviation, correction and convergence in Muslim political thought (Proses kesalahan, deviasi, koreksi dan konvergensi dalam pemikiran politik Muslim). Ini seluruhnya merupakan potongan intelektual yang menganalisis perkembangan pemikiran politik Muslim dari masa awal Islam dan menjelaskan situasi kontemporer dalam kacamata ini.37

Bukunya yang kedua, Towards a New Destiny (Menuju Nasib Baru) yang diterbit pada tahun 1973. Buku ini mencakup penolakannya terhadap semua bentuk pengetahuan dan gagasan politik Barat karena beliau berpendapat tidak sesuai dengan umat Islam; penolakannya terhadap nasionalisme; hujatannya terhadap negara-bangsa dan pemerintahan Muslim pasca-kolonial; pemahamannya akan situasi, peran dan masalah-masalah sarjana Muslim yang mendapat didikan Barat dan tradisional; dan perhatiannya akan minoritas Muslim di negara-negara Barat. Kalim al-Siddiqui memanfaatkan konteks konferensi tersebut dengan mengkritik sebagian besar pemikiran politik Muslim kontemporer dan menjelaskan situasi kontemporer yang telah dia kembangkan selama masa kontemplasi dan studi yang telah dilakukan sebelumnya.38

37

Kalim Siddiqui, Proses Kesalahan, Deviasi, Koreksi dan Konvergensi Dalam Pemikiran Plitik Muslim, (London: The Muslim Institute, 1989), h. 347.

38

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 9.


(34)

Tahun berikutnya, dia menulis tentang Beyond the Muslim Nation-State (Melampaui Negara-bangsa Muslim), di dalamnya mengkritik pendekatan modernis Muslim terhadap pemikiran politik, menolak struktur negara-bangsa karena asing bagi etos Islam dan konsep penyatuan ummah, dan menyeru kepada ilmuan sosial Muslim untuk menciptakan teori politik baru yang lebih berakar kepada tradisi Islam ketimbang Barat.39 Dalam masa bersamaan dia mempresentasikan pemahaman tentang situasi sejarah Islam yang ia meluncurkan karya yang berjudul Prospektus Draft dari Institute Muslim pada tahun 1974.

Semenjak tahun 1978, Kalim al-Siddiqui telah mengamati dan meneliti Revolusi Islam di Iran. Beliau juga banyak menulis dan bercakap tentangnya. Buku ini mengungkapi tentang Revolusi Islam di Iran. Dalam buku Ke Arah Revolusi Islam ini menimbulkan fakta Revolusi Islam di luar apa yang berlaku di Iran. Revolusi Islam adalah fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari proses evolusi masyarakat Islam. Kalim al-Siddiqui menyifatkan Revolusi Islam sebagai sebuah proses ilmiah yang bisa berulang. Dia percaya bahawa banyak Revolusi Islam baru sedang berjalan. Kesemua ini adalah bagian dari regenerasi kekuatan Islam.40 Kertas kerja beliau yang bertajuk Proceses of Error, Deviation, Correction and Convergence in Muslim Political Thought pada tahun 1989 dipindah bahasa dan menjadi referensi gerakan

39

Ibid, h. 13. 40

The Reading Group Malaysia, Ke Arah Revolusi Islam, Artikel diakses pada 25 Augustus 2013 dari http://.blogspot.com/2010/09/.html.


(35)

Islam sedunia. Media Inggris menggelar ia sebagai “Ayatollah Inggris‟ karena mati-matian mempertahankan Revolusi Iran.41

41


(36)

BAB III

KONSEP NATION-STATE (NEGARA-BANGSA)

Nation-State (negara-bangsa) ialah negara yang didirikan pada kebangkitan semangat kebangsaan untuk membangun sebuah negara yang berdaulat dan bebas dari ancaman pengaruh yang dapat menggugat dan menghancurkan gagasan serta wawasan negara-bangsa.42 Gabungan semangat kebangsaan (nation hood) dan gagasan negara (state) inilah yang kemudian dikenal dengan negara-bangsa.43 Kebanyakan negara-bangsa yang terbentuk setelah merdeka terkena berbagai bentuk Ekstremisme yang menggugat keamanan negara, ketertiban awan dan stabilitas politik. Negara-bangsa adalah laksana batu pejal yang besar yang merintangi jalan kita akibat kejahatan sejarah berlaku pada masa lampau.44

Satu tantangan yang menjadi utama nation-state (negara-bangsa) adalah mempertahankan keamanan dan membendung berbagai anasir serta pengaruh ekstremis yang menyebabkan ancaman dan menimbulkan banyak masalah kepada “survivalnation-state (negara-bangsa). Ektremisme bermaksud pelampau atau

42

Abd.Rahim Abd.Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, (Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004), Cet. Ke-1, h. 19.

43

Syamsir Salam, Jaenal Aripin, dkk, Menuju Islam Berkadaban. (Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press, 2007), Cet. Ke-1, h. 124.

