Analisis Yuridis Tindak Pidana Korupsi Dengan Menggunakan Jabatan (Studi Putusan No. 3296 Pid.B 2010 PN.Mdn)
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif).Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis.Kejahatan atau perbuatan jahat dalam artiyuridis normatifadalah
perbuatan seperti yang terwujudin abstractodalam peraturan pidana.
Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yangdikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek
van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda
Nv.sNI, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud dengan
strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan
arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaaman
pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Pembentuk undang–
undang Indonesia telah menerjemahkanperkataan strafbaar feit sebagai tindak
pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu
penjelasan mengenai yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.
Gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut
beberapa pandangan ahli hukum, yaitu: menurut POMPE 22, perkataan strafbaar
feit Itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai“suatu pelanggaran norma
22
P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti :
Bandung, 1997, hal. 182.
Universitas Sumatera Utara
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum” atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde),
waaran de overtreder schuldheeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de
handhaving der rechts orde en de benhartigining van het algemeen welzijn”
Akan tetapi, SIMONS telah merumuskan “strafbaar feit”itu sebagai
suatu 23 :“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dariSIMONSMerumuskanseperti uraian di atas adalah karena :
a) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undangundang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam
itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
b) agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam
undang -undang, dansetiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap
larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya
merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu
“onrechmatige handeling”.
23
Ibid,. hal 185.
Universitas Sumatera Utara
Van Hammel (Moeljatno, 2008:61) merumuskan sebagai berikut :
“straafbar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan”.
Van HATTUM, mengemukakan bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat
dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurutnya,
perkataan strafbaar itu berarti voor straf in aanmerking komend atau straf
verdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga
perkataan strafbaar feit seperti yang terlah digunakan dalam Undang-undang
Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu: “tindakan, yang
karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat
dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is 24”.
Perkataan eliptis di atas adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar
elips di dalam bahasa Belanda yang menurut Van de WOESTIJNE mempunyai
pengertian sebagai: “perbuatan menghilangkan sebagian dari suatu kalimat yang
dianggap tidak perlu untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat-tepatnya”
atau sebagai “de weglating van een zinsdeel, dat voor de juiste begrip van de
gedachte neit noodzakelijk wordt geacht.”
Istilah tindak pidana juga sering digunakan dalam perundang-undangan,
meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak
menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan
keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
24
Ibid,. hal 184.
Universitas Sumatera Utara
tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak -gerik atau sikap jasmani seseorang,
hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan
belakangan juga sering dipakai “ditindak” 25.
Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum
yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Sehubungan dengan uraian di
atas, makapenulis menguraikan unsur-unsur tindak pidana.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Jika diteliti peraturan perundang-undangan pidana Indonesia seperti
KUHPidana dan peraturan di bidang hukum pidana, tidak ditemukan pengertian
tindak pidana. Tiap-tiap pasal UU tersebut
hanya menguraikan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dan bahkan ada yang hanya menyebut kualifikasi
tindak pidana.
Secara umum tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang tercela
yang pembuatnya dapat dipidana. Andi Zainal Abidin Farid 26 berpendapat bahwa:
Disebutkannya unsur-unsur tindak pidana dan unsur-unsur pembuat tindak pidana,
membawa konsekuensi bahwa unsur-unsur itu harus dimuat di dalam dakwaan
penuntut umum dan harus pula dibuktikan di depan sidang pengadilan negeri. Hal
itu tidak berarti bahwa hanya unsur yang disebut secara expressis verbis (tegas) di
dalam undang-undang itu saja yang merupakan unsur-unsur tindak pidana.
Ada unsur-unsur tindak pidana yang sering tidak disebut dalam undangundang, namun diakui sebagai unsur misalnya unsur melawan hukum yang
25
26
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:PT Rineka Cipta, 2008, hal.60.
A.Z, Farid. Abidin,.Asas-Asas Hukum Pidana Bagian 1.Alumni.Bandung, 1995,
hal.202.
Universitas Sumatera Utara
materiil dan yang tidak disebut dalam undang-undang biasa dinamakan unsur
diam-diam yang tidak perIu dimuat dalam dakwaan penuntut umum dan tidak
perlu dibuktikan.
Unsur diam-diam perIu diterima sebagai asumsi, bahwa pembuatnya (dan
penasehat hukum) dapat membuktikan ketiadaan unsur-unsur itu, misalnya
seorang dukun menyunat di sebuah kampung yang tidak mempunyai puskesmas
yang diadili karena menyunat orang tanpa izin praktik, dituntut karena
menganiaya. Perbuatan dapat dibuktikan akan tetapi tidak melawan hukum
materiil, karena profesinya diakui oleh masyarakat dan oleh karena itu
perbuatannya dirasakan tidak tercela.Dalam hubungannya dengan unsur-unsur
tindak pidana, Andi Zainal Abidin Farid 27 berpendapat bahwa walaupun unsurunsur tiap-tiap tindak pidana berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsurunsur yang sama, yaitu:
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif;
b. Akibat (khusus tindak pidana-tindak pidana yang dirumuskan secara materil);
c. MeIawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas dan melawan
hukum materil (unsur diam-diam) dan;
d. Tidak adanya dasar pembenar.
Rusli Effendy 28, yang memakai istilah perbuatan pidana dalam
menerjemahkan strafbaarfeit, merumuskan perbuatan pidana sebagai perbuatan
27
Iibid,. hal.221.
Rusli Effendy, Manusia dan Kejahatan. Lembaga Kriminologi. Unhas. Ujung Pandang,
1983, hal. 47.
28
Universitas Sumatera Utara
yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan dilarang
2. Diancam pidana
3. Melanggar larangan.
Dengan demikian, unsur perbuatan harus dipisahkan dengan unsur
pembuat untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum.
Menurut Tongat 29, menjelaskan bahwa terjadinya tindak pidana harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1). Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif
(tidak berbuat). Dengan handeling dimaksudkan tidak saja perbuatan akan tetapi
melalaikan atau tidak berbuat, seseorang yang tidak berbuat atau melalaikan dapat
dikatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana. Dalam hukum pidana,
kewajiban hukum atau keharusan hukum bagi seseorang untuk berbuat dapat
dirinci dalam 3 (tiga) hal :
a. Undang-undang (de wet)
Undang-undang mengharuskan seseorang untuk berbuat, maka
undang-undang merupakan sumber kewajiban hukum.
b.Dari jabatan
Keharusan yang melekat pada jabatan
c.Dari perjanjian
29
Tongat., Hukum Pidana Materiil. UMM Press. Malang, 2006, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
Keharusan dalam melaksanakan perjanjian.
2). Diancam pidana.
3). Melawan hukum
4). Dilakukan dengan kesalahan
5). Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
6). Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan
Menurut C,S.T Kansil 30, menambahkan:Perumusan unsur tindak pidana
yang dirumuskan oleh Van Hamel ini sebenarnya sama dengan perumusan Simon,
hanya ditambahkan satu syarat lagi yaitu bahwa perbuatan tersebut harus pula
patut dipidana oleh UU (Een Strafbaar Feit is een door de wet straftbaar gesteld
feit), jadi menurut beliau, unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif
(tidak berbuat).
2. Diancam pidana.
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
6. Perbuatan tersebut harus pula patut dipidana oleh undang-undang
Dijelaskan lebih lanjut oleh Moeljatno bahwa :Unsur-unsur terjadinya
delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu akibat dan perbuata
tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif dan objektif. Adapun
unsur melawan hukum subjektif yang dimaksud adalah adanya kesengajaan dari
30
C.S.T. Kansil; Pokok-pokok Hukum Pidana Untuk Tiap-Tiap Orang, Pradnya Paramita,
Bandung, 2007, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pembuat delik untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum,
sedangkan unsur melawan hukum objektif penilaiannya bukan dari pembuat,
tetapi dari masyarakat.
C. S. T Kansil, dan Christine S.T Kansil 31, mengemukakan bahwa tindak
pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur, yakni:
1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);
2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang (wettelijke
omschrijving);
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
4.Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
5.Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
Andi Zainal Abidin Farid 32 menuliskanunsur delik menurut pandangan
monoisme dan pandangan dualisme sebagai berikut: Unsur delik menurut aliran
monoisme hanya mengenal unsur perbuatan dan pembuat sedangkan unsur delik
menurut aliran dualisme yaitu:
a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik materil);
b. Yang melawan hukum yang objektif dan subjektif;
c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana
d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; dan
e. Tak adanya alsan pembenar.
31
Ibid,. hal.37.
A.Z. Farid, Abidin dan Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. PT. Yasrif
Watampone : Jakarta, 2010, hal. 175-179.
32
Universitas Sumatera Utara
Adami Chazawi 33 dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPidana), dapat
diketahui adanyan 11 unsur tindak pidana, yaitu;
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i.
Unsur objek hukum tindak pidana;
j.
Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
3. Jenis-jenis Tindak Pidana
Setelah mencoba menguraikan tindak pidana darisegi pengertian dan
unsur-unsur tindak pidana, berikut ini akan diuraikan tentang jenis-jenis dari
tindak pidana.Dalam usaha untuk menemukan pembagian yang lebih tepat
terhadap tindak pidana, para guru besar telah membuat suatu pembagian dari
tindakan-tindakan melawan hukum kedalam dua macam “Onrecht”, yang mereka
sebut ”Crimineel Onrecht”dan “Policie Onrecht”.
