Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Chapter III V

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1.

Desain Penelitian
Desain penelitian adalah penelitian diagnostik untuk melihat sensitivitas dari

TTNA dengan tuntunan USG Toraks dalam membantu menegakkan diagnosis kanker
paru.
3.2.

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

di Instalasi Diagnosis Terpadu (IDT) di RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini
akan dilaksanakan selama satu tahun dimulai dari bulan Februari 2015 s/d Februari
2016.
3.3.

Populasi, sampel dan besar sampel


3.3.1. Populasi
Populasi penelitan ini adalah semua pasien rawat inap di RSUP H. Adam Malik
dengan gejala klinis dan faktor risiko untuk kanker paru.
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi.
3.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
a. Kriteria Inklusi
1. Pasien terduga kanker paru saat masuk RSUP HAM
2. Gambaran radiologi toraks dengan jarak lesi dari dinding toraks dapat
dijangkau oleh jarum TTNA
3. Lesi dekat ke dinding dada,
4. Bersedia untuk mengikuti penelitian yang dinyatakan secara tertulis setelah
mendapatkan penjelasan atau informed consent.
b. Kriteria eksklusi
1. Pasien yang mengalami gangguan koagulasi darah
63

Universitas Sumatera Utara


3.3.4. Besar Sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus besar sampel untuk penelitian
diagnostik, dengan rumus sbb:
Sensitivitas metode TTNA dengan tuntunan ultrasonografi yang diharapkan
adalah 90%. Bila dapat diterima penyimpangan (d) untuk sensitivitas sebesar 10%.
Interval kepercayaan 95% (α=0.05; z=1,96). Untuk uji sensitivitas diperlukan sampel
minimal:

Dimana:
N

= besar sampel penelitian

sen

= sensitivitas alat yang diinginkan, yaitu = 90% (0,9)

1-sen = 1-sen, yaitu 0,1
d


= presisi penelitian yaitu 20%
= derivat baku alpha, yaitu 1,96

P

= prevalensi kanker paru yang di opname di RSUP HAM 2014, yaitu
0,21

Sehingga,
N=

(1,96)2 x 0,9 x 0.1  N = 41 orang
(0,2)2 x 0,21

Jadi besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebesar

subyek yang

didiagnosis positif kanker paru dengan pemeriksaan sitologi diagnostik, histopatologi,

atau clinical and radiological follow up adalah 41 orang.
64

Universitas Sumatera Utara

3.4

Definisi Operasional
1. Kanker paru adalah penyakit keganasan pada paru baik yang berasal dari
jaringan paru sendiri (kanker primer) atau yang berasal dari organ lain yang
bermetastasis ke paru (kanker sekunder) yang ditegakkan berdasarkan gejala
klinis intrapulmonal

(batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak napas), dengan

faktor risiko untuk kanker paru dengan adanya riwayat paparan inhalasi jangka
panjang dari bahan karsinogenik, pemeriksaan foto toraks, CT-scan toraks.
2. Umur penderita adalah lamanya hidup penderita sampai dengan datang ke
bagian paru RSUP H. Adam Malik sesuai dengan gelang tangan pasien.
3. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang membedakan pasien atas laki-laki dan

perempuan sesuai dengan gelang pasien.
4. Jumlah konsumsi rokok dinyatakan dengan indeks brinkman (IB), yaitu rerata
konsumsi rokok per hari dikalikan dengan lamanya merokok dalam tahun,
diklasifikasikan menjadi:
a. IB < 200

: ringan

b. IB 200 – 600

: sedang

c. > 600

: berat

5. Transthoracic needle aspiration (TTNA) adalah tindakan diagnsotik dengan
teknik pengambilan sampel secara perkutan dari tumor yang melalui dinding
dada, parenkim paru, dan mediastinum untuk keperluan pemeriksaan sitologi,
histopatologi, dan mikrobiologi.

6. Interpretasi sitologi TTNA adalah hasil sitologi yang dibacakan oleh ahli
patologi anatomi dimana pembagiannya: C1 (tidak representatif), C2 (benign),
C3(atypical), C4(suspicious of malignancy), C5(malignant).
7. Sensitivitas adalah kemampuan suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil
positif pada pasien yang positif menderita suatu penyakit
8. Spesifisitas adalah kemampuan suatu pemeriksaan untuk menghasilkan hasil
negatif pada pasien yang tidak menderita suatu penyakit
9. Positive predictive value (PPV) adalah besarnya kemungkinan hasil pemeriksaan
yang positif adalah benar-benar positif menderita suatu penyakit
10. Negative predictive value (NPV) adalah besarnya kemungkinan hasil
pemeriksaan yang negatif adalah benar-benar tidak menderita suatu penyakit.
65

Universitas Sumatera Utara

11. Variabel prediktor pada penelitian ini adalah hasil pemeriksaan TTNA dengan
tuntunan USG dengan skala variabel nominal.
12. Variabel outcome dari penelitian ini adalah reference standard yaitu hasil
pemeriksaan sitologi diagnostik atau histopatologi atau clinical and radiological
follow up dengan variabel nominal. Setiap sampel pada penelitian ini dilakukan

pemeriksaan foto toraks, CT scan toraks, Bronkoskopi (bilasan, BAL dan
sikatan), sitologi sputum, biopsi aspirasi jarum halus KGB (kelenjar getah
bening), TTNA dengan tuntunan USG toraks, dalam upaya penegakan diagnosis
akhir sampel tersebut.
13. Komplikasi adalah penyakit yang baru timbul sebagai akibat tindakan TTNA.
Komplikasi yang dinilai pada penelitian ini adalah pneumotoraks dan hemoptisis

3.5 Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan TTNA dengan tuntunan USG di
RSUP HAM Medan

3.5.1

Persiapan alat
1.