44

Kalim Siddiqui, Negara Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Alami, 1985), Cet. Ke-1, h. 5.


(37)

golongan radikal yang menakutkan, mengkhawatirkan dan dapat mendatangkan dampak buruk kepada orang lain, masyarakat dan negara.45

A.Pengertian Nation-State (Negara-Bangsa)

Secara etimologis, “negara” berasal dari bahasa asing “Staat” )Belanda, Jerman), atau “State” )Inggris) dan “Etat” )Perancis). Kata “Staat” atau “State” pun berasal dari bahasa Latin, yaitu status atau statum yang berarti “menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan menempatkan”. Kata status itu dalam bahasa Latin klasik sesuatu yang memiliki sifat-sifat tegak dan tetap.46

Beberapa pengertian negara menurut pakar kenegaraan yaitu:

1. George Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu.47

2. Kranenburg: Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.48

3. Max Weber: Negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.49

45

Abd.Rahim Abd.Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, (Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004), Cet.Ke-1, h.19.

46

F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1980), Cet. Ke-7, h. 92. 47

Moh.Kusnardi dan Bintan D.Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), Cet. Ke-4, h. 38.

48

Dr. Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet. Ke-1, h. 13. 49


(38)

4. Logeman: Negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa.50

Dalam kajian Islam, istilah negara bisa bermakna daulah, khilafah, hukumah, imamah, dan kesultanan.

1. Daulah dapat diartikan sebagai kelompak sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisasi oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan.

2. Khilafah mengandungi arti kepemimpinan umum bagi seluruh Muslimin di kehidupan dunia, untuk menegakkan hukum-hukum Islam, dan mengembangkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru alam.51

3. Hukumah bermakna pemerintah yang berhubungan dengan sistem pemerintahan ia digunakan untuk menunjukkan kepada jabatan.52

4. Imamah pada pendapat Sjadzali dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara.53

5. Kesultanan dapat diartikan wewenang yang lebih khusus kepada kekuasaan yang lebih efektif lagi.

50

Prof. H. Abu Daud Busroh, S.H, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), Cet. Ke-7, h. 24-25.

51

Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2003), Cet. Ke-1, h. 5.

52

Dr. Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, h. 13. 53

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press), h.63.


(39)

Dari uraian di atas, tampaknya bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beragam corak.Menurut sejarah hampir semua istilah tersebut pernah dipraktikan oleh umat Islam.54

Jadi dari pengertian diatas, negara adalah satu kesatuan organisasi yang didalamnya ada sekelompok manusia (rakyat), wilayah yang permanent (tetap) dan memiliki kekuasaan yang mana di atur oleh pemerintahan yang berdaulat serta memiliki ikatan kerja yang mempunyai tujuan untuk mengatur dan memelihara segala instrumen-instrumen yang ada di dalamnya dengan kekuasaan yang ada.55

Dari segi bahasa kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antrapologis serta sosiologis, dan dalam pengertian politis.56 Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang terdiri sendiri dan masing-masing merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.57 Bangsa secara eksklusif milik suatu masa tertentu yang secara historis masih baru. Bangsa hanya merupakan suatu kesatuan

54Dr. Ni‟matul Huda,

Ilmu Negara, h. 13. 55

Moh.Kusnardi dan Bintan D.Saragih, Ilmu Negara, h. 101. 56

Aminuddin Nur, Pengantar studi Sejarah Penggerakan Nasional, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), h.87.

57

Muhammad Ramadhan Subky Bin Abdullah, Kajian Terhadap Faham Nasionalisme Melayu Dalam Partai UMNO, (Jakarta: Skripsi S1Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 16.


(40)

sosial sejauh ini berkaitan dengan negara teritorial modern tertentu yang terkaitan dengan negara-bangsa.58

Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik” )political legitimacy). Para nasionalis, suatu bangsa tidak bisa melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu “bangsa” yang aktual atau “bangsa” yang potensial. Inilah definisi kerja yang didasarkan pada unsur umum dari ideal nasionalis yang mempunyai gayasendiri, sehingga berkarakter induktif.59 Sesungguhnya, setiap nation-state (negara-bangsa) mengejar sasaran identitas nasional ini dalam tingkatan yang berbeda-beda. Tetapi, selalu akan kembali kepada ideal bangsa itu sendiri. Suatu ideologi yang hanya memperjuangkan “bangsa” semata-mata, dan berupaya mempertinggi serajat dan keberadaan bangsa itu sebagai simbol perjuangan bangsa.60

Pengertian utama dari “bangsa”, dan yang paling sering dikemukakan dalam literature, adalah pengertian politis. Pengertian ini menyamakan “rakyat‟ dan negara menurut Revolusi Amerika dan Perancis, suatu penyamaan yang biasa dijumpai dalam ungkapan-ungkapan seperti “negara-bangsa‟ )nation-state), Perserikatan

58

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), Cet. Ke-1, h. 9.