33
Adami, Chazawi, Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2008,
hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
Crimineel Onrechtadalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut
sifatnya adalah bertentangan dengan “Rechtsorde” atau “tertib hukum” dalam arti
yang lebih luas daripada sekedar “kepentingan-kepentingan”, sedang ”Police
Onrecht” adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya adalah
bertentangan
dengan
“kepentingan-kepentingan
yang
terdapat
di dalam
masyarakat”.34
Sebelumnya, para pembentuk kitab undang-undang hukum pidana telah
membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut Rechtsdelicten dan
Wetsdelicten.Rechtsdelicten adalah delik yang pada kenyataanya mengandung
sifat melawan hukum sehingga orang pada umumnya menganggap bahwa
perbuatan tersebut harus dihukum, misalnya tindak pidana pencurian atau
pembunuhan. Sedangkan Wetsdelicten tindakan-tindakan yang mendapat sifat
melawanhukumnya ketika diatur oleh hukum tertulis, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa dalam hal pembagian jenis tindak
pidana ternyata bukan lagi hal yang baru bagi dunia hukum. Untuk
KUHPidanaIndonesia, membagi ke dalam 2 pembagian, yang pertama kejahatan
(misdrijven) yang terdapat dalam buku II danpelanggaran (overtredingen) yang
terdapat dalam buku III.Selain yang dikenal dalam KUHPidanatersebut,35 dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana juga dikenal beberapa jenis tindak pidana
lainnya, diantaranya adalah :
34
35
Ibid., hal. 98.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
a. Delik Formal dan Delik Materil
Delik formaladalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang,
contohnya pencurian.Sedangkan delik materil adalah delik yang dianggap selesai
dengan timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, misalnya yang diatur dalam Pasal 338 KUHP mengenai
pembunuhan.Pelaku dari Pasal 338 KUHP dapat dihukum ketika akibat dari
perbuatanya telah terpenuhi, yaitu mati atau hilangnya nyawa seseorang.
b. Opzettelijke delicten dan Culpooze delicten
Opzettelijke delicten adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan
unsur-unsur kesengajaan.Pada dasarnya kesengajaan dalam hukum pidana dikenal
dalam tiga bentuk yaitu :
1. Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als oogmerk),
2. Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij zekerheidsbewustzijn of
noodzakelijkheidsbewustzijn),
3. Kesengajaan
dengan
sadar
kemungkinan
(Opzet
bij
mogelijkheidsbewustzijn, of voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).
Unsur kesengajaan sebagai maksud bahwa si pelaku memang benar-benar
menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatannya, sedangkan kesengajaan
sebagai kepastian adalah baru dianggap ada apabila si pelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang mendasar dari tindak
pidana tersebut, tetapi pelaku tahu bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
Universitas Sumatera Utara
perbuatan tersebut. Sementara kesengajaan dengan sadar kemungkinan adalah
keadaan yang pada awalnya mungkin terjadi dan pada akhirnya betul-betul terjadi.
Sementara itu, Culpooze delictenadalah delik-delik atau tindakpidana yang
dapat dihukum meskipun tidak ada unsur kesengajaan dalam melakukan
perbuatan tersebut. Van Hamel membagi culpa atas dua jenis 36, yaitu :
a. Kurang melihat kedepan yang perlu
b. Kurang hati-hati yang perlu.
Yang pertama terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau
sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan yang kedua
misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya, padahal
ada.Kelalaian merupakan perbuatan yang tidak disengaja akan tetapi merupakan
perbuatan yang terjadi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi
oleh hukum, atau tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh hukum, atau
tidak mengindahkan larangan peraturan hukum, dan merupakan suatu jenis
kesalahan menurut hukum pidana.
c.Gewone delicten danKlacht delicten
Gewone delicten adalah delik atau tindak pidana biasa yang dapat dituntut
tanpa adanya suatu pengaduan.Sementara Klacht delicten adalah tindak pidana
aduan, dalam tindak pidana tersebut, penuntutan dapat dilakukan jika terdapat
pengaduan.
Menyinggung masalah pengaduan, terdapat 2 (dua) bagian, yaitu absolute
klachtdelicten dan relative klachtdelicten.Absolute klachtdelicten adalah tindak
36
A.Z. Farid, Abidin dan Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. PT. Yasrif
Watampone : Jakarta, 2010, hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
pidana yang pelakunya dapat dituntut dengan syarat adapengaduan dan pihak
pengaduhanya menyebutkan peristiwanya saja, contohnya perzinahan.Sedangkan
relative klachtdelicten adalah tindak pidana yang berdasarkan pengaduan juga,
tapi antara korban dan pelaku terdapat hubungan khusus, misalnya pencurian
dalam keluarga.Dalam tindak pidana pengaduan relatif ini, pengadu harus
menyebutkan orang-orang yang dia duga merugikan dirinya.
Bentuk tindak pidana aduan relatif, dimana aparat penegak hukum dapat
melakukan penuntutan terhadap orang yang namanya telah disebutkan oleh
pengadu sebagai orang yang telah merugikan dirinya.Jadi apabila dalam
pengaduan tersebut ada pihak-pihak lain yang kemudian namanya tidak disebut,
maka pihak-pihak itu tidak dapat dituntut.Selain membahas masalah siapa yang
berhak melakukan pengaduan, dalam UU juga diatur masalah jangka waktu
seseorang dapat melakukan pengaduan.Jangka waktu tersebut diatur dalam Pasal
74 ayat (1) KUHPidanaJangka waktu yang diatur dalam KUHPidanatersebut
adalah enam bulan apabila orang yang berwenang untuk mengajukan pengaduan
bertempat tinggal di Indonesia, dan sembilan bulan apabila bertempat tinggal di
luar Indonesia.Jangka waktu tersebut terhitung pada saat orang tersebut
mengetahui tentang terjadinya sesuatu tindakan yang telah merugikan dirinya.
d. Delicta Commissionis dan Delicta Omissionis
Perbuatan melawan hukum dapat terjadi ketika berbuat sesuatu yang
dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya.Delik Commissionis adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadaplarangan-larangan di dalam undangundang, contohnya adalah pemalsuan surat, pemerkosaan dan pencurian.
Universitas Sumatera Utara
Sementara delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
keharusan-keharusan menurut undang-undang, misalnya orang yang menimbulkan
kegaduhan dalam persidangan, tidak memenuhi panggilan sebagai saksi.
Selain yang ada diatas, dalam berbagai literatur lainnya, masih ada
beberapa jenis tindak pidana yang lain.
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Defenisi Tindak Pidana Korupsi
Menurut
asal kata,
korupsi
berasal
dari
kata
berbahasa
latin,
corruptio.Kata ini sendiri punya kata kerjadasar yaitucorrumpereyang artinya
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Pengertian
korupsi dalam
Kamus
Peristilahaan 37diartikan
sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingandiri dan
merugikan negara dan rakyat.
Dalam Ensiklopedia Indonesia 38 disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin:
corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan
–badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Baharuddin
Lopa
mengutip
pendapat
dari
David
M.Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,
dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari
37
M.D.J.Al Barry, Kamus Peristilahaan Modern dan Populer 10.000 Istilah. Surabaya:
Indah Surabaya, 1996, hal. 208.
38
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi:“financial manipulations and
deliction injuriousto the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan
keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering
dikategorikan perbuatan korupsi)” 39.
Selanjutnya ia menjelaskan:“the term is often applied also to
misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga
digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang
perekonomian umum)”
Dikatakan pula:“disguised payment in the form of gifts, legal fees,
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship sacrafices
the public and welfare, with or without the implied payment of money, is ususally
considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah,
ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,
pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yanf merugikan kepentingan
dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap
sebagai perbuatan korupsi)”
Baharuddin Lopa menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang
diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah:“electoral corruption
includes purchase of vote with money, promises of office or special favors,
coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision,
or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk
memperoleh suara dengan uang, janji dengan uang, janji dengan jabatan atau
39
Ibid,. hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan
memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif,
keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan)”
Dunia internasional memberikan pengertian korupsi berdasarkan Black
Law Dictionary 40:“Corruption an act done with an intent to give some advantage
inconsistent with official duty and and the rights of others. The act of an official of
fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to
procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the
right of others” yang artinya“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah
maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan
tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Suatu perbuatan dari sesuatu yang
resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan
penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran –kebenaran lainnya”.
Menurut Transparency International, korupsi merupakan:“korupsi sebagai
perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka”.
40
Surachmin&Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2011,
hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Menurut buku KPK 41,tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi7
macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan yang Merugikan Negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi2 bagian
yaitu:
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara.
Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang –Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang –Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK):
(1) ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
200.000.000,00
(dua
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
(2) ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1)dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.”
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan
negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan
41
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur
penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena
jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU
PTPK sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan
pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”
b. Suap-Menyuap
Suap–menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang
atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap
pegawai negei yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang
memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini
telah diatur dalam UUPTPK:
a. Pasal 5 ayat (1) UU PTPK;
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK;
c. Pasal 5 ayat (2) UU PTPK;
d. Pasal 13 UU PTPK;
Universitas Sumatera Utara
e. Pasal 12 huruf a PTPK;
f. Pasal 12 huruf b UU PTPK;
g. Pasal 11 UU PTPK;
h. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK;
i.