Alat tulis untuk mencatat data dan komputer untuk mengolah dan memroses
data

2.


Spinocaine no.25 gauge

3.

USG dengan tipe Sonix 01
Merek: Ultrasonix Medical Corporation S/N: SX1.1-0809.1841
Kalibrasi ulang: Februari 2015

4.

Aparatus instilasi lidokain.

5.

Asesori tindakan TTNA dengan tuntunan USG

6.

Mikroskop merek Olympus BX51


7.

Objek glass

8.

Pewarnaan Papanicolaou.

9.

Pulse oxymeter merek Elitech

10. Sumber O2 dan aparatusnya (nasal kanul)
11. Obat–obat emergensi: adrenalin inj, dexamethasone inj, SA inj
12. Alat–alat infus.
66

Universitas Sumatera Utara

3.5.2


Persiapan Pasien
1.

Persetujuan dan ijin tindakan TTNA dari pasien dan diketahui keluarga
terdekat dengan saksi petugas paramedis/medis, setelah diberi penjelasan
tentang tindakan dan tujuan pemeriksaan serta komplikasinya.

2.

Foto toraks PA dan lateral (terbaru), CT-scan toraks,

3.

Pemeriksaan spirometri

4.

EKG terbaru


5.

Laboratorium (darah rutin, faal hemostasis, analisa gas darah arteri).

3.5.3. Cara Kerja pelaksanaan TTNA dengan tuntunan USG Toraks dan
pemeriksaan sitologi
1.

Pasien yang dipersiapkan merupakan pasien dengan gejala kanker paru
dan pemeriksaan penunjang foto toraks dan CT-scan toraks mengarah ke
kanker paru

2.

Tindakan TTNA dilakukan oleh dokter spesialis paru konsultan onkologi

3.

USG toraks sebagai tuntunan untuk tindakan TTNA dilakukan oleh
dokter spesialis radiologi konsultan radiologi toraks

4.

Persiapan pasien dilakukan di ruang persiapan dengan memeriksa
keadaan umum pasien serta tanda–tanda vital pasien.

5.

Oksimeter ditempelkan pada jari telunjuk kanan/kiri, oksigen kanula
nasal dengan arus 3 – 4 liter/menit menit

6.

Dilakukan tindakan TTNA dengan tuntunan USG dengan spinocaine 25
gauge ke target sambil keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital tetap
diamati.

7.

Dilakukan pemeriksaan sitologi dan penilaian aspirat TTNA

8.

Dilakukan evaluasi ada tidaknya pneumotoraks segera setelah tindakan
TTNA dengan USG toraks

67

Universitas Sumatera Utara

3.6 Alur Penelitian
Pasien dengan gambaran klinis kanker paru
(batuk, batuk darah, nyeri dada, sesak
napas),ada riwayat paparan karsinogenik,

Pemeriksaan penunjang foto toraks dengan
gambaran masa paru, CT-scan toraks dengan
masa paru

Indikasi untuk TTNA dengan tuntunan
USG Toraks
Informed consent kepada pasien dan

Prosedur TTNA dengan tuntunan USG Toraks dengan
menggunakan jarum spinocaine no 25 gauge

Penilaian hasil aspirat oleh ahli
patologi anatomi

Konfirmasi keganasan

3.7 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara manual. Data disusun ke dalam data induk,
kemudian dibuat tabel pengelompokan sesuai dengan tujuan penelitian. Perhitungan
tabel juga dilakukan secara manual.

68

Universitas Sumatera Utara

3.8 Analisis data
Data hasil pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dan reference standard
yang telah terkumpul ditabulasi dan dimasukkan ke tabel 2x2. Dari tabel 2x2 kemudian
dilakukan penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifisitas, positive predictive
value, dan negative predictive value dari pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG
dalam mendiagnosis kanker paru.
Tabel . Tabel 2x2

Reference standard
(+) kanker
paru
Hasil
pemeriksaan
TTNA

paru

(+)
Kanker paru

dengan

tuntunan USG

(-) kanker

(-) Kanker
paru

Rumus perhitungan:
-

Sensitivitas = a / (a+c)

-

Spesifitas = d / (b+d)

-

Positive predictive value = a /(a+b)

-

Negative predictive value = d/(c+d)

69

Universitas Sumatera Utara

3.9 Etika Penelitian
Sebelum dilakukan pengumpulan data terhadap subyek penelitian, peneliti
mengajukan ethical clearance terlebih dahulu kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK) Fakultas Kedokteran USU, Medan.
3.10 Jadual Penelitian
Jadual penelitian
Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Spt

Okt

Nov

Des

Jan

Feb

15

15

15

15

15

15

15

15

15

15

15

16

16

Pembuatan
proposal
Ujian proposal
Ethical
Clearance
Sampling
Mengumpulkan
data
Pengolahan
data
Analisis data
Menulis
laporan
Menulis artikel

