T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Terorisme sebenarnya bukanlah fenomena baru. Namun, seiring dengan perkembangan
zaman, berbagai aspek terorisme pun juga turut berkembang. Modus operandi maupun sarana
untuk melakukan terorisme juga semakin bervariasi. Hakekat dari suatu perbuatan terorisme
mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk
perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan
individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut,
pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk
pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain1.
Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman serta
terhindar dari berbagai macam bentuk kekerasan apapun termasuk kekerasan terror. Hak setiap
warga negara itu di junjung dalam falsafah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G.
Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berisi rumusan bahwa:
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
Muladi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, “Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip
Pengaturan dalam Kriminalisasi”, Vol 2 No. III, Desember 2002, h. 6.

1

1

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Yang
mana sekarang dirubah menjadi: Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan
bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.2
Hak untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan apapun termasuk kekerasan terror, dan
mendapat rasa aman dan nyaman juga dapat dilihat dari Pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, yang berisi:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”3
Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang berarti
membuat gemetar atau menggetarkan. Kata “Teror” juga dapat mengandung pengertian
kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan di pikiran korban. Akan tetapi, hingga kini tidak ada
definisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” adalah
suatu konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan

terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada
negara yang ingin dituduh menjadi pendukung terorisme dan menjadi tempat-tempat
perlindungan sekelompok terorisme. Tidak ada pula negara yang dianggap melakukan terorisme
karena menggunakan kekuatan (militer). Ada yang mengatakan, seorang bisa disebut sebagai
teoris juga disebut sebagai pejuang kebebasan. Hal ini tergantung dari sisi mana melihat tindakan
tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan, hingga saat ini tidak ada definisi terorisme yang dapat

2

Lihat Pasal 28G Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.
3

2

diterima secara universal. Masing-masing negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan
dan keyakinan sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.4
Masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan
kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif

terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.5 Sejalan dengan kian meningkatnya
modus, senjata teroris dan target yang dituju, pada tataran internasional telah lahir satu komitmen
internasional untuk melakukan perang global melawan terorisme.6 Dalam hukum pidana,
terorisme memiliki banyak aspek dan perbedaan dalam banyak hal dari bentuk kriminalitas
biasa. Indonesia sendiri telah menyadari akan bahaya terorisme. Karena itulah, maka pemerintah
berupaya membuat Undang-Undang (UU) khusus yang mengatur terorisme. Pentingnya UndangUndang khusus yang mengatur terorisme semakin dirasakan pemerintah setelah terjadi peristiwa
peledakan Bom Bali tanggal 12 oktober 2002 (Bom Bali I). Peristiwa Bom Bali I memberikan
akibat yang luar biasa terhadap Indonesia. Bukan

hanya dampak traumatis, namun juga

merapuhnya bangunan sosial dan ekonomi dalam skala mikro maupun makro.7
Dalam perkembangan teroris di Indonesia, mulai diketahui bahwa kelompok teroris
membutuhkan dana dalam setiap aksi teror yang mereka lakukan. Dalam melakukan
pengumpulan dana, para teroris bekerja secara terorganisir, baik dalam kelompok kecil maupun
besar. Negara dapat berperan terlebih dahulu untuk mencegah kegiatan teroris dengan cara
memotong semua sumber pendanaan terhadap teroris karena pendanaan merupakan aspek yang
paling penting dalam sebuah kelompok atau organisasi, termasuk juga dengan kelompok teroris.
Abdul Wahid, Sunardi dan Muhammad Imam Sidik, “Kejahatan Terorisme Prespektif Agama,
HAM dan Hukum”, Refika Aditama, Bandung, 2004, h. 22.

5
Muladi, Op.cit., h. 1.
6
Bambang Abimanyu, Teror Bom di Indonesia, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2005, h. 119120.
7
Ari Wibowo, “Hukum Pidana Terorisme,” Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, h. 2.
4

3

Tanpa dukungan dana yang kuat, rencana dan program yang telah disusun tidak dapat berjalan
dengan lancar serta tujuan yang hendak dicapai juga tidak akan berhasil seperti untuk biaya
hidup, tempat persembunyian, pelatihan militer, perakitan senjata, serta biaya bagi kelangsungan
hidup keluarga mereka. Bentuk pengumpulan dana teroris berisifat ilegal yaitu kegiatan yang
dilakukan dengan bentuk kegiatan seperti sumbangan anggota jaringan teror dan simpatisan baik
yang berada di dalam maupun luar negeri, dengan melakukan perbuatan tindak pidana seperti
perampokan bank dan lembaga keuangan milik pemerintah, toko emas, pengusaha Non muslim,
kejahatan ITE / cyber serta pencucian uang. Semakin banyaknya peristiwa terorisme yang terjadi
di Indonesia, yang terjadi pada awal tahun 2000 menyebabkan Indonesia disebut sebagai negara