Pasal 6 ayat (1) huruf b UU PTPK;
j.
Pasal 6 ayat (2) UU PTPK;
k. Pasal 12 huruf c UU PTPK;
l.
Pasal 12 huruf d UU PTPK.
C. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Koupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah
setiapmorang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri stsu orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan wewenang maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekononian Negara.
Berdasarkan Gone Theory yang dikemukakan ole hack Bologne, ada
beberapa yang menyebabkan terjadinya korupsi42, yaitu:
1. Greeds (keserakahan)
2. Opportunities(kesempatan melakukan kecurangan)
3. Needs (kebutuhan hidup yang sangat banyak)
42
Pope Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
4. Exposures (pengungkapan); tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan tidak
begitu jelas.
Negara Indinesia sendiri, korupsi dapat dengan mudah terjadi karena
penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Hukum yang ada hanya bersifat
sementara dan selalu berubah setiap pergantian pemerintahan. Hal ini membuat
orang berani unruk melakukan tindakan korupsi karena konsekuensi bila
ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi. Saat tertangkap pun biasa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
Agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah
korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk
agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara
beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran
social.
Sejak zaman penjajahan dulu, Indonesia sudah terbiasa untuk member
upeti, imbalan jasa dan hadiah. Budaya ini terus dijalankan hingga sekarang
sehingga suap-menyuapbukan hal yang aneh lagi. Selain itu, budaya serba
membolehkan dan tidak mau tahu membuat orang beranggapan bahwa korupsi
adalah hal biasa karena sering terjadi, bahkan sudah membuddaya.
Fenomena dikehidupan dunia politik, seseorang dapat dengan mudah
terpengaruh untuk melakukan tindak pidana korupsi karena langkanya lingkungan
yang antikorup. System dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
Universitas Sumatera Utara
formalitas. Ada juga yang takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan untuk menyalahgunakan dan menikmati kesempatan yang ada.
Apalagi dengan rendahnya pendapatan Negara, korupsi semakin menjadi-jadi.
Pendapatan yang diperoleh tidak mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara
Negara, tidak mampu mendorong pemyelenggara Negara untuk berprestasi dan
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kemiskinan membuat seseoarang melakukan tindak pidana korupsi
dengan dalih mengalami kesulitan ekonomi. Keluarga yang terus meenerus
mendesaknya untuk menghasilkan uang lebih banyak, membuatnya gelap mata
dan tidak takut lagi dengan dosa. Namun, secara tidak sadar korupsi telah
menyebabkan kemiskinan meningkat karena hal tersebut membawa dampak buruk
pada pembangunan social dan ekonomi. 43
Bukan hanya orang tidak mampu, orang yang sudah kaya raya sekalipun
memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini
berkaitan denga adanya perilaku serakah yang ada dalam setiap orang. Mereka
adalah orang yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
Jadi korupsi tidak hanya disebabkan oleh sifat koruptor itu sendiri, tetapi
lingkunagn dimana mereka tinggal yang dapat mempengaruhi terbentuknya sifat
individu di dalam diri manusia.
43
www.academia.edu/7174050/FAKTOR-FAKTOR _ PENYEBAB _ TINDAK _ PIDA
NA _KORUPSI, diakses pada tanngal 02 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
D. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Terhadap Orang Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 31 jo Undang-undang No.
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan
dalam keadaan tertentu.
b. Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,-
(dua ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.
1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian
Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun
dan/ atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah)bagi setiap
Universitas Sumatera Utara
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan/ atau denda paling sedikit
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dengan
sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau
tdak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29,
pasal 35 dan pasal 36.
c. Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah terhadap terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waltu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tatap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan Undang-undang No. 31 tahu 1999 jo Undang-undang No.
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
2. Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Atau Atas Nama
Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda denagn
ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui
prosedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/ atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersenut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan suatu pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor. 44
E. Penyalahgunaan Jabatan
44
http://agushutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesiatinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidanakorupsi/, diakses tanggal 02 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti penyalahgunaan wewenang
adalah: “perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menyalahgunakan kekuasaan yang membuat keputusan” 45.
Penyalahgunaan wewenangyangdimasukkan sebagai bagian inti delik
(bestanddeel delict) tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 UU PTPKmenyebutkan,
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atauperekonomian negara. Selain itu tidak dijelaskan lagi secara lengkap yang
dimaksud
penyalahgunaan
wewenang
sehingga
menimbulkan
implikasi
interpretasi yang beragam.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah
seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan
penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan
orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 UU
PTPK.Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal –
pasallain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan,antara lain:
a. Pasal 9 UU PTPK;
b. Pasal 10 huruf a UU PTPK;
c. Pasal 10 huruf b UU PTPK;
d. Pasal 10 huruf c UU PTPK.
45
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1997, hal. 1128.
Universitas Sumatera Utara
F. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian pidana
Untuk Memberikan penjelasan tentang arti “pidana” para ahli hukum
memberikan
banyak
rumusan
pidana
antara
lain,Menurut:
Adami
Chazawi,mengartikan bahwapidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu
penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang telah
melanggar larangan hukum pidana.
Hal ini hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Prof.Roeslan Saleh, S.H.:46bahwa pidana adalah reaksi atas delik yang banyak
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat
delik.
2. Jenis-jenis Pidana
Mengenai teori pemidanaan dalamliteratur hukum tersebut dengan teori
hukum pidana/stafrecht-theorian berhubungan langsung dengan pengertian hukum
pidana subjektif. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar hak
negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.Dalam Pasal 10
KUHPidana terdiri atas:
a.Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
46
Bambang, Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika : Jakarta, 2008, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda
5.Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946).
b.Pidana tambahan
1.Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2.Pidana perampasan barang-barang tertentu
3.Pidana pengumuman keputusan hakim
Teori Pemidanaan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan
2. Teori relatif atau teori tujuan
3.Teori gabungan
1. Teori absolut
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat, penjatuhan pidana yang
ada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah
membuat
penderitaan
terhadap
orang
lain.Akan
tetapi,
ternyata
kata
“vergelding”atau “pembalasan”” ini biasanya dipergunakan sebagaiTindakan
pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu :
a. Dijatuhkan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan).
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
2. Teori relatif atau teori tujuan
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Unuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat itu sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau tetapi juga pada masa
depan.Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana saja. Dengan demikian, teori-teori ini juga dinamakan teori-teori “tujuan”.
Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar di kemudian hari
kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).
Menurut Zevenbergen terdapat tiga macam “memperbaiki si penjahat” ini,
yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.Sementara itu,
sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu 47 :
1.Pencegahan umum.
2.Pencegahan khusus.
3. Teori Gabungan atau Campuran
Teori gabungan ini berdasarkan pidana pada asas Pembalasan
dan asas Pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungannya dapat dibedakan yaitu
sebagai berikut :
1.
Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
melampaui
batas
dari
apa
yang
perlu
dan
cukup
untuk
dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
47
Wirjono, Prodjodikoro, Asas-Asas HukumPidana di Indonesia.Refika Aditama.
Bandung, 2003, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
2.
Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh berat dari perbuatan
yang dilakukan terpidana.
Menurut Simons:Dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar
sekundernya
adalah
pencegahan
khusus,
pidana
terutama
ditujukan
padapencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam undangundang.
G. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
1. Pertimbangan Hukum
a. Dasar Pemberatan Pidana Umum
a.1. Dasar Pemberatan Pidana Karena Jabatan
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52KUHPidana yang
rumusan lengkapnya adalah bilamana seseorang pejabat karena melakukan pidana
melanggar sesuatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau padawaktu melakukan
tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepada
jabatannya, pidananya ditambah sepertiga. Dasar pemberatan pidana tersebut
dalam Pasal 52 KUHPidanaini adalah terletak pada keadaaan jabatan dari kualitas
si pembuat (pejabat atau pegawai negeri), 4(empat) hal dalam melakukan tindak
pidana dengan:
1.
Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatanya
2.
Memakai kekuasaan jabatannya.
3.
Menggunakan kesempatan karena jabatannya.
Universitas Sumatera Utara
4.
Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Jadi pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 KUHPidan ini berlaku
umum seluruh jenis dan bentuktindak pidana, kecuali pada
kejahatan dan
pelanggaranjabatan. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 KUHPidana dengan
subjek hukum kejahatanpelanggaran jabatan adalah sama yakni pegawai
negeritetapi ada perbedaan antara tindak pidana denganmemperberat atas dasar
Pasal 52 ini dengan kejahatandan pelanggaran jabatan.
a. Tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan
KUHPidana pada dasarnya
menggunakan Pasal 52
Pasal 52
KUHPidana pada
dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggar jabatan hanyalah
dapat dilakukan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh
subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja.
a.2. Dasar Pemberatan Pidana dengan menggunakansarana
bendera
Kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakansarana karena
bendera dirumuskan dalam Pasal 52 a KUHPidana dengan rumusan: Bilamana
pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.Ketentuan ini
ditambahkan kedalam KUHPidana berdasarkan Undang–Undang No. 73 Tahun
1958. Alasan pemberatan pidana yang diletakkanPada penggunaan bendera
kebangsaan RepublikIndonesia,dari sudut objektif dapat mengelabui orang–orang
dapat menimbulkan kesan seolah–olah apa yang dilakukan sipembuat itu adalah
Universitas Sumatera Utara
sesuatu perbuatan yangresmi, sehingga oleh karenanya dapat memperlancaratau
mempermudah si pembuat dalam usahanyamelakukan kejahatan. Dalam Pasal 52
a KUHPidana ini tidak ditentukan tentang bagaimana caranya dalammenggunakan
bendera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatanitu, oleh sebab itu dapat
dengan menggunakan cara apapun, yang penting kejahatan itu terwujud.