70

Universitas Sumatera Utara

3.11 Perkiraan Biaya Penelitian
a. Pengumpulan kepustakaan

Rp. 1.000.000,-

b. Pembuatan proposal

Rp. 1.000.000,-

c. Seminar proposal

Rp. 1.000.000,-

d. Bahan dan alat pendukung penelitian

Rp. 30.000.000,-

e. Seminar hasil penelitian

Rp. 1.000.000,-

Jumlah

Rp. 34.000.000,-

71

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan selama satu tahun (Februari 2015 s/d
Februari 2016), melibatkan 46 sampel yang diambil secara consecutive dengan rerata
umur 54,76 serta mayoritas laki-laki 35 orang (76,1%). Kelompok umur terbanyak
adalah 51-60 tahun yaitu sebanyak 32,6%, diikuti oleh kelompok umur 61-70 tahun
sebanyak 30,4%. Diagnosis akhir sampel didominasi oleh kanker paru sebanyak 33
orang (71,7%) (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Karakteristik sampel
Variabel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur
18-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
51-60 tahun
61-70 tahun
71-80 tahun
Rerata umur (tahun)

Frekuensi

%

35
11

76,1
23,9

4
1
10
15
14
2
54,76

8,7
2,2
21,7
32,6
30,4
4,3

33
13

71,7
28,3

Tumor mediastinum

12

26,1

Tumor dinding dada

1

2,2

Tidak merokok

9

19,6

Merokok

37

80,4

Diagnosis akhir
Kanker paru
Bukan kanker paru

Riwayat merokok

72

Universitas Sumatera Utara

Riwayat merokok pada sampel penelitian ini dikategorikan sesuai dengan Indeks
Brinkman dan diperoleh yang tidak merokok ada sembilan orang (19.6%), sementara
sampel dengan Indeks Brinkman ringan, sedang, dan berat adalah 4 (8.7%), 13 (28.3%),
dan 20 (43.5%) secara berturut-turut (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Indeks Brinkman

Indeks Brinkman

Frekuensi

%

Ringan

4

8.7

Sedang

13

28.3

Berat

20

43.5

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks yang
diperiksakan ke Patologi Anatomi diklasifikasikan menurut WHO menjadi inadekuat
(C1), benign (C2), atypical (C3), kecurigaan maligna (C4), dan malignansi (C5). Pada
penelitian ini dijumpai C1, C2, C3, C4, dan C5 adalah 7 (15,2%), 6 (13%), 1 (2,2), 2
(4,3%), dan 30 (65,2%) secara berturut-turut (Tabel 4.3).

73

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.3 Kategori sitologi TTNA pada seluruh sampel
Kategori sitologi TTNA

Frekuensi

%

7

15,2

7

15,2

6

13

Benign smear

1

2,2

Inflammatory smear

1

2,2

Abses

1

2,2

Kista jinak

1

2,2

Timoma

1

2,2

Teratoma

1

2,2

1

2,2

1

2,2

2

4,3

Adenokarsinoma

1

2,2

Suspicious Malignant

1

2,2

30

65,2

Malignant smear

3

6,5

Adenokarsinoma

17

37

Karsinoma sel skuamosa

5

10,9

Neuroendocrine tumor

1

2,2

Non Hodgkin Lymphoma

1

2,2

Germ Cell Tumor

1

2,2

Hodgkin Lymphoma

1

2,2

Seminoma

1

2,2

46

100

C1
Inadekuat
C2

C3
Atipikal
C4

C5

Total

74

Universitas Sumatera Utara

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks pada sampel
dengan diagnosis akhir kanker paru (33 dari 46 sampel) adalah 6 (18,2%), 3 (9,1%), 1
(3%), 2 (6,1%), dan 21 (63,6%) untuk C1, C2, C3, C4, dan C5 secara berturut-turut
(Tabel 4.4).
Tabel 4.4 Kategori sitologi TTNA pada sampel kanker paru
Kategori sitologi TTNA pada
sampel kanker paru

Frekuensi

%

6

18,2

6

18,2

3

9,1

Benign smear

1

3,0

Inflammatory smear

1

3,0

Abses

1

3,0

1

3,0

1

3,0

2

6,1

Adenokarsinoma

1

3,0

Suspicious Malignant

1

3,0

21

63,6

Adenokarsinoma

15

45,4

Karsinoma sel skuamosa

5

15,1

Neuroendocrine tumor

1

3,0

33

100

C1
Inadekuat
C2

C3
Atipikal
C4

C5

Total

75

Universitas Sumatera Utara

Pada sampel diagnosis akhir kanker paru (33 dari 46 sampel), jenis sel yang
didapatkan adalah adenokarsinoma sebanyak 22 kasus (66,7%), karsinoma sel
skuamosa 8 kasus (24,2%), tumor neuroendokrin 2 kasus (6,1%), sementara pada satu
sampel jenis selnya belum dapat ditentukan. (Tabel 4.5).