59

Anthony D. Smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Erlangga, 2003), h.11. 60

Qamarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), Cet. Ke-1, h. 171.


(41)

Bangsa-bangsa (United Nations), atau retorika para Presiden akhir abad ke-20. Bangsa seperti yang digambarkan adalah kelompok para warganegara yang berdaulatan kolektifnya membentuk suatu negara yang merupakan ekspresi politik mereka.61

Sebuah nation-state (negara-bangsa) adalah satu konsep atau bentuk kenegaraan yang memperoleh pengesahan politiknya pengesahan dengan menjadi sebuah entitas berdaulat bagi suatu bangsa sebagai sebuah (unit) wilayah yang berdaulat, yang pada prinsipnya adalah tipe masyarakat yang sama, terorganisir oleh latar belakang suku atau budaya yang sama di suatu wilayah. Di sebuah nation-state (negara-bangsa), biasanya setiap orang akan berbicara dengan bahasa yang sama, menganut agama atau aliran agama yang sama, dan memiliki nilai budaya nasional. Contohnya adalah negara Jepang, karena nasionalisme dan bahasa yang seragam.62

Di dalam Islam “bangsa dan suku-suku” berfungsi sebagai pemberi identitas, dan dengan demikian meletakkan fondasi pluralitas dalam Islam.63 Di sini penulis mendatangkan satu firman Allah yang menjadikan manusia pelbagai bangsa;

61

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 21.

62

Gilang, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan, Artikel diakses pada 24 Oktober 2013 dari

http://381992.blogspot.com.html.

63

Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, (Jakarta: PT Serambi Imu Semesta Anggota IKPAI, 2005), Cet. Ke-, h. 133.


(42)



















Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa.Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti”. (QS al-Hujurat 49:13)

B. Sejarah Munculnya Nation-State (Negara-Bangsa)

Adapun nation-state (negara-bangsa) sendiri baru lahir pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Negara-bangsa adalah negara-negara yang lahir karena semangat nasionalisme untuk mendapatkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa adalah nasionalisme romantis (romantic nationalism) demi kehidupan tani yang murni, sederhana dan tidak korup yang kemudian dipercepat oleh munculnya Revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Beberapa gerakan nasionalisme pada waktu ini bersifat separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah kejatuhan Napoleon Bonaparte, Kongres Wina pada tahun 1814 memutuskan bahwa Belgia yang


(43)

sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik Belanda, dan lima belas tahun kemudian menjadi negara nasional yang merdeka.

Begitu pula revolusi Yunani tahun 1821-1829 dimana Yunani ingin melepaskan diri dari dibelenggu kekuasaan Kekaisaran Ottoman dari Turki. Sementara di belahan Eropa lain, nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya, Italia di bawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe Garibaldi, yang mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara-kebangsaan tahun 1848. Di Jerman sendiri, kelompok-kelompok negara kecil akhirnya membentuk sebuah negara kesatuan Jerman dengan nama Prusia pada tahun 1871 di bawah Otto von Bismarck. Banyak negara kecil di bawah kekuasaan kekaisaran Austria pun membentuk negara-bangsa sejak awal abad 19 sampai masa setelah Perang Dunia I. Sementara itu, Revolusi 1917 di Rusia juga telah melahirkan negara-bangsa Rusia.64

Kesadaran berbangsa dalam pengertian nation-state (negara-bangsa)dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman.65 Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas

64

Anita Shiva, Sejarah Nasionalisme dan Perkembangannya, Artikel diakses pada 25 Oktober 2013 dari http://blogdetik.com .my.

65

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 4.


(44)

penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johan Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan.66

Pada perang dunia II antara negara-negara Eropa yang melibatkan kesultanan Turki Utsmani di dalamnya, begitu besar dalam memengaruhi terjadi perubahan terutama bagi pembentukan berbagai nation-state (negara-bangsa) di dunia Islam.Benih-benih kesadaran seperti itu bagi umat Islam yang saat itu hampir majoritas sedang berada di bawah cengkeraman imperialis Barat. Justru itu, memberi kesempatan pada makna “nasionalisme” sebagai sebuah satu loncatan bukan hanya sekadar ideologi politik untuk menuju kemerdekaannya, tetapi lama-kelamaan dijadikan sebagai metode simbolisasi bagi upaya-upaya mengurusi rumah tangga kebangsaanya sendiri.67

Selain itu, populasi nation-state (negara-bangsa) teritorial besar hampir senantiasa terlalu heterogen untuk mengaku memiliki kesukaan etnik bahkan bila kita menyampingkan imigrasi medoren, dan bagaimanapun juga sejarah demografik dari

66

Badri Yatim, Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 63. 67

Ajib Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etro-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2009), Cet. Ke-1, h. 97.