Pasal 52 a KUHPidana menyebutkan secara tegas penggunaan bendera
kebangsaan adalah waktu melakukan kejahatan, maka disana tidak berlaku pada
pelanggaran. Disini berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut
Undang–Undang diluar KUHPidana.
a.3. Dasar Pemberatan Pidana Karena Pengulangan (Recidive)
Ada 2 (dua) arti pengulangan, yaitu pengulangan, yang satumenurut
masyarakat (sosial) dan yang lain dalam artihukum
pidana. Yang pertama,
masyarakat menganggapbahwa setiap orang yang setelah pidana, menjalaninya
yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disina adapengulangan, tanpa
memperlihatkan syarat–syarat lainnya.Tetapi pengulangan dalam arti pidana, yang
merupakan dasar pemberat pidana ini, tidak cukup hanya melihat berulangnya
melakukan tindak
pidana, tetapi dikaitkan pada syarat–syarat tertentu yang
ditetapkan Undang–Undang.
Undang–Undang sendiri tidak mengatur mengenaipengulangan umum
(general recidive) yang artinyamenentukan pengulangan berlaku untuk dan
terhadapsemua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHPidana mengatur
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokan tindak–tindak pidana tertentu
dengan syarat–syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan
hanya
terbatas
pada
tindak
pidana–tindak
pidana
tertentu
yang
disebutkandalam Pasal486, 487, 488 KUHPidana
2. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 368, 387 dan 388 itu, KUHPidana juga
menentukan beberpa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 487 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat
(3).
b. Dasar Pemberatan Pidana Khusus
Maksud diperberatnya pidana dasar pemberat pidanakhusus ini adalah
pada si pembuat dapat dipidanamelampaui atau diatas ancaman maksimum
padatindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan
secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Disebut dasar
pemberat khusus karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang
dicantumkannya alasan pemberatan itu saja, dan tidak berlaku pada tindak pidana
lain. Dilihat dari berat ringannya ancaman pidana pada tindak pidana tertentu
yang sama atau kualifikasinya, maka dapat dibedakan dalam tindak pidana dalam
bentuk pokok (bentuk standar), bentuk yang lebih berat (gequalificeerde) dan
bentuk yang lebih ringan (gepprivilegerde). Pada Pasal mengenai tindak pidana
dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap (sempurna) unsur–unsurnya
(kecuali seperti Pasal 351, penganiayaan), artinya rumusan dalam bentuk pokok
mengandung arti yuridis dari
(kualifikasi) jenis pidana itu, yang ancaman
pidananya berada di antara bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan.
Universitas Sumatera Utara
Mencantumkan/meletakkan unsur pemberat khusus daribentuk pokok suatu jenis
tindak pidana, ternyata dilakukandengan 3 (tiga) macam cara :
1. Dengan mencantumkan dalam satu Pasal dari rumusan bentuk pokoknya,
tetapi pada ayat yang berbeda. Misalnya pada penganiayan (Pasal 351
KUHPidana), bentuk pokonya dirumuskan pada ayat (1), unsur
pemberatnya mengenai akibat luka berat dan kematian dirumuskan pada
ayat (2 dan 3).
2. Dengan mencantumkan pada Pasal diluar Pasal yang laindari rumusan
bentuk pokoknya, penggelapan yang dilakukan oleh orang uang mengusai
benda karena : hubungan kerja, pencarian atau karena mendapat upah
khusus untuk itu (Pasal 374 KUHPidana) atau yang dilakukan oleh orang
yang karena dititipkan dengan terpaksa, atau oleh wali, pengampu, wali,
pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap benda yang dikuasainya
(Pasal 375 KUHPidana) masuk dalam kelompok jenis/bab kejahatan
penggelapan.
3. Menyebutkan dasar pemberatan itu dalam Pasal lain diluar Pasal mengenai
jenis tindak pidana yang sama, misalnya pada dasar pemberatan pidana
kejahatan pemeresan (Pasal 368 KUHPidana) masuk dalam Bab XXIII
dengan menunjuk berlakunya dasar pemberat pada Pasal 365 ayat 2 dan 4
(Pasal 368 ayat 2 KUHPidana) dalam Bab XXIII.
2. Petimbangan Subjektif
Perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh Undang–
Undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku(seorang atau beberapa
Universitas Sumatera Utara
orang). Dilihat dari unsur–unsur pidana ini, maka suatu perbuatanyang dilakukan
oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya
dapat dinyatakansebagai
peristiwa pidana. Syarat–syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa
pidana adalah sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan, maksudnya memang benar ada suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat
sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain
sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukumyang memenuhi
isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya benar–benar
telah berbuat seperti yang terjadi. Pelaku wajib mempertanggungjawabkan
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini,
hendaknya dapat dibedakan bahwa ada perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu dapat
disebabkan diakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam
melaksanakan tugas membela diri dari ancaman orang lain yang
menggangu keselamatan dan dalam keadaan darurat.
c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh
ketentuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
d. Harus melawan dengan hukum, Artinya suatu perbuatan yang berlawanan
dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata–nyata bertentangan
dengan aturan hukum.
e. Harus tersedia ancaman huk
TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis
normatif).Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau
kriminologis.Kejahatan atau perbuatan jahat dalam artiyuridis normatifadalah
perbuatan seperti yang terwujudin abstractodalam peraturan pidana.
Istilah tindak pidana (delik) berasal dari istilah yangdikenal dalam hukum
pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wetboek
van Strafrecht (WvS) Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda
Nv.sNI, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang yang dimaksud dengan
strafbaar feit itu. Oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan
arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaaman
pendapat tentang rumusan ilmiah strafbaar feit itu sendiri. Pembentuk undang–
undang Indonesia telah menerjemahkanperkataan strafbaar feit sebagai tindak
pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu
penjelasan mengenai yang dimaksud dengan perkataan strafbaar feit tersebut.
Gambaran secara jelas tentang pengertian tindak pidana atau delik, berikut
beberapa pandangan ahli hukum, yaitu: menurut POMPE 22, perkataan strafbaar
feit Itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai“suatu pelanggaran norma
22
P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti :
Bandung, 1997, hal. 182.
Universitas Sumatera Utara
(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum” atau sebagai de normovertreding (verstoring der rechtsorde),
waaran de overtreder schuldheeft en waarvan de bestraffing dienstig is voor de
handhaving der rechts orde en de benhartigining van het algemeen welzijn”
Akan tetapi, SIMONS telah merumuskan “strafbaar feit”itu sebagai
suatu 23 :“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan
atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”.
Alasan dariSIMONSMerumuskanseperti uraian di atas adalah karena :
a) Untuk adanya suatu strafbaar feit itu disyaratkan bahwa di situ harus
terdapat suatu yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undangundang, di mana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam
itu telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum;
b) agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam
undang -undang, dansetiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap
larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya
merupakan suatu tindakan melawan hukum atau merupakan suatu
“onrechmatige handeling”.
23
Ibid,. hal 185.
Universitas Sumatera Utara
Van Hammel (Moeljatno, 2008:61) merumuskan sebagai berikut :
“straafbar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)yang
dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana
(strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan”.
Van HATTUM, mengemukakan bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat
dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurutnya,
perkataan strafbaar itu berarti voor straf in aanmerking komend atau straf
verdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga
perkataan strafbaar feit seperti yang terlah digunakan dalam Undang-undang
Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu: “tindakan, yang
karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat
dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is 24”.
Perkataan eliptis di atas adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar
elips di dalam bahasa Belanda yang menurut Van de WOESTIJNE mempunyai
pengertian sebagai: “perbuatan menghilangkan sebagian dari suatu kalimat yang
dianggap tidak perlu untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat-tepatnya”
atau sebagai “de weglating van een zinsdeel, dat voor de juiste begrip van de
gedachte neit noodzakelijk wordt geacht.”
Istilah tindak pidana juga sering digunakan dalam perundang-undangan,
meskipun kata “tindak” lebih pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak
menunjuk kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan
keadaan konkret, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa
24
Ibid,. hal 184.
Universitas Sumatera Utara
tindak adalah kelakuan, tingkah laku, gerak -gerik atau sikap jasmani seseorang,
hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan
belakangan juga sering dipakai “ditindak” 25.