Tabel 4.5 Jenis sel pada sampel dengan diagnosis akhir kanker paru
Jenis sel

Frekuensi
N

%

Adenokarsinoma

22

66,7

Karsinoma sel skuamosa

8

24,2

Tumor neuroendokrin

2

6,1

Belum dapat ditentukan

1

3

33

100

Total

Staging pada sampel kanker paru ditentukan berdasarkan TNM Classification
Seventh Edition dan pada penelitian ini yang terbanyak yaitu sebanyak 23 sampel
(69,7%) adalah stage IV, stage IIIB sebanyak 4 sampel (12,1%), dan stage IIIA
sejumlah 6 sampel (18,2%) (Tabel 4.6).
Tabel 4.6 Staging pada sampel diagnosis akhir kanker paru
Staging

Total

Frekuensi (n, %)
IIIA

6

18,2

IIIB

4

12,1

IV

23

69,7

33

100

76

Universitas Sumatera Utara

Pada penelitian ini dilakukan USG toraks untuk membantu menentukan
gambaran lesi dan menentukan lokasi insersi, dari 46 sampel tampilan lesinya adalah
berupa lesi solid pada 35 sampel (54.3%), berupa lesi heterogen pada 9 sampel (19.6%),
berupa lesi anekoik pada 2 sampel (4.3%). (gambar 4.1 s/d 4.5)

Gambar 4.1 Contoh lesi solid
hasil USG di dinding dada
anterior kiri

Gambar 4.3 Contoh lesi
heterogen hasil USG di
dinding dada anterior kiri
parasternal

Gambar 4.2 Contoh lesi hipoekoik
(solid) hasil USG di dinding dada
anterior kanan, LMKD ICS 4

Gambar 4.4 Contoh lesi
anekoik (kistik) hasil USG di
dinding dada anterior
kanan parasternal

Gambar 4.5 Contoh lesi
isoekoik (solid) hasil USG di
dinding dada sisi kanan
(pasien dimiringkan ke kiri)

77

Universitas Sumatera Utara

Saat dilakukan insersi jarum TTNA, dilakukan pengukuran kedalaman insersi
jarum dari dinding dada menggunakan USG dan diperoleh reratanya adalah 3.58 cm
dengan jarak terpendek adalah 1.4 cm dan jarak terpanjang adalah 6 cm.
Lokasi dan posisi pasien saat dilakukan insersi jarum TTNA dengan tuntunan
USG toraks disesuaikan dengan letak lesi intra torakal. Pada penelitian ini, pada tiga
sampel posisi tidur dimiringkan ke kanan dan jarum diinsersikan di dinding dada lateral
kiri; pada dua sampel posisi tidur dimiringkan ke kiri dan jarum diinsersikan ke dinding
dada lateral kanan; pada tiga sampel posisi telungkup (prone) dan jarum diinsersikan
subskapula; serta pada 38 sampel posisi telentang (supine) dan jarum diinsersikan ke
dinding anterior dada.
Data hasil pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dan reference standard
yang telah terkumpul ditabulasi dan dimasukkan ke tabel 2x2. Dari tabel 2x2 kemudian
dilakukan penghitungan untuk mencari sensitivitas, spesifitas, positive predictive value,
dan negative predictive value dari pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG dalam
mendiagnosis kanker paru.
Dari 46 sampel yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG toraks, hanya 33
sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, sementara 13 sampel tidak diikutkan dalam
analisis tabel 2x2 dengan beberapa alasan yaitu: hasil TTNA tidak adekuat (C1)
sebanyak 7 sampel, atypical smear (C3) 1 sampel, C4 tanpa jenis sel 1 sampel, dan C5
tanpa jenis sel 3 sampel, serta jenis sel diagnosis akhir kanker paru belum dapat
ditentukan pada 1 sampel. (Tabel 4.7)
Pada 33 sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, terdapat 24 sampel dengan
diagnosis akhir kanker paru dan sisanya 9 sampel bukan kanker paru. Pada 24 sampel
kanker paru dasar penentuan diagnosis akhirnya adalah: 9 sampel berdasarkan CT Scan
Toraks didukung sitologi dari BAL dan atau Brushing serta TTNA (no. 2, 16, 19, 22,
24, 30, 36, 38, 39, dan 41); 4 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung sitologi
BAL dan atau Brushing (no. 10, 13, 18, dan 20); 2 sampel berdasarkan CT Scan Toraks
didukung dengan tampak massa pada pemeriksaan Bronkoskopi, serta TTNA (no 5, dan
26); 8 sampel berdasarkan CT Scan Toraks dan sitologi TTNA (no. 8, 14, 21, 25, 28,
29, 31, dan 40) (Tabel 4.7)
78

Universitas Sumatera Utara

Dari 33 sampel yang diikutkan ke dalam tabel 2x2, 9 sampel didiagnosis akhir
sebagai bukan kanker paru, dan seluruhnya adalah tumor mediastinum, dasar penentuan
diagnosis akhirnya adalah: 6 sampel berdasarkan CT Scan Toraks didukung sitologi
TTNA (no. 6, 11, 23, 27, 37, 45); 3 sampel berdasarkan CT Scan Toraks dan tampilan
bronkoskopi serta clinical and radiological follow up (no. 32, 34, dan 43).
Tabel 4.7 Dasar penegakan diagnosis akhir seluruh sampel
Alasan tidak
diikutkan di tabel
2x2