(45)

negara-negara besar Eropa adalah kelompok-kelompok etnis, khususnya ketika daerahdikosongkan dan diisi lagi dari waktu ke waktu, seperti di daerah yang luas di Eropa tengah, timur dan tenggara, bahkan di bagian-bagian negara Perancis.68 Pada periode yang sama menjadi saksi klimaks nasionalisme Eropa, yang memuncak pada Nazisme dan pembunuhan missal yang terjadi dalam Perang Dunia Kedua, pada sisi lain disusul dengan nasionalisme di Asia dan Afrika yang mengambil bentuk gerakan kemerdekaan yang antikolonial.

Ketika itu, secara luas muncul anggapan bahwa kekuatannya telah habis, nasionalisme justru kembali bersemi dengan gerakan otonomi etnis di Barat pada tahun 1960-an dan 1970-an di Catalon dan Euzkadi, Corsica dan Brittany, Flanders, Skotlandia dan Wales, serta Quebec redup kembali pada tahun 1980-an, lalu bangkit ketika peresroika dan glasnost mendorong nasionalisme di negara-negara republik bagian Uni Soviet pada tahun 1988, yang kemudian berperan dalam merontokan Uni Soviet 1991. Dalam atmostir pengharapan yang besar ini, kita menyaksikan tragedi-tragedi nasionalisme etnis baru berlangsung pada dekade terakhir abad kedua puluh di anak benua India, Timur-Tengah dan Horn Afrika, di Rwanda, di Caucasus, lebih-lebih lagi dalam perang Yugoslavia beserta kelanjutan yang serba tidak menentu.69

Kesimpulan yang ada dalam sejarah ini, dapat dilihat bahwa munculnya latar belakang nation-state (negara-bangsa) ini adalah, pertama menuntut kemerdekaan

68

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 70.

69

Anthony D.smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), h.109.


(46)

kedua kolonial Barat, ketiga penyebaran pemikiran, dan keempat kepentingan dalam membentuk pemerintahan.

C. Negara Yang Menganut Ideologi Nasionalisme Secara Umum

Nasionalisme adalah salah satu dari kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern.Ia berasal dari Eropa Barat pada abad ke-18, selama abad ke-19 itu telah tersebar di seluruh Eropa dan dalam abad ke-20 itu telah menjadi suatu pergerakan sedunia dari tahun ke tahun artinya makin bertambah penting di Asia dan Afrika. Ini merupakan suatu peristiwa sejarah, jadi ditentukankan oleh ide-ide politik dan susunan masyarakat dari berbagai negara di mana ia berakar.70 Perkembangan nasionalisme di negara-negara yang telah mapan seperti Inggris dan Perancis, tidak terlalu intensif dipelajari. Eksistensi dari kesenjangan ini diilustrasikan di Inggris dengan penyia-nyiaan terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nasionalisme Inggris itu suatu istilah yang kedengarannya enak di telinga.71 Sesungguhnya ide nasionalisme sudah ada sejak dahulu lagi, semenjak adanya suatu masyarakat manusia. Namun waktu itu nasionalisme masih disebut fanatisme atau Ashabiah. Sebab Ashabiahlah yang berperan sebagai pemersatu anggota suatu suku yang menjadi cikal-bakal sebutan nasionalisme.72

70

Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Erlanga, 1984), Cet. Ke-4. h. 5. 71

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 11. 72

Fathi Yakan, Islam di Persimpangan Paham Modern, (Jakarta: Gma Insani Press, 1995), Cet. Ke-6, h.71.


(47)

Gerakan kesusteraan Arab-Nasrani dan program Turkinisasi dan gerakan Turkia Muda membangkitkan sentimen-sentimen nasionalis yang pertama dalam kekuasaan imperium Utsmaniah. Nasionalisme Arab dan Mesir di Timur Tengah, namun belum benar-benar berkembang sampai sesudah Perang Dunia Pertama (1914-1918) dan hal itu diakibatkan oleh tiga pengaruh terbesar: (1) keruntuhan imperium Utsmaniah sehabis Perang Dunia Pertama dan kemunculan negara-negara baru pada bekas wilayahnya yang tidak lagi sama menganut ideologi umum yang berakar pada agama Islam dan tidak lagi sama memperlakukan susunan sosio-politik yang berdasarkan hukum agama; dan (2) pengaruh ideologi Salafiyah dari murid Afghani, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridha; dan (3) perjuangan kemerdekaan yang sengit dari dominasi politik dan religius-kultural dari pihak imperialisme Eropa.73 Dengan demikian, nasionalisme tersebut berkembang di negara-negara Muslim setelah banyak negara-negara Muslim memperoleh kemerdekaannya dari kolonialisme. Negara-negara Muslim tumbuh sebagai negara-bangsa dengan corak budaya, bahasa dan ideologinya masing-masing, di mana satu dengan lainnya memiliki perbedaan.74

Sepanjang sejarah Islam seringkali Mesir beroleh kedudukan yang terpisah dari kekuasaan sentral dan beroleh identitas regional. Selain itu, Perasaan memiliki identitas terpisah yang kuat tercermin dalam perkembangan nasionalisme Mesir.