yang rawan teroris. Biaya yang dibutuhkan oleh para teroris tidaklah sedikit tetapi sangat
terbilang banyak, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebagai contoh, seperti Bom
Bali I yang membutuhkan biaya 120 juta Rupiah, Bom Bali II 80 juta rupiah, dan kasus
pengeboman Hotel JW M dan Ritch Calton yang menggunakan biaya Rp. 82 juta rupiah. Biaya
tersebut belum termasuk dengan pelatihan bagi teroris, seperti pelatihan militer bagi teroris di
Aceh yang membutuhkan biaya hingga 750 juta Rupiah. Sedangkan pelatihan militer di Poso
yang membutuhkan biaya sangat besar hingga mencapai 8 miliar Rupiah. Hal ini menunjukkan
bahwa pendanaan menjadi aspek yang sangat penting dalam mendukung kegiatan teroris.8
Pada intinya dalam upaya untuk memerangi terorisme, perlu memotong jaringan keuangan
yang digunakan untuk melakukan kejahatan terorisme. Selama ini memang sudah terdapat
beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pendanaan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Journal of International Relations , “Peran Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF)
dalam Penanganan Pendanaan Terorisme di Indonesia”, Vol. 1, No. 2, 2015, h. 88-94.
8

4


Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International
Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum
mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai
dan komprehensif serta peraturan tersebut dirasa belum optimal dalam mengkriminalisasi
kegiatan pendanaan terorisme tersebut.
Upaya yang dilakukan dalam
mengkriminalisasi

perbuatan

rangka untuk memerangi terorisme bukan hanya dengan

teror

yang

dilakukan


oleh

para

teroris,

tetapi

juga

mengkriminalisasi kegiatan pendanaan/pembiayaan terorisme kepada para teroris yang
pengaturannya sebelum adanya Undang-Undang tentang Pendanaan Terorisme terdapat dalam
Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dan terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme setelah
adanya pengaturan khusus tentang Pendanaan Terorisme. Diperkuat dengan adanya UndangUndang

Nomor


9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme diatur pemberian kewenangan pemblokiran aset yang diduga terkait
dengan upaya teror.
Jadi pendanaan terorisme tidak akan terlepas dari fungsinya, yaitu untuk mendanai operasi
teroris tertentu seperti biaya langsung yang berkaitan dengan suatu serangan dan biaya organisasi
atau semacam biaya tidak langsung untuk pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur
organisasi dan untuk menyebarkan ideologi dari organisasi teroris.
5

Perserikatan Bangsa - Bangsa (United Nation) sebagai badan berhimpunnya negaranegara dunia telah mengeluarkan sebuah konvesi internasional berkaitan dengan pemberantasan
pembiayaan terorisme. Konvensi tersebut adalah International Convetion For The Supprresion
of The Financing of Terorism dan telah ditandatangani oleh perwakilan masing-masing

pemerintah anggota Perserikatan Bangsa - Bangsa di Kantor Besar Perserikatan Bangsa - Bangsa
di New York pada tanggal 2000. Dalam plenary meeting FATF (Financial Action task Force)
yang dilaksanakan di Hong Kong pada tanggal 1 Februari 2002, dapat diketahui bahwa negaranegara di seluruh dunia telah bersatu dalam keyakinannya bahwa teroris dan mereka yang
membantu para teroris harus dihalangi aksesnya ke sistem keuangan internasional. Termasuk di
dalamnya akses bagi kelompok teroris serta kelompok-kelompok yang ingin membantu

pembiayaan terhadap aktivitas terorisme. Terorisme akan semakin berkembang apabila
organisasinya mendapat dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan
terorisme merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme itu sendiri. Karena,
apapun rencana jahat para teroris itu tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan
dana.
Melihat suatu kasus yang terdapat dalam Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI tentang
tindak pidana terorisme. Bahwa terdakwa Cahya Fitriyanta terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Terdakwa
melakukan hacking ke website bisnis online yaitu untuk mengumpulkan dana guna melanjutkan
perjuangan sebagaimana mereka sebut sebagai jihad. Dengan menggunakan senjata api yang
memerlukan biaya dan peralatan, membantu para umahat (istri istri yang ditinggal oleh suaminya
karena ketangkap maupun yang syahid) sebagaimana yang diperintahkan oleh Santoso (telah
meninggal dunia) selaku penyelenggara pelatihan militer di daerah Poso dan bahwa terdakwa

6

pada periode bulan Juli 2011 hingga awal bulan September 2011 menempatkan uang hasil
transaksi balance yang merupakan hasil dari hacking website investasi online sebesar lima ratus
juta rupiah dibeberapa rekening orang lain lalu oleh Terdakwa ditarik dan lalu ditransferkan
kebeberapa rekening milik Terdakwa dengan nama berbeda beda.