No

Diagnosis Akhir

Dasar Diagnosis Akhir

Ikut 2x2

1

CT Scan Toraks

tidak ikut

CT Scan Toraks + Brushing C5 SCC
CT Scan toraks

ikut
tidak ikut

4

tumor
mediastinum
kanker paru
tumor dinding
dada
kanker paru

CT Scan Toraks + BAL C4 Adeno

tidak ikut

5

kanker paru

CT Scan Toraks + Massa di LAKA & LMKA + TTNA C5
Adeno

ikut

6

CT Scan Toraks + TTNA C2 Teratoma

ikut

7
8

tumor
mediastinum
kanker paru
kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C4 Adeno
CT Scan Toraks + Stenosis infiltratif dan mudah berdarah
yg menutupi hampir total buka + TTNA C5 Adeno

tidak ikut
ikut

TTNA C1

9
10

kanker paru
kanker paru

tidak ikut
ikut

TTNA C1

11

tumor
mediastinum

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno
CT Scan Toraks + massa infiltratif menutupi total B2
kanan + Brushing C4 Adeno
CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif +
TTNA C5 NHL

12
13
14
15
16

kanker paru
kanker paru
kanker paru
kanker paru
kanker paru

tidak ikut
ikut
ikut
tidak ikut
ikut

TTNA C1

17
18
19

kanker paru
kanker paru
kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno
CT Scan Toraks + BAL C5 SCC + Brushing C5 SCC
CT Scan Toraks + TTNA C5 Adeno
CT Scan Toraks + Brushing C5 SCC
CT Scan Toraks + massa nekrotik menutup total B8,9,10
+ BAL C5 SCC + TTNA C5 SCC
CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno
CT Scan Toraks + BAL C5 Adeno + Brushing C5 Adeno
CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

tidak ikut
ikut
ikut

TTNA C1

20

kanker paru

ikut

21
22

kanker paru
kanker paru

CT Scan Toraks + massa infiltratif menutupi total laki +
BAL C5 SCC + Brushing C5 SCC
CT Scan Toraks + TTNA C5 Neuroendocrine tumor
CT Scan Toraks + massa infiltratif dengan mukosa
compang-camping di upper div dan stenosis infiltratif di
lbki + BAL C5 Adeno + Brushing C5 Adeno + TTNA C5
Adeno

23

tumor
mediastinum

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif +
TTNA C5 GCT

ikut

24

kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut

25
26

kanker paru
kanker paru

ikut
ikut

27

tumor

CT Scan Toraks + TTNA C5 Adeno
CT Scan Toraks + massa infiltratif yang menutupi total
lingula + TTNA C5 Adeno
CT Scan Toraks + FNAB C5 HL + TTNA C5 HL

2
3

TTNA C5 malignant
smear
TTNA C1
TTNA C4 malignant
smear

ikut

TTNA C1

ikut
ikut

ikut

79

Universitas Sumatera Utara

28
29
30
31
32

mediastinum
kanker paru
kanker paru
kanker paru

CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC
CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC
CT Scan Toraks + massa nekrotik yang menutupi total orif
LAKA + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno
CT Scan Toraks + TTNA C4 Adeno
CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif

ikut
ikut
ikut
ikut
ikut

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif

tidak ikut

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif

ikut

CT Scan Toraks + Clinical and radiological follow-up

tidak ikut
ikut

35

kanker paru
tumor
mediastinum
tumor
mediastinum
tumor
mediastinum
kanker paru

36

kanker paru

37

tumor
mediastinum

CT Scan Toraks + massa di bronkus utama kanan +
Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno
CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif +
TTNA C5 Seminoma

38

kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut

39

kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut

40
41

kanker paru
kanker paru

CT Scan Toraks + TTNA C5 SCC
CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno + TTNA C5 Adeno

ikut
ikut

42
43

kanker paru
tumor
mediastinum
tumor
mediastinum
tumor
mediastinum

CT Scan Toraks + FNAB Sup. C5 Adeno
CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif

tidak ikut
ikut

Sitologi TTNA C3

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif

tidak ikut

TTNA C5 malignant
smear

CT Scan Toraks + Bronkoskopi stenosis kompresif +
TTNA C2 Timoma

ikut

kanker paru

CT Scan Toraks + Brushing C5 Adeno

tidak ikut

33
34

44
45
46

TTNA C5 malignant
smear

Diagnosis akhir kanker paru
tidak ada jenis sel

ikut

TTNA C1

80

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.7 Tabel 2x2
Diagnosis akhir
Kanker

Bukan kanker

paru

paru

Total

Kanker paru

22

2

24

Bukan kanker paru

2

7

9

Total

24

9

33

TTNA

Sensitivitas

91,6%

Spesifisitas

77,7%

PPV

91,6%

NPV

77,7%

Dari 33 sampel yang diikutkan dalam tabel 2x2, didapatkan sensitivitas dan
spesifisitas TTNA dengan tuntunan USG adalah 91,6% dan 77,7%. Dijumpai positif
palsu pada 2 dari 33 kasus (6,06%).
Dari seluruh sampel yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG, tidak
dijumpai komplikasi pasca tindakan, seperti pneumotoraks ataupun hemoptisis.