73

John L.Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-1, h.83. 74

John L Esposito, Islam and Politics, (Syracuse: Syracuse University, Press, 1985), Cet. Ke-1, h.83.


(48)

Sekalipun Mesir dianggap pemuka nasionalisme Arab, tapi perkembangan gerakan nasionalis di Mesir pada masa-masa permulaan dipusatkan pada patriotisme Mesir yang bersifat lokal teritorial, dipengaruhi oleh nasionalime Barat yang liberal dan sekuler, berakar pada perasaan sejarah dan identitas Mesir yang terpisah, tersebab itu merupakan suatu bangsa dengan kebangsaannya.75 Mesir telah menjadi negara penting di dunia Muslim pada ada tahun 1950, nasionalisme Mesir dipimpin oleh sekelompok elit perkotaan yang dipengaruhi oleh Barat, tetapi mereka harus mempertahankan Islam untuk mendapatkan dukungan dari massa Muslim. Selama dua dekade setelah kemerdekaan, radikal Arab rezim Mesir, Suriah, Irak dan Aljazair antara lain muncul di Timur Tengah. Dari jumlah tersebut baru, jadi disebut 'progresif' dan 'sosialis' rezim, Mesir di bawah Nasser menjadi paling menonjol.76

Wilayah Islam bersentuhan dengan ide nasionalisme Perancis, ketika Napoleon menduduki Mesir tahun 1789. Salah satu ide yang dibawa Napoleon adalah ide kebangsaan yang terkandung dalaminformasinyabahwa orang Prancis merupakan suatu bangsa (nation) dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukakus. Jadi sungguhnya Mamluk Islam, tetapi berkaitan bangsa dengan Mesir.77 Di negara Asia dan Afrika merasakan dampak dari nasionalisme di abad kesembilan belas.Adalah Ottoman Empire terganggu oleh serangan nasional sentimen

75

John L.Esposito, Islam dan Politik, h.91. 76

G W Choudhury, Islam and the Modern Muslim World, (England, London: Ltd, Victoria House, Buckhurst Hill, Essex, 1993), Cet. Ke-1, h. 109.

77Prof. Dr.Harun Nasation,

Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, h. 32.


(49)

dari semua negara kekaisaran sudah tercerai-berai dan menjadi negara merdeka, wilayah, dan sekuler.78 Kunci persoalan dalam perjuangan kemerdekaan di Afrika Utara, yang mengatasi persaingan tradisonal antara Barber dan Arab, adalah identitas dan otentitas. Warisan Islam dan masa lampau penduduk Afrika Utara memberikan titik-tolak yang wajar bagi penduduk di situ.Islam memberikan sejarah bersama, kelompok kepercayaan, lambang, dan bahasa yang oleh para pembaharuan Islam dan kaum nasionalis yang mula-mula digunakan membangkitkan identitas dan kebanggaan.79

Negara-negara Asia Tenggara, Cina, dan Jepang muncul sebagai negara nasional di abad ke-19. India juga di paruh kedua abad ke-19 menjadi sadar sentimen ini dan berjuang melawan pemerintah Inggris untuk menciptakan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya, dapat dikatakan bahwa nasionalisme pada abad ke-19 dan abad ke-20, telah menjadi salah satu ideologi politik yang paling eksplosif yang mendominasi seluruh dunia.80 Namun, apa pun hubungan nasionalisme terhadap negara-negara abad ke-19, negara menghadapi kekuatan nasionalisme sebagai suatu kekuatan politik yang terpisah dari negara, sangat jauh dari “patriotisme negara” yang ditoleransinya. Namun, nasionalisme dapat menjadi suatu asset pemerintah yang

78

Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994), Cet. Ke-I, h. 243.

79

John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 104. 80

Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, h. 243.


(50)

sangat besar jika dapat diintegrasikan ke dalam patriotisme negara dan menjadi komponen emosionalnya yang sentral.81

Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal yaitu, pertama; ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan hal kedua; pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya.82

Pada awal abad ke-20 kebanyakkan pengamat politik memandang Marokko itu di bawah kekuasaan asing adalah sebuah kerajaan yang lemah, lapisan elite keagamaan yang suka damai, dan pula keterbagian yang sudah berusia berabad-abad antara suku Arab dan Barber. Islam memainkan peranan penting dalam perkembangan partai politik terbesar di Morokko, yakni partai Istiqla (Merdeka), yang diorganisir tahun 1931 oleh pemuka Salafiyyah. Pada mulanya cuma merupakan kelompok angkatan muda terpelajar penduduk kota-kota yang bersemangat tapi keterbekangan partai Istiqla itu menerima dan menampung organisasi-organisasi Thariqat. John Waterbury mencatat pengaruh Islam dalam nasionalisme Marokko itu

81

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 103.