Karena perbuatannya tersebut, maka terdakwa Cahya dijerat dengan Pasal 15 jo. Pasal 11
Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang
telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 9 Pasal 15
Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 berisi rumusan:
”Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidananya.”
Dan diteruskan dengan Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15
Tahun 2003 berisi rumusan:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan
tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk
melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, dan Pasal 10.”10
Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang berisi rumusan:


9

Putusan Mahkamah Agung No.113/PID/2013/PT.DKI Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Pasal 15 dan Pasal 11 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah No1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang –
Undang. Hukum Pidana Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4232.
10

7

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,
membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Putusan yang kedua yaitu Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. tentang tindak
pidana terorisme11. Bahwa Terdakwa Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme”. Terdakwa bersama dengan Farid menggunakan sepeda motor jenis Mio
JT milik Farid mengambil 1 (satu) unit sepeda motor jenis Yamaha Jupiter warna Silver Biru
yang diparkir dalam halaman sebuah rumah di Jalur Dua Parigi dengan cara terdakwa jual ke
Ustad Mualim dengan harga tiga juta tiga ratus ribu rupiah. Ustad Mualim membayar sepeda
motor Yamaha Jupiter tersebut dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada Rohim
(iparnya Arif) lalu dari uang tersebut terdakwa sisihkan sebesar tujuh ratus ribu rupiah untuk
uang kas kelompok Santoso yang dipegang oleh Jundi, Sisanya terdakwa bagi dua dengan Farid.
Sehingga masing-masing mendapat sebesar satu juta tiga ratus ribu rupiah. Lalu Yono Piti
memberikan uang kepada Terdakwa sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah hasil penjualan 1
(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu. Uang hasil penjualan 1
(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu dibagi-bagi, yang mana
uang hasil penjualan sepeda motor sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah disisihkan terlebih
dahulu oleh terdakwa dan Jundi sebesar 20 (dua puluh) persen yaitu sebesar satu juta seratus ribu
rupiah untuk uang kas kelompok Santoso yang dipegang Jundi. Setelah itu sisanya sebesar empat
juta empat ratus ribu rupiah dibagi berempat sehingga terdakwa, Jundi, Rodik dan Farid masingmasing mendapat satu juta rupiah seratus ribu rupiah. Bahwa sebagian dari hasil penjualan
11

Putusan Mahkamah Agung No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. tentang Tindak Pidana Terorisme.

8

sepeda motor - sepeda motor disisihkan untuk Santoso dan kelompok terorisnya yang digunakan
oleh Santoso untuk membiayai kegiatan Santoso dalam melakukan Tindak Pidana Teroris.
Karena Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut
Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme berisi
rumusan:
“Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk
melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana
pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang berisi rumusan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau
meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan
seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau
teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
Dalam memutus suatu perkara hakim harus mempertimbangkan apakah perbuatan pidana
tersebut telah memenuhi unsur yang yang terkandung di dalam Pasal yang telah dijatuhkan atau
belum serta hakim juga perlu mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi selama proses
persidangan. Dengan hal ini, apakah Putusan No. 113/PID/2013/PT.DKI dan Putusan
No.629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. telah sesuai dengan hukum yang menjeratnya yaitu Perppu.
No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003, Undang-Undang No.8 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-Undang

9

Nomor

9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme.
Dalam mencegah pendanaan terorisme yang semakin hari semakin marak berkembang
dan Indonesia ingin menunjukan keseriusannya dalam menangani dan memberantas kasus
pendanaan terorisme tersebut maka Indonesia meratifikasi International Convention for the
Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan telah mengundangkan ke dalam Undang-

Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International Convention for the Suppression of
the Financing of Terrorism 1999 serta mengkriminalisasi terhadap pendanaan terorisme dengan

dikeluarkannya undang-undang khusus terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pendanaan terorisme yang tercantum dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.12 Sebenarnya UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah
menjelaskan dan membahas tentang pendanaan terorisme dan di dalam skripsi ini penulis
membahas mengenai pengaturan sebelum adanya Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme dengan melihat dalam
Putusan Mahkamah Agung No. 113/PID/2013/PT.DKI dan setelah adanya Undang-Undang No.
9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme
dengan melihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan
masalah yang dapat ditarik yaitu:
12

Journal of International Relations, Loc.Cit.