Berdasarkan berbagai rumusan tentang tindak pidana, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum
yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana. Sehubungan dengan uraian di
atas, makapenulis menguraikan unsur-unsur tindak pidana.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Jika diteliti peraturan perundang-undangan pidana Indonesia seperti
KUHPidana dan peraturan di bidang hukum pidana, tidak ditemukan pengertian
tindak pidana. Tiap-tiap pasal UU tersebut
hanya menguraikan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dan bahkan ada yang hanya menyebut kualifikasi
tindak pidana.
Secara umum tindak pidana dapat diartikan sebagai perbuatan yang tercela
yang pembuatnya dapat dipidana. Andi Zainal Abidin Farid 26 berpendapat bahwa:
Disebutkannya unsur-unsur tindak pidana dan unsur-unsur pembuat tindak pidana,
membawa konsekuensi bahwa unsur-unsur itu harus dimuat di dalam dakwaan
penuntut umum dan harus pula dibuktikan di depan sidang pengadilan negeri. Hal
itu tidak berarti bahwa hanya unsur yang disebut secara expressis verbis (tegas) di
dalam undang-undang itu saja yang merupakan unsur-unsur tindak pidana.
Ada unsur-unsur tindak pidana yang sering tidak disebut dalam undangundang, namun diakui sebagai unsur misalnya unsur melawan hukum yang
25
26
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:PT Rineka Cipta, 2008, hal.60.
A.Z, Farid. Abidin,.Asas-Asas Hukum Pidana Bagian 1.Alumni.Bandung, 1995,
hal.202.
Universitas Sumatera Utara
materiil dan yang tidak disebut dalam undang-undang biasa dinamakan unsur
diam-diam yang tidak perIu dimuat dalam dakwaan penuntut umum dan tidak
perlu dibuktikan.
Unsur diam-diam perIu diterima sebagai asumsi, bahwa pembuatnya (dan
penasehat hukum) dapat membuktikan ketiadaan unsur-unsur itu, misalnya
seorang dukun menyunat di sebuah kampung yang tidak mempunyai puskesmas
yang diadili karena menyunat orang tanpa izin praktik, dituntut karena
menganiaya. Perbuatan dapat dibuktikan akan tetapi tidak melawan hukum
materiil, karena profesinya diakui oleh masyarakat dan oleh karena itu
perbuatannya dirasakan tidak tercela.Dalam hubungannya dengan unsur-unsur
tindak pidana, Andi Zainal Abidin Farid 27 berpendapat bahwa walaupun unsurunsur tiap-tiap tindak pidana berbeda, namun pada umumnya mempunyai unsurunsur yang sama, yaitu:
a. Perbuatan aktif/positif atau pasif/negatif;
b. Akibat (khusus tindak pidana-tindak pidana yang dirumuskan secara materil);
c. MeIawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas dan melawan
hukum materil (unsur diam-diam) dan;
d. Tidak adanya dasar pembenar.
Rusli Effendy 28, yang memakai istilah perbuatan pidana dalam
menerjemahkan strafbaarfeit, merumuskan perbuatan pidana sebagai perbuatan
27
Iibid,. hal.221.
Rusli Effendy, Manusia dan Kejahatan. Lembaga Kriminologi. Unhas. Ujung Pandang,
1983, hal. 47.
28
Universitas Sumatera Utara
yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut
dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1. Perbuatan dilarang
2. Diancam pidana
3. Melanggar larangan.
Dengan demikian, unsur perbuatan harus dipisahkan dengan unsur
pembuat untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana yang
didakwakan oleh penuntut umum.
Menurut Tongat 29, menjelaskan bahwa terjadinya tindak pidana harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1). Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif
(tidak berbuat). Dengan handeling dimaksudkan tidak saja perbuatan akan tetapi
melalaikan atau tidak berbuat, seseorang yang tidak berbuat atau melalaikan dapat
dikatakan bertanggungjawab atas perbuatan pidana. Dalam hukum pidana,
kewajiban hukum atau keharusan hukum bagi seseorang untuk berbuat dapat
dirinci dalam 3 (tiga) hal :
a. Undang-undang (de wet)
Undang-undang mengharuskan seseorang untuk berbuat, maka
undang-undang merupakan sumber kewajiban hukum.
b.Dari jabatan
Keharusan yang melekat pada jabatan
c.Dari perjanjian
29
Tongat., Hukum Pidana Materiil. UMM Press. Malang, 2006, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
Keharusan dalam melaksanakan perjanjian.
2). Diancam pidana.
3). Melawan hukum
4). Dilakukan dengan kesalahan
5). Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
6). Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan
Menurut C,S.T Kansil 30, menambahkan:Perumusan unsur tindak pidana
yang dirumuskan oleh Van Hamel ini sebenarnya sama dengan perumusan Simon,
hanya ditambahkan satu syarat lagi yaitu bahwa perbuatan tersebut harus pula
patut dipidana oleh UU (Een Strafbaar Feit is een door de wet straftbaar gesteld
feit), jadi menurut beliau, unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun negatif
(tidak berbuat).
2. Diancam pidana.
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
6. Perbuatan tersebut harus pula patut dipidana oleh undang-undang
Dijelaskan lebih lanjut oleh Moeljatno bahwa :Unsur-unsur terjadinya
delik yaitu jika adanya perbuatan yang menimbulkan suatu akibat dan perbuata
tersebut memenuhi unsur melawan hukum yang subjektif dan objektif. Adapun
unsur melawan hukum subjektif yang dimaksud adalah adanya kesengajaan dari
30
C.S.T. Kansil; Pokok-pokok Hukum Pidana Untuk Tiap-Tiap Orang, Pradnya Paramita,
Bandung, 2007, hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
pembuat delik untuk melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum,
sedangkan unsur melawan hukum objektif penilaiannya bukan dari pembuat,
tetapi dari masyarakat.
C. S. T Kansil, dan Christine S.T Kansil 31, mengemukakan bahwa tindak
pidana atau delik ialah tindakan yang mengandung 5 unsur, yakni:
1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);
2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang (wettelijke
omschrijving);
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
4.Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku;
5.Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
Andi Zainal Abidin Farid 32 menuliskanunsur delik menurut pandangan
monoisme dan pandangan dualisme sebagai berikut: Unsur delik menurut aliran
monoisme hanya mengenal unsur perbuatan dan pembuat sedangkan unsur delik
menurut aliran dualisme yaitu:
a. Perbuatan aktif serta akibat (khusus untuk delik materil);
b. Yang melawan hukum yang objektif dan subjektif;
c. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana
d. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana; dan
e. Tak adanya alsan pembenar.
31
Ibid,. hal.37.
A.Z. Farid, Abidin dan Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. PT. Yasrif
Watampone : Jakarta, 2010, hal. 175-179.
32
Universitas Sumatera Utara
Adami Chazawi 33 dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHPidana), dapat
diketahui adanyan 11 unsur tindak pidana, yaitu;
a. Unsur tingkah laku;
b. Unsur melawan hukum;
c. Unsur kesalahan;
d. Unsur akibat konstitutif;
e. Unsur keadaan yang menyertai;
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;
i.
Unsur objek hukum tindak pidana;
j.
Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;
k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.
3. Jenis-jenis Tindak Pidana
Setelah mencoba menguraikan tindak pidana darisegi pengertian dan
unsur-unsur tindak pidana, berikut ini akan diuraikan tentang jenis-jenis dari
tindak pidana.Dalam usaha untuk menemukan pembagian yang lebih tepat
terhadap tindak pidana, para guru besar telah membuat suatu pembagian dari
tindakan-tindakan melawan hukum kedalam dua macam “Onrecht”, yang mereka
sebut ”Crimineel Onrecht”dan “Policie Onrecht”.
33
Adami, Chazawi, Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori
Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana). PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2008,
hal. 82.
Universitas Sumatera Utara
Crimineel Onrechtadalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut
sifatnya adalah bertentangan dengan “Rechtsorde” atau “tertib hukum” dalam arti
yang lebih luas daripada sekedar “kepentingan-kepentingan”, sedang ”Police
Onrecht” adalah setiap tindakan melawan hukum yang menurut sifatnya adalah
bertentangan
dengan
“kepentingan-kepentingan
yang
terdapat
di dalam
masyarakat”.34
Sebelumnya, para pembentuk kitab undang-undang hukum pidana telah
membuat suatu pembagian ke dalam apa yang mereka sebut Rechtsdelicten dan
Wetsdelicten.Rechtsdelicten adalah delik yang pada kenyataanya mengandung
sifat melawan hukum sehingga orang pada umumnya menganggap bahwa
perbuatan tersebut harus dihukum, misalnya tindak pidana pencurian atau
pembunuhan. Sedangkan Wetsdelicten tindakan-tindakan yang mendapat sifat
melawanhukumnya ketika diatur oleh hukum tertulis, dalam hal ini peraturan
perundang-undangan.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa dalam hal pembagian jenis tindak
pidana ternyata bukan lagi hal yang baru bagi dunia hukum. Untuk
KUHPidanaIndonesia, membagi ke dalam 2 pembagian, yang pertama kejahatan
(misdrijven) yang terdapat dalam buku II danpelanggaran (overtredingen) yang
terdapat dalam buku III.Selain yang dikenal dalam KUHPidanatersebut,35 dalam
ilmu pengetahuan hukum pidana juga dikenal beberapa jenis tindak pidana
lainnya, diantaranya adalah :
34
35
Ibid., hal. 98.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana.