82


(51)

dengan kalimat: “Nasionalisme tidak membikin kemajuan yang nyata dan penting sampai gerakan itu mengambil bentuk ukhuwah keagamaan; berbentuk nasionalis zawiyah”.83 Dan akhirnya, sangat tidak jelas apakah identitas religius yang berbeda, bagaimanapun kuatnya, dengan sendirinya bisa dianggap sebagai nasionalisme.84

Nasionalisme Iran berkembang selama abad ke-19 sebagai jawaban bagi ancaman yang meningkat terhadap kemerdekaan Iran dan juga terhadap Islam dengan penerobosan kekuasaan-kekuasaan kolonial Barat beserta ikhtiar memperkenalkan batas-batas resmi sepanjang konstitusional terhadap pemerintahan Qajar yang otokratis dan despotis.85 Manakala, nasionalisme Tunisia menerima dorongan terbesar dari pembaharu Islam, Abdul Aziz Al Tsa‟alabi, tokoh nasionalis yang pertama megorganisir Destour Party (Partai Konstitusi) pada tahun 1920. Destour menegaskan identitas nasionalis berdasarkan warisan Islam dan Arab di Tunisia, bahasa Arab, dan nilai-nilai Islam. Tunisia bersikap modern tapi menolak penyerapan kultural kolonial perancis.86

Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme mulai dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai

83

John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 108. 84

E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 9. 85

Ibid, h. 114. 86


(52)

Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara.Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa”.87 Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa yang diadopsi dari Barat dan dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).88

Nasionalisme dan negara-bangsa yang terkonsolidasi Eropa, dan gagasan nasionalismenya telah mencapai wilayah Muslim Afrika Utara, Timur tengah dan Timur Dekat. Di wilayah ini, munculnya nasionalisme telah menimbulkan perpecahan dunia Islam ke dalam negara-negara bangsa. Merupakan fakta sejarah bahwa para pemula dan para pemimpin nasionalisme Arab awal adalah orang-orang Arab Kristen dan Yahudi yang tetap menginginkan agar dunia Islam tetap berpecah-belah dan berselisih satu sama lain. Fakta ini di dukung sejarah dunia Arab modern dan kontemporer. Nasionalisme Arab menyebabkan bangsa Arab tetap terasing dari

87

Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.186.

88


(53)

Islam dan nasionalisme parokial lain, seperti Pakistan, Iran, Afghanistan dan Indonesia, yang telah mengurung umat Islam keseluruhan agar tidak bersatu di atas dasar Islam.89

Nasionalisme Arab merupakan temuan Amerika dan Inggris. Mereka memperkenalkan nasionalisme ketika mereka berkehendak untuk memecah-belah Arab dan Turki.90 Gerakan pertama nasionalisme Arab yang modern mulai bergerak ketika Napoleon membawa pemikiran-pemikiran Revolusi Perancis di Mesir. Mesirlah yang pertama mengambil langkah-langkah permulaan ke arah modernisasi.91

Satu ide yang muncul dan diterima oleh negara-negara Islam secara meluas adalah nasionalisme. Paham ini secara khusus pernah dipakai di dalam perjuangan melawan kekuasaan kolonalisme dan imperalisme orang-orang Barat. Hak “menentukan nasib bagi suatu bangsa”, secara teoritis akan mempersulitkan para penguasa dalam mengarahkan sasaran kekuasaannya.92 Sehingga, nasionalisme merupakan sesuatu yang menonjol selama berlangsungnya perjuangan meraih kemerdekaan khususnya dikalangan golongan-golongan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi di Eropa. Contoh yang paling sederhana, seperti yang dialami oleh

89

Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogkarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 64.

90

Ibid, h.70. 91

Barbara Ward, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. Ke-3, h. 40.

92

W.Montgomery Wat, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (Sebuah Kajian Sejarah), (Jakarta Barat: PT.Beunebi Cipta,1987), Cet. Ke-1, h. 141.


(54)

Iran atau Persia, di mana dasar nasionalisme terbentuk oleh pengambilan Syi‟ah Imamiyah sebagai agama pejabat yang dipermulaan abad keenam belas. Dalam beberapa saat penguasa-penguasa kerajaan Ottoman mencoba beralih ke dasar nasionalisme yang hipotesis, tetapi konsep ini hanya mendapat sedikit respon, sedang konsep saingan, yaitu nasionalisme Turki terbukti lebih kuat dan disumbangkan kepada pembentukan Republik Turki. Pemimpin-pemimpin Turki selalu waspada agar nasionalisme mereka tidak meluas sampai kepada rakyat Turki di Asia Tengah, sebab itu akan meyerupai ekspansionisme dan mungkin akan meyebabkan adanya komplikasi-komplikasi internasional.93