4.2 Pembahasan
Penelitian ini melibatkan 46 sampel penelitian. Semua sampel penelitian terlebih
dahulu menyetujui informed consent yang diberikan. Dari seluruh sampel didapat
jumlah laki-laki adalah mayoritas, yakni 35 orang (76.1%). Beberapa penelitian sejenis
sebelumnya (Prasad et al, 1994; Sheth et al, 1999; Kalhan et al, 2012; Ferretti et al,
2013) (Tabel 4.8), pada pasien yang dilakukan TTNA, juga mendapatkan jumlah lakilaki lebih banyak dari pada perempuan. Prasad R et al (1994) melakukan penelitian pada
58 pasien yang dilakukan tindakan TTNA, dan didapati sampel laki-laki adalah
mayoritas, yakni sejumlah 48 orang (82.75%). Shet S et al (1999) meneliti pasienpasien yang dilakukan TTNA dengan tuntunan USG, dari 84 pasien yang diteliti, 46
orang (54.76%) diantaranya adalah laki-laki. Kalhan S et al (2012) melakukan TTNA
dengan tuntunan USG pada 113 pasien dan 61 orang (53.98%) adalah laki-laki. Ferretti
81

Universitas Sumatera Utara

GR et al (2013) meneliti 91 pasien yang dilakukan TTNA dan 63 orang (69.23%)
diantaranya adalah laki-laki.
Tabel 4.8 Penelitian TTNA sebelumnya

Peneliti

Persentase sampel
laki-laki

Prasad R et al

82.75%

Shet S et al

54.76%

Kalhan S et al

53.98%

Farretti GR et al

69.23%

Berdasarkan data Surveillance, Epidemiology, and End Results (SEER) (20092013), insidens kanker paru yang terjadi di seluruh ras atau etnis di dunia lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan perempuan, yaitu 67,9 per 100.000 pada laki-laki dan 49,4
per 100.000 pada perempuan (National Cancer Institute, 2016). Data dari Rumah Sakit
Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta (1993-2007) juga menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda dimana laki-laki (79,65%) lebih banyak dari pada perempuan (20,35%).
(Ramadhaniah, Rahayu, dan Suzanna, 2015). Karena banyaknya populasi penderita
kanker paru pada laki-laki sehingga laki-laki yang terindikasi untuk dilakukan TTNA
lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Selain jenis kelamin laki-laki, faktor lain yang telah teridentifikasi meningkatkan
risiko terjadinya kanker paru adalah usia lebih dari 40 tahun dan perokok. (Jusuf et al,
2016) Pada penelitian ini rerata umur seluruh sampel adalah 54.76 ± 12.89 tahun dan
rerata umur pada kelompok kanker paru adalah 60.13 ± 7.42 tahun.
Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian sejenis sebelumnya. Solak et al
(2001) melakukan TTNA pada lesi di toraks dan mendapatkan dari 102 sampel rerata
umurnya adalah 50 ± 6.5 tahun. Hassan (2010) juga mendapatkan hasil yang hampir
sama dimana rerata umur sampel dalam penelitiannya adalah 60.14 tahun. Artinya
bahwa usia tua merupakan salah satu faktor risiko terjadi kanker paru, risiko mendapat
kanker paru meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
82

Universitas Sumatera Utara

Tabel 4.9 menunjukkan hubungan antara risiko mendapat kanker paru dan
bertambahnya usia. (Howlader et al, 2015)
Tabel 4.9 Hubungan antara usia dengan risiko kanker paru
Usia

10

20

30

sekarang

tahun

tahun

tahun

30

0.02

0.16

0.82

40

0.14

0.81

2.58

50

0.69

2.51

5.34

60

1.96

5.01

7.04

70

3.57

5.93

N/A

(Sumber: Howlader et al, 2015)
Dari tabel di atas ditampilkan bahwa risiko mendapat kanker paru meningkat
dengan bertambahnya usia. Sebagai contoh, jika usia seseorang sekarang adalah 60
tahun, tabel menunjukkan angka 1,96 %, itu bermakna bahwa dalam rentang waktu 10
tahun ke depan, 1,96% dari populasi yang berusia 60 tahun akan menderita kanker paru.
(Howlader et al, 2015)
Faktor risiko yang sering dikaitkan dengan kejadian kanker paru adalah
merokok. Konsumsi merokok diklasifikasikan dengan Indeks Brinkman. Dijumpai
Indeks Brinkman (IB) pada sampel penelitian ini adalah berat (43.5%), sedang (28.3%),
ringan (8.7%), dan tidak merokok (19.6%). Berbagai literatur (American Lung
Association, 2016; CDC, 2015) telah menunjukkan bahwa berbagai jenis bahan yang
dikandung asap rokok itu bersifat karsinogen. Secara epidemiologis juga terlihat kaitan
kuat antara kebiasaan merokok dengan insidens kanker paru. Dimana diperkirakan
seorang perokok memiliki risiko 15 sampai 25 kali lebih besar untuk mendapat kanker
paru dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok. (CDC, 2015) Keterkaitan rokok
dengan kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang perempuan
perokok pasif akan terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak terpajan
asap rokok. (Jusuf et al, 2016)