Universitas Sumatera Utara
a. Delik Formal dan Delik Materil
Delik formaladalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya
tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang,
contohnya pencurian.Sedangkan delik materil adalah delik yang dianggap selesai
dengan timbulnya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang, misalnya yang diatur dalam Pasal 338 KUHP mengenai
pembunuhan.Pelaku dari Pasal 338 KUHP dapat dihukum ketika akibat dari
perbuatanya telah terpenuhi, yaitu mati atau hilangnya nyawa seseorang.
b. Opzettelijke delicten dan Culpooze delicten
Opzettelijke delicten adalah perbuatan pidana yang dilakukan dengan
unsur-unsur kesengajaan.Pada dasarnya kesengajaan dalam hukum pidana dikenal
dalam tiga bentuk yaitu :
1. Kesengajaan sebagai maksud (Opzet als oogmerk),
2. Kesengajaan sebagai kepastian (Opzet bij zekerheidsbewustzijn of
noodzakelijkheidsbewustzijn),
3. Kesengajaan
dengan
sadar
kemungkinan
(Opzet
bij
mogelijkheidsbewustzijn, of voorwaardelijk opzet, og dolus eventualis).
Unsur kesengajaan sebagai maksud bahwa si pelaku memang benar-benar
menghendaki perbuatan dan akibat dari perbuatannya, sedangkan kesengajaan
sebagai kepastian adalah baru dianggap ada apabila si pelaku dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang mendasar dari tindak
pidana tersebut, tetapi pelaku tahu bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
Universitas Sumatera Utara
perbuatan tersebut. Sementara kesengajaan dengan sadar kemungkinan adalah
keadaan yang pada awalnya mungkin terjadi dan pada akhirnya betul-betul terjadi.
Sementara itu, Culpooze delictenadalah delik-delik atau tindakpidana yang
dapat dihukum meskipun tidak ada unsur kesengajaan dalam melakukan
perbuatan tersebut. Van Hamel membagi culpa atas dua jenis 36, yaitu :
a. Kurang melihat kedepan yang perlu
b. Kurang hati-hati yang perlu.
Yang pertama terjadi jika terdakwa tidak membayangkan secara tepat atau
sama sekali tidak membayangkan akibat yang akan terjadi. Sedangkan yang kedua
misalnya ia menarik picu pistol karena mengira tidak ada isinya, padahal
ada.Kelalaian merupakan perbuatan yang tidak disengaja akan tetapi merupakan
perbuatan yang terjadi karena kurang perhatian terhadap objek yang dilindungi
oleh hukum, atau tidak melakukan kewajiban yang diharuskan oleh hukum, atau
tidak mengindahkan larangan peraturan hukum, dan merupakan suatu jenis
kesalahan menurut hukum pidana.
c.Gewone delicten danKlacht delicten
Gewone delicten adalah delik atau tindak pidana biasa yang dapat dituntut
tanpa adanya suatu pengaduan.Sementara Klacht delicten adalah tindak pidana
aduan, dalam tindak pidana tersebut, penuntutan dapat dilakukan jika terdapat
pengaduan.
Menyinggung masalah pengaduan, terdapat 2 (dua) bagian, yaitu absolute
klachtdelicten dan relative klachtdelicten.Absolute klachtdelicten adalah tindak
36
A.Z. Farid, Abidin dan Hamzah, Andi. Hukum Pidana Indonesia. PT. Yasrif
Watampone : Jakarta, 2010, hal. 159.
Universitas Sumatera Utara
pidana yang pelakunya dapat dituntut dengan syarat adapengaduan dan pihak
pengaduhanya menyebutkan peristiwanya saja, contohnya perzinahan.Sedangkan
relative klachtdelicten adalah tindak pidana yang berdasarkan pengaduan juga,
tapi antara korban dan pelaku terdapat hubungan khusus, misalnya pencurian
dalam keluarga.Dalam tindak pidana pengaduan relatif ini, pengadu harus
menyebutkan orang-orang yang dia duga merugikan dirinya.
Bentuk tindak pidana aduan relatif, dimana aparat penegak hukum dapat
melakukan penuntutan terhadap orang yang namanya telah disebutkan oleh
pengadu sebagai orang yang telah merugikan dirinya.Jadi apabila dalam
pengaduan tersebut ada pihak-pihak lain yang kemudian namanya tidak disebut,
maka pihak-pihak itu tidak dapat dituntut.Selain membahas masalah siapa yang
berhak melakukan pengaduan, dalam UU juga diatur masalah jangka waktu
seseorang dapat melakukan pengaduan.Jangka waktu tersebut diatur dalam Pasal
74 ayat (1) KUHPidanaJangka waktu yang diatur dalam KUHPidanatersebut
adalah enam bulan apabila orang yang berwenang untuk mengajukan pengaduan
bertempat tinggal di Indonesia, dan sembilan bulan apabila bertempat tinggal di
luar Indonesia.Jangka waktu tersebut terhitung pada saat orang tersebut
mengetahui tentang terjadinya sesuatu tindakan yang telah merugikan dirinya.
d. Delicta Commissionis dan Delicta Omissionis
Perbuatan melawan hukum dapat terjadi ketika berbuat sesuatu yang
dilarang atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya.Delik Commissionis adalah
delik yang berupa pelanggaran terhadaplarangan-larangan di dalam undangundang, contohnya adalah pemalsuan surat, pemerkosaan dan pencurian.
Universitas Sumatera Utara
Sementara delik Omissionis adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
keharusan-keharusan menurut undang-undang, misalnya orang yang menimbulkan
kegaduhan dalam persidangan, tidak memenuhi panggilan sebagai saksi.
Selain yang ada diatas, dalam berbagai literatur lainnya, masih ada
beberapa jenis tindak pidana yang lain.
B. Tindak Pidana Korupsi
1. Defenisi Tindak Pidana Korupsi
Menurut
asal kata,
korupsi
berasal
dari
kata
berbahasa
latin,
corruptio.Kata ini sendiri punya kata kerjadasar yaitucorrumpereyang artinya
busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok.
Pengertian
korupsi dalam
Kamus
Peristilahaan 37diartikan
sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingandiri dan
merugikan negara dan rakyat.
Dalam Ensiklopedia Indonesia 38 disebut “Korupsi” (dari bahasa Latin:
corruptio = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan
–badan negara meyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan,
pemalsuan serta ketidakberesan lainnya.
Baharuddin
Lopa
mengutip
pendapat
dari
David
M.Chalmers,
menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi,
dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari
37
M.D.J.Al Barry, Kamus Peristilahaan Modern dan Populer 10.000 Istilah. Surabaya:
Indah Surabaya, 1996, hal. 208.
38
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
defenisi yang dikemukakan antara lain berbunyi:“financial manipulations and
deliction injuriousto the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan
keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering
dikategorikan perbuatan korupsi)” 39.
Selanjutnya ia menjelaskan:“the term is often applied also to
misjudgements by officials in the public economies (istilah ini sering juga
digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang
perekonomian umum)”
Dikatakan pula:“disguised payment in the form of gifts, legal fees,
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship sacrafices
the public and welfare, with or without the implied payment of money, is ususally
considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah,
ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga,
pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yanf merugikan kepentingan
dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, biasanya dianggap
sebagai perbuatan korupsi)”
Baharuddin Lopa menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang
diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah:“electoral corruption
includes purchase of vote with money, promises of office or special favors,
coercion, intimidation, and interference with administrative of judicial decision,
or governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk
memperoleh suara dengan uang, janji dengan uang, janji dengan jabatan atau
39
Ibid,. hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan
memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif,
keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan)”
Dunia internasional memberikan pengertian korupsi berdasarkan Black
Law Dictionary 40:“Corruption an act done with an intent to give some advantage
inconsistent with official duty and and the rights of others. The act of an official of
fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to
procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and the
right of others” yang artinya“Suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah
maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan
tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya. Suatu perbuatan dari sesuatu yang
resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan
penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran –kebenaran lainnya”.
Menurut Transparency International, korupsi merupakan:“korupsi sebagai
perilaku pejabat publik, mau politikus atau pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengan dirinya, dengan cara menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka”.
40
Surachmin&Suhandi Cahaya, Strategi & Teknik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2011,
hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
2. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Menurut buku KPK 41,tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi7
macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan yang Merugikan Negara
Perbuatan yang merugikan negara, dapat dibagi lagi menjadi2 bagian
yaitu:
1) Mencari keuntungan dengan cara melawan Hukum dan merugikan negara.
Korupsi jenis ini telah dirumuskan dalam Pasal Undang –Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang –Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK):
(1) ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan yang paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit
200.000.000,00
(dua
ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
(2) ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1)dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.”
2) Menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan dan merugikan
negara. Penjelasan dari jenis korupsi ini hampir sama dengan penjelasan
41
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
jenis korupsi pada bagian pertama, bedanya hanya terletak pada unsur
penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana yang dimiliki karena
jabatan atau kedudukan. Korupsi jenis ini telah diatur dalam Pasal 3 UU
PTPK sebagai berikut ;
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di pidana dengan
pidan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”
b. Suap-Menyuap
Suap–menyuap yaitu suatu tindakan pemberian uang atau menerima uang
atau hadiah yang dilakukan oleh pejabat pemerintah untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Contoh ; menyuap
pegawai negei yang karena jabatannya bisa menguntungkan orang yang
memberikan suap, menyuap hakim, pengacara, atau advokat. Korupsi jenis ini
telah diatur dalam UUPTPK:
a. Pasal 5 ayat (1) UU PTPK;
b. Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PTPK;
c. Pasal 5 ayat (2) UU PTPK;
d. Pasal 13 UU PTPK;
Universitas Sumatera Utara
e. Pasal 12 huruf a PTPK;
f. Pasal 12 huruf b UU PTPK;
g. Pasal 11 UU PTPK;
h. Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PTPK;
i.
Pasal 6 ayat (1) huruf b UU PTPK;
j.
Pasal 6 ayat (2) UU PTPK;
k. Pasal 12 huruf c UU PTPK;
l.
Pasal 12 huruf d UU PTPK.
C. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Koupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah
setiapmorang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri stsu orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan wewenang maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekononian Negara.
Berdasarkan Gone Theory yang dikemukakan ole hack Bologne, ada
beberapa yang menyebabkan terjadinya korupsi42, yaitu:
1. Greeds (keserakahan)
2. Opportunities(kesempatan melakukan kecurangan)
3. Needs (kebutuhan hidup yang sangat banyak)
42
Pope Jeremy, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
4. Exposures (pengungkapan); tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh
pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan tidak
begitu jelas.
Negara Indinesia sendiri, korupsi dapat dengan mudah terjadi karena
penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Hukum yang ada hanya bersifat
sementara dan selalu berubah setiap pergantian pemerintahan. Hal ini membuat
orang berani unruk melakukan tindakan korupsi karena konsekuensi bila
ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi. Saat tertangkap pun biasa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
Agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah
korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk
agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara
beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran
social.
Sejak zaman penjajahan dulu, Indonesia sudah terbiasa untuk member
upeti, imbalan jasa dan hadiah. Budaya ini terus dijalankan hingga sekarang
sehingga suap-menyuapbukan hal yang aneh lagi. Selain itu, budaya serba
membolehkan dan tidak mau tahu membuat orang beranggapan bahwa korupsi
adalah hal biasa karena sering terjadi, bahkan sudah membuddaya.
Fenomena dikehidupan dunia politik, seseorang dapat dengan mudah
terpengaruh untuk melakukan tindak pidana korupsi karena langkanya lingkungan
yang antikorup. System dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
Universitas Sumatera Utara
formalitas. Ada juga yang takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan
kesempatan untuk menyalahgunakan dan menikmati kesempatan yang ada.
Apalagi dengan rendahnya pendapatan Negara, korupsi semakin menjadi-jadi.
Pendapatan yang diperoleh tidak mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara
Negara, tidak mampu mendorong pemyelenggara Negara untuk berprestasi dan
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Kemiskinan membuat seseoarang melakukan tindak pidana korupsi
dengan dalih mengalami kesulitan ekonomi. Keluarga yang terus meenerus
mendesaknya untuk menghasilkan uang lebih banyak, membuatnya gelap mata
dan tidak takut lagi dengan dosa. Namun, secara tidak sadar korupsi telah
menyebabkan kemiskinan meningkat karena hal tersebut membawa dampak buruk
pada pembangunan social dan ekonomi. 43
Bukan hanya orang tidak mampu, orang yang sudah kaya raya sekalipun
memiliki kecenderungan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini
berkaitan denga adanya perilaku serakah yang ada dalam setiap orang. Mereka
adalah orang yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
Jadi korupsi tidak hanya disebabkan oleh sifat koruptor itu sendiri, tetapi
lingkunagn dimana mereka tinggal yang dapat mempengaruhi terbentuknya sifat
individu di dalam diri manusia.
43
www.academia.edu/7174050/FAKTOR-FAKTOR _ PENYEBAB _ TINDAK _ PIDA
NA _KORUPSI, diakses pada tanngal 02 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
D. Jenis Penjatuhan Pidana Pada Perkara Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo UndangUndang No. 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim
terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Terhadap Orang Yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi
a. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana
ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang no. 31 jo Undang-undang No.
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan
dalam keadaan tertentu.
b. Pidana Penjara
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,-
(dua ratus
juta
rupiah)
dan
paling
banyak
Rp.
1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) bagi setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan Negara atau perekonomian
Negara. (Pasal 2 ayat 1)
2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 1 (satu) tahun
dan/ atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah)bagi setiap
Universitas Sumatera Utara
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. (Pasal 3)
3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan/ atau denda paling sedikit
Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang yang dengan
sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau
tdak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam
perkara korupsi. (Pasal 21)
4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 600.000.000,- (enam ratus juta
rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29,
pasal 35 dan pasal 36.
c. Pidana Tambahan
1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak
pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun.
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan
oleh pemerintah terhadap terpidana.
5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waltu 1
(satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tatap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut.
6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang
lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan Undang-undang No. 31 tahu 1999 jo Undang-undang No.
20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya
pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
2. Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Atau Atas Nama
Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda denagn
ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui
prosedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/ atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka
korporasi tersenut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut
dapat diwakilkan kepada orang lain.
4. Hakim dapat memerintahkan suatu pengurus korporasi menghadap sendiri
di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut
dibawa ke siding pengadilan.
5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan
untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan
kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor. 44
E. Penyalahgunaan Jabatan
44
http://agushutabarat.wordpress.com/2009/11/06/tindak-pidana-korupsi-di-indonesiatinjauan-uu-no-31-tahun-1999-jo-uu-no-20-tahun-2001-tentang-pemberantasan-tindak-pidanakorupsi/, diakses tanggal 02 Maret 2016.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti penyalahgunaan wewenang
adalah: “perbuatan penyalahgunaan hak dan kekuasaan untuk bertindak atau
menyalahgunakan kekuasaan yang membuat keputusan” 45.
Penyalahgunaan wewenangyangdimasukkan sebagai bagian inti delik
(bestanddeel delict) tindak pidana korupsi dalam Pasal 3 UU PTPKmenyebutkan,
setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atauperekonomian negara. Selain itu tidak dijelaskan lagi secara lengkap yang
dimaksud
penyalahgunaan
wewenang
sehingga
menimbulkan
implikasi
interpretasi yang beragam.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan penyalahgunaan jabatan adalah
seorang pejabat pemerintah yang dengan kekuasaan yang dimilikinya melakukan
penggelapan laporan keuangan, menghilangkan barang bukti atau membiarkan
orang lain menghancurkan barang bukti yang bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri dengan jalan merugikan negara hal ini sebagaiamana rumusan Pasal 8 UU
PTPK.Selain undang-undang tersebut diatas terdapat juga ketentuan pasal –
pasallain yang mengatur tentang penyalahgunaan jabatan,antara lain:
a. Pasal 9 UU PTPK;
b. Pasal 10 huruf a UU PTPK;
c. Pasal 10 huruf b UU PTPK;
d. Pasal 10 huruf c UU PTPK.
45
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1997, hal. 1128.
Universitas Sumatera Utara
F. Pidana dan Pemidanaan
1. Pengertian pidana
Untuk Memberikan penjelasan tentang arti “pidana” para ahli hukum
memberikan
banyak
rumusan
pidana
antara
lain,Menurut:
Adami
Chazawi,mengartikan bahwapidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu
penderitaan yang sengaja dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang telah
melanggar larangan hukum pidana.
Hal ini hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Prof.Roeslan Saleh, S.H.:46bahwa pidana adalah reaksi atas delik yang banyak
berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat
delik.
2. Jenis-jenis Pidana
Mengenai teori pemidanaan dalamliteratur hukum tersebut dengan teori
hukum pidana/stafrecht-theorian berhubungan langsung dengan pengertian hukum
pidana subjektif. Teori-teori ini mencari dan menerangkan tentang dasar hak
negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.Dalam Pasal 10
KUHPidana terdiri atas:
a.Pidana Pokok
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
46
Bambang, Waluyo. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika : Jakarta, 2008, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda
5.Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946).
b.Pidana tambahan
1.Pidana pencabutan hak-hak tertentu
2.Pidana perampasan barang-barang tertentu
3.Pidana pengumuman keputusan hakim
Teori Pemidanaan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan
2. Teori relatif atau teori tujuan
3.Teori gabungan
1. Teori absolut
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat, penjatuhan pidana yang
ada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah
membuat
penderitaan
terhadap
orang
lain.Akan
tetapi,
ternyata
kata
“vergelding”atau “pembalasan”” ini biasanya dipergunakan sebagaiTindakan
pembalasan didalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu :
a. Dijatuhkan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan).
b. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam dikalangan
masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan).
2. Teori relatif atau teori tujuan
Universitas Sumatera Utara
Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu
pidana. Unuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus
dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si
penjahat itu sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau tetapi juga pada masa
depan.Dengan demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana saja. Dengan demikian, teori-teori ini juga dinamakan teori-teori “tujuan”.
Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada upaya agar di kemudian hari
kejahatan yang telah dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).
Menurut Zevenbergen terdapat tiga macam “memperbaiki si penjahat” ini,
yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.Sementara itu,
sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu 47 :
1.Pencegahan umum.
2.Pencegahan khusus.