Meskinpun Arab Saudi muncul sebagai negara Islam yang memproklamasikan dirinya sendiri, mayoritas negara Muslim berusaha membangun negara modern dengan paradigma Barat yang diperlunak dengan undang-undang seperti persyaratan bahwa kepala negara harus orang Muslim. Negara-negara tersebut didasarkan pada bentuk-bentuk nasionalisme liberal, nasionalisme liguistik dan territorial, atau pelbagai macam nasionalisme dan sosialisme pan-Arab.94

Seperti di Turki, Mesir, dan Pakistan, teoritisi nasionalisme di negara-negara Muslim sangat tergantung pada cita-cita Islam. Sebaliknya, pikir Eropa Pencerahan, yang gagasan nasionalisme adalah produk sampingan, yang dikembangkan dengan latar belakang abad pertengahan Eropa yang terlibat dalam perang berdarah dalam

93

Ibid, h.142. 94

John L.Esposito, Langkah Barat Menghadang Islam, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), Cet. Ke-1, h. xxii.


(55)

nama agama.95 Manakala di Saudi memiliki hukum diundangkan membedakan antara 'Saudi' dan 'Ajnabi' (alien). Tarif upah untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi untuk Saudi. Hanya Saudi dapat dirawat di rumah sakit paling modern Riyadh multi kepada juta dolar. Bahkan 'Hari Nasional' telah diperkenalkan termasuk membesarkan sebuah tim sepak bola.96

D. Faktor-Faktor Terbangunnya Nasionalisme

Nasionalisme adalah suatu kefahaman, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan peguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Kefahaman nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua bagi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat peribadi. Berabad-abad lamanya cita dan tujuan politik bukanlah negara-kebangsaan melainkan, setidak-tidaknya dalam teori: imperium yang meliputi seluruh dunia, melingkupi berbagai bangsa dan golongan-golongan etnis di atas dasar peradaban yang sama serta untuk menjamin perdamaian bersama.97

95

Abdullah al-Ahsan, Ummah or Nation?Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1992), Cet. Ke-I, h .61.

96

Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 (1400-1401), (London-Toronto-Pretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 40.

97


(1)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Karim

Abu Daun Sulaiman bin al-Asyas, Sunnan Abu Daud, Beirut: Mizan, 1994, Juzu‟. Ke-2.

Abd.Rahim, Abd. Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004, cet. Ke-1.

Abdullah, Muhammad Ramadhan Subky Kajian Terhadap Faham Nasionalisme Melayu Dalam Partai UMNO, Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Adnan, Zainal, dkk., 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, Malaysia: PTS Millennia SDN.BHD, 2011, cet. Ke-4.

Ahmed, Shabir dan Karim, Abid. Akar Nasionalisme di Dunia Islam, penerjemah: Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, Bangil, al-Izzah, 1997.

al-Ahsan, Abdullah. Ummah or Nation? Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, TheIsamic Foundation: United Kingdom, 1992.

Anderson, Benedict. Magined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist Press, 2001.

Armstrong, Karen .Islam: A Short History Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: IkonTeralitera, 2004, cet. Ke-4.

Arief, Budiman. Teori; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Awang, Md. Afandi. Komulanisme: Kesannya Ke Atas Peradaban India, Kuala Lumpur: PenerbitUniversiti Malaya, 2006.

Azra, Asyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

Bassam, Tibi. Ancaman Furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.


(2)

Budirdiardjo, Mariam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Busroh, H. Abu Daud. Ilmu Negara, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, cet. Ke-7. Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam

Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.

D.Smith, Anthony. Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Erlangga, 2003. E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Yogyakarta: Tiara Wacana,

1992, cet. Ke-1.

Enayat, Hamid. Modern Islamic Politic Thought, London: Macmillan, 1982. F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1980, cet. Ke-7.

Guibernau, M., “Nationalisms, the Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity Press: London, 2005), cet. Ke-1.

G.W Choudhury, Islam and the Modern Muslim World, England, London: Ltd, Victoria House, Buckhurst Hill, Essex, 1993, cet. Ke-1.

Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002, h. 287.

Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999, cet. Ke-1, h.7.

Huda, Ni‟matul. Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, cet. Ke-1.

Kausar, Zeenath. Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994, cet. Ke-1. Khan, Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Bandung: Penerbit Pustaka,

1983, cet. Ke-1.

Kohn, Hans. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlanga, 1984, cet. Ke-4. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan (Anggota IKAPI), 1997,

cet. Ke-2.


(3)

L.Esposito, John. Langkah Barat Menghadang Islam, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004, cet. Ke-1.

Moh. Kusnardi dan Bintan D. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, cet. Ke-4.

Muhammad Naqvi, Ali. Voice of Jammu and Kashmir: Islam dan Nationalisme, edisi Juni-Juli, 1996.

Nur, Aminuddin. Pengantar studi Sejarah Penggerakan Nasional, Jakarta: Pembimbing Massa, 1967.

Nasation, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikirandan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995, cet. Ke-9.

Rais, M. Amin. dkk., Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993, cet. Ke-3.

Ramadhan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2003, cet. Ke-1.