83

Universitas Sumatera Utara

Hasil aspirat dari tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks yang
diperiksakan ke Patologi Anatomi diklasifikasikan menurut WHO menjadi inadekuat
(C1), benign (C2), atypical (C3), kecurigaan maligna (C4), dan malignansi (C5). Pada
penelitian ini dijumpai C1, C2, C3, C4, dan C5 adalah 7 (15,2%), 6 (13%), 1 (2,2), 2
(4,3%), dan 30 (65,2%) secara berturut-turut. Persentase hasil aspirat dengan kategori
inadekuat (C1) pada penelitian ini yang sejumlah 7 sampel (15,2%) relatif lebih besar
dibandingkan dengan penelitian sejenis. Seperti yang dilakukan oleh Solak et al (2001)
melakukan tindakan TTNA pada 102 kasus, dan dijumpai sediaan tidak representatif
hanya pada 3 sampel (0.02%). Keberhasilan mendapatkan sediaan yang representatif
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: diameter jarum, penuntun tindakan TTNA
(USG, CT Scan, atau Fluoroskopi), diameter lesi, adanya nekrosis atau fibrosis atau
peradangan di lesi, dan faktor operator tindakan TTNA. (Prasad et al, 1994; Sheth et al,
1999; Kalhan et al, 2012)
Pada kelompok kanker paru, TTNA menghasilkan jenis sel pada 22 dari 33
sampel. Dari 22 sampel tersebut, 16 orang (72,7%) adalah adenokarsinoma, 5 orang
(22,7%) adalah karsinoma sel skuamosa, dan satu orang (4,5%) adalah tumor
neuroendokrin. Penelitian ini mendapatkan bahwa jenis sel kanker paru yang terbanyak
adalah adenokarsinoma. Penelitian sejenis yang mendapatkan adenokarsinoma sebagai
jenis sel kanker paru terbanyak adalah Tan et al (2002) melakukan tindakan TTNA dan
diperoleh hasil adenokarsinoma 49.4%, karsinoma sel skuamosa 16%, karsinoma sel
besar 2.7%, dan adenokarsinoma metastasis 4%. Hasil ini berbeda dengan penelitian
Saha A et al (2009) yang melakukan TTNA terhadap 57 orang dan mendapatkan
mayoritas adalah karsinoma sel skuamosa 42.6% diikuti oleh adenokarsinoma sebanyak
29.6%.

Sementara Sing, Garg, dan Setia (2004) mendapatkan hasil dengan jumlah

yang sama kedua jenis sel, yakni adenokarsinoma 22.2% dan karsinoma sel skuamosa
juga 22.2%. Penelitian ini mendapatkan bahwa jenis sel kanker paru yang terbanyak
adalah adenokarsinoma. Hal ini dapat dikaitkan dengan pemilihan sampel penelitian ini
yakni pada lesi di foto toraks maupun CT scan toraks yang tampak sebagai lesi di
perifer. Kanker paru jenis adeno karsinoma mayoritas dijumpai pada lesi perifer
(Litzky, 2008; Heighway, 2004 ).

84

Universitas Sumatera Utara

Dalam berbagai literatur,(Taviad et al, 2014; Pedersen, Aasen, dan Gulsiva,
1986; Kalhan et al, 2012; Begum et al, 2010; Knudsen et al, 1996) dilaporkan metode
TTNA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik dalam menegakkan
diagnosis lesi torakal, angkanya bervariasi dengan sensitivitas 62 – 95% dan spesifisitas
95 – 100%. Pada penelitian ini, diperoleh sensitivitas TTNA adalah 91,6%

dan

spesifisitas sebesar 77,7%. Nilai duga positif 91,6% dan nilai duga negatif 77,7%.
Taviad et al (2014) melakukan transthoracic FNAC dengan tuntunan USG memakai
lumbar puncture needle nomor 20 terhadap 31 pasien yang diduga menderita lesi toraks
maligna dari klinis dan radiologis. Hasilnya, 28 kasus adalah kanker paru, dua kasus
adalah lesi inflamasi, dan satu kasus sampelnya tidak adekuat. Didapatkan akurasinya
95%, sensitivitasnya 96,55%, dan spesifisitasnya 100%. Pedersen, Aasen, dan Gulsiva
(1986) melakukan fine needle aspiration biopsy dengan tuntunan USG memakai
ultrathin 0,6 mm thick needle terhadap 42 pasien yang diduga menderita massa intra
toraks yang menempel ke dinding dada berdasarkan klinis dan radiologis. Diperoleh
success rate pada 18 dari 23 lesi paru dan 16 dari 19 lesi mediastinal. Kalhan et al
(2012) melakukan transthoracic fine needle aspiration cytology dengan tuntunan USG
memakai lumbar punture needle nomor 23 terhadap pasien yang diduga menderita lesi
di intra torakal. Didapatkan akurasinya 66,7%, sensitivitas 91,3%, dan spesifisitas
100%. Begum et al (2010) melakukan transthoracic FNAC dengan tuntunan USG
memakai jarum spinal no 20 panjang 8 cm terhadap 98 pasien yang diduga menderita
lesi intra torakal. Diperoleh akurasinya 93,8% dan sensitivitas 92,7%. Knudsen et al
(1996) melakukan percutaneous fine-needle aspiration dengan tuntunan USG memakai
jarum jenis aspiration needle terhadap 128 pasien yang mempunyai lesi intra torakal.
Didapatkan sensitivitasnya 95% dan spesifisitasnya juga 95%. Yang et al (1992)
melakukan transthoracic fine-needle aspiration dengan tuntunan USG menggunakan
jarum jenis aspiration needle terhadap 120 pasien yang mempunyai lesi intra torakal.
Diperoleh sensitivitasnya 62% dan spesifisitasnya 100%. Targhetta et al (1993)
melakukan transthoracic biopsy dengan tuntunan USG memakai jarum jenis aspiration
biopsy needle terhadap 64 pasien yang mempunyai lesi intra torakal. Didapatkan
sensitivitasnya 91% dan spesifisitasnya 100%. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pada
penelitian ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sejenis sebelumnya.
Salah satu faktor yang dapat berpengaruh adalah diameter jarum yang digunakan untuk
85