3. Teori Gabungan atau Campuran
Teori gabungan ini berdasarkan pidana pada asas Pembalasan
dan asas Pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungannya dapat dibedakan yaitu
sebagai berikut :
1.
Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
melampaui
batas
dari
apa
yang
perlu
dan
cukup
untuk
dapat
dipertahankannya tata tertib masyarakat.
47
Wirjono, Prodjodikoro, Asas-Asas HukumPidana di Indonesia.Refika Aditama.
Bandung, 2003, hal. 29.
Universitas Sumatera Utara
2.
Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh berat dari perbuatan
yang dilakukan terpidana.
Menurut Simons:Dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar
sekundernya
adalah
pencegahan
khusus,
pidana
terutama
ditujukan
padapencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam undangundang.
G. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
1. Pertimbangan Hukum
a. Dasar Pemberatan Pidana Umum
a.1. Dasar Pemberatan Pidana Karena Jabatan
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52KUHPidana yang
rumusan lengkapnya adalah bilamana seseorang pejabat karena melakukan pidana
melanggar sesuatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau padawaktu melakukan
tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepada
jabatannya, pidananya ditambah sepertiga. Dasar pemberatan pidana tersebut
dalam Pasal 52 KUHPidanaini adalah terletak pada keadaaan jabatan dari kualitas
si pembuat (pejabat atau pegawai negeri), 4(empat) hal dalam melakukan tindak
pidana dengan:
1.
Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatanya
2.
Memakai kekuasaan jabatannya.
3.
Menggunakan kesempatan karena jabatannya.
Universitas Sumatera Utara
4.
Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya.
Jadi pemberatan pidana berdasarkan Pasal 52 KUHPidan ini berlaku
umum seluruh jenis dan bentuktindak pidana, kecuali pada
kejahatan dan
pelanggaranjabatan. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 KUHPidana dengan
subjek hukum kejahatanpelanggaran jabatan adalah sama yakni pegawai
negeritetapi ada perbedaan antara tindak pidana denganmemperberat atas dasar
Pasal 52 ini dengan kejahatandan pelanggaran jabatan.
a. Tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan
KUHPidana pada dasarnya
menggunakan Pasal 52
Pasal 52
KUHPidana pada
dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
b. Sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggar jabatan hanyalah
dapat dilakukan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh
subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja.
a.2. Dasar Pemberatan Pidana dengan menggunakansarana
bendera
Kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakansarana karena
bendera dirumuskan dalam Pasal 52 a KUHPidana dengan rumusan: Bilamana
pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik
Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut ditambah sepertiga.Ketentuan ini
ditambahkan kedalam KUHPidana berdasarkan Undang–Undang No. 73 Tahun
1958. Alasan pemberatan pidana yang diletakkanPada penggunaan bendera
kebangsaan RepublikIndonesia,dari sudut objektif dapat mengelabui orang–orang
dapat menimbulkan kesan seolah–olah apa yang dilakukan sipembuat itu adalah
Universitas Sumatera Utara
sesuatu perbuatan yangresmi, sehingga oleh karenanya dapat memperlancaratau
mempermudah si pembuat dalam usahanyamelakukan kejahatan. Dalam Pasal 52
a KUHPidana ini tidak ditentukan tentang bagaimana caranya dalammenggunakan
bendera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatanitu, oleh sebab itu dapat
dengan menggunakan cara apapun, yang penting kejahatan itu terwujud.
Pasal 52 a KUHPidana menyebutkan secara tegas penggunaan bendera
kebangsaan adalah waktu melakukan kejahatan, maka disana tidak berlaku pada
pelanggaran. Disini berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut
Undang–Undang diluar KUHPidana.
a.3. Dasar Pemberatan Pidana Karena Pengulangan (Recidive)
Ada 2 (dua) arti pengulangan, yaitu pengulangan, yang satumenurut
masyarakat (sosial) dan yang lain dalam artihukum
pidana. Yang pertama,
masyarakat menganggapbahwa setiap orang yang setelah pidana, menjalaninya
yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disina adapengulangan, tanpa
memperlihatkan syarat–syarat lainnya.Tetapi pengulangan dalam arti pidana, yang
merupakan dasar pemberat pidana ini, tidak cukup hanya melihat berulangnya
melakukan tindak
pidana, tetapi dikaitkan pada syarat–syarat tertentu yang
ditetapkan Undang–Undang.
Undang–Undang sendiri tidak mengatur mengenaipengulangan umum
(general recidive) yang artinyamenentukan pengulangan berlaku untuk dan
terhadapsemua tindak pidana. Mengenai pengulangan ini KUHPidana mengatur
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokan tindak–tindak pidana tertentu
dengan syarat–syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan
hanya
terbatas
pada
tindak
pidana–tindak
pidana
tertentu
yang
disebutkandalam Pasal486, 487, 488 KUHPidana
2. Diluar kelompok kejahatan dalam Pasal 368, 387 dan 388 itu, KUHPidana juga
menentukan beberpa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi
pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 487 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat
(3).
b. Dasar Pemberatan Pidana Khusus
Maksud diperberatnya pidana dasar pemberat pidanakhusus ini adalah
pada si pembuat dapat dipidanamelampaui atau diatas ancaman maksimum
padatindak pidana yang bersangkutan, hal sebab diperberatnya mana dicantumkan
secara tegas dalam dan mengenai tindak pidana tertentu tersebut. Disebut dasar
pemberat khusus karena hanya berlaku pada tindak pidana tertentu yang
dicantumkannya alasan pemberatan itu saja, dan tidak berlaku pada tindak pidana
lain. Dilihat dari berat ringannya ancaman pidana pada tindak pidana tertentu
yang sama atau kualifikasinya, maka dapat dibedakan dalam tindak pidana dalam
bentuk pokok (bentuk standar), bentuk yang lebih berat (gequalificeerde) dan
bentuk yang lebih ringan (gepprivilegerde). Pada Pasal mengenai tindak pidana
dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap (sempurna) unsur–unsurnya
(kecuali seperti Pasal 351, penganiayaan), artinya rumusan dalam bentuk pokok
mengandung arti yuridis dari
(kualifikasi) jenis pidana itu, yang ancaman
pidananya berada di antara bentuk yang diperberat dan bentuk yang diperingan.
Universitas Sumatera Utara
Mencantumkan/meletakkan unsur pemberat khusus daribentuk pokok suatu jenis
tindak pidana, ternyata dilakukandengan 3 (tiga) macam cara :
1. Dengan mencantumkan dalam satu Pasal dari rumusan bentuk pokoknya,
tetapi pada ayat yang berbeda. Misalnya pada penganiayan (Pasal 351
KUHPidana), bentuk pokonya dirumuskan pada ayat (1), unsur
pemberatnya mengenai akibat luka berat dan kematian dirumuskan pada
ayat (2 dan 3).
2. Dengan mencantumkan pada Pasal diluar Pasal yang laindari rumusan
bentuk pokoknya, penggelapan yang dilakukan oleh orang uang mengusai
benda karena : hubungan kerja, pencarian atau karena mendapat upah
khusus untuk itu (Pasal 374 KUHPidana) atau yang dilakukan oleh orang
yang karena dititipkan dengan terpaksa, atau oleh wali, pengampu, wali,
pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap benda yang dikuasainya
(Pasal 375 KUHPidana) masuk dalam kelompok jenis/bab kejahatan
penggelapan.
3. Menyebutkan dasar pemberatan itu dalam Pasal lain diluar Pasal mengenai
jenis tindak pidana yang sama, misalnya pada dasar pemberatan pidana
kejahatan pemeresan (Pasal 368 KUHPidana) masuk dalam Bab XXIII
dengan menunjuk berlakunya dasar pemberat pada Pasal 365 ayat 2 dan 4
(Pasal 368 ayat 2 KUHPidana) dalam Bab XXIII.
2. Petimbangan Subjektif
Perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh Undang–
Undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku(seorang atau beberapa
Universitas Sumatera Utara
orang). Dilihat dari unsur–unsur pidana ini, maka suatu perbuatanyang dilakukan
oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya
dapat dinyatakansebagai
peristiwa pidana. Syarat–syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa
pidana adalah sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan, maksudnya memang benar ada suatu kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan itu terlihat
sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat dipahami oleh orang lain
sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa.
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam ketentuan
hukum. Artinya perbuatan sebagai suatu peristiwa hukumyang memenuhi
isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu. Pelakunya benar–benar
telah berbuat seperti yang terjadi. Pelaku wajib mempertanggungjawabkan
akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini,
hendaknya dapat dibedakan bahwa ada perbuatan yang tidak dapat
dipersalahkan. Perbuatan yang tidak dapat dipersalahkan itu dapat
disebabkan diakukan oleh seseorang atau beberapa orang dalam
melaksanakan tugas membela diri dari ancaman orang lain yang
menggangu keselamatan dan dalam keadaan darurat.
c. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Maksudnya bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
orang itu dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang disalahkan oleh
ketentuan hukum.
Universitas Sumatera Utara
d. Harus melawan dengan hukum, Artinya suatu perbuatan yang berlawanan
dengan hukum dimaksudkan kalau tindakannya nyata–nyata bertentangan
dengan aturan hukum.
e. Harus tersedia ancaman huk