10



Bagaimana pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan
terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme?
Untuk membahas masalah tersebut, Penulis melakukan kajian terhadap Putusan
Mahkamah Agung No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah Agung No.
629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

C. TUJUAN PENELITIAN
Penulisan hukum ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana
khusus, yaitu mengidentifikasi dan menganalisis mengenai pengaturan tindak pidana pendanaan
terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pendanaan terorisme dengan mengkaji Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI. dan
Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

E. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
Adapun kegunaannya sebagai berikut:
1. Kegunaan Akademis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu
pengetahuan hukum pidana khusus tentang pengaturan tindak pidana pendanaan
terorisme

sebelum

dan

sesudah

berlakunya

Undang-Undang pencegahan

dan

pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme dengan mengkaji Putusan Mahkamah

11

Agung

No.113/PID/2013/PT.DKI.

dan

Putusan

Mahkamah

Agung

No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum,
khususnya bidang hukum pidana khusus. Serta, dapat dipakai sebagai acuan dalam
mempelajari mengenai pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan
sesudah berlakunya Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pendanaan terorisme dengan melihat Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan
No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.
b. Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas mengenai
pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan sesudah berlakunya
Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme
dengan

melihat

Putusan

No.113/PID/2013/PT.DKI.

dan

Putusan

No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.
c. Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah
pengetahuan serta wawasan di bidang hukum khususnya hukum tindak pidana
pendanaan terorisme.

F. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
a. Pendekatan Undang – Undang (statute approach)

12

Dalam rangka melengkapi dan meyempurnakan penulisan ini, penulis
melaksanakan penelitian guna mendapatkan data yang konkrit untuk dijadikan
sebagai bahan penulisan agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk
mendukung penelitian tersebut diperlukan suatu metode penelitian, dalam
permasalahan ini metode yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian
yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bentuk-bentuk
dokumen resmi atau disebut juga dengan data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku yang ada hubungannya dengan
masalah yang dibahas. Penelitian hukum yuridis normatif sering disebut juga studi
hukum dalam buku (law in book)13.
b. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu
yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah rasio decidendi
atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.
Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam
mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi
penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.14
2. Bahan Hukum
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat normatif, artinya mempunyai
otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan, catatan-

J. Supranto, “Metode Penelitian Hukum dan Statistik”, Cet. I, PT. Ribeka Cipta, Jakarta, 2003, h. 3.
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum”, Edisi Revisi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,
2005, h. 94.
13

14

13

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan
hakim15. Dalam tulisan ini terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan
International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 ,

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Putusan
No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. yang
berhubungan dengan penelitian.
b. Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamuskamus

hukum,

jurnal-jurnal

hukum

dan

komentar-komentar

atas

putusan

pengadilan16.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder17.
3. Teknik Pengumpulan Data

15
16
17

Ibid. h. 181.
Loc.cit.
Soejono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif”, Cet.XVI, Rajawali Pers, Jakarta, 2014. h. 24.

14

Dalam hal ini penulis mempergunakan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen
atau kepustakaan yaitu dengan mempelajari literatur-literatur yang ada berkaitan dengan
permasalahan yang akan dibahas. Disamping itu untuk melengkapi data juga dilakukan
penelurusan data melalui internet.
4. Teknik Pengolahan Data
Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing yaitu mengolah kembali
data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan
penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat
dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.
5. Teknik Analisa Data
Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan analisis data
kualitatif, yaitu uraian yang dilakukan terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan
kalimat-kalimat atau uraian-uraian yang menyeluruh terhadap fakta-fakta yang terdapat di
lapangan sehubungan dengan pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan
sesudah berlakunya Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme dengan melihat contoh kasus. Semua hasil penelitian dihubungkan
dengan pengaturan perundang-undangan yang terkait. Setelah itu dirumuskan dalam bentuk
uraian dan akhirnya ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap permasalahanpermasalahan di dalam penelitian.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

15

Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang tertuang dalam
proposal ini, penulis selanjutnya dibagi dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Gambaran umum mengenai latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan, latar
belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian tindak pidana terorisme, pengertian tindak
pidana pendanaan terorisme, motif dan bentuk tindak pidana pendanaan terorisme, dan
pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang
Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang dengan mengkaji
dari

studi

kasus

Putusan

No.

113/PID/2013/PT.DKI

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM dimaksud.
BAB III PENUTUP
Berisi kesimpulan dari penulis mengenai permasalahan yang ditulis.

16

dan

Putusan

No.