Ram Gopal, Indian Muslims a Political History (1858-1947), Bombay: Asia Publishing House, 1959.

Salam, Syamsir. dkk. Menuju Islam Berkadaban. Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press, 2007, cet. Ke-1.

S.Ahmed, Akbar, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1990, cet. Ke-1.

Madjid Nurcholis, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina, 2004, cet. Ke-1.

Rahnema, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996, cet. Ke-2.

Siddiqui, Kalim. Issue in the Islamic Movement 1980-1981, Canada: The Open Press, Holdings, Willowdale, Ont., Limeted.

Siddiqui, Kalim, Nation-States As Obstacles to the Total Transformation of the Ummah, penterjemah: MahzanAhmad, Pustaka Al-Alami, 1985, cet. Ke-1.


(4)

Siddiqui, Kalim, Functions of International Conflict - A Socio-economic Study of Pakistan, Karachi: The Royal Book Company, 1975.

Siddiqui, Kalim, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2002, cet. Ke-1.

Siddiqui, Kalim, Beyond the Muslim Nation-State, London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977.

Siddiqui, Kalim, Pergerakan Islam: Sebuah Analisa Pendahuluan, Jakarta: Minaret, 1988, cet. Ke-3.

Siddiqui, Kalim, Proses Kesalahan, Deviasi, Koreksi dan Konvergensi Dalam Pemikiran Politik Muslim, London: The Muslim Institute, 1989.

Siddiqui, Kalim, Stages of Islamic Revolution, The Open Press, 1996.

Siddiqui, Kalim, Melampaui Negara-Bangsa Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet. Ke-1.

Siddiqui, Kalim. Negara Penghalang Pembentukan Ummah, Kuala Lumpur: PustakaAlami, 1985, cet. Ke-1.

Sjadzali, Munawir.Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press.

Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999, cet. Ke-1, h. 1.

Taqiyuddin an-Nabhani, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1993, h.1-2.

Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Nizbut Tahrirm, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008, cet. Ke-4, h.128.

Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil: Al-Izzah, 1996, cet. Ke-1.

Thaimah, Shabir.Akhthar Al-Ghazw Al-FikriâAla Al-Alam Al-Islami, Beirut: Alam Al-Kutub, 1984.

Thohir, Ajib. Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etro-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2009, cet. Ke-1.


(5)

T.Hunter, Shireen. Politik Kebangkitan Islam Keragaman Dan Kesatuan, Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2001, cet. Ke-1.

Tibi, Bassam. Ancaman Furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, cet.Ke-1.

Wat, W.Montgomery, Pergolakan Pemikiran Politik Islam sebuah kajian sejarah, Jakarta Barat: PT. Beunebi Cipta, 1987, cet. Ke-1.

Ward, Barbara. Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), cet. Ke-3.

Yakan, Fathi. Islam di Persimpangan Paham Modern, Jakarta: Gma Insani Press, 1995, cet. Ke-6.

Yatim, Badri. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa, 2001.

Situs Internet

Aisyah M.Yusuf, Nasionalisme yang Terimplementasi Negara-bangsa Telah Pembawa Petaka Kepada Muslimin, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://bogotabb.blogspot.com.html.

Anita Shiva, Sejarah Nasionalisme dan Perkembangannya, Artikel diakses pada 25 Oktober 2013 dari http://blogdetik.com .my/.

Fachruddin, Adakah Nasionalisme Dalam Islam?, Artikel diakses pada 1 januari 2014 dari http://kabepiilampungcom.wordpress.com/

Gilang, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan, Artikel diakses pada 24 Oktober 2013 dari http://381992.blogspot.com.html.

Ibrahim, Biografi Jamaluddin al-Ghani, Artikel diakses pada 07 Mei 2014 dari www. Aneka makalah.com/2013/04.

Iman Milyarder, Islam dan Negara, Artikel diakses pada 27 December 2013 dari imannumberone.wordpress.com.


(6)

Itihaas, Thronology-Mahatma Gandhi. 1869-1948, Artikel diakses pada 14 September 2013 dari http:// www.itihaas.com/mod.

Jalaluddin Rakhmat, Artikel diakses pada 13 April 2013 dari http://mindarakyat0.tripod.com.htm.

Jorgen S. Nielsen, News People Obituary Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 25 December 2013 dari http://www.independent.co.uk/-1305799.html.

Mohd Saiful Mohd Sahak, ICIT Kumpul Intelek Islam Global, Artikel diakses pada 25 September 2013 dari www.utusan.com.my utusan/info.Utusan-Malaysia Bicara_Agama htm.

Mujtahid, Pandangan Kalim Siddique Tentang Negara Islam, Artikel diakses pada 1 Januari 2014 dari http://blog.uin-malang.ac.id/mujtahid/2010/12/03.

Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/. The Reading Group Malaysia, Ke Arah Revolusi Islam, Artikel diakses pada 25

Augustus 2013 dari http://.blogspot.com/2010/09/.html

Wikipedia, Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.