Universitas Sumatera Utara

TTNA. Dalam penelitian ini digunakan spinocaine 25 gauge dimana jenis jarum ini
lebih kecil diameternya dibandingkan dengan jarum yang digunakan pada penelitian
yang lain dimana ini dapat berpengaruh terhadap adekuasi aspirat untuk pemeriksaan
sitologi. Faktor lain mungkin berpengaruh adalah penuntun tindakan TTNA (USG, CT
Scan, atau Fluoroskopi), diameter lesi, adanya nekrosis atau fibrosis atau peradangan di
lesi, dan faktor operator tindakan TTNA. (Prasad et al, 1994; Sheth et al, 1999; Kalhan
et al, 2012)
Komplikasi pasca tindakan TTNA yang mungkin terjadi antara lain
pneumotoraks dan hemoptisis. Dilaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan
TTNA sekitar 20-35%, walaupun hanya 5% pasien yang membutuhkan pemasangan
selang dada. (Hoffmann, Mauer, dan Vokes, 2000). Solak et al (2001) mendapatkan
komplikasi terbanyak pasca tindakan TTNA menggunakan jarum nomor 18-22 gauge
Chiba adalah pneumotoraks, dimana hal ini terjadi pada 10 kasus (9,8%), dan hanya
empat kasus yang membutuhkan pemasangan selang dada. Komplikasi lain adalah
hemoptisis pada 9 kasus (8,8%) dan perdarahan pada satu kasus (0,9%). Knudsen et al
(1996) melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG
sebesar 3,7%. Yang et al (1992) melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan
TTNA dengan tuntunan USG menggunakan jarum nomor 22 gauge sebanyak dua dari
149 pasien (1,3%). Namun tidak ada yang membutuhkan tindakan aspirasi ataupun
pemasangan selang dada. Tidak dijumpai kejadian hemoptisis. Targhetta et al (1993)
melaporkan kejadian pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG
sebanyak dua dari 64 kasus. Pada penelitian ini tidak dijumpai kejadian pneumotoraks
ataupun hemoptisis. Hal ini mungkin berkaitan dengan pemilihan jarum nomor 25
gauge yang lebih kecil dari penelitian-penelitian sebelumnya dan seluruh lesi menempel
ke pleura parietal.
Kelemahan penelitian ini adalah bahwa tuntunan USG toraks tidak menampilkan
secara langsung apakah jarum untuk tindakan TTNA telah berada di dalam lesi dan
tepat berada di lokasi yang diinginkan. Hal ini dikarenakan tidak tersedianya peralatan
USG toraks yang diperlengkapi dengan paket peralatan melakukan tindakan TTNA.

86

Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Jenis kelamin terbanyak dalam penelitian ini adalah laki-laki (76,1%)
2. Rerata umur sampel adalah 54,76 tahun dan terbanyak pada rentang 51-60 tahun
(32,6%)
3. Kategori sitologi terbanyak hasil TTNA dengan tuntunan USG toraks adalah C5
(malignansi) sebanyak 65,2%
4. Nilai akurasi pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam
mendiagnosis kanker paru adalah 87,87%
5. Nilai sensitivitas pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam
mendiagnosis kanker paru adalah 91,6%
6. Nilai spesifisitas pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks dalam
mendiagnosis kanker paru adalah 77,7%
7. Positive predictive value pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks
dalam mendiagnosis kanker paru adalah 91,6%
8. Negative predictive value pemeriksaan TTNA dengan tuntunan USG toraks
dalam mendiagnosis kanker paru adalah 77,7%
9. Tidak dijumpai komplikasi seperti pneumotoraks ataupun hemoptisis pasca
tindakan.

87

Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran
1. Melakukan

penelitian

sejenis

menggunakan

USG

toraks

yang

telah

diperlengkapi dengan paket peralatan melakukan tindakan TTNA, sehingga
visualisasi insersi dapat dilakukan secara langsung.
2. Perlu dipertimbangkan penggunaan jarum dengan diameter yang lebih besar
serta pemilihan sampel yang tidak terbatas pada lesi intra torakal yang
menempel ke pleura parietal.
3. Evaluasi pneumotoraks pasca tindakan TTNA dengan tuntunan USG toraks
menggunakan foto toraks

88

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 1 19

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 4

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 35

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 4

Akurasi Diagnostik Transthoracic Needle Aspiration dengan Tuntunan Ultrasonografi Toraks pada Kanker Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 5

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 21

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 2

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

0 0 4

Profil pasien kanker paru yang dilakukan tindakan transthoracic needle aspiration dengan tuntunan ultrasonografi toraks di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Chapter III V

0 1 27